Oleh : Muhammad Jawodiy.
Dari sekian banyak ibadah, haji
adalah puncak ibadah ritual yang sangat didambakan bisa dilakukan setiap
Muslim. Selain karena pahalanya yang sangat besar, orang-orang yang
berhaji akan dianggap oleh Allah sebagai tamu-tamu-Nya. “Orang yang
beribadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah serta mengaruniakan
mereka ampunan.” Demikian kata sebuah hadis. Karena itu dalam tulisan
ini akan diuraikan beberapa hal berkaitan dengan ibadah ritual yang
sarat makna ini.
Sekilas Sejarah Haji.
Haji,
secara harfiah mempunyai arti ‘keluar menuju sesuatu’. Dalam ajaran
Islam, istilah ini menandakan ibadah tahunan ke Makkah dengan niat
menunaikan ritual tertentu sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Allah SWT telah mewajibkan haji atas semua umat Islam yang
mampu, untuk mengerjakannya, paling tidak sekali seumur hidupnya.
Sejarah permulaan ibadah haji di Baitullah al-Haram bermula ketika Nabi
Adam as, dikirim Allah ke bumi. Kemudian Adam as diperintah untuk
mendirikan sebuah bangunan yang seakan-akan sama dengan Baitul Makmur di
langit. Bangunan berbentuk empat segi ini kemudian dinamakan Kabah,
yakni “Rumah Allah”. Menurut riwayat Ibnu Abbas ra, Rasulullah pernah
bersabda bahwa Makkah telah dipilih sebagai tempat Kabah karena
posisinya yang selaras dengan kedudukan Baitul Makmur di alam Malaikat.
Seiring penyempurnaan Kabah, Allah memerintahkan Nabi Adam as serta
keluarganya untuk mengerjakan ibadah thawaf sebagaimana yang dikerjakan
oleh para malaikat di Baitul Makmur. Baitullah al-Haram, selain menjadi
tempat beribadah umat manusia dan jin, turut menjadi tempat thawaf para
malaikat yang ditugaskan di bumi.
Setelah Nabi Adam as wafat,
bangunan Kabah berangsur rapuh. Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi
Syits as, salah satu putra Adam untuk membangun Kabah kembali di tempat
yang sama. Namun, pada masa Nabi Nuh as, banjir besar turut meruntuhkan
bangunan Kabah. Allah kemudian mengutus Nabi Ibrahim as untuk membangun
Kabah kembali.
Mematuhi perintah Allah, dengan dibantu oleh
anaknya Nabi Ismail as, Nabi Ibrahim as membangun Kabah di atas timbunan
batu dan tanah liat dari tujuh bukit yang terletak di sekitar kawasan
kota Makkah. Setelah menyempurnakan bangunan tersebut, Nabi Ibrahim as
dan keluarganya diperintahkan pula untuk mengerjakan ibadah thawaf di
Kabah sebagai bagian dari ibadah haji. Allah berfirman, “Dan (ingatlah),
ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah
(dengan mengatakan): Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan
Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan
orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.”
(QS.Al-Hajj : 26).
Selesai mendirikan Kabah, Nabi Ibrahim as
diperintahkan agar memanggil semua umat manusia untuk mengerjakan haji.
Setelah pembangunan Kabah, Ibrahim as datang ke Makkah untuk melakukan
haji setiap tahun. Setelah wafat, praktik ini diteruskan oleh anaknya.
Namun seiring perjalanan waktu, bentuk dan tujuan haji mengalami
perubahan dan penyimpangan. Penyembahan dan penempatan berhala marak di
dalam dan sekitar Kabah. Namun, setelah periode yang panjang, tiba
saatnya doa Nabi Ibrahim as dijawab: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk
mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada
mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan
al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS.2 : 129).
Doa Nabi Ibrahim
as terkabul dengan kelahiran Muhammad bin Abdullah. Selama 23 tahun
Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan monoteisme sejati, yang telah
disampaikan sebelumnya oleh Nabi Ibrahim as dan semua nabi lainnya,
serta menegakkan hukum Allah di atas muka bumi. Beliau melakukan
penghapusan berbagai bentuk kepalsuan, meruntuhkan berbagai berhala dan
mengembailkan Kabah ke dalam fungsi awalnya sebagai pusat semesta
penghambaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Haji dan Refleksi Nilai-Nilai Kemanusiaan.
Makna kemanusiaan dan pengamalan nilai-nilainya tak hanya terbatas pada
persamaan nilai antar perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung
makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia mencakup
seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa
pemiliknya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta
berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan.
Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi
yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir.
Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak
dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.
Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam
acara ritual atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban
atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik, yang kesemuanya pada
akhirnya mengantar jamaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman
kemanusiaan universal.
Professor Quraish Shihab, dalam sebuah
artikelnya mencoba merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan dari
pelaksanaan ibadah haji antara lain: Pertama, ibadah haji dimulai dengan
niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram.
Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya berfungsi sebagai
pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan
tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau
profesi. Tetapi di Miqat, saat dimana ritual ibadah haji dimulai,
perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan.
Semua harus memakai
pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus
dilepaskan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus
diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang,
jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan.
Mengapa?
Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu,
dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya.
Ketiga, Kabah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga,
karena disanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Kabah ini pernah berada
dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin
bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Namun demikian,
budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya
diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi
kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya,
tapi karena kedekatannya kepada Allah SWT dan usahanya untuk menjadi
Hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari
keterbelakangan menuju peradaban. Keempat, kalau thawaf menggambarkan
larutnya dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam istilah
kaum sufi al-fana fi Allah maka sa’i menggambarkan usaha manusia mencari
hidup yang melambangkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat merupakan
suatu kesatuan dan keterpaduan.
Dengan thawaf disadarilah tujuan hidup manusia. setengah kesadaran itu dimulai pada sa’i yang
menggambarkan,tugas manusia adalah berupaya semaksimal mungkin. Dan
hasil usaha pasti akan diperoleh baik melalui usahanya maupun melalui
anugerah Tuhan, seperti yang dialami Hajar bersama putranya Ismail
dengan ditemukannya air Zamzam itu. Kelima, di Arafah, di sanalah mereka
seharusnya menemukan makrifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya,
akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari
langkah-langkahnya selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa
besar dan agung Tuhan yang kepada-Nya bersimpuh seluruh makhluk.
Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang Arafah untuk
menjadi arif atau sadar dan mengetahui. Keenam, dari Arafah para jamaah
ke Musdalifah mengumpulkan senjata menghadapi musuh utama yaitu setan,
kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina untuk merefleksikan kebencian
dan kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini
menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya.
Demikianlah
ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah, apabila
dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan
mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar
sebagaimana dikehendaki Allah.
Haji, Ritual Yang Berdimensi Politik.
Menurut Al-Quran, ibadah haji diperintahkan agar mereka menyaksikan
berbagai manfaat buat mereka dan berzikir (menyebut nama Allah) pada
hari-hari yang ditentukan (QS.22 : 28). Menurut para mufassir, ayat ini
menyebutkan dua dimensi haji: dimensi manfaat dan dimensi zikir.
Al-Thabari, dalam tafsirnya, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan
akhirat. Mahmud Syaltut, Syeikh Al-Azhar, menyebut dimensi-dimensi
ipoleksosbud sebagai kandungan makna “manfaat”. Pada waktu hajilah, kata
Syaltut, bertemu para pemikir dan ilmuwan, ahli-ahli pendidikan dan
kebudayaan, para negarawan dan ahli pemerintahan, ahli-ahli ekonomi,
para ulama dan juga para ahli militer kaum Muslim. Inilah kongres atau
muktamar umat manusia yang terbesar. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai
ritual yang berdimensi politik.
Haji, Hari Raya Idul Fitri dan Idul
Adha serta juga Shalat Jumat, menurut hemat saya adalah bagian dari
ibadah-ibadah yang mengandung unsur politik di dalamnya. Oleh karena
ibadah jenis seperti itulah yang dapat menunjukkan kebersamaan dan
persatuan kaum muslimin sekaligus kekuatan umat Islam.
Sekiranya
perspektif seperti itu yang digunakan dalam melihat ritual haji ini,
maka bisa dibayangkan bagaimana kekuatan kaum muslimin yang berhimpun di
suatu tempat dan berasal dari berbagai daerah di seluruh penjuru dunia
ini, lalu menyatukan persepsi dan pandangannya serta langkah-langkah
yang akan diambil dalam menghadapi kezaliman musuh-musuh Islam di
berbagai belahan dunia, maka efeknya tentu saja akan sangat besar. Kalau
saja hal itu bisa terwujud, maka tentara-tentara penindas seperti
Israel tidak akan mungkin berani melakukan agresi dan penindasan di
Palestina seperti yang berlangsung sekarang ini.
Kekuatan Islam akan
sangat diperhitungkan dalam percaturan dunia. Tapi, tengoklah apa yang
terjadi saat ini. Islam dan kaum muslimin tidak begitu diperhitungkan
oleh kekuatan musuh-musuh Islam. Negara-negara Islam atau yang mayoritas
penduduknya muslim, dengan mudah dipermainkan dan dipolitisir, bahkan
terkadang dengan gampang di adu domba diantara sesama kaum
muslimin. Lihatlah, betapa seringnya kita saksikan dan dengarkan, satu
kelompok muslim dengan mudah menganggap sesat dan kafir kelompok lainnya
, hanya karena adanya perbedaan pandangan dan tafsiran terhadap sesuatu
hal. Mereka yang berlaku seperti itu biasanya lebih mengikuti prasangka
dan hawa nafsunya, mereka menganggap kelompoknya saja yang paling benar
dan yang lainnya salah.
Padahal seluruh tuduhan dan tudingannya
didasarkan pada informasi yang bersifat fitnah dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan, bahkan boleh jadi bersumber dari musuh-musuh
Islam. Penyebab dari semua itu, karena kaum muslimin melupakan pesan
Nabi SAW dan tidak bertekad untuk mengimplementasikan dimensi politik
dari ritual haji untuk membangun dan menciptakan kebersamaan, kesatuan
dan persatuan di kalangan kaum muslimin agar tetap menjadi kuat dan
solid.
Apa pesan penting dari Nabi kita Muhammad SAW pada
tanggal 10 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah di Haji Wada’ atau Haji
Perpisahan? Dalam khutbahnya Nabi berkata: “Wahai manusia, dengarkan
pembicaraanku, karena barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan
kalian setelah tahun ini. Yang hadir sekarang ini hendaknya menyampaikan
kepada yang tidak hadir. Hai hadirin, tahukah kamu hari apakah ini?”
“Hari yang suci,” jawab yang hadir.
“Bulan apakah ini?” “Bulan
yang suci.” “Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Sesungguhnya darah
kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya seperti hari ini
pada bulan ini di negeri ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara.
Tidak boleh ditumpahkan darahnya, tidak boleh dirampas hartanya, dan
tidak boleh dicemarkan kehormatannya.”.
Itulah pesan sakral dari
ibadah haji yang sering dilupakan kaum muslimin. Padahal pesan tersebut
tidak hanya berlaku bagi mereka yang telah menunaikan haji, tetapi
berlaku umum kepada seluruh umat Islam.
Sebelum menutup tulisan
ini, saya ingin mengutip Dr. Ali Syariati dalam bukunya tentang ‘Makna
Haji’ yang mengungkapkan, “Wahai Haji, ke mana engkau akan pergi kini?
Kembali ke kehidupanmu dan ke duniamu? Jangan! Jangan! Engkau memainkan
‘peran Ibrahim’ dalam pertunjukan simbolis ini. Aktor yang baik adalah
orang yang kepribadiannya sangat diwarnai oleh karakter dari individu
yang sedang diperankannya.
Engkau bagaikan Ibrahim, dan dalam sejarah
umat manusia ia adalah seorang pejuang besar yang menentang penyembahan
berhala. Ia adalah pendiri tauhid di dunia ini dan bertanggung jawab
untuk memimpin umatnya. Ia adalah seorang pemimpin yang suka memberontak
dan jiwanya menderita, hatinya mencinta, pikirannya menerangi. Engkau
bagaikan Ibrahim! Padamkanlah api penindasan dan kebodohan itu agar
engkau dapat menyelamatkan kaummu. Api itu berada dalam nasib setiap
individu yang bertanggung jawab.
Kewajibanmulah untuk membimbing dan
menyelamatkan manusia. tetapi, Allah menjadikan tungku pembakaran Namrud
dan pengikutnya serasa bagaikan sebuah taman bunga untuk Ibrahim dan
pengikutnya. Engkau tidak akan terbakar oleh apinya ataupun kembali
menjadi debu. Inilah pelajaran bagimu agar engkau siap terjun ke dalam
api demi menegakkan jihad (perjuangan), dan agar engkau membiarkan
dirimu masuk ke dalam api sehingga tidak ada orang lain yang terbakar,
dan mencapai tahap syahadat yang lebih berat. Kini engkau sedang berdiri
di maqam Ibrahim dan akan berperan sebagai dia, hidup seperti dia,
menjadi arsitek Kabah keyakinanmu.
Selamatkanlah umatmu dari rawa-rawa
kehidupan mereka. Hembuskan kembali nafas kehidupan ke dalam tubuh
mereka yang kaku dan mati karena menderita penindasan dan gelapnya
kebodohan. Doronglah mereka untuk berdiri di atas kakinya dan berilah
mereka pengarahan. serulah mereka untuk beribadah haji dan berthawaf.
Setelah mengikuti thawaf, membuang sifat suka mementingkan diri sendiri
dan mensucikan diri dengan meniru sifat-sifat Ibrahim, maka berarti
engkau telah berjanji kepada Tuhan untuk mengikuti jalan Ibrahim.
Allah menjadi saksi bagimu.”
Akhirnya, istiqamahlah engkau atas perjanjianmu dengan-Nya di saat
hajimu. Peliharalah ikrarmu yang kau ucapkan di hadapan Tuhanmu di saat
hajimu, niscaya Dia akan wajibkan apa yang Dia janjikan untukmu kelak di
hari kiamat. Semoga Allah memberkahi perjalanan semua tamu-tamu Allah
yang berangkat ke tanah suci di tahun ini dari belahan dunia manapun
mereka berasal. Semoga Allah memelihara perjalanan mereka dan menjadikan
haji mereka haji yang mabrur. Amin.