Bantahan buat: http://syiahindonesia.com, www.gensyiah.com,
www.syiah.net, http://hakekat .com, http://haulasyiah.wordpress.com
adalah web yang tidak tau apa-apa tentang agama.
Syi’ah Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait dalam hal Imamah.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan
terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang
terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah
madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke-
Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang
mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan
umat manusia.
|
Imamah dan Ahlul Bait.
Ismail Amin.
Akidah Islamiyah adalah kumpulan kaidah, hukum, landasan, perintah,
larangan dan pengetahuan yang universal dan terperinci yang diturunkan
Allah SWT kepada hamba-Nya, Muhammad SAW. Rasululullah SAW bertugas
memberikan penjelasan kepada umat mausia melalui perantara dakwah dan
daulah yang dipimpinnya sendiri. Oleh karena itu setiap perkataan,
perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW adalah juga aturan Ilahi sebagai
pelengkap Al-Qur’an. Semasa hidupnya, Rasulullah menjadi satu-satunya
sumber rujukan syar’i yang merupakan pengejewantahan akidah Ilahiah.
Adalah mustahil jika aqidah yang berasal dari Allah ini dibiarkan tanpa
seorang rujukan yang bertugas menjelaskan aqidah tersebut. Sumber
rujukan ini haruslah orang yang memiliki pengetahuan Ilahiah, paling
baik, afdhal dan tepat dari sekian manusia yang ada. Untuk memilih dan
mengangkat orang yang memiliki kapasitas itu, hanya Allah sendirilah
yang berhak menentukan. Sejarah perjalanan manusiapun membuktikan, semua
nabi-nabi yang 124 ribu jumlahnya diutus dan diangkat oleh Allah SWT.
Tak sekalipun Allah SWT menyerahkan penentuan dan pemilihan orang yang
menjadi sumber rujukan kepada hawa nafsu dan pendapat-pendapat manusia.
Begitulah sejarah membuktikan, dan tidak ada seorangpun yang menyelisihi
ini.
Lewat tulisan ini, saya ingin memperlihatkan ada realitas lain selain
Nabi dan Rasul yang juga menjadi ketetapan Ilahi. Allah SWT berfirman,
“Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah,
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman :”Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia.” Ibrahim berkata, “(Dan aku
mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman :”Janji-Ku (ini) tidak
mengenai orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah : 124).
Ayat ini menunjukkan bahwa menurut Al-Qur’an ada satu lagi realitas
selain nabi dan rasul yakni imam, sebab bukankah penunjukan Ibrahim
sebagai imam setelah ia menjadi nabi dan rasul dengan berbagai ujian ?.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan Kami menganugerahkan
kepadanya (Ibrahim), Ishak dan Yaqub sebagai suatu anugerah. Dan
masing-masing Kami jadikan orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka
itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan,
melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka
menyembah.” (Qs. Al-Anbiya : 73).
Di ayat lain, “…Kemudian Allah
memberinya (Dawud) kerajaan dan hikmah dan mengajarinya apa yang Dia
kehendaki.” (Qs. Al-Baqarah : 41).
Dari ayat-ayat ini menunjukkan bahwa
penunjukkan imam, khalifah ataupun pemimpin atas umat manusia adalah
wewenang dan otoritas mutlak Allah SWT sebagaimana penunjukan nabi dan
rasul.
Sebagaimana surah Al-Baqarah ayat 124 di atas, kedudukan imam sebagai
jabatan langit selain nabi dan rasul juga dianugerahkan kepada
keturunan biologis nabi Ibrahim as.
Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan tunas dari “Pohon
Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. Sedangkan
kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut.
Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali lebih dahulu oleh
kenabian, kerasulan dan berakhir pada keimamahan. Ini bisa dimaklumi
bahwa tidak mungkin ada hukum tanpa ada hakim. Hukum Islam telah
sempurna, karenanya dengan wafatnya Nabi terakhir meniscayakan adanya
hakim Ilahiah yang mendampingi pelaksanaan hukum. Hakim di bumi inilah
yang disebut Imam.
Setelah nabi Ibrahim as wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan
melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah
nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan
muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan
permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak;
ia akan memperanakkan dua belas imam dan Aku akan membuatnya menjadi
umat yang besar (Kejadian 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada
bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh
Allah untuk melantik dua belas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan
keturunannya, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari
Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin”
(QS. Al-Maidah :12).
Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan
puncak dari perjanjian antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk
menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari
pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan
imam dan umat yang kudus. Al-Qur’an menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika
Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari kamu, dari Nuh,
Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari
mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7).
Alhasil, substansi yang ingin saya tegaskan, bahwa status seorang
imam di dalam Islam bahkan dalam ajaran Ibrahimik lainnya (Yahudi dan
Nashrani) memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana
halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam
Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui
mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh
perspektif manusia. Imamah atau kekhalifaan terlalu berharga, terlalu
tinggi dan tidak pantas hanya disebut sebagai pemimpin sebuah
pemerintahan. Imamah terlalu pelik dan rumit bagi manusia biasa untuk
memilih dan mengangkat sendiri imam mereka. Imamah tidak dapat
diputuskan dalam pemilihan. Sebab imamah bukan sekedar masalah mengurus
ummat melainkan perwakilan Allah SWT di muka bumi. Karena itu hanya
Allah SWT yang berhak memilih dan mengangkatnya.
Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan
bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia
yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab
dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya
kerajaan yang besar”. (QS. 4:54) Maka bagaimanakah dengan keluarga
Muhammad saw sendiri? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim
as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari
keluarga Muhammad pun juga demikian?. Sebagai penutup, barangkali hadis
Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari ini bisa membawa
kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan
beragama. Bukhari-Muslim meriwayatkan, “Agama (Islam) akan selalu tegak
kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari
Qurays.”.
Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan
pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan.
Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah
konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan
Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
|
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan
semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian
dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang
merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan
berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia.
Allah SWT berfirman: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah
mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan.
Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah : 213).
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi
akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada
ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan
hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan
perpecahan.
Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi
as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah
terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang
kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.
Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah
menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala
penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari
Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi
sesudahnya.
Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah
diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi
seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al
Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT
keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.
Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan
ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum
menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh
umatnya.
Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada
dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah
dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya,
Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada
seluruh umat?
Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya?
Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya
terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh
umat Islam?
Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat
Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh
sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah
melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu
dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.
Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda,
karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi
penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh
kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang
dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan
kesepakatan.
Kata mazhab Syafi’i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata
Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir
dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).
Petunjuk Umat.
Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat
memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak
terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi
meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang
dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat
manusia di setiap masa tentunya selain syariat.
Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah
disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat
menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi
mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara
sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat
Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).
Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW
sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik
ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat,
berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya
membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman
karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan
menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah
mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas
dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman.” (Qs. Al-A’raf :52).
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu
al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa
yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64).
Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits
Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan
Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait
adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu
sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran
Islam itu sendiri.
Penyimpangan.
Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain
yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak
dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu
interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai
dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.
Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang
pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan.
Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba
memisahkan kedua tsaqal ini.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah
hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang
terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah
madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke-
Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang
mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan
umat manusia.
Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina
(kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan
Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir
dari madrasah ini.
Syi’ah Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait dalam hal Imamah….http://syiahindonesia.com, http://www.gensyiah.com, http://www.syiah.net, http://hakekat .com, http://haulasyiah.wordpress.com adalah web yang tidak tau apa apa tentang agama |
Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan
terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang
terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah
madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke-
Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang
mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan
umat manusia. |
|
Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan
pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan.
Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah
konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan
Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10). |
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan
semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian
dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang
merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan
berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia.
Allah SWT berfirman: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah
mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan.
Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah : 213)..
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi
akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada
ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan
hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan
perpecahan.
Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi
as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah
terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang
kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.
Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah
menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala
penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari
Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi
sesudahnya.
Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah
diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi
seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al
Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT
keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.
Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan
ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum
menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh
umatnya.
Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada
dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah
dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya,
Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada
seluruh umat?
Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya?
Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya
terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh
umat Islam?
Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat
Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh
sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah
melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu
dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.
Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda,
karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi
penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh
kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang
dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan
kesepakatan.
Kata mazhab Syafi’i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata
Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir
dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).
Petunjuk Umat
Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat
memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak
terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi
meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang
dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat
manusia di setiap masa tentunya selain syariat.
Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah
disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat
menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi
mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara
sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat
Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).
Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW
sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik
ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat,
berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya
membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman
karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan
menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah
mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas
dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman.” (Qs. Al-A’raf :52).
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu
al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa
yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64).
Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits
Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan
Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait
adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu
sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran
Islam itu sendiri.
Penyimpangan.
Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain
yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak
dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu
interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai
dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.
Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang
pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan.
Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba
memisahkan kedua tsaqal ini.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah
hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang
terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah
madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke-
Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang
mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan
umat manusia.
Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina
(kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan
Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir
dari madrasah ini.
|
Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam.
Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman,
setidaknya begitu yang saya tahu . Kata Khalifah sendiri menyiratkan
makna yang beragam, bisa sesuatu dimana yang lain tunduk kepadanya,
sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu yang layak diikuti, sesuatu yang
menjadi pemimpin, sesuatu yang memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada
banyak lagi.
Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan
untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam.
Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang
Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah
Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi
yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi
dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat
Islam.
Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang
Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri
menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi
sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan
akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa:
- Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.
- Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam.
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan
membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar.
Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa
Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis:
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian
dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang
antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak
akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182,
Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa
hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam
Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid
jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga
disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan
beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).
Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus
menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya
dan dengan jelas menyatakan bahwa
Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa
Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan
Salam Damai
Catatan : Sengaja Metode Penulisan Agak sedikit berbeda, sesuai dengan kebutuhan .
Siap-siap menunggu hujatan.
Benarkah banyak hadist sunni yg palsu ?
PERPECAHAN SUNNI VS SYI’AH SALAH SATUNYA KARENA HADIS HADiS SUNNI ASWAJA
SALING KONTRADIKSI.. DENGAN KATA LAIN BAHWA HADIS HADIS SUNNI TELAH
DIUTAK ATIK DAN DIJAMAH OLEH TANGAN TANGAN JAHIL LALU DI CAMPUR ADUK
ANTARA YANG BENAR DENGAN YANG BATHIL SEHINGGA PENGANUT SUNNI TIDAK MAMPU
LAGi MEMBEDAKAN MANA YANG ASLI DAN MANA YANG PALSU.
Sebuah pertanyaan penting yang timbul, bagaimana kita menyikapi
hadist-hadist yang simpang siur, yang setiap golongan mempertahankan
pendapatnya masing-masing dengan menggunakan dalil-dalil hadistnya.
Jawaban pertanyaan ini pernah saya paparkan kepada seorang teman saya
yang telah menjadi mu’alaf. Dia seorang mu’alaf yang tekun mempelajari
agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tapi saking tekunnya dia
malah menjadi bingung sendiri, karena fatwa yang dia dapat berbeda-beda
pada setiap pesantren
Inti pertanyaannya adalah bagaimana menyikapi hadist-hadist yg saling
kontradiksi dan apakah mengakui hadist itu wajib atau tidak.
Saya menjawab bahwa dialah yang harus memutuskan sendiri jawabannya.
Saya hanya bercerita sedikit tentang sejarah hadist. Selanjutnya saya
minta agar dia mempergunakan PIKIRAN nya, karena Allah selalu dan selalu
menyuruh umatnya untuk BERPIKIR.
Dalam sejarahnya, pembukuan hadist itu secara resmi muncul lebih 200
tahun setelah meninggalnya Rasulullah. Pertama-tama oleh Imam Bukhari
(meninggal 256H/870), lalu Muslim (meninggal 261H/875), Abu Daud
(meninggal 275H/888), Tirmidzi (meninggal 270H/883), Ibn Maja (meninggal
273H/886), dan al-Nasa’i (meninggal 303H/915).
Dalam pernyataan pembukaannya, Bukhari (yang dianggap sebagai sumber
nomor satu dari Hadits shahih) menyatakan bahwa dari hampir 600 ribu
Hadits yang ia ketahui pada zamannya, dia hanya dapat memastikan
sebanyak 7397 sebagai hadits shahih dari nabi Muhammad. Ini adalah suatu
pengakuan dari para pendukung Hadits bahwa sedikitnya 98,76% dari apa
yang orang diharuskan untuk percaya sebagai sumber kedua selain
Al-Qur’an, dan sebagai salah satu sumber utama hukum Islam, adalah
semata-mata suatu kebohongan belaka!
Seharusnyalah PIKIRAN dan LOGIKA kita bertanya :
Apakah yg dipakai oleh umat Islam pada masa sebelum 200 tahun itu?
Dalam suatu riwayat, Jabir ibn Abdullah menyampaikan bahwa Nabi
Muhammad melihat seorang perempuan kemudian ia masuk rumah untuk menemui
Zainab bint Jahsyn untuk menunaikan “hajat”-nya. Setelah usai, ia
keluar menemui para sahabat sembari berkata, “Sungguh perempuan datang
menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu (hasrat seksual)
karenanya, bersegeralah ke istrinya. Perilaku itu akan menghilangkan
hasrat yang ada di dalam jiwa (dalam riwayat lain: akan menekan hasrat
yang terpendam di dalam jiwa).” Hadis ini diriwayatkan Muslim, Tirmidzi,
Ibnu Majah, Ibnu Qathan, dan al-Albani. Semua ahli hadis ini memastikan
bahwa hadis ini sahih.
Kita akan jadikan hadis ini sebagai obyek pembahasan untuk
membuktikan bahwa ide berpedoman kepada hadis-hadis Nabi yang baru
dikumpulkan dua ratus tahun setelah mangkatnya Nabi adalah keliru jika
kita tidak mempertimbangkannya secara rasional dan logis. Rasionalitas
dan logika akan membantu menentukan tingkat kesahihan suatu hadis.
Prinsip-prinsip yang dipegang para perawi hadis, seperti ilmu jarh wa
ta’dîl dan lain-lain, tidak sepenuhnya dapat dijadikan pedoman. Sebab,
prinsip-prinsip ini tidak cukup mumpuni untuk membendung sampainya
hadis-hadis sebagaimana disebutkan tadi kepada pembaca masa kini yang
begitu saja meyakininya sahih dan dapat dipercaya.
Cobalah kita bayangkan kejadian yang digambarkan hadis di atas sesuai
dengan konteks ruang dan waktunya. Bayangkanlah Nabi dan para sahabat
yang duduk dalam satu majelis, lalu lewatlah seorang perempuan. Nabi
melihatnya dan berhasrat padanya (atau karenanya). Ia lalu minta izin
kepada para sahabat untuk masuk rumah menemui Zainab bint Jahsyn. Ia
lantas menunaikan “hajat”-nya kepada Zainab dan segera kembali ke para
sahabat untuk meneruskan perbincangan. Ia lalu menjelaskan apa yang
telah dilakukannya: “Perempuan datang menyerupai setan. Dalam kondisi
seperti itu, sebaiknya seorang laki-laki segera menemui istrinya agar
tidak termakan godaan setan.”
Mari kita analisa hadis di atas. Jika direka ulang, kita mendapat
gambaran bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat dalam rangka
berdiskusi tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan umat, agama,
dan masyarakat. Dalam buku-buku sejarah kita tak pernah menemukan bahwa
Nabi berkumpul dengan para sahabat hanya untuk bergurau menghabiskan
waktu. Tiba-tiba seorang perempuan lewat, lalu Nabi segera meninggalkan
perbincangan serius tentang berbagai masalah umat untuk menunaikan
“hajat” kepada istrinya. Jelaslah bahwa perilaku ini tidak layak bagi
seorang pemimpin seperti Nabi dan tidak pula sesuai dengan usianya
ketika itu.
Semua riwayat yang menceritakan hadis ini memang tidak menjelaskan
kondisi si perempuan yang lewat di hadapan Nabi dan para sahabat: Apakah
ia muda atau tua; Apakah ia cantik atau tidak? Apakah ia berpakaian
tertutup atau terbuka? Semua riwayat juga tidak menjelaskan alasan
mengapa Nabi menoleh kepada perempuan itu, memperhatikannya, lalu
meninggalkan forum sahabatnya.
Lepas dari pembicaraan penting antara Nabi dan para sahabat, siapa
pun tidak pantas meninggalkan sebuah majelis sekadar untuk menunaikan
“hajat” pada istrinya kemudian kembali lagi, seolah tak terjadi apa pun.
Perilaku seperti ini tidak mungkin terjadi pada Nabi. Sikap ini
mengandung penghinaan terhadap seorang tamu (jika ia tuan rumah),
terhadap tuan rumah (jika ia seorang tamu), atau terhadap majelis
manapun. Hal-hal seperti ini memang tidak dijelaskan di dalam hadis di
atas.
Namun, Nabi masuk menemui Zainab, sesuai teks hadis, “kemudian
menunaikan ‘hajat’ kepada Zainab dan segera keluar lagi menemui para
sahabat…” Teks hadis ini, dengan berbagai riwayatnya, mengesankan bahwa
Nabi menemui Zainab hanya dalam waktu yang singkat. Sebab ketika ia
keluar, para sahabat masih duduk di tempat semula. Ini berarti Nabi
datang tergesa-gesa kepada istrinya, kemudian menyetubuhinya, lalu
mengalami orgasme dalam waktu singkat. Setelah itu, ia segera kembali
lagi kepada para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Sikap seperti
ini bukanlah watak Nabi dan bukan pula watak laki-laki mana pun yang
menghargai diri sendiri dan istrinya.
Sebab Nabi pernah bersabda, “Janganlah seseorang menyetubuhi istrinya
seperti hewan. Hendaklah ada rasûl di antara mereka.” Para sahabat
bertanya, “Apa yang dimaksud dengan rasûl itu?” Beliau menjawab: “Ciuman
dan rayuan.” Dalam riwayat Anas ibn Malik, Nabi bersabda, “Ada tiga
kelemahan pada seorang laki-laki…” Ia antara lain menyebutkan: “Seorang
laki-laki mendekati istrinya kemudian menyetubuhinya tanpa cumbu rayu.
Ia menyetubuhi istrinya dan mencapai orgasme sebelum sang istri mencapai
orgasme.”
Mungkinkah Nabi melarang sesuatu namun ia justru melakukannya?
Tampaknya petunjuk Nabi dalam hal ini dapat kita lihat dalam penjelasan
Imam Abu Hamid al-Ghazali: “Jika seseorang bersetubuh dengan istrinya,
hendaklah ia memperlambat orgasmenya sehingga sang istri mencapai
orgasme pula. Orgasme sang istri bisa jadi lebih lambat. Jika ia
meninggalkan istrinya sebelum ia mencapai orgasme, dorongan syahwatnya
tidak akan terpenuhi. Dengan demikian ia telah menyakiti sang istri.
Perbedaan waktu datangnya orgasme ini membuat ketidaknyamanan ketika
suami sudah orgasme lebih dulu. Orgasme secara berbarengangan lebih
memberi kenikmatan bagi istri. Seorang suami tidak boleh bersikap
egoistis. Bisa jadi istri merasa malu dalam hal ini. Maka, sang suami
haruslah dapat memahaminya,”
Inilah penjelasan yang sangat baik tentang pentingnya seorang suami
tidak tergesa-gesa mencapai orgasme lalu meninggalkan tempat tidur
sebelum sang istri mencapai orgasme pula. Jika etika demikian berlaku
bagi laki-laki biasa, apakah mungkin Nabi memperbolehkan dirinya untuk
cepat-cepat mencapai orgasme tanpa mempedulikan istrinya?
Apa yang sedang dilakukan oleh Zainab ketika Nabi menemuinya? Apakah
ia sedang sibuk dengan urusan rumah tangga atau sibuk dengan urusan
agama? Dalam dua kondisi ini, apakah sang suami boleh datang kepadanya
untuk mengajak berhubungan badan dan ia harus segera meninggalkan apa
yang sedang ia kerjakan? Setelah beberapa saat, sang suami justru keluar
menemui para sahabat. Apa yang Zainab lakukan kemudian? Apakah ia
meneruskan kesibukannya dan seolah-olah tidak terjadi apa pun? Benar
belaka, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi pernah bersabda,
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (untuk berhubungan
badan), tapi sang istri menolak, maka para malaikat akan mengutuknya
sampai pagi”. Tapi hadis ini secara implisit mengandung pengertian bahwa
sang suami mengajak istrinya pada malam hari karena ada kalimat “sampai
pagi”. Jika sang suami datang secara mendadak, langsung mengajak
istrinya berhubungan badan, tapi sang istri menolak, apakah para
malaikat tetap juga akan mengutuknya?!
Teks hadis kita menegaskan bahwa Nabi segera kembali menemui para
sahabat. Apakah hal ini berhubungan dengan keinginan Nabi untuk segera
menyelesaikan tema pembicaraan? Atau, ia ingin segera menjelaskan
perilakunya yang sangat cepat itu kepada mereka?
Sesuatu yang lebih penting dari itu semua adalah, dalam hadis di
atas, Nabi tampak begitu lemah berhadapan dengan sesuatu yang datang
dari luar dirinya (faktor eksternal), yaitu setan. Dalam hadis itu pun
Nabi berkata, “Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa
merasakan sesuatu karenanya, hendaklah ia menemui (menyetubuhi)
istrinya. Yang demikian itu akan meredam hasrat (seksual) yang ada dalam
jiwanya.” Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Albani disebutkan,
“Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian
melihat perempuan dan terpesona, hendaklah kalian menemui istri karena
pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu.”
Menyamakan perempuan dengan setan adalah pelecehan yang tidak mungkin
dilakukan oleh Nabi. Menurut Alquran, beliau tak berbicara berdasarkan
nafsu. Karena itu perlu dipahami bahwa menyamakan perempuan dengan setan
adalah kasus yang umum pada agama-agama tauhid, baik Islam, Kristen,
maupun Yahudi. Penyamaan ini kadangkala sangat tak masuk akal. Contohnya
adalah hadis Nabi riwayat Muslim: “Waspadalah terhadap dunia.
Waspadalah terhadap perempuan. Sungguh, kerusakan pertama yang terjadi
pada Bani Israel adalah karena perempuan.” Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah
dan Tirmidzi juga menegaskan: “Aku tidak meninggalkan cobaan yang
paling berbahaya bagi laki-laki melebihi perempuan.”
Poin terakhir yang akan kita bahas adalah hadis al-Albani: “Ketika
perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat
perempuan dan terpesona, hendaknya kalian menemui istri karena pada
istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu.” Hadis ini secara
eksplisit mengandung unsur pelecehan kemanusiaan terhadap perempuan.
Hadis ini memberikan pengertian bahwa jika seorang laki-laki tertarik
(secara seksual) kepada seorang perempuan, hendaklah ia menemui
istrinya. Karena, pada istrinya ada anggota tubuh yang sama dengan
anggota tubuh yang diinginkan pada perempuan itu. Bukankah ini berarti
menggeser status perempuan dari manusia istimewa menjadi laksana barang?
Apakah perempuan hanya diinginkan karena tubuh (fisik)-nya? Apakah
ucapan, interaksi, kelembutan, akal, dan jiwa perempuan tidak ada
gunanya dalan hubungan seksual?
Akal yang sehat tentu tidak akan menerima sikap seperti itu terhadap
perempuan. Seorang Nabi yang berwatak sebagai pendidik, arif, dan
pemimpin umat, tidak mungkin memperlakukan perempuan seperti yang
digambarkan di dalam hadis-hadis misoginis di atas. Hadis-hadis
misoginis itu pun bertentangan dengan puluhan hadis lain yang menegaskan
keharusan menghormati dan menghargai perempuan. Pertanyaanya: apakah
hadis-hadis misoginis itu sahih? Apakah Nabi melakukan itu semua
kemudian mengucapkan hadis-hadis misoginis? Ada dua jawaban: “ya” atau
“tidak”. Jawaban yang pertama berarti pelecehan terhadap sosok Nabi yang
dicintai dan dimuliakan. Jawaban yang kedua adalah yang benar.
Tampaknya kita harus berani mempertanyakan sikap para peneliti Muslim
yang secara berlebihan mengaggap hadis sunni sebagai sumber kebenaran
sejarah. Kita harus berani memulai penelitian terhadap wacana hadis
sebagai sumber perdana yang lahir dalam konteks ruang dan waktu
tertentu. Kita harus meletakkannya dalam kerangka analisis yang rasional
dan logis. Kita harus pula mengembalikan wacana hadis sunni pada
kondisi ruang dan waktunya. Kita tidak perlu harus secara membabi-buta
menjadikannya sebagai kaidah bagi perilaku kita hari ini. Kita tidak
perlu bercermin kepadanya secara serampangan.
Andai Nabi Muhammad hari ini diutus kembali kepada kita sebagai
masyarakat manusia, pasti ia akan menggunakan cara-cara yang rasional
dalam memahami apa yang pernah ia ucapkan dulu. Dan sebetulnya, sebagian
besar peninggalan sejarah yang kita miliki saat ini (turâts) masih
dipenuh dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang luhur andai saja
kita memperlakukannya secara rasional.
Penulis Sejarah menyadari adanya prasangka dari saksi-saksi pelapor
suatu peristiwa atau keadaan dan para penyalur yang membentuk rangkaian
Isnad. Ia juga harus menyadari kemungkinan adanya kesalahan dan
kekeliruan mereka karena kelemahan-kelamahan manusiawai, seperti lupa,
salah tanggap, salah tafsir, pengaruh penguasa terhadap dirinya, serta
latar belakang keyakinan pribadinya. Suatu rangkaian Isnad yang lengkap ,
dengan penyalur-penyalur yang identitas orangnya dapat dipercaya, belum
bisa menjadi kebenaran suatu berita.
Murthada al-Askari misalnya, telah berhasil menemukan nama 150 orasng
sahabat nabi yang fiktif, yang telah dimasukan oleh para penulis
sejarah lama sebagai saksi-saksi pelapor. Penulis sejarah semacam ini
telah memasukan nama berbagai kota dan sungai yang kenyataannnya tidak
pernah ada. Al’ Amin berhasil mengumpulkan nama 700 nama pembohong yang
pernah mengada-adakan berita tentang Nabi Muhammad, bahkan ada yang
menyampaikan seorang diri beribu-ribu hadis palsu. Diantar mereka
terdapat para pembohong Zuhud, yang sembahyang, mengaji dan berdoa
semalaman tetapi pada pagi hari mulai duduk mengajar dan berbohong
seharian.
Sebenarnya para ulama jaman dahulu telah mengetahui cerita fiktif,
dan telah mengenal para penulis buku tersebut sebagai pembohong , tetapi
karena berbagai sebab, keritik-keritik mereka terhenti ditengah jalan.
Kedudukan Ulama makin beralih ke “tugas dakwah” dan “mengabaikan
penelitian”. Penelitian dijaman para sahabatpun dilupakan. Ditutupnya
pintu ijtihad, telah menambah parahnya perkembangan penelitian sejarah
jaman para sahabat dan tabiin, generasi kedua. Sedangkan para ulama
terus bertaklid pada ijtihad para imam yang hidup pada masa-masa
kemudian.
.
Itulah sebabnya buku-buku yang mengandung hasil studi yang kritis
tidak lagi mendapatkan pasaran. Karena “pikiran-pikiran baru” ini akan
membuat dirinya terasing dalam kalangannya sendiri dan dari masyarakat
yang telah “mantap” dalam keyakinan.