Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Sifat. Show all posts
Showing posts with label Sifat. Show all posts

Apakah makna ibdâ’? Apakah ibdâ’ itu merupakan salah satu sifat Tuhan?


Dalam literatur-literatur agama, ibda disebutkan dalam beragam bentuk sebagai salah satu sifat Allah Swt. Dalam al-Quran, kata ini hanya dinyatakan dalam bentuk sifat musyabbah (badi') namun dalam beberapa riwayat dinyatakan dalam beragam bentuk; seperti dalam bentuk sifat musyabbah dengan kata badi', ism fâ'il dengan kata mubdi', kata kerja (fi'il) dengan kata ibdâ' dan ibtada'.

Ibdâ' bermakna penciptaan yang tidak memiliki model dan sampel sebelumnya. Para filosof terkait dengan lafaz ibdâ' sedikit berbeda pendapat; sebagian dari mereka memaknai ibda' sebagai penciptaan pertama; artinya mubda' (yang diciptakan tanpa model dan sampel sebelumnya) adalah sebuah entitas yang tidak memiliki perantara alias ia langsung dalam hubungannya dengan Tuhan; hasilnya mubda' (yang diciptakan) akan terbatas pada akal pertama saja. Namun kebanyakan filosof memaknai bahwa ibdâ' bermakna penciptaan tanpa memerlukan materi dan masa.

Atas dasar itu, meski cakupan mubda'at (bentuk plural dari mubda') lebih luas dari makna pertama namun akan terbatas pada seluruh akal. Namun pendapat lainnya mengatakan bahwa ibdâ' tidak terbatas pada makhluk tertentu; melainkan seluruh entitas dan makhluk itu adalah mubda'ât. Nampaknya pendapat ini selaras dengan ayat dan riwayat.

Jawaban Detil:
Dalam literatur-literatur agama, ibdâ' disebutkan dalam beragam bentuk sebagai salah satu sifat Allah Swt. Dalam al-Quran hanya dinyatakan dalam bentuk musyabbah dengan kata badi' seperti pada ayat berikut:

«بَديعُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ وَ إِذا قَضى‏ أَمْراً فَإِنَّما يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ»

"Dia yang mula-mula mencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh sebelumnya), dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah.' Lalu, jadilah ia." (Qs. Al-Baqarah [2]:117)[1]

Adapun dalam beberapa riwayat kata ibdâ' ini dinyatakan dalam beberapa bentuk. Terkadang dengan bentuk musyabbah yaitu badi' seperti: Ya Badiu Ya Badi'u Ya Qawiyyu Ya Mani'u Ya ‘Aliyyu ya Râfi'i" (Wahai Yang Mahamemulai, Yang Maha Pencipta Yang Baru, Wahai Yang Mahakuat, Wahai Yang Mahamenahan, Wahai Yang Mahatinggi, Wahai Yang Mahameninggikan)[2] Terkadang dinyatakan dalam bentuk ism fâ'il dengan kata mubdi' seperti pada riwayat, "Mubdi' al-asyâ wa khâliquhâ wa munsyi al-asyâ biqudratihi" (Pengada segala sesuatu dan Penciptanya serta Pelaksana segala sesuatu dengan kekuasaan-Nya).[3] Pada sebagian riwayat juga dinyatakan dalam bentuk kata kerja ibdâ' dan ibtada', seperti, "shawwara ma abda'a ‘ala ghairi mitsâl. [4] Abtada'a ma khalaqa bila mitsal sabaq."[5]

Adapun ibdâ' dalam kosa kata Arab bermakna menciptakan sesuatu tanpa adanya sampel dan model sebelumnya.[6] Allamah Thabathabai berkata, "Kata badi' adalah sifat musyabbah dari masdar bada'ah dan bada'ah segala sesuatu bermakna tiada yang serupa dengannya. Serupa di sini maksudnya adalah serupa dengan sesuatu yang dikenal oleh pikiran.[7] Makna ini juga dapat disimpulkan dari beberapa riwayat; karena dalam beberapa riwayat sebagai ikutan dari ibdâ' dan ibtada', secara lahir bermakna penjelasan tiadanya yang serupa dengannya. Sebagai hasilnya, kedua kata ini akan bermakna bahwa Allah Swt merupakan Pengada (atau Pencipta) tanpa (meniru) model dan contoh yang telah ada sebelumnya.

Filosof dan ahli hikmah Ilahi sedikit berbeda pendapat terkait dengan ibdâ'; Ibnu Sina memaknai ibdâ' sebagai penciptaan pertama. Menurutnya, mubda' (yang diciptakan) adalah sebuah entitas yang tidak memiliki perantara alias hubungan langsung antara dirinya dan Tuhan. Sebagai hasilnya, mubda' (baca: yang diciptakan pertama) dalam pandangan Ibnu Sina terbatas pada akal pertama.

Namun ibdâ' dalam pandangan jumhur filosof bermakna penciptaan tanpa memerlukan materi dan masa. Karena itu, berdasarkan fondasi pemikiran mayoritas filosof, seluruh akal bahkan jiwa-jiwa selestial (nufus al-falaki) itu adalah mubda'ât (plural mubda'). Atas dasar itu, mayoritas filosof membagi tiga entitas di alam semesta: Mubda'ât, mukhtara'ât dan mukawwinât.

Mubda'ât adalah silsilah entitas yang tidak memerlukan materi dan durasi (masa) dalam penciptaannya seperti akal-akal non material (‘uqul al-mujarradah). Mukhtari'ât adalah entitas-entitas yang dalam penciptaannya memerlukan hanya materi seperti entitas-entitas selestial. Mukawwinât adalah entitas-entitas yang di samping membutuhkan materi juga memerlukan durasi (masa) yang juga disebut sebagai alam anasir dan alam kaun-fasâd (generasi-korupsi). Karena itu, ibdâ' berada pada posisi teratas dari keduanya.[8]

Sebagai bandingannya, Allamah Thabathabai memandang ibdâ' tidak terbatas pada entitas dan makhluk tertentu, melainkan mencakup seluruh entitas dan makhluk. Artinya seluruh makhluk dan entitas itu adalah mubda'ât (yang diciptakan secara langsung). Nampaknya pandangan Allamah Thabathabai ini lebih sesuai dengan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang ada terkait dengan pembahasan ini.

Dalam menjelaskan pandangannya, Allamah Thabathabai berkata, "Pengalaman empirik telah menetapkan bahwa setiap dua entitas yang dapat diasumsikan, meski pada tataran universal bahkan pada partikularnya itu adalah tunggal dan satu, sedemikian sehingga manusia mengiranya tidak terpisah, namun keduanya sejatinya memiliki perbedaan karena kalau tidak demikian dua entitas ini tidak akan menjadi dua dan apabila mata biasa tidak mampu melihat perbedaan di antara keduanya, maka teleskop yang kuat mampu melihatnya."

Argumen filsafat juga membenarkan makna ini. Karena tatkala kita mengasumsikan dua hal sebagai dua hal yang berbeda, apabila tidak ada satu pun keunggulan dan keunikan yang keluar dari esensinya, maka kemestiannya akan menjadi penyebab adanya dualitas dan pluralitas di dalam esensinya bukan di luar esensinya. Dalam kondisi seperti ini yang diasumsikan adalah esensi murni dan esensi yang tidak bercampur lantaran esensi murni tidak memiliki dualitas dan juga tidak menerima pluralitas. Kesimpulannya apa yang kita asumsikan dua atau beberapa itu akan menjadi satu dan hal ini tidak sesuai dengan asumsi kita.

Karena itu dapat kita simpulkan bahwa setiap entitas dari sudut pandang esensi berbeda dengan entitas lainnya dan karena demikian, maka setiap entitas itu adalah badi' al-wujud. Artinya tidak memiliki kesamaan atau keserupaan yang terlintas dalam benak penciptanya. Hasilnya, Allah Swt itu adalah mubtadi' wa badi' al-samawât wa al-ardh" (Pengada dan Pencipta [tanpa contoh sebelumnya] langit-langit dan bumi) [9]

Referensi:
[1]. Sebagaimana juga disebutkan dalam surah al-An'am (6) ayat 101:
«بَديعُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَ لَمْ تَكُنْ لَهُ صاحِبَةٌ وَ خَلَقَ كُلَّ شَيْ‏ءٍ وَ هُوَ بِكُلِّ شَيْ‏ءٍ عَليمٌ».
"Dia-lah Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh sebelumnya). Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu."
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 49, hal. 83, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
«يَا بَدِي‏ءُ يَا بَدِيعُ‏ يَا قَوِيُّ يَا مَنِيعُ يَا عَلِيُّ يَا رَفِيع‏»
[3]. Ibid, jil. 3, hal. 224.
« مُبْدِعُ‏ الْأَشْيَاءِ وَ خَالِقُهَا وَ مُنْشِئُ الْأَشْيَاءِ بِقُدْرَتِه»
[4]. Ibid, jil. 37, hal. 205.
«صَوَّرَ مَا أَبْدَعَ‏ عَلَى غَيْرِ مِثَال»
[5]. Ibid, jil. 4, hal. 270.
«ابْتَدَعَ‏ مَا خَلَقَ بِلَا مِثَالٍ سَبَق»
[6] . Said al-Khuri al-Syartuni, Aqrab al-Mawârid, klausul ba-da-a'.
[7]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Muhammmad Baqir Musawi Hamadani, jil. 1, hal. 395, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakank Kelima, 1374 S.
[8]. Hasan Hasan Zadeh Amuli, Nushush al-Hikam bar Fushush al-Hikam, hal. 202, Raja, Tehran, Cetakan Kedua, 1375 S.
[9]. Tafsir al-Mizân, jil. 1, hal. 396.

dayyân itu merupakan sifat Jamaliyah Allah Swt atau sifat Jalaliyah


Apakah dayyân itu merupakan sifat Jamaliyah Allah Swt atau sifat Jalaliyah?
Pertanyaan:
Salam dan terima kasih. Apakah dayyân itu merupakan sifat Jamaliyah Allah Swt atau sifat Jalaliyah?
Jawaban Global:
Kata dayyân akar katanya berasal dari kata din yang bermakna mememberi ganjaran dan hukuman. Karena itu, makna kata dayyân adalah pemberi ganjaran dan hukuman.[1] Akan tetapi terkadang juga digunakan makna sinonim pemberi hukuman seperti Qahir[2] dan lain sebagainya.[3]

Bagaimanpun nampaknya dayyan adalah sifat fi’il (perbuatan); lantaran bersumber dari hubungan Allah Swt dan makhluk-Nya; dengan demikian dayyân tidak termasuk sebagai sifat Jalal dan juga bukan sifat Jamal; karena jalal dan jamal merupakan bagian dari sifat zat.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep yang dapat digambarkan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya  yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khâliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[4]

Namun yang dimaksud dengan sifat jamal adalah sifat yang mengisahkan sifat-sifat kesempurnaan eksistensial pada level zat dan yang dimaksud dengan sifat jalal dalah sebuah sifat yang mewartakan tentanga sucinya zat dari segala jenis kekurangan. Pada hakikatnya, sifat jamal adalah tanda kesepumpurnaan dan keindahan. Sifat jalal adalah tanda keunggulan Allah dari pelbagai penyifatan kekurangan. Sifat jamal seperti ilmu, kodrat, hayat dan lain sebagainya. Sifat jalal seperti jauhnya Allah Swt dari segala bentuk fisikal, memiliki substansi, aksiden dan seterusnya...[5]

Akan tetapi boleh jadi sifat perbuatan ini kembali pada sifat zat; artinya sifat perbuatan (fi’il) harus dilihat sebagai bersumber dari zat Allah Swt,[6] sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa dayyân itu adalah sifat jamal Allah Swt.

Referensi:
[1]. Ismail bin Hamad Jauhari, al-Shihâh (Tâj al-Lughah wa Shihâh al-‘Arabiyah), Diriset dan diedit oleh Ahmad Abdul Ghagur Atthar, jil. 5, hal. 118, Beirut, Dar lil Malayin, Cetakan Pertama, 1410 H.
[2]. Mahmud bin Umar Zamakhsyari, al-Fâiq fi Gharib al-Hadits, Diriset dan diedit oleh Ibrahim Syamsuddin, jil. 1 hal. 390, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1417 H.
«الدَّيَّان: فَعَّال، من دان الناسَ إذا قَهرَهم على الطاعة. يقال: دِنْتُهُمْ فَدَانُوا، أيْ قهرتهم فأطاعوا».
[3]. Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 13, Beirut, Dar Shadir, Cetakan Ketiga, 1414, “Al-Dayyan:Al-Sais.
[4]. Diadaptasi dari Pertanyaan 2229 (Proses Hubungan Antara Sifat Fi’il dan Peristiwa-peristiwa dalam Rentang Waktu).
[5]. Diadaptasi dari Pertanyaan 10379 (Sifat Jalal dan Jamal).
[6]. Silahkan lihat, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Nihâyat al-Hikmah, hal. 287-288, Qum, Muassasah Nasyr Islami, Cetakan Kelima, 1404 H.

Perbedaan Sifat Dan Ciri-Ciri Qawiyyu Bagi Allah Swt Dan Bagi Makhluk-Nya


Apa perbedaan sifat dan ciri-ciri qawiyyu bagi Allah Swt dan bagi makhluk-Nya?
Pertanyaan:
 
Salam sejahterah selalu buat kita semua, mohon arti dari ya qowiyyu terimakasih?
 
Jawaban Global:
Sifat qawi adalah salah satu sifat Ilahi dan bermakna kuatnya intensitas kodrat dan kekuasaan. Mengingat bahwa seluruh entitas tercipta dalam hubungannya dengan kodrat Ilahi, jelas bahwa tiada kekuataan yang menggungguli kekuaatan dan kekuasaan Allah Swt.

Karena itu, segala sesuatu selain Allah, yang dicirikan sebagai yang mahakuasa, dalam bandingannya dengan sesuatu yang lebih lemah dari-Nya, namun kekuataan ini dibandingan dengan sesuatu yang kekuataannya lebih tentunya akan terhitung lemah.

Karena itu, segala kekuataan dibandingkan dengan di atasnya, tentunya lemah, sehingga silsilah kekuasaan dan kekautaan Tuhan ini dapat berujung pada satu titik, namun kekuataan Tuhan dibandingkan dengan segala sesuatu, tentunya tidak ada titik lemah dan kelemahan pada diri-Nya.
Dalam beberapa ayat al-Quran dan juga sebagian doa dan dzikir disebutkan tentang tipologi tentang quwwah terkait dengan Allah Swt.
 
Jawaban Detil:
Salah satu sifat tsubut Allah Swt adalah sifat qawwiyu yang telah disinggung dalam beberap ayat al-Quran[1] demikian juga dalam sebagian doa dan dzikir kita menyebut Allah Swt dengan nama ini.[2]
Untuk menjelaskan makna ini, kita akan mengulasnya pada beberapa sub bahasan berikut ini:

Mengenal Kata Qawi
Sifat Qawi bertimbangan fail yang bermakna subyek (fail) dari klausul qawi dan quwwah yang bermakna dahsyatnya kekuatan[3] dan kebalikannya adalah dhaif (lemah).[4]

Sifat Qawi dalam al-Quran
Sifat Qawi dan lafaz-lafaz yang semakna dengannya seperti yang digunakan dalam al-Quran dan hadis akan dijelaskan sebagai berikut:
  1. Dalam al-Quran, Allah Swt disifatkan dengan kata qawi dan quwwah seperti:
«إِنَّ اللَّهَ قَوِی شَدیدُ الْعِقاب»
 
“Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi amat keras siksaan-Nya.” (Qs. Al-Anfal [8]:52).

«إِنَّ اللَّهَ قَوِی عَزیزٌ»
 
“Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Hadid [57]:25).

«إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتین»
 
“Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh. (Qs. Al-Dzariyat [51]:58).

Kata “dzu al-quwwah” merupakan salah satu nama Allah Swt dan bermakna qawi, bedanya kata ini lebih ekspresif ketimbang kata qawi. Kata matin juga merupakan salah satu nama Allah Swt yang bermakna kukuh yang tiada satu pun pekerjaan yang tidak dapat dilakukannya.  Ungkapan tiga nama ini menujukkan terbatasnya pemberian rezeki hanya pada Allah Swt (hanya Allahlah yang memberikan rezeki) dan memahamkan bahwa dalam menyampaikan rezeki kepada para pemakan rezeki – berapa pun banyaknya –Allah Sang Pemberi Rezeki tidak akan pernah lemah.[5]
  1. Lafaz quwwah terkadang digunakan bermakna kodrat sebagaimana disebutkan dalam al-Quran:
«خُذُوا ما آتَیناکُمْ بِقُوَّةٍ».
 
“Peganglah teguh-teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:63).

Terkadang potensi dan kesiapan pada sesuatu juga disebut sebagai quwwah. Namun dengan memperhatikan penggunaan kata quwwah dalam al-Quran dapat disimpulkan:
Quwwah adalah tingkatan paling dahsyat dari kekuataan dan kekokohan, entah itu kekuatan badan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran,
 
 «قالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنّا قُوَّةً»  
 
, “Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?” (Qs. Al-Fusshilat [41]:15) 
 
atau kekuatan mental sebagaimana pada ayat lainnya,
 
 «یا یحْیی خُذِ الکِتابَ بِقُوَّةٍ»  
 
“Hai Yahya, ambillah al-Kitab itu dengan kuat dan sungguh-sungguh.” (Qs. Maryam [19]:12).
 
atau maksudnya adalah kekuatan-kekuatan penolong sebagiamana yang diharapkan oleh Nabi Luth yang berkata, “sekiranya ada kekuatan sehingga dapat mencegah perbuatan-perbuatan tercela pada pelaku kejahatan,
 
 «لَوْ أَنَّ لِی بِکُمْ قُوَّةً»  
 
“Luth berkata, ‘Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu)’” (Qs. Hud [11]:80)
 
dan seperti ucapan para menteri Ratu Saba yang mendeskripsikan diri mereka,
 
  «نَحْنُ اُولُوا قُوَّةٍ وَ اُولُوا بَأْسٍ شَدِیدٍ»  
 
“Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan).” (Qs. Al-Naml [27]:33)[6]


Makna Kekuatan Tuhan
Imam Shadiq As bersabda, “Tuhan kami – yang mahabesar nan agung – disebut qawi karena ciptaan-Nya agung dan kukuh yang telah menciptakan bumi dan segala apa yang ada di dalamnya, gunung-gunung, laut-laut, pasir-pasir dan pepohonan serta apa yang diciptakan yaitu segala yang bergerak di dalamnya dari kalangan manusia dan hewan, Dialah yang menggerakkan angin, menahan awan-awan yang mengandung hujan yang berat dari air, matahari, bulan, dan kebesaran keduanya serta kebesaran cahayanya yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa manusia dan tidak terbatas, dan bintang gemintang, planet-planet  berputaran dan langit yang mahaluas menggantung di atas kita dan bumi yang menjuntai dan segala yang dikandungnya dan segala yang diciptakan... dengan demikian Dia disebut qawi, bukan dari apa yang kita kenal dari ciptaan-ciptaan, yang digenggam dan dicengkram kuat dan apabila kekuatan-Nya mirip dengan kekuatan ciptaan maka akan ada yang mirip dengan-Nya dan (Tuhan) dan kemungkinan Tuhan itu banyak dan apabila banyak maka hal itu menunjukkan kekurangan dan apa yang kurang itu  tidak sempurna dan apa yang tidak sempurna itu tidak mampu dan tidak berdaya sementara Allah Swt tidak ada yang serupa dengan-Nya dan sesungguhnya kita berkata, “Dia kuat bagi ciptaan yang kukuh dan demikian kita berkata, agung dan besar.”[7]

Ciri-ciri Kuat-Nya Allah Swt
  1. Rasulullah Saw bersabda, “Segala puji bagi Allah yang menguasai segala sesuatu dan kekuasaannya pada segala sesuatu dan berasal dari-Nya.”[8]
  2. Rasulullah Saw bersabda, “Tuhanku! Engkau hidup tidak akan mati.. engkau kuat dan tidak akan lemah, engkau tabah dan tidak tergesa-gesa.”[9]
  3. Imam Ali As bersabda, “Tuhanku! Aku bermohon kepadamu.. dengan kekuatan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu dan segala sesuatu tunduk pada-Nya dan segala sesuatu tunduk di hadapan-Nya.”[10]
  4. Imam Ali As dalam menjelaskan makna Allahu Akbar dalam adzan, ucapan (muaddzin) yang berkata Allahu Akbar memiliki banyak makna: makna ketiga Allahu Akar, artinya bahwa Allah Swt berkuasa atas segala sesuatu dan berkehendak atas segala sesuatu. Kekuasaan-Nya disebabkan oleh kekuatan-Nya dan sangat berkuasa atas ciptaan-ciptaan-Nya, berkuasa pada dzat-Nya. Kekuasaannya kokoh di atas segala sesuatu. Tatkala Dia menghukumi sesuatu, Dia hanya berkata, “Jadilah”[11] Maka jadilah ia.”[12]
  5. Imam Musa Kazhim As bersabda, “Segala sesuatu yang berkuasa tidak berdaya di hadapan kekuasaan Allah Swt.”[13]
Dengan pandangan seperti ini disebutkan dalam beberapa doa dzikir Ya Qawiyyu[14] seperti Ya Qawiyyu irham da’fi (Wahai Yang Mahakuasa kasihilah kelemahanku.)[15]

Kesimpulan:
Dengan memperhatikan Al-Quran dan hadis-hadis dapat disimpulkan bahwa:
  1. Sifat qawi merupakan salah satu sifat dzati dan sifat fi’li. Allah Swt itu qawi artinya bahwa Dia itu tidak lemah dan kalimat Qawi «قَوِی لَا تَضْعُف‏»[16] Kuat dan takkan lemah tengah menyinggung makna ini. Dan Allah Swt itu qawwi sebagai sifat fi’li (perbuatan) bermakna menciptakan makhluk-makhluk yang kuat dan redaksi kalimat, “«إِنَّمَا قُلْنَا إِنَّهُ قَوِی لِلْخَلْقِ الْقَوِی» Sesungguhnya kami berkata bahwa Dia itu kuat lantaran menciptakan makhluk-makhluk kuat.” Tengah menyoroti makna qawi sebgai sifat perbuatan.
  2. Mengingat bahwa seluruh makhluk tercipta dalam kaitannnya dengan kodrat Allah Swt menjadi jelas tiada kekuatan yang lebih unggul melebihi kekuatan Allah Swt. Karena itu, apabila segala sesuatu selain Allah Swt disifatkan sebagai kuat, lantaran dibandingkan dengan sesuatu yang lebih lemah. Namun sesuatu yang kuat ini dibandingkan dengna sesuatu yang lebih kuat akan tergolong sebagai sesuatu yang lemah.  Karena itu segala sesuatu yang kuat ketika dibandingkan dengan sesuatu di atasnya maka ia akan lemah hingga silsilah ini berujung pada kodrat dan kekuatan Allah Swt. Allah Swt adalah Mahakuat dibandingkan dengan segala sesuatu dan tiada kelemahan yang terdapat pada diri-Nya.[17]
 

[1]. “Segala kekuatan adalah milik Allah.” (Qs. al-Baqarah [2]:165); Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.” (Qs. Al-Dzariyat [51]:85); “Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Hud [11]:66); “Dia memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Syura [42]:19) dan lain sebagainya.  
[2]. Silahkan lihat, Muhammad bin Hasan Syaikh Thusi, Mishbâh al-Mutahajjid wa Silâh al-Muta’abbid, jil. 2, hal. 802, Tehran, al-Maktabah al-Islamiyah, Tanpa Tahun; Ali bin Musa IbnuThawus, Iqbal al-A’mal, jil. 1, hal. 412, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Kedua, 1367 S.  
[3]. Silahkan lihat, Ahmad bin Faris Ibnu Faris, Mu’jam al-Maqâyis al-Lughah, jil. 5, hal. 36, Maktabah al-I’lam al-Islamiyah, Cetakan Pertama, 1404 H; Fuad Afram Bastani, Farhang Abjadi ‘Arabi-Persia, Penj. Ridha Mihyar, hal. 711, Tehran, Intisyarat Islami, Cetakan Kedua, 1375 S.  
[4]. Nisywan bin Said Himyari, Syams al-‘Ulum wa Dawa Kalam al-‘Arab min al-Kulum, jil. 8, hal. 5677, Dimasyq, Dar al-Fikr, Cetakan Pertama, 1420 H.
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabatabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 18, hal. 389, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Kelima, 1417 H.  
[6]. Husain bin Muhammad Raghib Isfahani, Mufradât Alfâz al-Qur’ân, hal. 694, Beirut, Dar al-Qalam, Cetakan Pertama, 1412 H.   
[7]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal.. 193-194, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Cetakan Kedua, 1403 H.
[8]. Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijâj ‘ala Ahli al-Lujâj, jil. 1, hal. 58, Masyhad, Nasyr Murtadha, Cetakan Pertama, 1403 H.  
[9]. Iqbâl al-A’mâl jil. 1, hal. 436.  
[10]. Mishbâh al-Mutahajjid wa Silâh al-Muta’abbid, jil. 2, hal. 844.  
[11]. Muhammad bin Ali Syaikh Shaduq, al-Tauhid, hal. 238, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Pertama, 1398 H.  
[12]. Ali bin Musa Ibnu Thawus, Mihaj al-Da’wah wa Minhâj al-Ibâdah, hal. 26, Qum, Dar al-Dzakha’ir, Cetakan Pertama, 1411 H.  
[13]. Silahkan lihat, Mishbâh al-Mutahajjid wa Silâh al-Muta’abbid, jil. 2, hal. 802; Iqbal al-A’mal, jil. 1, hal. 412.  
[14]. Bihâr al-Anwâr, jil 91, hal. 138.   
[15]. Iqbâl al-A’mâl, jil. 1, hal. 436.  
[16]. Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 194.
[17]. Ibnu Maitsam Bahrani, Syarh Nahj al-Balâghah, Penj. Qurban Ali Muhammadi Muqaddam, Ali Asghar Nawai Yahyazadeh, jil. 2, hal 367, Masyhad, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Cetakan Pertama, 1417 H.

Zat dan Sifat Allah


Imam Ali AS, Si Pintu Kota Ilmu, berbicara mengenai zat dan sifat Allah SWT.

Segala puji bagi Allah yang tiada pembicara manapun mampu meliputi segala pujian bagi-Nya. Tiada penghitung manapun mampu mencakup bilangan nikmat karunia-Nya. Tiada daya upaya bagaimanapun mampu memenuhi kewajiban pengabdian kepada-Nya. Tiada pikiran sejauh apapun mampu mencapai-Nya, dan tiada kearifan sedalam apapun mampu menyelami hakikat-Nya.

Sifat-Nya tidak terbatasi oleh lingkungan, tidak terperikan oleh ungkapan, tidak terikat waktu dan tidak menjumpai kesudahan.

DiciptaNya semua makhluk dengan kuasa-Nya. Ditebarkan-Nya angin dengan rahmat-Nya. Ditebarkan-Nya bumi dengan gunung-gunungnya.

Adapun pokok pangkal agama adalah makrifat tentang Allah. Namun tak akan sempurna makrifat tentang-Nya kecuali dengan tashdiq (pembenaran) terhadap-Nya. Tak akan sempurna tashdiq kepada-Nya kecuali dengan tauhid dan keihklasan kepada-Nya. Tak akan sempurna keikhlasan kepada-Nya kecuali dengan penafian segala sifat dari-Nya. Karena setiap sifat adalah berlainan dengan yang disifatkan, dan setiap yang disifatkan bukanlah persamaan dari sifat yang menyertainya.

Maka, barang siapa meletakkan suatu sifat kepada-Nya, sama saja dengan seseorang yang menyertakan sesuatu kepada-Nya. Dan barang siapa yang menyertakan sesuatu dengan-Nya, maka ia telah menduakannya. Dan barang siapa menduakan-Nya, maka ia telah memilah-milahkan Dzat-Nya. Dan barang siapa memilah-milahkan-Nya, maka sesungguhnya ia tidak mengenal-Nya. Dan barang siapa tidak mengenal-Nya, akan melakukan penunjukkan ke arah-Nya. Dan barang siapa melakukan penunjukkan kepada-Nya, maka ia telah membuat batasan tentang-Nya. Dan barangsiapa membuat batasan tentang-Nya, sesungguhnya ia telah membuat Dia berbilang.

Dan barang siapa bertanya: “Dimanakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah menganggap-Nya terkandung dalam sesuatu. Dan barang siapa bertanya: “Di atas apakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah mengosongkan sesuatu dari kehadiran-Nya. (Bila Dia di atas sesuatu, maka pada sesuatu itu tidak ada Dia).

Dia (Allah) maujud bukan karena suatu ciptaan. Bukan pula muncul dari ketiadaan. Dia “ada” bersama dengan segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan. Bukan pula Dia lain dari segala sesuatu karena keterpisahan darinya. Dia adalah Pelaku, namun tanpa gerak dan alat. Dia Melihat, meski belum ada suatu makhluk untuk dilihat. Sendiri, disebabkan tak adanya sesuatu yang dengannya ia merasa terikat, atau pun gelisah bila ia terpisah dari-Nya.

….

Segala puji bagi Allah yang keadaan-Nya yang satu tidak mendahului keadaan-Nya yang lain. Maka tiadalah Dia menjadi Yang Awal sebelum Dia menjadi Yang Akhir, atau Yang Zhahir sebelum Yang Bathin.

Semua yang disebut “satu” – selain Dia- adalah sedikit. Semua yang mulia selain Dia adalah hina. Semua yang kuat selain Dia adalah lemah. Semua pemilik selain Dia adalah termiliki. Semua yang berilmu selain Dia adalah pencari ilmu. Semua yang kuasa selain Dia adalah adakalanya berkuasa dan adakalanya tak berdaya. Semua yang mendengar selain Dia adalah tuli terhadap suara-suara yang amat lembut, amat keras, atau pun amat jauh dari tempatnya. Semua yang melihat selain Dia adalah buta terhadap warna-warna amat lemah dan benda yang lembut. Semua yang zhahir selain dia adalah bathin, dan semua yang bathin selain Dia adalah zhahir.



Tiada Ia “mendiami” sesuatu sehingga dapat disebut Ia “ada” di sana. Dan tiada Ia berpisah dari sesuatu sehingga dapat disebut Ia “tidak ada” di sana. Tidak menyulitkan bagi-Nya penciptaan yang dimulai-Nya, ataupun pengaturan apa saja yang telah selesai dibuat-Nya. Tiada pernah Ia diliputi ketidakmampuan dalam segala yang diciptanya, dan tiada pernah Ia dimasuki kebimbangan tentang apa saja yang dilaksanakanNya. Semuanya itu bersumber pada ketetapan yang amat teliti, pengetahuan yang amat tepat dan urusan yang terikat kuat.

Dia-lah yang didambakan pada setiap bencana yang mencekam, dan dari Dia-lah diharapkan datangnya segala kenikmatan.

(Dikutip dari “Mutiara Nahjul Balaghah”, Mizan, 1990).

Terkait Berita: