Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Bumi. Show all posts
Showing posts with label Bumi. Show all posts

Jelaskan suara 'Sangkakala', NASA sebut bumi bernyanyi tiap hari

Aurora Borealis. ©2014 Merdeka.com/www.huffingtonpost.com

Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengaku punya jawaban atas fenomena suara-suara dari langit yang banyak didengar orang di seluruh dunia sejak 2011. Menurut lembaga ilmiah ini, suara yang muncul dari langit itu berada dalam frekuensi infrasonik. Dalam situasi normal, manusia tidak bisa mendengarnya.

Sumber bebunyian tersebut dari gesekan lempeng bumi maupun medan magnetik di atmosfer, termasuk ketika muncul aurora di dekat kutub. Suara-suara itu sebetulnya terus 'dinyanyikan' oleh Planet Bumi setiap saat.
"Seandainya manusia punya antena, alih-alih kuping, maka mereka bisa mendengar gelombang radio bumi itu," tulis pernyataan pers NASA seperti dilansir WND.com, Selasa (26/5).

Dalam kesempatan terpisah, Geolog David Deming dari Universitas Oklahoma, Amerika Serikat, menyatakan fenomena munculnya suara-suara dari langit itu nyata. Dia masih belum bisa menentukan penjelasan paling sahih, tapi dari catatannya warga di pelbagai belahan dunia rutin mendengar suara infrasonik tersebut.

"Kira-kira 2 hingga 10 persen penduduk bumi mendengar nyanyian bumi ini," tuturnya.
Ilmuwan sejak lama sudah mencatat fenomena bumi bernyanyi. Ada teori bila suara langit makin sering terdengar, artinya ada gerakan aktif di inti bumi. Potensi kegiatan vulkanik maupun tektonik semakin besar.
Di blog maupun forum diskusi online, muncul beberapa teori. Di antaranya suara hasil penggalian bawah tanah, tekanan pipa gas, hingga gempa bumi.

Aaron Taylor, warga Kota Montana, AS, ikut mengunggah rekaman pengalamannya mendengar suara langit pada 18 Februari 2012. Dia mengaku terkejut karena suara yang dia dengar mirip cerita Kitab Injil tentang terompet Sangkakala, penanda akhir zaman. Deskripsi kiamat melibatkan alunan terompet dari langit juga diimani umat Muslim dan Yahudi.
"Walau kita berusaha mencari jawaban logis (suara-suara itu), gagasan bahwa ini tanda akhir zaman bermunculan di kepala saya. Bagaimana bila suara ini termasuk nubuat tersebut," kata Taylor.

Sebelumnya diberitakan, manusia di pelbagai belahan dunia ramai-ramai mengunggah video pengalaman mereka mendengar suara aneh dari langit. Video paling lama dalam catatan Youtube diunggah pada 2011 dari Kota Homel, Belarusia.

Suara 'sangkakala' terdengar di Jerman, dunia heboh


Sebuah suara misterius terdengar di langit Jerman. Suara misterius itu mirip suara tiupan Sangkakala.
Dalam sepuluh tahun terakhir, suara seperti sangkakala memang terdengar di beberapa belahan dunia. Entah itu nyata, atau hanya ilusi belaka.

Para netizen yang menangkap moment tersebut juga langsung mengunggahnya ke jejaring sosial media sepertti Youtube.
Dilansir melalui situs inquisitr.com, (23/5). Lebih dari 150 video diunggah ke situs berbagi video Youtube akibat fenomena luar biasa tersebut. Berbagai negara seluruh dunia seperti Kanada, Ukraina, Belarusia, Amerika Serikat, termasuk Jerman mendengar 'nyanyian surga' itu.

Hingga kini masih belum ada pernyataan resmi dari para peneliti mengenai suara tersebut. Praduga sementara masih seputar suara alien, ataupun seperti dalil keagamaan 'terompet sangkakala'.
Berikut video suara sangkakala yang terdengar di langit Jerman:


Suara 'Sangkakala' mulai terdengar di seluruh dunia sejak 2011


Warga Jerman pekan lalu dikejutkan video suara dari langit mirip terompet. Fenomena alam yang belum dapat dijelaskan itu ternyata terjadi di banyak negara selama nyaris lima tahun terakhir.
Seperti dilansir inquisitr, Senin (25/5), manusia di pelbagai belahan dunia ramai-ramai mengunggah video pengalaman mereka mendengar suara aneh dari langit. Video paling lama dalam catatan Youtube diunggah pada 2011 dari Belarusia.

Berikutnya, rekaman serupa diunggah warga Amerika Serikat, Ukraina, Kanada, hingga Jepang. Hingga Mei 2015, tiap bulan ada saja pengguna Youtube yang mengunggah rekaman suara aneh dari langit. Selalu muncul perdebatan di kolom komentar mengenai keaslian video tersebut oleh para pengguna Internet.

Aaron Taylor, warga Kota Montana, AS, ikut mengunggah rekaman pengalamannya mendengar suara langit pada 18 Februari 2012. Dia mengaku terkejut karena suara yang dia dengar mirip cerita Kitab Injil tentang terompet Sangkakala, penanda akhir zaman. Deskripsi kiamat melibatkan alunan terompet dari langit juga diimani umat Muslim dan Yahudi.
"Walau kita berusaha mencari jawaban logis (suara-suara itu), gagasan bahwa ini tanda akhir zaman bermunculan di kepala saya. Bagaimana bila suara ini termasuk nubuat tersebut," kata Taylor.

Belum ada keterangan dari jurnal ilmiah maupun upaya konfirmasi pada ilmuwan kredibel untuk menjelaskan hadirnya suara-suara dari langit itu. Di blog maupun forum diskusi online, muncul beberapa teori. Di antaranya suara hasil penggalian bawah tanah, tekanan pipa gas, hingga gempa bumi.

Selanjutnya, rekaman suara mirip sangkakala diunggah warga Amerika Serikat, Ukraina, Kanada, Australia, hingga Jepang. Hingga Mei 2015, tiap bulan ada saja pengguna Youtube yang mengunggah rekaman suara aneh dari langit. Selalu muncul perdebatan di kolom komentar mengenai keaslian video tersebut oleh para pengguna Internet.

Berikut kumpulan video pengalaman warga mendengar suara dari langit:
Berikut rangkuman video suara mirip sangkakala dari pelbagai belahan dunia selama 2011 hingga 2015:


(Source)

NASA Jelaskan Soal Suara Terompet dari Langit, Dari Mana Asal Suara Misterius dari Langit?

Ilustrasi langit (Vincentiu Solomon/Stocksnap)  

Dalam kitab suci disebutkan salah satu tanda akhir zaman adalah berbunyinya terompet sangkakala. Di sejumlah negara, warga mendengar suara aneh seperti terompet yang sangat bising beberapa kali. Dari mana asalnya?

Salah satu warga yang mendengar suara dari langit tersebut adalah Kimberly Wookey asal Kanada yang merekam suara misterius tersebut dan mengunggahnya ke situs YouTube. Wookey menambahkan bahwa dia tidak percaya bahwa peristiwa memiliki hubungan dengan agama, atau bahwa suara bisa berasal dari alien, kereta atau konstruksi.

Melihat fenomena tersebut, para ilmuwan di Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA) percaya kebisingan berpotensi berasal dari  "kebisingan latar belakang" Bumi.

"Jika manusia memiliki antena radio--bukan--telinga, kita akan mendengar sebuah simfoni luar biasa dari suara-suara aneh yang datang dari planet kita sendiri," juru bicara dari NASA menjelaskan, seperti dikutip dari Tech Times.

NASA mengatakan bahwa suara tersebut bisa dibandingkan dengan musik latar yang biasanya dapat didengar di klasik film fiksi ilmiah. Namun, para pakar menekankan bahwa suara yang datang dari Bumi bukan fiksi ilmiah.

Emisi radio alami dari planet Bumi seperti ini yang sangat banyak dan lumrah terjadi, kata NASA. Sementara kebanyakan orang tidak menyadari fenomena ini, suara-suara terjadi di sekitar orang-orang sepanjang waktu.

(Source)

SUJUD PADA ALAS LANTAI SELAIN DARI BUMI ADALAH MENYALAHI ARAHAN AL-QURAN


Keputusan dari ahli fiqh shia, mengikuti Imam yang suci, adalah dengan jelas mematuhi arahan al-Quran. Sebagai contoh, ulama kamu menganggap bulu, kapas, sutera dan alas lantai yang lain sama dengan bumi. Tetapi dengan jelas benda itu bukan bumi. Tetapi shia, di dalam mematuhi Imam mereka dari ahli bayt nabi yang berkata, ‘Sujud adalah haram diatas yang lain, selain bumi atau apa-apa yang tumbuh dari bumi dan tidak digunakan untuk makan atau pakai.’ Atas sebab ini kamu katakan mereka kafir. Sebaliknya kamu tidak mengatakan sujud pada najis kering kafir. Dan amat jelas sujud pada bumi [sebagaimana diarahkan oleh Allah] dan sujud pada alas lantai adalah berbeza.

Sheikh: Kamu melakukan sujud pada sekeping tanah yang diambil dari Karbala. Kamu menyimpan tanah kecil itu. Ianya adalah seripa berhala, dan kamu menganggap sujud diatasnya wajib. Yang pastinya amalan yang sedimian adalah bertentangan dengan amalan muslim lainnya.

Shirazi: Telah menjadi tabiat kamu yang kedua mengikuti mereka yang terdahulu dengan secara buta, walaupun ianya tidak sesuai bagi manusia yang adil seperti kamu untuk mengatakan tanah suci dari karbala adalah seperti berhala.

Tuan yang dihormati! Kritikan terhadap mana-mana kepercayaan hendaklah berdasarkan pada pembuktian. Jika kamu merujuk pada buku-buku perundangan agama shia, kamu akan dapat jawapan dari kritikan kamu, dan kamu tidak akan diselewengkan oleh saudara sunni dengan bantahan palsu.

Apakah makna ibdâ’? Apakah ibdâ’ itu merupakan salah satu sifat Tuhan?


Dalam literatur-literatur agama, ibda disebutkan dalam beragam bentuk sebagai salah satu sifat Allah Swt. Dalam al-Quran, kata ini hanya dinyatakan dalam bentuk sifat musyabbah (badi') namun dalam beberapa riwayat dinyatakan dalam beragam bentuk; seperti dalam bentuk sifat musyabbah dengan kata badi', ism fâ'il dengan kata mubdi', kata kerja (fi'il) dengan kata ibdâ' dan ibtada'.

Ibdâ' bermakna penciptaan yang tidak memiliki model dan sampel sebelumnya. Para filosof terkait dengan lafaz ibdâ' sedikit berbeda pendapat; sebagian dari mereka memaknai ibda' sebagai penciptaan pertama; artinya mubda' (yang diciptakan tanpa model dan sampel sebelumnya) adalah sebuah entitas yang tidak memiliki perantara alias ia langsung dalam hubungannya dengan Tuhan; hasilnya mubda' (yang diciptakan) akan terbatas pada akal pertama saja. Namun kebanyakan filosof memaknai bahwa ibdâ' bermakna penciptaan tanpa memerlukan materi dan masa.

Atas dasar itu, meski cakupan mubda'at (bentuk plural dari mubda') lebih luas dari makna pertama namun akan terbatas pada seluruh akal. Namun pendapat lainnya mengatakan bahwa ibdâ' tidak terbatas pada makhluk tertentu; melainkan seluruh entitas dan makhluk itu adalah mubda'ât. Nampaknya pendapat ini selaras dengan ayat dan riwayat.

Jawaban Detil:
Dalam literatur-literatur agama, ibdâ' disebutkan dalam beragam bentuk sebagai salah satu sifat Allah Swt. Dalam al-Quran hanya dinyatakan dalam bentuk musyabbah dengan kata badi' seperti pada ayat berikut:

«بَديعُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ وَ إِذا قَضى‏ أَمْراً فَإِنَّما يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ»

"Dia yang mula-mula mencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh sebelumnya), dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah.' Lalu, jadilah ia." (Qs. Al-Baqarah [2]:117)[1]

Adapun dalam beberapa riwayat kata ibdâ' ini dinyatakan dalam beberapa bentuk. Terkadang dengan bentuk musyabbah yaitu badi' seperti: Ya Badiu Ya Badi'u Ya Qawiyyu Ya Mani'u Ya ‘Aliyyu ya Râfi'i" (Wahai Yang Mahamemulai, Yang Maha Pencipta Yang Baru, Wahai Yang Mahakuat, Wahai Yang Mahamenahan, Wahai Yang Mahatinggi, Wahai Yang Mahameninggikan)[2] Terkadang dinyatakan dalam bentuk ism fâ'il dengan kata mubdi' seperti pada riwayat, "Mubdi' al-asyâ wa khâliquhâ wa munsyi al-asyâ biqudratihi" (Pengada segala sesuatu dan Penciptanya serta Pelaksana segala sesuatu dengan kekuasaan-Nya).[3] Pada sebagian riwayat juga dinyatakan dalam bentuk kata kerja ibdâ' dan ibtada', seperti, "shawwara ma abda'a ‘ala ghairi mitsâl. [4] Abtada'a ma khalaqa bila mitsal sabaq."[5]

Adapun ibdâ' dalam kosa kata Arab bermakna menciptakan sesuatu tanpa adanya sampel dan model sebelumnya.[6] Allamah Thabathabai berkata, "Kata badi' adalah sifat musyabbah dari masdar bada'ah dan bada'ah segala sesuatu bermakna tiada yang serupa dengannya. Serupa di sini maksudnya adalah serupa dengan sesuatu yang dikenal oleh pikiran.[7] Makna ini juga dapat disimpulkan dari beberapa riwayat; karena dalam beberapa riwayat sebagai ikutan dari ibdâ' dan ibtada', secara lahir bermakna penjelasan tiadanya yang serupa dengannya. Sebagai hasilnya, kedua kata ini akan bermakna bahwa Allah Swt merupakan Pengada (atau Pencipta) tanpa (meniru) model dan contoh yang telah ada sebelumnya.

Filosof dan ahli hikmah Ilahi sedikit berbeda pendapat terkait dengan ibdâ'; Ibnu Sina memaknai ibdâ' sebagai penciptaan pertama. Menurutnya, mubda' (yang diciptakan) adalah sebuah entitas yang tidak memiliki perantara alias hubungan langsung antara dirinya dan Tuhan. Sebagai hasilnya, mubda' (baca: yang diciptakan pertama) dalam pandangan Ibnu Sina terbatas pada akal pertama.

Namun ibdâ' dalam pandangan jumhur filosof bermakna penciptaan tanpa memerlukan materi dan masa. Karena itu, berdasarkan fondasi pemikiran mayoritas filosof, seluruh akal bahkan jiwa-jiwa selestial (nufus al-falaki) itu adalah mubda'ât (plural mubda'). Atas dasar itu, mayoritas filosof membagi tiga entitas di alam semesta: Mubda'ât, mukhtara'ât dan mukawwinât.

Mubda'ât adalah silsilah entitas yang tidak memerlukan materi dan durasi (masa) dalam penciptaannya seperti akal-akal non material (‘uqul al-mujarradah). Mukhtari'ât adalah entitas-entitas yang dalam penciptaannya memerlukan hanya materi seperti entitas-entitas selestial. Mukawwinât adalah entitas-entitas yang di samping membutuhkan materi juga memerlukan durasi (masa) yang juga disebut sebagai alam anasir dan alam kaun-fasâd (generasi-korupsi). Karena itu, ibdâ' berada pada posisi teratas dari keduanya.[8]

Sebagai bandingannya, Allamah Thabathabai memandang ibdâ' tidak terbatas pada entitas dan makhluk tertentu, melainkan mencakup seluruh entitas dan makhluk. Artinya seluruh makhluk dan entitas itu adalah mubda'ât (yang diciptakan secara langsung). Nampaknya pandangan Allamah Thabathabai ini lebih sesuai dengan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang ada terkait dengan pembahasan ini.

Dalam menjelaskan pandangannya, Allamah Thabathabai berkata, "Pengalaman empirik telah menetapkan bahwa setiap dua entitas yang dapat diasumsikan, meski pada tataran universal bahkan pada partikularnya itu adalah tunggal dan satu, sedemikian sehingga manusia mengiranya tidak terpisah, namun keduanya sejatinya memiliki perbedaan karena kalau tidak demikian dua entitas ini tidak akan menjadi dua dan apabila mata biasa tidak mampu melihat perbedaan di antara keduanya, maka teleskop yang kuat mampu melihatnya."

Argumen filsafat juga membenarkan makna ini. Karena tatkala kita mengasumsikan dua hal sebagai dua hal yang berbeda, apabila tidak ada satu pun keunggulan dan keunikan yang keluar dari esensinya, maka kemestiannya akan menjadi penyebab adanya dualitas dan pluralitas di dalam esensinya bukan di luar esensinya. Dalam kondisi seperti ini yang diasumsikan adalah esensi murni dan esensi yang tidak bercampur lantaran esensi murni tidak memiliki dualitas dan juga tidak menerima pluralitas. Kesimpulannya apa yang kita asumsikan dua atau beberapa itu akan menjadi satu dan hal ini tidak sesuai dengan asumsi kita.

Karena itu dapat kita simpulkan bahwa setiap entitas dari sudut pandang esensi berbeda dengan entitas lainnya dan karena demikian, maka setiap entitas itu adalah badi' al-wujud. Artinya tidak memiliki kesamaan atau keserupaan yang terlintas dalam benak penciptanya. Hasilnya, Allah Swt itu adalah mubtadi' wa badi' al-samawât wa al-ardh" (Pengada dan Pencipta [tanpa contoh sebelumnya] langit-langit dan bumi) [9]

Referensi:
[1]. Sebagaimana juga disebutkan dalam surah al-An'am (6) ayat 101:
«بَديعُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَ لَمْ تَكُنْ لَهُ صاحِبَةٌ وَ خَلَقَ كُلَّ شَيْ‏ءٍ وَ هُوَ بِكُلِّ شَيْ‏ءٍ عَليمٌ».
"Dia-lah Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh sebelumnya). Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu."
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 49, hal. 83, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
«يَا بَدِي‏ءُ يَا بَدِيعُ‏ يَا قَوِيُّ يَا مَنِيعُ يَا عَلِيُّ يَا رَفِيع‏»
[3]. Ibid, jil. 3, hal. 224.
« مُبْدِعُ‏ الْأَشْيَاءِ وَ خَالِقُهَا وَ مُنْشِئُ الْأَشْيَاءِ بِقُدْرَتِه»
[4]. Ibid, jil. 37, hal. 205.
«صَوَّرَ مَا أَبْدَعَ‏ عَلَى غَيْرِ مِثَال»
[5]. Ibid, jil. 4, hal. 270.
«ابْتَدَعَ‏ مَا خَلَقَ بِلَا مِثَالٍ سَبَق»
[6] . Said al-Khuri al-Syartuni, Aqrab al-Mawârid, klausul ba-da-a'.
[7]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Muhammmad Baqir Musawi Hamadani, jil. 1, hal. 395, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakank Kelima, 1374 S.
[8]. Hasan Hasan Zadeh Amuli, Nushush al-Hikam bar Fushush al-Hikam, hal. 202, Raja, Tehran, Cetakan Kedua, 1375 S.
[9]. Tafsir al-Mizân, jil. 1, hal. 396.

Manusia tercipta dari Adam dan Hawa


Tanya: Ada sebuah pertanyaan yang sangat penting yang selalu diangkat oleh orang-orang terpelajar, sampai-sampai kebanyakan ahli agama juga kebingungan untuk menjawabnya. Pertanyaan tersebut adalah tentang asal muasal manusia.

Al-Qur’an dengan jelas menerangkan bahwa Adam adalah bapak pertama umat manusia yang telah diciptakan Allah dari tanah. Setelah melakukan berbagai macam riset dan penelitian, beberapa ilmuan mengutarakan banyak pendapat mengenai kejadian manusia yang secara umum bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an. Berkat penelitian yang telah mereka lakukan terhadap manusia dan hewan, mereka mampu memberikan penjelasan-penjelasan seperti ini. Saya berharap Anda dapat menjelaskan permasalahan ini.

Jawab: Memang Al-Qur’an telah menerangkan bahwa umat manusia berasal dari dua orang manusia yang bernama Adam dan Hawa. Ayat-ayatnya dengan jelas telah menerangkan permasalahan ini dan kita tidak dapat menentangya begitu saja. Yang jelas, permasalahan ini telah kami jelaskan di Tafsir Al-Mizan pada awal pembahasan surah An-Nisa’.

Singkatnya, mereka berpendapat bahwa manusia terwujud dari kera, ikan atau maujud lainnya. Sebenarnya pendapat mereka hanya sebatas kemungkinan ilmiah belaka. Lagi pula dalil-dalil mereka hanya dapat menjadi alasan akan adanya keserupaan wujud manusia dengan wujud kera atau ikan. Dengan demikian, dalil mereka tidak dapat menjadi dasar kebenaran teori Evolusi.

Padahal penjelasan-penjelasan agamawi yang telah diberikan oleh Islam adalah penjelasan yang logis dan fitri. Adapun penjelasan mereka hanya terbatas pada logika perhitungan algorisma. Sebagaimana mereka sering mengatakan, “Di saat-saat tertentu, listrik dapat berubah menjadi gerak, panas, dan kekuatan magnetik … Begitu pula ketika suhu air telah mencapai seratus derajat, air akan mendidih dan menguap ….”
Ditemukannya fosil-fosil burumur jutaan tahun yang berada di kedalaman tanah tidak lantas menjadi alasan bahwa manusia yang ada di zaman itu adalah satu keturunan dengan manusia yang ada di zaman ini, karena mungkin saja bumi ini telah melewati beberapa periode yang mana dalam setiap periodenya terdapat satu keturunan manusia, kemudian pada suatu saat mereka punah dan tak lama kemudian keturunan manusia yang lain muncul kembali. Hal ini juga pernah dijelaskan dalam suatu riwayat yang menceritakan kepada kita bahwa umat manusia yang ada saat ini adalah umat yang hidup di periode kedelapan dari urutan periode-periode kehidupan manusia di muka bumi.

Dari buku Islam, Dunia dan Manusia

Mengapa Syiah sujud di atas tanah?


Sujud, menurut syariat suci Islam, hanya pantas dan diperbolehkan jika untuk Allah Swt, tidak boleh seseorang untuk menempelkan dahinya ke tanah untuk selain Dia, dan ini merupakan pernyataan seluruh ulama Islam tanpa terkecuali.

Kalau pun ada perbedaan seputar masalah sujud, perbedaan itu tidak berhubungan dengan hal di atas, melainkan terbatas pada pandangan fikih Syi’ah Imamiyah yang hanya membol­ehkan sujud di atas dua hal:
  1. Bumi, seperti tanah, batu dan semacamnya.
  2. Sesuatu yang tumbuh dari bumi, dengan syarat bukan termasuk pakaian atau makanan.
Sedangkan menurut pandangan fikih Ahli Sunnah, hukumnya lebih luas. Ulama Ahli Sunnah membolehkan sujud bahkan di atas kain-kain tenunan dari bulu, kapas atau rambut. Hanya Mazhab Syafi’i yang mengatakan tidak boleh sujud di atas ujung serban, ujung pakaian atau lengan baju.[1]

Sekarang, marilah kita bersama memperhatikan hadis-hadis dari Nabi Muhammad Saw; baik sabda maupun perbuatan beliau, lalu kita cermati dengan baik pandangan manakah yang didukung oleh hadis-hadis tersebut. Terang saja Nabi Muhammad Saw, sebagaimana tersinyalir dalam Al-Qur’an, merupakan teladan bagi kita semua dan tidak ada seorang pun yang berhak mengutamakan pendapatnya atas sabda dan perbuatan beliau.

Penelitian terhadap hadis-hadis yang tercatat di dalam kitab-kitab Shohih atau Sunan membuktikan bahwa pada kesimpulannya, tempat sujud untuk dahi atau menurut istilah fukaha­ sesuatu yang diperbolehkan sujud di atasnya telah dijelaskan dalam tiga tahap:
Pada tahap awal, sujud disyariatkan hanya di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya), sedangkan sujud di atas selain itu tidak diperbolehkan. Betapa pun para sahabat Nabi Saw mengeluhkan panasnya krikil di Masjid Nabi, beliau tidak mengubah hukum tersebut. Bahkan, bila ada seorang yang sujud di atas serbannya maka beliau menarik serban itu dari dahinya, dan seringkali beliau bersabda, ‘tarrib!’ artinya, kenakanlah mukamu dengan tanah.

Mengingat keharusan sujud di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya), maka untuk menghindari panas para sahabat Nabi Saw menggenggam krikil-krikil itu di tangan supaya agak dingin, dan ketika bersujud maka mereka sujud di atasnya.

Pada tahap awal ini, hanya diperbolehkan sujud di atas bumi, itu pun dalam bentuknya yang alami.
Adapun pada tahap kedua, wahyu Ilahi memperluas subjek hukum berdasarkan maslahat di baliknya, sujud di atas tikar dan jerami pun disyariatkan, dan kita semua tahu bahwa tikar atau jerami itu terbuat dari tumbuh-tumbuhan, karena itu terjadilah perluasan dan kemudahan dalam hal sujud.

Selanjutnya, pada tahap ketiga apabila darurat dan terpaksa, seperti panas yang tak tertahankan, maka boleh hukumnya sujud di atas ujung serban atau semacamnya, adapun jika di luar darurat dan keterpaksaan maka mereka diperintahkan untuk menghindari sujud di atas selain bumi (tanah, batu atau sernacamnya) dan tumbuh-tumbuhan.

Itulah tiga tahap pensyariatan hukum yang berkaitan dengan tempat dahi bersujud.

Keterangan nabi mengenai filosofi sujud di atas bumi
Poin penting yang patut diperhatikan dalam hal ini bahwa Rasulullah Saw sendiri dalam sebuah hadis telah menjelaskan filosofi sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya). Terang sekali hadis itu menunjukkan dimensi pendidikan di balik sikap syariat yang bersikukuh agar sujud dilakukan di atas bumi.
Beliau bersabda, ‘Setiap kali di antara kalian ada yang shalat, rnaka hendaknya dia meletakkan dahi dan hidungnya di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya), karena dengan demikian dia menunjukkan ketundukannya.’[2]

Suatu saat, Hisyam bin Hakam menanyakan filosofi sujud di atas bumi kepada Imam Ja’far Shadiq as, dan beliau menjawab, ‘Hal itu karena sujud adalah tunduk di hadapan Allah Swt, maka tidak seyogianya bagi seorang penyembah untuk sujud di atas makanan atau pakaian, dimana sembahan para penyembah dunia adalah makanan dan pakaian. Maka itu, tidak boleh sujud di atas sesuatu yang disembah oleh para penyembah dunia. Adapun sujud di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya) merupakan sebaik-baik ketundukan di hadapan Allah Swt.’[3]

Mengingat bahwa sujud di atas bumi merupakan manivestasi yang sempuma dari penyembahan, maka Umar bin Abdulaziz bersujud hanya di atas tikar, bahkan dia menuangkan sedikit tanah di atas tikar untuk bisa sujud di atasnya.

Ibnu Hajar, di dalam komentarnya terhadap kitab Shohih Bukhari, mengatakan, ‘Umar bin Abdulaziz tidak cukup hanya dengan sujud di atas tikar, melainkan dia meletakkan tanah di atas tikar itu dan bersujud di atasnya.’[4]

Urwah bin Zubair pun tidak bersujud kecuali di atas bumi (tanah, batu atau sernacamnya).[5]
Masruq yang tergolong tabi’in ketika bepergian selalu membawa bata untuk dapat bersujud di atasnya ketika berada di kapal.[6]

Ibnu Abi Syaibah, syaikh Bukhari mengatakan, ‘Shalat di atas thonfasah (permadani) adalah sesuatu yang baru, sedangkan telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah Saw bahwa sesuatu yang paling buruk adalah sesuatu yang tidak punya latar belakang (tidak ada sebelumnya), dan sesuatu yang demikian itu adalah bid’ah.’[7]

Referensi:
[1] Syaikh Thusi, Al-Khilaf, jld. 1, hal. 357-358, masalah no. 112-113. Begitu pula referensi yang lain.
[2] Ibnu Atsir, Nihayah
[3] Majlisi, Bihar Al-Anwar, jld. 82, hal. 147, bab apa yang sah untuk sujud di atasnya.
[4] Ibnu Hajar, Fath Al-Bari, jld. 1, hal. 410; Syarh Al-Ahwadzi, jld. 1, hal. 271.
[5] Ibid.
[6] Muhammad bin Sa’ad, Al-Thobaqot Al-Kubro.jld. 6, hal. 79.
[7] Al-Mushonnaf, 2.

Mengenai Sebutan “Allah”


Pembahasan kata Allah ini pernah dimuat di rubik bahasa harian Kompas, oleh Syamsudin Berlian. Kata Allah, menurut sebagian ahli, berasal dari penggabungan dua kata Arab : Al dan Ilah. Ilah berarti suatu sembahan, yang dalam bahasa Inggris padanannya adalah kata god. Ilah biasanya berbentuk jamak karena memang ada banyak sekali ilah atau berhala yang disembah oleh manusia. Sedangkan Al adalah kata sandang yang jika digabungkan kepada kata Ilah tesebut akan menjadikan ilah tersebut sebagai ilah yang paling super ( supreme being ) dan satu-satunya ( monoteistic ), yang mengacu kepada Sang Pencipta segala sesuatu, sehingga gabungan kata Al Ilah tersebut menjadi kata Allah.

Padanan kata Allah yg mempunyai konotasi super dan monoteistik ini dalam bahasa Ibrani adalah Elohim, dalam bahasa  Yunani, Theos, atau Dieu dalam bahasa Perancis, Gott dalam bahsa Portugis dan God dalam bahasa Inggris.

Dipercayai bahwa kata Allah ini adalah suatu kata kuno yang sudah digunakan oleh orang-orang Kristen dan Yahudi yang berbahasa Arab sebelum jaman pra-Islam sebagai kata sebut kepada Tuhan Sang Pencipta yg Esa. Kemudian ternyata para penyembah berhala pada jaman pra-Islam di kota Mekah membajak kata ini dan menjadikannya nama diri bagi salah satu berhala mereka yang paling tinggi kedudukannya.

Pada waktu Muhammad, nabi bagi agama Islam, menaklukan Mekah dan membuang 360 berhala keluar dari dalam Kabah, kata Allah dijadikan kembali sebagai nama bagi Sang Pencipta. Namun kalau pada mulanya Allah adalah nama sebutan atau jabatan bagi Sang Pencipta maka sekarang ia berubah menjadi nama diri bagi Sang Pencipta. Dan sesungguhnya itulah perbedaan konsep di antara orang Islam dan orang Kristen mengenai kata Allah ini.

Umat Kristen menggunakan kata Allah sebagai kata sebut jabatan bagi Sang Pencipta, Tuhan satu-satunya yg disembah. Sedangkan umat Islam menggunakan kata Allah ini sebagai nama diri dari Tuhan, Sang Pencipta. Keduanya sama-sama menggunakan kata Allah untuk mengacu kepada oknum yang sama tetapi ada perbedaan dalam penggunaannya. Contoh : Presiden adalah kata sebut bagi orang yg menjadi kepala negara di Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono adalah nama diri dari kepala negara di Indonesia. Tetapi dalam perjalanan waktu Presiden bisa berubah menjadi nama diri kepala negara tsb.

Di Indonesia (dan Malaysia) kata Allah digunakan dalam pekabaran Injil para misionaris. karena bahasa Melayu atau bahasa Indonesia tidak mempunyai kata mempunyai makna yg cocok. Kata Arab Allah diserap ke dalam bahasa Melayu dan Indonesia sebagai acuan kepada Sang Pencipta. Tetapi dalam penggunaannya ada sedikit perbedaan di antara umat Islam dan umat Kristen di Indonesia seperti telah diterangkan di atas. Sehingga ada kamus yang mengatakan bahwa Allah adalah nama Tuhan bagi umat Islam, sedang kamus lain mengatakan bahwa Allah adalah kata sebutan bagi Tuhan Sang Pencipta.

Ruh; Dimensi Lain Manusia


Oleh: Abdullah Nasri

Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini jawabannya belum mampu memuaskan manusia adalah, apakah hakikat wujud manusia? Apakah wujud manusia hanya sebongkah badan  materiel, atau juga membawa hakikat selain materi? Dengan kata lain, apakah al-Quran mengakui bahwa manusia adalah hakikat selain materi yang disebut dengan ruh atau menolaknya? Bila mengakui demikian, lalu bagaimana kitab suci ini menjelaskan hubungan ruh dengan badan? Apakah ruh ada setelah kejadian badan atau sebelumnya? Apakah al-Quran mengakui bahwa setelah kehancuran badan, ruh tetap ada atau tidak?

Sebenarnya al-Quran telah menyebutkan adanya dimensi selain materi pada manusia yang disebut dengan ruh. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat berikut ini:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh-Nya ke dalamnya dan Dia menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati tetapi sedikit sekali kalian  bersyukur.[1]

Kalimat “meniupkan ruh-Nya ke dalamnya” dalam ayat di atas menunjukkan adanya dimensi yang bernama ruh pada manusia. Setelah menjelaskan tentang ruh, ayat tersebut mengatakan bahwa Allah menciptakan untuk kalian telinga, mata dan hati, menurut pandangan sebagian para penafsir, meskipun membicarakan tentang anggota badan akan tetapi maksudnya adalah penggunaan dari anggota tersebut yaitu mendengar dan melihat.

Mungkin bisa juga diambil kesimpulan secara detil dari ayat di atas bahwa setelah menyebutkan tentang peniupan ruh kemudian menyebutkan tentang telinga, mata dan hati sebabnya adalah karena sumber asli perbuatan anggota tersebut adalah ruh. Yakni bila ruh tidak ada maka anggota tersebut tidak ada gunanya karena anggota tersebut hanya berperan sebagai perantara bagi ruh, tanpa ruh dengan sendirinya anggota tersebut tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam filsafat Islam telah terbukti bahwa badan berperan sebagai perantara bagi aktivitas ruh. Aktivitas yang dilakukan oleh anggota badan pada hakikatnya sumbernya adalah ruh. Yakni melihat, mendengar, mencium dan berbicara semuanya terkait dengan ruh. Mata, telinga, hidung dan lidah hanya sekedar perantara untuk mengetahui masalah-masalah ini. Misalnya sebuah kacamata. Orang yang penglihatannya lemah, ia menggunakan kacamata, lantas apakah kacamata itu sendiri yang melihat atau kacamata hanya sekedar perantara bagi mata? Jelas kacamata dengan sendirinya tidak bisa melihat akan tetapi ia harus diletakkan di depan mata sehingga mata yang kerjanya adalah melihat dengan menggunakan kacamata ia bisa melihat sesuatu. Pada hakikatnya mata dalam contoh tersebut sama seperti ruh, dan telinga, mata dan lidah seperti kacamata sebagai perantara. Ruh dengan perantara anggota badan bisa melakukan aktivitasnya.

Ayat lain yang mengisyaratkan adanya ruh pada manusia adalah ayat berikut ini:
Dan apabila Aku telah menyempurnakan  kejadiannya dan meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.[2]

Dua poin penting yang ada dalam dua ayat di atas adalah Allah mengatakan,  “Aku meniupkan ruh-Ku”, apa maksud dari kalimat tersebut? Apakah maksudnya adalah Allah meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia. Yakni sebagian ruh-Nya masuk ke dalam tubuh manusia atau ada maksud yang lain lagi?
Jelas Allah bukan ruh sehingga harus memasukkan sebagian ruh-Nya ke dalam tubuh manusia, akan tetapi yang dimaksud oleh al-Quran dengan penjelasan ini adalah kemuliaan dan ketinggian ruh itu sendiri. Yakni ruh begitu bernilai sehingga Allah menghubungkannya dengan diri-Nya dan mengatakan, “Aku meniupkan kepadanya ruh-Ku”. Bisa kita jelaskan dengan contoh lain seperti masjid adalah rumah Allah. Kita tahu bahwa masjid bukan rumah Allah, karena Dia bukan materi sehingga harus membutuhkan tempat tinggal, akan tetapi maksudnya adalah nilai dan pentingnya masjid sehingga disebut dengan rumah Allah. Contoh lain seperti majelis rakyat juga disebut sebagai rumah rakyat.

Ada ayat lain yang mengisyaratkan tentang wujudnya ruh:
Demi nafs (ruh, jiwa) dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan jalan kefasikan dan jalan ketakwaannya.[3]

Ayat di atas menceritakan tentang realitas ruh yang memiliki pemahaman. Ayat di atas mengatakan bahwa Allah telah mengilhamkan pemahaman baik dan buruk. Mengingat bahwa pada manusia  tidak terdapat anggota badan pun yang bisa memahami sesuatu,  maka yang layak memiliki pemahaman adalah kekuatan selain materi yang disebut oleh al-Quran dengan ruh atau nafs.

Di sini kita mengajukan dua argumentasi untuk membuktikan keberadaan ruh yang nonmateri:
1. Salah satu pembuktian ruh ialah cara manusia memperoleh konsep-konsep universal (intiza’-e mafahim-e kulli). Maksud dari universal di sini ialah bahwa konsep-konsep itu bisa diaplikasikan pada banyak objek.  Misalnya, manusia sebagai konsep universal. konsep manusia ini bisa diaplikasikan pada semua objek individualnya seperti Ali, Husan, Husein dan selain mereka. Kita juga tahu bahwa konsep-konsep universal ini tidak ada secara konkret di luar, karena segala yang ada di luar memiliki keadaan, kualitas dan kuantitas tertentu. Pertanyaannya, di manakah tempat konsep-konsep universal ini? Jelasnya, tempat mereka nonmateri, karena materi melazimkan bentuk tertentu, keadaan tertentu, batas ruang dan waktu tertentu, sementara konsep-konsep universal tidak memiliki satupun dari ciri-ciri ini. Dengan demikian, maka mesti ada suatu sisi selain materi dalam wujud manusia, sehingga konsep-konsep universal -yang tidak memiliki ciri-ciri materiel sedikit pun- itu bisa berada di dalamnya.

2. Salah satu dari ciri-ciri materi ialah adanya hubungan khas antara tempat dan penempat (yang menempati). Yakni, penempat tidak pernah lebih besar dari tempatnya; sesuatu yang lebih besar tidak bisa menempati ruang yang kecil. Manusia banyak menyaksikan benda-benda besar dan ia bisa menempatkan gambaran (konsep) benda-benda besar tersebut dalam pikirannya sesuai dengan ukurannya. Misalnya, ia bisa membayangkan gedung bertingkat dua puluh dalam pikirannya atau menggambarkan ratusan meter persegi gunung dalam pikirannya. Pertanyaannya, kalau benar bahwa penggambaran gedung bertingkat dua puluh ini bisa dilakukan oleh otak sebagai benda yang memiliki ukuran kecil, lantas bagaimana benda yang besar itu bisa menempati tempat yang kecil ini? Jelas, berdasarkan kaidah di atas (yakni hubungan khas antara tempat dan penempatnya) pasti ada satu hakikat nonmateri dalam diri manusia, sehingga ia bisa menempatkan sesuatu yang besar itu dalam dirinya sesuai dengan ukuran sebenarnya. Dan hakikat tempat tersebut ialah ruh (nafs). Karena ruh bukan materi, ia bisa ditempati oleh sesuatu yang besar.


Hubungan Ruh dengan Badan
Dalam pembahasan ruh (nafs) ada pertanyaan, “apa hubungan badan dengan ruh? Apa pendapat al-Quran dalam masalah ini? Apakah al-Quran mengakui bahwa ruh dan badan adalah dua hakikat yang berpisah di mana antara keduanya terdapat dualisme, atau al-Quran mengakui pendapat yang lainnya lagi?”
Dalam sejarah filsafat,  Descartes dan pendukungnya memaparkan teorinya bahwa ruh dan badan adalah  dua substansi yang berbeda. Yakni jasmani adalah sesuatu dan ruh adalah sesuatu yang lain lagi. Dan manusia adalah hakikat yang tersusun dari dua paduan yang berbeda. Decart mengatakan bahwa sifat aslinya badan adalah perpanjangan, perluasan. Dan sifat aslinya ruh adalah berpikir. Tentunya, Descartes mengakui bahwa antara badan dan ruh, terdapat suatu hubungan, dan yang menghubungkan keduanya adalah kelenjar (pineal gland) yang ada dalam otak.

Teori lain mengatakan bahwa hakikat wujud manusia adalah ruh itu sendiri. Wujud manusia bukan komposisi dari badan dan ruh. Yakni, wujud manusia adalah ruhnya itu sendiri, bukan ruh sebagai satu bagian dari wujud manusia. Oleh karenanya, berdasarkan teori ini, antara ruh dan badan ada sejenis hubungan yang disebut dengan hubungan taktis (ertebat-e tadbiri), yang di dalamnya badan sebagai alat dan ruh sebagai pengelola.

Ayat di bawah ini menunjukkan bahwa al-Quran mengakui bahwa wujud manusia sebagai ruh itu sendiri.
Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi mencabut nyawamu akan mematikan kalian (yatawaffakum: mengambil kalian secara keseluruhan)  kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.[4]

Kata “tawaffa” artinya adalah mengambil, dan mengambil secara penuh. Ayat di atas mengatakan bahwa malaikat pencabut nyawa akan mengambil dasar wujud manusia. Kalau memang ruh adalah satu bagian dari wujud manusia, al-Quran tidak mengatakan: “yatawaffakum”, tetapi ia akan mengatakan: “yatawaffa ba’dhakum”. Mengambil sebagian dari kalian berbeda dengan mengambil kalian secara keseluruhan.
Maka dari itu, mengingat bahwa malaikat maut akan mengambil ruh manusia; bukan mengambil badannya. Dan ayat tersebut juga mengatakan bahwa malaikat akan mengambil kalian secara keseluruhan. maka itu jelas bahwa hakikat wujud manusia adalah ruh, bukan badan. Dengan melihat ayat berikut ini, akan kita dapatkan bahwa wujud manusia adalah ruh, bukan badan.


Jika kamu melihat orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan maut dan para Malaikat merentangkan tangan-tangannya seraya berkata ‘keluarkanlah ruh kalian!’ di hari ini kalian akan dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kalian selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang tidak benar dan kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.[5]

Dua poin penting dalam ayat tersebut adalah kalimat “keluarkanlah ruh kalian” dan kalimat “hari ini kalian akan dibalas” (tujzauna), yang menunjukkan masa sekarang dan masa yang akan datang. Artinya, dan pembalasan siksa itu berlanjut, maka yang disiksa adalah ruh, karena badan manusia akan rusak dan binasa dengan kematian, ketika itu ia tidak menanggung siksa di alam barzakh.


Bagaimana Kejadian Ruh?
Terdapat banyak teori berkaitan dengan cara kejadian ruh. Hanya saja, di sini kami akan  membahas dua teori yang penting.
1. Teori Ruhaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Pendukung teori ini menyatakan bahwa hakikat ruh terkait dengan alam malakut (metafisik). Yakni, sebelum kejadian badan, ruh berada di alam malakut. Setelah kejadian badan, ruh menjadi tawanan badan dalam jangka waktu tertentu. Dan setelah manusia mati, ruh kembali lagi ke asalnya, yaitu ke alam malakut.

2. Teori Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Penggagas teori ini adalah Mulla Shadra. Ia mengatakan bahwa ruh bukan materi, juga tidak turun dari alam malakut ke alam natural. Akan tetapi, ruh terjadi dari evolusi substansial materi (takamul-e jauhari-ye madeh). Dengan penjelasan lain, ruh manusia muncul dari gerak substansial yang disebut dengan nafs natiqah (ruh yang berakal) dan ia abadi dan tidak musnah sepeninggal badan. Oleh karenanya, ruh adalah hasil dari evolusi natural. Oleh karena itu, kejadian ruh demikian ini disebut dengan jismaniyatul hudus.

Di sini kita ingin mengetahui; mana dari dua teori ini yang diterima oleh al-Quran? Apakah dalam masalah ini ayat-ayat al-Quran juga memaparkan pendapatnya? Dengan mengkaji ayat di bawah ini, bisa dikatakan bahwa al-Quran menerima teori  ‘Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. 

Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.[6]

Al-Quran melanjutkannya demikian:
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.[7] Pada tahapan penciptaan dalam ayat di atas digunakan lafazh ‘Fa’ dan ‘Tsumma’ yang artinya ‘kemudian’, di mana jika kita teliti maka akan memahami maksudnya dengan baik.
Penjelasannya adalah dua lafaz ini memiliki selisih yang sangat dekat sekali. Artinya, jika selisih antara tahapan hanya dari segi sifat atau selisih substansinya dekat sekali, seperti selisih antara tahapan gumpalan darah dengan gumpalan daging, dan gumpalan daging dengan tulang belulang maka yang digunakan adalah lafazd ‘Fa’.

Sedangkan selisih antara saripati tanah sampai mani dan mani sampai gumpalan darah maka selisih substansinya jauh.

Kalau al-Quran mengatakan ‘Tsumma Ansya’nahu Khalkan Akhar’, yaitu kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain, sebagai penguat makna tersebut di mana selisih tahapan ini dengan tahapan sebelumnya adalah jauh yaitu daging bercampur tulang belulang.

Kata ‘Ansya’ dalam sastra Arab artinya adalah menciptakan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya.
Dalam tahapan penciptaan manusia yakni dari tanah sampai daging bercampur tulang belulang, al-Quran menggunakan kata ‘Khalaqa’ dan ‘Ja’ala’. Namun di akhir menggunakan kata ‘Ansya’ dan ‘Khalqan Akhar’ untuk menunjukkan bahwa pada tahapan akhir muncul sesuatu yang baru bagi manusia. Dengan kata lain setelah manusia menjalani tahapan materi ia sampai pada satu tahapan di mana Allah mewujudkan untuknya ciptaan yang lain.

Oleh karenanya, dengan melihat empat poin di bawah ini maka penyimpulan teori ‘Jismaniyatul hudus-nya ruh  bisa disandarkan pada ayat-ayat di atas:
1. Sekaitan dengan lafazd ‘Tsumma’ dan ‘Fa’. Lafazd Tsumma digunakan untuk tahapan penciptaan sebelum munculnya ruh. Sedangkan lafazd ‘Fa’ (menunjukkan selisih antara tahapan wujud) digunakan pada tahapan terakhir penciptaan manusia ketika ruh sudah bergabung dengan badan.
2. Penggunaan kata ‘Ansya’, menunjukkan penciptaan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya.
3. Dalam penciptaan ruh menggunakan istilah ‘Khalkan Akhar’ artinya penciptaan lain.
4. Pada kata ‘Ansya’nahu’, zamir ‘Hu’ kembali kepada makhluk yang melewati beberapa tahapan dari gumpalan darah sampai daging yang menutupi tulang.


[1] . QS, As-Sajdah: 9.
[2] . QS, Al-Hijr: 29.
[3] . QS, As-Syams: 7-8.
[4] . QS, AS-Sajdah: 11.
[5] . QS, Al-An’am: 93.
[6] . QS, Al-Mukminun: 12-14.
[7] . QS, Al-Mukminun: 14.

Eureka

galileo galilei

Kata ini yang diucapkan oleh Galileo pertama kali saat ia menemukan bahwa sesungguhnya bukanlah bumi yang menjadi sumber atau pusat tata surya, namun sebaliknya mataharilah yang menjadi pusat tata surya. Bumi pula yang mengililingi matahari selama sekitar 365 hari (revolusi) dan berputar pada sumbunya selama 24 jam (rotasi).

Penemuan ini pula yang menghantarkan dia berhadapan dengan para borjuis agama pada saat itu yang mengendalikan seluruh opini publik tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan sesuatu yang berada diluar jangkauan manusia pada saat itu. Para agamawan yang menjadi penguasa baru untuk menafsirkan seluruh fenomena alam. Pada akhirnya penemuan inipula yang akhirnya mengakhiri hidup cemerlangnya berhadap-hadapan dengan kekuasaan pemuka agama yang sangat kuat saat itu dan yang menjadi titik tolak renaissance (abad pencerahan) di Eropa yang memicu revolusi industri. Setelah penemuan Galileo ini kemudian menyusul penemuan-penemuan brilian lainnya dari bangsa Eropa, yang menandakan pula runtuhnya regim rohaniawan.

Apakah potensi eureka ini dapat juga kita miliki?. Jawabannya tentu saja. Ron Holland, seorang ahli komunikasi dan marketing, dalam bukunya Talk and and Grow Rich, seperti yang pernah saya singgung pada tulisan sebelumnya (lihat: Biarkan Saja Mengalir) menyebut ini sebagai proses akumulasi dari pemanfaatan energi alam bawah sadar kita. Ia juga mengatakan bahwa seandainya manusia mampu memanfaatkan energi ini maka akan banyak masalah yang dapat terselesaikan. Bahkan ekstremnya ia membiarkan energi ini bekerja sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. “Biarkan saja alam bawah sadar yang akan menyelesaikannya.. “ demikian katanya menyarankan dalam buku tersebut.

Ia menyebut contoh bahwa pada saat kita sedang mengalami tekanan kerja yang demikian berat, dan pada saat yang sama kita bersegera meluangkan waktu untuk berlibur, maka banyak persoalan terselesaikan dengan sendirinya. Kita yang biasanya suntuk dan jenuh dengan banyak persoalan yang dihadapi, ketika sehabis liburan tiba-tiba saja persoalan seolah-olah telah terselesaikan. Kita pun menjadi lebih rileks dan bersemangat untuk menyelesaikannya.

Apa hubungan eureka ini dengan tulisan saya selanjutnya. Saya merasa ada kesamaan sistem yang bekerja ini dengan proses alam bawah sadar yang bekerja dipikiran saya beberapa hari terakhir ini. Ini masih sebuah asumsi saja.

Berkaitan dengan hal ini, dalam kesempatan ini saya hanya ingin berbagi cerita yang agak mengherankan saya. Apakah efek-efek yang saya alami ini akibat proses bekerjanya alam bawah sadar saya-seperti eureka Galileo-ataukah memang hanya sebuah kebetulan. Dibawah ini saya akan tuturkan peristiwa itu satu per satu.

Dalam dua minggu terahir ini saya mengalami dua peristiwa yang cukup mengherankan saya. Peristiwa pertama berkaitan dengan tokoh Munir SH, aktivis demokrasi pendiri Kontras dan direktur Imparsial, sebuah LSM yang bergerak dibidang advokasi terhadap korban-korban kekerasan dan penegakan supremasi hukum, HAM dll. Seperti kita ketahui, tokoh besar ini, meninggal Selasa, 7 September, 2004 yang lalu. Menurut media ia meninggal saat akan transit menuju Amsterdam dari bandara Schippol, Belanda, tempat dimana ia mendapatkan beasiswa S-2 nya di Belanda. Munir mendapatkan program beasiswa tersebut dari organisasi geraja– geraja.

Beasiswa yang diperoleh oleh Munir SH dari gereja mengindikasikan kepada kita bahwa dunia gereja telah bergerak cukup jauh dalam aktivitas keagamaannya, bukan sekedar hanya berkaitan dengan kegiatan agama secara formal. Beberapa aktivitas dari mereka juga berkaitan dengan kemanusiaan, seperti pencegahan HIV AIDS, serikat pekerja dll. Lepas setuju atau tidak setuju saya amat memuji langkah dewan gereja yang sangat perhatian dengan persoalan kemanusiaan dengan memberikan beasiswa kepada seorang non-Kristen untuk belajar dan membiayai pendidikan kepada para pejuang kemanusiaan seperti Munir SH. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kita umat Islam. Bantuan yang ada dari kaum muslimin lebih terfokus pada bantuan-bantuan berupa pembangunan fisik seperti masjid dll. Saya tidak antipati dengan cara ini, tetapi menurut saya pembangunan manusia jauh lebih penting daripada pembangunan fisik seperti masjid. Masjid dan lain sebagainya hanya akan bernilai oleh orang – orang yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang dirinya dan tanggungjawabnya kepada Sang Pencipta. Dari lembaga bantuan (yang saya ketahui) sangat sedikit dari mereka yang mengalokasikan dana bantuannya untuk pemberdayaan kepada orang-orang yang memiliki perhatian kepada rakyat miskin dan yang tertindas. Membiayai mereka untuk menjadi pemimpin, dan penggerak bagi para orang–orang tertindas di seluruh dunia. Dunia Islam kini adalah didominasi oleh penindasan dimana-mana. Padahal Nabi Saw dan nabi-nabi sebelumnya selalu bersama dan berpihak pada orang-orang tertindas. Kebetulan saya pernah mendapatkan pelatihan yang cukup memadai mengenai aktivitas serikat pekerja dari salah satu lembaga gereja. Pada saat menerima pelatihan tersebut, saya tidak peduli dengan siapa yang memberi dan mendanai saya. Bahwa mereka memiliki kepentingan yang sama untuk mengangkat dan memberdayakan pekerja, maka saya akan dukung dan terima, dari siapapun dana itu diperoleh. Mungkin saya terlalu praktis dan berfikir jangka pendek melihat ini. Bagi saya kebenaran bukanlah monopoli Islam saja. Kebenaran tidak identik dengan simbol agama tertentu. Kebenaran seperti Muthahhari jelaskan dalam bukunya Keadilan Ilahi, memiliki hakikatnya sendiri. Bahkan Imam Ali as pernah mengatakan,…”lihatlah pembicaraannya jangan kamu lihat siapa yang berbicara”. Ditempat lain ia mengatkan, …”ambilan ilmu darimana saja ia berasal”. Nabi kita pun menganjurkan kita untuk belajar ke negeri Cina yang nota bene mayoritas penganut Budha atau Konfusianisme (Kong Hu Chu).
Seorang Munir SH adalah orang yang sangat berani melawan arus menentang bentuk penindasan dan kezaliman khususnya di zaman orde baru. Ia adalah tokoh yang dipilih oleh majalah Ummat sebagai tokoh untuk tahun 1998 dengan segenap kiprahnya ditahun itu.

Majalah Ummat adalah majalah Islam modern perkotaan yang dulu cukup berani menyajikan berita–berita tentang politik dll. Kini majalah itu tidak lagi terbit. Banyak awaknya kini menjadi wartawan di beberapa media besar seperti Tempo, Gatra dll.
Ia mendirikan Kontras dimana saat itu banyak aktivis gerakan pro demokrasi diculik dan dihilangkan nyawanya. Lembaga ini menjadi corong yang paling nyaring menyuarakan kepentingan para aktivis yang diculik saat itu. Mudahan-mudahan Munir SH mendapatkan syafaat dari Rasulullah Saw dengan perjuangan heroiknya tersebut. Ia telah membasahi tanah negeri ini dengan sikap-sikapnya yang sangat ksatria, yang akan tetap dikenang dan dijadikan panutan bagi para pejuang demokrasi selanjutnya. Sekali lagi ini pandangan pribadi saya yang sangat subjektif. Mungkin ada banyak pihak tidak sependapat dengan penilaian saya ini. Ini alam demokrasi. Orang sah-sah saja berbeda pendapat.

Mudah-mudahan nantinya kami akan menyusul langkah-langkah anda bung Munir SH. Menjadi syahid, dan menjadi saksi kepada generasi selanjutnya tentang kegigihan dalam membela kebenaran adalah cita-cita pengikut Rasulullah Saw dan Imam Husein as.

Kesyahidan Imam Husein as di Karbala menjadi saksi bagi seluruh pengikut Rasulullah selanjutnya untuk mendambakan gugur dalam membela kebenaran. Kesayhidannya ini menginspirasi jutaan rakyat Iran meruntuhkan regim Syah yang didukung AS dan Isreal (dawn with America and Israel). Ia juga membakar para pejuang Hizbullah sehingga mereka mampu mengusir tentara Israel pulang ke kampungnya dengan tertunduk malu.

Lalu dimana cerita yang mengherankan itu terjadi? Saya mengatakan kepada rekan saya di kantor sekitar dua minggu yang lalu, bahwa saya akan bersikap golput untuk tidak memilih capres yang tersedia, antara Mega dan SBY pada putaran kedua 20 September 2004, nanti. Buat saya keduanya tidak memiliki track record yang mumpuni. Walaupun salah satunya SBY nampak memiliki performance yang lebih unggul daripada Mega, tapi dengan melihat komposisi team sukses kepresidenannya, saya jadi agak meragukan jika nantinya SBY terpilih, ia dapat membuktikan janji-janjinya tersebut. Kabinet adalah sebuah lembaga eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan. Diperlukan team work dan komitmen yang tinggi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Saya tidak melihat orang–orang yang bergelut dan concern terhadap rakyat miskin pada kedua team mereka.

Keputusan golput saya tarik jika salah satu dari keduanya mengangkat Munir SH menjadi jaksa agung. Artinya saya tidak akan golput jika salah satu dari kedua calon tersebut mengumumkan bahwa Munir SH adalah calon jaksa agung mereka pada kabinet kepriesidenan mendatang. Dan ternyata memang saya harus tetap golput, karena Munir SH tidak akan pernah menjadi jaksa agung seperti yang saya harapkan. Munir SH telah menemui Tuhannya yang lebih mencintainya. Walaupun Munir SH mati muda tapi semangatnya akan tetap menyala bagi para pejuang kebenaran. Selamat jalan bung Munir SH.

Peristiwa kedua terjadi malam yang lalu. Sehabis hadir pada kuliah umum mengenai kewirausahaan untuk mata kuliah pengantar bisnis, di FE Ekstension yang diselenggarakan oleh BEM FE Ekstensi, yang menampilkan dua pembicara, yang pertama pimpinan dari Holding Company Easco Group Bp. Emil dan Sdr. Dandosi Mahram alumnus FE Ekstensi UI tahun 1990, yang merupakan pengamat dan praktisi pasar modal ternama di Indonesia. Saya sempat mampir sekitar 30 menit di sentra pasar modal milik Danareksa Sekuritas, tepatnya dipojok dekat ATM BCA di sudut FE UI. Saya berdiskusi dengan sdr. Satrio yang juga alumnus FE UI tahun 1991 seputar pasar modal. Terus terang saya masih sangat awam dengan pasar modal.

Kami berdiskusi panjang lebar hingga masuk pada persoalan yang sangat penting untuk diketahui oleh orang–orang yang ingin berinvestasi di pasar modal. Persoalannya adalah kapan kita akan masuk untuk membeli saham dan kapan saat kita harus menjual. Ini pengetahuan penting yang harus diketahui sebagai starting point masuk dunia pasar modal.

Kita tidak dapat membeli saham sendiri namun harus melalui melalui perusahaan sekuritas yang telah terdaftar di Bapepam dengan dikenai biaya (fee) sekitar 0.3% dari nilai transaksi. Transaksi berlangsung real time dan penyerahan uangnya untuk membeli adalah H+3 sementara untuk menjual H+4.

Menurut Satrio, dunia pasar modal adalah dunia yang mengharuskan kita untuk tidak saja memahami angka–angka yang tercantum dalam laporan keuangan, namun kita juga harus dapat memahami peristiwa ekonomi dan politik skala globa maupun isyu regional. Para pialang harus menjadi demikian aware terhadap seluruh proses yang terjadi di dunia ini. Karena seluruh efek dari peristiwa global akan sangat mempengaruhi perdagangan saham. Dunia telah sedemikian interdependensi. Saat itu Satrio menyebut bahwa saham dapat saja mudah jatuh jika besok hari ternyata terjadi bom meledak atau ada peristiwa force majeur lainnya.

Ternyata pada siang hari keesokan harinya, tepatnya pukul 10:30 WIB terjadi bom yang sangat dahsyat (huge explosive) di Kedutaan Australia di Jl. H. R. Rasuna Said. Bom berkekuatan besar itu dalam tayangan TV terlihat mampu menjebol pintu pagar gedung kedutaan Australia. Tidak itu saja, bom itu juga memecahkan kaca–kaca gedung yang berdekatan dengan lokasi kejadian dalam radius 500 m. Diperkirakan kekuatan bom ini jauh melebihi apa yang terjadi di Bali dan Hotel J. W. Marriot. Satu peristiwa kelabu kembali mewarnai Republik yang baru saja berulangtahun ke 59 ini. Indonesia menjadi salah satu ladang subur terjadi peristiwa teroris di seluruh dunia. SCTV menyebutnya sebagai “Indonesia Menangis”. Kita mengutuk peristiwa seperti itu dan jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam.

Saya sendiri agak heran dengan kedua peristiwa yang secara tidak sengaja dan sadari saya ketahui sebelum terjadinya sebuah peristiwa. Apakah ini kebetulan? Tapi beberapa kali sering kita mengalami hal ini. Apa arti fenomena ini? Ini masih rahasia besar buat saya. Ada yang bisa bantu?

Source

Mungkinkah Bumi Kosong dari Seorang Imam…?


Kebutuhan manusia pada agama dan tafsiran yang benar tentang agama tersebut adalah sesuatu yang abadi. Nabi besar Muhammad SAWW datang dan membawa agama Islam sebagai agama Tuhan yang terakhir, dan seluruh hukum-hukumnya telah diterangkan secara sempurna. Dan setelah beliau wafat, dengan dalil-dalil akal harus ada seseorang yang dipilih dari seluruh manusia yang memiliki kemampuan seperti Nabi dalam bidang ilmu dan Ismah (keterjagaan dari dosa), dan mereka adalah tidak lain para imam yang terpilih.

Mungkinkah Bumi Kosong dari Seorang Imam…?

 ان الارض لا يخلو من حجة اما ظاهرا و اما مغفورا  

“Sesungguhnya, bumi tidak akan pernah kosong dari seorang Hujjah(Imam), baik ia tampak ataupun tersembunyi”[1]  

Syarah:           
 Sabda ini adalah bagian petikan dari tauqiat (komunikasi tertulis) yang ditulis oleh Imam Zaman af kepada Usman bin Said Al-‘Amri dan putranya Muhammad, beliau setelah berpesan banyak tentang beberapa masalah, kemudian beliau mengingatkan pada suatu permasalahan berikut, beliau bersabda: …dipermukaan bumi, harus selalu ada hujjah Allah SWT, dan tidak dapat dibayangkan walau sedetik pun jika tidak ada seorang Imam Yang maksum (Terjaga dari dosa). 

Kebutuhan manusia dan makhluk lainnya kepada seorang imam adalah kelanjutan dari kebutuhan mereka kepada seorang rasul. Kebutuhan manusia kepada seorang yang maksum, baik itu seorang rasul ataupun imam, dapat kita teliti dari beberapa sudut pandang dan pendapat yang berbeda. Salah satunya adalah kebutuhan mereka  kepada undang-undang Ilahi dan penafsirannya dari seorang yang maksum. Dalam buku-buku teolog, telah dibuktikan melalui dalil-dalil akal bahwa manusia untuk memperbaiki kehidupan dunianya dan sampai pada kebahagiaan abadi di akherat kelak, membutuhkan seorang rasul.

  Kebutuhan manusia pada agama dan tafsiran yang benar tentang agama tersebut adalah sesuatu yang abadi. Nabi besar Muhammad SAWW datang dan membawa agama Islam sebagai agama Tuhan yang terakhir, dan seluruh hukum-hukumnya telah diterangkan secara sempurna. Dan setelah beliau wafat, dengan dalil-dalil akal harus ada seseorang yang dipilih dari seluruh manusia yang memiliki kemampuan seperti Nabi dalam bidang ilmu dan Ismah (keterjagaan dari dosa), dan mereka adalah tidak lain para imam yang terpilih.

 Dikarenakan lemahnya masyarakat dalam menerima kebenaran, Imam Zaman af juga mengingatkan pada satu ponit penting, bahwa tidak semua dari para imam harus memimpin suatu pemerintahan atau selalu hadir dan berada di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana juga para nabi dan para washi­ terdahulu yang tidak semuanya juga mencapai pada sebuah pemerintahan dan sebagian dari mereka juga tidak hadir dalam beberapa waktu di tengah-tengah masyarakat. [ ](Sahib Al-Zaman)
                      


[1] Kamaluddin jilid 2, hal 511, Biharul Anwar jilid 53 hal. 191 catatan ke 19.

IMAMAH : PELANJUT KENABIAN.

MAKNA IMAMAH
Pelanjut kenabian dan pembimbing selain nabi sebagimana disebutkan sebelumnya adalah sebuah keharusan pula. Dan dalam mazhab ahlul bait, pelanjut tersebut dikenal dengan imam, yang menjadi washi (penerima wasiat), khalifah (pengganti), dan wali (pemimpin) setelah Nabi saw. Jadi imamah adalah konsep kepemimpinan yang diyakini oleh umat syiah.

Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata imam. Kata imam sendiri berasal dari kata “amma” yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imam berarti “pemimpin atau contoh yang harus diikuti, atau yang mendahului”. Orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat. Dalam al-Quran, kata imam memiliki banyak makna sesuai dengan konteksnya, dan salah satu maknanya adalah pemimpin. Dan pemimpin tersebut bisa dalam makna negatif maupun positif, dalam makna pemimpin umum maupun khusus yang bersifat spiritual.[1]

Kata imam yang berarti pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum bisa digunakan untuk sebutan pemimpin pemerintahan atau pemimpin politik (sekuler), dan bisa pula untuk pemimpin agama. Sedangkan dalam arti pemimpin yang bersifat khusus, yakni sebagai pemimpin spiritual, bisa saja berimplikasi politik karena dipengaruhi oleh tuntutan keadaan. Karena, pada kenyataannya, upaya melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat dalam ajaran Islam, tidak hanya menyangkut pribadi tapi juga kehidupan kolektif, sebab itu, urusan seorang imam bisa berdimensi politis.[2]

Secara istilah, imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan juga urusan dunia sekaligus. Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan mutlak agama dan negara, dunia dan akhirat, mesjid dan istana, atau ulama dan politikus. Inilah yang menjadikan penganut syiah, tidak hanya memandang para imam sebagai pengajar agama, tetapi juga sebagai pengatur segala urusan umat yang berhubungan dengan pranata-pranata sosial, politik, keamanan, ekonomi, budaya, dan seluruh kebutuhan interaksi umat lainya.

Dalam syiah konsep imamah berarti meyakini bahwa Allah swt melalui lisan Nabi-Nya telah mengangkat orang-orang yang memiliki kualitas tinggi untuk menjadi pemimpin umat setelah wafatnya Nabi Muhammad saaw.

KEDUDUKAN IMAMAH SEBAGAI USHULUDDIN.

Keyakinan pada posisi imamah ini begitu mendasar dalam mazhab syiah imamiyah, sehingga dijadikan salah satu prinsip agama (ushuluddin), selain keyakinan pada ketuhanan (tauhid), keadilan (al-adl), kenabian (an-nubuwah), dan hari kebangkitan (al-ma’ad). Sehingga secara sederhana dapat dikatakan, seseorang dapat disebut sebagai penganut syiah jika ia mempercayai adanya imam yang dipilih Nabi saaw, yang secara formal berhak penuh melanjutkan kedudukan menggantikan Nabi Muhammad sebagai Imam seluruh umat, yang dalam keyakinan syiah, orang yang dipilih nabi tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, kerabat dan menantu beliau.

Sebagai dasar pikirnya, syiah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa’adah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia.[3]

Hal ini juga berdasar pada wahyu ilahi. Misalnya, di dalam al-Quran, Allah berfirman bahwa manusia diperintahkan untuk bergabung dengan orang-orang yang takwa dan benar, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar” (QS. Al-Taubah: 119).

Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam barisan orang-orang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir sunni dan syiah terhadap makna ayat ini.[4]

KRITERIA IMAMAH: ISHMAH DAN ILMU.

Imam yang menggantikan Nabi Saw bukanlah sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi Saw. oleh karena itu, persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apa pun) dan ilm (ilmu yang sempurna).[5] Dalam hal ini, berdasarkan pada nas-nas yang shahih, syiah menegaskan bahwa orang yang memiliki sifat demikian hanyalah orang-orang tertentu (bukan semuanya) dari ahlul bait yang memiliki kedekatan dengan Nabi Saaw. Ahlul bait nabi yang dimaksud sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran (Q.S. al-Ahzab: 33) diantaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan kedua anaknya, Imam Hasan dan Imam Husain.

Imamah yang memiliki sifat ‘ismah perlu, karena syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi (tersaksikan dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna, tanpa cacat dan kesalahan.[6]

Ishmah dan ilmu berjalan seiring dan saling dukung. Maksudnya, ishmah diperoleh salah satunya melalui ilmu yang sempurna. Dengan ilmunya, seorang imam mengetahui hukum-hukum agama dan akibat-akibat yang ditimbulkan karena melanggar ajaran-ajaran agama tersebut. Dengan ilmu yang yakin (ilmu al-yakin) dan menyaksikan konsekuensi perbuatannya (ain al-yakin), seorang imam akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan maksiat dan dosa. Laiknya seperti orang yang mengetahui dengan ilmunya yang pasti bahwa minyak panas akan dapat melukai dan menghancurkan kulitnya, maka ia tidak akan mau mencelupkan tangannya ke dalam kuali yang berisi minyak panas, walaupun hal itu belum pernah dicobanya.

Syiah, selain menggunakan dalil akal untuk menetapkan ‘ishmah para Imam, juga mengajukan dalil naqli, al-Quran dan hadits. Diantaranya yang cukup jelas adalah firman Allah kepada Nabi Ibrahim as, bahwa imam akan diangkat dari keturunannya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ’sesungguhnya Aku menjadikan engkau Imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman: “Janjiku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 124).

Ayat ini membicarakan tentang kisah Nabi Ibrahim as. yang setelah melewati fase kenabian dan kerasulan, dan setelah lulus dalam sejumlah ujian berat, maka Nabi Ibrahim as. diangkat menjadi Imam seluruh manusia. Dengan kesungguhannya, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi ini.

Frase terakhir dari ayat di atas menegaskan bahwa ketetapan Allah tidak akan mengenai orang-orang yang zalim. Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa dalam hal ini, secara terperinci kelompok manusia dibagi pada empat posisi, yaitu :
  1. Manusia yang zalim sepanjang umurnya.
  2. Manusia yang tidak zalim sepanjang umurnya.
  3. Manusia yang zalim di awal umurnya, dan tidak diakhir umurnya.
  4. Manusia yang tidak zalim di awal umurnya, tetapi zalim diakhirnya.[7]
Merujuk pada pembagian ini, maka kelompok manusia yang kedualah yang berhak mendapat dan diangkat menjadi imam, karena tidak pernah berbuat zalim alias maksum, seperti ditegaskan oleh ayat di atas. Sebab seseorang yang berbuat dosa adalah orang zalim atas dirinya, sesuai dengan firman Allah, “…di antara mereka ada yang manganiaya diri mereka sendiri.” (Q.S. Fatir: 32).

Selain ayat di atas, Allah juga menegaskan kepada manusia untuk mematuhi pemimpin melalui firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu.” (Q.S. al-Nisa’: 59).

Ayat tersebut menunjukkan bahwa ulil amri yang wajib ditaati adalah pemimpin yang senantiasa cocok dengan hukum Allah Swt. Ketaatan mutlak tidak akan pernah dilaksanakan kecuali jika pemimpin tersebut adalah orang yang maksum. Sebab, jika mereka berbuat kesalahan, maka harus ditegur dan ditolak saat itu juga. Sikap semacam ini bertentangan dengan keharusan taat kepada mereka. Akhirnya dua perintah Allah akan menjadi saling berbenturan, padahal keduanya menuntut adanya pelaksanaan untuk menghindari murka Yang Maha Kuasa, dalam arti kata taat kepada mereka.[8]

Sedangkan ayat yang secara jelas menyebutkan ahlul bait adalah ayat tathir,Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Q.S. al-Ahzab: 33)

Para ulama ahli hadis, tafsir, dan sejarawan menyatakan bahwa ayat di atas turun kepada lima orang, yaitu Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein. Hal ini dapat ditemukan dalam banyak literatur baik di kalangan sunni maupun syiah seperti Musnad Ahmad bin Hambal, Mustadrak al-Hakim, Sunan al-Turmizi, tafsir Al-Tabari, Tarikh Baghdadi dan lain-lain.[9] Bahkan beberapa buku ditulis khusus untuk menguraikan tentang ayat tersebut, diantaranya[10]:
  1. Sayid Syahid al-Qadhi Nurullah al-Tusturi, Al-Sahab al-Mathir fi Tafsiri Ayat Tathir.
  2. Allamah Baha’uddin Muhammad bin Hasan al-Isfahani yang dikenal dengan gelar al-Fadhil al-Hindi, Tathir at-Tathir.
  3. Allamah Sayid Abdul Baqi al-Husaini, Syarhu Tathir at-Tahir.
  4. Syekh Abdul Karim bin Muhammad bin Thahir al-Qummi, Al-Shuwar al-Munthabaah.
  5. Syekh Ismail bin Zainal Abidin yang bergelar Misbah, Tafsir Ayat at-Tathir.
  6. Syekh Muhammad Ali bin Muhammad Taqi al-Bahrain, Jala’ul Dhamir fi Halli Musykilat Ayat Takhir.
  7. Allamah Syekh Abdul Husain bin Mustafa, Aghlab ad-Dawain fi Tafsiri Ayat Tathir.
  8. Syekh Luthfullah Ash-Shafi, Risalah Qayyimah fi Tafsiri Ayat Tathir.
  9. Sayid Ja’far Murtadha al-Amili, Ahlulbait fi Ayat at-Tathir.
  10. Syekh Muhammad Mahdi ash-Shifi, Kitab fi Maqal Ayat Tathir.
  11. Sayid Ali al-Muwahhid al-Abthahi, Ayat Tathir fi Ahadits al-Fariqain.
  12. Syekh Ja’far Subhani, Ayat at-Tathir.
  13. Sayid Kamal haydari, al-Ishmah.
Dengan demikian, nas-nas al-Quran di atas secara jelas mengungkapkan bahwa, kepemimpinan ilahiah dalam Islam tidaklah berakhir setelah Rasulullah saw  wafat. Akan tetapi, garis imamah dilanjutkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan orang-orang suci dari keturunannya melalui jalur Imam Ali dan Fatimah al-Zahra as.

Dan batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, kemaksuman yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa dan kesalahan, serta memiliki ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agama serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman. Setidaknya ada tiga syarat penting yang mesti dimiliki seseorang untuk menduduki posisi Imamah yaitu :
  1. Merupakan pilihan dan diangkat oleh Allah swt, bukan diangkat oleh masyarakat umum
  2. Memiliki keilmuan yang mencakup keseluruhan ilmu yang diperoleh secara ladunni dari sisi Allah swt.
  3. Maksum dari segala kesalahan dan kekeliruan serta dosa.[11]
Ketiga syarat tersebut mengindikasikan bahwa orang yang menjadi imam mestilah diangkat oleh Allah, seperti halnya para Nabi, bukan diangkat oleh manusia. Namun, orang yang diangkat Allah swt haruslah orang yang memiliki kualitas kenabian secara lahiriah dan ruhaniah seperti yang disyaratkannya memiliki ilmu dan kemaksuman. Orang-orang yang memiliki kualitas seperti ini hanya Allah swt yang mengetahuinya, karena hanya Dialah yang senantiasa mengawasi manusia dengan kecermatan, ketelitian, dan pengawasan yang tidak mungkin dihinggapi kekeliruan.

Selain itu, Imamah juga merupakan petunjuk pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan Ilahi yang mesti dijalankan manusia. Tuhan dianggap adil karena Ia ingin manusia berjalan di garis yang benar; Tuhan pencipta manusia dan tidak akan membiarkan makhluk-Nya dalam kesesatan. Untuk misi itulah para rasul dan imam diutus oleh Tuhan.

PENGANGKATAN DAN PENUNJUKKAN IMAM.

Seperti disebutkan di atas bahwa pengangkatan atau penunjukan imam merupakan hak preogratif Allah swt, yang disampaikan melalui wahyu dan lisan Rasulullah saaw. Manusia tidaklah memiliki peran dalam pemilihan tersebut, disebabkan penentuan seorang imam menunut kelayakan zatiah, yakni kelayakan yang mana pada diri seseorang telah tertanam sifat-sifat dan kriteria imam seperti ishmah dan ilmu secara sempurna dan telah menjadi jati dirinya.

Imamah dalam pandangan kaum syiah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat, yang kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Khwajah Nasiruddin at-Thusi sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari menggunakan ungkapan ilmiah dan mengatakan bahwa Imam adalah luthf (karunia) Allah. Maksudnya seperti kenabian dan berada di luar otoritas manusia. Karenanya, Imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti Nabi Saw, Imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi berhubungan langsung dengan Allah Swt, sedangkan Imam diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah Swt.[12]

Pandangan ini diperkuat dengan penunjukan langsung Rasulullah Muhammad saaw untuk menjadikan Imam Ali sebagai pemimpin (maula, waliy) seluruh kaum muslimin sesaat setelah menyelesaikan haji wada’. Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan “hadits ghadir khum” yang mencapai derajat mutawatir.
Jumhur ulama Islam baik dari sunni dan syiah telah mengakui bahwa Nabi Saw pada hari ke-18, pada bulan Zulhijjah tahun ke-10 H, sepulangnya dari haji wada’ menuju Madinah al-Munawarah, beliau berhenti di Ghadir, di sebuah dataran yang bernama Khum. Beliau memerintahkan orang yang mendahuluinya untuk kembali dan menanti orang-orang yang tertinggal di belakang. Sehingga semua orang yang bersama beliau berkumpul, jumlah mereka pada waktu itu diperkirakan mencapai 70.000 orang atau lebih, dan ada yang berpendapat 120.000 orang.[13]

Rasulullah naik ke atas mimbar, beliau berbicara dengan khutbah yang sangat istimewa. Pesan-pesan ilahiah mengenai persaudaraan, keimanan, keutamaan Islam, dan sebagainya disampaikan nabi saaw dengan fasihnya. Hingga kemudian beliau menyampaikan akan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib, mendoakannya dan mendoakan orang-orang yang mendukungnya, serta mereka yang menjadikannya sebagai wali.[14]

Kemudian, beliau memerintahkan para sahabatnya agar menyediakan tempat bagi Ali, kemudian mendudukkannya di tempat itu. Nabi kemudian memerintahkan semua yang bersama beliau untuk mendatanginya, baik perseorangan maupun berjamaah, untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Setelah itu para sahabat diperintahkan nabi membai’at Imam Ali.

Inilah deklarasi umum kepemimpinan Imam Ali, dengan memproklamirkan, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya juga (man kuntu maula hu fa hadza Ali maula hu .[15]

Hadits ini mempunyai banyak jalur periwayatan baik dari jalur sunni maupun syiah, sehingga mustahil untuk diragukan. Ridha al-Hakimi dalam Hamaseh Ghadir menyatakan “Apabila (kriteria keshahihan) hadits al-Ghadir ini tidak kita terima kebenarannya, niscaya tidak ada satupun hadits lain yang dapat kita terima”.[16]

Hal ini karena, hadis al-Ghadir termasuk hadis yang paling mutawatir. Husain Ali Mahfuz, dalam risetnya yang mendalam seputar persoalan Ghadir Khum, telah mencatat dengan dokumentasi bahwa hadits al-ghadir ini telah diriwayatkan oleh paling sedikit 110 sahabat, 84 thabiin, 355 ulama, 25 sejarawan, 27 ahli hadits, 11 mufasir, 18 teolog, dan 5 filolog.[17] Al-Amini dalam karya monumentalnya al-Ghadir sebanyak 11 jilid dengan panjang lebar menelusuri sumber-sumber rujukan hadits tersebut. Al-Amini menyebutkan para perawinya dari kalangan sahabat yang mencapai 110 orang sahabat sebagai berikut :
  1. Abu Hurairah al-Dausi (w.57/58H). Diantaranya diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad jilid VIII, hlm. 290. Al-Khawarizmi di dalam Manaqib, hlm. 130. Ibn Hajar di dalam Tahzhib al-Tahzhib jilid VII, hlm. 327.
  2. Abu Laila al-Ansari (w. 37 H). Diantaranya ditulis oleh al-Khawarizmi, Manaqib, hlm. 35. Al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114 dan Samhudi di dalam kitab Jawahir al-Aqidain.
  3. Abu Zainab bin ‘Auf al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah jilid 3, hlm. 307. dan jilid 5, hlm. 205; Ibn Hajr Asqalani, al-Isabah jilid 3, hlm. 408 dan jilid 4, hlm. 80.
  4. Abu Fadhalah al-Ansari, sahabat Nabi saaw di dalam peperangan Badr. Di antara orang yang memberi penyaksian kepada ‘Ali AS dengan hadith al-Ghadir di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah jilid 3, hlm. 307, dan jilid 5, hlm.205.
  5. Abu Qudamah al-Ansari. Di antara orang yang menyahut seruan ‘Ali AS di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah jilid 5, hlm. 276.
  6. Abu ‘Umrah bin ‘Umru bin Muhsin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah Jilid 3, hlm. 307.
  7. Abu al-Haitsam bin al-Taihan meninggal dunia saat perang al-Siffin tahun 37 H. Diriwayatkan oleh al-Qadhi dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
  8. Abu Rafi’ al-Qibti, hamba Rasulullah SAWAW. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi dalam Maqtal dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam Nakhb.
  9. Abu Dhuwaib Khuwalid atau Khalid bin Khalid bin Muhrith al-Hazali wafat di dalam pemerintahan Khalifah ‘Uthman. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalam Hadith al-Wilayah, al-Khawarizmi di dalam Maqtal.
  10. Abu Bakr bin Abi Qahafah al-Taimi (w.13H). Lihat Ibn Uqdah dalam Hadith al-Wilayah; Abu Bakr al-Ja’abi dalam al-Nakhb, al-Mansur al-Razi dalam kitabnya Hadith al-Ghadir, Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i dalam Asna al-Matalib, hlm. 3.
  11. Usamah bin Zaid bin al-Harithah al-Kalbi (w.54H). Diriwayatkan di dalam Hadith al-Wilayah dan Nakhb al-Manaqib.
  12. Ubayy bin Ka’ab al-Ansari al-Khazraji (w. 30/32H). Lihat Abu Bakr al-Ja’abi dalam Nakhb al-Manaqib.
  13. As’ad bin Zararah al-Ansari. Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4.
  14. Asma’ binti Umais al-Khath’amiyyah. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalam Hadith al-Wilayah.
  15. Umm Salamah isteri Nabi SAWAW. Lihat al-Samhudi al-Syafii dalam Jawahir al-Aqirain; dan al-Qunduzi al-Hanafi dalam Yanabi al-Mawaddah, hlm. 40.
  16. Umm Hani’ binti Abi Talib. Lihat al-Qunduzi l-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 40 dan Ibn ‘Uqdah, Hadith al-Wilayah.
  17. Abu Hamzah Anas bin Malik al-Ansari al-Khazraji hamba Rasulullah saaw (w. 93H). Lihat al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikhnya jilid VII, hlm. 377; Ibn Qutaibah, al-Ma’arif, hlm. 291; al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
  18. Al-Barra’ bin ‘Azib al-Ansari al-Ausi (w. 72H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm. 281; Ibn Majah di dalam Sunan, I, hlm. 28-29.
  19. Baridah bin al-Hasib Abu Sahl al-Aslami (w. 63H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 110; al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
  20. Abu Sa’id Thabit bin Wadi’ah al-Ansari al-Khazraji al-Madani. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
  21. Jabir bin Samurah bin Janadah Abu Sulaiman al-Sawa’i (w. 70H). Diriwayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-Ummal, VI, hlm. 398.
  22. Jabir bin Abdullah al-Ansari (w. 73/74H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Birr di dalam al-Isti’ab, II, hlm. 473; Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tadhib, V, hlm. 337.
  23. Jabalah bin ‘Umru al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah.
  24. Jubair bin Mut’am bin ‘Adi al-Qurasyi al-Naufali (w. 57/58/59 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 31, 336.
  25. Jarir bin ‘Abdullah bin Jabir al-Bajali (w. 51/54 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 106.
  26. Abu Dhar Janadah al-Ghaffari (w.31 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah; Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4.
  27. Abu Junaidah Janda’ bin ‘Umru bin Mazin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 308.
  28. Hubbah bin Juwain Abu Qadamah al-’Arani (w. 76-79H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 103; al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad, VIII, hlm. 276.
  29. Hubsyi bin Janadah al-Jaluli. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307, V, hlm. 203; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa Nihayah, VI, hlm. 211.
  30. Habib bin Badil bin Waraqa’ al-Khaza’i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 304.
  31. Huzaifah bin Usyad Abu Sarihah al-Ghaffari. (w.40/42 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 38.
  32. Huzaifah al-Yamani (w.36 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 40.
  33. Hasan bin Tsabit. Salah seorang penyair al-Ghadir pada abad pertama Hijrah.
  34. Imam Mujtaba Hasan bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
  35. Imam Husain bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Hilyah al-Auliya’, IX, hlm.9.
  36. Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Ansari (w.50/51H). Diriwayatkan oleh Muhibuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, I, hlm. 169; Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabbah, V, hlm. 6 dan lain-lain.
  37. Abu Sulaiman Khalid bin al-Walid al-Mughirah al-Makhzumi (w. 21/22H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
  38. Khuzaimah  bin Thabit al-Ansari Dhu al-Syahadataini  (w.  37H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd  al-Ghabah,III, hlm. 307 dan lain-lain.
  39. 39. Abu  Syuraih Khuwailid Ibn `Umru al-Khaza`i (w. 68  H).Di antara orang yang menyaksikan Amiru l-Mukminin dengan hadis al-Ghadir.
  40. Rifaah bin `Abd al-Munzhir al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
  41. Zubair bin al-`Awwam al-Qurasyi (w. 36 H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin  al-Jazari  al-Syafi`i di dalam  Asna  l-Matalib, hlm. 3.
  42. Zaid  bin Arqam al-Ansari al-Khazraji (w. 66/68  H).   Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV,  hlm.368 dan lain-lain.
  43. Abu Sa`id Zaid bin Thabit (w. 45/48 H).Diriwayatkan  oleh Syamsuddin  al-Jazari  al-Syafi`i di dalam  Asna  l-Matalib,hlm. 4 dan lain-lain.
  44. Zaid Yazid bin  Syarahil al-Ansari. Diriwayatkan oleh  Ibn al-Athir  di dalam Usd al-Ghabah, II, hlm. 233; Ibn Hajr  di dalam al-Isabah, I, hlm. 567 dan lain-lain.
  45. Zaid bin `Abdullah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
  46. Abu Ishak Sa`d bin Abi Waqqas (w. 54/56/58 H).  Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak , III, hlm. 116 dan lain-lain.
  47. Sa`d bin Janadah al-`Aufi bapa kepada `Atiyyah al-`Aufi. Diriwayatkan  oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah , dan lain-lain.
  48. Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji (w. 14/15  H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja`abi di dalam Nakhb.
  49. Abu Sa`id Sa`d  bin Malik al-Ansari al-Khudri  (w.63/64/65H).  Diriwayatkan  oleh al-Khawarizmi di  dalam Manaqibnya, hlm. 8; Ibn Kathir di dalam Tafsirnya, II, hlm. 14 dan lain-lain.
  50. Sa`id bin Zaid al-Qurasyi `Adwi (w. 50/51 H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Maghazili di dalam Manaqibnya.
  51. Sa`id bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  52. Abu `Abdullah Salman al-Farisi (w. 36/37 H). Diriwayatkan oleh  Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna  l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
  53. Abu Muslim Salmah  bin `Umru bin al-Akwa` al-Islami  (w. 74H).  Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan  sanad-sanadnya  didalam Hadis al-Wilayah.
  54. Abu Sulaiman Samurah bin Jundab al-Fazari (w.58/59/60  H). Diriwayatkan  oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di  dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
  55. Sahal  bin Hanif al-Ansari al-Awsi (w. 38 H). Diriwayatkan  oleh  Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna  l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
  56. Abu `Abbas Sahal  bin Sa`d al-Ansari  al-Khazraji  al-Sa`idi (w. 91H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di  dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
  57. Abu Imamah al-Sadiq Ibn `Ajalan al-Bahili (w. 86 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  58. Dhamirah  al-Asadi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah  di  dalam Hadis al-Wilayah.
  59. Talhah bin `Ubaidillah al-Tamimi wafat pada tahun 35  Hijrah di dalam Perang Jamal. Diriwayatkan oleh al-Mas`udi di dalam Muruj  al-Dhahab, II, hlm. 11;  al-Hakim di dalam  al-Mustadrak, III, hlm. 171 dan lain-lain.
  60. Amir bin `Umair al-Namiri. Diriwayatkan oleh Ibn  Hajr  di dalam al-Isabah, II, hlm. 255.
  61. Amir bin Laila bin Dhumrah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 92 dan lain-lain.
  62. Amir bin Laila al-Ghaffari. Diriwayatkan oleh Ibn Hajr  di dalam al-Isabah, II, hlm. 257 dan lain-lain.
  63. 63. Abu Tufail `Amir bin Wathilah. Diriwayatkan oleh  Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 118; al-Turmudhi di dalam Sahihnya, II, hlm. 298 dan lain-lain.
  64. 64. `Aisyah  binti  Abu  Bakr  bin  Abi  Qahafah,  isteri   Nabi (s.`a.w.).  Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  65. Abbas  bin `Abdu l-Muttalib bin Hasyim  bapa  saudara Nabi (s.`a.w.). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  66. Abdu al-Rahman  bin `Abd Rabb al-Ansari.  Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 408 dan lain-lain.
  67. Abu Muhammad bin `Abdu al-Rahman bin Auf al-Qurasyi al Zuhri (w.  31  H). Diriwayatkan oleh  Syamsuddin  al-Jazari  al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 3 dan lain-lain.
  68. Abdu al-Rahman bin Ya`mur al-Daili. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
  69. Abdullah  bin  Abi `Abd al-Asad  al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  70. Abdullah bin Badil bin Warqa’ Sayyid Khuza`ah. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  71. Abdullah bin Basyir al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  72. Abdullah bin Thabit al-Ansari. Diriwayatkan oleh  al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
  73. Abdullah bin Ja`far bin Abi Talib al-Hasyim (w. 80 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  74. Abdullah  bin Hantab al-Qurasyi  al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam Ihya’ al-Mayyit.
  75. Abdullah bin Rabi`ah.  Diriwayatkan oleh  al-Khawarizmi  di dalam Maqtalnya.
  76. Abdullah bin `Abbas (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Nasa`i di dalam al-Khasa`is, hlm. 7 dan lain-lain.
  77. Abdullah bin Ubayy Aufa `Alqamah al-Aslami (w.86/87H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  78. Abu `Abd al-Rahman `Abdullah  bin  `Umar  bin al-Khattab al- `Adawi (w. 72/73 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 106 dan lain-lain.
  79. Abu `Abdu al-Rahman `Abdullah bin Mas`ud al-Hazali (w. 32/33H).   Diriwayatkan  oleh  al-Suyuti  di  dalam  al-Durr  al-Manthur, II, hlm. 298 dan lain-lain.
  80. Abdullah bin Yamil. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 274;  Ibn Hajr di dalam  al-Isabah, II, hlm. 382 dan lain-lain.
  81. Uthman bin `Affan (w. 35 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
  82. Ubaid bin `Azib al-Ansari, saudara al-Bara’ bin  `Azib.  Di antara  orang yang membuat penyaksian kepada `Ali a.s di Rahbah.  Diriwayatkan  oleh Ibn al-Athir di  dalam  Usd  al-Ghabah, III, hlm. 307.
  83. Abu Tarif `Adi bin Hatim (w. 68 H).  Diriwayatkan  oleh  al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38  dan lain-lain.
  84. Atiyyah bin Basr al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  85. Uqbah bin `Amir al-Jauhani. Diriwayatkan oleh  al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68.
  86. Amiru l-Mukminin `Ali bin Abi Talib a.s. Diriwayatkan  oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 152; al-Haithami  di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107;  al-Suyuti  di dalam Tarikh al- Khulafa’, hlm. 114; Ibn Hajr di dalam  Tahdhib  al-Tahdhib, VII, hlm. 337; Ibn Kathir di  dalam  al-Bidayah wa al-Nihayah, V, hlm. 211 dan lain-lain.
  87. Abu Yaqzan `Ammar bin Yasir (w. 37H).Diriwayatkan  oleh Syamsuddin  al-Jazari al-Syafi`i di dalam  Asna  al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
  88. Ammarah al-Khazraji al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107 dan lain-lain.
  89. Umar bin Abi Salmah bin `Abd al-Asad al-Makhzumi (w. 83 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  90. Umar bin al-Khattab (w. 23 H). Diriwayatkan oleh  Muhibbuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, II, hlm.  161; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, VII, hlm.  349 dan lain-lain.
  91. Abu Najid `Umran bin Hasin al-Khuza`i (w. 52 H). Diriwayatkan  oleh syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna  al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
  92. Amru bin al-Humq al-Khuza`i al-Kufi (w. 50 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  93. Amru  bin  Syarhabil.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtalnya.
  94. Amru bin al-`Asi.  Diriwayatkan oleh Ibn Qutaibah di dalam al-Imamah wa al-Siyasah, hlm. 93 dan lain-lain.
  95. Amru bin Murrah al-Juhani Abu Talhah atau Abu Maryam. Diri-wayatkan  oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz  al-`Ummal, VI, hlm. 154 dan lain-lain.
  96. Al-Siddiqah Fatimah binti Nabi (s.`a.w.).Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
  97. Fatimah binti Hamzah bin `Abdu l-Muttalib. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
  98. Qais bin Thabit bin Syamas al-Ansari. Diriwayatkan oleh  Ibn al-Athir  di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368;  Ibn Hajr  di dalam al-Isabah, I, hlm. 305 dan lain-lain.
  99. Qais bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
100.  Abu Muhammad Ka`ab bin `Ajrah al-Ansari al-Madani (w. 51 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
101.  Abu Sulaiman Malik  bin  al-Huwairath al-Laithi  (w. 84  H). Diriwayatkan  oleh  al-Suyuti di dalam  Tarikh  al-Khulafa’, hlm. 114 dan lain-lain.
102.  Al-Miqdad bin `Amru al-Kindi al-Zuhri (w. 33 H). Diriwayatkan  oleh  Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan  lain-lain.
103. Najiah bin`Amru al-Khuza`i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di  dalam Usd al-Ghabah, V, hlm. 6;  Ibn Hajr di  dalam al-Isabah, III, hlm. 542 dan lain-lain.
104. Abu Barzah Fadhlah  bin `Utbah al-Aslami (w. 65 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
105. Na’mar bin `Ajalan al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi  di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68 dan lain-lain.
106.  Hasyim al-Mirqal Ibn`Utbah  bin Abi Waqqas al-Zuhri (w.  37H).  Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd  al-Ghabah, I, hlm. 366; Ibn Hajr di dalam _al-Isabah, I, hlm. 305.
107.  Abu Wasmah Wahsyiy bin Harb al-Habsyi al-Hamsi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
108.  Wahab bin Hamzah.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi pada Fasal Keempat di dalam Maqtalnya.
109.  Abu Juhaifah Wahab bin`Abdullah al-Suwa’i (w. 74 H).  Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
110.  Abu Murazim Ya’li  bin Murrah bin Wahab al-Thaqafi. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah , II, hlm.233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah , III, hlm. 542[18].

Demikianlah  110 perawi-perawi hadis  al-Ghadir  di kalangan sahabat  mengenai  penunjukan Ali a.s sebagai imam atau khalifah secara langsung oleh Rasulullah saaw. Kemudian diikuti pula oleh 84 perawi-perawi dari golongan para Tabi`in yang meriwayatkan hadis al-Ghadir serta 360 perawi-perawi di  kalangan para ulama Sunnah  yang  meriwayatkan  hadis tersebut di dalam buku-buku mereka. Bahkan terdapat 26 pengarang dari  kalangan para ulama Ahl al-Sunnah yang mengarang  buku secara khusus tentang hadis al-Ghadir, diantaranya :[19]
  1. Ahmad Zaini Dahlan al-Makki al-Syafii dalam kitabnya Futuhat al-Islamiyah
  2. Syeikh Yusuf al-Nabhani al-Beiruti dalam kitabnya al-Syaraf al-Muayyad
  3. Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsir al-Manar
  4. Abdul Hamid al-Alusi al-Baghdadi dalam kitabnya Natsr al-La’ali
  5. Sayyid Mukmin Sablanji al-Misri dalam Nur al-Abshar
  6. Syeikh Muhammad Habibullah Syanqithi dalam Kifayah al-Thalib
  7. Dr. Ahmad Rifai dalam kitabnya Ta’liqat Mu’jam al-Udaba
  8. Ahmad Zaki al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat al-Ghani
  9. Ahmad Nashim al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat Diwan Mihyar Dailami
  10. Muhammad Mahmud Rifai dalam kitabnya Syarhu al-Hasyimiyat
  11. Nashir as-sunnah al-Hamdhrani dalam Tasynif al-Adzan
  12. Dr. Umar al-Faruk dalam Hakim al-Muammarah.[20]
Adapun ulama Syiah diantaranya :
  1. Syeikh Ahmad bin Ali bin Abi Thalib at-Thabarsi menulis kitab al-Ihtijaj
  2. Mir Hamid Husain al-Hindi dalam karyanya Abaqat al-Anwar sebanyak 20 jilid
  3. Syeikh Abdul Husain al-Amini dalam karyanya al-Ghadir sebanyak 11 jilid
  4. Ali Akbar Shadeqi, Payam Ghadir (Khutbah al-Rasul saw fi Ghadir Khum).
  5. Syeikh Ayub al-Hairi, al-Ghadir
Adapun mengenai jumlah imam, syiah meyakini adanya 12 imam. Hal ini didukung teks-teks hadits yang cukup terkenal yang diriwayatkan para ahli hadits di dalam kitab-kitab utama mereka seperti : Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, serta kitab-kitab standar lainnya yang jika kita telusuri akan mencapai setidaknya 270 riwayat, diantaranya Al-Qanduzi al-Hanafi menyebutkan di dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah, bahwa Yahya bin Hasan di dalam kitab al-’Umdah meriwayatkan dua puluh jalur mengenai khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas dan seluruhnya Quraisy. Adapun di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, dalam Sunan Abu Dawud melalui tiga jalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi melalui tiga jalan.

Ayatullah Ibrahim Amini meneliti hadits-hadits tentang 12 imam atau khalifah dan mengelompokkanya menjadi lima kelompok,[21] yaitu :
  1. Hadits-hadits yang menggambarkan bahwa para khalifah dan umara setelah nabi berjumlah 12 orang. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim Jilid III, “Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy.”
  2. Hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para imam berjumlah dua belas orang dan terakhirnya bernama al-Qaim atau Mahdi.
  3. Hadits-hadits yang menyebutkan jumlah 12 orang dengan disertai nama-nama setiap imam.
  4. Hadits-hadits yang menyatakan bahwa para imam ada 12 orang dan semuanya suci.
  5. Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa ahlul bait akan tetap ada hingga hari kiamat.
Syiah meyakini bahwa tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas khalifah yang ditentukan Nabi Muhammad saaw. itu adalah para Imam maksum as. dari Imam Ali bin Abi Thalib as hingga Imam Muhammad al-Mahdi afs.

Meskipun begitu, umumnya ulama sunni tetap menganggap bahwa pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah bukanlah hal yang mutlak, bahkan sebagiannya ada yang menolak persoalan tersebut. Menurut analisa Jalaluddin Rakhmat, setidaknya, dalam menanggapi persoalan ini  para pemikir sunni melakukan enam teknik pengalihan fakta[22], yaitu :
  1. Membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang kabur. Contoh: Tarikh al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi tentang Ali, “Inilah washiku dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam tafsir al-Thabari dan Ibnu Katsir diganti dengan “wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah)”. Tentu kata ‘washi’ dan ‘khalifah’ sangat jelas, sedangkan” wa kadza”  tidak jelas.
  2. Membuang seluruh beritanya dengan memberithaukan bahwa pembuangan cerita itu ada. Contohnya: Dalam buku ‘Shiffin’ karya Nashr bin Mazahim (w. 212 H) dan Muruj al-Dzahab karya al-Masudi (w. 246 H) diceritakan bahwa Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Muawiyah menjelakan keutamaan Imam Ali sebagai ‘washi’ nabi, dan muawiyah mengakuinya. Namun, al-Thabari yang juga menceritakan kisah tersebut dengan merujuk pada buku-buku di atas sebagai sumber, membuang semua isi surat itu dengan alasan supaya orang banyak tidak resah mendengarnya. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, juga menghilangkan isi surat itu dengan alasan yang sama.
  3. Memberikan makna lain (takwil) pada riwayat. Contohnya : al-Thabrani dalam Majma al-Zawaid meriwayatkan ucapan Nabi kepada Salman al-Farisi bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberikan komentar, “Nabi menjadikannya washi untuk keluarganya, bukan untuk khalifah”.
  4. Membuang sebagian riwayat tanpa menyebutkan petunjuk atau alasan. Contohnya: Ibnu Hisyam mendasarkan  kitabnya, Tarikh Ibnu Hisyam pada Tarikh Ibnu Ishaq. Akan tetapi Ibnu Hisyam dalam kata pengantarnya berkata bahwa ia meninggalkan beberapa bagian riwayat Ibnu Ishaq yang jelek bila disebut orang. Diantara yang ditinggalakanya itu adalah kisah “wa andzir ashiratakal aqrabin”, yang dalam Sirah Ibnu Ishaq di riwayatkan Nabi mengatakan “Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada bukunya cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi, “siapa yang akan membantuku dalam urusan ini akan menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Pada cetakan kedua (tahun 1354 H) ucapan Nabi ini dibuang dari bukunya.
  5. Melarang penulisan hadits-hadits Nabi saw, dari masa sahabat sampai masa thabiin, sehingga kemungkinan hadits banyak yang hilang.
  6. Mendhaifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan orang yang kita dukung atau yang menunjukkan kehebatan lawan. Contohnya: Ibnu Katsir mendhaifkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali sebagai washi dan khalifah Nabi. Ia menganggap riwayat ini sebagai dusta yang dibuat-buat orang syiah atau orang-orang bodoh dalam ilmu hadits. Padahal hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat oleh Imam Ahmad, al-Thabari, al-Thabrani, Abu Nuaim al-Isbahani, Ibnu Asakir, dan lainya.
Cara ini telah melahirkan diskusi mazhab yang panjang. Ulama Sunni menulis buku yang menyerang mazhab syiah, dan Ulama syiah membalasnya dengan menulis buku juga sebagai jawaban. Al-Hilli menulis buku Minhaj al-Karamah yang dibantah oleh Ibnu Rouzban (dari sunni) dan dibalas lagi oleh al-Marasyi al-Tustary (dari Syiah). Kompilasi bantahan ini sekarang menjadi buku ‘Ihqaq al-Haq’ sebanyak 19 jilid, yang setiap jilidnya sama dengan ukuran Encyclopedia Britannica. Ibnu Taymiyah menulis buku ‘Minhaj al-Sunnah’ juga untuk membantah buku ‘Minhaj al-Karamah’. Akhirnya ditulislah 11 jilid al-Ghadir dan 20 jilid “Abaqat al-Anwar” untuk membuktikan keshahihan hadits ghadir khum yang didhaifkan Ibnu Taymiyah. Sampai saat ini belum ada bantahan untuk kedua buku tersebut.

HUBUNGAN IMAMAH DAN WILAYAH.

Pada dasarnya, imamah dan wilayah adalah konsepsi yang tak terpisahkan, antara bagian dan keseluruhan. Maksudnya, wilayah adalah payung besar yang menaungi seluruh konsepsi kepemimpinan Islam, baik itu kenabian (an-nubuwah), keimaman (imamah), ataupun keulamaan (fukaha). Ini berarti wilayah merupakan konsepsi yang khas sebagai bentuk distribusi kepemimpinan mulai dari Allah (wilayah Allah), Nabi (wilayah al-nabi), imam (wilayah al-imam), hingga ulama (wilayah al-faqih).

Ayat berikut dipandang oleh syiah sebagai rujukan penting mengenai wilayah: “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan rukuk.” (Q.S. al-Maidah: 55)

Ayat ini menetapkan tiga “kewalian” yaitu Allah, Nabi Muhammad Saw, dan “orang yang beriman”. Frasa terakhir (orang yang beriman) ini, disebutkan oleh para ahli hadits dan tafsir merujuk kepada Imam Ali bin Abi Thalib.[23] Jadi, ayat ini mengindikasikan kewalian Imam Ali bin Abi Thalib, dan para imam lainnya yang wilayah mereka ditetapkan melalui penunjukan mereka oleh Nabi Saw.[24]

Menurut A.A. Sachedina, Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir telah melaksanakan tugasnya mengemban wilayah al-ilahiyah. Wilayah al-Ilahiyah berkaitan dengan visi moral wahyu islami. Wahyu islami memandang kehidupan publik sebagai suatu proyeksi niscaya dari tanggapan pribadi terhadap tantangan moral untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang berdasarkan ajaran-ajaran Allah di muka bumi. Untuk mewujudkan itu, kepemimpinan amat penting. Sebab hanya melalui kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah, penciptaan masyarakat yang ideal dapat diwujudkan. Masalah kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah dalam memenuhi rencana Allah, di bawah naungan wilayah al-Ilahiyah, dengan demikian menempati posisi sentral dalam sistem keimanan atau pandangan Syiah, yang di dalamnya Nabi Muhammad Saw sebagai wakil aktif Allah yang transendental di muka bumi, digambarkan sebagai memiliki wilayah Ilahi. Untuk menjamin kontinuitas visi wahyu yang demikian, kontinuitas realisasi kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan.[25]

Fakta ini demikian penting, sehingga baik selama masa hidup Nabi Muhammad Saw, maupun segera setelah wafatnya, masalah kepemimpinan dalam Islam menjadi jalin-berjalin demikian erat dengan penciptaan suatu tatanan Islami. Wahyu Islami tak pelak lagi mengandung arti bimbingan Allah melalui perwakilan yang ditunjuk oleh Allah, yaitu Nabi Muhammad Saw, untuk mewujudkan tatanan masyarakat Islami. Dan setelah Rasulullah Muhammad saaw, amanah untuk menjaga dan mewujudkan tatanan islami itu dilanjutkan oleh para imam yang diangkat oleh Allah melalui lisan wahyu Rasulullah saaw.

IMAMAH DAN WILAYAH SEBAGAI KEPEMIMPINAN UNIVERSAL.

Kata maula[26] dan al-waliy dalam kamus-kamus Bahasa Arab memiliki beberapa arti, diantaranya : yang bertanggung jawab dalam suatu pekerjaan (al-mutawalli fi al-amr), penolong (nashir), teman (shahib), pecinta (muhib), sekutu (haliif), pewaris (warits). 

Akan tetapi, kata al-wali atau maula, sebagaimana terdapat dalam konteks ayat wilayah (Q.S. al-maidah: 55) dan hadits Ghadir Khum di atas, disepakati oleh ulama syiah sebagai konsepsi kepemimpinan universal yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Sedangkan bagi ulama sunni, istilah ini ditafsirkan bermacam-macam, meskipun ada konsensus di antara mereka bahwa ayat dan hadits itu diwahyukan untuk memuji kesalehan dan ketakwaan Ali, namun kata al-wali ditafsirkan sebagai mengandung arti muwalat (persahabatan yang menolong) Ali dan tidak meniscayakan penerimaan akan wilayah (otoritas dalam bentuk kepemimpinan universal/imamah).

Sebagian dari penulis ahli sunnah menyatakan bahwa al-wali atau maula dalam ayat dan hadis “man kuntu maula” berarti teman atau kekasih atau dengan kata lain dalam hadis al-Ghadir, Rasul hanya ingin menegaskan pada kaum muslimin bahwa siapa yang mencintai beliau harus juga mencintai Imam Ali a.s dan tidak lebih dari itu.

Memang tidak ada yang memungkiri bahwa kata al-wali atau maula bisa berarti teman atau kekasih. Akan tetapi, menurut pandangan syiah, dalam konteks ayat wilayah dan hadits al-ghadir, tidaklah tepat memaknai kata tersebut dengan teman atau kekasih dikarenakan alasan sebagai berikut: [27]
  1. Ayat tentang wilayah ini mengandung makna pengaturan dan ketaatan khusus pada tiga wali yakni Allah, Nabi dan ‘orang beriman’ (Imam Ali).
  2. Bahwasanya kecintaan terhadap Imam Ali a.s. dan kecintaan kaum muslimin dengan sesama mereka adalah masalah yang sudah tersebar luas dan diketahui oleh seluruh umat Islam, karena diawal-awal dakwah rasul, beliau selalu menyampaikan “sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara“. Oleh karena itu tidak perlu rasul mengumpulkan ratusan ribu kaum muslimin dalam kondisi dibawah terik matahari hanya untuk menyampaikan bahwa mereka harus mencintai Imam Ali as.
  3. Sesungguhnya sabda Rasul saww, “Bukankah aku lebih berhak atas kalian dibanding dari kalian?”, menandakan yang dimaksud dengan maula dihadis al-Ghadir bukan hanya sekedar kecintaan, akan tetapi kepemimpinan Imam Ali as.
  4. Doa Nabi Muhammad saaw, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Bantulah mereka yang membantunya dan tiggalkanlah mereka yang meninggalkannya”, mengindikasikan kepemimpinan Imam Ali, sebab secara alami dalam kepemimpinan ada yang mendukung dan ada yang memusuhinya.
  5. Ucapan selamat dan baiat yang disampaikan para sahabat kepada Imam Ali as juga membuktikan akan adanya suatu yang istimewa.
Para ulama Syiah, memaknai maula dalam arti pokoknya yang lain, yaitu al-awla bittasharruf (pemimpin) dan al-ahaq (lebih berhak untuk mengemban otoritas), sebab al-awla dalam penggunaan umum sering diterapkan pada seseorang yang dapat mengemban otoritas atau yang mampu mengelola urusan-urusan. al-Wali yang diterapkan pada Nabi Muhammad Saaw, mengandung makna wilayah tasharruf, yang berarti pemilikan akan otoritas yang memberi wali hak untuk bertindak dengan cara apa pun yang dinilainya paling baik, menurut kearifannya, sebagai seorang wakil bebas dalam mengelola urusan-urusan umat. Wilayah al-tasharruf dapat diemban hanya oleh orang yang ditunjuk untuk ini oleh otoritas mutlak yaitu Allah, atau oleh orang yang secara eksplisit ditunjuk oleh Nabi Muhammad Saaw, dalam kedudukan otoritas melalui perwakilan. Konsekuensinya, Imam yang ditunjuk oleh nas sebagai wali memiliki wilayah al-tasharrruf dan diakui sebagai penguasa umat.[28]

Dari hal-hal di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud “maula” dalam hadis al-Ghadir adalah “Khilafah dan Imamah” bagi Imam Ali as. sebagai pemimpin universal. Kepemimpinan universal ini akan terus berlangsung melalui garis para imam, yang secara eksplisit ditunjuk oleh imam-imam sebelumnya.

Dalam pengertian terakhir inilah wilayah imam atas umat terkonseptualisasikan. Karena itu, secara keagamaan, melecehkan para imam yang ditunjuk oleh Allah ini sama saja dengan pengingkaran.
Secara kronologis, kepemimpinan umat pasca Nabi Muhammad saaw, menurut perspektif syiah, dimulai oleh Imam Ali bin Abi Thalib, kemudian anak beliau yakni Imam Hasan al-Mujtaba, Imam Husain, dan dilanjutkan sembilan keturunan dari Imam Husain yaitu Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kazhim, Ali Ridha, Muhammad al-Jawad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan Muhammad al-Mahdi. Hanya saja, Imam yang terakhir ini, meskipun telah lahir pada abad ke-3 Hijrah (tahun 255 H) namun mengalami kegaiban hingga waktu yang tidak diketahui. Dalam masa ketersembunyian Imam Mahdi ini, wilayah imam terdelegasikan kepada ulama yang memenuhi syarat-syarat tertentu untuk secara formal memimpin, membimbing, dan menjelaskan syariat Islam kepada kaum muslimin. Kepemimpinan ulama ini berlaku hingga hadirnya Imam kedua belas, Imam Muhammad al-Mahdi afs.

Ketika al-Mahdi, Imam kedua belas datang kembali, maka otoritas-otoritas temporal dan spiritual akan terpadu pada dirinya seperti halnya Nabi Muhammad saw. Dia akan mempersatukan dua bidang pemerintahan islami yang ideal itu. Maka gagasan tentang Imamah yang ditunjuk di antara keturunan Ali, yang berkesinambungan di sepanjang sejarah dan dalam segala keadaan politis, diperkuat oleh harapan berkenaan dengan Imamah dari Imam terakhir yang sedang gaib. Hal ini mengukuhkan kembali harapan Imamiyah akan pemerintahan islami sejati oleh seorang Imam yang absah dari kalangan keturunan Husein.[29]

Kegaiban  dalam pemikiran dan keyakinan syiah terbagi dalam dua tingkatan. Pertama, “kegaiban kecil” (minor occultation/ghaibah ash-shugra) selama 74 tahun (255-329 H), yaitu ketika Imam Mahdi “bersembunyi di dunia fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam”. Pada masa ini kesulitan dalam hal marja’ (kepemimpinan agama dan politik) relatif bisa diatasi. Karena, posisi marja’ dijabat oleh empat wakil al-Mahdi, yaitu Abu ‘Ammar Usman bi Sa’id, Abu Ja’far Muhammad bin Usman, Abu al-Qasim al-Husain bin Ruh dan Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Samari.

Kedua, “kegaiban besar” (major occultation/ ghaibah al-kubra), yaitu pasca meninggalnya keempat wakil Imam di atas hingga datangnya kembali Imam Muhammad al-Mahdi pada akhir zaman. Dalam periode “kegaiban besar” inilah kepemimpinan didelegasikan kepada para faqih. Konsepsi inilah yang dikenal dengan istilah wilayah al-faqih.


[1] Dalam al-Quran, kata imam (bentuk tunggal) dipergunakan sebanyak 7 kali, dan kata aimmah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi sesuai dengan penggunaanya. Bisa bermakna jalan umum (Q.S. Yasin: 12); pedoman (Q.S. Hud: 7); ikut (Q.S. al-Furqan: 74); dan petunjuk (Q.S. al-Ahqaf: 12). Begitu pula dalam makna pemimpin, kata ini merujuk pada banyak konteks, seperti pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama umatnya untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan mereka (Q.S. al-Isra: 71); pemimpin orang-orang kafir (Q.S. at-Taubah: 12); pemimpin spiritual atau para rasul  yang dibekali wahyu untuk mengajak manusia mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, yaitu Nabi Ibrahim, Ishaq  dan Ya‘qub (Q.S. al-Anbiya: 73); pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum ataupun dalam arti negatif (Q.S. al-Qasas: 5 dan 41); dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah Swt (Q.S. as-Sajadah: 24). Taufik Abdullah. et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid III. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002),  h. 204-206.
[2] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 205.
[3] Pembahasan mengenai dalil-dalil imamah banyak di bahas dalam kitab-kitab syiah. Lihat misalnya, al-Kulaini. Ushul al-Kafi.(Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbuat, 2005). Abdul Husain  Ahmad al-Amini al-Najafi. al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab Jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami lil mathbuat, 1994).
[4] Tentang ayat ini, Fakhr al-Razi, berkomentar; “Ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang yang jaiz al-khatha, yang dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan wajib mengikuti orang yang dijamin kebenarannva atau maksum. Mereka adalah orang yang dimaksud oleh Allah sebagai orang-orang yang benar di atas, as-shodiqun. Prinsip ini bukan hanya berlaku pada satu masa saja, tapi untuk sepanjang masa. Jadi, pada setiap masa pasti ada orang maksum. Lihat Fakr al-Razi. Tafsir al-Kabir  jilid XVI, h. 221.
[5] Tentang ‘Ismah, lihat kembali pembahasan Bab Kemaksuman.
[6] Ibrahim Amini. Para Pemimpin Teladan. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 31. dan 40-64.
[7] Allamah Thabathabai. al-Mizan fi Tafsir al-Quran jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbuat, 1991), h. 270.
[8] Lihat Husain Al-Habsyi.  Sunnah-Syiah dalam Ukhwah Islamiyah.(Malang: Yayasan Al-Kautsar, 1991), h. 186. Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah, h. 61.
[9] Lihat pembahasan khusus tentang ayat ini dalam Ali Umar al-Habsyi. Keluarga Suci Nabi Saw: Tafsir Surah al-Ahzab Ayat 33. (Jakarta: Ilya, 2004). Husain Al-Habsyi.  Sunnah, h. 187, dan  Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah, h. 58.
[10] Lihat Ali Umar al-Habsyi. Keluarga, h. 10-11.
[11] Lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 290.
[12] Murtadha Muthahhari. Manusia dan Alam Semesta. (Jakarta: Lentera, 2002), h. 471.
[13] Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab Syiah. (Bandung: Muthahari Press, 2005), h. 460.
[14] Teks khutbah ini dikumpulkan dengan baik dari berbagai sumber oleh Ali Akbar Shadeqi. Pesan Terakhir Nabi saw: Terjemahan Lengkap Kotbah Nabi saw di Ghadir Khum 18 Dzulhijjah 10 H. (Bandung: Pustaka Pelita, 1998).
[15] Ali Akbar Shadeqi. Pesan terakhir, h. 58. lihat juga Al-Mustdrak li al-Hakim juz 3, h. 109. Musnad Ahmad juz 4, h. 437-438. Sunan al-Tirmizi juz 5, h.297. Husain Al-Habsyi. Sunnah, h. 37. Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab, h. 460-461. Muhammad Baqir al-Majlisi. Bihar al-Anwar Juz al-Hadi wa al-’Isyrun,  (Beirut: Muassasatu al-Wafa’, 1983), h. 387.
[16] Ali Akbar Shadeqi. Pesan Terakhir, h. 18.
[17] Sayid Husain Muhammad Jafri. Dari Saqifah Sampai Imamah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 51.
[18] Abdul Husain  Ahmad al-Amini al-Najafi. al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab Jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami lil mathbuat, 1994), h. 14-158.
[19] Al-Amini. Al-Ghadir, h. 14-158.
[20] Lihat al-Amini. al-Ghadir, h. 147-151.
[21] Lihat Ibrahim Amini. Para, h. 319-321.
[22] Jalaluddin Rakhmat. Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqih: Dari Fiqih al-Khulafa’ al-Rasyidin Hingga Mazhab Liberalisme, dalam Budhy Munawar Rachman. ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 264-266.
[23] Lihat diantaranya : Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa’labi. Tafsir al-Kasyfwa al-bayan ‘an Tafsir al-Qur’an. al-Hakim al-Hiskani. Syawahid at-Tanzil jilid 1 (Beirut), h. 171-177. Jalaluddin as-Suyuthi. Tafsir ad-Durr al-Mantsur. al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-’Ummal jilid 1, h. 305 dan jilid 15, h. 146. (bab keutamaan Ali); ath-Thabrani. Mu’jamah al-Awsath. Al-Hakim an-Naisaburi. Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits. (Mesir, 1937), h. 102. al-Khawarizmi. Kitab al-Manaqib, h. 187. Ibnu ‘Asakir. Tarikh Dimasyq jilid 2, h. 409. Ibnu Hajar al-’Asqalani. al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf. Mesir, h. 56. Muhibuddin ath-Thabari. Dzakha’ir al-’Ugba, h. 201. dan kitab ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2, h. 227. Ahmad bin Yahya al-Baladzari. Ansab al-Asyraf jilid 2 diperiksa oleh Mahmudi (Beirut), h. 150. Al-Wahidi. Asbab an-Nuzul, diperiksa oleh Sayid Ahmad al-Shamad (1389 ), h. 192.
[24] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan Islam Perspektif Syiah. (Bandung: Mizan, 1994), h. 165.
[25] Lihat Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 164.
[26] Al-Amini menyebutkan padanan kata maula hingga mencapai 27 makna yaitu : al-Rab (Tuhan), al-am (paman), ibn al-am (anak paman), al-ibn (anak laki-laki), ibn al-ukht (putra saudari perempuan), al-mu’tiq (pembebas), al-mu’taq (yang dibebaskan), al-abd (hamba), al-malik (penguasa), al-tabi’ (pengikut), al-mun’am alaih (yang diberi nikmat), as-syarik (sekutu), al-halif (sekutu), ash-shahib (teman), al-jar (tetangga), al-nazil (tamu yang berkunjung), al-Shihru (keluarga suami), al-Qarib (teman dekat), al-mun’im (pemberi nikmat), al-faqid (mitra), al-waliy (pelindung), al-aula bi al-syai (yang lebih utama), al-Sayid ghairu al-malik wa al-mu’tiq (tuan), al-muhib (yang mencintai), al-nashir (penolong), al-mutasharrif fi al-amr (yang terlibat dalam urusan), al-mutawalli fi al-amr (yang bertanggung jawab atas urusan). Lihat al-Amini, al-Ghadir, h. 362-363.
[27] Bandingkan dengan Ibrahim Amini. Para, h. 96-97. Tim Penerbit al-Huda (peny). Antologi Islam. (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 301-310.
[28] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 166.
[29] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 167.

 

Terkait Berita: