Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Penciptaan. Show all posts
Showing posts with label Penciptaan. Show all posts

Apakah makna ibdâ’? Apakah ibdâ’ itu merupakan salah satu sifat Tuhan?


Dalam literatur-literatur agama, ibda disebutkan dalam beragam bentuk sebagai salah satu sifat Allah Swt. Dalam al-Quran, kata ini hanya dinyatakan dalam bentuk sifat musyabbah (badi') namun dalam beberapa riwayat dinyatakan dalam beragam bentuk; seperti dalam bentuk sifat musyabbah dengan kata badi', ism fâ'il dengan kata mubdi', kata kerja (fi'il) dengan kata ibdâ' dan ibtada'.

Ibdâ' bermakna penciptaan yang tidak memiliki model dan sampel sebelumnya. Para filosof terkait dengan lafaz ibdâ' sedikit berbeda pendapat; sebagian dari mereka memaknai ibda' sebagai penciptaan pertama; artinya mubda' (yang diciptakan tanpa model dan sampel sebelumnya) adalah sebuah entitas yang tidak memiliki perantara alias ia langsung dalam hubungannya dengan Tuhan; hasilnya mubda' (yang diciptakan) akan terbatas pada akal pertama saja. Namun kebanyakan filosof memaknai bahwa ibdâ' bermakna penciptaan tanpa memerlukan materi dan masa.

Atas dasar itu, meski cakupan mubda'at (bentuk plural dari mubda') lebih luas dari makna pertama namun akan terbatas pada seluruh akal. Namun pendapat lainnya mengatakan bahwa ibdâ' tidak terbatas pada makhluk tertentu; melainkan seluruh entitas dan makhluk itu adalah mubda'ât. Nampaknya pendapat ini selaras dengan ayat dan riwayat.

Jawaban Detil:
Dalam literatur-literatur agama, ibdâ' disebutkan dalam beragam bentuk sebagai salah satu sifat Allah Swt. Dalam al-Quran hanya dinyatakan dalam bentuk musyabbah dengan kata badi' seperti pada ayat berikut:

«بَديعُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ وَ إِذا قَضى‏ أَمْراً فَإِنَّما يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ»

"Dia yang mula-mula mencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh sebelumnya), dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah.' Lalu, jadilah ia." (Qs. Al-Baqarah [2]:117)[1]

Adapun dalam beberapa riwayat kata ibdâ' ini dinyatakan dalam beberapa bentuk. Terkadang dengan bentuk musyabbah yaitu badi' seperti: Ya Badiu Ya Badi'u Ya Qawiyyu Ya Mani'u Ya ‘Aliyyu ya Râfi'i" (Wahai Yang Mahamemulai, Yang Maha Pencipta Yang Baru, Wahai Yang Mahakuat, Wahai Yang Mahamenahan, Wahai Yang Mahatinggi, Wahai Yang Mahameninggikan)[2] Terkadang dinyatakan dalam bentuk ism fâ'il dengan kata mubdi' seperti pada riwayat, "Mubdi' al-asyâ wa khâliquhâ wa munsyi al-asyâ biqudratihi" (Pengada segala sesuatu dan Penciptanya serta Pelaksana segala sesuatu dengan kekuasaan-Nya).[3] Pada sebagian riwayat juga dinyatakan dalam bentuk kata kerja ibdâ' dan ibtada', seperti, "shawwara ma abda'a ‘ala ghairi mitsâl. [4] Abtada'a ma khalaqa bila mitsal sabaq."[5]

Adapun ibdâ' dalam kosa kata Arab bermakna menciptakan sesuatu tanpa adanya sampel dan model sebelumnya.[6] Allamah Thabathabai berkata, "Kata badi' adalah sifat musyabbah dari masdar bada'ah dan bada'ah segala sesuatu bermakna tiada yang serupa dengannya. Serupa di sini maksudnya adalah serupa dengan sesuatu yang dikenal oleh pikiran.[7] Makna ini juga dapat disimpulkan dari beberapa riwayat; karena dalam beberapa riwayat sebagai ikutan dari ibdâ' dan ibtada', secara lahir bermakna penjelasan tiadanya yang serupa dengannya. Sebagai hasilnya, kedua kata ini akan bermakna bahwa Allah Swt merupakan Pengada (atau Pencipta) tanpa (meniru) model dan contoh yang telah ada sebelumnya.

Filosof dan ahli hikmah Ilahi sedikit berbeda pendapat terkait dengan ibdâ'; Ibnu Sina memaknai ibdâ' sebagai penciptaan pertama. Menurutnya, mubda' (yang diciptakan) adalah sebuah entitas yang tidak memiliki perantara alias hubungan langsung antara dirinya dan Tuhan. Sebagai hasilnya, mubda' (baca: yang diciptakan pertama) dalam pandangan Ibnu Sina terbatas pada akal pertama.

Namun ibdâ' dalam pandangan jumhur filosof bermakna penciptaan tanpa memerlukan materi dan masa. Karena itu, berdasarkan fondasi pemikiran mayoritas filosof, seluruh akal bahkan jiwa-jiwa selestial (nufus al-falaki) itu adalah mubda'ât (plural mubda'). Atas dasar itu, mayoritas filosof membagi tiga entitas di alam semesta: Mubda'ât, mukhtara'ât dan mukawwinât.

Mubda'ât adalah silsilah entitas yang tidak memerlukan materi dan durasi (masa) dalam penciptaannya seperti akal-akal non material (‘uqul al-mujarradah). Mukhtari'ât adalah entitas-entitas yang dalam penciptaannya memerlukan hanya materi seperti entitas-entitas selestial. Mukawwinât adalah entitas-entitas yang di samping membutuhkan materi juga memerlukan durasi (masa) yang juga disebut sebagai alam anasir dan alam kaun-fasâd (generasi-korupsi). Karena itu, ibdâ' berada pada posisi teratas dari keduanya.[8]

Sebagai bandingannya, Allamah Thabathabai memandang ibdâ' tidak terbatas pada entitas dan makhluk tertentu, melainkan mencakup seluruh entitas dan makhluk. Artinya seluruh makhluk dan entitas itu adalah mubda'ât (yang diciptakan secara langsung). Nampaknya pandangan Allamah Thabathabai ini lebih sesuai dengan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang ada terkait dengan pembahasan ini.

Dalam menjelaskan pandangannya, Allamah Thabathabai berkata, "Pengalaman empirik telah menetapkan bahwa setiap dua entitas yang dapat diasumsikan, meski pada tataran universal bahkan pada partikularnya itu adalah tunggal dan satu, sedemikian sehingga manusia mengiranya tidak terpisah, namun keduanya sejatinya memiliki perbedaan karena kalau tidak demikian dua entitas ini tidak akan menjadi dua dan apabila mata biasa tidak mampu melihat perbedaan di antara keduanya, maka teleskop yang kuat mampu melihatnya."

Argumen filsafat juga membenarkan makna ini. Karena tatkala kita mengasumsikan dua hal sebagai dua hal yang berbeda, apabila tidak ada satu pun keunggulan dan keunikan yang keluar dari esensinya, maka kemestiannya akan menjadi penyebab adanya dualitas dan pluralitas di dalam esensinya bukan di luar esensinya. Dalam kondisi seperti ini yang diasumsikan adalah esensi murni dan esensi yang tidak bercampur lantaran esensi murni tidak memiliki dualitas dan juga tidak menerima pluralitas. Kesimpulannya apa yang kita asumsikan dua atau beberapa itu akan menjadi satu dan hal ini tidak sesuai dengan asumsi kita.

Karena itu dapat kita simpulkan bahwa setiap entitas dari sudut pandang esensi berbeda dengan entitas lainnya dan karena demikian, maka setiap entitas itu adalah badi' al-wujud. Artinya tidak memiliki kesamaan atau keserupaan yang terlintas dalam benak penciptanya. Hasilnya, Allah Swt itu adalah mubtadi' wa badi' al-samawât wa al-ardh" (Pengada dan Pencipta [tanpa contoh sebelumnya] langit-langit dan bumi) [9]

Referensi:
[1]. Sebagaimana juga disebutkan dalam surah al-An'am (6) ayat 101:
«بَديعُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَ لَمْ تَكُنْ لَهُ صاحِبَةٌ وَ خَلَقَ كُلَّ شَيْ‏ءٍ وَ هُوَ بِكُلِّ شَيْ‏ءٍ عَليمٌ».
"Dia-lah Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh sebelumnya). Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu."
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 49, hal. 83, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
«يَا بَدِي‏ءُ يَا بَدِيعُ‏ يَا قَوِيُّ يَا مَنِيعُ يَا عَلِيُّ يَا رَفِيع‏»
[3]. Ibid, jil. 3, hal. 224.
« مُبْدِعُ‏ الْأَشْيَاءِ وَ خَالِقُهَا وَ مُنْشِئُ الْأَشْيَاءِ بِقُدْرَتِه»
[4]. Ibid, jil. 37, hal. 205.
«صَوَّرَ مَا أَبْدَعَ‏ عَلَى غَيْرِ مِثَال»
[5]. Ibid, jil. 4, hal. 270.
«ابْتَدَعَ‏ مَا خَلَقَ بِلَا مِثَالٍ سَبَق»
[6] . Said al-Khuri al-Syartuni, Aqrab al-Mawârid, klausul ba-da-a'.
[7]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Muhammmad Baqir Musawi Hamadani, jil. 1, hal. 395, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakank Kelima, 1374 S.
[8]. Hasan Hasan Zadeh Amuli, Nushush al-Hikam bar Fushush al-Hikam, hal. 202, Raja, Tehran, Cetakan Kedua, 1375 S.
[9]. Tafsir al-Mizân, jil. 1, hal. 396.

Rahasia Penciptaan Sayidah Fatimah Az-Zahra


Berbagai riwayat yang menjelaskan tentang kedudukan Sayidah Fatimah az-Zahra sa membuktikan keagungan posisi beliau yang salah satunya dijelaskan dalam hadis Qudsi " لولا فاطمه". Dalam hadis itu dijelaskan posisi risalah kenabian dan imamah.

Riwayat tentang derajat dan kedudukan Sayidah Fatimah sa sangat banyak yang kandungan dari riwayat-riwayat tersebut menjelaskan keagungan posisi insan mulia ini. Berdasarkan riwayat, salah satu makna Fatimah adalah orang yang derajat makrifatnya tidak akan pernah dapat dicapai oleh siapa pun dan mereka tidak akan dapat mengenalnya secara sempurna. Seakan Allah Swt telah menyimpan sebuah rahasia besar dalam diri Sayidah Fatimah sa. Makrifat tentang Allah Swt dan irfan sangat berkaitan erat dengan makrifat tentang Sayid Fatimah sa.

Kita mengetahui bahwa Sayidah Fatimah bukan nabi atau imam, lalu apa yang membuat derajat dan posisi beliau sedemikian tinggi selain kenabian atau imamah. Yang jelas, seberapa pun kita berusaha kita tidak akan mampu mencapai makrifatnya permata langit ini. Akan tetapi kita dapat menyebutnya sebagai pokok penghambaan.

Penghambaan berarti tidak memiliki apapun kecuali semuanya dari Allah Swt, dengan demikian seorang hamba sejati adalah cermin dari Sang Pencipta. Oleh karena itu, Imam Ja'far as-Shadiq as berkata mengatakan bahwa penghambaan adalah sebuah pokok yang intinya adalah ketuhanan. Pokok itu adalah yang hilang dari diri manusia dan rahasia irfan.

Dalam riwayat disebutkan bahwa mengenal Sayidah Fatimah sa berarti mengenal Lailatul Qadr, ketika tujuan dari seluruh irfan adalah memahami hakikat Lailatul Qadr, dan sesungguhnya seorang arif sejati adalah orang yang menyaksikan dan merasakan peristiwa penurunan al-Quran pada malam itu.

Apa yang tersingkap untuk umat manusia adalah mengenai kedudukan kenabian dan imamah sebagi penyempurna agama yang disampaikan oleh kenabian. Hanya sebagian kelompok yang memahami bahwa apa yang tersisa dari derajat imamah yang juga termasuk dalam rahasia langit, adalah rahasia wujud Sayidah Fatimah sa itu sendiri yang tersembunyi di balik kemaksuman.

Dengan demikian imamah adalah penyermpurna kenabian dan inti dari penghambaan adalah penyempurna imamah, namun justru di sini letak tiga tahapan dan derajat itu menyatu secara utuh dan sempurna dalam wujud Rasulullah dan bahwa kedudukan Rasulullah Saw lebih tinggi dari para imam maksum. Kedudukan imamah termanifestasi dalam pribadi Imam Ali as sementara kedudukan penghambaan termanifestasi pada pribadi Sayidah Fatimah sa.

Oleh karena itu, terkait perjalanan kemunculan hakikat wujud Rasulullah Saw harus dikatakan bahwa tahapan penghambaan lebih tinggi dari derajat kenabian dan imamah, oleh sebab itu pula apa yang terdapat dalam diri Sayidah Fatimah sa merupakan tahapan tertinggi untuk manusia yang juga menjadi tujuan dari kenabian dan imamah itu sendiri.

Banyak riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para imam maksum dan juga hadis-hadis qudsi yang menjelaskan kedudukan Sayidah Fatimah sa di antaranya hadis qudsi yang ditujukan kepada Rasulullah;
 
« لولاک لما خلقت الافلاک . و لولا علی لما خلقتک . و لو فاطمه لما خلقتکما»

"Jika bukan karena kamu [Muhammad] maka tidak akan Aku ciptakan semesta. Jika bukan karena Ali maka tidak akan Aku menciptakanmu. Dan jika bukan karena Fatimah maka tidak akan Aku ciptakan kalian berdua."

Dalam menjelaskan makna hadis tersebut harus dikatakan bahwa ada tiga hal yang dijelaskan dalam hadis qudsi itu yaitu tujuan penciptaan alam semesta, keunggulan derajat imamah di atas kenabian, dan keunggulan derajat penghambaan di atas dua derajat tersebut.

Pada bagian pertama Allah Swt berfirman "Jika bukan karena kamu [Muhammad] maka tidak akan Aku ciptakan alam semesta" berarti bahwa manusia sempurna adalah tujuan utama penciptaan alam semesta dan merupakan penekanan Allah Swt terhadap faktor utama dalam penciptaan.

Adapun dalam bagian kedua disebutkan, "Jika bukan karena Ali, maka Aku tidak akan menciptakanmu [Muhammad]." Pada bagian riwayat ini disebutkan keunggulan posisi imamah di atas kenabian. Kita tahu bahwa makna kenabian adalah penyampai pesan, akan tetapi derajat imamah lebih tinggi dan derajat itu adalah pencapaian ketauhidan yang sempuna setelah fana dari diri.

Berdasarkan ayat-ayat al-Quran, Nabi Ibrahim setelah melalui berbagai tahapan beliau sampai pada derajat imamah meski pada saat yang sama beliau adalh seorang nabi. Rasulullah Saw juga telah mencapai derajat imamah, akan tetapi ciri utama Imam Ali adalah imamah sementara ciri lahiriyah Rasulullah adalah kenabian.

Oleh karena itu di sini yang dibahas bukan masalah keunggulan Imam Ali as di atas Rasulullah Saw, melainkan keunggulan posisi imamah dibandingkan kenabian, karena tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah Saw lebih mulia dan unggul dibandingkan Imam Ali as. Imam Ali sendiri dalam sebuah riwayat mengatakan,
 
«انا عبد من عبید محمد»

"Aku hanya seorang hamba (budak) di antara hambah-hamba Muhammad"

Adapun pada bagian ketiga dari riwayat tersebut Allah Swt berfirman, "Jika bukan karena Fatimah maka Aku tidak akan menciptakan kalian berdua." Bagian ini mengisyaratkan bahwa meski derajat tersebut telah sampai pada tingkat kesempurnaan, akan tetapi derajat tersebut menjadi cici khas Sayidah Fatimah sa, yaitu penghambaan.

Oleh karena itu ungkapan «لولا فاطمه لما خلقتکما»  berarti bahwa tanpa penghambaan maka Allah tidak akan menciptakan Nabi Muhammad dan Imam Ali karena keduanya tidak akan sempurna tanpa penghambaan. Dan ini menjelaskan bahwa kenabian dan imamah merupakan mukaddimah dari penghambaan.

Meski unsur penghambaan itu telah sempurna dalam diri Rasulullah dan juga Imam Ali as, akan tetapi unsur tersebut menjelma secara khusus pada diri Sayidah Fatimah. Dengan demikian, jelas bahwa jika seseorang dapat mencapai derajat penghambaan dengan sempurna maka derajatnya lebih tinggi dari kenabian dan imamah.

Karena sesungguhnya nabi dan imam pun memikul tanggung jawab kenabian dan imamah mereka karena penghambaan. Ini berarti derajat tertinggi di sisi Allah Swt adalah penghambaan. Dengan kata lain, kenabian dan imamah adalah predikat yang berkaitan dengan umat sementara penghambaan atau ubudiyah menjelaskan arah dan tujuan hakiki yang jelas lebih tinggi dari kenabian dan imamah.

Sumber: IRIB Indonesia

Terkait Berita: