Antara abad ke-11 hingga 13 para elit yahudi berhasil menancapkan
kekuasaan yang nyaris mutlak di seluruh Eropa dengan menggunakan satu
sekte agama bentukan mereka, Ksatria Templar. Dengan kekayaan yang
didapatkannya dari penjarahan di Jerussalem setelah mendompleng
ekspedisi Perang Salib, mereka berhasil mempengaruhi Sri Paus untuk
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada mereka, yaitu hak kepemilikan
tanah di sebagian besar Eropa. Namun mereka belum menguasai sepenuhnya
kekuasaan para raja dan bangsawan. Maka ketika Raja Perancis merasa
bosan berada di bawah kekuasaan para Templar dan harus membayar pajak
tanah setiap tahun kepada mereka, ia pun memberontak. Aksinya mendapat
dukungan para raja dan bangsawan Eropa sehingga dengan relatif mudah
berhasil menumbangkan kekuasaan para Templar. Sebaliknya bagi para
Templar, mereka menjadi korban pembantaian dan yang selamat menjadi
buronan dimana-mana.
Maka untuk selanjutnya para elit yahudi itu,
setelah menguasai sumber-sumber kekayaan, memusatkan perhatian pada
pengambil-alihan kekuasaan secara sistematis dan menyeluruh yang
selanjutnya disebut sebagai revolusi yang sekaligus menghancurkan 2
kekuatan penghalang mereka: raja-raja bangsawan dan gereja. Dan
percobaan pertama yang ternyata sukses, adalah di Inggris. Terlepas dari
itu, pilihan Inggris sebagai sasaran pertama adalah dendam karena raja
Inggris telah mengusir orang-orang yahudi pada tahun 1290.
Revolusi
Inggris (biasa disebut Perang Sipil Inggris) terjadi pada pertengahan
abad 17 yang ditandai dengan satu peristiwa tragis, yaitu dihukum
matinya Raja Charles I. Karena keberhasilannya, revolusi ini kemudian
menjadi model dari beberapa revolusi sejenis yang melanda seluruh
daratan Eropa dengan satu tujuan: menumbangkan kekuasaan raja-raja
aristokrat dengan pemimpin-pemimpin tiran yang merupakan boneka para
elit penguasa yahudi.
"Adalah sudah menjadi ketentuan takdir
bahwa Inggris harus menjalani revolusi pertama dari berbagai revolusi
yang belum selesai hingga saat ini.”
Itu adalah kalimat yang tertulis pada buku “
Life of Charles I”
tulisan Isaac Disraeli yang diterbitkan pertama kali tahun 1851. Isacc
adalah ayah dari Benjamin Disraeli, anggota parlemen pertama dan perdana
menteri pertama Inggris yang berdarah yahudi. Ia berhasil menulis karya
yang sangat mengagumkan dengan detil yang sangat lengkap tentang satu
peristiwa paling besar yang pernah terjadi di Inggris. Disraeli mengaku
tulisannya berdasarkan bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Melchior de
Salom, duta besar Perancis untuk Inggris selama terjadinya revolusi.
Revolusi
Inggris dibuka dengan gambaran tentang kerajaan Inggris sebagai negara
kesatuan antara raja, gereja, negara, para bangsawan dan rakyat yang
disatukan oleh tradisi kekristenan yang kuat. Di sisi lain mulai muncul
gerakan baru bernama Calvinisme yang pertama kali dimunculkan oleh warga
negara Swiss bernama Calvin (dalam bahasa Perancis dieja sebagai Cauin,
kemungkinan berasal dari nama asli Cohen yang berarti juga orang
yahudi).
Calvin adalah salah seorang tokoh satu gerakan yang oleh buku-buku
sejarah disebut sebagai “Reformasi” (saya lebih suka menyebutnya sebagai
gerakan “Destruksi” berdasarkan motif di belakangnya yang saya ketahui)
yang bertujuan “memurnikan” ajaran Kristen. Dalam upayanya itu Calvin
mengorganisir sejumlah besar orator yang bertugas menciptakan
perselisihan di tengah-tengah masyarakat tentang berbagai isu agama,
tidak terkecuali di negeri Inggris Raya yang mencakup juga Irlandia dan
Skotlandia.
Isu perbedaan yang mereka ciptakan adalah kesucian
hari Sabbath, hari suci kaum yahudi yang jatuh setiap hari Sabtu dimana
kaum yahudi dilarang untuk melakukan aktifitas. Sebagian rakyat Inggris
yang taat pada keyakinan Kristen (puritan) percaya dengan keyakinan yang
juga tercantum dalam kita Injil itu. Namun sebagian lainnya yang
“moderat” menolaknya. Maka rakyat Inggris-un terbelah secara tajam oleh
satu isu yang sebelumnya tidak pernah menjadi persoalan, yaitu hari
Sabbath. Kelompok pertama yang terdiri dari kaum puritan berdiri di
belakang sebagian anggota parlemen yang dipimpin oleh Oliver Cromwell,
sedang kelompok kedua berdiri di belakang para bangsawan yang dipimpin
oleh Raja Charles I.
Perlemen yang tadinya selalu menuruti semua
perintah raja sebagai pengemban kekuasaan tertinggi, mulai berani
menentang kebijakan-kebijakan raja seperti pernikahannya dengan
Henrietta Maria dari Perancis, pemungutan pajak untuk membiayai perang
di daratan Eropa serta pengangkatan George Villiers sebagai panglima
perang. Tidak berhenti di situ, pada tahun 1627 parlemen bahkan berani
meng-impeach raja, satu preseden awal sepanjang sejarah.
Tokoh-tokoh penting pendukung raja yang disebut juga sebagai kaum
“royalis” adalah Buckingham, Strafford dan Laud. Buckingham, adalah
sahabat raja terdahulu James I, terbunuh oleh satu konspirasi misterius.
Earl of Strafford, seorang bangsawan yang awalnya adalah pendukung
oposisi akhirnya bergabung ke kubu pendukung raja setelah menyadari
motif jahat di belakang kaum oposisi.
Dari waktu ke waktu
permusuhan parlemen semakin kuat terhadap raja. Pada satu saat mereka
bahkan menghukum mati Earl of Strafford dengan tuduhan peng¬khia¬natan.
Raja pun menyebut mereka sebagai “musuh” dengan pimpinan yang dilihatnya
adalah Earl of Bedford. Earl of Bedford adalah keturunan dari seorang
yahudi pedagang anggur bernama Roussel.
Tidak menyadari konspirasi yang terjadi di balik
itu semua, raja dan semua orang mengalami kebingungan, dan ketakutan.
Tiba-tiba saja semua orang saling membenci dan bermusuhan. Orang-orang
yang tadinya sangat menghormati raja dan pendeta, mulai berani menghujat
mereka. Mereka tidak tahu siapa musuh dan siapa kawan yang sebenarnya,
kepada siapa bisa mendapatkan dukungan dan pertolongan. Bahkan
tokoh-tokoh besar dan orang-orang berpengaruh pun bisa tidak berdaya
untuk menyelamatkan dirinya, termasuk Earld of Stafford dan Laud, sang
Uskup Agung pendukung raja yang juga dihukum mati.
Pembunuhan
Earl of Stafford menjadi salah satu drama politik terheboh di Inggris.
Awalnya parlemen mengajukan petisi untuk mengadili Stafford dengan
tuduhan pengkhianatan setelah kegagalannya menjalankan misi kenegaraan
di Skotlandia. Untuk memperkuat dakwaan, anggota parlemen anti-raja
dipimpin Pym mengajukan bukti berupa kesaksian putra anggota Dewan
Penasihat Raja (King’s Privy Council) bernama Henry Vane the Elder.
Henry Vane membantah kesaksian tersebut, namun putranya, Henry Vane the
Younger yang telah disuap, mengkhianati ayahnya dan Earl of Stafford
yang tidak lain adalah sahabat ayahnya, dengan menyerahkan kopi nota
rahasia milik ayahnya yang menjadi bukti dakwaan.
Atas bukti tersebut anggota parlemen anti-raja mengajukan
Bill of Attainder,
yang menyatakan bahwa Stafford bersalah dan dijatuhi hukuman mati.
Berbeda dengan pengadilan umumnya Bill of Attainder tidak membutuhkan
bukti-bukti, namun tetap mengharuskan persetujuan raja untuk diputuskan.
Charles menolak, sementara para bangsawan anggota parlemen tinggi
(House of Lord) juga keberatan dengan beratnya hukuman yang dijatuhkan.
Di sisi lain tentara yang loyal pada raja juga mengadakan gerakan
dukungan pada Stafford. Namun pada tgl 21 April parlemen tetap
meloloskan hukuman itu dengan dukungan 204 suara melawan 59 yang
menentang. Charles tetap menolak sehingga hukuman tetap tidak berlaku,
namun karena khawatir dengan keselamatan keluarganya, ia akhirnya
menyetujui. Maka pada tgl 10 Mei 1641 Earl of Stafford dihukum pancung.
Raja,
para pendukung-pendukungnya dan seluruh rakyat Inggris sama sekali
tidak menyangka bahwa semua kekacauan itu adalah pekerjaan konspirasi
yahudi, karena semua orang yahudi sudah diusir dari Inggris pada tahun
1290 oleh raja Edward Longshanks akibat praktik-praktik ritual berdarah
mereka.
Dengan pembunuhan atas Sir Stafford, para musuh raja yang
sebelumnya beroperasi secara diam-diam, kini telah membuka kedoknya.
Selanjutnya mereka memusatkan perhatian pada pengambil-alihan ibukota
City of London. Dan tiba-tiba saja di London muncul gerombolan
bersenjata yang menamakan diri sebagai kaum "operatives", padanan kata
dari "workers" atau “buruh”.
Tentang gerakan “buruh” ini
Disraeli menulis: "Mereka disebut-sebut berjumlah sekitar sepuluh ribu
orang. Dengan senjata-senjata berat sebagaimana biasa digunakan dalam
pertempuran, mereka adalah milisi pemberontak yang beroperasi sepanjang
tahun, yang bisa diandalkan untuk melakukan penghancuran dengan biaya
rendah”.
Harus diingat bahwa kala itu ide tentang pemberontakan
rakyat atau revolusi tidak pernah terpikirkan oleh seluruh rakyat di
Eropa dan belahan dunia lainnya yang selama ribuan tahun menganggap raja
adalah wakil Tuhan di bumi. Peperangan-peperangan yang terjadi selalu
antara para raja dan penguasa, tidak pernah melibatkan rakyat jelata.
Maka ide seperti itu tentu hanya ada di pikiran orang-orang yang telah
merencanakannya sejak lama, siapa lagi kalau bukan orang-orang yahudi
yang memang tidak memiliki raja dan negara.
Gerombolan-gerombolan bersenjata mengintimidasi seluruh rakyat kota
London, tak terkecuali parlemen dan istana kerajaan. Mereka inilah yang
kemudian menjadi model pembentukan gerombolan "Sacred Bands" dan
"Marseillais" dalam Revolusi Perancis tahun 1789, atau “red army” dalam
Revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia.
Isaac Disraeli berulangkali mengaitkan Revolusi Inggris dengan Revolusi Perancis, terutama saat menyebut peran pers.
“Peredaran
pamflet dan leaflet tidak lagi bisa ditahan. Antara tahun 1640 hingga
1660, sekitar 30.000 lembar telah dicetak.” Dan kemudian, “.. melimpah
dalam jumlah dan kejam dalam nafsu.” Dan selanjutnya:
“Tangan-tangan
di belakang layar telah memainkan perannya. Mengumumkan daftar
orang-orang yang dicap sebagai 'Straffordians” atau “pengkhianat
negara”.
Disraeli tidak menyebutkan pemilik tangan di balik layar
itu meski ia sebenarnya tahu karena merupakan bagian dari mereka. Namun
kini kita telah mengetahui siapa mereka. Beberapa buku Jewish
Encyclopedia atau The Jews and Modern Capitalism karya Sombart dengan
tepat menyebutkan siapa sebenarnya Olliver Cromwell. Ia diketahui
menjalin hubungan dekat dengan para elit yahudi di Belanda. Ia mendapat
banyak uang dari Manasseh Ben Israel. Sementara Fernandez Carvajal yang
berjuluk "The Great Jew" merupakan kontraktor utama dari New Model
Army, tentaranya Cromwell.
Dalam The Jews in England tertulis:
"Pada
tahun 1643 sejumlah besar orang-orang yahudi mendarat di Inggris.
Penampungan utama mereka adalah rumah dubes Portugis De Souza, seorang
Marano (yahudi rahasia). Figur penting di antara mereka adalah Fernandez
Carvajal, penyandang dana besar dan kontraktor tentara."
Pada
bulan Januari 1642 kerusuhan pun meledak setelah raja berupaya
menangkap 5 anggota parlemen yang dianggap sebagai provokator. Tentara
misterius "Operatives" pun bergerak sementara ribuan pamflet mengecam
raja ditebarkan dengan seruan: “ke tenda-tendamu, O Israel.” Ke lima
anggota parlemen dengan perlindungan massa bersenjata kembali ke gedung
parlemen, sementara Charles I dan keluarganya harus meninggalkan istana
Palace of Whitehall karena kekhawatiran keamanan.
Setelah
melalui beberapa pertempuran sengit antara New Model Army dengan pasukan
pendukung raja, pada tahun 1647 para pendukung raja menjadi pihak yang
terkalahkan dan raja secara efektif menjadi tahanan rumah di Holmby
House.
Pada tgl 3 September 1921 Plain English, majalah mingguan
yang diterbitkan North British Publishing Co. dengan editor Lord Alfred
Douglas, mempublikasikan korespondensi surat yang ditulis antara bulan
Juni dan Juli 1647 antara Oliver Cromwell dengan Ebenezer Pratt,
pimpinan sinagog Mulheim, Belanda.
16th June, 1647
Dari O.C. (Oliver Cromwell), Kepada Ebenezer Pratt.
Sebagai
imbalan atas bantuan keuangan, orang-orang yahudi akan dijinkan untuk
kembali ke Inggris. Namun hal ini tidak akan pernah terwujud selama
Charles masih hidup.
Charles tidak bisa dihukum mati tanpa
pengadilan sementara alasan-alasan yang ada kurang mendukung (untuk
mengadilinya). Untuk itu ada ide untuk membunuh Charles.Sebagai balasannya adalah sbb:
12 Juli 1647
Kepada OC dari E. Pratt
Bantuan
keuangan akan segera dikirimkan setelah Charles disingkirkan dan
orang-orang yahudi diijinkan kembali. Pembunuhan terlalu berbahaya.
Charles harus diberi kesempatan untuk melarikan diri. Penangkapannya
kembali akan menjadi alasan kuat untuk mengadilinya dan menghukumnya
mati. Dengan informasi ini kini kita mengetahui dengan
sejelas-jelasnya tentang konspirasi pembunuhan Raja Charles I, lengkap
dengan pelaku serta motifnya. Salah satu kejahatan konspirasi terbesar
dalam senjarah dunia.
Pada tgl 4 Juni 1647, Cornet Joyce
memimpin 500 pasu¬kan revolusioner menyerbu Holmby House tempat kediaman
raja dan menangkapnya. Menurut Disraeli aksi tersebut dilakukan atas
perintah langsung Cromwell tanpa sepengetahuan pembantu-pembantu
dekatnya sekalipun. Dalam bukunya Disrael menulis:
“Aksi tersebut
dirancang secara rahasia pada tgl 30 Mei di rumah Cromwell, meski
kemudian Cromwell berpura-pura tidak mengetahui rencana itu.”
Aksi tersebut bersamaan masanya dengan munculnya perkembangan baru
yang terjadi di kalangan tentara New Model Army, yaitu gerakan
'Levelers" dan "Rationalists." Doktrin mereka sama dengan kaum
revolusioner Revolusi Perancis 1,5 abad kemudian, pada dasarnya adalah
seperti apa yang kita ketahui sebagai komunisme. Selama masa inilah para
revolusioner Inggris 4 kali menyerbu parlemen, menahan dan
mengintimidasi anggota-anggota parlemen pro-raja hingga di sana hanya
tersisa 50 anggota parlemen revolusioner yang selanjutnya disebut Rump
Parliament yang nantinya akan ditugasakan untuk menjatuhkan hukuman mati
terhadap raja.
Selanjutnya, sesuai rencana, diskenariokan raja
melarikan diri ke Pulau Wight pada tgl 12 November. Untuk peristiwa ini
Disraeli menulis:
“Para sejarahwan kontemporer telah sepakat bahwa pelarian Raja
Charles dari Holmby ke Pulau Wight, merupakan tipu daya Cromwell."
Kecuali
langkah-langkah tentara pendukung raja yang membela raja, para
bangsawan dan rakyat Inggris yang tidak mengetahui musuf mereka
sebenarnya serta motif di balik semua kekacauan itu, membuat musuh-musuh
raja leluasa menja¬lankan rencana-rencananya. Meski demikian raja masih
sulit untuk dikalahkan. Dalam kondisi “tertawan” parlemen bahkan
memutuskan untuk menyudahi permusuhan dengan raja. Pada tgl 5 December
1648, setelah berunding semalaman, parlemen menyatakan bahwa “Konsesi
yang diberikan raja telah cukup untuk dilakuannya penyelesaian."
Namun
kondisi seperti itu tentu tidak sesuai keinginan Cromwell yang
menginginkan raja dihukum mati agar mendapatkan kucuran dana dari
orang-orang yahudi internasional. Maka ia menyerang kembali. Pada tgl 6
December 1648 malam, atas perintah Cromwell, Kolonel Pryde dan anak
buanya menyerang parlemen dalam apa yang kemudian dicatat dalam sejarah
sebagai "Pryde's Purge" untuk menyingkirkan semua anggota parlemen
tersisa yang masih bersimpati pada raja. Pada tgl 4 Januari 1649
sebanyak 50 anggota parlemen anti-raja yang disebut Rump Parliement
mengangkat diri sebagai “otoritas tertinggi”. Pada tgl 9 Januari 1649
pengadilan terhadap Charles dimulai. Seorang anggota parlemen Algernon
Sidney mengingatkan pada Cromwell:
"Pertama, Raja tidak bisa diadili oleh pengadilan manapun. Kedua, tidak ada orang yang bisa diadili oleh pengadilan ini."
Dalam bukunya Charles and Cromwell Hugh Ross Williamson menulis:
“Tidak ada dasar hukum yang bisa ditemukan untuk menjatuhkan tuduhan
hingga akhirnya masalah ini diputuskan oleh orang asing (alien) bernama
Isaac Dorislaus."
Isaac Dorislaus adalah orang yang sama dengan
alien lainnya, Carvajal dan Manasseh Ben Israel serta orang-orang
yahudi lainnya yang membayar Cromwell dan tentaranya.
Maka
keputusanpun diambil. Raja Charles I dihukum pancung dengan tuduhan
“tiran, pengkhianat, pembunuh dan musuh masyaraka”. Eksekusi dilakukan
di depan gedung Banqueting House, Palace of Whitehall pada tgl 30
Januari 1649.
Setelah itu orang-orang yahudi pun diijinkan kembali untuk datang
dan tinggal di Inggris. Namun undang-undang yang menetapkan hal itu,
yang sekaligus juga menganulir undang-undang pengusiran yahudi yang
ditetapkan Raja Edward, tidak pernah benar-benar disyahkan karena
mendapat tantangan keras dari Dewan Negara yang menganggap orang-orang
yahudi sebagai ancaman serius terhadap negara dan agama.
Pembunuhan
Charles I menghentakkan seluruh Eropa dan tiba-tiba saja timbul
penyesalan pada sebagian besar rakyat Inggris. Mereka merasa asing
dengan kondisi baru dimana tidak ada lagi raja dan Cromwell dan
pendukung-pendukungnya mengangkat diri sebagai pemimpin Inggris dengan
gelar “Pelindung”. Mereka juga menyesali terjadinya perang saudara
antara bangsa Inggris sendiri yang menewaskan ratusan ribu jiwa,
sebagian menjadi korban tindakan barbar tentara Cromwell, para
“operatives” yang terdiri dari kriminal yahudi yang didatangkan dari
luar Inggris.
Rakyat Irlandia yang seluruhnya menjadi pendukung
Charles misalnya, tidak akan pernah melupakan peristiwa Pembantaian
Drogheda, dimana sebanyak 3.500 orang, termasuk pendeta-pendeta Katholik
dan rakyat sipil, dibantai oleh pasukan Cromwell.
Maka ketika
putra Charles I, Charles II, memberontak, rakyat Inggris pun
mendukungnya. Pada tgl 23 Mei 1660 Charles II kembali dari pengasingan
dan pada tgl 29 Mei 1660 rakyat Inggris mengangkatnya sebagai raja
Inggris. Makam Cromwell dan pendukung-pendukung setianya dibongkar dan
tulang belulangnya digantung kemudian dibakar. Namun orang-orang yahudi,
yang sampai saat itu tidak diketahui raja dan rakyat Inggris sebagai
konspirator revolusi, telah menancapkan jaring kekuasaannya, di antara
anggota par¬le¬men, pendeta dan bangsawan korup.
Nasib Inggris
berakhir dengan bangsawan Jerman yang tidak bisa berbahasa Inggris,
George of Hannover, menduduki singasana Inggris tahun 1714. Ia masih
menggunakan nama keluarganya yang lama: Saxe-Coburg-Gotha, hingga Perang
Dunia I yang membuat sentimen anti-Jerman meningkat tinggi di kalangan
rakyat Inggris. Nama keluarga pun diganti menjadi Windsor yang lebih
ke-Inggris-Inggris-an. Raja dan ratu Inggris sekarang adalah keturunan
mereka.
Pada tahun 1897 sebuah dokumen misterius terbongkar ke
publik, disebut sebagai “The Protocols of the Elders of Zion”. Dalam
dokumen tersebut tertulis pernyataan yang menghebohkan:
"Ingat
dengan Revolusi Perancis, rahasia-rahasia dari perencanaannya diketahui
betul oleh kita karena sesungguhnya itu adalah hasil kerja kita.”
Seharusnya kata-kata itu adalah:
"Ingat
dengan Revolusi Inggris dan Perancis, rahasia-rahasia dari
perencanaannya diketahui betul oleh kita karena sesungguhnya itu adalah
hasil kerja kita.”
Sumber: “
The Nameless War”(
Source)