Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Kajian Aqidah. Show all posts
Showing posts with label Kajian Aqidah. Show all posts

SUJUD PADA ALAS LANTAI SELAIN DARI BUMI ADALAH MENYALAHI ARAHAN AL-QURAN


Keputusan dari ahli fiqh shia, mengikuti Imam yang suci, adalah dengan jelas mematuhi arahan al-Quran. Sebagai contoh, ulama kamu menganggap bulu, kapas, sutera dan alas lantai yang lain sama dengan bumi. Tetapi dengan jelas benda itu bukan bumi. Tetapi shia, di dalam mematuhi Imam mereka dari ahli bayt nabi yang berkata, ‘Sujud adalah haram diatas yang lain, selain bumi atau apa-apa yang tumbuh dari bumi dan tidak digunakan untuk makan atau pakai.’ Atas sebab ini kamu katakan mereka kafir. Sebaliknya kamu tidak mengatakan sujud pada najis kering kafir. Dan amat jelas sujud pada bumi [sebagaimana diarahkan oleh Allah] dan sujud pada alas lantai adalah berbeza.

Sheikh: Kamu melakukan sujud pada sekeping tanah yang diambil dari Karbala. Kamu menyimpan tanah kecil itu. Ianya adalah seripa berhala, dan kamu menganggap sujud diatasnya wajib. Yang pastinya amalan yang sedimian adalah bertentangan dengan amalan muslim lainnya.

Shirazi: Telah menjadi tabiat kamu yang kedua mengikuti mereka yang terdahulu dengan secara buta, walaupun ianya tidak sesuai bagi manusia yang adil seperti kamu untuk mengatakan tanah suci dari karbala adalah seperti berhala.

Tuan yang dihormati! Kritikan terhadap mana-mana kepercayaan hendaklah berdasarkan pada pembuktian. Jika kamu merujuk pada buku-buku perundangan agama shia, kamu akan dapat jawapan dari kritikan kamu, dan kamu tidak akan diselewengkan oleh saudara sunni dengan bantahan palsu.

Persamaan lelaki dan perempuan


Tanya: Apakah dalam ajaran Islam wanita dan lelaki memilki kedudukan yang sama?
Apakah para wanita dapat ikut campur dalam urusan-urusan politik negara dan bekerja sama dengan para pria?

Jawab: Di permulaan masa disebarkannya risalah Islam, umat manusia waktu itu memiliki dua pandangan khusus mengenai wanita. Sebagian orang memperlakukan kaum wanita bak hewan piaraan yang sudah jinak. Bagi mereka kaum wanita tidak termasuk anggota masyarakat; akan tetapi dengan adanya kaum wanita, mereka dapat mempergunakannya sebagai alat berkuasa dan mencari keuntungan. Sebagian yang lain, lebih berpikiran maju dari pada kelompok yang pertama; mereka menganggap kaum wanita sebagai anggota masyarakat akan tetapi tidak seperti kaum lelaki, yakni mereka tidak memiliki martabat sempurna. Bagi mereka kaum wanita tak ubahnya seperti anak-anak kecil atau para budak yang hanya memiliki hak-hak yang sedikit dalam hidupnya; dan hak-hak itu pun berada di tangan kaum lelaki. Islam adalah ajaran pertama kali yang menegaskan kepada mereka bahwa kaum wanita adalah bagian dari masyarakat manusia yang memiliki martabat dan kehormatan mulia. Allah Swt berfirman:
“Saya tidak mensia-siakan amal perbuatan kalian, baik lelaki maupun perempuan…”[1]
Islam hanya membatasi aktifitas kaum wanita untuk tidak berperan dalam tiga perkara: pemerintahan, kehakiman, dan peperangan yang dalam artian “pembuhuhan”. Kaum wanita tidak layak untuk memerintah, karena sebagaimana yang dijelaskan oleh ajaran-ajaran agama ini, mereka adalah makhluk yang sensitif dan lembut; lain dengan para pria yang bersifat logis dan selalu mendahulukan akal dari perasaannya. Ketiga perkara di atas semuanya berkenaan dengan akal yang selalu didahulukan oleh kaum lelaki, bukan perasaan yang dimiliki oleh kaum wanita. Dan jelas sekali seorang wanita yang berperasaan lembut dan baik hati tidak pantas untuk ikut serta dalam urusan-urusan yang melibatkan kejantanan, keberakalan, dan keberanian. Jika seorang wanita memaksakan diri untuk terlibat dalam perkara-perkara di atas, niscaya ia tidak dapat berkembang dan bekerja dengan baik.

Salah satu bukti daripada kenyataan ini adalah pengalaman yang dimiliki orang-orang barat. Mereka selama ini telah memberikan posisi yang sama kepada para lelaki dan wanita dalam bidang pendidikan dan lain sebagainya. Realitanya, sampai saat ini masih belum ada bukti bahwa kaum wanita mampu membawakan prestasi yang lebih tinggi dari kaum lelaki dalam urusan-urusan politik, pengadilan, dan peperangan. Di antara urutan nama-nama orang yang jenius, jarang sekali ditemukan nama seorang wanita. Lain halnya dalam urusan-urusan yang lain; banyak sekali wanita yang dapat beraktifitas dan meraih keberhasilan dalam dunia musik, tari menari, perfilman, dan lain sebagainya.

Rujuk:
[1] QS. Al Imran: 195.

Dari buku Islam, Dunia dan Manusia

Shalat-shalat sunah


Jahr dan Ikhfat dalam shalat
Apakah shalat-shalat nafilah wajib dilakukan secara jahr (dibaca dengan suara luar) atau secara ikhfat (dengan suara dalam)?

Keterangan: Yang dimaksud dengan jahr dalam shalat adalah mengeraskan suara dalam membaca surah Al-Fatihah dan surah pendek setelahnya saat berdiri di rakaat pertama dan kedua. Sedang ikhfat adalah merendahkan suara. Ukuran keras dan rendahnya suara adalah: suara yang keras adalah minimal sebatas saat kita membaca surah-surah tersebut sekiranya orang yang berada di satu langkah di belakang kita dapat mendengarnya; sedangkan suara yang direndahkan adalah seperti suara berbisik (hanya terdengar suara angin dari mulut, layaknya orang berbisik). Dalam shalat subuh, maghrib dan isya, Al-Fathihah dan surah-surah pendek setelahnya harus dibaca keras (jahr) sedang dalam shalat dhuhur dan ashar yang dikeraskan hanya bismillahnya saja.

JAWAB:
Dianjurkan (mustahab) melakukan shalat-shalat nafilah siang hari (nahariyah) dengan ikhfat, dan melakukan shalat-shalat nafilah malam hari (lailiyah) dengan jahr.

Shalat sunah hanya dua rakaat:
Apakah boleh melakukan shalat-malam –yang setiap shalatnya terdiri atas 2 rakaat- dengan menggabungkannya menjadi 4 rakaat sekaligus dua kali, lalu shalat dua rakaat, dan diakhiri dengan 1 rakaat shalat witr?

JAWAB:
Melakukan shalat nafilah-malam dengan empat rakaat sekaligus tidaklah sah.

Shalat malam tak harus sembunyi-sembunyi:
Apakah wajib merahasiakan dalam melakukan shalat-malam, agar tidak diketahui orang lain, dan apakah wajib sholat di tempat gelap?

JAWAB:
Tidak disyaratkan melakukannya di kegelapan atau merahasiakannya dari orang lain. Memang benar, sikap riya’ tidaklah diperbolehkan.

Niat qadha shalat:
Apakah melakukan nafilah dhuhur dan ashar setelah melakukan shalat wajib dhuhur dan ashar dan pada waktu nafilah harus dengan niat qadha’ ataukah lainnya?

JAWAB:
Berdasarakan ahwath, ia wajib melakukannya dengan tujuan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah (swt) tanpa niat ada’ maupun qadha’.

Cara-cara shalat malam:
Kami mohon Anda menguraikan kepada kami cara shalat-malam secara rinci.

JAWAB:
Shalat malam terdiri dari 11 rakaat. 8 rakaatnya yang dilakukan dua rakaat dua rakaat disebut shalatul-lail dan dua rakaat berikutnya disebut shalat-syaf’, semuanyanya dilakukan sebagaimana shalat subuh. Satu rakaat terakhir disebut dengan rak’atul-witr yang di dalam qunutnya dianjurkan ber-istighfar dan berdoa untuk orang-orang mukmin, dan memohon hajat dari Allah yang Maha Pemberi secara runut, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab doa.

Hal yang perlu dikerjakan dalam shalat malam:
Bagaimana bentuk shalatul- lail? Dengan kata lain, apakah ada cara tertentu yang wajib dilakukan dalam shalatul- lail seperti surah-surah, istighfar dan doanya?

JAWAB:
Tidak disyaratkan apa pun dari (pembacaan) surah, istighfar dan doa sebagai bagian dari shalatul-lail, juga tidak sebagai wajib taklifi (kewajiban instruktif). Melainkan cukup dalam setiap rakaatnya, setelah niat dan takbir, membaca alfatihah, ruku’, sujud, membaca zikir dalam ruku’ dan sujud, tasyahhud, dan salam.

Memahami Tauhid itu mudah


Tauhid adalah meyakini bahwa Tuhan adalah esa, tak ada sekutu baginya. Banyak pembahasan tauhid dalam ilmu kalam (teologi), filsafat dan tafsir, yang mungkin bagi sebagaian orang cukup rumit untuk dipahami.
Sebenarnya memahami keesaan Tuhan itu mudah. Coba ikuti pembahasan ringan yang akan diberikan di bawah ini.

Sebelumnya, saya ingin jelaskan bahwa keesaan Tuhan tidak bisa dimengerti sebagaimana kita memahami jumlah dan bilangan sesuatu. Mengapa tidak? Karena Tuhan tidak bisa dihitung dengan bilangan satu, dua, tiga dan seterusnya.

Jadi pemahaman bahwa “Tuhan adalah satu” sebagaimana kita memahami “anak saya cuma satu” tidaklah sama. Karena “satu” untuk Tuhan dan “satu” untuk selain Tuhan berbeda pengertiannya (sebenarnya tidak benarj jika kita menggunakan istilah “satu” untuk Tuhan, yang benar adalah esa).

Segala sanggahan yang timbul di pikiran kita terhadap Tauhid dikarenakan kita salah memahaminya, kita memahaminya sebagai “menghitung Tuhan dengan bilangan satu”. Padahal itu tidak benar. Oleh karena itu Tauhid bukan berarti “menghitung Tuhan.”

Mengapa? Karena apa yang dapat kita hitung adalah obyek-obyek tertentu saja, tidak semuanya, bahkan di alam materi inipun. Buktinya kita hanya bisa menghitung jumlah anak kita, pensil yang kita punya, buku di rak kita, dan hal-hal serupa dengan bilangan satu, dua, tiga, empat dan seterusnya; namun apakah kita bisa menghitung jumlah air, gas, pasir, beras, atau gula dan hal-hal serupa dengan bilangan satu, dua, tiga dan…? Jelas tidak, ya kita menghitungnya dengan cara lain, kita menghitungnya dengan satuan kilo, misalnya beras satu kilo, gula tiga kilo, dan seterusnya.

Adapun Tuhan? Tuhan tidak bisa disamakan dengan obyek-obyek lain di sekitar kita yang dapat kita hitung, oleh karena itu kita tidak bisa menghitungnya dengan berkata “saya punya satu Tuhan.”
Lalu bagaimana kita memahami ke-satu-an Tuhan dan keesaan-Nya? Jawabannya adalah: “pengakuan kita dalam tidak bisa menghitung-Nya adalah Tauhid yang sebenarnya.” Segala yang dapat kita hitung adalah selain Tuhan; itu kaidahnya.

Lalu apakah itu berarti kita tidak memahami Tuhan? Ya, ada benarnya kita tidak bisa memahami Tuhan adalah Tauhid itu sendiri, dan mungkin lebih baik daripada memahami “Tuhan berjumlah satu” dengan pemahaman yang salah.

Tuhan yang menciptakan segala benda yang dapat kita lihat, rasa dan raba yang dapat kita hitung di sekitar kita. Jika Tuhan termasuk hal yang bisa dihitung sebagaimana benda-benda itu, jelas hal itu lucu.
Anggap saja Tuhan adalah seorang pembuat sepatu. Ia menciptakan berpuluh-puluh pasang sepatu yang dapat dihitung pembelinya. Pembeli bisa dan benar jika berkata “saya ingin membelii sepasang sepatu.” Namun ia tidak bisa berkata “Saya juga mau beli satu pencipta sepatu”; karena apa yang ia ucapkan tidak dalam koridor perannya sebagai pembeli sepatu. Kita makhluk ini hanya bisa menghitung apa yang tercipta di alam ini dengan bilangan-bilangan, dan tidak bisa menghitung pencipta alam beserta isinya dengan bilangan yang sama, karena keluar dari koridor peran kita sebagai makhluk.

“Allahu Akbar” yang sering kita ucapkan, seperti dalam shalat, cukup membantu kita untuk memahami Tauhid. “Allahu Akbar” artinya kita mengagungkan Tuhan dan menganggap-Nya “lebih” dari segala apa yang bisa kita fahami. Jika kita mengaku memahamii Tuhan, seperti halnya memahami Tauhid dan keesaan-Nya, maka “Allahu Akbar” itu mengingatkan kita bahwa Tuhan lebih dari yang kita fahami itu, artinya kita tidak memahaminya. Oleh karena itu “tidak memahami Tuhan” dengan syarat usaha sepenuh tenaga untuk memahami-Nya adalah Tauhid itu sendiri.

Riya’ dan obatnya serta Bahayanya


Pertanyaan: Apa obat riya’ dan penyembuhannya?

Jawaban Global:
Riya adalah: menunjukkan perbuatan baik kepada orang lain untuk mendapatkan sanjungan dan kedudukan sosial. Riya’ adalah kebalikan ikhlas.
Sebagian dari cara-cara menyembuhkan riya’ di antaranya adalah: mengingat bahwa Allah murka terhadap perbuatan riya’, memahami bahwa sanjungan orang tidak berharga, ingat bahwa orang-orang sering mengingkari janji, tak berterimakasih dan tidak selalu membalas budi, memahami bahwa Allah swt mampu menakhlukkan hati setiap orang untuk kita, mengingat bahwa Allah saw mampu membuat kita malu di depan umum atas perbuatan riya’, mengingat bahwa riya’ dapat menghanguskan amal perbuatan kita, dan berusaha membiasakan diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik di kesendirian tanpa dilihat orang lain.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah, bahwa tidak selamanya melakukan suatu perbuatan di depan umum adalah riya’, tapi menjalankan tugas; namun sering kali setan membuat kita was-was sehingga kita dicegah untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berkelompok. Oleh karena itu kita harus teliti dalam masalah ini dan berusaha memerangi bisikan setan dengan tetap menjalankan sebagian ibadah secara bersama-sama.
Jadi tidak semua perbuatan baik yang dikerjakan di depan umum adalah riya’, bahkan bisa jadi perbuatan yang terpuji, seperti melakukan perbuatan baik dengan tujuan menyemangati orang lain untuk melakukan hal yang sama, dengan niat bertabligh dan berdakwah, atau karena memerangi was-was setan.

Jawaban Detil:
Riya’ adalah, seseorang ingin mendapatkan keistimewaan dan sanjungan atau posisi tertentu dari orang lain dengan cara menunjukkan perbuatan-perbuatan baiknya.[1] Dan jika melakukan ibadah atau perbuatan baik lainnya, tujuannya adalah supaya orang lain melihatnya dan memujinya serta menyebutnya sebagai orang baik.

Kebalikan riya’ adalah ikhlas, yang artinya adalah mensucikan niat untuk Tuhan dan mengkosongkan niat-niat yang lain, dan melakukan segala amal perbuatan hanya untuk mentaati-Nya serta mengharap ridha-Nya.

Cara-cara menyembuhkan riya':
Di antara cara-cara menyembuhkan riya’ adalah:
1. Mengingat murka dan amarah Ilahi; berbuat riya’ dalam ibadah dan menjalankan tugas-tugas yang diperintahkan Allah swt pada dasarnya adalah penghinaan terhadap-Nya dan mengundang murka-Nya.
2. Memahami bahwa balasan dan pujian manusia tidak berharga jika dibandingkan dengan pahala dan balasan yang diberikan Tuhan kepada kita; jika seseorang mau membandingkan balasan materi manusia dan pujian-pujiannya dengan pahala dan ganjaran Tuhan, pasti ia tidak akan pernah melakukan suatu pekerjaan hanya untuk dipuji orang lain.
3. Mengingat bahwa orang-orang sering tidak menepati janji, tidak berterimakasih dan pelupa. Sering kali manusia tidak terlalu menghargai perbuatan baik yang dilakukan untuk mereka, atau sama sekali tidak menganggapnya penting, apa lagi untuk membalas budi, dan mereka cepat sekali melupakannya. Atau jika mereka ingin membalas budi, mereka tidak mampu untuk melakukannya. Kalaupun mereka berterimakasih, itu pun tidak terlalu berharga. Padahal Tuhan sama sekali tidak menyia-nyiakan perbuatan baik hamba-Nya sedikitpun dan takkan pernah melupakan amal manusia. Karena sesungguhnya Tuhan maha tahu dan Ia mampu memberikan ganjaran sebesar apapun kepada hamba-Nya.
4. Menyadari bahwa Allah swt maha mampu untuk menakhlukkan hati manusia; secara alami manusia ingin dipuji dan mendapatkan dukungan dari sesamanya, serta selalu diingat dengan kebaikannya. Namun kita perlu sadari bahwa yang bertugas untuk membuat hati mereka tertarik kepada seorang hamba yang selalu berbuat baik adalah Tuhan, bukan kita. Jadi, jika hamba-hamba Allah menjalankan tugasnya dan melakukan amal saleh dengan penuh keikhlasan, dengan sendirinya mereka akan mendapatkan pujian dari sesamanya.
5. Menyadari bahwa Allah swt dapat mempermalukan orang-orang yang berbuat riya’ di depan umum; seseorang yang sadar bahwa jika seandainya orang lain tahu ia tidak memiliki niat yang ikhlas dalam amal perbuatannya, jelas mereka tidak akan memuji dan menyemangatinya. Dengan demikian ia tidak akan membuang-buang tenaga untuk berbuat riya’.
6. Mengetahui bahwa riya’ adalah pelenyap amal-amal perbuatan manusia; orang yang sadar bahwa amal perbuatan yang mengandung satu titik riya’ bagi Tuhan tidak ada nilainya, maka ia pasti memahami bahwa berbuat riya’ akan membawa kerugian yang sangat besar bagi amal perbuatan yang telah ia lakukan.
7. Membiasakan diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dalam kesendirian tanpa dilihat orang lain.[2] Ini adalah jalan praktis untuk menyelamatkan diri dari riya’.

Namun perlu diketahui bahwa tidak semua perbuatan baik yang dilakukan di depan umum adalah perbuatan riya’, namun merupakan tugas dan perbuatan terpuji. Misalnya:
1. Melakukan perbuatan-perbuatan baik secara terang-terangan dengan tujuan menyemangati orang lain untuk melakukan hal yang sama.
2. Menjalankan amal ibadah secara terang-terangan dengan tujuan berdakwah. Karena jelas sekali dakwah secara tersembunyi tidak terlalu berarti.
Tidak selamanya melakukan suatu perbuatan di depan umum adalah riya’, namun sering kali setan membuat kita was-was sehingga kita dicegah untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berkelompok, seperti shalat Jum’at dan shalat jama’ah di masjid yang mana saat ini sudah menjadi hal lumrah.


[1]. Naraqi, Mulla Ahmad, Mi’raj As-Sa’adah, hal. 472 dan 473.
[2]. Ibid, hal. 483.

Qunut dalam Syiah


Qunut adalah amalan mustahab (sunah/tidak wajib) dalam shalat. Baik dalam shalat wajib maupun sunah, qunut adalah amalan yang dianjurkan.

Banyak sekali riwayat yang menjelaskan mustahab-nya qunut dalam shalat sehari-hari, yang mana Syaikh Hurr Amuli telah menyebutkan riwayat-riwayat itu dalam Wasail Syiah, kitab Shalat, bab Qunut, jilid 4, hal. 895-920.

Ahlu Sunah juga meyakini bahwa qunut adalah amalan mustahab. Namun, Syiah lebih menekankan qunut daripada Ahlu Sunah.

Qunut dalam Syiah dilakukan sebelum ruku’. Adapun di Ahlu Sunah qunut dilakukan setelah ruku’.
Tata cara qunut pun juga dijelaskan dalam riwayat-riwayat dalam kitab di atas.

Baca disini:
http://ahlulbaitnabisaw.blogspot.com/search/label/Qunut%20syiah

Mengapa Syiah sujud di atas tanah?


Sujud, menurut syariat suci Islam, hanya pantas dan diperbolehkan jika untuk Allah Swt, tidak boleh seseorang untuk menempelkan dahinya ke tanah untuk selain Dia, dan ini merupakan pernyataan seluruh ulama Islam tanpa terkecuali.

Kalau pun ada perbedaan seputar masalah sujud, perbedaan itu tidak berhubungan dengan hal di atas, melainkan terbatas pada pandangan fikih Syi’ah Imamiyah yang hanya membol­ehkan sujud di atas dua hal:
  1. Bumi, seperti tanah, batu dan semacamnya.
  2. Sesuatu yang tumbuh dari bumi, dengan syarat bukan termasuk pakaian atau makanan.
Sedangkan menurut pandangan fikih Ahli Sunnah, hukumnya lebih luas. Ulama Ahli Sunnah membolehkan sujud bahkan di atas kain-kain tenunan dari bulu, kapas atau rambut. Hanya Mazhab Syafi’i yang mengatakan tidak boleh sujud di atas ujung serban, ujung pakaian atau lengan baju.[1]

Sekarang, marilah kita bersama memperhatikan hadis-hadis dari Nabi Muhammad Saw; baik sabda maupun perbuatan beliau, lalu kita cermati dengan baik pandangan manakah yang didukung oleh hadis-hadis tersebut. Terang saja Nabi Muhammad Saw, sebagaimana tersinyalir dalam Al-Qur’an, merupakan teladan bagi kita semua dan tidak ada seorang pun yang berhak mengutamakan pendapatnya atas sabda dan perbuatan beliau.

Penelitian terhadap hadis-hadis yang tercatat di dalam kitab-kitab Shohih atau Sunan membuktikan bahwa pada kesimpulannya, tempat sujud untuk dahi atau menurut istilah fukaha­ sesuatu yang diperbolehkan sujud di atasnya telah dijelaskan dalam tiga tahap:
Pada tahap awal, sujud disyariatkan hanya di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya), sedangkan sujud di atas selain itu tidak diperbolehkan. Betapa pun para sahabat Nabi Saw mengeluhkan panasnya krikil di Masjid Nabi, beliau tidak mengubah hukum tersebut. Bahkan, bila ada seorang yang sujud di atas serbannya maka beliau menarik serban itu dari dahinya, dan seringkali beliau bersabda, ‘tarrib!’ artinya, kenakanlah mukamu dengan tanah.

Mengingat keharusan sujud di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya), maka untuk menghindari panas para sahabat Nabi Saw menggenggam krikil-krikil itu di tangan supaya agak dingin, dan ketika bersujud maka mereka sujud di atasnya.

Pada tahap awal ini, hanya diperbolehkan sujud di atas bumi, itu pun dalam bentuknya yang alami.
Adapun pada tahap kedua, wahyu Ilahi memperluas subjek hukum berdasarkan maslahat di baliknya, sujud di atas tikar dan jerami pun disyariatkan, dan kita semua tahu bahwa tikar atau jerami itu terbuat dari tumbuh-tumbuhan, karena itu terjadilah perluasan dan kemudahan dalam hal sujud.

Selanjutnya, pada tahap ketiga apabila darurat dan terpaksa, seperti panas yang tak tertahankan, maka boleh hukumnya sujud di atas ujung serban atau semacamnya, adapun jika di luar darurat dan keterpaksaan maka mereka diperintahkan untuk menghindari sujud di atas selain bumi (tanah, batu atau sernacamnya) dan tumbuh-tumbuhan.

Itulah tiga tahap pensyariatan hukum yang berkaitan dengan tempat dahi bersujud.

Keterangan nabi mengenai filosofi sujud di atas bumi
Poin penting yang patut diperhatikan dalam hal ini bahwa Rasulullah Saw sendiri dalam sebuah hadis telah menjelaskan filosofi sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya). Terang sekali hadis itu menunjukkan dimensi pendidikan di balik sikap syariat yang bersikukuh agar sujud dilakukan di atas bumi.
Beliau bersabda, ‘Setiap kali di antara kalian ada yang shalat, rnaka hendaknya dia meletakkan dahi dan hidungnya di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya), karena dengan demikian dia menunjukkan ketundukannya.’[2]

Suatu saat, Hisyam bin Hakam menanyakan filosofi sujud di atas bumi kepada Imam Ja’far Shadiq as, dan beliau menjawab, ‘Hal itu karena sujud adalah tunduk di hadapan Allah Swt, maka tidak seyogianya bagi seorang penyembah untuk sujud di atas makanan atau pakaian, dimana sembahan para penyembah dunia adalah makanan dan pakaian. Maka itu, tidak boleh sujud di atas sesuatu yang disembah oleh para penyembah dunia. Adapun sujud di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya) merupakan sebaik-baik ketundukan di hadapan Allah Swt.’[3]

Mengingat bahwa sujud di atas bumi merupakan manivestasi yang sempuma dari penyembahan, maka Umar bin Abdulaziz bersujud hanya di atas tikar, bahkan dia menuangkan sedikit tanah di atas tikar untuk bisa sujud di atasnya.

Ibnu Hajar, di dalam komentarnya terhadap kitab Shohih Bukhari, mengatakan, ‘Umar bin Abdulaziz tidak cukup hanya dengan sujud di atas tikar, melainkan dia meletakkan tanah di atas tikar itu dan bersujud di atasnya.’[4]

Urwah bin Zubair pun tidak bersujud kecuali di atas bumi (tanah, batu atau sernacamnya).[5]
Masruq yang tergolong tabi’in ketika bepergian selalu membawa bata untuk dapat bersujud di atasnya ketika berada di kapal.[6]

Ibnu Abi Syaibah, syaikh Bukhari mengatakan, ‘Shalat di atas thonfasah (permadani) adalah sesuatu yang baru, sedangkan telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah Saw bahwa sesuatu yang paling buruk adalah sesuatu yang tidak punya latar belakang (tidak ada sebelumnya), dan sesuatu yang demikian itu adalah bid’ah.’[7]

Referensi:
[1] Syaikh Thusi, Al-Khilaf, jld. 1, hal. 357-358, masalah no. 112-113. Begitu pula referensi yang lain.
[2] Ibnu Atsir, Nihayah
[3] Majlisi, Bihar Al-Anwar, jld. 82, hal. 147, bab apa yang sah untuk sujud di atasnya.
[4] Ibnu Hajar, Fath Al-Bari, jld. 1, hal. 410; Syarh Al-Ahwadzi, jld. 1, hal. 271.
[5] Ibid.
[6] Muhammad bin Sa’ad, Al-Thobaqot Al-Kubro.jld. 6, hal. 79.
[7] Al-Mushonnaf, 2.

Mengapa heran melihat Syiah sujud di atas tanah Karbala?


Gugatan lain yang muncul sekitar masalah sujud para penganut mazhab Syiah adalah kenapa orang-orang Syi’ah Imamiyah memilih tanah Karbala dari sekian tanah yang ada di muka bumi dan mereka mengutamakan sujud di atas tanah itu daripada yang lain, kenapa mereka membawa belahan tanah itu ke masjid-masjid, ke rumah, dan ketika dalam perjalanan?

Sudah barang tentu tempat sujud harus suci, dan berhubung tidak mungkin dipastikan bahwa seseorang dalam kondisi apa pun dapat sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya) yang suci, maka sebagaimana yang telah dilakukan oleh salah satu tokoh tabi’in bemama Masruq bin Ajda’, dia baisa membawa sepotong tanah suci ke mana dia pergi, sehingga dengan demikian dia senantiasa dapat bersujud di atas tanah yang suci. Hal itu sama dengan orang musafir yang membawa tanah agar kapan saja dia harus bertayamum niscaya dia dapat melakukannya dengan tanah tersebut.

Adapun kenapa tanah Karbala yang dipilih oleh orang syi’ah di antara sekian tanah yang ada, jawabnya adalah ketika seorang pelaku shalat meletakkan dahi di atas tanah suci Karbala niscaya dia mengingat pula pengorbanan luar biasa pahlawan sejarah dari keluarga suci Rasulullah Saw bernama Imam Husain as, dimana beliau telah mengorbankan nyawa, harta dan anak-anaknya demi kemuliaan Islam seraya tidak sudi berada di bawah kezaliman dan mengajarkan kemerdekaan serta kecemburuan Islami yang sesungguhnya kepada seluruh umat manusia.

Perlu digarisbawahi bahwa sujud seseorang di atas tanah Karbala Imam Husain as bukan saja ticlak bertentangan dengan jalur tauhid, bahkan hal itu akan menambah keikhlasan kepada sujudnya dan mempersiapkan dia untuk pengorbanan di jalan agama Islam, dimana shalat aclalah satu satu bagian yang tak terpisahkan darinya.

Seorang tabi’in bemama Ali bin Abdillah bin Abbas menul­iskan surat kepada Razin, ‘Kirimkanlah sepotong batu dari batu-batuan Gunung Marwah, sehingga aku bisa bersujud di atasnya.’[1]

Permintaan itu dilatarbelakangi oleh kenyataan Gunung Marwah sebagai saksi pengorbanan dari seorang perempuan mukmin dalam rangka menyediakan air, dia berlari-lari kecil di antara dua gunung Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dan menanggung berbagai kesulitan di jalan Allah Swt.

Syaikh Thusi meriwayatkan sebuah hadis dari Muawiyah bin Ammar bahwa Imam Ja’far Shadiq as mempunyai kantong berwama kuning dari jenis kain Diba, beliau menyimpan tanah Imam Husain as di dalam kantong itu, dan ketika shalat beliau menaburkan tanah itu di atas sajadah serta sujud di atasnya.[2]

Orang yang menyebut sujud di atas tanah Karbala sebagai sebuah penyembahan aclalah orang yang tidak bisa memilah antara ‘yang sujud untuknya’ dari ‘yang sujud di atasnya’, dalam kondisi apa pun sujud hanyalah untuk Allah Swt dan Dia-lah ‘Yang sujud untuk-Nya’, adapun sesuatu yang menjadi tempat dahi bersujud adalah ‘yang sujud di atasnya'; baik itu berupa tanah atau karpet, tanah Karbala atau tanah Madinah dan batu Gunung Marwah.

Referensi:
[1] Azraqi, Akhbore Makkeh, jld. 3, hal. 151.
[2] Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah,jld. 3, hal. 608, bab ke-16 dari bab-bab tentang apa yang sah untuk sujud di atasnya.

Hukum Khumus bagi Syiah dan Ahlu Sunah


Ulama Ahli Sunnah mewajibkan khumus hanya dalam hal ghanimah (rampasan) perang, tapi kenapa ulama Syi’ah memperluas hukum wajib khumus sehingga mencakup hal-hal selain ghanimah perang?
Khumus, sebagaimana wajib dalam hal ghanimah perang, wajib pula dalam penghasilan seseorang yang halal, tentunya dengan syarat yang telah dijelaskan oleh ulama di dalam bah khumus. Selanjutnya, kita akan sama-sama mengajukan persoalan ini kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw.

Al-Qur’an menyebutkan:
Dan ketahuilah, hanyasanya apa yang kalian rampas (ghan­imah) dalam peperangan maka sungguh seperlimanya untuk Allah, Rasul, dzawil qurba (kerabat), anak-anak yatim, orang-­orang miskin, dan ibnu sabil, jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad Saw) pada hari Furqan, -yaitu- hari bertemunya dua pasukan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Anfal [8] : 41).

Apakah ayat di atas hanya berkenaan dengan ghanimah perang, ataukah berkenaan dengan makna yang lebih luas daripada itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita mengkaji makna kata (غنم).

Di dalam kitab-kitab fikih, setiap kali kata ghanimah digunakan maka pada umumnya berhubungan dengan penghasilan atau rampasan perang, tapi hal ini tidak berarti kita berhak untuk membatasi makna ayat di atas hanya berkenaan dengan ghanimah perang, bahkan kemutlakan ayat tersebut masih menjadi bukti bagi kita bahwa ayat ini mencakup penghasilan yang lain.

Para ahli Bahasa Arab juga menyebutkan makna yang luas bagi kata ini dan tidak khusus untuk ghanimah perang. Sebagai contoh:
  1. Khalil bin Ahmad Farahidi (w. 170 H) mengatakan, ‘Segala sesuatu yang diperoleh seseorang dengan jerih payah adalah ghanimah.’[1]
  2. Azhari menuliskan, ‘Ghonm berarti memperoleh sesuatu, sedangkan ightinam berarti mengambil manfaat dari perolehan (penghasilan).’[2]
  3. Ibnu Faris menyebutkan, ‘Kata (غنم) tidak mempunyai lebih dari satu akar yang berarti memperoleh sesuatu yang tidak diperoleh sebelumnya. Kemudian, kata ini digunakan untuk rampasan perang.’[3]
Di sini, kami rasa cukup menyebutkan tiga pakar bahasa tersebut, dan selanjutnya kami ingatkan bahwa mayoritas kamus Bahasa Arab mengartikan ghanimah dengan murni pcnghasilan baik itu penghasilan perang atau pun yang lain.[4]

Lagi pula Al-Qur’an sendiri menggunakan kata ini untuk makna perolehan atau keuntungan secara umum, dimana Allah Swt telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi (berjihad) di jalan Allah, maka carilah keterangan, dan janganlah kalian berkata kepada orang yang memberi salam kepada kalian, ‘Engkau bukan mukmin. ‘ -lalu kalian bunuh-, karena kalian mengharapkan harta kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada keuntungan (perolehan dan harta) yang banyak sekali. Demikian jugalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah memberkan nikmat kepada kalian, karena itu carilah keterangan! Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (QS. Al-Nisa’ [4] : 94).

Kalimat (فعند الله مغانم) di dalam ayat ini mencakup perolehan atau pahala di dunia maupun di akhirat walau tidak berhubungan dengan rampasan perang, bahkan dapat dikatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah imbalan akhirat, dan itu terbukti dengan posisi penggalan ayat tersebut yang dihadapkan dengan penggalan (عرض الحیاة الدنیا) yang berarti ‘harta kehidupan dunia’.

Ibnu Majah di dalam kitab Sunannya meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw menerima zakat, beliau bersabda, ‘Ya Allah! Anugerahilah pahala dan keuntungan kepada penunai zakat, jangan menjadikannya bahaya dan kerugian bagi dia.’[5]

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‘Pahala majelis zikir kepada Allah Swt adalah surga.’[6] Rasulullah Saw menyebut Bulan Ramadan dengan sifat ‘Ghunmun lil jannah”, artinya adalah sebuah keuntungan demi surga.

Salah satu bukti paling kuat dan jelas, bahwa meskipun ayat ini turun bertepatan dengan masalah rampasan perang akan tetapi maknanya tidak khusus untuk masalah itu, adalah masing-masing dari imam empat mazhab Ahli Sunnah menyatakan kewajiban bayar khumus dalam hal harta selain rampasan perang, bahkan mereka membuktikan kewajiban itu berdasarkan ayat tersebut di atas.

Khumus Pertambangan
Khumus pertambangan merupakan salah satu pajak yang diwajibkan oleh Islam. Fukaha Mazhab Hanafi membuktikan kewajiban itu berdasarkan dua hal:
  1. Ayat Khumus Ghanimah yang tersebut di atas;
  2. Hadis Nabi Muhammad Saw bahwa ‘Terdapat khumus di dalam hal-hal yang tersimpan di perut bumi.’[7]
Dari hasil penelitian dalam kitab-kitab hadis, kita menemukan sabda tersebut di berbagai hadis Nabi Muhammad Saw.

Khumus Penghasilan Kerja
Menmut Mazhab Syi’ah Imamiyah, setiap penghasilan kerja seseorang, setelah dikurangi biaya belanja selama setahun maka seperlima (khumus) dari sisanya harus dibayarkan. Tentu saja dalam hal ini ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi, tapi bukan tempatnya di sini untuk menjelaskan itu semua, karena tujuan kami pada kesempatan kali ini hanyalah menunjukkan bahwa fatwa Mazhab Syi’ah Imamiyah sapenuhnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah Saw yang telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah.

Di sini kita cukup menyebutkan berapa contoh dari hadis-hadis tersebut:
  1. Rombongan delegasi suku Abdul Qais
Suku Abdul Qais terletak di timur Arabia, dan masyarakat Qathif, Ahsa’, serta Bahrain masih terhitung dari suku itu. Kepala suku itu bernama Abdul Qais, dia datang langsung kepada Rasulullah Saw seraya berkata, ‘Di antara kamu dan kami terdapat suku-suku musyrik yang tidak memperkenankan kami untuk datang ke sisimu kecuali di bulan-bulan haram. Karena itu, kami mohon kepadamu untuk memberi pelajaran-­pelajaran penting kepada kami sehingga kami dapat mengajar kannya kepada yang lain.’

Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‘Aku perintahkan kalian pada empat hal dan larang kalian dari empat hal. Aku perintahkan kalian untuk:
1. beriman kepada Allah -dan kalian tahu apakah iman kepada Allah Swt? Yaitu- bersaksi akan keesaan-Nya,
2. Menunaikan shalat,
3. Membayar zakat,
4. Dan membayar khumus dari Mughnam (Ghanimah).[8]

Dalam pada itu perlu ketelitian tentang apa yang dimaksud dengan Mughnam (Ghanimah) dalam sabda beliau, dan di sini ada dua kemungkinan:
  1. Rampasan perang;
  2. Penghasilan yang halal.
Tentu saja kemungkinan pertama tertolak; karena rombongan delegasi suku Abdul Qais terang-terang mengatakan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa kami tidak mungkin bertemu denganmu kecuali di bulan-bulan haram; karena bila kita keluar dari kawasan sendiri dan melewati kawasan kabilah-kabilah yang lain niscaya itu akan berbahaya dan menyebabkan pertumpahan darah. Masyarakat yang berkondisi seperti ini bagaimana mungkin berperang melawan musuh dan mendapat harta rampasan perang dari mereka?! Lagi pula, jihad (perang) melawan musuh tanpa izin Nabi Muhammad Saw dan perwakilan beliau tidaklah diperbolehkan.

Mungkin saja seseorang membayangkan maksudnya adalah perampokan harta musuh. Tapi kemungkinan ini juga tidak bisa dibenarkan, karena Rasulullah Saw melarang segala bentuk perampokan, sebagaimana kita dapat membaca sabda beliau tentang masalah ini di berbagai kitab hadis, seperti “nahan nabi  ‘an al-nahb[9] yang artinya, Nabi Muhammad Saw telah melarang perampokan.

Dengan demikian, hanya satu kemungkinan makna yang tersisa dari kata Mughnam (Ghanimah) di sini, yaitu penghasilan yang halal setelah dikurangi biaya belanja selama setahun.
  1. Ketika Rasulullah Saw mengutus Amr bin Hazm ke Yaman, beliau menuliskan surat perintah yang isinya antara lain:
أمره بتقو الله قی امره و ان یأخذ من المغانم خمس الله و ما کتب عن المؤمنین من الصدقة من العقار عشر ما سقی البعل و سقت السماء و نصف العشر مما سقی الغرب[10]

Ada berapa kata yang hams dijelaskan lebih dulu:
  1. Kata al- ‘iqor berarti tanah, dan yang dimaksud di sini adalah tanah pertanian.
  2. Kata al-ba’l berarti pepohonan yang tidak perlu pengairan karena akarnya yang mampu menyerap air dari sungai-sungai di sekitamya atau hujan.
  3. Kata al-ghorb berarti ember besar, dan yang dimaksud di sini adalah pepohonan yang disirami air dengan peralatan seperti ember dan semacamnya.
Setelah memerintahkan ketakwaan, di dalam hadis mt Rasulullah Saw menekankan dua macam pajak islami:
  1. Khumus Ghanimah;
  2. Zakat tanah yang adakalanya sepersepuluh dan adakalanya seperduapuluh; tanah yang kebutuhan airnya dipenuhi oleh hujan atau sumber-sumber air di sekitarnya dikenakan pajak seperse­puluh karena biaya pengairannya yang kecil, sedangkan tanah yang kebutuhan aimya dipenuhi dengan peralatan seperti penimbaan air dari sumur dikenakan pajak seperduapuluh karena biaya pengairannya yang relatif besar.
Dalam hal ini, banyak surat perjanjian dari pihak Rasulullah Saw untuk para tokoh di sekitar kawasan, dan di semua itu terdapat perintah pembayaran khumus dari Ghanimah, padahal mereka bukan panglima perang atau pasukan perang, tapi mereka merupakan tokoh atau pemimpin di daerah masing-masing, maka itu beliau memerintahkan mereka untuk mengumpulkan seperlima dari harta penghasilan -tentunya setelah memenuhi syarat- di sana dan mengirimkannya kepada beliau.
  1. Di dalam sebuah perjanjian, Rasulullah Saw menuliskan kepada Juhainah bin Zaid:
‘Untukmu bawah tanah, di atas tanah, di dalam lembah dan di atasnya, gunakanlah ladang-ladang dan air yang ada di sana, tapi dengan syarat hendaknya kamu mengirimkan seperlima dari hasilnya.’[11]
Lebih dari itu, sebagaimana tercatat dalam banyak hadis, para imam suci Ahli Bait as yang merupakan padanan Al­ Qur’an berkali-kali menjelaskan kewajiban membayar khumus penghasilan kerja. Karena itu, siapa pun yang meyakini kebenaran Hadis Tsaqalain (dua pusaka Nabi Muhammad Saw) maka wajib baginya untuk mengikuti sabda para imam tersebut dan membayarkan seperlima dari penghasilan kerjanya, tentu saja apabila syarat-syaratnya terpenuhi yang antara lain adalah setelah dikurangi biaya belanja selama setahun.

Referensi:
[1] Al-‘Ain,jld. 4, hal. 426, kata غنم
[2] Tahdzib Al-Lughoh, kata yang sama.
[3] Maqoyis Al-Lughoh, kata yang sama.
[4] Nihayah karya Ibnu Atsir, Qomus karya Firuz Abadi, dan Taj Al-‘Arus karya Zubaidi dalam kata yang sama.
[5] Sunan Ibnu Majah, kitab zakat, bab apa yang diriwayatkan mengenai pembayaran zakat, hadis no. 1797.
[6] Musnad Ahmad, jld. 2, hal. 330, 379, 374 dan 524. 3 Ibid, jld. 2, hal. 377.
[7] Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, jld. 2, hal. 776; Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 314; Sunan Ibnu Majah jld. 2, hal. 839 cetakan tahun 1374.
[8] Shohih Al-Bukhori, jld. 4, hal. 250, bab (والله خلقکم و م تعملون) dari kitab tauhid; Shohih Muslim, jld. 1, hal. 35-36, bab perintah untuk beriman.
[9] Al-Taj Al-Jami’ li Al-Ushul, jld. 4, hal. 334, nukilan dari Shohih Al-Bukhori.
[10] Futuh Al-Buldan,jld. 1, hal. 81, bab Yaman; Siroh lbnu Hisyiim, jld. 4, hal. 265.
[11] Al-Watsa’iq Al-Siyasiyah, hal. 265, no. 157.

Makna shalat dan shalawat secara leksikal dan teknikal syar’i


Makna shalat dan shalawat secara leksikal dan teknikal syar’i? 
 
Pertanyaan:
Apa hikmah kata sholat dan sholawat bersamaan menggunakan huruf shod dan lam? Apa hubungan di antara keduanya? Demikian juga pada kata sholu pada kalimat "sholu ala muhammad" dan "sholu kama roaitu muni usholli" ?
 
Jawaban Global:
Kata salat (Arab: shalat) sepert puasa (shaum), zakat dan haji adalah sebuah lafaz yang mengalami perubahan dari makna leksikalnya menjadi makna baru dalam syariat.

Asli kata shalat secara leksikal derivatnya dari akar kata shalu yang bermakna doa dan istighfar.[1] Kata shalawat adalah bentuk jamak dari kata shalat.[2] Shalawat adalah kalimat doa dan salam khusus atas Rasulullah Saw yang disampaikan oleh kaum Muslim tatkala menyebutkan nama Nabi Muhammad Saw dengan cara yang beragam seperti,
 
 «اللهم صلّ علی محمد و آل محمد»
   
“Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.”

Shalawat Allah Swt kepada Rasulullah Saw bermakna rahmat, “

«إِنَّ اللّٰهَ وَ مَلٰائِکَتَهُ یُصَلُّونَ عَلَى النَّبِیِّ یٰا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَیْهِ وَ سَلِّمُوا تَسْلِیماً»

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Qs. Al-Ahzab [33]:56).

Shalawat dari sisi para malaikat bermakna doa dan istighfar. [3]  Mengingat bahwa dalam salat terdapat doa dan permohonan ampun karena itu disebut sebagai salat. Dalam makna khusus ini (ibadah khusus dan memiliki rukun serta aktivitas tersendiri) menjadi makna hakiki. Karena itu, menjadi jelas bahwa shalat juga bermakna doa dan juga bermakna ibadah khusus yaitu salat.

Jelas bahwa sebagian lafaz digunakan bukan pada makna leksikalnya dan dipakai secara majas oleh ahli syariat yang kemudian secara perlahan menemukan makna-makna baru. Misalnya penggunaan salat terkait dengan kegiatan-kegiatan tertentu setelah sebelumnya bermakna doa secara leksikal (lughawi).[4] 
 
Penggunaan kata zakat juga demikian yang bermakna sejumlah harta yang dikeluarkan setelah makna yang ditetapkan untuknya adalah berkembang dan tumbuh.[5] Di samping itu, penggunan kata haji yang bermakna pelaksanaan manasik tertentu setelah secara leksikal (lughawi) ditetapkan bermakna niat atau qashd.[6]

Setelah peralihan makna ini, terdapat perbedaan pendapat apakah yang melakukan peralihan dan perubahan ini dilakukan oleh Syari’ (Pembuat Syariat)? Apakah Pembuat Syariat yang menentukan lafaz ini sedemikian sehingga hal tersebut dapat menujukkan makna yang dimaksud tanpa adanya indikasi sehingga ia menjadi hakikat syar’iah atau disebabkan oleh penggunaan lafaz pada makna ini  mendominasi dan Pembuat Syariat menggunakan lafaz ini secara majas sehingga dalam hal ini hanya menjadi hakikat urfiyah bukan syar’iah.
Hasil dari perbedaan pendapat ini apabila dalam ucapan Pembuat Syariat digunakan tanpa adanya sebuah indikasi apa pun berdasarkan pendapat pertama maka hal itu dipredikasikan pada makna sekundernya, namun sesuai dengan pendapat kedua dipredikasikan dengan makna leksikalnya. Namun apabila dalam tuturan Pembuat Syariat tentu saja dipredikasikan dengan makna-makna syar’i.[7] 
 
Sebagai contoh, dalam hadis Imam Shadiq As bersabda, “Shalatlah di samping kuburan Nabi Muhammad Saw, meski salat (shalawat) orang-orang beriman dapat sampai kepadanya dimanapun mereka berada.”[8] 
 
Saya tidak tahu apakah maksud Imam Shadiq As itu adalah salat di samping kuburan Rasulullah Saw atau shalawat dan salam untuknya?
Dengan memperhatikan beberapa poin yang disampaikan di atas, mengingat penggunaan ini dilakukan setelah Pembuat Syariat, karena itu dipredikasikan dengan makna syar’i (salat) kecuali – seperti riwayat di atas – terdapat sebuah indikasi  yang menunjukkan bahwa maksud Imam Shadiq As adalah shalawat dan salam.[9]   

Adapun terkait dengan dua kaliamt “Shallu ‘ala Muhammad” dan “Shallu kama raitumuni ushalli” dalam dua hal terdapat indikasi; karena dengan memperhatikan kalimat pertama  terdapat preposisi ‘ala (atas) tentu saja bermakna shalawat dan salam. Demikian juga pada kalimat kedua mengingat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah shalat maka shalat di sini bermakna salat (yang memiliki rukun, bacaan dan kegiatan tertentu).
 

[1] . Khalil bin Ahmad Farahidi, Kitab al-‘Ain, jil. 7, hal. 153, Qum, Intisyarat Hijrat, Cetakan Kesepuluh, 1410 H. 
 
«صلو: الصَّلَاة ألفها واو لأن جماعتها الصَّلَوَات» 
 
; Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, jil. 14, hal. 464, Beirut, Dar Shadir, Cetakan Ketiga, 1414 H.
 
«الصلاةُ: الدُّعاءُ و الاستغفارُ»
 
[2]. Kitab al-‘Ain, jil. 7, hal.. 153; Shahib bin Ibad, al-Muhith fi al-Lughah, jil. 8, hal. 184, Beirut, Alam al-Kitab, Cetakan Pertama, 1414 H.  
[3]. Lisân al-‘Arab, jil. 14, hal. 465.  
[4]. Ibid.  
[5]. Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hal. 380, Beirut, Dar al-Qalam, Cetakan Pertama, 1412 H.
[6]. Muhammad bin Hasan Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, Beirut, Dar al-‘Ilm lil Malayin, Cetakan Pertama, 1988 M.  
[7]. Hasan bin Zainuddin, Ma’âlim al-Din, hal. 35, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Kelima, Tanpa Tahun.
[8]. Muhammad bin Yakub Kulaini, al-Kâfi, hal. 256, Qum, Dar al-Hadits, Cetakan Pertaa, 1429 H.

«صَلُّوا إِلىٰ جَانِبِ قَبْرِ النَّبِیِّ، وَ إِنْ کَانَتْ صَلَاةُ الْمُؤْمِنِینَ تَبْلُغُهُ أَیْنَمَا کَانُوا»
 
[9]. Muhammad Baqir Majlisi, Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Akhbâr Ali al-Rasul, Riset oleh Sayid Hasyim Rasuli, jil. 18, hal. 264, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Kedua, 1404 H.

«قوله علیه السلام: "صلوا" المراد بالصلاة فی الموضعین أما الأرکان و الأفعال المخصوصة کما هو الظاهر فیدل على استحباب الصلاة له صلى الله علیه و آله فی جمیع الأماکن أو بمعنى الدعاء إلیه علیه السلام، و احتمال کونها فی الأول الأرکان و فی الثانی الدعاء بعید جدا و الله یعلم».

Perbedaan Sifat Dan Ciri-Ciri Qawiyyu Bagi Allah Swt Dan Bagi Makhluk-Nya


Apa perbedaan sifat dan ciri-ciri qawiyyu bagi Allah Swt dan bagi makhluk-Nya?
Pertanyaan:
 
Salam sejahterah selalu buat kita semua, mohon arti dari ya qowiyyu terimakasih?
 
Jawaban Global:
Sifat qawi adalah salah satu sifat Ilahi dan bermakna kuatnya intensitas kodrat dan kekuasaan. Mengingat bahwa seluruh entitas tercipta dalam hubungannya dengan kodrat Ilahi, jelas bahwa tiada kekuataan yang menggungguli kekuaatan dan kekuasaan Allah Swt.

Karena itu, segala sesuatu selain Allah, yang dicirikan sebagai yang mahakuasa, dalam bandingannya dengan sesuatu yang lebih lemah dari-Nya, namun kekuataan ini dibandingan dengan sesuatu yang kekuataannya lebih tentunya akan terhitung lemah.

Karena itu, segala kekuataan dibandingkan dengan di atasnya, tentunya lemah, sehingga silsilah kekuasaan dan kekautaan Tuhan ini dapat berujung pada satu titik, namun kekuataan Tuhan dibandingkan dengan segala sesuatu, tentunya tidak ada titik lemah dan kelemahan pada diri-Nya.
Dalam beberapa ayat al-Quran dan juga sebagian doa dan dzikir disebutkan tentang tipologi tentang quwwah terkait dengan Allah Swt.
 
Jawaban Detil:
Salah satu sifat tsubut Allah Swt adalah sifat qawwiyu yang telah disinggung dalam beberap ayat al-Quran[1] demikian juga dalam sebagian doa dan dzikir kita menyebut Allah Swt dengan nama ini.[2]
Untuk menjelaskan makna ini, kita akan mengulasnya pada beberapa sub bahasan berikut ini:

Mengenal Kata Qawi
Sifat Qawi bertimbangan fail yang bermakna subyek (fail) dari klausul qawi dan quwwah yang bermakna dahsyatnya kekuatan[3] dan kebalikannya adalah dhaif (lemah).[4]

Sifat Qawi dalam al-Quran
Sifat Qawi dan lafaz-lafaz yang semakna dengannya seperti yang digunakan dalam al-Quran dan hadis akan dijelaskan sebagai berikut:
  1. Dalam al-Quran, Allah Swt disifatkan dengan kata qawi dan quwwah seperti:
«إِنَّ اللَّهَ قَوِی شَدیدُ الْعِقاب»
 
“Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi amat keras siksaan-Nya.” (Qs. Al-Anfal [8]:52).

«إِنَّ اللَّهَ قَوِی عَزیزٌ»
 
“Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Hadid [57]:25).

«إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتین»
 
“Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh. (Qs. Al-Dzariyat [51]:58).

Kata “dzu al-quwwah” merupakan salah satu nama Allah Swt dan bermakna qawi, bedanya kata ini lebih ekspresif ketimbang kata qawi. Kata matin juga merupakan salah satu nama Allah Swt yang bermakna kukuh yang tiada satu pun pekerjaan yang tidak dapat dilakukannya.  Ungkapan tiga nama ini menujukkan terbatasnya pemberian rezeki hanya pada Allah Swt (hanya Allahlah yang memberikan rezeki) dan memahamkan bahwa dalam menyampaikan rezeki kepada para pemakan rezeki – berapa pun banyaknya –Allah Sang Pemberi Rezeki tidak akan pernah lemah.[5]
  1. Lafaz quwwah terkadang digunakan bermakna kodrat sebagaimana disebutkan dalam al-Quran:
«خُذُوا ما آتَیناکُمْ بِقُوَّةٍ».
 
“Peganglah teguh-teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:63).

Terkadang potensi dan kesiapan pada sesuatu juga disebut sebagai quwwah. Namun dengan memperhatikan penggunaan kata quwwah dalam al-Quran dapat disimpulkan:
Quwwah adalah tingkatan paling dahsyat dari kekuataan dan kekokohan, entah itu kekuatan badan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran,
 
 «قالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنّا قُوَّةً»  
 
, “Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?” (Qs. Al-Fusshilat [41]:15) 
 
atau kekuatan mental sebagaimana pada ayat lainnya,
 
 «یا یحْیی خُذِ الکِتابَ بِقُوَّةٍ»  
 
“Hai Yahya, ambillah al-Kitab itu dengan kuat dan sungguh-sungguh.” (Qs. Maryam [19]:12).
 
atau maksudnya adalah kekuatan-kekuatan penolong sebagiamana yang diharapkan oleh Nabi Luth yang berkata, “sekiranya ada kekuatan sehingga dapat mencegah perbuatan-perbuatan tercela pada pelaku kejahatan,
 
 «لَوْ أَنَّ لِی بِکُمْ قُوَّةً»  
 
“Luth berkata, ‘Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu)’” (Qs. Hud [11]:80)
 
dan seperti ucapan para menteri Ratu Saba yang mendeskripsikan diri mereka,
 
  «نَحْنُ اُولُوا قُوَّةٍ وَ اُولُوا بَأْسٍ شَدِیدٍ»  
 
“Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan).” (Qs. Al-Naml [27]:33)[6]


Makna Kekuatan Tuhan
Imam Shadiq As bersabda, “Tuhan kami – yang mahabesar nan agung – disebut qawi karena ciptaan-Nya agung dan kukuh yang telah menciptakan bumi dan segala apa yang ada di dalamnya, gunung-gunung, laut-laut, pasir-pasir dan pepohonan serta apa yang diciptakan yaitu segala yang bergerak di dalamnya dari kalangan manusia dan hewan, Dialah yang menggerakkan angin, menahan awan-awan yang mengandung hujan yang berat dari air, matahari, bulan, dan kebesaran keduanya serta kebesaran cahayanya yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa manusia dan tidak terbatas, dan bintang gemintang, planet-planet  berputaran dan langit yang mahaluas menggantung di atas kita dan bumi yang menjuntai dan segala yang dikandungnya dan segala yang diciptakan... dengan demikian Dia disebut qawi, bukan dari apa yang kita kenal dari ciptaan-ciptaan, yang digenggam dan dicengkram kuat dan apabila kekuatan-Nya mirip dengan kekuatan ciptaan maka akan ada yang mirip dengan-Nya dan (Tuhan) dan kemungkinan Tuhan itu banyak dan apabila banyak maka hal itu menunjukkan kekurangan dan apa yang kurang itu  tidak sempurna dan apa yang tidak sempurna itu tidak mampu dan tidak berdaya sementara Allah Swt tidak ada yang serupa dengan-Nya dan sesungguhnya kita berkata, “Dia kuat bagi ciptaan yang kukuh dan demikian kita berkata, agung dan besar.”[7]

Ciri-ciri Kuat-Nya Allah Swt
  1. Rasulullah Saw bersabda, “Segala puji bagi Allah yang menguasai segala sesuatu dan kekuasaannya pada segala sesuatu dan berasal dari-Nya.”[8]
  2. Rasulullah Saw bersabda, “Tuhanku! Engkau hidup tidak akan mati.. engkau kuat dan tidak akan lemah, engkau tabah dan tidak tergesa-gesa.”[9]
  3. Imam Ali As bersabda, “Tuhanku! Aku bermohon kepadamu.. dengan kekuatan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu dan segala sesuatu tunduk pada-Nya dan segala sesuatu tunduk di hadapan-Nya.”[10]
  4. Imam Ali As dalam menjelaskan makna Allahu Akbar dalam adzan, ucapan (muaddzin) yang berkata Allahu Akbar memiliki banyak makna: makna ketiga Allahu Akar, artinya bahwa Allah Swt berkuasa atas segala sesuatu dan berkehendak atas segala sesuatu. Kekuasaan-Nya disebabkan oleh kekuatan-Nya dan sangat berkuasa atas ciptaan-ciptaan-Nya, berkuasa pada dzat-Nya. Kekuasaannya kokoh di atas segala sesuatu. Tatkala Dia menghukumi sesuatu, Dia hanya berkata, “Jadilah”[11] Maka jadilah ia.”[12]
  5. Imam Musa Kazhim As bersabda, “Segala sesuatu yang berkuasa tidak berdaya di hadapan kekuasaan Allah Swt.”[13]
Dengan pandangan seperti ini disebutkan dalam beberapa doa dzikir Ya Qawiyyu[14] seperti Ya Qawiyyu irham da’fi (Wahai Yang Mahakuasa kasihilah kelemahanku.)[15]

Kesimpulan:
Dengan memperhatikan Al-Quran dan hadis-hadis dapat disimpulkan bahwa:
  1. Sifat qawi merupakan salah satu sifat dzati dan sifat fi’li. Allah Swt itu qawi artinya bahwa Dia itu tidak lemah dan kalimat Qawi «قَوِی لَا تَضْعُف‏»[16] Kuat dan takkan lemah tengah menyinggung makna ini. Dan Allah Swt itu qawwi sebagai sifat fi’li (perbuatan) bermakna menciptakan makhluk-makhluk yang kuat dan redaksi kalimat, “«إِنَّمَا قُلْنَا إِنَّهُ قَوِی لِلْخَلْقِ الْقَوِی» Sesungguhnya kami berkata bahwa Dia itu kuat lantaran menciptakan makhluk-makhluk kuat.” Tengah menyoroti makna qawi sebgai sifat perbuatan.
  2. Mengingat bahwa seluruh makhluk tercipta dalam kaitannnya dengan kodrat Allah Swt menjadi jelas tiada kekuatan yang lebih unggul melebihi kekuatan Allah Swt. Karena itu, apabila segala sesuatu selain Allah Swt disifatkan sebagai kuat, lantaran dibandingkan dengan sesuatu yang lebih lemah. Namun sesuatu yang kuat ini dibandingkan dengna sesuatu yang lebih kuat akan tergolong sebagai sesuatu yang lemah.  Karena itu segala sesuatu yang kuat ketika dibandingkan dengan sesuatu di atasnya maka ia akan lemah hingga silsilah ini berujung pada kodrat dan kekuatan Allah Swt. Allah Swt adalah Mahakuat dibandingkan dengan segala sesuatu dan tiada kelemahan yang terdapat pada diri-Nya.[17]
 

[1]. “Segala kekuatan adalah milik Allah.” (Qs. al-Baqarah [2]:165); Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.” (Qs. Al-Dzariyat [51]:85); “Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Hud [11]:66); “Dia memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Syura [42]:19) dan lain sebagainya.  
[2]. Silahkan lihat, Muhammad bin Hasan Syaikh Thusi, Mishbâh al-Mutahajjid wa Silâh al-Muta’abbid, jil. 2, hal. 802, Tehran, al-Maktabah al-Islamiyah, Tanpa Tahun; Ali bin Musa IbnuThawus, Iqbal al-A’mal, jil. 1, hal. 412, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Kedua, 1367 S.  
[3]. Silahkan lihat, Ahmad bin Faris Ibnu Faris, Mu’jam al-Maqâyis al-Lughah, jil. 5, hal. 36, Maktabah al-I’lam al-Islamiyah, Cetakan Pertama, 1404 H; Fuad Afram Bastani, Farhang Abjadi ‘Arabi-Persia, Penj. Ridha Mihyar, hal. 711, Tehran, Intisyarat Islami, Cetakan Kedua, 1375 S.  
[4]. Nisywan bin Said Himyari, Syams al-‘Ulum wa Dawa Kalam al-‘Arab min al-Kulum, jil. 8, hal. 5677, Dimasyq, Dar al-Fikr, Cetakan Pertama, 1420 H.
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabatabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 18, hal. 389, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Kelima, 1417 H.  
[6]. Husain bin Muhammad Raghib Isfahani, Mufradât Alfâz al-Qur’ân, hal. 694, Beirut, Dar al-Qalam, Cetakan Pertama, 1412 H.   
[7]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal.. 193-194, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Cetakan Kedua, 1403 H.
[8]. Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijâj ‘ala Ahli al-Lujâj, jil. 1, hal. 58, Masyhad, Nasyr Murtadha, Cetakan Pertama, 1403 H.  
[9]. Iqbâl al-A’mâl jil. 1, hal. 436.  
[10]. Mishbâh al-Mutahajjid wa Silâh al-Muta’abbid, jil. 2, hal. 844.  
[11]. Muhammad bin Ali Syaikh Shaduq, al-Tauhid, hal. 238, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Pertama, 1398 H.  
[12]. Ali bin Musa Ibnu Thawus, Mihaj al-Da’wah wa Minhâj al-Ibâdah, hal. 26, Qum, Dar al-Dzakha’ir, Cetakan Pertama, 1411 H.  
[13]. Silahkan lihat, Mishbâh al-Mutahajjid wa Silâh al-Muta’abbid, jil. 2, hal. 802; Iqbal al-A’mal, jil. 1, hal. 412.  
[14]. Bihâr al-Anwâr, jil 91, hal. 138.   
[15]. Iqbâl al-A’mâl, jil. 1, hal. 436.  
[16]. Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 194.
[17]. Ibnu Maitsam Bahrani, Syarh Nahj al-Balâghah, Penj. Qurban Ali Muhammadi Muqaddam, Ali Asghar Nawai Yahyazadeh, jil. 2, hal 367, Masyhad, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Cetakan Pertama, 1417 H.

Hizbut Tahrir & Aqidah-aqidah Nabi yang Diragukannya


Oleh: pengelolakomaht

HIZB DAN AQIDAH NABI YANG DIRAGUKANNYA

Bismillah,
Sesungguhnya sebagian aqidah ummat Islam diambil dari hadits ahad yang shohih, aqidah tersebut antara lain:
- Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur.
- Keyakinan bahwa para pelaku dosa besar yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka.
- Keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman.
- Keyakinan akan fitnah Dajjal di akhir zaman.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi yang terbesar di padang Mahsyar.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi untuk para pelaku dosa besar dari ummatnya.
- Keyakinan terhadap 10 orang shahabat yang dijamin masuk surga.
- Keyakinan akan masuknya tujuh puluh ribu dari Ummat Islam ke Surga tanpa Hisab.
- Dan lain-lain.

Selain itu pada mushaf al Qur’an (mushaf utsmani) sebetulnya ada juga ayat yang AHAD periwayatannya yaitu QS at Taubah ayat terakhir. Sebagaimana Imam Bukhari menulis dalam shahihnya sebuah riwayat yang panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar mengumpulkan al qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN ITU DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”. (lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya).

Sebagian besar aqidah yang disebutkan diatas (seperti Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur dan seterusnya), terdapat dalam hadits ahad yang shohih dan semua aqidah yang terdapat dalam hadits ahad yang shohih adalah mutawatir ma’nawiy. Memang aqidah diatas tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun kesemuanya masuk kedalam butir rukun iman terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa salam, karena semua keyakinan diatas adalah diajarkan dan diyakini oleh Rasulullah.

Misalnya keyakinan kita adanya alam barzakh, ini juga tidak tersurat pada rukun iman yang enam, begitu pula keyakinan adanya surga dan neraka juga tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun termasuk dalam butir rukun iman terhadap hari akhir.
Maka barangsiapa menolak mengimani aqidah- aqidah diatas jelas telah merusak pondasi keimanan yang terdapat dalam rukun iman.
Selama ini banyak sekali kalangan yang menolak mengimani aqidah- aqidah diatas dengan berbagai alasan yang canggih.

Berawal dari sosok Ibrahim bin Ismail bin Ulayyah (193 H) manusia di zaman tabi’in yang pertama kali mengajarkan pada pengikutnya untuk menolak seluruh hadits ahad sebagai sumber hukum Islam, sehingga ia menuai kecaman keras dari Imam Asy Syafi’ie, bahkan Imam Asy Syafi’ie sampai berkata tentang Ibrahim bin Ulayyah : “Diaorang yang sesat. Duduk dipintu As-Suwal untuk menyesatkan manusia”. (Lihat Lisaanul Mizan Ibnu Hajar I/34 (64) dan Lihat juga Mausu’ah Ahlis Sunnah I/513).

Saat ini beberapa kelompok cendekiawan muslim juga menyatakan penolakannya terhadap hadits ahad meskipun sedikit berbeda dengan Ibnu Ulayyah yang menolaktotal kandungan hadits ahad, mereka para cendekiawan muslim saat ini hanya menolak sebatas pada kandungan aqidahnya saja.
Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang memiliki cita- cita mulia menegakkan syari’at Islam amat disayangkan ternyata menyimpan dan menyebarluaskan penyimpangan aqidah yaitu meragukan keyakinan yang terdapat dalam hadits ahad meskipun hadits tersebut shohih.

Bahkan pendiri Hizbut Tahrir (Taqiyyuddin An Nabhani) mengharamkan mengambil aqidah kecuali pada riwayat yang mutawatir saja. Hal ini karena Taqiyyuddin menganggap hadits ahad meskipun shohih, hanya membuahkan Dhon dan SEMUA Dhon tidak bisa diimani (HARAM DIIMANI).

Taqiyyuddin mengharamkan meyakini aqidah selain dari riwayat yang mutawatir saja meskipun riwayat tersebut shohih. Taqiyyuddin juga berpendapat bahwa SEMUA Dhon tidak bisa dijadikan aqidah.
Taqiyyuddin berkata : “….Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…”
(Lihat Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘IzzahIndonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas, dan lihat juga As-Syakhshiyah al-Islamiyah, Taqiyyudin An-Nabhani, Beirut : Al-Quds, 1953, cet. ke-2, Jilid 1 h.129).

Berikut ini sedikit ulasan tentang sejauh mana penyimpangan aqidah tersebut melekat pada Hizbut Tahrir. Semoga yang sedikit ini bisa memberi pencerahan baik bagi para syabab Hizbut Tahrir maupun untuk kaum muslimin yang saya cintai dimanapun berada :

PERTAMA :
Hibut Tahrir mengharamkan mengimani hadits ahad meskipun shohih dan mengharamkan semua jenis dhon aqidah padahal ayat ayat al Qur’an yang dijadikan dalil oleh Hizbut Tahrir, yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28,
Ayat-ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah haramnya semua DHON karena yang diharamkan dalam ayat ayat ini hanyalah DHON lemah kaum kafir, seperti :
Persangkaan bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), persangkaan bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), persangkaan bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), persangkaan bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).

Adapun kaidah Ushul “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” menyebabkan ayat- ayat diatas yang asbabun nuzulnya diperuntukkan hanya untuk kaum kafir saja menjadi diperuntukkan juga bagi kaum muslimin yang mengikuti DHON lemah kaum kafir diatas.
Jadi kaidah tersebut tidak lantas mengubah makna ayat menjadi semua jenis DHON adalah haram diimani, sebagaimana kesimpulan penafsiran Hizbut Tahrir selama ini.

Dalam hal ini Hizbut Tahrir telah menafsirkan ayat secara aneh dengan memelintirkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” secara keliru sehingga sangat berbahaya bagi ummat Islam yang awwam dalam memahami kaidah ini.

Untuk jelasnya dalam memahami kaidah mulia ini mari kita lihat QS al Baqarah : 170,
Allah berfirman yang artinya :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir) : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS al Baqarah : 170).

Ayat ini berdasarkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” berarti peruntukan ayat ini tidak hanya ditujukan pada orang kafir sebagaimana asbabun nuzulnya, akan tetapi juga ditujukan pada kaum muslimin yang mengikuti perbuatan maksiat nenek moyangnya.

Namun tidak lantas ditafsirkan bahwa semua perbuatan nenek moyang adalah haram diikuti, karena yang dimaksud perbuatan nenek moyang dalam ayat ini adalah yang maksiat saja khususnya kesyirikannya. Adapun perbuatan nenek moyang yang sholih (misalnya perbuatan Ibrahim yang berkorban hewan ternak, menunaikan haji, serta mengkhitan anaknya), maka justru wajib diikuti.

Demikian pula tafsir ayat al Qur’an yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28, yang oleh Hizbut Tahrir disimpulkan kandungan ayat-ayat ini adalah “semua jenis DHON haram diimani”, ini adalah kesalahan fatal mengingat maksud DHON dalam ayat-ayat ini adalah terbatas pada DHON lemah kaum kufur saja, seperti misalnya; DHON bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), DHON bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), DHON bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), DHON bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).

DHON lemah seperti inilah yang dilarang untuk diimani, dan bukan berarti semua jenis DHON adalah dilarang untuk diimani.
Bahkan al Qur’an secara jelas menyatakan bahwa DHON kuat yang berasal dari aqidah tauhid ummat Islam WAJIB diimani, berdasarkan ayat ayat al Qur’an berikut :
QS al Baqarah 45-46, QS. at Taubah : 118, QS. al Haaqqah : 21-20 , dan QS. al Baqarah : 249.

Untuk jelasnya simak arti ayat-ayat al Qur’an berikut :
“ Sesungguhnya aku memiliki DHON, bahwa Sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai”. (QS. al Haaqqah : 20-21)
“……. orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al Baqarah : 249).

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, dan mereka memiliki DHON bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. at Taubah : 118).

“……orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan bertemu dengan Rabb mereka …..”. (QS al Baqarah 45-46).

Semua ayat diatas menunjukkan bahwa orang orang yang beriman memiliki DHON kuat yang rajih yang sesuai dengan ajaran Islam.

Adalah hal yang mengada-ada jika kemudian para syabab Hizbut Tahrir mengatakan bahwa ayat- ayat diatas tidak bisa dijadikan landasan hukum, padahal semua kalimat diatas dari sisi Allah datangnya. Dan secara jelas Allah mencantumkan kalimat “DHON” pada ayat-ayat tersebut. Bahkan para ulama ahli tafsir memaknai kalimat “DHON” dalam ayat- ayat diatas sebagai dhon yang kuat atau bahkan keyakinan.
Bahkan didalam Kamus Arab Indonesia karya Prof. H Mahmud Yunus pada halaman 249 disebutkan :
DHONNUN – DHUNUUNUN (j) berarti : Sangkaan, Dugaan, YAKIN, Syak.
Kamus ini dicetak dan diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al Qur’an yang diketuai oleh Prof. H Bustami Abd. Gani pada tahun 1973 di Jakarta.

Jadi DHON dapat bermakna yakin dan tidak selalu bermakna syak.
Penyimpangan tafsir yang terjadi pada Hizbut Tahrir seperti diatas kemungkinan muncul karena adanya pendapat Taqiyyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir), yang tentu saja akan didukung pengikutnya mengingat pendapat tersebut tercantum dalam kitab mutabanat Hizbut Tahrir, yaitu kitab-kitab yang isinya merupakan harga mati bagi pengikut Hizbut Tahrir.

Berkata Taqiyyuddin (pendiri Hizbut Tahrir) :
“Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti kebenaran dasarnya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini (menjadikan sebagai aqidah) segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (Qath’i), yaitu apa-apa yang telah ditetapkan oleh al Qur’an dan hadits mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…..”.
(SUMBER : Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas).

Taqiyudin juga Berkata :
“… Khabar ahad tidak memiliki kedudukan pada masalah aqidah, (maka) sesungguhnya khabar ahad dengan syarat-syarat yang terkandung di dalamnya menurut ilmu ushul al-Fiqh tidak bermanfaat kecuali dhon (praduga), dan dhon tidak diperhitungkan dalam bab aqidah (keyakinan).
(Taqiyyudin An-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, (Beirut : Al-Quds, 1953), cet. ke-2, Jilid 1 h.129.)

KEDUA :
Hadits Nabi yang Mutawatir hanya berjumlah 324 buah saja (lihat http://hadith.al-islam.com), dan dari 324 buah hadits yang mutawatir tersebut hanya sekitar 200-an hadits saja yang memuat materi aqidah.
Sementara hadits yang shohih dalam bukhari dan muslim mencapai sedikitnya 13.000 buah (Bukhari+Muslim: Menurut penomoran al-Alamiyah, terdapat 5352 hadits dalam Shahih Muslim. Sedangkan menurut Abdul Baqi, ada 3033 hadits. Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’al-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.)
, dan dari 13.000 buah hadits shohih tadi didalam Shahih Muslim terdapat sedikitnya 650 hadits tentang aqidah begitu pula didalam shahih bukhari lebih dari itu sehingga terdapat lebih dari 1.500 hadits tentang aqidah yang terjamin keshohihannya.

TERNYATA DARI 1.500-an HADITS AQIDAH YANG SHOHIH, HANYA 200-an SAJA YANG MUTAWATIR.
JADI 86,66 % HADITS NABI YANG MEMUAT AQIDAH (dalam Bukhori dan Muslim) ADALAH HADITS AHAD.
Jika mengimani hadits ahad itu haram hukumnya sebagaimana fatwa pendiri Hizbut Tahrir Taqiyyuddin an Nabhani, maka tentunya Nabi pun tidak akan meriwayatkan hadits aqidah secara ahad.
Namun kenyataannya 80 % hadits Nabi yang memuat aqidah justru diriwayatkan Nabi secara ahad ketika sedang berdua atau sedang bersama sedikit shahabat tanpa mengumpulkan shahabat.
Didalam Islam terdapat sebuah kaidah, jika sesuatu itu hukumnya haram maka jalan menuju sesuatu itu juga haram hukumnya.

Misalnya berzina itu haram maka ikhtilat (campur baur) dan khalwat (menyendiri) dengan lawan jenis yang bukan mahram secara umum haram hukumnya karena merupakan jalan menuju zina.
Begitu pula meminum khamr (mabuk) itu haram maka membuat khamr dan menjual khamr haram juga hukumnya.

Contoh lain berjudi itu haram maka membuat dan membeli peralatan judi (kasino) juga haram hukumnya.
Jika mengimani aqidah dari hadits ahad itu haram maka meriwayatkan hadits aqidah secara ahad pun seharusnya haram hukumnya. Namun kenyataannya sebagian besar hadits Nabi adalah diriwayatkan secara ahad. Maka apakah mungkin Nabi melakukan perbuatan yang haram ???
Sungguh aneh jika para syabab meyakini bahwa Nabi tidak mungkin meriwayatkan hadits aqidah pada beberapa gelintir orang saja, darimana keyakinan ini diperoleh ?.
Faktanya Nabi bahkan pernah mengajarkan aqidah kepada Muadz bin Jabal ketika berboncengan berdua saja diatas kendaraan.

Dari shahabat Muadz bin Jabal radliallahuanhu beliau menuturkan :
“Aku pernah dibonceng Nabi diatas seekor keledai. Lalu beliau bersabda kepadaku: “ Hai Muadz, tahukah kamu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” . Beliau pun bersabda: “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya ialah supaya mereka beribadah kepada Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada Nya; sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah: bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada Nya”. Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?”. Beliau menjawab: “Janganlah kamu menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri”.
(Lihat Shahih Muslim Kitabul Iman Bab Man LaqiyAllahu ta’ala bil Iman Ghaira Syakki fihi Dakholal Jannah dan Shahih Bukhari No.2856).

Jika alasannya karena Nabi tidak akan menyembunyikan ilmu pada beberapa orang saja maka bukankah Nabi telah bersabda “Sampaikan dariku walaupun satu ayat”, dengan adanya perintah ini maka Nabi tidak bersalah jika hanya meriwayatkan hadits aqidah kepada beberapa gelintir shahabat saja mengingat mereka punya kewajiban menyebarluaskannya.
Maka sunnah perbuatan Nabi mengatakan bahwa mengimani hadits ahad yang shohih adalah wajib hukumnya.

KETIGA :
Para shahabat dalam riwayat yang shohih juga me-WAJIB-kan mengimani hadits ahad meskipun tentang aqidah,
Simak riwayat berikut :
Abdullah bin Umar bertanya pada ayahnya, yaitu Umar bin Khathab tentang hadits bertemakan ‘aqidah ru’yatullah yang disampaikan Sa’ad bin Abi Waqqash kepadanya, maka Umar berkata padanya : “Jika Sa’ad meriwayatkan sesuatu kepadamu dari Nabi, maka jangan engkau bertanya lagi kepada selainnya tentang sesuatu itu”(maksudnya ambilah riwayat itu). (Atsar shahih riwayat Bukhari, No.202)
Adapun riwayat-riwayat lain tentang Umar menolak penyampaian hadits dari shahabat adalah lemah dan bertentangan dengan ayat al Qur’an al Hujurat ayat 6 : “In jaa akum faasiqun binaba’in fatabayyanu”. Yang mafhum mukholafah nya jika yang menyampaikannya bukan orang fasik (termasuk shahabat tentunya bukan orang fasik) maka tidak wajib ada tabayyun.
Dalam periwayatan hadits aqidah Umar tidak pernah mempersyaratkan saksi penguat dari shahabat lain atau dengan kata lain beliau tidak pernah mempersyaratkan adanya saksi perawi lain, kecuali dalam perkara Qadha’ wa syahadah.

KEEMPAT :
Hizbut Tahrir berdalih dengan kemutawatiran ayat ayat dalam mushaf Utsmani dan fakta bahwa para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke dalam pembukuan al Qur’an (mushaf utsmani).
Maka ini adalah pembodohan terhadap ummat Islam tanpa menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Padahal para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke dalam al Qur’an bukan karena dalil aqidah itu wajib mutawatir akan tetapi semata-mata karena hal itu sunnah Nabi. Yaitu berdasar perilaku Nabi bahwa :
1. Nabi tidak pernah meriwayatkan wahyu (ayat al Qur’an) tanpa mengumpulkan shahabat.
2. Nabi selalu menyuruh juru tulis al Qur’an dan para shahabat untuk menulis wahyu yang turun tersebut.
3. Nabi selalu mengulang-ulang ayat-ayat al Qur’an didepan majelis shahabat dan ketika beliau menjadi imam Sholat.
Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan periwayatan hadits, baik masalah aqidah maupun hukum Islam lainnya, karena ketika meriwayatkan sebuah hadits :
1. Nabi tidak selalu mengumpulkan shahabat bahkan terkadang hanya berdua saja dengan seorang shahabat.
2. Nabi melarang menulis hadits akan tetapi mewajibkan menyebarluaskannya.
3. Nabi tidak mengulang hadits secara persis lafadz haditsnya akan tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Sehingga jelas bahwa kemutawatiran al Qur’an tidak bisa dijadikan dalil mengharamkan meyakini hadits ahad yang shohih.
Karena al Qur’an pada asalnya memang mutawatir dan tidak mungkin ahad sedangkan hadits pada asalnya lazim secara ahad.

Selain itu ditemukan fakta bahwa sebenarnya justru pada mushaf utsmani ada ayat yang ahad periwayatannya yaitu at Taubah ayat terakhir.

Imam Bukhari menulis dalam shahihnya sebuah riwayat yang panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar mengumpulkan al qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN ITU DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”.
(lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya).

Maka kesimpulannya ternyata memang ada ayat yang tidak mutawatir dalam mushaf al Qur’an, misalnya dalam kasus ini adalah ayat dari abu khuzaimah al anshari yaitu ayat akhir surat at Taubah.
Jadi meskipun al Qur’an sendiri asalnya memang wajib mutawatir namun mushaf al Qur’an sendiri tidak semua ayatnya mutawatir karena dibukukan saat kondisi para shahabat penghafal banyak yang wafat dalam perang.

Demikian sedikit yang dapat saya sampaikan, kebenaran tidak selalu ada pada diri saya, namun dalil yang saya utarakan kiranya cukup kuat untuk membuktikan kekeliruan aqidah Taqiyyuddin dan jumhur syabab Hizbut Tahrir.
Hidayah kembali kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga Allah memudahkan kita menggapainya.
Dhuha, 15 Muharram 1429 H

Penulis:
(pengelolakomaht@yahoo.co.id)

Siapa Hizbut Tahrir ?

Kelompok  ini didirikan di kota Al-Quds (Yerusalem) pada tahun 1372 H (1953 M) oleh seorang alumnus Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir) yang berakidah Maturidiyyah  dalam masalah asma` dan sifat Allah, dan berpandangan Mu’tazilah dalam sekian permasalahan agama. Dia adalah Taqiyuddin An-Nabhani, warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di Yordania, Syiria dan Lebanon (Lihat Mengenal HT, hal. 22, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 135, dan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 2, Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyqi). Bila demikian akidah dan pandangan keagamaan pendirinya, lalu bagaimana keadaan HT itu sendiri?! Wallahul musta’an.


Dewasa ini banyak orang yang kagum dengan kesungguhan dan tekat yang kuat dari teman-teman di Hizbut Tahrir. Tapi maaf, adakah selama ini kita mengetahui bahwa Hizbut Tahrir telah menyimpang dari koridor Islam? Baik al-Quran maupun as-Sunnah. Ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan dalam ajaran Hizbut Tahrir, dimana bahkan kader Hizbut Tahrir sendiri tidak mengetahuinya. Beberapa hal diantaranya akan kita kupas.

Dalam rangka meyakinkan masyarakat awam, dan tegaknya negara Islam di negeri ini, tak jarang mereka berdalil dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Sekalipun mereka sering berdalih demi agama (Islam) dan mengatasnamakan diri pembela agama Tuhan, namun pemahaman mereka hanya sebatas asumsi pribadi dan interpretasi atas teks agama yang tak berpijak pada referensi yang dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga, dalil yang mereka lontarkan kerap kali melenceng dari mainstream pendapat ulama klasik. Bagi orang yang tidak mengenal secara mendalam tentang kelompok Hizbut Tahrir, tentu akan menganggap tujuan mereka yang ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah sebagai cita-cita mulia. Namun bila mengkaji lebih jauh siapa mereka, siapa pendirinya, bagaimana asas perjuangannya dan sebagainya, kita akan tahu bahwa klaim mereka ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah ternyata tidak dilakukan dengan cara-cara yang Islami.

Masalah pertama yakni masalah aqidah, dimana kita tahu bahwa aqidah merupakan kunci utama atau pondasinya umat Islam, apabila aqidah rusak maka rusaklah ibadah hal ini sudah menjadi ijma’ para ulama. Ada beberapa masalah mengenai aqidah Hizbut Tahrir yang sudah tidak dapat diterima lagi dan menyalahi al-Quran dan as-Sunnah. Beberapa diantaranya mengenai pengingkaran hizbut tahrir terhadap adanya Qadha dan qadar Allah, begitu pula dengan pengingkaran hizbut Tahrir terhadap adanya hidayah yang diberikan Allah kepada makhluqnya, akan tetapi hizbut tahrir meyakini bahwa hidayah merupakan hasil usaha manusia, bukan merupakan pemberian Allah. Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, menegaskan dalam kitabnya:

فَتَعْلِيْقُ الْمَثُوْبَةِ أَوِ الْعُقُوْبَةِ بِالْهُدَى وَالضَّلاَلِ يَدُلُّ عَلىَ أَنَّ الْهِدَايَةَ وَالضَّلاَلَ هُمَا مِنْ فِعْلِ اْلإِنْسَانِ وَلَيْسَا مِنَ اللهِ.

Mengkaitkan pahala dan siksa dengan petunjuk dan kesesatan menjadi dalil bahwa hidayah (petunjuk) dan kesesatan itu sebenarnya termasuk perbuatan manusia dan bukan datang dari Allah” (Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah, juz 1, (Qudus: Mansyurat Hizb al-Tahrir, 1953), hlm. 71-72.)

Dari pernyataan an-nabhani di atas maka timbullah beberapa kesimpulan, yakni :

1).   Bahwa perbuatan manusia sama sekali tidak ada kaitannya dengan perbuatan Allah, karena manusia berbuat sesuai dengan kehendaknya.
2).  Bahwa petunjuk (hidayah) allah dan kesesatan (dhalal) juga merupakan hasil usaha manusia dan tidak ada kaitannya demgan Allah, melihat bahwa manusia berbuat sesuai dengan kehendaknya
Hal ini jelas menyalahi al-quran, hadits dan pendapat jumhur ‘ulama, mengapa?
Pertama, apabila kita merujuk kepada al-quran, sunnah dan pendapat jumhur ulama maka kita akan menemukan bahwa perbuatan manusia jelas ada kaitannya dengan qada, qadar dan kehendak Allah, sebagaimana Allah berfirman :

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ. (الصافات : 96).

“Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. al-Shaffat : 96).

Begitu juga dengan sabda Nabi :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r قَالَ:كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ.

Ibn Umar berkata, bahwa Rasulullah r bersabda: Segala sesuatu itu terjadi dengan ketentuan Allah, sampai kebodohan dan kecerdasan(HR. Muslim, (hadits no. 4799) dan Ahmad, hadits no. 5627)

Kedua, begitu juga dengan keyakinan hizbut tahrir yang menyatakan bahwa hidayah dan kesesatan merupakan hasil usaha dari manusia, tidak datang dari allah, maka pernyataan ini juga jelas menyalahi firman-firman Allah, diantaranya :

فَمَنْ يَهْدِيْ مَنْ أَضَلَّ اللهُ. (الروم : 29).

Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? (QS. al-Rum : 29).

Allah I juga berfirman tentang perkataan Nabi Musa a.s:

إِنْ هِيَ إِلاَّ فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَآءُ وَتَهْدِيْ مَنْ تَشَآءُ. (الأعراف : 155).

Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. (QS. al-A’raf : 155).

Dari nash-nash di atas maka jelaslah bagi kita bahwa keyakinan atau aqidah hizbut tahrir telah menyatahi apa yang telah menjadi ketetapan, baik dari al-Quran maupun hadits.

Ketidakyakinan mereka terhadap Qada dan Qadar Allah disebabkan karena sifat berlebih-lebihan mereka dalam memperjuangkan khilafah, dimana dalam banyak hadits dinyatakan bahwa khilafah kiranya sudah mustahil adanyanya berdasarkan ketetapan Allah, Dalam hal ini Rasulullah r bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسْتُمْ فِتْنَةً فَتُتَّخَذُ سُنَّةً يَرْبُوْ فِيْهَا الصَّغِيْرُ وَيَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ وَإِذْ تُرِكَ مِنْهَا شَيْءٌ قِيْلَ تُرِكَتْ سُنَّةً. قَالُوْا مَتَى ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا كَثُرَ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّتْ عُلَمَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ اْلآَخِرَةِ وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ اللهِ.

“Dari Abdullah bin Mas’ud t, berkata, Rasulullah r bersabda: “Bagaimana kondisi kalian, ketika fitnah (jalan yang keliru) menyelimuti kalian dan dijadikan sebagai jalan yang baik. Pada waktu itu, anak kecil cepat menjadi dewasa, dan orang dewasa cepat menjadi tua. Apabila fitnah itu ditinggalkan, maka akan dikatakan telah meninggalkan jalan yang baik.” Mereka bertanya: “Kapan hal itu terjadi wahai Rasulullah?” Rasulullah r menjawab: “Apabila banyak orang yang pandai pidato, tetapi sedikit orang yang mengerti agama. Banyak pemimpin negara, tetapi sedikit yang dapat dipercaya. Amal akhirat dilakukan untuk mencari dunia, dan ilmu agama dipelajari bukan karena Allah.”

Hadits di atas mengisyaratkan tentang akan lenyapnya kepemimpinan sentral kaum Muslimin, yang disimbolkan dengan sistem khilafah. Al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani berkata, hadits tersebut merupakan tanda-tanda akan terjadinya kiamat, di mana umat Islam dipimpin oleh sekian banyak kepala negara. Di jazirah Arab saja, terdapat lebih dari dua puluh amir, sebagai akibat dari kolonialisme Barat (Al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani, Muthabaqat al-Ikhtira’at al-‘Ashriyyah lima Akhbara bihi Sayyid al-Bariyyah, Kairo, Maktabah al-Qahirah, hal. 43. Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Darimi, Abu Nu’aim, al-Hakim dan lain-lain).

nah karena berdasarkan ketetapan Allah mustahil adanya khilafah maka dari sinilah kemudian hizbut tahrir tidak meyakini adanya Qadha dan Qadar allah, guna melegalitaskan perjuangannya yang berdampak sangat negatif terhadap keimanannya

Kemudian mengenai adanya siksa kubur, dalam hal ini Hizbut tahrir tidak mengakui adanya siksa kubur. Pernyataan tersebut dapat kita lihat dalam buku ad-Dausyiah (kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir mengenai hadis siksa kubur) menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang terdapat dalam hadis tersebut ialah haram, karena hadis tersebut merupakan hadis Ahad, akan tetapi boleh membenarkannya (dapat ditemukan dalam kitab Qira’at fi Fikr Hizb al-Tahrir al-Islami, hlm. 93). Masih banyak masalah-masalah Aqidah lainnya yang tersalah dalam Aqidah Hizbut Tahrir. Namun, dua masalah itu saja sudah cukup kiranya untuk membuka mata, terutama mata hati.

pelecehan terhadap Ahl Sunnah wal Jama’ah, Taqiyuddin An-Nabhany dalam Syakhsiyah al-Islamiyah juz 1 hal. 70 menyatakan bahwa “pada dasarnya Ahl Sunnah wal Jama’ah dan jabariah ialah sama, jadi Ahl Sunnah wal Jama’ah ialah Jabariah, mereka telah gagal segagal-gagalnya dalam masalah kasb”. Kata gagal segagal-gagalnya merupakan penghinaan terhadap Ahl Sunnah wal Jama’ah dan penyamaan Ahl Sunnah wal Jama’ah dengan jabariah merupakan sebuah celaan yang besar terhadap Ahl Sunnah wal Jama’ah.

Selanjutnya, berangkat dari masalah aqidah kita beranjak ke masalah syariat. Hari ini umat islam tertipu dengan cover Hizbut Tahrir selama ini, melihat cover Hizbut Tahrir yang hari ini dipuji-puji dan disanjung-sanjung ternyata banyak fatwa Hizbut Tahrir mengenai syariah yang menyalahi hukum syar’i itu sendiri. Beberapa hal yang difatwakan Hizbut Tahrir ialah mengenai halalnya seseorang bersalaman dengan orang lain yang bukan muhrimnya tanpa ada lapis. Pendapat tersebut dapat kita lihat dalam kitab yang dikarang pendiri Hizbut Tahrir yakni kitab Nizamu Ijtima’ fil Islam hlm. 57 dalam kitabnya Taqiyuddin menyatakan “lelaki boleh berjabat tangan dengan wanita begitu juga sebaliknya tanpa adanya lapis antara keduanya”. Yang lebih nyeleneh lagi dalam kitab Milaff an-Nasyarat al-Fiqhiyyah hlm. 143 juga dapat dilihat dalam kitab Qira’at fi Fikr Hizb al-Tahrir al-Islami, hlm. 114, Hizbut Tahrir menyatakan bolehnya lelaki melihat wanita yang merupakan muhrimnya dalam keadaan telanjang begitu juga sebaliknya kecuali kemaluan besarnya kecuali yakni jalan depan dan jalan belakangnya, dan boleh melihat mahramnya dalam keadaan telanjang bulat (masya Allah, na’udzubillah min dzalik).

Aneh kiranya, hizbut tahrir yang pada dasarnya membolehkan melihat hal-hal yang diharamkan pada lawan jenis, dimana hal tersebut bahkan termaktub dalam kitab-kitab mereka sendiri belakangan mengatakan hal itu haram (hal itu dapat dilihat dalam tabloid mereka yang berjudul Media Ummat memperjuangkan kehidupan Islam, Edisi 39, 19 Rajab-3 Sya’ban 1431 H/ 2-15 Juli 2010) dalam tabloid tersebut mereka mati-matian mengatakan bahwa pornografi itu haram sementara dalam kitab-kitab rujukan mereka hal itu merupakan kehalalan. Maka, jangan anda mengaku Hizb Tahrir jika anda tidak membenarkan perkataan orang yang mendirikan Hizb Tahrir.

Kemudian, ada satu pendapat yang lebih aneh dari pendapat-pendapat di atas. Yakni, hizbut tahrir beranggapan bahwa orang yang mati sebelum membai’at seorang khalifah ialah mati jahiliyyah, na’udzubillah min dzalik. Pendapat tersebut dapat kita lihat di dalam kitab mereka sendiri yakni asy-syakhshiyyah al-islamiyyah, juz. II, bagian III, h. 13 dan 29 sebagaimana taqiyuddin an-nabhani (pendiri Hizb Tahrir) berkata “sesungguhnya orang yang mati sebelum membai’at seorang khalifah ialah mati jahiliyyah”. Redaksi yang sama juga dapat ditemukan dalam kitab mereka yang berjudul al-khilafah, h. 4. Dalam kitab yang sama yakni  asy-syakhshiyyah al-islamiyyah, juz III, h. 15 dinyatakan bahwa “dan tempo yang diberikan kepada kaum muslimin untuk menegakkan khalifah ialah tiga malam, maka tidak halal bagi seseorang tidurdalam dua malam tersebut tanpa melakukan bai’at”
Pendapat tersebut mereka ambil berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim “barang siapa yang mencabut baiatnya untuk mentaati khalifah yang ada di hari kiamat ia tidak memiliki alasan yang diterima, dan barang siapa yang meninggal dalam keadaan demikian maka matinya ialah mati jahiliyyah”. Nah, kalau kita mencoba untuk memahami redaksi hadits tersebut makna hadits tersebut ialah apabila seseorang membangkang terhadap khalifah yang sudah ada dan sah, kemudian ia tetap saja membangkang sampai ia mati maka matinya itu disebut mati jahiliyyah. Maka, jelas bahwa makna yang difahami bukan seperti yang dimaksudkan oleh Hizb Tahrir. Hal tersebut diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Muslim yang sanadnya lebih kuat “hiduplah kalian didalam jama’ah umat Islam dan imam (khalifah) mereka.” Huzaifah berkata : bagaimana jika mereka tidak memilikki jama’ah umat islam dan imam (khilafah)?, Rasulullah bersabda : “maka tinggalkanlah semua kelompok yang ada” (Rasulullah tidak mengatakan : “jika demikian halnya, maka kalian mati jahiliyyah.” Dalam redaksi hadits yang lain dikatakan oleh baginda Rasulullah : “Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah bersabda (artinya): “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman z, 3/1476, no. 1847). Hal yang paling penting ialah, pada awal berdirinya Hizb Tahrir bertekat akan menegakkan khilafah dalam waktu 13 tahun, kemudian mereka memperpanjangnya menjadi 30 tahun. Namun, nyatanya sampai sekarang mereka tetap saja dalam keadaan kosong dan tidak ada satu orang pun yang mereka usung sebagai khalifah. Maka bisa saja apa yang menjadi pandapat mereka akan menjadi peluru yang akan membunuh mereka sendiri.

Ketika penulis bertanya kepada pembaca sekalian, apakah pernyataan-pernyataan ini sudah cukup untuk membongkar kedok Hizbut Tahrir dalam fatwa-fatwa sesatnya? Kiranya cukup, walau masih banyak kesesatan lainnya. Hari ini banyak organissasi yang mengatas namakan dirinya Islam ternyata diam-diam merusak Islam itu sendiri, apakah ini yang dinamakan dengan Ghazzul Fikri (perang pemikiran) Wa Allahu A’lam.

Akhirnya Rasulullah Saw bersabda yang diriwayatkan oleh imam al-Hakim, Rasulullah bersabda : “Jika kau melihat ummatku takut mengatakan yang dzalim wahai dzalim, maka mereka tidak akan mendapatkan pertolongan”. Intinya jangan pernah terbesit ketakutan untk mengatakan sebuah kebenaran dan salah sekali apabila ada yang mengatakan apabila kita mengatakan yang buruk dalam agama kepada orang lain jika itu benar maka itu hanya menjadi gibah semata dan jika itu salah maka menjadi fitnhah, ini adalah pendapat yang sangat keliru.

Pernyataan penulis : penulis siap membuka forum diskusi kapanpun dan dimanapun apabila terjadi kesalahan dalam tulisan dan siap merevisinya. Namun, penulis berharap pembaca membuka hati apabila pernyataan-pernyataan penulis merupakan kebenaran yang mutlaq.

Wallahul muaffiq ilaa aqwamit thariq. . .

oleh Muzani Al-Fadany
 

Terkait Berita: