Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Yogyakarta. Show all posts
Showing posts with label Yogyakarta. Show all posts

Pro-Kontra "Sabda Raja" Keraton Ngayogyakarta


Oleh: Masduki Attamami

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X sebelumnya telah menyadari akan muncul pro-kontra di internal keraton maupun masyarakat, terkait "sabda raja" atau perintah raja dari dirinya.

"Saya sudah tahu dari awal akan menimbulkan pro dan kontra," kata Sultan usai melakukan penanaman bibit nyamplung di RPH Gubug Rubuh, Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Kamis (7/5).

Sultan mengatakan akan banyak masyarakat yang meminta klarifikasi terkait sabda raja yang dikeluarkannya, yakni pada 30 April dan 5 Mei lalu.

"Bagi saya berbeda tidak masalah, dan pasti ada masyarakat yang meminta klarifikasi terkait sabda raja itu," katanya.

Sultan HB X pada 30 April lalu mengeluarkan sabda raja yang berisi lima poin, di antaranya mengganti nama Buwono menjadi Bawono, serta menghapus gelar Kalifatullah.

Selanjutnya pada 5 Mei lalu Sultan kembali mengeluarkan sabda raja yang berisi penggantian nama putri pertama Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi.

Adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat mengharapkan isi dari sabda raja segera dibatalkan. "Istilahnya, sudah keluar ludah, kemudian dijilat kembali, itu tidak apa-apa, tidak usah malu," kata GBPH Yudhaningrat di kediamannya di Dalem Yudhanegaran, Yogyakarta, Kamis (7/5).

Menurut Yudhaningrat, sabda raja yang dikeluarkan Sultan HB X pada 30 April dan 5 Mei 2015 telah menabrak "paugeran" atau aturan baku di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. "Aturan-aturan yang sudah kokoh malah diterjang. Ini menjadi mimpi buruk bagi kami," katanya.

Ia mencontohkan seperti penghapusan sebutan Kalifatullah dalam gelar Sultan, akan berakibat fatal, karena gelar tersebut sudah tersemat sejak Hamengku Buwono sebelumnya.

Gelar itu, menurut Yudhaningrat memiliki fungsi pengingat bahwa selain menjadi pemimpin kerajaan Islam, juga sebagai imam untuk masyarakat Yogyakarta. "Dengan Kalifatullah disematkan dalam gelarnya, dimaksudkan supaya menjadi pengingat bahwa dirinya itu sebagai pimpinan di Yogyakarta ini," kata dia.

Kemudian mengenai penggantian gelar putri pertama Sultan HB X, GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi yang diduga ingin menjadikan putrinya itu sebagai penerus tahta, menurut Yudhaningrat juga tidak sesuai dengan "paugeran".

Sebab, selama ini, raja perempuan tidak dikenal dalam sejarah kerajaan Islam, termasuk Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. "Kita tidak pernah kenal, tidak pernah kita harapkan, dan berlawanan dengan aturan pokok kekhalifahan Ngayogyakarta Hadiningrat," kata dia.

Oleh sebab itu, bersama adik-adik Sultan lainnya, dirinya ingin meluruskan, dan siap menerima sanksi atau risiko. "Kalau ada sanksi, ya kami sudah siap, karena memang hidup ini penuh risiko," kata Yudhaningrat.

Dibahas

Para adik Sultan HB X kemudian menggelar pertemuan di Dalem Yudhanegaran, Yogyakarta, 7 Mei, membahas polemik yang terjadi di internal keraton pascadikeluarkannya sabda raja itu.

Adik Sultan yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Pakuningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryonegoro, GBPH Suryomataram, GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, serta GBPH Cakraningrat.

Dalam pertemuan itu juga diundang perwakilan dari berbagai elemen serta tokoh masyarakat untuk menyampaikan pandangan dan aspirasi mereka terkait masa depan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

GBPH Suryodiningrat mengatakan pertemuan tersebut untuk memusyawarahkan sikap bersama para adik Sultan menanggapi sabda raja tersebut. "Jadi kami tidak ingin sendiri-sendiri menyikapi ini. Yang jelas kami ingin semua kembali seperti semula," kata dia.

Para tokoh serta perwakilan elemen masyarakat yang hadir dalam pertemuan itu diharapkan pula memberikan masukan untuk mengurai persoalan di keraton ini.

GBPH Suryodiningrat mengatakan isi kesepakatan dalam pertemuan tersebut langsung disampaikan kepada Sultan HB X di Keraton Kilen (kediaman Sultan).

Ia optimistis persoalan internal keraton ini akan segera terselesaikan. "Kami tidak ingin berasumsi. Kami berpikiran positif saja, bahwa semua akan dapat diselesaikan," katanya.

Sementara itu, seorang Abdi Dalem Keprajan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat bernama Mas Wedana Nitikartya mengembalikan "kekancingan" atau surat keputusan pengukuhan sebagai abdi dalem kepada keraton, Kamis (7/5), sebagai bentuk protes atas sabda raja tersebut.

Pengembalian surat keputusan ("kekancingan") itu dilakukan di Dalem Yudanegaran, Yogyakarta.

Abdi dalem bernama asli Kardi itu diangkat menjadi Abdi Dalem Keprajan dengan gelar Mas Wedana Nitikarya sejak dirinya menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta pada 31 Agustus 2011.

"Karena tidak lagi bergelar Hamengku Buwono, maka saya merasa Sri Sultan HB X bukan lagi raja, sehingga kekancingan saya kembalikan," kata Kardi.

Surat "kekancingan" tersebut dikembalikan, dan diserahkan kepada adik Sultan HB X, GBPH Cakraningrat di hadapan sejumlah wartawan, serta disaksikan GBPH Prabukusumo.

Sultan HB X pada 30 April 2015 mengeluarkan sabda raja atau perintah raja yang berisi lima poin, di antaranya mengganti nama Buwono menjadi Bawono, serta menghapus gelar Kalifatullah.

Sebelumnya, Sri Sultan HB X memiliki gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Menurut Kardi, dengan penggantian gelar tersebut, "kekancingan" tidak lagi memberikan rasa tenteram, karena tidak lagi berasal dari Sultan yang dulu mengayomi (melindungi). "Dulu saya merasa nyaman, tenteram mendapatkan kekancingan dari Sultan, tapi karena sudah tidak lagi Kalifatullah, saya merasa tidak lagi diayomi," kata Kardi.

GBPH Cakraningrat mengatakan menerima pengembalian "kekancingan" tersebut yang dinilai sebagai hak abdi dalem.

Peristiwa itu, menurut dia, baru terjadi untuk pertama kalinya. "Ini merupakan keinginan dari yang bersangkutan. Kami menerima, karena menjadi abdi dalem merupakan niat dari masing-masing," katanya.

Selanjutnya, kata Cakraningrat, surat kekancingan tersebut akan diserahkan kepada Tepas Hageng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dengan pengembalian "kekancingan" itu, maka gelar serta hak Kardi sebagai abdi dalem keraton dihapus.

Penjelasan Sultan

Sri Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan pergantian gelar yang disandangnya, yang sebelumnya tercakup dalam isi sabda raja yang dikeluarkan pada 30 April 2015.

Sultan yang mengenakan kemeja batik duduk bersila didampingi istri, GKR Hemas, menjelaskan ihwal pergantian gelar yang disandangnya di hadapan masyarakat dari berbagai daerah, di Dalem Wironegaran, Yogyakarta, yang merupakan kediaman putri pertamanya, GKR Mangkubumi, Jumat (8/5).

Sultan mengatakan, sejak sabda raja tersebut dikeluarkan, gelar yang disandangnya berubah menjadi "Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo".

Gelar itu mengubah gelar sebelumnya yakni "Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat".

Menurut Sultan, pergantian nama tersebut merupakan "dawuh" atau perintah dari Allah SWT melalui leluhurnya. Dengan demikian tidak bisa dibantah, dan hanya bisa menjalankan saja. "Dawuh itu mendadak. Ini kewenangan Gusti Allah, dan tidak boleh dibantah," katanya.

Mengenai gelar Buwono menjadi Bawono, Sultan menjelaskan Buwono memiliki arti jagad kecil, sementara Bawono memiliki arti jagad besar. "Kalau disebut Buwono daerah, ya Bawono berarti nasional. Kalau Buwono disebut nasional, Bawono berarti internasional," kata dia.

Selanjutnya, perubahan "kaping sedoso" menjadi "kasepuluh", adalah untuk menunjukkan urutan. Sebab "kaping" memiliki arti hitungan tambahan, bukan "lir gumanti" (urutan). "Seperti "kapisan" (pertama), "kapindo" (kedua), "katelu" (ketiga) dan seterusnya. Jadi tidak bisa "kaping sedoso" karena dasarnya "lir gumanti", ujar Sultan.

Sedangkan tambahan "Suryaning Mataram" menunjukkan berakhirnya perjanjian Ki Ageng Pemanahan dengan Ki Ageng Giring yang merupakan periode Mataram lama dari zaman Kerajaan Singasari sampai Kerajaan Pajang.

Sementara, mulai zaman Kerajaan Mataram dengan Raja Panembahan Senapati hingga Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat saat ini merupakan Mataram baru.

Adapun penggantian "Kalifatullah Sayidin" diganti "Langgeng Ing Toto Panoto Gomo", menurut Sultan menunjukkan berlanjutnya tatanan agama Allah di jagad. "Hanya itu yang bisa saya artikan, kalau lebih dari itu nanti jadi ngarang sendiri, dan belum tentu benar. Saya hanya sekadar menyampaikan dawuh," katanya.

Sultan pada kesempatan itu juga menjelaskan penggantian nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi tidak dilandasi niat ingin menjadikan putri pertamanya itu menjadi putri mahkota. "Pokoknya saya menetapkan GKR Pembayun menjadi Mangkubumi sesuai dawuh (perintah). Lelakunya seperti apa, ya saya tidak mengerti. Saya cuma didawuhi atau diperintah menetapkan, ya saya tetapkan," katanya. (IRIB)

Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan yang dipimpin oleh KH. Fahmi Basya, pensyarah Matematika Islam Universiti Islam Syarif Hidayatullah menyatakan : “”Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman (as)””


BOROBUDUR ADALAH PENINGGALAN NABI SULAIMAN



60 Votes


( abis nonton videonya, kira2 isinya seperti tulisan dibawah ini…. )
Jika selama ini banyak ilmuwan-ilmuwan mengatakan bahwa negeri saba’ yang diceritakan dalam alquran itu berada di daerah yang sekarang adalah Yaman, maka menurut KH Fahmi Basya, negeri saba’ itu sebenarnya berada di Indonesia. Benarkah?


Dalam flying book itu KH Fahmi Basya mengungkapkan dengan bukti-bukti ilmiah bahwa candi borobudur bukanlah hasil kebudayaan hindu, sebagaimana kita ketahui selama ini. Candi borobudur sudah ada sejak lama, jauh sebelum hindu ada di nusantara ini. Berdasarkan penelitiannya, candi borobudur itu bahkan di bangun oleh nabi sulaiman dengan bantuan para jin pada jaman ketika nusantara belum berbentuk seperti sekarang, yaitu masih berupa daratan yang luas. Banyak data dan analisis yang dipaparkan dalam flying book itu sebagai bukti terhadap argumen ini.

Untuk mengetahui salah satu bukti argumen itu, sebelumnya ada baiknya kita mengetahui simbol lafadz bismillah. Simbol itu bisa dibuat dengan melukis sebuah 7 buah lingkaran sama besar yang salah satu lingkaran berada di tengah dan dikelilingi oleh 6 lingkaran lainnya.

Masing-masing lingkaran mewakili satu huruf pada lafadz bismillah yaitu ba, sin, mim, alif, lam, lam, dan ha’ . Jika keenam lingkaran di luar masing-masing titik pusatnya secara berurutan dihubungkan dengan garis kemudian lingkaran-lingakaran yang diluar itu dihapus, jadilah bentuk itu sebagai segi enam dengan lingkaran di tengahnya. Itulah simbol lafadz bismillah.

Sekarang mari kita amati salah satu kontur yang banyak terukir di batu-batu candi Borobudur. inilah kontur itu.

ternyata bentuk itu banyak sekali kita temukan pada batu-batu di candi Borobudur. Segi enam dengan lingkaran ditengahnya. Apakah arti bentuk itu? Ternyata simbol segi enam dengan lingkaran di bawahnya adalah simbol lafadz bismillah. Demikianlah salah satu bukti analisa yang disampaikan oleh KH Fahmi Basya dalam flying booknya.

Selain itu, dalam flying book tersebut juga diungkapkan secara ilmiah bahwa candi borobudur dahulunya bukan di tempat seperti yang sekarang, melainkan sempat mengalami pemindahan dengan kecepatan pemindahan melebihi kecepatan cahaya (60.000 kali). Hal ini mengakibatkan kontur candi borobudur mengalami peluruhan. Pemindahan candi ini sesuai cerita dalam alqur’an : “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS.An Naml:40).

Selama ini yang sering diungkapkan adalah bahwa pemindahan itu dari yaman ke palestina, namun sesungguhnya bukti nyatanya belum pernah ditemukan.

Lalu menurut penelitian KH Fahmi Basya, dimana letak candi Borobudur sebelum dipindahkan? Jawabannya adalah di kawasan candi boko yang terletak di kabupaten bantul. Di kawasan itu nampak bekas-bekas adanya candi besar. Namun, candi besar itu hilang, entah bagaimana hilangnya, yang jelas bukan karena hancur atau runtuh. Bahkan di kawasan candi boko ditemukan serpihan-serpihan sisa candi yang konturnya mirip dengan kontur candi borobudur. Hanya saja, kontur yang ada di kawasan candi boko ini tampak lebih jelas dibandingkan dengan kontur yang ada di candi borobudur. Hal ini disebabkan peluruhan yang terjadi akibat pemindahan dengan kecepatan 60.000 kali kecepatan cahaya tadi. (Lihat gambar)

Lebih jauh lagi KH Fahmi Basya membahas sisi lain dari candi borobudur, yaitu bahwa desain candi borobudur sangat kompleks dan memiliki makna yang dalam. Misalnya relief yang ada di dinding-dindingnnya, ukuran volume candi yang membentuk balok al quran ( 23x23x12 = 6348 = jumlah ayat dalam alqur’an berserta basmalah), bahkan bukti foto google art yang menunjukkan bahwa puncak candi membentuk sebuah sebuah garis lurus yang menghubungkannya dengan rukun syaam dan hajar aswad ka’bah. Dan banyak lagi fakta-fakta yang dikemukakan dalam flying book itu.

Nama saba’ sendiri, di dapat dari Alqur’an, dimana secara singkat Alqur’an (surat An Naml dan surat Saba’) menceritakan bahwa negeri saba’ dahulu merupakan sebuah negeri yang amat makmur, subur tanahnya dan maju bangsanya. Dalam negeri itu pernah hidup Nabi-Nabi terdahulu seperti nabi daud AS, Nabi Sulaiman AS, dan juga seorang ratu perempuan yang amat melegenda yaitu ratu Bilqis. Namun, negeri itu dimusnahkan oleh Allah SWT dengan sebuah banjir yang amat besar karena kemusyrikan bangsa di negeri itu, yaitu kereka melekukan ibadah menyembah matahari.

Sementara itu, dalam sebuah legenda yang sangat terkenal di dunia, konon pernah ada sebuah negeri yang karakteristiknya hampir mirip dengan yang diceritakan alqur’an itu. Negeri itu bernama negeri Atlantis. Negeri itu berada di sebuah daratan yang luas dan subur, dan dihuni oleh bangsa maju dan makmur, unggul dalam hal irigasi pertanian. Daratan luas itulah yang disebut sebagai benua Atlantis yang mana benua itu musnah pada jaman es. Seiring tenggelamnya daratan Atlantis, maka musnahlah negeri Atlantis yang begitu makmur itu.

Berdasarkan kemiripan kisah dalam Al Qur’an dan legenda yang berkembang di hampir sekuruh oenjuru dunia itu, bisa jadi, negeri saba’ yang dimaksudkan dalam Al Quran itu tak lain adalah negeri Atlantis yang dulu mendiami daratan Atlantis yang kini sudah musnah akibat banjir besar di jaman es. Benar atau tidaknya memeang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Selama ini hampir kebanyakan ilmuwan mengatakan bahwa negeri saba’ yang disebutkan dalam Alquran itu terletak di daerah Yaman, bahkan dalam banyak tafsir Al Quran pun mengatakan demikian. Namun, melalui ekspedisi dan penelitiannya, yang hasilnya dibuat dalam bentuk flying boook, KH Fahmi Basya menyimpulkan bahwa bukanlah daerah Yaman letak sebenarnya negeri Saba’ itu, melainkan ia berada di sebuah wilayah dengan pusatnya di pulau Jawa, dimana dahulu wilayah itu mencakup wilayah Indonesia dan masih merupakan sebuah daratan yang luas atau berupa sebuah benua. Berikut saya tuliskan 14 bukti yang dikemukakan oleh KH fahmi Basya yang mengungkapkan bahwa negeri saba’ dalam Al Qur’an itu bukan terletak di Yaman melainkan di Indonesia.

PERTAMA. Nama saba’ itu sendiri. “..dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (QS. 27:22). Di Indonesia ada nama dan tempat bernama saba’ (tempat pertemuan) dan ada tempatnya. sementara di Yaman tidak ada. Yang ada hanya sabuun(prasasti), tapi tidak ada a=nama tempat bernama saba’

KEDUA. Hutan saba’. “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah hutan (kebun) di sebelah kanan dan di sebelah kiri” (QS.34:14). Disebutkan terdapat hutan sebagai tanda kekuasaan (ayat). Allah menyebut sesuatu sebagai ayat maka berarti sesuatu tersebut tidak akan hilang dan tetap dapat di amati oleh manusia. Sebagaimana dalam QS 54.15 Allah menyebut kapal nabi nuh sebagai ayat dan itu kita temukan. Maka sesuai sebutan “ayat” itu seharusnya hutan itu juga bisa ditemukan atau pastilah hutan saba’ itu masih ditemukan. Kita bisa buka dalam kamus bahasa jawa kawi, HUTAN dalam bahasa jawa adalah WANA, dan SABA’ berarti PERTEMUAN. Jadi hutan saba’ itu ada di pulau jawa yaitu WANASABA=WONOSOBO Ada juga nama sleman yang berasal dari kata sulaiman. Sementara di Yaman tidak diketemukan nama-nama semacam itu.

KETIGA. Tempat bersujud (menyembah) kepada matahari. “Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah (bersujud kepada) matahari…”(QS. 27:24). Di Yaman tidak dijumpai tempat semacam itu, sementara di Indonesia tempat semacam itu ada yaitu di kawasan bukit candi Boko. Disana ada tempat yang digunakan untuk menyembah matahari yang berupa bangunan di atas bukit menghadap ketimur, ke arah matahari terbit.
KEEMPAT. Bangunan di lembah semut. “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab[1097]: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku …”(QS. 27:40). Di Yaman tidak ada bangunan semacam ini, tapi di Indonesia ada, yaitu candi Borobudur. candi Borobudur terletak di sebuah lembah, dan itulah lembah semut, lembah terindah di dunia.

KELIMA. Fakta pemindahan. Ada bekas stupa di candi Boko (36 km dari candi Borobudur), dimana tekstur bekas stupa itu sangat mirip dengan yang ada di candi borobudur. di Yaman tidak ada.
KEENAM. Sidrin qolil. “…sesuatu yang disebut sidrin Qolil”(qs. 34:16). Di indonesia sidrin qolil ini masih ada sampai sekarang, yaitu terdapat di candi Boko, sementara di Yaman tidak ada.

KETUJUH. Buah yang rasanya pahit, dan menjadi buah mulut (cerita rakyat). “…dan kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit…”(QS. 34:16). Di Indonesia ada buah yang rasanya pahit yaitu buah MAJAPAHIT, di Yaman tidak ada.

KEDELAPAN. Sisa banjir. “… Maka kami datangkan kepada mereka banjir yang besar…”(QS.34:16). Di Yaman disebutkan banjir ini disebabkan runtuhnya bendungan Ma’rib (sebesar bendungan situ gintung) tapi banjir yang semacam ini terlalu kecil untuk memusnahkan sebuah negeri. Tapi di Indonesia banjir itu ada yaitu banjir sangat besar yang menenggelamkan dataran/dangkalan sunda, mengakibatkan Indonesia terbagi menjadi banyak pulau. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa dulu nusantara merupakan satu wilayah daratan yang luas sebelum menjadi wilayah kepulauan.

KESEMBILAN. Bukti bahwa negeri saba’ telah dihancurkan sehancur-hancurnya. “Maka kami jadikan mereka buah mulut dan kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur.” (QS.34:19). Di Indonesia fakta jelas mengatakan bahwa wilayah nusan tara yang dulunya satu daratan, setelah banjir besar di jaman es terbagi menjadi 17.000 pulau. Dari 1 menjadi 17.000. dalam sejarah dunia belum pernah ada daratan yang karena suatu kejadian kemudian menyebabkannya terbagi menjadi 17.000 bagian. Inilah maksud dari dihancurkan sehancur-hancurnya. Semantara di Yaman tidak ada fakta semacam itu.

SEPULUH. “…Kami bataskan padanya perjalanan…”(QS.34:18). Setelah banjir besar, maka perjalana darat menjadi terbatas karena pulau-pulau dibatasi lautan. Sementara di Yaman tidak ditemukakan fakta ini.
SEBELAS. Jarak terbang ideal. “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”(QS.27:22). “Pergilah dengan (membawa) suratku ini”(QS.27:28) jarak pemindahan istana adalah sejauh jarak terbang burung (36 km). di Indonesia jarak ideal ini ada Yaitu jarak candi Borobudur-candi Boko. Sementara kalo di Yaman, jarak antara Yaman-Palestina terlalu jauh.
KEDUABELAS. “Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (QS.34:21). Jadi pastilah Allah memelihara negeri saba’ yang menjadi ayat (tanda kekuasaan) Nya itu. Di Yaman sudah tidak ada, sementara di Indonesia masih ada.

KETIGABELAS. Surat dari Nabi Sulaiman unutk ratu Balqis. “Berkata ia (Balqis): “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “bismillahirrahmaanirrahiim” (QS. 27:29-30). Di Indonesia ada bukti yang ditemukan di istana ratu boko berupa lempengan/plat emas bertuliskan bismillahirrahmaanirrahiim. Di Yaman tidak ada.

KEEMPATBELAS. Gedung yang tinggi. “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku).”(QS.34:13). Di Indonesia jelas ada yaitu candi borobudur, sedangkan di Yaman tidak ada.

Bagaimana tanggapan para pembaca setelah membaca artikel ini? Tidak percaya??
Mengapa piramida berbentuk segitiga?
Rahasia di balik stupa di borobudur?
Di mana letak kerajaan Nabi Sulaiman dan Ratu Belqis?
Di mana letak kerajaan Nabi Ibrahim?
Rahasia di balik sa’i?
Hubungan Hajar Aswad dengan Candi Borobudur?
Rahasia Saba’ dalam Al Qur’an?
Bukti kebenaran kerajaan Nabi Sulaiman dan Ratu Belqis di Indonesia?
===================

Sebagai Jawaban AHLUL BAIT NABI SAW:


Ahli akademik dakwa Candi Borobudur adalah tinggalan nabi Sulaiman (as)
Ahli akademik Indonesia yang membuat penyelidikan Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan yang dipimpin oleh KH. Fahmi Basya, pensyarah Matematika Islam Universiti Islam Syarif Hidayatullah dikatakan telah berhasil mengaitkan kompleks candi di Jawa Tengah itu sebagai bangunan yang dibina oleh tentera Nabi Sulaiman (as).

Negeri Saba dalam kisah ratu balqis sebelum ini disebut berada di Yaman pernah juga dikaitkan dengan dengan negeri Sabah di kepulauan Borneo, Malaysia. Namun baru-baru ini ahli akademik Indonesia yang membuat penyelidikan Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan yang dipimpin oleh KH. Fahmi Basya, pensyarah Matematika Islam Universiti Islam Syarif Hidayatullah dikatakan telah berhasil mengaitkan kompleks candi di Jawa Tengah itu bangunan yang dibangunkan oleh tentera Nabi Sulaiman (as).

Antara alasan yang dikemukakan adalah ratu Boko dalam sumber literatur Jawa mempunyai nama lain iaitu ratu Balqis. Manakala nama kota Slemen di Jogyakarta dikatakan berasal dari perkataan Sulaiman. Fahmi Basya menerangkan Sulaiman adalah satu-satunya nabi yang menggunakan pangkal nama Su. Kata suku Su inilah yang menjadi pangkal nama beberapa pemimpin Indonesia seperti Sukarno, Suharto dan Susilo.
Sementara patung-patung Buddha di candi tersebut dikatakan patung bidadara syurga yang mengambil nabi Sulaiman berambut kerinting sebagai modelnya. Rumusan penyelidikan tersebut turut menyimpulkan bahawa suku Jawa dikenali juga sebagai Bani Lukman kerana sifat-sifat suku tersebut berpandukan ajaran Lukmanul Hakim sebagaimana yang ada di dalam al-Quran.

Walau bagaimanapun teori Fahmi Basya ini perlu dikukuhkan dengan sebarang manuskrip yang seharusnya menjadi tunjang sejarah premier. Ahli sejarah, JJ Rijal pula memberitahu Jakarta Globe bahawa dakwaan Fahmi itu mungkin boleh dikategorikan sebagai sejarah ideologi.

Walau bagaimana pun Fahmi Basya menegaskan, setelah bukti-bukti berjaya dihimpunkan, beliau akan menyerahkan petisyen ke mahkamah untuk menuntut Candi Borobudur menjadi hak milik warisan Islam.

Rahasia Kehebatan Suharto


Diposkan oleh

Rahasia Kehebatan Suharto :
Suharto itu orang yang tidak suka membaca, dia juga tidak suka menulis. Tapi ada satu kehebatannya yang membentuk dia menjadi manusia otentik dan mampu menguasai manusia lain, menguasai sistem masyarakat.
Suharto menjalani laku tapa meneng. Atau meditasi diam. Dia melatih meditasi diam, ini jenis pelatihan meditasi tingkat tinggi yang amat berat. Ilmu Meneng ini did…apatkan pada tahun 1936 dari Kyai Daryatmo, saat itu Harto mengalami titik terendah dalam kehidupannya, terutama soal orang tuanya. Ia terlahir dengan suasana batin yang sakit hati dan sepi dari rasa cinta.

Suatu malam ia dibawa pamannya ke rumah Kyai Daryatmo, dari sanalah ia kemudian belajar banyak tentang falsafah Jawa. Kata-kata : Ojo Lali, Ojo Kagetan dan Ojo Dumeh adalah fase-fase pengalaman batin yang harus ia lalui sebelum sampai pada tingkatan meneng.

Di bulan puasa sekitar tahun 1938, Suharto dipesankan untuk menjalani disiplin menjadi manusia Jawa sempurna, jadi Jawa dalam pengertian batin itu adalah Manusia yang bisa mengalahkan dirinya sendiri, laku dalam mengalahkan dirinya inilah yang mengantarkan pada kesempurnaan. Sampai tahun 1938 laku tapa meneng ini belum sempurna dijalani Suharto karena ia masih gagal mengendalikan pikirannya.

Suatu saat tatkala ia menjadi kadet KNIL di Gombong, ia melihat arus kali. Suharto merenung apa makna arus kali, Ada apa dengan arus kali, ia mengamati arus kali di belakang tangsi KNIL itu lama. Dari pengamatannya itu ia melihat bahwa alam adalah gambaran tentang jiwa manusia, di saat itulah kemudian Suharto menjadikan dirinya sebagai anak alam, ia melibatkan dirinya dengan alam, ia merasakan alam itu sendiri. Lalu di senin pagi, saat itu sedang ada cuti kadet, karena Suharto akan dipindahkan ke Bogor.. Ia duduk di belakang tangsi-nya itu, ia merenungi arus kali yang menggerus batu-batu, kenapa air bergerak dengan sunyi. Lalu ia melihat cahaya matahari pagi yang terpantulkan dari arus sungai, tap..! Suharto kemudian menemukan makna di balik tingkatan fase ilmu yang diberikan Kyai Daryatmo adalah : KESETIAAN, dalam definisi tertinggi kesetiaan itu adalah Rasa Sabar. Disinilah kemudian Suharto melandasi ilmu manusianya.

Tidak seperti Sukarno yang melibatkan dirinya dengan suasana hati manusia, maka Suharto mengalami kredo keterlibatannya justru pada alam. Suharto kemudian melatih ilmu meneng itu dalam segala bentuk meditasinya, ia diam, ia selalu memperhatikan, ia tidak pernah mengomentari apa-apa, ia hanya menuruti keadaan, karena keadaan akan membentuk dirinya sendiri dan keadaan yang terbentuk itu. “Hal terpenting dalam dirimu Harto, janganlah engkau menangis berlebihan, janganlah engkau tertawa berlebihan, karena sikap berlebihan akan mengaburkanmu pada situasi sesungguhnya, ia akan membawa jiwamu pada rasa lemah dan ragu” begitu nasihat Daryatmo setelah Suharto menggambarkan apa yang ia rasakan setelah ia bertemu Kyai Daryatmo setelah Indonesia Merdeka pada tahun 1946, saat itu Harto jadi Komandan Militer Yogyakarta yang baru saja merebut gudang senjata di Kotabaru Yogya. Suharto hanya menangis dua kali, saat kerbaunya terperosok di pematang sawah dan saat isterinya meninggal.

Tahun 1942 Harto mengalami periode yang amat berat, ia lari dari KNIL karena ia menolak untuk berperang untuk Jepang melawan sekutu, ia ke desanya. Disana hidup tanpa pekerjaan dan uang, ia terkena malaria. Ia merasa merepotkan orang lain, di tengah kehidupan yang amat berat itu ia kemudian melatih ilmu tapa meneng, Suharto bisa kuat dalam tiga hari tanpa makan, tanpa minum dan dalam setahun ia hanya makan nasi putih tanpa garam tanpa apapun.

Dari ilmu meneng yang kemudian dijalaninya itu semakin hari semakin ia bisa membaca tingkah laku manusia dan arah hidup manusia. Dari membaca tingkah laku manusia ia juga bisa membaca arah hidup masyarakat. Disinilah letak kunci ilmu tertinggi Suharto, dan sepanjang sejarah memang dialah yang menguasai Indonesia secara absolut selama 32 tahun tanpa jeda, ini tidak pernah disaingi oleh penguasa Nusantara manapun dalam sejarah Indonesia.

Banyak orang tidak tau, Suharto juga suka melakukan meditasi jalan. Ia bisa pernah jalan kaki dari Bogor dari ke Yogyakarta dan ini bukan hanya sekali, ia sangat kuat berjalan. Bahkan temannya pernah bercerita dalam satu minggu perjalanan Suharto tidak bicara apapun. Rosihan Anwar juga selalu mengulangi cerita saat ia bertemu dengan Suharto dan minta diantar ketemu Panglima Sudirman, dalam lebih sepuluh jam perjalan Suharto sama sekali tidak bicara, satu kali bicara saat Suharto mengambilkan kelapa muda kepada Rosihan Anwar dan membukakan dengan pisau komandonya, Suharto berkata “Silahkan diminum degan-nya” sambil tersenyum setelah itu Suharto diam terus.

Sikap diam Suharto inilah yang kemudian ia bisa membaca banyak situasi dari mulai Penangkapan Sudarsono atasannya sendiri dimana dia harus memihak, peristiwa Bambang Sugeng saat perebutan Panglima Diponegoro, peristiwa pemberontakan tiga daerah sampai peristiwa paling bersejarah dalam Indonesia modern : -Gestapu 65-.

Suharto juga punya ilmu terkenal namanya ‘Nyondro’ ilmu membaca gerak gerik wajah. Dari nyondro inilah kemudian Suharto bisa membaca orang yang dihadapinya ini kalah atau menang. Suharto kalau bersalaman selalu tangannya diatas, seperti tangan Sultan kepada bawahannya, sikap salaman ini yang tidak disenangi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahkan beberapa kali Sri Sultan menghindari jabatan tangan, tapi kemudian Sultan berjabatan tangan dengan sikap equal satu sisi dan sempat dipotret saat itu Sultan sudah tidak jadi Wapres dan jadi Ketua KONI.

Suharto adalah orang yang amat ahli bahasa, bila Sukarno menggunakan bahasa untuk menyenangkan hati orang lain, maka Suharto menggunakan bahasa untuk membentuk hubungan komunikasi ‘antara siapa yang berkuasa dan siapa yang harus menurut’ itulah gaya bahasa yang pernah diciptakan Sultan Agung Hanyokrokusumo saat itu Sultan Agung ingin suku Sunda takluk dengan Jawa tapi dalam penaklukan sampai ke suasana batinnya, maka diciptakanlah bahasa halus Jawa, bahasa Krama Inggil, bahasa inilah yang juga memperhalus bahasa Sunda seperti yang kita lihat dalam bahasa Cianjuran atau Bahasa Sunda Sumedang. Suharto membentuk bahasa sebagai arahan alam pikiran, ia membuat kebijakan EYD, Ejaan Yang Disempurnakan, ia membentuk jargon-jargon kehilangan isi, sehingga terlihat membosankan, dalam keadaan membosankan itu sesungguhnya Suharto sudah menaklukkan gaya bahasa perlawanan.

Sikap Suharto juga mendua terhadap priyayi dan proletar, bila kepada priyayi ia akan berkompromi karena dalam dunia priyayi ia bisa menanamkan pengaruhnya, inilah kenapa bahasa WS Rendra ia diamkan, sementara bahasa Wiji Thukul langsung ia bunuh. Bahasa WS Rendra ia jadikan seakan-akan musuh, tapi ia tidak bunuh malah ia besarkan dan ia diamkan, tapi ketika kesadaran bahasa itu akan tumbuh di kalangan proletar, mereka yang tidak bermodal, mereka yang hanya memiliki satu-satunya senjata yaitu : Nyawanya maka mereka harus dibereskan.

Karena satu hal yang amat tidak disukai Suharto : REVOLUSI…………..

Jepang Mencengkeram Pedesaan, Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai, Bubur Perjuangan dan Roti Asia, Terowongan Neyama Romusha, Romusha di Seberang Lautan, Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan, Membebaskan Sultan Yogya, Geraf [Gerakan Rakyat Anti Fasis] Bergerak, Djojobojo Menentang Jepang

Propaganda Jepang. Foto: KITLV.

Untuk tujuan perang, Jepang memobilisasi dan mengontrol rakyat hingga pedesaan.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI, MF. MUKTHI, ARYONO

KEBIJAKAN Jepang selama perang, baik di Jepang maupun di negera-negara jajahannya seperti Indonesia, dimaksudkan untuk kepentingan perang. Tujuan akhirnya membangun kawasan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya di bawah kepemimpinan Jepang. Untuk itu, Jepang mencengkeram kehidupan rakyat pedesaan.

Menurut Aiko Kurasawa, sejarawan Universitas Keio Jepang, kebijakan Jepang di pedesaan Jawa memadukan mobilisasi (doin) dan kontrol (tosei). Jepang memobilisasi rakyat untuk meningkatkan produktivitas pertanian, terutama padi, lalu menyerahkannnya dalam bentuk “wajib serah padi.” (Baca: Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai dan Bubur Perjuangan dan Roti Asia).
*****
Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai


Jepang memperkenalkan padi horai dari Taiwan ke Indonesia untuk memasok pasukannya di medan perang.

PADI yang ditanam di Jawa sebelum perang secara kasar dikelompokkan menjadi dua jenis: pade cere (padi tak berambut) dan padi bulu (padi berambut). Orang Jawa lebih menghargai padi bulu ketimbang padi cere karena lebih enak dan dianggap bermutu lebih tinggi, sehingga harganya pun lebih mahal.

Ketika menduduki Indonesia, pemerintah militer Jepang mendorong petani agar menanam padi cere yang lebih produktif. Setiap hektarnya, padi cere bisa menghasilkan panen lebih tinggi karena tahan terhadap musim kering dan bisa tumbuh di tanah yang kurang subur.

“Apa yang penting bagi pemerintah Jepang bukanlah rasa yang enak atau mutu yang tinggi, melainkan memaksimalkan produksi secara keseluruhan,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol. Produksi bahan makannan, terutama padi, untuk memasok pasukan Jepang di medan perang mendapat prioritas.

Awalnya Jepang frustrasi dengan rendahnya produktivitas beras di Jawa. Mereka menganggap produktivitas bisa ditingkatkan dengan memilih bibit padi yang lebih cocok bagi Jawa. Selain menyarankan penggunaan bibit padi cere, Jepang memperkenalkan beberapa jenis padi baru yang cocok dengan kondisi ekologi Jawa. Serangkaian percobaan pun dilakukan di Bogor Noji Shinkenjo (Stasiun Percobaan Pertanian Bogor). “Salah satu bibit baru yang direkomendasikan oleh stasiun ini ialah beras horai dari Taiwan,” tulis Aiko Kurasawa.

Padi horai mula-mula berasal dari beras Jepang tapi lama-lama dicampur dengan beras lokal Taiwan. Jepang mengunggulkan padi horai karena “batang padi di Nippon lebih besar dan lebih banyak mengeluarkan padi daripada yang terdapat di daerah-daerah Selatan. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan di daerah-daerah Selatan meninggalkan batang padi di sawah dan membiarkannya hingga busuk guna memupuk tanah,” tulis harian Kita-Sumatora-Sinbun, 12 Juni 1944, yang terbit di Medan.

Menurut Shigeru Sato, “Japanization in Indonesia Re-Examined: The Problem of Self-Sufficiency in Clothing,” dalam Imperial Japan and National Identities in Asia 1895-1945 karya Li Narangoa dan Robert Cribb, padi horai termasuk varietas indica sehingga identik dengan padi cere. Masa pertumbuhannya pendek. Rata-rata varietas padi lokal membutuhkan 170 hari untuk matang, sedangkan padi Horai masak dalam 110 hari.

Ada banyak macam padi horai. Namun, tulis Pandji Poestaka, 15 September 1943, yang memberikan hasil lebih baik di Jawa hanya ada 1-2 jenis. Kemungkinan besar padi horai yang didatangkan ke Indonesia adalah jenis taichu dan kanan ni go, yang juga diperkenalkan di Malaysia. 

Syutyokan (Residen) Cirebon, Ichibangase, yang pernah menjadi pejabat kolonial di Taiwan, paling bernafsu memperkenalkan bibit Taiwan ini dan membawa serta bibit bersamanya ke Indonesia. Wilayahnya ditunjuk untuk percobaan pertama budidaya padi horai –selain karesidenan Kedu. Bibitnya dibagikan cuma-cuma kepada para petani.

Pada mulanya, petani ragu untuk mengesampingkan padi bulu karena mutunya yang mereka banggakan. Namun pemerintah Jepang berusaha mempromosikan padi horai itu dengan memanfaatkan kebiasaan petani meminjam bibit dari para pialang padi dan orang lain sebelum masa tanam serta membayarnya kembali setelah panen.

“Dalam menggantikan para pialang padi tersebut,” tulis Aiko Kurasawa, “kantor desa didorong supaya meminjamkan padi kepada petani dan hanya jenis bibit baru (horai) yang dipasok.”
Secara bertahap petani mulai terbiasa menanam bibit baru melalui cara lunak semacam ini. “Wajib serah padi” kepada pemerintah Jepang juga membuat petani tak punya pilihan selain memilih padi produktivitas tinggi: horai dan cere. Alhasil, sejak adanya padi horai, produksi padi bulu berkurang lebih dari setengahnya.

Media memberitakan kesuksesan penanaman padi horai. Asia Raya, 3 Mei 1943, melaporkan, “penanaman padi horai yang kali pertama dilakukan beberapa bulan berselang dan dalam bulan Februari 1943 sudah dipetik hasilnya dengan memuaskan.” Upacara pemotongan padi horai di Palimanan, Cirebon, dihadiri Syutyokan Cirebon, Ichibangase. “Setelah diadakan perhitungan hasilnya sawah itu di luar dugaan, 1 ha menghasilkan 42 kuintal,” tulis Soeara Asia, 26 Mei 1944.  

Meski penanaman padi horai dilakukan intensif, padi bulu tak sepenuhnya hilang karena para pejabat Jepang tetap lebih menyukai beras bermutu tinggi itu untuk kebutuhan mereka sendiri. Sedangkan padi horai diproduksi untuk kebutuhan militer Jepang di medan perang. “Akan tetapi, diragukan apakah mereka bisa memperoleh beras yang enak sebanyak yang mereka inginkan, karena banyak petani menyatakan bahwa mereka biasanya mengatur supaya beras yang bermutu rendah yang diserahkan kepada pemerintah, dan berusaha menyimpan yang bermutu tinggi untuk mereka sendiri, sejauh mereka mempunyai pilihan untuk itu,” tulis Aiko Kurasawa.

Sejak awal, para petani tak suka dengan padi horai. Mereka menanamnya karena dipaksa Jepang. Padi horai pun hanya bertahan selama pembawanya menduduki Indonesia. Sementara padi bulu dan padi cere sebagai padi lokal tetap menjadi andalan petani Indonesia sampai sekarang.
*****

Bubur Perjuangan dan Roti Asia


Jepang memaksa penduduk memakan "menu perjuangan" sebagai pengganti nasi.

PADA masa pendudukan Jepang, petani harus menyerahkan sejumlah besar padi yang mereka hasilkan. Padahal petani terbiasa menanam padi secukupnya untuk konsumsi sendiri, dan hanya sedikit yang mereka jual ke pasar. Mereka juga umumnya petani kecil, yang mengolah sepetak tanah sendiri atau sewaan kurang dari setengah hektar. Mereka menderita kemiskinan yang kronis dan hampir selalu terlilit utang dan terikat sistem ijon. Kelaparan pun melanda.

Untuk menutupi kekurangan beras, menurut sejarawan Universitas Keio, Jepang, Aiko Kurasawa, Jepang mendorong masyarakat memakan jagung, singkong, atau kedelai. Bahkan tanaman yang sebelumnya tak pernah dimakan atau hanya jadi lalaban seperti bonggol pisang, pepaya, dan daun singkong. Sebagai sumber protein pengganti, bekicot jadi pilihan. Penduduk juga terpaksa memakan badur (semacam keladi), yang harus dipotong-potong dan direndam air asin dulu untuk menghilangkan getahnya yang beracun.
Jepang juga memperkenalkan resep-resep baru untuk makanan-makanan pelengkap itu. “Resep-resep itu umumnya disebut sebagai ‘menu perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.

Salah satu menu populer ialah bubur campuran ubi, singkong, dan katul, yang disebut Bubur Perjuangan atau Bubur Asia Raya. Jepang melalui organisasi perempuan bentukannya, Fujinkai, aktif mengajarkan dan menyebarluaskan menu dan bahan pangan baru ini. “Besok sore mulai jam 5 di Dai Kurabu (Harmoni) Huzinkai (atau Fujinkai) akan mengadakan pertunjukan cara membuat Bubur Perjuangan, khusus untuk kaum ibu-ibu dan gadis-gadis. Diharap kaum wanita mengunjunginya,” tulis Sinar Baroe, 5 Maret 1945.
Dalam acara demonstrasi tersebut diterangkan bahwa bubur ini mengandung zat-zat yang penting bagi tubuh. “Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bubur tersebut ialah: 200 gram jagung, 400 gram ubi, 400 gram ketela pohon, 200 gram sayuran. Bumbunya: brambang, bawang, salam, laos (lengkuas), terasi, lombok, santen dan garam. Bubur ini dimakan dengan ikan teri atau ikan kerang,” tulis Sinar Baroe, 8 Maret 1945.  

Selain melakukan sosialisasi, Jepang memerintahkan ketua tonarigumi (rukun tetangga) untuk mengawasi anggota masyarakatnya supaya mau makan Bubur Perjuangan, bukan nasi putih. Dapur sering digeledah secara mendadak. “Kalau ada seseorang yang diketemukan makan nasi putih, dia akan diperingatkan dan bahkan kadang-kadang dilaporkan kepada kenpeitai,” tulis Aiko Kurasawa.

Menu perjuangan lain adalah Roti Asia (to-a pan) yang terbuat dari tepung ketela (aci atau tapioka), tepung kedelai, atau tepung beras biasa. “Sekarang saban bulan diadakan pencatatan tentang persediaan tepung tapioka itu oleh Noji Sido Kyoku dan Dinas pertanian,” tulis Soeara Asia, 9 Juli 1942. Kantor Penerangan Tepoeng juga melakukan sosialisasi. “Diberitahukan kepada sekalian penduduk di Priangan Syuu bahwa pada tiap-tiap hari mulai dari pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang diperbolehkan datang di kantor tersebut untuk menerima pelajaran dari hal pembikinan Roti Asia.” Demikian pengumuman yang disiarkan di koran Tjahaja, 14 November 1942.

Boeng Djenggot, penulis kolom Pengisi Podjok harian Borneo Shimboen, 29 September 1943, menulis bahwa Roti Asia yang sudah dia cicipi bisa dijadikan makanan untuk menyambut Lebaran. “Ketika Bung (Djenggot) berada di Bandung tempo hari, sempat juga merasakan Roti Asia yang dibikin dari tepung Asia (ketela pohon), yang meskipun rasanya belum sebanding dengan roti biasa, tapi bolah lah,” tulisnya.
Menurut Aiko Kurasawa, makanan pengganti, Bubur Perjuangan dan Roti Asia, tentu saja tak memuaskan dan bahkan hina bagi orang Jawa. Mereka lebih suka makan nasi karena, “kalau belum makan nasi, belum makan.”

Gagasan menu perjuangan membuat rakyat kekurangan gizi, terutama masyarakat di pedesaan. Honger oedeem (busung lapar) pun mewabah. Memburuknya kesejahteraan sosial meningkatkan angka kematian pada 1944 di seluruh karesidenan –kecuali Jakarta dan Priangan– dan menurunkan angka kelahiran. “Rakyat di pedesaan sering mengatakan bahwa sewaktu pendudukan Jepang rakyat sulit memiliki tenaga dan keinginan untuk memenuhi fungsi reproduksi karena kelaparan dan kesulitan-kesulitan keseharian lainnya,” tulis Aiko Kurasawa. Dan untuk kali pertama dalam sejarah Jawa modern, populasi Jawa menurun.
*****

Jepang juga mengerahkan rakyat menjadi tenaga kerja paksa (romusha) di proyek-proyek pembangunan seperti lapangan terbang, benteng pertahanan, dan pabrik-pabrik militer. Untuk melancarkan mobilisasi tersebut, Jepang membentuk tonarigumi (rukun tetangga) dan nogyo kumiai (koperasi pertanian). (Baca: Terowongan Neyama Romusha, Romusha di Seberang Lautan, dan Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan).
*****
Terowongan Neyama Romusha


Sebuah terowongan, dikerjakan ribuan romusha, dibangun untuk mengalirkan banjir ke Samudra Hindia.

PADA 17 November 1942, Sungai Brantas meluap, merendam 150 desa dan 9.000 rumah di Kabupaten Tulungagung. Luapan air juga menghancurkan areal pertanian. Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang oleh penduduk setempat disebut “campur darat.”

Untuk mengatasinya, pemerintah Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah perbukitan untuk menguras air yang masih menggenangi rawa-rawa ke Samudra Hindia. Selain itu, diharapkan terowongan itu bisa menjaga tanaman padi, yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai pasokan makanan tentaranya di medan perang.  

Menurut sejarawan Universitas Keio Jepang, Aiko Kurasawa, pemrakarsa pembangunan terowongan tersebut adalah Residen Enji Kihara, lulusan Akademi Militer Jepang dan pernah menjabat kepala Departemen Pembangunan Kantor Gubernur Jenderal di Taiwan. Pembangunan dimulai pada Februari 1943.
Sebagai pelaksana proyek, sebuah koperasi irigasi diorganisasikan di bawah pangreh praja yang bertanggung jawab atas pencarian buruh dan pengamanan dana pembangunan. Proyek terowongan ini membutuhkan 20 ribu romusha dengan dana f.750 ribu; sebanyak f.300 ribu disediakan karesidenan dan sisanya pemerintah militer.

“Karena tidak ada buldoser dan jarang terdapat dinamit, seluruh pekerjaan dilakukan dengan tenaga manusia,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Beberapa bulan pertama pekerjaan berjalan lancar, dengan mempekerjakan lebih dari 10 ribu romusha per hari. Mereka mengeruk tanah dengan alat sederhana yang dibawa dari desa masing-masing. Setiap romusha mendapat upah sebesar f.0.14 per hari, sudah dipotong pajak dan makanan. Sedangkan mandor menerima upah f.0.38, sudah dipotong pajak.

Shigaru Sato dalam War, Nationalism, and Peasants menerangkan, untuk mengerjakan terowongan itu, dibuatlah saluran terbuka dengan meratakan punggung bukit. Batu-batu kapur di dasar punggung bukit harus dihancurkan namun tak tersedia cukup bubuk peledak. Permintaan bantuan kepada Departemen Transportasi Jepang di Jakarta ditolak. Bantuan datang dari kepala Departemen Industri, Tennichi Koichi. Dia berminat pada proyek terowongan itu yang dia anggap memiliki potensi meningkatkan produksi pertanian.

“Atas persetujuan atasannya, Yamamoto Moichiro, Tennichi setuju mengalihkan beberapa bubuk peledak yang telah disisihkan dari program pertambangan batu bara di Bayah (Banten Selatan),” tulis Sato.
Sebelum meledakkan bukit, staf Residen Kediri menerima informasi dari warga bahwa rawa-rawa itu sebelumnya menjadi landasan bagi korps penerbangan Angkatan Laut Belanda; dan ketika Belanda mundur mereka membenamkan beberapa bom. Ketika melakukan penyisiran, ditemukan 23 bom. Sebuah dealer bahan peledak milik seorang Tionghoa mengambil 10-20 ton bubuk peledak kuning dari bom-bom itu.
Selain menggunakan peledak, karesidenan juga meminjam mesin pengebor dan kompresor dari Ishihara Sangyo Co. Ltd. Departemen Administrator Militer di Jakarta mengirim seorang kapten Angkatan Darat, seorang insinyur sipil yang berpengalaman dalam pembangunan terowongan. Pembangunan terowongan pun dimulai pada Oktober 1943.

“Residen Kihara antusias. Dia sering bekerja di lokasi konstruksi, menggunakan bor dan mengatur dinamit sendiri. Sampai pada satu kesempatan dia keracunan gas yang dihasilkan oleh ledakan di dalam terowongan dan harus dibawa keluar dari terowongan,” tulis Sato.

Pembangunan menghadapi kendala. Masalah dana bisa diatasi tapi mobilisasi romusha tersendat, bahkan berkurang. Selain karena berlokasi di daerah tertutup rawa dan hutan penuh binatang buas, bahkan diyakini banyak hantu dan roh jahat, dan malaria merebak. Penduduk juga mendapatkan kabar bahwa pekerjaan itu sangat berat. Beberapa romusha tinggal tulang terbungkus kulit. Banyak yang sakit, bahkan meninggal dunia.
Pangreh praja dan pejabat desa dikerahkan dan diberi kuota untuk merekrut romusha. Untuk memenuhi kuota itu, mereka melakukan “bujukan” yang bersifat memaksa. Seorang kepada desa Gurah di Tulungagung mengirim sekitar 500 orang dari desanya.

Target awal pembangunan terowongan rampung awal Juni tapi meleset jadi Juli 1944. Terowongan itu, yang dalam bahasa Jawa disebut Tumpak Oyot (Akar Gunung), diterjemahkan Nishida, penterjemah yang bekerja di Karesidenan Kediri, menjadi Neyama: ne artinya akar dan yama berarti gunung. “Di antara penduduk lokal dan para buruh yang dimobilisasi membangun terowongan itu menyebutnya Neyama romusha,” tulis Sato.

Terowongan Neyama, tulis Aiko Kurasawa, membuat petani di wilayah tetangganya terbebas dari banjir. Tapi terowongan itu membawa akibat yang tak diperhitungkan sebelumnya. Nganjuk, wilayah Kediri utara, kekurangan air.

Terowongan tersebut masih bekerja baik hingga Jepang angkat kaki dari Indonesia. Kerusakan perlahan menghampiri antara lain oleh banjir bandang pada 1955. Empat tahun kemudian, terowongan dibangun kembali sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Umum Sungai Brantas dengan biaya dari dana pampasan perang Jepang sebesar US$1.972.000. Proyek ini digarap dua perusahaan konstruksi Jepang, Nippon Koei dan Kashima Kensetsu, di bawah pengawasan Departemen Pekerjaan Umum. Pekerjaan selesai pada April 1961.

Karena Terowongan Neyama dianggap belum cukup menangani banjir di Tulungagung, terutama banjir windon setiap delapan tahun sekali, pemerintah Orde Baru membangun Neyama II yang diresmikan pada 1986.   

Neyama kini menjadi objek wisata karena pemandangan dan terowongan drainase besarnya yang melewati gunung. Namun, di balik keindahan itu, ratusan bahkan mungkin ribuan romusha menjadi korbannya.
*****
Romusha di Seberang Lautan


Berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, mereka justru berhadapan dengan kematian. “Death Railway” menjadi saksi kekejaman Jepang semasa perang.

BANJARNEGARA, Jawa Tengah, 1943. Karja Wiredja meninggalkan desanya, Matukara. Bersama ribuan romusha lainnya, Karja menjadi tenaga kerja kasar di Thailand. Di sana dia menjadi mandor pada proyek pembangunan jalan kereta api Nong Pla Duk (Thailand)-Thanbyuzayet (Burma, kini Myanmar) sepanjang 415 km. Untuk hasil kerjanya, Karja mendapat dua sen per hari.
“Waktu itu lurah bilang kita boleh ikut Nippon,” ujar Karja, seperti dikutip dari Suara Independen, 1 Agustus 1995.

Sadin, pemuda asal Kuningan, Jawa Barat, tak pernah berpikir akan pergi sejauh itu. Dia pergi ke Cirebon untuk sebuah pekerjaan yang dijanjikan tapi ternyata dia dikirim ke Thailand. Belum sampai di tujuan, para romusha ini mendapat pelayanan tidak manusiawi. “Rombongan yang semula berjumlah 1.500 orang itu hanya sisa beberapa ratus orang setelah tiba di Singapura,” tulis Aiko Kurosawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945.

“Aku tahu bahwa mereka diangkut dengan gerbong-gerbong yang tertutup rapat tanpa udara, dipadatkan seperti hewan dalam jumlah ribuan sekaligus,” tulis Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Tapi, “kondisi yang lebih menyedihkan justru menunggu mereka yang beruntung tetap hidup dalam perjalanan menuju tujuan mereka,” tulis Aiko.

Sejak Desember 1941, Thailand jatuh ke tangan Jepang. Dari Thailand, pasukan Jepang menginvasi Burma dan merebutnya dari kontrol Inggris. Untuk mempertahankan pasukannya di Burma, Jepang mengirimkan pasukan dan perbekalan ke Burma melalui laut. Tapi jalur laut rentan dari serangan Sekutu, sehingga Jepang memikirkan jalur alternatif.

Pada Juni 1942, Jepang memulai proyek pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Thailand-Burma dengan mendatangkan baja dan tenaga kerja (romusha) dari wilayah-wilayah yang didudukinya. Selain romusha dari Jawa, ada romusha dari China, Malaya, Vietnam, juga tentara Sekutu yang tertawan Jepang. Total ada lebih 100 ribu romusha Asia Tenggara dan 55 ribu tawanan Sekutu.
Para romusha mendapat bayaran setara pekerja kasar umumnya, meski tak semua sama. Diperkirakan, menurut Aiko, upah harian mereka f. 0,70-1,00. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dari ketetapan dalam “Persetujuan Pemasokan Romusha Antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut”: f. 0,50 per hari dan harus disisihkan f. 3,00 untuk dikirim kepada keluarga mereka setiap bulan. Namun, seringkali upah mereka dipotong oleh mandor atau pejabat yang mengkoordinasikannya.

Nasib romusha dalam pembangunan jalan kereta api, yang dikenal dengan istilah “Death Railway”, amat memilukan. Mandor atau serdadu Jepang berlaku kejam. Medannya berat, menembus lembah dan hutan lebat. Mereka bekerja di bawah guyuran hujan, jalanan berlumpur, atau terik menyengat. Jatah makanan minim. Fasilitas dan tenaga medis tak memadai, sementara wabah kolera, disentri, dan sebagainya berjangkit. Bahkan, seperti kesaksian Sadin, romusha yang tidak bisa bekerja lagi lantaran sakit, dikubur hidup-hidup. “Seolah-olah ada perhitungan bahwa akan lebih murah untuk memasok romusha baru daripada mengambil risiko merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit,” tulis Aiko.

Tak heran jika banyak romusha dan tawanan Sekutu yang tewas. Commonwealth War Graves Commission, organisasi nirlaba yang bergerak menyantuni para keluarga tentara Sekutu yang jadi korban Perang Dunia II, melalui situsnya www.cwgc.org, mencatat, “Sepanjang pembangunan jalur itu, kira-kira 13.000 tawanan perang tewas dan dimakamkan di sepanjang lintasan. Diperkirakan 80.000-100.000 warga sipil juga tewas dalam proyek yang sama, terutama para buruh yang dibawa dari Malaya dan Hindia Belanda, atau wajib militer di Siam (Thailand) dan Burma.”

Tak ada angka pasti berapa jumlah romusha asal Jawa yang tewas. Dalam "Notes on the Thai-Burma Railway, Part II: Asian Romusha; The Silenced Voices of History" David Boggett menulis, dari 200.000-500.000 romusha asal Jawa yang dikerahkan, hanya sekitar 70 ribu yang masih hidup ketika perang berakhir.

Banyak romusha melarikan diri. Bagi mereka yang sial, bisa saja tewas di perjalanan atau di tangan Jepang. Sedangkan yang bernasib baik bisa kembali ke daerah asal atau tempat aman ketika perang berakhir. “Sadin dan yang masih sempat melarikan diri seperti dia berpencaran di Malaya dan Thailand,” tulis Aiko. Dia akhirnya berhasil kembali ke tanah air meski harus menunggu lebih dari 10 tahun.

Sedangkan Karja sempat nikah-cerai di Thailand. Karena itu pula dia tertinggal kapal Palang Merah Internasional yang membawa para romusha kembali ke daerah asal. Karja terpaksa menetap di tanah rantau dan baru bisa pulang ke desanya 52 tahun kemudian.

*****
Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan

Sultan Hamengku Buwono IX bersama para pembesar militer Jepang di Jakarta, 1942. Sumber: Repro Buku Takhta Untuk Rakyat.

Selokan Mataram menyelamatkan banyak nyawa warga Yogyakarta.

DI MUSIM hujan, selokan –yang dipenuhi sampah– sering meluap dan menimbulkan banjir. Namun, di masa pendudukan Jepang, selokan telah menyelamatkan nyawa rakyat Yogyakarta dari kerja paksa (romusha) dan menekan kekurangan pangan.

Pada 1940, Dorodjatun ditasbihkan menjadi Sultan Hamengku Buwono IX. Tak lama kemudian Jepang datang. Di Jakarta, pada 1 Agustus 1942, dia dilantik untuk kali kedua sebagai Sultan Yogyakarta oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang. Sultan menerima wewenang dari Jepang untuk mengurus pemerintahan Kesultanan yang dinamai Kochi (Daerah Istimewa). (Baca: Membebaskan Sultan Yogya)
*****
Membebaskan Sultan Yogya

Pasukan Belanda di lapangan udara Maguwo Yogyakarta dalam agresi militer Belanda kedua, Desember 1948. Foto: KITLV.

Para perwira dan tentara Belanda meyakini serangannya ke Yogyakarta untuk membebaskan Sultan. Ternyata, mereka keliru.

PADA 4 Januari lalu diperingati Yogyakarta Kota Republik untuk mengenang pemindahan ibukota Republik Indonesia pada 4 Januari 1946 karena keadaan Jakarta tak aman dan keselamatan para pemimpin terancam oleh tentara NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).

Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus perjuangan. Namun, ancaman datang ketika Belanda melanggar gencatan senjata Perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Belanda memulai serangan dengan pesawat-pesawat pembom ke berbagai tempat terutama pangkalan militer, diikuti penerjunan 500 tentara, dan segera setelah itu pasukan Belanda memasuki kota. Selama seminggu berikutnya, pasukan Belanda berhasil merebut kota-kota penting baik di Jawa mupun Sumatra.

Menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa perlawanan Republik hanya sedikit dan penduduk menyambut mereka sebagai penyelamat. Banyak tentara Belanda juga menyebarkan kampanye ini karena yakin bahwa mereka sedang membebaskan penduduk dari penguasa yang tidak disukai.
“Slogan dari mereka yang dibawa-bawa di Yogyakarta adalah ‘Ke Jogja untuk membebaskan Sultan’,” tulis Kahin.

Karena itu, sementara para pemimpin Republik diasingkan, Sultan Hamengkubuwono IX tetap berada di Yogyakarta tetapi ruang geraknya dibatasi atau menjadi tahanan rumah.
Kendati demikian, menurut Kustiniyati Mochtar, “Pak Sultan dari Masa ke Masa,” dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan tetap dapat berkomunikasi dengan rakyatnya dengan cara fluistercampagne (dari mulut ke mulut), sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem (sebutan untuk Sultan), yang dipatuhi seluruh rakyat.

Terkesan dengan wibawa Sultan, Belanda berusaha merangkul dan mengajaknya bekerja sama. Belanda meyakinkan Sultan bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah. Belanda mengirim utusan, yaitu Residen EM Stok, Dr Berkhuis, penguasa militer Belanda di Yogyakarta Kolonel van Langan, Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II, untuk mendekati Sultan. Setelah usaha mereka tak membuahkan hasil, berikutnya dikirim seorang direktur bank Belanda yang mengumbar janji akan memberikan dana tak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, saham di Perusahaan Pelayaran Belanda (KPM) dan Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Jika mau bekerja sama, Belanda juga akan menjadikan Sultan sebagai penguasa seluruh Jawa dan Madura.

Utusan-utusan itu tak pernah bertemu langsung dengan Sultan, yang mewakilkan kepada saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, atau Pangeran Bintoro. Mereka melaporkan kapada Sultan tentang tawaran-tawaran itu.

“Reaksi Hamengku Buwono IX hanya senyum sinis,” tulis Kustiniyati. “Pada waktu itu Hamengku Buwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia.”

Menurut Kahin, dengan menolak semua tawaran itu, Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan demikian, Belanda telah melakukan kekeliruan dalam usaha menguasai Republik Indonesia karena “salah perhitungan yang fundamental mengenai watak Sultan Hemangku Buwono IX,” tulis Kahin, “Sultan dan Belanda” termuat dalam Tahta untuk Rakyat.
Para perwira dan tentara Belanda, yang mempercayai serangannya untuk membebaskan Sultan dari tiga tahun penahanan oleh para penguasa Republik, tak menyadari bahwa “sejak permulaan revolusi Sultan sudah merupakan seorang pemimpin Republik yang terkemuka,” tulis Kahin.
*****

Kewajiban yang ditetapkan Jepang membuat penduduk di sejumlah daerah menderita luar biasa. Mereka dipaksa menyetorkan bahan makanan. Mereka pergi menjadi romusha untuk membangun proyek-proyek seperti jalan, rel kereta api, lapangan terbang, dan menggali batubara. Mereka mendapatkan gaji, tapi tak sebanding dengan pekerjaannya yang berat. Alhasil, ribuan nyawa menjadi korban.

Sultan, dengan segala cara, berusaha keras untuk melindungi rakyatnya dari kekejaman fasisme Jepang. Hasilnya, massa rakyat Yogya memiliki nasib lebih mujur dibanding daerah lain.
“Mengelakkan permintaan Jepang sama sekali tak akan mungkin, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX cukup pandai ‘mengelabui’ tentara Jepang,” demikian tertulis dalam bunga rampai Takhta Untuk Rakyat, yang dihimpun Mohamad Roem dkk.

Sultan menyembunyikan statistik yang sebenarnya, baik perihal penduduk maupun hasil panen padi dan populasi ternak. Dia berhasil meyakinkan Jepang bahwa daerahnya tak mampu menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Alasannya, wilayah Yogyakarta terlalu sempit dan hanya sedikit tanah yang dapat ditanami karena sebagian selalu tergenang air pada musim hujan. Sementara wilayah lainnya kering dan tak subur untuk pertanian.

Soal daerah-daerah yang tergenang hujan, Sultan tak mengada-ada. Di Adikarto, harian Tjahaja 10 November 1942 melaporkan, hujan turun membuat kali Serang naik dan menggenangi desa-desa sekitarnya seperti Karangwuni, Sogan, Ngentak, Dukuh, dan Modinan. Banjir tersebut merusak padi di persawahan dan kerugian ditaksir sekira 1.550 rupiah. Pada Januari 1943, tulis Tjahaja 18 Januari 1943, banjir besar menghantam bendungan dan tanggul di sepanjang sungai Code, Opak, Progo, Gajah Wong, dan Kedung Semirangan. Kerugiannya ditaksir sekira 31.560 rupiah.

Agar daerahnya dapat menyetorkan hasil bumi kepada Jepang, Sultan meminta dana untuk membangun irigasi. Tak disangka, Jepang memberikan dana untuk membangun saluran dan pintu air untuk mengatur air hujan dari daerah tergenang ke laut, terutama di daerah Adikarto serta membangun saluran-saluran untuk mengalirkan air dari Kali Progo ke daerah kering yang kekurangan air di daerah Sleman ke arah timur.
Saluran dan pintu air yang dibangun tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Selokan Mataram. Dalam bahasa Jepang disebut Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro. Kedua proyek saluran ini mampu membantu wilayah Yogyakarta menekan kekurangan pangan dengan hasil pertanian, sekalipun beberapa persen disetorkan kepada Jepang.

Pembangunan Selokan Mataram juga menghindarkan warga Yogyakarta dari panggilan menjadi romusha. Sebab, pembangunan saluran sepanjang puluhan kilometer dan harus dilengkapi dengan bendungan, tanggul, jembatan, dan lain-lain memerlukan banyak tenaga. Inilah yang dipakai sebagai alasan Sultan untuk menolak perintah pengiriman penduduk untuk dijadikan romusha.
*****
Kebijakan mobilisasi Jepang dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintah. Rakyat diharapkan mempunyai pemikiran yang seragam dan melakukan konformitas (kesesuaian sikap dan perilaku dengan nilai dan kaidah yang diberlakukan Jepang), seperti yang selalu terjadi dalam rezim-rezim totaliter.
“Dengan demikian, mobilisasi di Jawa selalu dijalankan di dalam kerangka acuan yang ditetapkan oleh dan di bawah kontrol ketat pemerintah militer,” ujar Aiko dalam diskusi edisi terbaru bukunya, Politik Jepang di Jawa, di Aula The Japan Foundation, Jakarta Pusat, 15 September 2014. Buku ini diangkat dari disertasi Aiko di Universitas Cornell tahun 1988 dan kali pertama terbit dalam bahasa Indonesia pada 1993 berjudul Mobilisasi dan Kontrol.

Selain dengan tangan besi militer, kontrol masyarakat juga dilakukan dengan propaganda, seperti melalui gambar hidup (film) dan menara bernyanyi (radio). Propaganda ini, kata sejarawan Didi Kwartanada, mengutip George Kanahele, pionir kajian pendudukan Jepang di Indonesia asal Hawaii, untuk “winning the hearts and minds of the people.”

Melalui layar lebar itu, kata Aiko, mungkin penduduk baru kali pertama mengenal Sukarno. “Semboyan Bung Karno seperti ‘mari kita berjuang bersama-sama Dai Nippon sampai mencapai kemenangan terakhir’ dan ‘Amerika kita setrika, Inggris kita linggis’ menarik hati penduduk desa, dan film-film semacam itu mempunyai pengaruh tertentu untuk mencegah meletusnya perasaan anti-Jepang,” kata Aiko. (Baca: Geraf [Gerakan Rakyat Anti Fasis] Bergerak dan Djojobojo Menentang Jepang)

*****
ANTI FASIS,
Geraf Bergerak


Dengan dukungan dana dari Belanda, Amir Sjarifuddin menyusun organisasi bawah tanah yang menentang fasisme Jepang.

BELANDA menyadari keunggulan Jepang. Kekalahan sudah pasti, namun Belanda tak ingin menyerah. Belanda mencari cara agar tetap bisa melawan Jepang. Charles van der Plass, mantan Gubernur Jawa Timur, kemudian ditugasi untuk membangun sebuah gerakan bawah tanah.

Namun van der Plass kurang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. P.J.A. Idenburg, mantan Sekretaris Kabinet Gubernur Jenderal, mengusulkan agar memilih Amir Sjarifuddin, pegawai Departemen Ekonomi di Batavia yang jadi pendiri Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Pembentukan Gerindo pada Mei 1937 merupakan respons terhadap bahaya fasisme yang mengancam demokrasi. Gerindo ibarat partai pelarian aktivis-aktivis dari semua partai yang dilarang pemerintah. Sesuai kebijakan Komintern (Komunis Internasional), tulis Wilson dalam Orang dan Partai Nazi di Indonesia, “Gerindo membuka diri kepada semua kekuatan sosial politik, termasuk kerja sama dengan pemerintah kolonial untuk menggalang kekuatan massa menyambut bahaya fasisme.”

Pada 1939 Gerindo, berkoalisi dengan Parindra dan PSII, membentuk Gabungan Politik Indonesia (Gapi), yang menawarkan kerja sama kepada pemerintah Belanda agar membentuk milisi yang akan menghadapi fasisme. “Tampaknya tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menanggapi usulan Gapi,” tulis Wilson, “dan Ratu menyatakan penolakannya.” Meski demikian, Gerindo tetap membentuk Barisan Pemuda Gerindo yang melakukan latihan militer.

Pada 1940, ketika ditangkap karena aktivitasnya dalam PKI ilegal, Amir ditawari pilihan: dibuang ke gulag Digul atau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Amir memilih yang kedua. Belanda memberikan uang sebanyak 25.000 gulden untuk menyusun jaringan bawah tanahnya. Amir mencari hubungan kerjasama dengan Pamudji, melalui Atmadji, yang telah dikenalnya dengan baik sebagai sesama anggota Gerindo Surabaya.

Pada Mei 1940, sebuah pertemuan dilakukan di Rawamangun, Jakarta. Hadir dalam pertemuan ini dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Pamudji (PKI ilegal), Subekti dan Atmaji (Gerindo), Sujoko (Barisan Rakyat Solo), Armunanto (Persatuan Sopir Indonesia, pernah kontak dengan PKI 1935 yang didirikan oleh Musso), Widarta (Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia, seorang komunis), Kiai Haji Zaenal Mustofa (pimpinan pondok pesantren di Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat), serta Liem Koen Hian (dekat dengan grup Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat yang merupakan sel PKI di kalangan keturunan Tionghoa). “Pertemuan ini kemudian memunculkan organisasi Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf),” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Keberadaan Geraf sejalan dengan taktik front rakyat.

Menjelang invasi Jepang, pertemuan kedua di rumah Tjipto Mangunkusumo di Sukabumi berhasil membentuk pimpinan Geraf yang terdiri atas Amir, Pamudji, Sukajat, Armunanto, dan Widarta. Sedangkan Tjipto sebagai penasihat. Setelah itu terbentuklah cabang-cabang Geraf di Jakarta, Jawa Barat, dan hampir di setiap kota di Jawa. Basis utamanya berada di Surabaya. “Gerakan bawah tanah Amir ini adalah gerakan bawah tanah yang terbesar di antara gerakan bawah tanah lainnya,” tulis Frederiek Djara Wellem dalam Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Namun, menurut Gie, tak jelas apakah Geraf merupakan organisasi baru yang dibuat Amir atau hanya salah satu sel yang dibinanya. Sampai seberapa jauh kebenaran aktivitas Geraf juga tak dapat dicek karena sumber tentang Geraf hanya berasal dari Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Sidik menulis buku tersebut semata untuk propaganda politis daripada sebuah usaha menuliskan sejarah. “Hatta sendiri,” tulis Gie, “tidak pernah mendengar tentang Geraf dan tidak percaya jika dr. Tjipto yang dikenalnya secara baik mau bergabung dalam gerakan komunis.” Sepertinya Hatta yang kelak akan menyelamatkan Amir menganggap Amir bergerak dalam PKI, bukan Geraf. Terlepas dari itu, Jepang telah menetapkan Geraf sebagai kelompok berbahaya dan harus dilumpuhkan.

Segera setelah menduduki Indonesia, Jepang mengambil-alih aparatur pemerintah Belanda yang terdiri dari orang Indonesia. Orang-orang yang bekerja sebagai mata-mata dan tergabung dalam polisi rahasia Belanda (PID), tulis Slamet Muljana, juga ikut ditarik untuk membantu kelancaran pemerintahan baru. Dalam waktu tak terlalu lama, Jepang memiliki gambaran jelas tentang berbagai aliran di Indonesia dan bagaimana sikap mereka terhadap Jepang. Gerakan bawah tanah yang mengadakan kontak dengan pemerintah Hindia Belanda pun terbongkar. Penangkapan dimulai.

“Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi antifasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat,” tulis Jacques Leclerc dalam Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi.

Amir sendiri menjadi buronan utama polisi rahasi Jepang (kempeitai). Dia, tulis Wellem, hampir tak bisa dikenali lagi karena memelihara janggut dan kumis. Namun akhirnya dia tertangkap dan dimasukkan ke penjara, dari Kalisosok Surabaya, Salemba, Glodok, Cipinang,   Sukamiskin Bandung, Salemba, dan kembali lagi ke Kalisosok. Ini ditempuh Jepang untuk mencegah pendukung Amir meloloskannya dari penjara. “Dalam tahanan,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2,  “Amir disiksa di luar perikemanusiaan. Badannya kurus, kering, dan tinggal tulang semata.” Amir dikenai hukuman mati, meski kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Sel Geraf yang dipimpin Kiai Haji Zaenal Mustofa juga bernasib buruk. Kiai Mustofa dan santrinya tewas dalam perlawanan bersenjata di Singaparna, Jawa Barat, karena menentang penghormatan kepada matahari (seikerei) dan Kaisar Jepang. Subekti yang memimpin sel Geraf Indramayu, Jawa Barat, juga tewas dalam bentrokan dengan Jepang.

Sel Geraf yang masih bergerak adalah yang dipimpin Widarta dan Hendromartono, seorang pemimpin buruh. Widarta, sekretaris Geraf yang juga generasi ketiga yang memimpin PKI, lolos dari penangkapan. Ironisnya, Widarta yang terlibat dalam revolusi Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) antara Oktober sampai Desember 1945, kemudian dieksekusi mati oleh mahkamah PKI yang dipimpin Amir Sjarifuddin.
Sepertinya keraguan Gie terhadap Geraf mendapatkan jawabannya. Dalam Madiun 1948: PKI Bergerak, Harry Poeze menyebut Geraf sebagai “organisasi yang tak berbentuk”.
 
*****
Selain propaganda melalui media massa, Jepang melakukan indoktrinasi melalui pembentukan wadah semimiliter (seinendan, keibodan) dan organisasi massa Jawa Hokokai; pengenalan bahasa Jepang; menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar di sekolah; dan melarang sekolah-sekolah Belanda. Selain itu, kegiatan di luar sekolah sebagai bagian dari indoktrinasi adalah Kursus Kiai yang disponsori Kantor Urusan Agama (Shumubu).

“Terkait indoktrinasi kiai pedesaan, ini mengingatkan kita pada ‘mobilisasi’ kaum rohaniawan untuk tujuan-tujuan politik yang masih berlangsung hingga hari ini,” ujar Didi.

Akibat tekanan ekonomi yang buruk dan kemarahan terhadap para pemimpin desa yang dilematis antara kepentingan rakyat atau tuntutan pemerintah, muncullah pemberontakan di beberapa daerah, diawali oleh Pemberontakan Pesantren Sukamanah di Tasikmalaya.

Menurut Didi, dalam buku Aiko kurang dibahas soal ianfu (wanita penghibur) karena isu ini memang baru muncul pada 1990-an. Begitu pula peran orang Tionghoa di pedesaan. Padahal mereka memainkan peranan cukup penting dalam perekonomian desa, selaku pemilik penggilingan beras, juragan hasil bumi, maupun pembunga uang (mindering).

Gelombang Sejarah Radio

Radio Philips Tombstone produksi Belanda 1930-1940-an.

Radio hadir di negeri ini hampir seabad lalu.
OLEH: WENRI WANHAR

SETIAP tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio karena pada tanggal itu, 69 tahun lalu, kali pertama Radio Republik Indonesia (RRI) mengudara. Radio tersebut hasil merebut kantor radio Jepang (Hosokyoku). Stasiun RRI yang pertama di Jawa ada delapan buah, yakni bekas Hosokyoku, di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.

Pada masa revolusi (1945-1949), selain RRI, dikenal juga radio-radio perjuangan. Di antaranya Radio Pemberontakan di Surabaya, Malang, dan Solo, di mana Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan; Radio Internasional Indonesia di Kediri; Gelora Pemuda di Madiun; Radio Militer dan Radio Indonesia Raya di Yogyakarta; Radio Perjuangan di Semarang; dan Rimba Raya di Aceh.

Sejarah radio di negeri ini sebetulnya sudah dimulai sejak 91 tahun silam. Gubernur Jenderal de Fock meresmikan pemancar radio Malabar di Bandung pada 5 Mei 1923. Inilah stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. (Baca: Malabar Bubar ditangan Laskar)
*****
Malabar Bubar di Tangan Laskar

Radio Malabar, 1915. Foto: KITLV.

Simbol paling ampuh radio kolonial. Hancur-lebur di tangan Republiken.
OLEH: WENRI WANHAR

BANDUNG, 5 Mei 1923. Pagi-pagi sekali Gubernur Jenderal de Fock beserta rombongan keluar dari penginapan di hotel Preanger. Iring-iringan kendaraan bergerak melintasi Dayeuhkolot ke arah perbukitan Bandung Selatan. Setelah melampaui Ciwidey, sampailah mereka di kaki Gunung Malabar.

Hari itu de Fock meresmikan pemancar radio Malabar, “stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda,” tulis Haryadi Suadi dalam Riwayat Radio Republik Indonesia.
Pemancar Malabar dibangun Cornelius Johannes de Groot (1883-1927), alumnus teknik listrik dan rekayasa mekanis Delftse Polytechnische School, Karlsruhe, Jerman.

“Dalam disertasi yang berjudul Radiotelegrafie In The Tropen, Groot mengemukakan perlunya hubungan radio secara langsung antara Nederland dan Hindia Belanda. Dia yakin, secara teknis hal itu bisa dilakukan,” tulis buku The Year-book of Wireless Telegraphy & Telephony terbitan Marconi Press Agency Limited, 1920.

Pria bertubuh tambun itulah yang memimpin Departemen Pos Telepon dan Telegraph (PTT) Hindia Belanda melakukan serangkaian percobaan komunikasi radio untuk menghubungkan Hindia Belanda dengan Belanda.
Akhir 1916, Groot mulai mendirikan pemancar di kaki Gunung Malabar. Perangkat teknologinya dipesan dari perusahaan elektronik Telefunken, Jerman. Medan yang berat tak menyurutkan langkahnya. Peralatan berat berupa besi-besi dan mesin-mesin diangkut lewat jalan kecil, menanjak dan berliku ke lokasi pemasangan antena yang terjal.

Berbeda dari pemasangan antena pada umumnya, Groot merentangkan antena pada dua sisi lereng gunung sepanjang kurang lebih duaribu meter. Ketinggian rentangan kabel rata-rata 250-750 meter di atas permukaan laut, atau rata-rata 350 meter di atas permukaan tanah.

Perjuangan Groot tak sia-sia. Dia berhasil menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. Ini menandai titik tolak kemajuan dunia telekomunikasi penyiaran. Sejawaran Rudolf Mrazek, penulis buku Engineers of Happy Land, menyebut pemancar Malabar di pegunungan Jawa Barat adalah titik fokus alamiah dan simbol paling ampuh radio Hindia Belanda.

Groot meningal dunia pada 1 Agustus 1927. Namanya diabadikan oleh Walikota Bandung B. Coops sebagai nama jalan di kota itu: Dr de Grootweg (kini Jalan Siliwangi).
Kini, Groot dan pemancar Malabar hanya tinggal cerita. Kompleks stasiun radio Malabar yang megah itu hancur-lebur saat meletus peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946. “Saya yang menghancurkan,” kata Entang Muchtar, dikutip Her Suganda dalam Jendela Bandung.

Entang bersama tiga kawannya menghancurkan stasiun radio Malabar dengan dinamit setelah mendapat perintah dari Mayor Daan Yahya. “Bumi seakan terguncang dan suara ledakan sangat memekakkan telinga. Ledakan pertama disusul ledakan-ledakan berikutnya sehingga seluruh bangunan luluh-lantak.”

*****
Empat tahun kemudian, Belanda melakukan percobaan siaran radio gelombang pendek (shortwave atau SW) melalui pemancar PCJ dari laboratorium Philips di Eindhoven ke Hindia Belanda. Merujuk situs Radio Nederland Wereldomroep, sewaktu melakukan siaran percobaan itu, almanak bertanggal 11 Maret 1927.
Untuk memuluskan ujicoba tersebut, beberapa hari sebelumnya pihak Belanda telah mengantar sebuah pesawat radio tombstone merek Philips seri 703 A kepada Sri Mangkunegara VII, penguasa Pura Mangkunegaran. Penguasa Keraton Solo itu mempercayakan Ir Sarsito melayani radio itu.

Sejumlah orang berkumpul di Pura Mangkunegaran, Surakarta. Sekian pasang mata tertuju pada Sarsito yang nampak hati-hati, putar-putar tuning mencari baris gelombang yang selaras. Terdengar suara bersuit-suit sangat keras. Terkadang menggelegar seperti geluduk. Tapi lebih sering, “menggero sebagai mengaumnya harimau. Maka terkejutlah sekalian pendengar karena ketakutan,” tulis SRV Gedenkboek, 1936.

Begitu Sarsito menemukan gelombang yang tepat, terdengar suara orang berkata-kata. Sekali pun hanya berbisik-bisik, sekalian pendengar senang dan tertawa. Ketika mendengar suara musik yang tiada ketahuan siapa yang memainkannya, tercenganglah mereka. Itulah kali pertama orang-orang di Pura Mangkunegaran melihat dan mendengar radio.

Dua puluh hari kemudian, Ratu Wilhelmina menyapa rakyat di wilayah koloninya dari laboratorium radio Philips. Siaran internasional yang dipancarkan secara live pada 31 Maret 1927 itu berhasil ditangkap di Australia, Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara, termasuk di Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Sarsito, dalam Triwindoe Mangkunegoro VII Gedenkboek (1939) menceritakan, malam  itu orang-orang di Pura Mangkunegaran berkumpul di Prangwedanan bersama Mangkunegara VII dan permaisuri Gusti Ratu Timur. Mereka mendengarkan siaran langsung pidato Ratu Wilhelmina. “Itu adalah suatu saat yang tak terlupakan,” kenang Sarsito.

Setelah pidato live Sang Ratu, selain bertalian dengan kepentingan politik kolonial, Philips melihat prospek bisnis. Semenjak itu, “Philips langsung memproduksi radio secara massal,” kata Didi Sumarsidi, ketua komunitas pecinta radio kuno Padmaditya, kepada Historia di sela pembukaan pameran radio lama bertajuk Layang Swara, di Bentara Budaya Jakarta, 24 April lalu. 

Situs resmi Philips melansir, mereka mulai serius memproduksi radio sejak 1927. Hingga 1932, Philips telah menjual satu juta radio dan langsung menjelma jadi produsen radio terbesar di dunia. Bahkan Philips mendirikan pabrik di Hindia Belanda.

Terkait Berita: