Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Makna. Show all posts
Showing posts with label Makna. Show all posts

Makna shalat dan shalawat secara leksikal dan teknikal syar’i


Makna shalat dan shalawat secara leksikal dan teknikal syar’i? 
 
Pertanyaan:
Apa hikmah kata sholat dan sholawat bersamaan menggunakan huruf shod dan lam? Apa hubungan di antara keduanya? Demikian juga pada kata sholu pada kalimat "sholu ala muhammad" dan "sholu kama roaitu muni usholli" ?
 
Jawaban Global:
Kata salat (Arab: shalat) sepert puasa (shaum), zakat dan haji adalah sebuah lafaz yang mengalami perubahan dari makna leksikalnya menjadi makna baru dalam syariat.

Asli kata shalat secara leksikal derivatnya dari akar kata shalu yang bermakna doa dan istighfar.[1] Kata shalawat adalah bentuk jamak dari kata shalat.[2] Shalawat adalah kalimat doa dan salam khusus atas Rasulullah Saw yang disampaikan oleh kaum Muslim tatkala menyebutkan nama Nabi Muhammad Saw dengan cara yang beragam seperti,
 
 «اللهم صلّ علی محمد و آل محمد»
   
“Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.”

Shalawat Allah Swt kepada Rasulullah Saw bermakna rahmat, “

«إِنَّ اللّٰهَ وَ مَلٰائِکَتَهُ یُصَلُّونَ عَلَى النَّبِیِّ یٰا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَیْهِ وَ سَلِّمُوا تَسْلِیماً»

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Qs. Al-Ahzab [33]:56).

Shalawat dari sisi para malaikat bermakna doa dan istighfar. [3]  Mengingat bahwa dalam salat terdapat doa dan permohonan ampun karena itu disebut sebagai salat. Dalam makna khusus ini (ibadah khusus dan memiliki rukun serta aktivitas tersendiri) menjadi makna hakiki. Karena itu, menjadi jelas bahwa shalat juga bermakna doa dan juga bermakna ibadah khusus yaitu salat.

Jelas bahwa sebagian lafaz digunakan bukan pada makna leksikalnya dan dipakai secara majas oleh ahli syariat yang kemudian secara perlahan menemukan makna-makna baru. Misalnya penggunaan salat terkait dengan kegiatan-kegiatan tertentu setelah sebelumnya bermakna doa secara leksikal (lughawi).[4] 
 
Penggunaan kata zakat juga demikian yang bermakna sejumlah harta yang dikeluarkan setelah makna yang ditetapkan untuknya adalah berkembang dan tumbuh.[5] Di samping itu, penggunan kata haji yang bermakna pelaksanaan manasik tertentu setelah secara leksikal (lughawi) ditetapkan bermakna niat atau qashd.[6]

Setelah peralihan makna ini, terdapat perbedaan pendapat apakah yang melakukan peralihan dan perubahan ini dilakukan oleh Syari’ (Pembuat Syariat)? Apakah Pembuat Syariat yang menentukan lafaz ini sedemikian sehingga hal tersebut dapat menujukkan makna yang dimaksud tanpa adanya indikasi sehingga ia menjadi hakikat syar’iah atau disebabkan oleh penggunaan lafaz pada makna ini  mendominasi dan Pembuat Syariat menggunakan lafaz ini secara majas sehingga dalam hal ini hanya menjadi hakikat urfiyah bukan syar’iah.
Hasil dari perbedaan pendapat ini apabila dalam ucapan Pembuat Syariat digunakan tanpa adanya sebuah indikasi apa pun berdasarkan pendapat pertama maka hal itu dipredikasikan pada makna sekundernya, namun sesuai dengan pendapat kedua dipredikasikan dengan makna leksikalnya. Namun apabila dalam tuturan Pembuat Syariat tentu saja dipredikasikan dengan makna-makna syar’i.[7] 
 
Sebagai contoh, dalam hadis Imam Shadiq As bersabda, “Shalatlah di samping kuburan Nabi Muhammad Saw, meski salat (shalawat) orang-orang beriman dapat sampai kepadanya dimanapun mereka berada.”[8] 
 
Saya tidak tahu apakah maksud Imam Shadiq As itu adalah salat di samping kuburan Rasulullah Saw atau shalawat dan salam untuknya?
Dengan memperhatikan beberapa poin yang disampaikan di atas, mengingat penggunaan ini dilakukan setelah Pembuat Syariat, karena itu dipredikasikan dengan makna syar’i (salat) kecuali – seperti riwayat di atas – terdapat sebuah indikasi  yang menunjukkan bahwa maksud Imam Shadiq As adalah shalawat dan salam.[9]   

Adapun terkait dengan dua kaliamt “Shallu ‘ala Muhammad” dan “Shallu kama raitumuni ushalli” dalam dua hal terdapat indikasi; karena dengan memperhatikan kalimat pertama  terdapat preposisi ‘ala (atas) tentu saja bermakna shalawat dan salam. Demikian juga pada kalimat kedua mengingat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah shalat maka shalat di sini bermakna salat (yang memiliki rukun, bacaan dan kegiatan tertentu).
 

[1] . Khalil bin Ahmad Farahidi, Kitab al-‘Ain, jil. 7, hal. 153, Qum, Intisyarat Hijrat, Cetakan Kesepuluh, 1410 H. 
 
«صلو: الصَّلَاة ألفها واو لأن جماعتها الصَّلَوَات» 
 
; Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, jil. 14, hal. 464, Beirut, Dar Shadir, Cetakan Ketiga, 1414 H.
 
«الصلاةُ: الدُّعاءُ و الاستغفارُ»
 
[2]. Kitab al-‘Ain, jil. 7, hal.. 153; Shahib bin Ibad, al-Muhith fi al-Lughah, jil. 8, hal. 184, Beirut, Alam al-Kitab, Cetakan Pertama, 1414 H.  
[3]. Lisân al-‘Arab, jil. 14, hal. 465.  
[4]. Ibid.  
[5]. Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hal. 380, Beirut, Dar al-Qalam, Cetakan Pertama, 1412 H.
[6]. Muhammad bin Hasan Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, Beirut, Dar al-‘Ilm lil Malayin, Cetakan Pertama, 1988 M.  
[7]. Hasan bin Zainuddin, Ma’âlim al-Din, hal. 35, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Kelima, Tanpa Tahun.
[8]. Muhammad bin Yakub Kulaini, al-Kâfi, hal. 256, Qum, Dar al-Hadits, Cetakan Pertaa, 1429 H.

«صَلُّوا إِلىٰ جَانِبِ قَبْرِ النَّبِیِّ، وَ إِنْ کَانَتْ صَلَاةُ الْمُؤْمِنِینَ تَبْلُغُهُ أَیْنَمَا کَانُوا»
 
[9]. Muhammad Baqir Majlisi, Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Akhbâr Ali al-Rasul, Riset oleh Sayid Hasyim Rasuli, jil. 18, hal. 264, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Kedua, 1404 H.

«قوله علیه السلام: "صلوا" المراد بالصلاة فی الموضعین أما الأرکان و الأفعال المخصوصة کما هو الظاهر فیدل على استحباب الصلاة له صلى الله علیه و آله فی جمیع الأماکن أو بمعنى الدعاء إلیه علیه السلام، و احتمال کونها فی الأول الأرکان و فی الثانی الدعاء بعید جدا و الله یعلم».

HAJI : RITUAL YANG SARAT MAKNA


Oleh : Muhammad Jawodiy.

Dari sekian banyak ibadah, haji adalah puncak ibadah ritual yang sangat didambakan bisa dilakukan setiap Muslim. Selain karena pahalanya yang sangat besar, orang-orang yang berhaji akan dianggap oleh Allah sebagai tamu-tamu-Nya. “Orang yang beribadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah serta mengaruniakan mereka ampunan.” Demikian kata sebuah hadis. Karena itu dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa hal berkaitan dengan ibadah ritual yang sarat makna ini.

Sekilas Sejarah Haji.
Haji, secara harfiah mempunyai arti ‘keluar menuju sesuatu’. Dalam ajaran Islam, istilah ini menandakan ibadah tahunan ke Makkah dengan niat menunaikan ritual tertentu sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah mewajibkan haji atas semua umat Islam yang mampu, untuk mengerjakannya, paling tidak sekali seumur hidupnya.

Sejarah permulaan ibadah haji di Baitullah al-Haram bermula ketika Nabi Adam as, dikirim Allah ke bumi. Kemudian Adam as diperintah untuk mendirikan sebuah bangunan yang seakan-akan sama dengan Baitul Makmur di langit. Bangunan berbentuk empat segi ini kemudian dinamakan Kabah, yakni “Rumah Allah”. Menurut riwayat Ibnu Abbas ra, Rasulullah pernah bersabda bahwa Makkah telah dipilih sebagai tempat Kabah karena posisinya yang selaras dengan kedudukan Baitul Makmur di alam Malaikat.

Seiring penyempurnaan Kabah, Allah memerintahkan Nabi Adam as serta keluarganya untuk mengerjakan ibadah thawaf sebagaimana yang dikerjakan oleh para malaikat di Baitul Makmur. Baitullah al-Haram, selain menjadi tempat beribadah umat manusia dan jin, turut menjadi tempat thawaf para malaikat yang ditugaskan di bumi.

Setelah Nabi Adam as wafat, bangunan Kabah berangsur rapuh. Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi Syits as, salah satu putra Adam untuk membangun Kabah kembali di tempat yang sama. Namun, pada masa Nabi Nuh as, banjir besar turut meruntuhkan bangunan Kabah. Allah kemudian mengutus Nabi Ibrahim as untuk membangun Kabah kembali.

Mematuhi perintah Allah, dengan dibantu oleh anaknya Nabi Ismail as, Nabi Ibrahim as membangun Kabah di atas timbunan batu dan tanah liat dari tujuh bukit yang terletak di sekitar kawasan kota Makkah. Setelah menyempurnakan bangunan tersebut, Nabi Ibrahim as dan keluarganya diperintahkan pula untuk mengerjakan ibadah thawaf di Kabah sebagai bagian dari ibadah haji. Allah berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” (QS.Al-Hajj : 26).

Selesai mendirikan Kabah, Nabi Ibrahim as diperintahkan agar memanggil semua umat manusia untuk mengerjakan haji. Setelah pembangunan Kabah, Ibrahim as datang ke Makkah untuk melakukan haji setiap tahun. Setelah wafat, praktik ini diteruskan oleh anaknya. Namun seiring perjalanan waktu, bentuk dan tujuan haji mengalami perubahan dan penyimpangan. Penyembahan dan penempatan berhala marak di dalam dan sekitar Kabah. Namun, setelah periode yang panjang, tiba saatnya doa Nabi Ibrahim as dijawab: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS.2 : 129).

Doa Nabi Ibrahim as terkabul dengan kelahiran Muhammad bin Abdullah. Selama 23 tahun Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan monoteisme sejati, yang telah disampaikan sebelumnya oleh Nabi Ibrahim as dan semua nabi lainnya, serta menegakkan hukum Allah di atas muka bumi. Beliau melakukan penghapusan berbagai bentuk kepalsuan, meruntuhkan berbagai berhala dan mengembailkan Kabah ke dalam fungsi awalnya sebagai pusat semesta penghambaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Haji dan Refleksi Nilai-Nilai Kemanusiaan.
Makna kemanusiaan dan pengamalan nilai-nilainya tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.

Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara ritual atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik, yang kesemuanya pada akhirnya mengantar jamaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.

Professor Quraish Shihab, dalam sebuah artikelnya mencoba merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan dari pelaksanaan ibadah haji antara lain: Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Tetapi di Miqat, saat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan.

Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus dilepaskan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa?

Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Ketiga, Kabah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga, karena disanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Kabah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah SWT dan usahanya untuk menjadi Hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban. Keempat, kalau thawaf menggambarkan larutnya dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam istilah kaum sufi al-fana fi Allah maka sa’i menggambarkan usaha manusia mencari hidup yang melambangkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat merupakan suatu kesatuan dan keterpaduan.

Dengan thawaf disadarilah tujuan hidup manusia. setengah kesadaran itu dimulai pada sa’i yang menggambarkan,tugas manusia adalah berupaya semaksimal mungkin. Dan hasil usaha pasti akan diperoleh baik melalui usahanya maupun melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zamzam itu. Kelima, di Arafah, di sanalah mereka seharusnya menemukan makrifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan yang kepada-Nya bersimpuh seluruh makhluk.

Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang Arafah untuk menjadi arif atau sadar dan mengetahui. Keenam, dari Arafah para jamaah ke Musdalifah mengumpulkan senjata menghadapi musuh utama yaitu setan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina untuk merefleksikan kebencian dan kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya.

Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah, apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar sebagaimana dikehendaki Allah.

Haji, Ritual Yang Berdimensi Politik.
Menurut Al-Quran, ibadah haji diperintahkan agar mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berzikir (menyebut nama Allah) pada hari-hari yang ditentukan (QS.22 : 28). Menurut para mufassir, ayat ini menyebutkan dua dimensi haji: dimensi manfaat dan dimensi zikir. Al-Thabari, dalam tafsirnya, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan akhirat. Mahmud Syaltut, Syeikh Al-Azhar, menyebut dimensi-dimensi ipoleksosbud sebagai kandungan makna “manfaat”. Pada waktu hajilah, kata Syaltut, bertemu para pemikir dan ilmuwan, ahli-ahli pendidikan dan kebudayaan, para negarawan dan ahli pemerintahan, ahli-ahli ekonomi, para ulama dan juga para ahli militer kaum Muslim. Inilah kongres atau muktamar umat manusia yang terbesar. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai ritual yang berdimensi politik.

Haji, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha serta juga Shalat Jumat, menurut hemat saya adalah bagian dari ibadah-ibadah yang mengandung unsur politik di dalamnya. Oleh karena ibadah jenis seperti itulah yang dapat menunjukkan kebersamaan dan persatuan kaum muslimin sekaligus kekuatan umat Islam.

Sekiranya perspektif seperti itu yang digunakan dalam melihat ritual haji ini, maka bisa dibayangkan bagaimana kekuatan kaum muslimin yang berhimpun di suatu tempat dan berasal dari berbagai daerah di seluruh penjuru dunia ini, lalu menyatukan persepsi dan pandangannya serta langkah-langkah yang akan diambil dalam menghadapi kezaliman musuh-musuh Islam di berbagai belahan dunia, maka efeknya tentu saja akan sangat besar. Kalau saja hal itu bisa terwujud, maka tentara-tentara penindas seperti Israel tidak akan mungkin berani melakukan agresi dan penindasan di Palestina seperti yang berlangsung sekarang ini.

Kekuatan Islam akan sangat diperhitungkan dalam percaturan dunia. Tapi, tengoklah apa yang terjadi saat ini. Islam dan kaum muslimin tidak begitu diperhitungkan oleh kekuatan musuh-musuh Islam. Negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim, dengan mudah dipermainkan dan dipolitisir, bahkan terkadang dengan gampang di adu domba diantara sesama kaum muslimin. Lihatlah, betapa seringnya kita saksikan dan dengarkan, satu kelompok muslim dengan mudah menganggap sesat dan kafir kelompok lainnya , hanya karena adanya perbedaan pandangan dan tafsiran terhadap sesuatu hal. Mereka yang berlaku seperti itu biasanya lebih mengikuti prasangka dan hawa nafsunya, mereka menganggap kelompoknya saja yang paling benar dan yang lainnya salah.

Padahal seluruh tuduhan dan tudingannya didasarkan pada informasi yang bersifat fitnah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan boleh jadi bersumber dari musuh-musuh Islam. Penyebab dari semua itu, karena kaum muslimin melupakan pesan Nabi SAW dan tidak bertekad untuk mengimplementasikan dimensi politik dari ritual haji untuk membangun dan menciptakan kebersamaan, kesatuan dan persatuan di kalangan kaum muslimin agar tetap menjadi kuat dan solid.

Apa pesan penting dari Nabi kita Muhammad SAW pada tanggal 10 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah di Haji Wada’ atau Haji Perpisahan? Dalam khutbahnya Nabi berkata: “Wahai manusia, dengarkan pembicaraanku, karena barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini. Yang hadir sekarang ini hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir. Hai hadirin, tahukah kamu hari apakah ini?” “Hari yang suci,” jawab yang hadir.

“Bulan apakah ini?” “Bulan yang suci.” “Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya seperti hari ini pada bulan ini di negeri ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya, tidak boleh dirampas hartanya, dan tidak boleh dicemarkan kehormatannya.”.

Itulah pesan sakral dari ibadah haji yang sering dilupakan kaum muslimin. Padahal pesan tersebut tidak hanya berlaku bagi mereka yang telah menunaikan haji, tetapi berlaku umum kepada seluruh umat Islam.

Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengutip Dr. Ali Syariati dalam bukunya tentang ‘Makna Haji’ yang mengungkapkan, “Wahai Haji, ke mana engkau akan pergi kini? Kembali ke kehidupanmu dan ke duniamu? Jangan! Jangan! Engkau memainkan ‘peran Ibrahim’ dalam pertunjukan simbolis ini. Aktor yang baik adalah orang yang kepribadiannya sangat diwarnai oleh karakter dari individu yang sedang diperankannya.

Engkau bagaikan Ibrahim, dan dalam sejarah umat manusia ia adalah seorang pejuang besar yang menentang penyembahan berhala. Ia adalah pendiri tauhid di dunia ini dan bertanggung jawab untuk memimpin umatnya. Ia adalah seorang pemimpin yang suka memberontak dan jiwanya menderita, hatinya mencinta, pikirannya menerangi. Engkau bagaikan Ibrahim! Padamkanlah api penindasan dan kebodohan itu agar engkau dapat menyelamatkan kaummu. Api itu berada dalam nasib setiap individu yang bertanggung jawab.

Kewajibanmulah untuk membimbing dan menyelamatkan manusia. tetapi, Allah menjadikan tungku pembakaran Namrud dan pengikutnya serasa bagaikan sebuah taman bunga untuk Ibrahim dan pengikutnya. Engkau tidak akan terbakar oleh apinya ataupun kembali menjadi debu. Inilah pelajaran bagimu agar engkau siap terjun ke dalam api demi menegakkan jihad (perjuangan), dan agar engkau membiarkan dirimu masuk ke dalam api sehingga tidak ada orang lain yang terbakar, dan mencapai tahap syahadat yang lebih berat. Kini engkau sedang berdiri di maqam Ibrahim dan akan berperan sebagai dia, hidup seperti dia, menjadi arsitek Kabah keyakinanmu.

Selamatkanlah umatmu dari rawa-rawa kehidupan mereka. Hembuskan kembali nafas kehidupan ke dalam tubuh mereka yang kaku dan mati karena menderita penindasan dan gelapnya kebodohan. Doronglah mereka untuk berdiri di atas kakinya dan berilah mereka pengarahan. serulah mereka untuk beribadah haji dan berthawaf. Setelah mengikuti thawaf, membuang sifat suka mementingkan diri sendiri dan mensucikan diri dengan meniru sifat-sifat Ibrahim, maka berarti engkau telah berjanji kepada Tuhan untuk mengikuti jalan Ibrahim.

Allah menjadi saksi bagimu.”

Akhirnya, istiqamahlah engkau atas perjanjianmu dengan-Nya di saat hajimu. Peliharalah ikrarmu yang kau ucapkan di hadapan Tuhanmu di saat hajimu, niscaya Dia akan wajibkan apa yang Dia janjikan untukmu kelak di hari kiamat. Semoga Allah memberkahi perjalanan semua tamu-tamu Allah yang berangkat ke tanah suci di tahun ini dari belahan dunia manapun mereka berasal. Semoga Allah memelihara perjalanan mereka dan menjadikan haji mereka haji yang mabrur. Amin.

Terkait Berita: