Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Nabi Nuh As. Show all posts
Showing posts with label Nabi Nuh As. Show all posts

Sejenak Bersama Al-Quran: Taubat Penyelamat Manusia


Taubat Penyelamat Manusia, Allah Swt berfirman:
"Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu." (QS. Yunus: 98).

Sekalipun surat Yunus menjelaskan secara detil tentang sejarah Nabi Nuh dan Musa as, tapi surat ini tetap dinamakan surat Yunus. Padahal dalam surat ini hanya memuat kisah kaum Nabi Yunus as yang bertaubat dan itupun disinggung hanya dalam satu ayat. Walaupun demikian, penamaan surat ini dengan surat Yunus mungkin disebabkan pentingnya apa yang dilakukan oleh kaum Nabi Yunus as. Karena pada akhirnya bertaubat dan Allah Swt menerima taubat mereka.

Imam Shadiq as berkata, "Nabi Yunus as berdakwah kepada kaumnya sejak usia 30 hingga 63 tahun, tapi hanya dua orang yang beriman kepada apa yang dibawanya. Nabi Yunus as kemudian melaknat mereka lalu pergi meninggalkan kaumnya. Satu dari dua orang yang beriman kepada beliau adalah seorang bijaksana dan berilmu. Ketika menyaksikan Nabi Yunus as melaknat kaumnya dan pergi meninggalkan mereka, ia naik ke tempat yang agak tinggi dan memperingatkan mereka. Warga yang mendengar ucapannya menyadari kesalahan yang selama ini dilakukan dan dengan petunjuknya mereka bergerak ke luar kota. Mereka berusaha menjaga jarak dengan anak-anaknya lalu mulai bermunajat kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya, hingga Allah Swt menerima taubat mereka. Nabi Yunus as kembali ke kota itu, tapi menemukan warganya tidak binasa. Beliau terkejut dan bertanya apa yang terjadi. Mereka menjelaskan kepada Nabi Yunus as apa yang terjadi sepeninggalnya."[1]

Benar, sekalipun manusia telah berada di bibir jurang, tapi ia masih dapat menolong dirinya sendiri. Karena iman dan taubat pada waktunya dapat menyelamatkan manusia dari kemurkaan ilahi dan membatalkan azab, sekaligus menjadikan manusia bahagia.

Dalam sejarah kaum nabi-nabi terdahulu yang mendustakan ucapan mereka hanya kaum Nabi Yunus as yang bertaubat pada waktunya lalu beriman kepada apa yang diajarkannya, sehingga dapat selamat dari azab ilahi.

Sumber: Mohsen Qaraati, Daghayeghi ba Quran, Tehran, Markaz Farhanggi Darsha-i az Quran, 1388 Hs, cet 1.

Referensi:
[1] . Tafsir Majma' al-Bayan dan as-Shafi.

Siapa Yang Membangun Kabah?


Kabah berkali-kali rusak sehingga harus berkali-kali dibongkar sebelum dibangun kembali. Di Museum Haramain, benda-benda itu disim pan. Ada kotak tempat menyimpan parfum yang dulu pernah mengisi ruangan Kabah. “Ruang Kabah isinya hanya tiga pilar dan kotak parfum itu,” ujar Abdul Rahman, menunjuk pilar-pilar dan kotak yang letaknya berjauhan.

Petugas Museum Haramain di Ummul Joud, Makkah, itu mengantar kami keliling melihat koleksi museum. Museum ini menyimpan benda-benda dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ada potongan pilar Kabah yang bentuknya sudah seperti kayu fosil berwarna cokelat tua, disimpan bersama kunci pintu Kabah dari kayu, juga berwarna cokelat tua. Pintu Kabah selalu dikunci dan pemegang kunci sudah turun-temurun dari satu keluarga, sejak sebelum Nabi lahir.

Tangga kuno yang pernah dipakai untuk masuk Kabah juga tersimpan di museum ini. Tersimpan pula pelapis Hajar Aswad serta pelapis dan pelindung Maqam Ibrahim. Jika orangorang berebut mencium pelindung Maqam Ibrahim, seharusnya yang layak dicium adalah yang tersimpan di museum ini karena usianya lebih tua dari pelindung yang sekarang dipasang.

Namun, tak ada anjuran mencium Maqam Ibrahim. Nabi hanya memberi contoh mencium Hajar Aswad.
Kotak parfum Kabah yang disimpan di museum ini juga berwarna cokelat tua. Sewaktu masih difungsikan di dalam Kabah, botol-botol parfum yang dipakai untuk mengharumkan ruangan Ka’bah disimpan di kotak itu.

Riwayat Kabah 



Kabah  awalnya dibangun oleh Adam dan kemudian anak Adam, Syist, melanjutkannya. Saat terjadi banjir Nabi Nuh, Kabah ikut musnah dan Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membangun kembali. Al-Hafiz Imaduddin Ibnu Katsir mencatat riwayat itu berasal dari ahli kitab (Bani Israil), bukan dari Nabi Muhammad.
Kabah yang dibangun Ibrahim pernah rusak pada masa kekuasaan Kabilah Amaliq. Kabah dibangun kembali sesuai rancangan yang dibuat Ibrahim tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Saat dikuasai Kabilah Jurhum, Kabah juga mengalami kerusakan dan dibangun kembali dengan meninggikan fondasi. Pintu dibuat berdaun dua dan dikunci.

Di masa Qusai bin Kilab, Hajar Aswad sempat hilang diambil oleh anak-anak Mudhar bin Nizar dan ditanam di sebuah bukit. Qusai adalah orang pertama dari bangsa Quraisy yang mengelola Ka’bah selepas Nabi Ibrahim. Di masa Qusai ini, tinggi Ka’bah ditambah menjadi 25 hasta dan diberi atap. Setelah Hajar Aswad ditemukan, kemudian disimpan oleh Qusai, hingga masa Ka’bah dikuasai oleh Quraisy pada masa Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad membantu memasangkan Hajar Aswad itu pada tempat semestinya.
Dari masa Nabi Ibrahim hingga ke bangsa Quraisy terhitung ada 2.645 tahun. Pada masa Quraisy, ada perempuan yang membakar kemenyan untuk mengharumkan Ka’bah. Kiswah Ka’bah pun terbakar karenanya sehingga juga merusak bangunan Ka’bah. Kemudian, terjadi pula banjir yang juga menambah kerusakan Ka’bah. Peristiwa kebakaran ini yang diduga membuat warna Hajar Aswad yang semula putih permukaannya menjadi hitam.

Untuk membangun kembali Kabah, bangsa Quraisy membeli kayu bekas kapal yang terdampar di pelabuhan Jeddah, kapal milik bangsa Rum. Kayu kapal itu kemudian digunakan untuk atap Kabah dan tiga pilar Kabah. Pilar Kabah dari kayu kapal ini tercatat dipakai hingga 65 H. Potongan pilarnya tersimpan juga di museum.

Empat puluh sembilan tahun sepeninggal Nabi (yang wafat pada 632 Masehi atau tahun 11 Hijriah), Ka’bah juga terbakar. Kejadiannya saat tentara dari Syam menyerbu Makkah pada 681 Masehi, yaitu di masa penguasa Abdullah bin Az-Zubair, cucu Abu Bakar, yang berarti juga keponakan Aisyah.

Kebakaran pada masa ini mengakibatkan Hajar Aswad yang berdiameter 30 cm itu terpecah jadi tiga.
Untuk membangun kembali, seperti masa-masa sebelumnya, Kabah diruntuhkan terlebih dulu. Abdullah AzZubair membangun Ka’bah dengan dua pintu. Satu pintu dekat Hajar Aswad, satu pintu lagi dekat sudut Rukun Yamani, lurus dengan pintu dekat Hajar Aswad. Abdullah bin Az-Zubair memasang pecahan Hajar Aswad itu dengan diberi penahan perak. Yang terpasang sekarang adalah delapan pecahan kecil Hajar Aswad bercampur dengan bahan lilin, kasturi, dan ambar.
Jumlah pecahan Hajar Aswad diperkirakan mencapai 50 butir.

Pada 693 Masehi, Hajjaj bin Yusuf Ath-Taqafi berkirim surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima dari Bani Umayyah yang mulai menjadi khalifah pada 692 Masehi), memberitahukan bahwa Abdullah bin Az-Zubair membuat dua pintu untuk Ka’bah dan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunan Ka’bah.
Hajjaj ingin mengembalikan Kabah seperti di masa Quraisy; satu pintu dan Hijir Ismail berada di luar bangunan Ka’bah. Maka, oleh Hajjaj, pintu kedua–yang berada di sebelah barat dekat Rukun Yamani–ditutup kembali dan Hijir Ismail dikembalikan seperti semula, yakni berada di luar bangunan Ka’bah.

Akan tetapi, Khalifah Abdul Malik belakangan menyesal setelah mengetahui Ka’bah di masa Abdullah bin AzZubair dibangun berdasarkan hadis riwayat Aisyah. Di masa berikutnya, Khalifah Harun Al-Rasyid hendak mengembalikan bangunan Ka’bah serupa dengan yang dibangun Abdullah bin Az-Zubair karena sesuai dengan keinginan Nabi. Namun, Imam Malik menasihatinya agar tidak menjadikan Ka’bah sebagai bangunan yang selalu diubah sesuai kehendak setiap pemimpin. Jika itu terjadi, menurut Imam Malik, akan hilang kehebatannya di hati kaum Mukmin.

Pada 1630 Masehi, Kabah rusak akibat diterjang banjir. Sultan Murad Khan IV membangun kembali, sesuai bangunan Hajjaj bin Yusuf hingga bertahan 400 tahun lamanya pada masa pemerintahan Sultan Abdul Abdul Aziz. Sultan inilah yang memulai proyek pertama pelebaran Masjidil Haram.

Replika mushaf di Museum ini tersimpan pula replika Quran mushaf Usmani yang bacaannya, susunan surah dan ayatnya, serta jumlah surah dan ayatnya dipakai sebagai panduan hingga sekarang. Yang berbeda cuma bentuk hurufnya.

Pada masa Khalifah Usman bin Affan (35 H) dibuatlah standardisasi penulisan Quran. Di masa itu, sahabat sahabat Nabi memiliki mushaf yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan surah dan ayat, maupun jumlah surah dan ayat.

Mushaf yang dimiliki Ibnu Mas’ud, misalnya, tidak menyertakan Surat AlFatihah dan susunan surat yang berbeda. Surah keenam bukanlah Surah Al-An’am, melainkan Surah Yunus.

Quran Ali bin Abi Thalib juga tak memiliki Surah Al-Fatihah. Ali juga tak memasukkan surah ke-13, 34, 66, dan 96 ke mushafnya. “Ukuran mushaf Usman yang asli berbeda dari yang ini.
Ini hanya duplikat,” ujar Abdul Rahman.

Sumber: republika.co.id

Muslim Nusantara Pertama Pergi ke Mekah

Kabah di Mekah, 1885. Foto: Al-Sayyid Abd al-Ghaffar.

Ke kota suci Mekah, umat Islam Nusantara pertama membawa misi sultan, berdagang, dan menuntut ilmu, sekaligus menunaikan ibadah haji.

OLEH: HENDRI F. ISNAENI

DAYA tarik Mekah begitu kuat bagi setiap Muslim, karena kota ini memiliki sejarah panjang. Mekah disebut “kota para nabi.” Adam ialah nabi pertama yang menapakkan kakinya di Mekah. “Ia menunaikan haji di kota itu dan mendoakan keturunannya agar dosa-dosanya diampuni,” kata Zuhairi Misrawi, intelektual muda Nahdlatul Ulama dan penulis buku soal Mekah. Beberapa nabi yang meninggal di Mekah di antaranya Nuh, Hud, Syua’ib, dan Shaleh.

Nabi yang memiliki jasa dan sejarah monumental pada Mekah adalah Ibrahim. Dia dan anaknya, Ismail, membangun Kabah atau rumah Allah (Baitullah). Pasca-Ibrahim, Mekah dikuasai kabilah Jurhum dari Yaman, lalu digantikan kabilah Khuza’a. Penggantinya yang berkuasa paling lama adalah kabilah Quraisy yang dipimpin Qushay, leluhur Nabi Muhammad. “Nabi yang meneruskan jejak juang Ibrahim adalah Muhammad,” kata Zuhairi.

Di Mekah, Muhammad lahir, menerima wahyu, membebaskan Mekah, dan menunaikah haji wada’ (haji perpisahan), yang tak lama kemudian meninggal di Madinah. Pasca-Nabi, Mekah tetap di bawah kendali pemuka Quraisy. “Secara tak tertulis ada semacam kesepakatan bahwa pemimpin Mekah harus mempunyai garis darah dari klan Quraish,” ujar Zuhairi.

Tragisnya, Mekah kemudian diperebutkan dinasti-dinasti Islam hingga jatuh ke tangan Muhammad bin Saud, yang memimpin gerakan Wahabisme. Dan keluarga Saud-lah yang berkuasa atas Mekah hingga saat ini.
Mekah juga disebut Ummul Qura, ibu dari segala tempat di muka bumi. Berziarah ke Mekah berarti mengenang asal-muasal alam semesta.“Karena Mekah tempat pertama yang diciptakan untuk manusia, setiap orang akan tertarik untuk sampai ke kota itu. Ia menjadi kiblat bagi setiap manusia, terutama umat Islam,” ujar Zuhairi.

Selain itu, Mekah adalah sumbu bumi. Martin van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” Ulumul Qur’an Volume II No 5, 1990, menyebut Mekah sebagai pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dan alam supranatural. Di Jawa, masa pra-Islam, pusat-pusat kosmis memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu, serta tempat “angker” lainnya tak hanya diziarahi tapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu) alias kesaktian dan wahyu (legitimasi kekuasaan).

“Setelah orang Jawa mulai masuk Islam,” tulis Martin van Bruinessen, “Mekahlah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama.”

Ludovico di Varthema, orang Roma pertama yang mengunjungi Mekah pada 1503, melihat jamaah haji dari kepulauan Nusantara, yang dia sebut “India Timur Kecil”. Jemaah haji yang dijumpai Varthem itu, menurut M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia, barangkali orang-orang Nusantara yang pertama menunaikan ibadah haji.

“Tetapi, mereka bukan jemaah haji yang sengaja berangkat dari Nusantara untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka adalah pedagang, utusan sultan, dan pelayar yang berlabuh di Jedah dan berkesempatan untuk berkunjung ke Mekah,” tulis Shaleh.

Umat Islam Nusantara yang pertama datang ke Mekah itu bertujuan mencari legitimasi politik, berniaga, menimba ilmu, sekaligus menunaikan ibadah haji.

Berlayar dalam Naungan Perahu Nabi Nuh : Sekelumit Pencarian Teologis


Di bulan yang mulia ini saya mencoba membaca kembali buku 40 hadits (Arbau'na Haditsan) yang dipaparkan Imam Khomeini qs (quddisa ruh-semoga Allah SWT mensucikan ruhnya) dari koleksi buku lama saya. Saya mengibaratkan penulis best seller seperti Anthony Robbins, Napoleon Hill, Dale Carnegie, Stephen R. Covey, Edward D. Bono, Ron Holland, Warren Bennings, dll dibandingkan dengan tulisan Imam Khomeini ibarat yang satu mengurusi bagian-bagian luar, sementara Imam mengupasnya dari dalam sisi halus manusia, yang pada akhirnya memberikan perubahan besar pada sisi luarnya. Psikologi modern menyebut pendekatan Imam dengan istilah spiritual quitoent (kecerdasan spiritual) seperti yang dipopulerkan Donna Zohar vis a vis dengan emotional intelegence (kecerdasan emosi) seperti yang dipaparkan Dale Goleman. Sebenarnya saya ingin sekali berbagi disini mengenai kesan saya tiap kali membaca karya ulama besar ini, namun biarlah dilain kesempatan.

Buku itu sendiri seingat saya menjadi buku pertama yang memperkenalkan saya dengan karya Imam Khomeini. Buku itu pula yang membukakan pikiran saya terhadap mazhab Ahlil Bayt. Sebuah mazhab yang sebelumnya ditanamkan kepada saya sebagai paham yang sesat, pada saat aktif dalam kelompok pengajian tertentu. Kelompok pengajian itu sendiri mengklaim berafiliasi dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, Mesir, yang didirikan oleh Syekh Hasan Al Banna, dengan sistem sel atau jaringan.

Terus-terang saja sejujurnya saya tidak yakin kalau apa yang mereka lakukan mewarisi sikap-sikap seperti gerakan al-Ikhwan. Setahu saya, Syekh Hasan Al Banna, selaku pendiri al-Ikhwan di Mesir, adalah pribadi mulia yang amat mementingkan persaudaraan muslim daripada perbedaan pandangan dalam umat Islam. Itulah sebabnya Zionisme amat tidak menyukainya, dan bisa jadi hal inilah yang mungkin menjadi sebab alasan mengapa beliau harus disingkirkan-gugur sebagai syahid.

Kisah yang sering dijadikan contoh akan sikap toleransi yang tinggi Syekh Hasan al-Banna adalah pada saat beliau melihat keributan ummat yang memperdebatkan jumlah rakaat sholat tarawih di sebuah perkampungan di Mesir. Pada saat ditanya mengenai pendapatnya mengenai hal tersebut, secara bijaksana ia mengatakan bahwa sholat tarawih adalah hal yang sunnah dalam agama, sementara bertengkar dan berpecah belah diantara ummat adalah hal yang haram. Mengapa meributkan sesuatu yang sunnah jika pada saat yang sama hal yang wajib saja kita tinggalkan-ukhuwwah islamiyyah. Tidak heran dari al-Ikhwan ini lahirlah para pejuang Islam yang sangat heroik seperti Sayyid Qutb, Muhammad al-Ghazali, Zaenab al-Ghazali, Ali Garishah, dll.

Saat di pengajian usroh tersebut dalam sebuah kesempatan, saya berdebat cukup panjang dengan pembimbing saya (murabbi). Seingat saya, saat itu saya tidak setuju dengan sikapnya yang menghakimi paham tertentu tanpa memiliki bukti-bukti yang akurat mengenai paham tersebut. Saya benar-benar tertekan. Tanpa pikir panjang saya tinggalkan kelompok yang selama hampir tiga tahun memberikan pemahaman baru mengenai keberagaman sejak saya duduk di kelas dua SMA.

Selama mengikuti kelompok tersebut saya sempat under pressure, dan amat tertekan. Saya pusing dan bingung menjalani hidup. Cukup sering saya harus banyak mengorbankan waktu untuk sekedar kumpul-kumpul mengkaji agama dalam kelompok tersebut, yang menurut saya sangat kering nuansa spiritualitasnya. Pengajian-mereka menyebutnya tarbiyah- haruslah diprioritaskan dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Saya masih ingat betul kami harus datang pada malam hari untuk mabit-menginap bersama, membuat training merekrut anggota baru, pertemuan rutin mingguan dll.

Pada akhirnya, dengan berat hati setelah tiga tahun bergabung, saya harus tinggalkan pula rekan-rekan yang telah menjalin hubungan persaudaraan yang cukup erat tersebut. Perbedaan pandangan akhirnya membuat kami harus saling menjauh. Saat itu saya dengar bahwa teman-teman dilarang berkomunikasi dan dekat dengan saya karena khawatir mereka akan terpengaruh dan meninggalkan kelompok yang telah cukup solid ia bangun. Namun bersyukur alhamdulillah, tetap saja salah satu rekan saya, Hartawan Hari Permadi, akhirnya mengikuti jejak saya berwilayah Ahlil Bayt as.

Khusus untuk Hari, sahabat saya hingga kini, dalam kesempatan yang baik ini saya ingin mengucapkan selamat atas pernikahan yang dilangsungkan tepat di hari mulia, kelahiran Imam Mahdi as. 1425 H, kemarin. Mudah-mudahan langkah-langkahnya mendekatkan diri kepada Allah kian dimudahkan, begitupun kita semua.

Kabar terakhir yang sempat saya dengar tentang murabbi, ia sempat menjadi orang yang hilang ingatan untuk beberapa saat. Sempat jatuh dan ditemukan di salah satu rel kereta api di salah satu daerah Jakarta Selatan. Saya sungguh sedih mendengar hal itu. Saya berharap dengan segala peristiwa yang dialaminya itu ia dapat berfikir lebih terbuka dan bijaksana.

Sementara teman saya yang lain, tetap berpendirian bahwa apa yang saya jalani merupakan jalan yang tidak jelas dan masih diragukan. Kadang saya sering tertawa lucu mendengar hal ini. Apakah dia tahu dan sudah membuka tabir-tabir jalan Allah sehingga yakin bahwa jalan ini benar, sementara jalan lainnya meragukan. Menurut saya pernyataan itu seharusnya, sejauh yang ia yakini, bahwa jalan yang ia tempuh adalah yang paling benar, sementara jalan lainnya ia belum dan tidak berminat mengetahuinya lebih jauh-ini pernyataan yang lebih tepat menurut saya. Bagi saya jalan menuju Allah seperti yang sering kita dengar dari hadits adalah sebanyak nafasnya manusia. Masing-masing kita diberikan potensi yang beragam untuk mendekati dan berbakti kepada-Nya.

Dalam satu sisi saya bersimpati dengan al-Ikhwan, tapi saya harus menentukan pilihan kepada satu model alternatif yang tidak saja memiliki basis teologis yang kuat namun dapat menjawab tuntutan zaman dan memuasi kedahagaan saya terhadap spiritualitas.

Sejauh ini perjalanan saya untuk mendapatkan kepuasan mengenai penjelasan agama telah mempertemukan saya dengan mazhab Ahlil Bayt. Entah jika dalam perjalanan hidup selanjutnya nanti ada orang-orang yang secara argumentatif dapat menunjukan kelemahan mazhab ini, saya pun akan menentukan sikap. Ada banyak orang yang dilandasi ketidaktahuan dan kebencian berusaha mengingatkan saya agar menjauhi dan meninggalkan ini, setelah cukup lama saya berinteraksi. Tapi karena tidak memiliki argumen yang memadai dan dilandasi sikap-sikap yang tidak rasional-kebencian, saya abaikan saja.

Diluar itu, bagi saya mazhab atau kelompok bukanlah tolak ukur sebuah kebenaran dan merupakan hal yang penting,. Sebaliknya konsistensi antara keyakinan yang telah kita yakini dengan sikap hidup kita sehari-harilah yang lebih penting daripada memperbincangkan relativitas kebenaran atas teks atau dogma agama. Betapapun kita mengklaim pendapat kita adalah yang paling benar, hal itu tetap dalam kerangka relativitas, paling tidak atas sumber-sumber ajaran agama.

Sejauh ia telah berusaha mengetahui pandangan tertentu dan ia konsisten terhadap yang ia yakini,bagi saya itu sudah cukup. Kalaupun nantinya dia salah, saya yakin Allah akan memaafkan karena ia telah berusaha keras untuk memahami dan mencari keyakinan tersebut. Apalah artinya orang yang hanya membanggakan sebagai pengikut mazhab tertentu tetapi perilakunya sangat jauh dari nilai-nilai yang diperjuangkan atau diyakini. Saya juga banyak menyaksikan bahwa ada orang-orang yang mengaku sebagai pencinta Ahlil Bayt namun dalam hal-hal syariat saja yang diwajibkan oleh Allah SWT dilalaikan. Pada akhirnya kita semua akan mempertanggungjawabkan seluruh pilihan yang telah kita tentukan berikut konsekuensinya dihadapan-Nya nanti. Saya berlindung kepada Allah SWT dari sikap-sikap yang mendua (ambivalen) seperti itu.

Dalam mazhab Ahlil Bayt, terus terang sejauh ini saya tidak dapat menyangkal hujjah maupun argumen teologis yang disampaikan, yang menurut saya sangat kuat. Dengan pengetahuan yang sangat terbatas, saya terlalu minim untuk menjelajahi mazhab ini. Saya merasakan kebodohan yang amat sangat untuk mengatakan bahwa saya telah mengetahuinya dengan seksama. Masih begitu banyak hal yang tidak saya ketahui dalam ajaran mulia ini. Namun dari semuanya, yang jelas, mazhab ini berdiri atau didasari atas kecintaan dan keberpihakan kepada Ahlil Bayt yang secara literatur dalam sumber-sumber Islam merupakan sosok yang paling representatif menjadi penerus ajaran Rasulullah Saaw. Meruntuhkan argumen ini amatlah sulit ditengah banyaknya keterangan-keterangan dalam al-Quran dan hadis mengenai kedudukan dan kemuliaan mereka.

Secara spiritual saya pun terpuaskan dengan muatan dalam mutiara-mutiara do’anya terutama dalam ash-Shahiffah as-Sajjadiyyah, yang merupakan rintihan dari Imam Ali Zaenal Abidin, putra al-Hussein yang menyaksikan langsung pembantaian keluarganya di Karbala. Perhatikan saja misalnya terjemahan dari do’a Kumayl, Munajat Sya’baniyyah, Arafah, Abu Hamzah ats-Tsimali dll. Seandainya saja saya memiliki akses akan bahasa Arab, tentu saya akan lebih dapat memaknai pesan yang terkandung dalam do’a tersebut. Menurut salah satu guru saya, do’a-do’a tersebut bukan saja sebagai berisi permohonan semata, namun juga berisi tuntunan akan ajaran-ajaran tauhid yang amat tinggi, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang benar-benar berusaha keras memahaminya.

Saya pun tergoncang dengan kemampuan mereka dalam menjawab persoalan-persoalan yang dialami masyarakat modern. Pribadi seperti Imam Khomeini misalnya merupakan produk dari madrasah Ahlil Bayt as yang selama bertahun-tahun melahirkan ulama-ulama besar, walaupun mendapatkan tekanan dan pelarangan. Dalam surat terbukanya kepada Gorbachev, presiden Uni Sovyet pada saat masih berdiri, Imam mengundang para pemikir atau filosof cerdik pandai dari Uni Sovyet untuk datang ke Hauzah Qum mendiskusikan persoalan mengenai atheisme dll. Ini menunjukan keluasan dan keterbukaannya akan disiplin ilmu lain semisal filsafat dll. Salah satu bukti yang tidak terbantahkan masyarakat di abad 20 ini adalah keberhasilan revolusi Islam di Iran yang dipimpinnya, yang kini dilanjutkan oleh Sayyidul Qo’id, Imam Ali Khamenei, semoga Allah SWT memanjangkan umur dan selalu menganugerahkan kesehatan kepadanya.

Pada awalnya sebenarnya saya ingin menulis mengenai kesan saya dalam membaca buku Imam Khome’ini, ternyata saya malah menuliskan sedikit cerita mengenai pengalaman dalam pencarian teologis saya yang tak pernah henti.

Di mazhab ini justru saya malah menjadi lebih moderat dan toleransi dalam melihat perbedaan yang ada dalam ummat. Saya menghormati pilihan orang lain yang berbeda dengan saya. Saya tidak mengklaim bahwa apa yang saya yakini menjadi satu-satunya jalan keselamatan. Bahkan lebih jauh, saya meyakini bahwa jalan-jalan yang ditempuh dengan beragam pandangan itu bermuara pada satu tujuan. Dengan demikian, bila diibaratkan sebuah jalan maka ada beragam jalan menuju ke Roma.

Sungguh tepat jika hadist yang menyebut mengikuti mereka seperti berlayar di dalam perahu Nabi Nuh as. Kalau dalam masa Nabi Nuh as para pengikutnya selamat dari hempasan ombak dan goncangannya, maka kini para pengikut Ahlil Bayt as. jika mereka komitmen berwilayah maka akan terbebaskan dari ombak dan goncangan hidup yang akan dijalani. Pertanyaannya, sudahkan kita berwilayah kepada mereka?

Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad

Sumber: http://taufiqhaddad.blogspot.com/

Wasiat Nabi Muhammad saw Yang Terabaikan


“Aku tinggalkan untuk kalian dua amanat, selama kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya. Salah satunya lebih agung dari yang lain. Yakni Kitab Allah (al-Qur’an), tali rahmat-Nya yang terbentang dari langit hingga bumi. Yang kedua adaah ‘itraty (kerabatku), yakni ahli baitku (keluargaku). Keduanya tidak akan berpisah di sisiku hingga masuk di haudh (telaga surga). Perhatikanlah bagaimana kalian akan bersikap dengan kedua amanat itu?” Demikian terjemahan redaksi hadits Nabi Muhammad saw dalam Sunan Turmidzi dari sekian banyak redaksi-redaksi hadits yang mempunyai makna hampir sama dan dapat dipastikan kesahihannya.

Namun dalam kenyataannya wasiat tersebut hampir tidak pernah disinggung dan “dihilangkan” dalam pendidikan dan pengajaran umat Islam. Hadits wasiat tersebut biasa dikenal dengan sebutan hadits al-Tsaqalain, dua perkara berat yang diamanahkan Rasulullah sw kepada umatnya. Hadits di atas bagi mayoritas kaum muslim mungkin terdengar baru bahkan mungkin dianggap hadits lemah karena galibnya mereka didengarkan, diajarkan, dan didoktrin dengan riwayat yang lain, yaitu “Wahai manusia, sesungguhnya aku meninggalkan dua hal untuk kalian. Apabila kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya.Keduanya adalah Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”.
.
Padahal jika anda mempelajari dan mengetahui ilmu hadits, anda akan temukan bahwa kedua hadits yang kontradiksi tersebut memiliki perbedaan kualitas yang menonjol. Hadits yang pertama memiliki kualitas yang dapat diandalkan sedangkan hadits terakhir dapat dipastikan memiliki kualitas jauh lebih rendah dan lemah dari hadits pertama. Tidak percaya? Coba cari penelitian, takhrij kedua hadis tsaqalain di internet. Anda akan menjumpai banyak penelitan dan takhrij atas hadist tersebut yang dapat memahamkan kita semua meski anda bukan orang yang mumpuni masalah hadits. Anda dapat juga mengkrosceknya dengan puluhan kitab riwayat, rijal hadits yang tersebar gratis di dunia maya untuk menghilangkan rasa ketidakpercayan anda.

Tidak diketahui secara pasti sejak kapan dan kenapa wasiat Nabi Muhammad saw tersebut tidak menyebar luas sebagaimana riwayat lemah kedua yang sering kita dengar sewaktu sekolah, kuliah bahkan ketika khatib-khatib Jum’at mulai memerintahkan kita semua untuk bertakwa kepada Allah swt. Namun jika merunut sejarah peradaban Islam, ada masa-masa di mana ahli bait, keluarga Nabi Muhammad saw beserta para pengikutnya ditindas, dikejar-kejar bahkan dibunuh oleh pihak pemegang kekuasaan. Suatu masa dimana menyebut nama mereka merupakan sebuah tindakan kriminal yang dapat membunuh si pengucapnya. Yunus bin Ubaid berkata: “Aku bertanya kepada Hasan al-Basri: ‘Wahai Abu Sa’id, mengapa engkau katakan bahwa Rasululah saw bersabda demikian… demikian, sedangkan engkau sendiri tidak mengetahui asal-usulnya?’. Kemudian Hasan al-Basri menjawab: ‘Wahai kemenakanku, engkau bertanya kepadaku tentang sesuatu yang orang lain belum pernah menanyakannya padaku, bukankah engkau mengerti bagaimana keadaan zaman yang kita hadapi sekarang ini, … ketahuilah … setiap engkau mendengar aku berkata “Rasulullah saw bersabda”, maka hadits itu adalah dari riwayat Ali bin Abi Thalib ra hanya saja sekarang ini kita berada dalam zaman di mana tidak boleh menyebut nama Ali bin Abi Thalib”. Di masa-masa itulah kemungkinan besar wasiat Nabi Muhammad saw mulai terpinggirkan dan tidak diajarkan pada umat Islam.

Apakah wasiat Nabi Muhammad saw yang merupakan bentuk pengutamaan beliau atas keluarganya seperti halnya tindakan nepotisme sahabat Utsman yang didorong oleh rasa kemanusiaannya, yang akhirnya kebijakan tersebut membunuh dirinya sendiri?

“Itulah (karunia) yang Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu upah untuk itu kecuali kasih sayang kepada keluarga”. dan barangsiapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan pula baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Berterimakasih.” (al-Syura: 23).
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33).

Ayat di atas dan banyak hadits-hadits lain menunjukkan bahwa perintah Nabi Muhammad saw kepada semua umat Islam agar mencintai, mengutamakan, mengikuti, bahkan memasukkan ahli bait Nabi Muhammad saw dalam bacaan shalawat merupakan bagian dari perintah Allah Maha Bijaksana yang disampaikan melalui nabi-Nya.

Untuk keperluan perintah tersebut, Allah dengan cara-Nya yang misterius menyiapkan semua yang diperlukan. Allah menciptakan pribadi-pribadi suci berkualitas dari keturunan langsung Nabi Muhammad saw untuk menjaga umat Islam sampai akhir zaman. Merekalah yang disebut ahli bait Muhammad saw (setidaknya yang menjadi kesepakatan seluruh umat Islam adalah Nabi Muhammad saw, Sayyidah Fatimah, Ali, dan kedua putranya Hasan dan Husain). Kedudukan tinggi mereka di sisi Allah dan Nabi-Nya diketahui dengan pasti tidak hanya oleh kalangan ulama biasa melalui banyaknya riwayat Nabi Muhammad tentang mereka. Kalangan ulama khash, sebagai pemegang rahasia Tuhan, pun mengetahui kedudukan mereka dengan jelas. Sebut saja Ibnu Arabi, ia memandang bahwa generasi Fatimah al-Zahra sebagai generasi suci secara dzati. “Sedekat-dekat manusia kepada Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib, imam semesta dan pemegang rahasia para nabi seluruhnya”; “Akar dan pokok pohon Tuba berada di kediaman Ali bin Abi Thalib”, adalah beberapa pengakuan beliau akan keutamaan dan keunggulan Ahli bait Nabi Muhammad saw.

Contoh lainnya adalah Jalal al-Din al-Rumi. Ia menjuluki Ali bin Abi Thalib dengan lebih dari 50 gelar dalam Matsnawinya. Ali sebagai kebanggaan setiap Nabi; sebagai kebanggaan setiap wali; singa Tuhan; cahaya di atas cahaya; yang tenggelam dalam cahaya Allah, dan lain sebagainya.

Bahkan ketika mengomentari peristiwa pembunuhan Husain as, satu kejadian selain pembunuhan Yahya bin Zakariya as yang menyebabkan langit menangis darah, ia mengatakan: “Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita bagi satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad? Bagaimana bisa tragedi ini dianggap ringan oleh seorang mukmin hakiki? Kecintaan kepada anting (Husain) sama dengan kecintaan kepada telinga (Nabi Muhammad saw). Dalam pandangan mukmin sejati, duka cita kepada ruh murni lebih agung ketimbang ratusan banjir pada (zaman) Nuh”.

Akhirnya, Tuhan memberikan dua pilihan pada kita semua. Mengecewakan Nabi Muhammad saw atau mencintai ahli baitnya di zaman manusia mendapat kebebasan berpikir, bersuara dan berkeyakinan seperti sekarang ini.

Biografi Nabi Ibrahim


Nabi Ibrahim hidup sekitar 1997-1822 SM, bersama anaknya, Ismail terkenal sebagai pembangun ka’bah. Ia diangkat menjadi nabi sekitar tahun 1900 SM untuk kaum Kal’an di Kaldaniyyun Ur, kini Negara Iraq. Ibrahim Salah Satu Nabi dan Rasul Alloh yang mendapat keistimewaan Alloh selain nabi Muhammad saw, nabi Isa dan nabi Musa.

Nabi Ibrahim adalah putera Aaazar bin Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh A.S. Ia dilahirkan di “Faddam A’ram” dalam kerajaan “Babylon” . Kerajaan Babylon saat itu kerajaan yang makmur, sejahtera. Namun dalam kehidupan beragama mereka berada di tingkat jahiliyah. tidak mengenal Tuhan, dan menyembah patung-patung yang mereka pahat sendiri dari batu-batu. Babylon diperintah Raja Namrud bin Kan’aan yang menjalankan pemerintaan dengan tangan besi dan seorang diktaktor. Kekuasaan, kemewahan,kekayaan yang besar ternyata membuatnya semakin tidak puas dengan apa yang diperolehnya. Ia kemudian menasbihkan diri menjadi Tuhan yang harus disembah rakyatnya. Di tengah-tengah masyarakat yang sedemikian buruknya lahirlah Nabi Ibrahim dari seorang ayah yang bekerja sebagai pemahat dan pedagang patung. Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjual patung-patung buatannya, namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh Tuhan kepadanya ia tidak bersemangat untuk menjajakan barang-barang itu bahkan secara mengejek ia menawarkan patung -patung ayahnya kepada calon pembeli dengan kata-kata:” Siapakah yang akan membeli patung-patung yang tidak berguna ini? “
Sebelum memerangi kekafiran, Nabi Ibrahim lebih dulu mempertebal iman dan keyakinannya, menguatkan hatinya serta membersihkan keraguan dengan memohon kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang sudah mati. Allah mengabulkan permohonan Nabi Ibrahim lalu diperintahkanlah ia menangkap empat ekor burung lalu setelah memperhatikan dan meneliti bahagian tubuh-tubuh burung itu, memotongnya menjadi berkeping-keping mencampur-baurkan kemudian tubuh burung yang sudak hancur-luluh dan bercampur-baur itu diletakkan di atas puncak setiap bukit dari empat bukit yang letaknya berjauhan satu dari yang lain. Setelah dikerjakan apa yang telah diisyaratkan oleh Allah itu, diperintahnyalah Nabi Ibrahim memanggil burung-burung yang sudah terkoyak-koyak tubuhnya dan terpisah jauh tiap-tiap bahagian tubuhnya. Dengan izin Allah datanglah kempat ekor burung itu dalam keadaan utuh bernyawa seperti sedia kala begitu mendengar seruan dan panggilan Nabi Ibrahim kepadanya. Tercapailah apa yang diinginkan Nabi Ibrahim untuk mententeramkan hatinya dan menghilangkan keraguan di dalam iman dan keyakinannya.

Setelah mantap iman, tauhid serta kayakinan tentang keesaan Alloh, Nabi Ibrahim kemudian mulai berdakwah di awali dari kelaurganya. Dengan sikap yang sopan dan tetap menunjukkan rasa hormat kpada orang tuanya, ia menyampaikan bahwa ia diutuskan oleh Allah sebagai nabi dan rasul dan bahwa ia telah diilhamkan dengan pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh ayahnya dan meminta orang tuanya untuk tidak menyembah patung. Ayahnya kemudian murka.

Karena Ibrahim telah berani mengecam dan menghina kepercayaan ayahnya bahkan mengajakkannya untuk meninggalkan kepercayaan itu dan menganut kepercayaan dan agama yang ia bawa. Ia tidak menyembunyikan murka dan marahnya tetapi dinyatakannya dalam kata-kata yang kasar. Nabi Ibrahim justru diusir dari rumahnya.

Namun Ibrahim menerima amarah ayahnya dengan sikap tenang. Ibrahim justru berdoa untuk ” Oh ayahku! Semoga engkau selamat, aku akan tetap memohonkan ampun bagimu dari Allah dan akan tinggalkan kamu dengan persembahan selain kepada Allah. Mudah-mudahan aku tidak menjadi orang yang celaka dan malang dengan doaku utkmu.” Lalu keluarlah Nabi Ibrahim meninggalkan rumah ayahnya dalam keadaan sedih dan prihati karena tidak berhasil mengangkatkan ayahnya dari lembah syirik dan kufur.

Penolakan ayahnya terhadap dakwahnya dengan cara yang kasar dan kejam itu tidak mempengaruhi ketetapan hatinya untuk terus memberi penerangan kepada kaumnya. Dalam setiap kesempatan Ia selalu mengajak kaumnya berdialog tentang kepercayaan yang mereka anut dan ajaran yang ia bawa, namun Ia tetap tidak berdaya menyadarkan umatnya.

Nabi Ibrahim kemudian ingin membuktikan kepada kaumnya dengan perbuatan yang nyata yang dapat mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa berhala-berhala dan patung-patung mereka betul-betul tidak berguna bagi mereka dan bahkan tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Ketika kota sudah sunyi, dengan membawa sebuah kapak ditangannya ia pergi menuju tempat beribadatan kaumnya Ibrahim menghancurkan semua patung-patung yang ada kecuali Patung yang paling besar. Pada leher patung tersebut dikalungkan sebuah kapak.

Melihat semua patung hancur, penduduk Babylon terperanjat dan menuduh Ibrahim yang menghancurkan patung-patung tersebut. Ibrahim kemudian ditangkap serta di adili secara terbuka disaksikan seluruh rakyat. Ketika Nabi Ibrahim datang menghadap para hakim yang akan mengadili ia disambut oleh para hadirin dengan teriakan kutukan dan cercaan, menandakan sangat gusarnya para penyembah berhala terhadap beliau yang telah berani menghancurkan persembahan mereka.

Ibrahim kemudian ditanya oleh seorang hakim. “Apakah engkau yang menghancurkan tuhan-tuhan kami?” Nabi Ibrahim menjawab: “Patung besar yang berkalungkan kapak di lehernya itulah yang melakukannya. coba tanya saja kepada patung-patung itu siapakah yang menghancurkannya.”Para hakim terdiam sejenak, melihat yang satu kepada yang lain, berbisik-bisik, Kemudian hakim berjata:” Engkau kan tahu bahwa patung-patung itu tidak dapat bercakap dan berkata mengapa engkau minta kami bertanya kepadanya?” Berkata Nabi Ibrahim kepada para hakim itu:” Jika demikian halnya, mengapa kamu sembah patung-patung itu, yang tidak dapat berkata, tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa manfaat atau menolak mudharat, bahkan tidak dapat menolong dirinya dari kehancuran dan kebinasaan?
Dari sidang tersebut Ibrahim kemudian di hukum dengan dibakar hidup-hidup. Maka seluruh rakyat berduyun-duyun mengumpulkan kayu bakar. Ibrahim kemudian di bakar dalam kobaran api yang sangat besar dalam keadaan terbelenggu. Namun dengan kekuasaan Alloh Ibrahim tetap hidup dan tidak sedikitpun kulitnya yang lecet terbakar. Semua orang tercenggang dalam rasa heran. Mukjizat yang diberikan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi Ibrahim sebagai bukti nyata kebenaran ajarannya dan membuka mata hati banyak orang untuk memikirkan kembali ajakan Nabi Ibrahim dan dakwahnya sehingga banyak masyarakat yang menjadi pengikut Nabi Ibrahim.

Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi-Nabi Sebelumnya


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Adam As.

Aku akan bertanya kepadamu, siapkanlah jawabannya! Ujar si Yahudi itu.

“Sampaikan pertanyaanmu, tegas Sayyidina Ali bin Abi Thalib AS.
Yahudi berkata, “Lihatlah Adam as, Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadanya. Apakah Allah SWT berbuat yang sama terhadap Muhammad?”

Sayyidina Ali AS menjawab,“Ya”. Ketika Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam as bukan berarti mereka menyembah Adam as, tetapi mereka mengakui keutamaan Adam as dan karena kasih sayang Allah SWT kepadanya. Namun Nabi Muhammad SAWW telah diberi kehormatan yang lebih dari itu. Allah SWT bersholawat atasnya di alam jabarut dan juga malaikat seluruhnya. Bahkan Allah SWT menjadikan sholawat atasnya sebagai suatu ibadah bagi orang-orang mukmin. Itu adalah suatu keistimewaan Muhammad SAWW, wahai orang Yahudi.” Jawab Sayyidina Ali AS.

Sesungguhnya Allah SWT telah mengampuni Adam As setelah melakukan kesalahan,” kata si Yahudi.

“Benar. Allah SWT memberi ampunan kepada Muhammad SAWW tanpa Beliau melakukan kesalahan. Allah azza wa jalla telah berfirman, “Allah hendak mengampunimu dosa yang telah lalu dan yang akan datang.”(QS. Al-Fath : 2)

Sesunggguhnya Muhammad SAWW di hari kiamat kelak tidak akan membawa dosa dan tidak dituntut karena dosa.


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Idris As

Yahudi berkata , “Lihatlah Idris as, Allah SWT telah mengangkatnya ke tempat yang tinggi dan memberinya makanan surga setelah dia wafat.”

“Ya, itu benar. Jawab Sayyidina Ali AS. Muhammad SAWW telah diberi sesuatu yang lebih dari itu.” Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman:

Dan telah kami angkat sebutanmu (QS. Alam Nasyrah : 4)

Itu sudah cukup untuk dijadikan sesuatu kemuliaan. Kalau Idris as diberi makanan surga setelah dia wafat, maka Muhammad SAWW diberi makanan surga ketika dia hidup di dunia.Pernah ketika Beliau lapar, datang Malaikat Jibril menemuinya membawa hidangan dari syurga. Hidangan itu ternyata bertahlil, bertasbih, bertahmid dan bertakbir di tangan Beliau. Kemudian Beliau memberikannya kepada Ahlulbaitnya, lalu hidangan itu juga bertahlil, bertasbih, bertahmid dan bertakbir.

Malaikat Jibril berkata bahwa hidangan ini hadiah dari surga yang diberikan Allah SWT khusus kepada Muhammad SAWW. Hidangan ini tidak layak diberikan kecuali kepada Nabi dan penggantinya.

Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Nuh As

“Lihatlah Nabi Nuh as. Dia bersabar karena Allah SWT, dan dia memaafkan kaumnya disaat mereka mendustakannya.” Kata Si Yahudi.

“Ya, itu benar!” jawab Sayyidina Ali AS. “Demikian pula Nabi Muhammad SAWW bersabar karena Allah SWT telah memaafkan kaumnya pada saat mereka mendustakannya, mengusirnya dan melemparinya dengan kerikil. Abu Lahab pernah meletakkan diatas kepalanya kotoran kambing, lalu Allah SWT memerintahkan Malaikat Ja’abil (malaikat penjaga gunung) untuk menemui baginda Muhammad SAWW. Malaikat Ja’abil mengatakan kepada baginda Muhammad SAWW “bahwa dirinya diperintahkan oleh Allah SWT untuk mentaatimu. Apabila Anda ingin agar aku menghimpit mereka dengan gunung, maka akan aku binasakan mereka,” kata Ja’abil.

“Aku diutuskan sebagai rahmat,” ucap Beliau. Nabi bahkan mendoakan mereka: “Ya, Allah SWT, berikan umatku ini hidayah karena mereka belum mengetahui.”

Orang Yahudi itu kembali berkata, “Nabi Nuh as berdoa kepada Tuhannya, lalu turunlah hujan deras dari langit.”

“Ya itu benar. Nabi Nuh as berdoa dalam keadaan marah sementara hujan deras diturunkan Allah SWT karena kasih sayang,” jawab Sayyidina Ali AS.“ Ketika Nabi Muhammad SAWW hijrah ke Madinah, datang penduduk Madinah pada hari Jumaat kepada Beliau. “ Wahai Rasulullah, sudah lama hujan tidak turun. Pohon-pohon menguning (kering), dedaunan berjatuhan,” keluh mereka. Lalu Beliau mengangkat kedua tangannya sehingga nampak putih lipatan pangkal kedua tangannya. Langit yang semula bersih tidak berawan tiba-tiba menjadi gelap dan turunlah hujan yang deras, begitu derasnya sehingga seorang pemuda yang gagah perkasa hampir mati ketika pulang ke rumahnya karena derasnya hujan yang mengakibatkan banjir. Kejadian itu berlangsung selama seminggu.

Mereka kembali mendatangi Beliau pada hari Jumaat berikutnya, “ Ya Rasulullah, rumah-rumah menjadi hancur, kenderaan-kenderaan terhenti!” keluh mereka lagi. Beliau tersenyum sejenak,” Beginilah cepatnya manusia bosan,” kata Beliau. Lalu Beliau berdoa, “Ya Allah SWT, jadikanlah ini semua menguntungkan kita dan tidak membahayakan kita.”

Maka hujanpun mulai reda di sekitar kota Madinah sendiri hujan berhenti secara total. Itulah mukjizat Nabi Muhammad SAWW.”


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Hud As

Yahudi berkata “Lihatlah Nabi Hud as, karena Allah SWT telah menolongnya dengan mengirimkan angin, apakah Allah SWT berbuat yang serupa terhadap Nabi Muhammad?” tanyanya.

“Ya itu benar!” jawab Sayyidina Ali AS. “ Nabi Muhammad SAWW telah diberi sesuatu yang lebih dari itu. Allah SWT juga telah menolongnya dari musuh-musuhnya dengan angin dalam perang Khandaq. Allah SWT mengirimkan angin kencang sehingga kerikil-kerikil berterbangan, lebih dari itu Allah SWT memperkuatkan pasukan Beliau dengan delapan puluh ribu pasukan malaikat. Allah SWT berfirman:

Wahai orang-orang beriman, ingatlah nikmat Allah SWT atas kalian, ketika datang kepada kalian tentera-tentera, lalu Kami kirim kepada mereka angin dan pasukan yang tidak kalian lihat. (QS. Al- Ahzab:9)

Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Saleh As

Orang Yahudi berkata, “Lihatlah Nabi Saleh as, “ujar Yahudi. “Allah SWT telah menciptakan untuknya seekor unta dari batu sebagai mukjizat.”

Sayyidina Ali AS menjawab, “Ya itu benar.” Kemudian Beliau melanjutkan, “Nabi Muhammad SAWW telah diberikan sesuatu yang lebih dari itu. Kalau unta Nabi Saleh tidak berbicara dan tidak bersaksi akan kenabiannya, maka ketika kita bersama Beliau dalam sebuah peperangan, tiba-tiba datang seekor unta mendekatinya bersuara dan berbicara, “Ya Rasulullah, sesungguhnya si fulan telah menggunakanku sampai aku besar dan kini hendak menyembelihku. Aku berlindung kepadamu darinya. Orang itu memberikannya kepada Beliau.

Juga ketika kami bersama Beliau, tiba-tiba datang seorang Arab dari pendalaman menuntun untanya. Orang pendalaman itu hendak dipotong tangannya karena ulah para saksi yang telah memberikannya saksi palsu. Kemudian unta itu berbicara dengan Beliau, “Ya Rasulullah, sesungguhnya orang ini tidak berdosa. Para saksi yang ada ini memberikan kesaksian secara paksa. Sebenarnya pencuriku adalah seorang Yahudi.”


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Ibrahim as

Orang Yahudi berkata, “Lihatlah Nabi Ibrahim as, karena dia telah mengetahui Allah SWT dengan perenungan (I’tibar). PembuktianNya telah meliputi keimaman terhadap-Nya.”

Sayyidina Ali As berkata,“Ya benar. Nabi Muhammad SAWW telah diberikan sesuatu yang lebih dari itu. Beliau telah mengenal Allah SWT dengan i’tibar sebagaimana Nabi Ibrahim as. Namun, Nabi Ibrahim as mengenal Allah SWT dalam usia lima belas tahun sementara Nabi saw mengenal-Nya semenjak usia tujuh tahun. Pernah sejumlah pedagang Nasrani datang. Mereka menurunkan dagangan mereka di antara bukit Shafa dan Marwa.’ Sebagian dari mereka melihat Beliau, Muhammad SAWW lalu mereka mengetahui sifat, karakter, dan berita akan kebangkitannya sebagai nabi dan mereka mengetahui beberapa mukjizatnya.

Para pedagang Nasrani itu bertanya kepada Muhammad SAWW “Wahai anak kecil, siapa namamu?” Beliau menjawab, “Muhammad.” Mereka bertanya , “Siapa nama ayahmu?” Beliau menjawab,”Abdullah.” Mereka bertanya, “Apakah nama ini (mereka bertanya sambil menunjuk bumi)?” Beliau menjawab, “Bumi.”

Mereka bertanya, “Apakah nama itu (mereka bertanya sambil menunjuk langit )?” Beliau menjawab, “Langit.” Mereka bertanya, “Siapa yang menciptakan bumi dan langit?” Beliau menjawab, “Allah SWT.” Lalu Muhammad SAWW menyentak mereka, “Apakah kalian meragukanku tentang Allah SWT? Celaka kamu, wahai Nasrani.” Beliau telah mengetahui Allah SWT dengan i’tibar pada saat kaumnya kufur, bersumpah dan meyembah patung-patung, tetapi Beliau berkata, “Tiada Tuhan selain Allah SWT.”

Orang Yahudi berkata, “Nabi Ibrahim as telah terhijabi dari mata Namrud sebanyak tiga kali.”

Sayyidina Ali AS berkata, “Ya benar. Namun Nabi Muhammad SAWW telah terhijabi dari mata orang-orang yang hendak membunuhnya sebanyak lima kali. Sama tiga jumlahnya dan bahkan lebih dua.

Kelima hijab yang dimaksudkan adalah ketika Allah SWT berfirman,

"Dan Kami jadikan penutup dihadapan mereka", adalah hijab (penutup) yang pertama. “Dan dari belakang mereka,” adalah hijab yang kedua. Lalu Kami tutup mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat, (QS. Yaasin: 9) adalah hijab yang ketiga.

Hijab yang keempat adalah firman Allah SWT yang berbunyi,

"Dan jika kamu membaca Al-Quran, Kami jadikan di antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman dengan akhirat sebuah hijab yang menutupi" ( QS. Al-Isra’ :45)

Sedangkan hijab yang kelima adalah firman Allah SWT yang berbunyi, Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. (QS.Yaasin:8)

Orang Yahudi berkata, “Sesungguhnya Nabi Ibrahim as telah membungkam mulut orang kafir dengan kenabiannya.”

Sayyidina Ali AS berkata, “Benar! Pernah Nabi Muhammad SAWW didatangi orang yang hendak mendustakan hari kebangkitan setelah kematian, orang itu adalah Ubai in Khalaf al-Jumahi, dia membawa tulang yang hancur lalu berkata, “Wahai Muhammad, siapakah yang akan menghidupkan kembaki tulang-belulang ini padahal sudah hancur?” Lalu Allah SWT menurunkan atas Muhammad SAWW sebuah ayat yang membungkam mulut orang itu,

Yang akan menghidupkannya kembali adalah Yang menciptakannya kali pertama. Dia Maha Mengetahui akan segala sesuatu (QS Yasin : 79)

Akhirnya orang itu pun pergi terbungkam.

Orang Yahudi berkata, “Nabi Ibrahim telah menghancurkan patung-patung kaumnya dengan marah karena Allah SWT.”

Sayyidina Ali AS berkata, “Ya benar. Nabi Muhammad telah merobohkan tiga ratus enam puluh patung di dalam Ka’abah dan membersihkan semenanjung Arabia dari patung-patung serta mengalahkan orang-orang yang menyembah patung dengan pedang.”

Orang Yahudi berkata, “Nabi Ibrahim as pernah dilemparkan oleh kaumnya ke dalam api, tetapi dia pasrah dan bersabar, akhirnya Allah SWT menjadikan api itu dingin dan menyelamatkannya. Apakah Allah SWT berbuat yang sama terhadap Muhammad?”

Sayyidina Ali AS berkata, “Ya benar. Ketika Nabi Muhammad pergi ke Khaibar, seorang wanita Khaibar meracuninya, tetapi Allah SWT menjadikan racun itu dingin (tidak bereaksi) di dalam perutnya sampai di akhir ajalnya. Padahal racun itu, jika berada di dalam perut akan membakar seperti api membakar. Itu adalah kekuasaanNya, janganlah kamu mengingkarinya.”


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Yaqub as

Orang Yahudi berkata, “Lihatlah Nabi Yakub as. Dia mendapatkan nasab yang sangat besar. Allah SWT menjadikan para Nabi dari tulang rusuknya. Maryam putri Imran adalah termasuk keturunannya.”

Sayyidina Ali berkata, “Ya benar. Nabi Muhammad SAWW mendapatkan nasab yang lebih besar darinya. Allah SWT menjadikan Fathimah, wanita penghulu alam raya, sebagai putrinya, al-Hasan dan al-Husain sebagai cucunya.”

Orang Yahudi berkata, “Nabi Yaqub as bersabar karena perpisahan Putranya sampai-sampai dia hampir sakit parah karena sedih.”

Sayyidina Ali berkata, “Ya itu benar. Nabi Yaqub as benar-benar sedih, namun kesedihannya berakhir dengan perjumpaan. Tetapi Nabi Muhammad Saww ketika Putranya yang tersayang, Ibrahim, diambil selagi Beliau masih hidup. Allah SWT mengujinya agar Beliau mendapat simpanan yang besar nanti. Beliau bersabda, “Jiwa pilu dan hati terluka. Dan kami sangat sedih atasmu wahai Ibrahim. Kami tidak mengatakan sesuatu yang memurkakan Allah SWT.” Dalam semua itu, Beliau mengutamakan kerelaan terhadap Allah SWT dan pasrah kepada-Nya dalam segala perbuatan.”


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Yusuf as

Orang Yahudi berkata, “Lihatlah Nabi Yusuf as, dia menyimpan pahitnya perpisahan. Dia di jerumuskan ke dalam penjara demi menghindari kemaksiatan. Dia di lemparkan kedalam lubang yang gelap sebatang kara.”

Sayyidina Ali AS berkata, “Ya itu benar. Nabi Muhammad Saww menyimpan pahitnya keterasingan. Beliau meninggalkan keluarga, anak dan harta untuk berhijrah dari Haramullah (Ka’abah, Mekah). Ketika Allah SWT melihat kesedihan dan perasaan pilu Beliau, Allah SWT memperlihatkan kepadanya sebuah mimpi yang menyamai mimpinya Nabi Yusuf as dalam takwilnya dan Allah SWT membuktikan kebenaran mimpinya kepada seluruh alam raya. Allah SWT berfirman,

Sungguh Allah SWT telah membuktikan Rasulnya akan mimpinya yang benar. Kalian pasti akan masuk Masjid Al-Haram dengan kehendak Allah SWT dalam keadaan aman dan kepada kalian digundul atau (rambut kalian) dipotong. Janganlah kalian takut

Kalau Nabi Yusuf as ditahan dalam penjara, maka Rasulullah Saww dipenjara di Syi’ib selama tiga tahun. Beliau diasingkan dari sanak keluarga dan kerabatnya. Allah SWT telah memperdaya mereka (orang-orang kafir Quraisy) dengan mengutuskan makhluk-Nya yang paling lemah (rayap), lalu rayap itu memakan surat perjanjian yang mereka tulis.

Kalau Nabi Yusuf as dilemparkan kedalam lubang yang gelap, maka Nabi Muhammad Saww telah menyembunyikan dirinya di dalam gua karena ulah musuhnya, sampai-sampai Beliau berkata kepada sahabatnya, “Janganlah kamu sedih. Sesungguhnya Allah SWT bersama kita.” Allah SWT memujinya dalam kitab-Nya.


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Musa as

Orang Yahudi berkata,”lihatlah Nabi Musa bin Imran as, karena Allah telah memberinya Taurat yang memuat hukum-hukum.”

Sayyidina Ali AS berkata, “Ya itu benar. Nabi Muhammad SAWW telah diberi sesuatu yang lebih dari itu. Nabi Muhammad SAWW telah diberi surat al-Baqarah dan al- Maidah yang sama dengan Kitab Injil, Beliau juga diberi surat Thawasin (surat-surat yang didahului dengan huruf Tha, Sin), surat Thaha, sebagian surat-surat al-Mufashshal (yang sedang sehingga sering dipisah-pisah ) dan al-Hawamin (surat-surat yang dimulai dengan Ha, Min) yang sama dengan Kitab Taurat; Beliau diberi sebagian surat-surat al-Mufashshal dan surat-surat yang didahului dengan Sabbaha yang sama dengan Kitab Zabur; Beliau diberi surat Bani Israil dan surat Bara’at yang sama dengan shuhuf Ibrahim as dan shuhuf Musa as, kemudian Allah SWT menambah Beliau dengan as-Saba’ ath-Thiwal (tujuh surah yang panjang) dan surah al-Fatihah.

Orang Yahudi berkata,”Sesungguhnya Nabi Musa as dipanggil untuk bermunajat kepada Allah di atas bukit Sina.”

Sayyidina Ali AS berkata, ”Ya’ itu benar. Allah SWT telah mewahyukan kepada Nabi Muhammad SAWW di Sidhratul Muntaha’ disebut-sebut.”

Orang Yahudi berkata, Nabi Musa as telah diutus untuk menghadapi Firaun dan memperlihatkan kepadanya tanda yang besar.”

Sayyidina Ali AS berkata, “Itu benar. Nabi Muhammad SAWW juga diutus untuk menghadapi beberapa Firaun, seperti abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah, Abi al-Bukhturi, Nidhir bin Harits, Ubai bin Khalaf, dan diutus kepada lima orang yang di kenal dengan para pengolok, al-Walid bin al-Mughirah al-Makhzumi, al-‘Ash bin Wa’il al-Suhami, Aswad bin Abd Yaghuts az-Zuhri, Aswad bin al-Muthalib, dan al-Harist bin Thalathilah. Maka Beliau memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda yang besar di alam raya ini dan di dalam diri mereka sendiri sehingga jelas bagi mereka bahwa Dia itu benar.”

Orang Yahudi berkata, “Sesungguhnya Musa bin Imran telah diberi tongkat yang berubah menjadi seekor ular.”

Sayyidina Ali menjawab, “Ya itu benar. Nabi Muhammad SAWW telah di beri sesuatu yang lebih hebat dari itu. Pernah ada seseorang menuntut hutang kepada Abu Jahal bin Hisyam seharga seekor kambing yang dia beli dari orang itu. Tetapi Abu Jahal tidak memperdulikannya. Dia tengah asyik duduk sambil minum-minuman keras. Setiap kali orang itu menagihnya, tetapi tidak berdaya sama sekali dan selalu diacuhkan oleh Abu Jahal. Beberapa orang disekitar itu berkata kepada orang tersebut sambil menghina, “Siapa yang kamu tagih?”

“Amr bin Hisyam (Abu Jahal). Dia mempunyai hutang kepadaku. ”Mereka berkata, “Maukah kami tunjukkan orang yang menjalankan hak-hak?” Orang itu berkata. “Ya”. Mereka lalu menunjukkan Nabi Muhammad SAWW, Abu Jahal berkata dalam hatinya, “Mudah-mudahan Muhammad datang kepadaku dan melutut kepadaku, sehingga aku dapat memalukannya.” Orang yang sedang menuntut haknya itu datang kepada Nabi Muhammad seraya berkata, “Wahai Muhammad, aku mendengar bahwa hubungan antara Anda dengan Amr bin Hisyam baik. Aku datang meminta bantuan darimu.”

Kemudian Beliau pergi bersamanya menghadap Abu Jahal. Bangunlah wahai Abu Jahal. Berikan orang ini haknya.” (Sejak saat itu Amr bin Hisyam dipanggil Abu Jahal, yang berarti bapak kebodohan).

Lalu Abu Jahal segera bangun dan memberikan orang itu haknya. Ketika Abu Jahal kembali ke tempatnya semula, teman-temannya berkata, “Kamu mengerjakan itu karena takut kepada Muhammad?” Abu Jahal berkata, “Celaka kalian, maafkan aku. Sesungguhnya ketika dia datang, aku lihat di sebelah kanannya orang-orang membawa pisau yang bersinar dan disebelah kirinya ada dua ekor ular yang menampakkan giginya dan dimatanya keluar sinar. Sekiranya aku menolak, maka perutku tidak aman dari tikamannya dan aku akan diterkam ular itu, dan itu lebih berat bagiku dari memberikan hak.”

Ketika Nabi Muhammad SAWW mengajak ketauhidan dan membasmikan kemusyrikan, para tokoh kaum musyrikin marah, lalu Abu Jahal berkata, “Demi Allah mati lebih baik bagi kita dari pada hidup. Tidak adakah diantara kalian, wahai kaum Quraisy, seorang yang akan membunuh Muhammad?” Mereka menjawab, “Tidak ada.” “Kalau begitu saya yang akan membunuhnya.” Seandainya keluarga Abdul Mutalib akan menuntut balas, biarlah aku yang terbunuh, kata Abu Jalal. Mereka lalu berkata, “Sesungguhnya jika kamu melakukan itu, maka telah berbuat kebaikan yang akan selalu diingati.”

Kemudian Abu Jahal pergi ke Masjid al-Haram dan melihat Rasulullah berthawaf sebanyak tujuh putaran, kemudian Beliau solat dan sujud sangat lama.Kemudian Abu Jalal mengambil batu dan membawanya kearah kepala Nabi Muhammad SAWW, ketika dia telah mendekatinya, datanglah unta jantan dari arah Beliau dengan membuka mulutnya ke arah Abu Jalal. Melihat itu Abu Jalal ketakutan dan dia pun gementar maka batu itu jatuh melukai kakinya kemudian dia pulang dengan muka yang pucat dan berkeringat. Kawan-kawannya bertanya, “Kami tidak pernah melihat kamu seperti sekarang ini.” Abu Jalal berkata,” Maafkan aku, aku sungguh melihat unta jantan yang membuka mulutnya dari arah Muhammad, ia hampir menelanku maka aku lempar batu itu dan mengenai kakiku.”

Orang Yahudi berkata, ” Nabi Musa telah diberi tangan yang keluar darinya cahaya putih. Apakah Muhammad mempunyai kuasa seperti itu?”

Sayyidina Ali AS berkata, “Ya itu benar.” Nabi Muhammad SAWW diberi sesuatu yang lebih dari itu. Sesungguhnya terpancar dari sebelah kanan dan sebelah kirinya cahaya setiap kali Beliau duduk. Cahaya itu disaksikan oleh semua orang.”

Orang Yahudi berkata,” Nabi Musa dapat membuat jalan di laut. Apakah Muhammad dapat berbuat semacam itu?”

Sayyidina Ali AS menjawab,”Itu benar. Nabi Muhammad SAWW telah berbuat yang sama. Ketika kami keluar dari perang Hunain, kami menghadapi danau yang kami perkirakan sedalam empat belas kali dari ketinggian badan manusia. Mereka berkata,”Ya Rasulullah musuh di belakang kita sedangkan danau di depan kita seperti yang dikatakan kaum Musa as, “Kami akan terkejar.” Lalu Rasulullah saw turun dan berdoa,”Ya Allah sesungguhnya Engkau jadikan setiap utusan sebuah bukti maka perlihatkanlah kepadaku kekuasaan-Mu.”

Kemudian kami mengarungi lautan dengan menunggangi kuda dan unta yang kakinya tidak basah. Lalu kami pulang dengan kemenangan.

Orang Yahudi berkata, ”Nabi Musa as telah diberi batu, kemudian batu itu mengeluarkan dua belas mata air.”

Sayyidina Ali AS berkata, ”Ya itu benar.” Ketika Nabi Muhammad SAWW turun di Hudaibiyyah dan diboikot oleh penduduk Mekah, Beliau diberi sesuatu yang lebih hebat dari itu. Pada waktu itu, sahabat-sahabat Beliau mengadu kepada Beliau. Mereka kehausan sehingga pangkal tulang paha kuda mereka menonjol. Kemudian mereka mengambil kain Yaman dan meletakkan tangannya di atas kain itu lalu keluarlah air dari celah-celah jari jemari Beliau. Kami merasa kenyang demikian pula kuda-kuda kami bahkan kami penuhi kantong-kantong air.”

Orang Yahudi berkata,”Nabi Musa as telah diberi burung dan manisan dari langit (al-manna wa salwa’). Apakah Muhammad juga diberi sesuatu yang sama seperti itu?”

Sayyidina Ali As berkata, “Ya itu benar.” Nabi Muhammad SAWW diberi sesuatu yang lebih dari itu. Sesungguhnya Allah SWT menghalalkan harta rampasan perang untuk Beliau dan umatnya dan tidak dihalalkan untuk sesiapa pun sebelumnya. Dan ini lebih utama dari manna dan salwa’. Kemudian lebih dari itu Allah SWT menganggap niat Beliau dan umatnya sebagai amal kebaikan dan tidak menganggapnya amal kebaikan untuk seseorang sebelum Beliau. Oleh karena itu jika seseorang hendak berbuat kebaikan tetapi belum mengerjakannya maka ditulis untuknya suatu kebaikan dan jika dia mengerjakannya maka ditulis sepuluh kebaikan.”


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Daud As

Orang Yahudi berkata,” Lihatlah Nabi Dawud as sebab Allah telah memberinya kekuatan untuk melunakkan besi kemudian dengan kekuatannya dia membuat baju besi.”

Sayyidina Ali AS berkata,” Ya itu benar.” Nabi Muhammad SAWW telah diberi sesuatu yang lebih dari itu. Allah SWT telah memberinya kekuatan untuk membuat gua dari batu gunung yang keras. Batu Shakhrah di Baitul Maqdis menjadi cekung dengan tangan Beliau dan kami telah melihatnya.”

Orang Yahudi berkata, ” Nabi Dawud as menangis karena kesalahan dan kekhilafannya sehingga gunung bergetar karena takut tangisan darinya.”

Sayyidina Ali AS berkata, ”Ya itu benar.” Nabi Muhammad SAWW telah diberi sesuatu yang lebih dari itu. Sesungguhnya Beliau jika mendirikan salat terdengar dari dadanya suara gemuruh seperti gemuruh bejana yang berisi air panas yang mendidih karena isak tangisnya yang sangat pada hal Allah telah membebaskannya dari siksaan-Nya. Beliau berdiri salat di atas kakinya puluhan tahun sehingga bengkak kedua telapak kakinya dan pucat lasi mukanya. Beliau salat sepanjang malam sehingga Allah menegurnya.”

Thaha. Tidaklah Kami turunkan Al-Qur’an agar kamu bersusah payah (QS.Thaha:1-2)

Terkadang Beliau menangis sampai pingsan. Seorang bertanya kepadanya,” Bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab, ”Benar. Namun tidakkah aku pantas menjadi hamba yang banyak bersyukur.”


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Sulaiman As

Orang Yahudi berkata, “Lihatlah Nabi Sulaiman as, karena dia telah diberi kerajaan yang tidak layak diberikan kepada sesiapa pun setelahnya.”

Sayyidina Ali AS berkata, “Ya itu benar.” Nabi Muhammad SAWW telah diberikan sesuatu yang lebih dari itu. Telah turun kepadanya satu malaikat yang tidak pernah turun kepada sesiapa pun sebelumnya, yaitu malaikat Mikail. Malaikat Mikail berkata kepada Beliau, “Ya Muhammad. Hiduplah kamu menjadi seorang raja yang senang. Untukmu kunci-kunci khazanah bumi. Tunduk kepadamu gunung dan batu dari emas dan perak. Itu semua tidak mengurangi apa yang tersimpan untukmu di akhirat kelak sedikit pun.” Lalu dia menunjuk Malaikat Jibril as dan meminta darinya agar bertawadhu. Kemudian Nabi Muhammad SAWW berkata, “Tidak, tetapi aku tetap ingin hidup sebagai nabi dan hamba. Sehari makan dan dua hari tidak makan. Aku ingin bergabung dengan saudara-saudaraku dari kalangan Nabi sebelumku.” Maka Allah memberinya telaga kautsar dan hak-hak syafaat. Ini lebih besar tujuh puluh kali lipat dari kerajaan dunia dari permulaan sampai akhir. Dan Allah menjanjikan kedudukan yang terpuji (al-maqam al-Mahmud). Di hari kiamat nanti Allah akan menundukkannya di atas Arsy. Itu semua lebih mulia dari yang di berikan kepada Nabi Sulaiman bin Daud as.”

Orang Yahudi berkata, “Angin telah diciptakan untuk Nabi Sulaiman as Angin itu membawa pergi Sulaiman di negerinya dalam sebuah perjalanan, perginya satu bulan dan pulangnya satu bulan.”

Sayyidina Ali AS berkata, “Ya itu benar.” Nabi Muhammad SAWW telah diberikan sesuatu yang lebih dari itu. Dia telah diisra’kan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yang biasa ditempuh satu bulan, lalu ia dibawa naik ke kerajaan langit, yang memerlukan waktu lima puluh ribu tahun, dalam waktu kurang dari sepertiga malam.

Orang Yahudi berkata, “Telah di ciptakan jin-jin untuk taat kepada Nabi Sulaiman as. Mereka bekerja untuk Sulaiman ketika membuat mihrab dan patung.”

Sayyidina Ali AS berkata, “Ya itu benar.” Nabi Muhammad SAWW telah diberikan sesuatu yang lebih dari itu. Jin-jin diciptakan untuk taat kepada Nabi Sulaiman as, tetapi mereka didalam keadaan kafir, sementara jin-jin diciptakan untuk taat kepada Nabi Muhammad SAWW dalam keadaan beriman. Telah datang kepada Beliau sembilan tokoh jin dari Yaman dan dari Bani Amr bin Amir.Mereka itu adalah Syashot, Madhot, Hamlakan, Mirzaban, Mazban, Nadhoat, Hashib, Hadhid dan Amr. Merekalah yang disebutkan dalam Quran,

Dan ketika Kami palingkan kepadanya (Muhammad) sekelompok jin mereka mendengarkan Al-Quran (QS. Al- Jin: 1)

Mereka berbaiat kepada Beliau untuk menjalankan puasa, salat, zakat, haji dan jihad. Ini lebih hebat dari yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.”

Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Yahya As

Orang Yahudi berkata, “Lihatlah Nabi Yahya bin Zakaria as karena diwaktu masih kecil telah diberi hikmah, kebijaksanaan dan pemahaman. Dia menangis tanpa berbuat kesalahan dan dia sentaiasa berpuasa terus menerus.”

Sayyidina Ali AS berkata,“Ya itu benar.” Nabi Muhammad SAWW telah diberikan sesuatu yang lebih dari itu.Nabi Yahya as hidup pada masa tiada berhala-berhala dan kejahiliahan.

Sementara Muhammad pada masa kecilnya telah diberi hikmah dan pemahaman di tengah penyembah berhala dan syaitan. Beliau sama sekali tidak menyukai berhala, tidak pernah aktif dalam upacara-upacara mereka dan tidak pernah berdusta sama sekali. Beliau senantiasa menyambung puasa dalam seminggu, terkadang kurang dan terkadang lebih. Beliau pernah berkata, “Aku tidak seperti kalian. Aku berada disamping Tuhanku. Dia Yang memberiku makan dan minum.” Beliau selalu menangis sehingga air matanya membasahi tempat salatnya karena takutkan kepada Allah SWT tanpa kesalahan.”


Perbandingan Rasulullah SAWW dengan Nabi Isa As

Orang Yahudi berkata,” Lihatlah Nabi Isa bin Maryam as. Mereka meyakini bahwa dia dapat berbicara dalam buaiannya dalam keadaan masih bayi.”

Sayyidina Ali AS berkata,” Ya itu benar.” Nabi Muhammad SAWW keluar dari perut Ibunya sambil meletakkan tangan kirinya di atas tanah dan tangan kanannya diangkat ke atas. Beliau menggerakkan kedua bibirnya dengan ucapan tauhid. Lalu terpancarlah dari mulutnya cahaya sehingga penduduk Mekah dapat melihat istana-istana Bashrah dan istana-istana merah di negeri Yaman dan sekitarnya, serrta istana-istana putih di Persia dan sekitarnya. Dunia menjadi terang benderang di malam kelahiran Nabi Muhammad SAWW sehingga jin, manusia dan setan ketakutan. Mereka berkata,”Telah terjadi peristiwa besar di muka bumi ini.” Pada malam kelahiran Beliau, para malaikat naik-turun dari langit, bertasbih dan memuji Allah SWT.

Orang Yahudi berkata,”Mereka menyakini bahwa Nabi Isa as telah menyembuhkan orang bisu dan orang yang menderita penyakit belang dengan izin Allah SWT.”

Sayyidina Ali AS berkata,” Ya itu benar. Muhammad telah diberi sesuatu yang lebih dari itu. Beliau telah menyembuhkan orang dari penyakitnya. Ketika Beliau duduk, Beliau bertanya tentang seorang sahabat Beliau lalu para sahabat Beliau berkata,” Ya Rasulullah, dia terkena musibah sehingga dia seperti seekor anak burung yang tidak berbulu.” Kemudian Beliau mendatanginya , ternyata orang itu benar-benar seperti anak burung yang tidak berbulu karena beratnya musibah. Beliau berkata,” Apakah kamu telah meminta sesuatu dengan sebuah doa?”

Dia menjawab,”Ya. Aku pernah berdoa kepada Allah agar segala siksaan yang akan menimpaku di akhirat nanti disegerakan di dunia ini.”

Kemudian Nabi berkata, Bacalah doa ini,”Ya Allah berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan, dan jagalah kami dari azab neraka.” Maka orang itu mengucapkannya lalu dia segara bangun dan sehat.

Juga pernah seseorang datang dari Juhainah yang menderita lepra. Dia mengadu kepada Beliau. Lalu Beliau mengambil mangkuk berisi air dan Beliau meludahinya kemudian Beliau berkata,”Basuhlah badanmu dengan air ini!” Orang itu lalu mengerjakannya dan kemudian sembuh seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Orang Yahudi berkata,”Mereka menyakini bahwa Nabi Isa as telah menghidupkan orang yang telah mati dengan izin Allah.”

Sayyidina Ali AS berkata,”Ya itu benar. Sungguh telah bertasbih sembilan kerikil di tangan Nabi Muhammad SAWW suaranya sampai terdengar padahal kerikil itu tidak bernyawa. Beberapa orang yang sudah mati berbicara dengannya dan meminta bantuan darinya dari siksaan kematian. Kamu menyakini bahwa Nabi Isa as berbincang-bincang dengan orang-orang yang sudah mati dan Nabi Muhammad SAWW mempunyai pengalaman yang lebih mengagumkan dari itu. Ketika Beliau singgah di Thaif sementara kaum Thaif memboikot Beliau. Mereka mengirim seekor kambing yang sudah dipanggang dan dicampuri racun lalu kambing itu berbicara,”Wahai Rasulullah, janganlah engkau makan aku karena aku talah diberi racun. Beliau telah di ajak bicara oleh kambing yang sudah disembelih dan dibakar. Beliau juga pernah memanggil pohon lalu pohon itu menghampirinya. Binatang-binatang buas berbicara dengan Beliau dan bersaksi atas kenabian Beliau. Ini semua lebih besar dari yang diberikan kepada Nabi Isa as.”

Orang Yahudi berkata,” Nabi Isa as telah memberitahu kaumnya tentang apa yang mereka makan dan mereka simpan di rumah-rumah mereka.”

Sayyidina Ali AS menjawab, “Itu benar. Nabi Muhammad SAWW telah berbuat sesuatu yang lebih besar dari itu. Kalau Nabi Isa as memberitahu apa yang ada di belakang tembok maka Nabi Muhammad SAWW telah memberi tahu tentang perang Mu’tah, padahal Beliau tidak menyaksikannya dan Beliau menjelaskan tentangnya dan orang-orang yang syahid di sana padahal jarak antara tempat perang dengan Beliau sejauh perjalanan sebulan.”

Akhirnya orang Yahudi itu mengucapkan dua kalimat syahadat dan bersaksi bahwa tiada kedudukan dan keutamaan yang Allah berikan kepada seorang Nabi melainkan Dia berikan juga kepada Rasulullah saw dengan tambahan.

Ibnu Abbas berkata,”Aku bersaksi, wahai ayah al-Hasan, bahwa engkau adalah orang yang sangat dalam pengetahuannya.”

Sayyidina Ali AS menjawab,”Bagaimana aku tidak mengatakan tentang seorang yang Allah sendiri mengagungkannya dalam Al-Qur’an, Sesungguhnya engkau ( al Musthofa SAWW ) memiliki akhlak yang agung.”
.

Kembali Kepada Al Quran dan Hadis, Mustahi???

Bantahan buat: http://syiahindonesia.com, www.gensyiah.com, www.syiah.net, http://hakekat .com, http://haulasyiah.wordpress.com adalah web yang tidak tau apa-apa tentang agama.

Syi’ah Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait dalam hal Imamah.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.

Imamah dan Ahlul Bait.


Ismail Amin.

Akidah Islamiyah adalah kumpulan kaidah, hukum, landasan, perintah, larangan dan pengetahuan yang universal dan terperinci yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-Nya, Muhammad SAW. Rasululullah SAW bertugas memberikan penjelasan kepada umat mausia melalui perantara dakwah dan daulah yang dipimpinnya sendiri. Oleh karena itu setiap perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW adalah juga aturan Ilahi sebagai pelengkap Al-Qur’an. Semasa hidupnya, Rasulullah menjadi satu-satunya sumber rujukan syar’i yang merupakan pengejewantahan akidah Ilahiah. Adalah mustahil jika aqidah yang berasal dari Allah ini dibiarkan tanpa seorang rujukan yang bertugas menjelaskan aqidah tersebut. Sumber rujukan ini haruslah orang yang memiliki pengetahuan Ilahiah, paling baik, afdhal dan tepat dari sekian manusia yang ada. Untuk memilih dan mengangkat orang yang memiliki kapasitas itu, hanya Allah sendirilah yang berhak menentukan. Sejarah perjalanan manusiapun membuktikan, semua nabi-nabi yang 124 ribu jumlahnya diutus dan diangkat oleh Allah SWT. Tak sekalipun Allah SWT menyerahkan penentuan dan pemilihan orang yang menjadi sumber rujukan kepada hawa nafsu dan pendapat-pendapat manusia. Begitulah sejarah membuktikan, dan tidak ada seorangpun yang menyelisihi ini.

Lewat tulisan ini, saya ingin memperlihatkan ada realitas lain selain Nabi dan Rasul yang juga menjadi ketetapan Ilahi. Allah SWT berfirman, “Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman :”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia.” Ibrahim berkata, “(Dan aku mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman :”Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah : 124).

Ayat ini menunjukkan bahwa menurut Al-Qur’an ada satu lagi realitas selain nabi dan rasul yakni imam, sebab bukankah penunjukan Ibrahim sebagai imam setelah ia menjadi nabi dan rasul dengan berbagai ujian ?.  Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan Kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishak dan Yaqub sebagai suatu anugerah. Dan masing-masing Kami jadikan orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah.” (Qs. Al-Anbiya : 73).

Di ayat lain, “…Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan dan hikmah dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Baqarah : 41).

Dari ayat-ayat ini menunjukkan bahwa penunjukkan imam, khalifah ataupun pemimpin atas umat manusia adalah wewenang dan otoritas mutlak Allah SWT sebagaimana penunjukan nabi dan rasul.
Sebagaimana surah Al-Baqarah ayat 124 di atas, kedudukan imam sebagai jabatan langit selain nabi dan rasul juga dianugerahkan kepada keturunan biologis nabi Ibrahim as.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali lebih dahulu oleh kenabian, kerasulan dan berakhir pada keimamahan. Ini bisa dimaklumi bahwa tidak mungkin ada hukum tanpa ada hakim. Hukum Islam telah sempurna, karenanya dengan wafatnya Nabi terakhir meniscayakan adanya hakim Ilahiah yang mendampingi pelaksanaan hukum. Hakim di bumi inilah yang disebut Imam.

Setelah nabi Ibrahim as wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam dan Aku akan membuatnya menjadi umat yang besar (Kejadian 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik dua belas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah :12).

Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari perjanjian antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus. Al-Qur’an menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7).

Alhasil, substansi yang ingin saya tegaskan, bahwa status seorang imam di dalam Islam bahkan dalam ajaran Ibrahimik lainnya (Yahudi dan Nashrani) memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Imamah atau kekhalifaan terlalu berharga, terlalu tinggi dan tidak pantas hanya disebut sebagai pemimpin sebuah pemerintahan. Imamah terlalu pelik dan rumit bagi manusia biasa untuk  memilih dan mengangkat sendiri imam mereka. Imamah tidak dapat diputuskan dalam pemilihan. Sebab imamah bukan sekedar masalah mengurus ummat melainkan perwakilan Allah SWT di muka bumi. Karena itu hanya Allah SWT yang berhak memilih dan mengangkatnya.

Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54) Maka bagaimanakah dengan keluarga Muhammad saw sendiri? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?. Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari  ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. Bukhari-Muslim meriwayatkan, “Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari Qurays.”.

Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan. Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia.

Allah SWT berfirman: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah : 213).

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan perpecahan.

Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.

Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.

Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.

Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.

Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh umatnya.

Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya, Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat?

Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya? Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh umat Islam?

Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.

Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan.

Kata mazhab Syafi’i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).

Petunjuk Umat.

Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia di setiap masa tentunya selain syariat.

Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).

Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.

Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf :52).

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64).

Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.

Penyimpangan.

Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.

Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.

Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.

Syi’ah Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait dalam hal Imamah….http://syiahindonesia.com, http://www.gensyiah.com, http://www.syiah.net, http://hakekat .com, http://haulasyiah.wordpress.com adalah web yang tidak tau apa apa tentang agama


Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait karena 12 Khalifah Pengganti Rasul adalah dari Ahlul Bait… Ini hadisnya.


Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.
Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan. Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia. Allah SWT berfirman: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah : 213)..
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan perpecahan.
Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.
Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.
Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.

Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh umatnya.

Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya, Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat?
Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya? Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh umat Islam?

Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.

Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan.

Kata mazhab Syafi’i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).

Petunjuk Umat

Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia di setiap masa tentunya selain syariat.

Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).

Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.

Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf :52).

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64).

Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.

Penyimpangan.
Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.

Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.

Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.

Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam. Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman, setidaknya begitu yang saya tahu . Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi.

Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam. Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat Islam.

Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa:
  • Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.
  • Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam.
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar. Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis:


Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan

Salam Damai
Catatan : Sengaja Metode Penulisan Agak sedikit berbeda, sesuai dengan kebutuhan .Siap-siap menunggu hujatan.

Benarkah banyak hadist sunni yg palsu ?

PERPECAHAN SUNNI VS SYI’AH SALAH SATUNYA KARENA HADIS HADiS SUNNI ASWAJA SALING KONTRADIKSI.. DENGAN KATA LAIN BAHWA HADIS HADIS SUNNI TELAH DIUTAK ATIK DAN DIJAMAH OLEH TANGAN TANGAN JAHIL LALU DI CAMPUR ADUK ANTARA YANG BENAR DENGAN YANG BATHIL SEHINGGA PENGANUT SUNNI TIDAK MAMPU LAGi MEMBEDAKAN MANA YANG ASLI DAN MANA YANG PALSU.


Sebuah pertanyaan penting yang timbul, bagaimana kita menyikapi hadist-hadist yang simpang siur, yang setiap golongan mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan menggunakan dalil-dalil hadistnya.
Jawaban pertanyaan ini pernah saya paparkan kepada seorang teman saya yang telah menjadi mu’alaf. Dia seorang mu’alaf yang tekun mempelajari agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tapi saking tekunnya dia malah menjadi bingung sendiri, karena fatwa yang dia dapat berbeda-beda pada setiap pesantren

Inti pertanyaannya adalah bagaimana menyikapi hadist-hadist yg saling kontradiksi dan apakah mengakui hadist itu wajib atau tidak.

Saya menjawab bahwa dialah yang harus memutuskan sendiri jawabannya. Saya hanya bercerita sedikit tentang sejarah hadist. Selanjutnya saya minta agar dia mempergunakan PIKIRAN nya, karena Allah selalu dan selalu menyuruh umatnya untuk BERPIKIR.

Dalam sejarahnya, pembukuan hadist itu secara resmi muncul lebih 200 tahun setelah meninggalnya Rasulullah. Pertama-tama oleh Imam Bukhari (meninggal 256H/870), lalu Muslim (meninggal 261H/875), Abu Daud (meninggal 275H/888), Tirmidzi (meninggal 270H/883), Ibn Maja (meninggal 273H/886), dan al-Nasa’i (meninggal 303H/915).

Dalam pernyataan pembukaannya, Bukhari (yang dianggap sebagai sumber nomor satu dari Hadits shahih) menyatakan bahwa dari hampir 600 ribu Hadits yang ia ketahui pada zamannya, dia hanya dapat memastikan sebanyak 7397 sebagai hadits shahih dari nabi Muhammad. Ini adalah suatu pengakuan dari para pendukung Hadits bahwa sedikitnya 98,76% dari apa yang orang diharuskan untuk percaya sebagai sumber kedua selain Al-Qur’an, dan sebagai salah satu sumber utama hukum Islam, adalah semata-mata suatu kebohongan belaka!

Seharusnyalah PIKIRAN dan LOGIKA kita bertanya :
Apakah yg dipakai oleh umat Islam pada masa sebelum 200 tahun itu?


Dalam suatu riwayat, Jabir ibn Abdullah menyampaikan bahwa Nabi Muhammad melihat seorang perempuan kemudian ia masuk rumah untuk menemui Zainab bint Jahsyn untuk menunaikan “hajat”-nya. Setelah usai, ia keluar menemui para sahabat sembari berkata, “Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu (hasrat seksual) karenanya, bersegeralah ke istrinya. Perilaku itu akan menghilangkan hasrat yang ada di dalam jiwa (dalam riwayat lain: akan menekan hasrat yang terpendam di dalam jiwa).” Hadis ini diriwayatkan Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Qathan, dan al-Albani. Semua ahli hadis ini memastikan bahwa hadis ini sahih.

Kita akan jadikan hadis ini sebagai obyek pembahasan untuk membuktikan bahwa ide berpedoman kepada hadis-hadis Nabi yang baru dikumpulkan dua ratus tahun setelah mangkatnya Nabi adalah keliru jika kita tidak mempertimbangkannya secara rasional dan logis. Rasionalitas dan logika akan membantu menentukan tingkat kesahihan suatu hadis. Prinsip-prinsip yang dipegang para perawi hadis, seperti ilmu jarh wa ta’dîl dan lain-lain, tidak sepenuhnya dapat dijadikan pedoman. Sebab, prinsip-prinsip ini tidak cukup mumpuni untuk membendung sampainya hadis-hadis sebagaimana disebutkan tadi kepada pembaca masa kini yang begitu saja meyakininya sahih dan dapat dipercaya.

Cobalah kita bayangkan kejadian yang digambarkan hadis di atas sesuai dengan konteks ruang dan waktunya. Bayangkanlah Nabi dan para sahabat yang duduk dalam satu majelis, lalu lewatlah seorang perempuan. Nabi melihatnya dan berhasrat padanya (atau karenanya). Ia lalu minta izin kepada para sahabat untuk masuk rumah menemui Zainab bint Jahsyn. Ia lantas menunaikan “hajat”-nya kepada Zainab dan segera kembali ke para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Ia lalu menjelaskan apa yang telah dilakukannya: “Perempuan datang menyerupai setan. Dalam kondisi seperti itu, sebaiknya seorang laki-laki segera menemui istrinya agar tidak termakan godaan setan.”

Mari kita analisa hadis di atas. Jika direka ulang, kita mendapat gambaran bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat dalam rangka berdiskusi tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan umat, agama, dan masyarakat. Dalam buku-buku sejarah kita tak pernah menemukan bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat hanya untuk bergurau menghabiskan waktu. Tiba-tiba seorang perempuan lewat, lalu Nabi segera meninggalkan perbincangan serius tentang berbagai masalah umat untuk menunaikan “hajat” kepada istrinya. Jelaslah bahwa perilaku ini tidak layak bagi seorang pemimpin seperti Nabi dan tidak pula sesuai dengan usianya ketika itu.

Semua riwayat yang menceritakan hadis ini memang tidak menjelaskan kondisi si perempuan yang lewat di hadapan Nabi dan para sahabat: Apakah ia muda atau tua; Apakah ia cantik atau tidak? Apakah ia berpakaian tertutup atau terbuka? Semua riwayat juga tidak menjelaskan alasan mengapa Nabi menoleh kepada perempuan itu, memperhatikannya, lalu meninggalkan forum sahabatnya.

Lepas dari pembicaraan penting antara Nabi dan para sahabat, siapa pun tidak pantas meninggalkan sebuah majelis sekadar untuk menunaikan “hajat” pada istrinya kemudian kembali lagi, seolah tak terjadi apa pun. Perilaku seperti ini tidak mungkin terjadi pada Nabi. Sikap ini mengandung penghinaan terhadap seorang tamu (jika ia tuan rumah), terhadap tuan rumah (jika ia seorang tamu), atau terhadap majelis manapun. Hal-hal seperti ini memang tidak dijelaskan di dalam hadis di atas.

Namun, Nabi masuk menemui Zainab, sesuai teks hadis, “kemudian menunaikan ‘hajat’ kepada Zainab dan segera keluar lagi menemui para sahabat…” Teks hadis ini, dengan berbagai riwayatnya, mengesankan bahwa Nabi menemui Zainab hanya dalam waktu yang singkat. Sebab ketika ia keluar, para sahabat masih duduk di tempat semula. Ini berarti Nabi datang tergesa-gesa kepada istrinya, kemudian menyetubuhinya, lalu mengalami orgasme dalam waktu singkat. Setelah itu, ia segera kembali lagi kepada para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Sikap seperti ini bukanlah watak Nabi dan bukan pula watak laki-laki mana pun yang menghargai diri sendiri dan istrinya.

Sebab Nabi pernah bersabda, “Janganlah seseorang menyetubuhi istrinya seperti hewan. Hendaklah ada rasûl di antara mereka.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan rasûl itu?” Beliau menjawab: “Ciuman dan rayuan.” Dalam riwayat Anas ibn Malik, Nabi bersabda, “Ada tiga kelemahan pada seorang laki-laki…” Ia antara lain menyebutkan: “Seorang laki-laki mendekati istrinya kemudian menyetubuhinya tanpa cumbu rayu. Ia menyetubuhi istrinya dan mencapai orgasme sebelum sang istri mencapai orgasme.”
Mungkinkah Nabi melarang sesuatu namun ia justru melakukannya? Tampaknya petunjuk Nabi dalam hal ini dapat kita lihat dalam penjelasan Imam Abu Hamid al-Ghazali: “Jika seseorang bersetubuh dengan istrinya, hendaklah ia memperlambat orgasmenya sehingga sang istri mencapai orgasme pula. Orgasme sang istri bisa jadi lebih lambat. Jika ia meninggalkan istrinya sebelum ia mencapai orgasme, dorongan syahwatnya tidak akan terpenuhi. Dengan demikian ia telah menyakiti sang istri. Perbedaan waktu datangnya orgasme ini membuat ketidaknyamanan ketika suami sudah orgasme lebih dulu. Orgasme secara berbarengangan lebih memberi kenikmatan bagi istri. Seorang suami tidak boleh bersikap egoistis. Bisa jadi istri merasa malu dalam hal ini. Maka, sang suami haruslah dapat memahaminya,”

Inilah penjelasan yang sangat baik tentang pentingnya seorang suami tidak tergesa-gesa mencapai orgasme lalu meninggalkan tempat tidur sebelum sang istri mencapai orgasme pula. Jika etika demikian berlaku bagi laki-laki biasa, apakah mungkin Nabi memperbolehkan dirinya untuk cepat-cepat mencapai orgasme tanpa mempedulikan istrinya?

Apa yang sedang dilakukan oleh Zainab ketika Nabi menemuinya? Apakah ia sedang sibuk dengan urusan rumah tangga atau sibuk dengan urusan agama? Dalam dua kondisi ini, apakah sang suami boleh datang kepadanya untuk mengajak berhubungan badan dan ia harus segera meninggalkan apa yang sedang ia kerjakan? Setelah beberapa saat, sang suami justru keluar menemui para sahabat. Apa yang Zainab lakukan kemudian? Apakah ia meneruskan kesibukannya dan seolah-olah tidak terjadi apa pun? Benar belaka, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi pernah bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (untuk berhubungan badan), tapi sang istri menolak, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi”. Tapi hadis ini secara implisit mengandung pengertian bahwa sang suami mengajak istrinya pada malam hari karena ada kalimat “sampai pagi”. Jika sang suami datang secara mendadak, langsung mengajak istrinya berhubungan badan, tapi sang istri menolak, apakah para malaikat tetap juga akan mengutuknya?!
Teks hadis kita menegaskan bahwa Nabi segera kembali menemui para sahabat. Apakah hal ini berhubungan dengan keinginan Nabi untuk segera menyelesaikan tema pembicaraan? Atau, ia ingin segera menjelaskan perilakunya yang sangat cepat itu kepada mereka?

Sesuatu yang lebih penting dari itu semua adalah, dalam hadis di atas, Nabi tampak begitu lemah berhadapan dengan sesuatu yang datang dari luar dirinya (faktor eksternal), yaitu setan. Dalam hadis itu pun Nabi berkata, “Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu karenanya, hendaklah ia menemui (menyetubuhi) istrinya. Yang demikian itu akan meredam hasrat (seksual) yang ada dalam jiwanya.” Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Albani disebutkan, “Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaklah kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu.”

Menyamakan perempuan dengan setan adalah pelecehan yang tidak mungkin dilakukan oleh Nabi. Menurut Alquran, beliau tak berbicara berdasarkan nafsu. Karena itu perlu dipahami bahwa menyamakan perempuan dengan setan adalah kasus yang umum pada agama-agama tauhid, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi. Penyamaan ini kadangkala sangat tak masuk akal. Contohnya adalah hadis Nabi riwayat Muslim: “Waspadalah terhadap dunia. Waspadalah terhadap perempuan. Sungguh, kerusakan pertama yang terjadi pada Bani Israel adalah karena perempuan.” Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi juga menegaskan: “Aku tidak meninggalkan cobaan yang paling berbahaya bagi laki-laki melebihi perempuan.”

Poin terakhir yang akan kita bahas adalah hadis al-Albani: “Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaknya kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu.” Hadis ini secara eksplisit mengandung unsur pelecehan kemanusiaan terhadap perempuan. Hadis ini memberikan pengertian bahwa jika seorang laki-laki tertarik (secara seksual) kepada seorang perempuan, hendaklah ia menemui istrinya. Karena, pada istrinya ada anggota tubuh yang sama dengan anggota tubuh yang diinginkan pada perempuan itu. Bukankah ini berarti menggeser status perempuan dari manusia istimewa menjadi laksana barang? Apakah perempuan hanya diinginkan karena tubuh (fisik)-nya? Apakah ucapan, interaksi, kelembutan, akal, dan jiwa perempuan tidak ada gunanya dalan hubungan seksual?

Akal yang sehat tentu tidak akan menerima sikap seperti itu terhadap perempuan. Seorang Nabi yang berwatak sebagai pendidik, arif, dan pemimpin umat, tidak mungkin memperlakukan perempuan seperti yang digambarkan di dalam hadis-hadis misoginis di atas. Hadis-hadis misoginis itu pun bertentangan dengan puluhan hadis lain yang menegaskan keharusan menghormati dan menghargai perempuan. Pertanyaanya: apakah hadis-hadis misoginis itu sahih? Apakah Nabi melakukan itu semua kemudian mengucapkan hadis-hadis misoginis? Ada dua jawaban: “ya” atau “tidak”. Jawaban yang pertama berarti pelecehan terhadap sosok Nabi yang dicintai dan dimuliakan. Jawaban yang kedua adalah yang benar.

Tampaknya kita harus berani mempertanyakan sikap para peneliti Muslim yang secara berlebihan mengaggap hadis sunni sebagai sumber kebenaran sejarah. Kita harus berani memulai penelitian terhadap wacana hadis sebagai sumber perdana yang lahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Kita harus meletakkannya dalam kerangka analisis yang rasional dan logis. Kita harus pula mengembalikan wacana hadis sunni pada kondisi ruang dan waktunya. Kita tidak perlu harus secara membabi-buta menjadikannya sebagai kaidah bagi perilaku kita hari ini. Kita tidak perlu bercermin kepadanya secara serampangan.
Andai Nabi Muhammad hari ini diutus kembali kepada kita sebagai masyarakat manusia, pasti ia akan menggunakan cara-cara yang rasional dalam memahami apa yang pernah ia ucapkan dulu. Dan sebetulnya, sebagian besar peninggalan sejarah yang kita miliki saat ini (turâts) masih dipenuh dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang luhur andai saja kita memperlakukannya secara rasional.

Penulis Sejarah menyadari adanya prasangka dari saksi-saksi pelapor suatu peristiwa atau keadaan dan para penyalur yang membentuk rangkaian Isnad. Ia juga harus menyadari kemungkinan adanya kesalahan dan kekeliruan mereka karena kelemahan-kelamahan manusiawai, seperti lupa, salah tanggap, salah tafsir, pengaruh penguasa terhadap dirinya, serta latar belakang keyakinan pribadinya. Suatu rangkaian Isnad yang lengkap , dengan penyalur-penyalur yang identitas orangnya dapat dipercaya, belum bisa menjadi kebenaran suatu berita.

Murthada al-Askari misalnya, telah berhasil menemukan nama 150 orasng sahabat nabi yang fiktif, yang telah dimasukan oleh para penulis sejarah lama sebagai saksi-saksi pelapor. Penulis sejarah semacam ini telah memasukan nama berbagai kota dan sungai yang kenyataannnya tidak pernah ada. Al’ Amin berhasil mengumpulkan nama 700 nama pembohong yang pernah mengada-adakan berita tentang Nabi Muhammad, bahkan ada yang menyampaikan seorang diri beribu-ribu hadis palsu. Diantar mereka terdapat para pembohong Zuhud, yang sembahyang, mengaji dan berdoa semalaman tetapi pada pagi hari mulai duduk mengajar dan berbohong seharian.

Sebenarnya para ulama jaman dahulu telah mengetahui cerita fiktif, dan telah mengenal para penulis buku tersebut sebagai pembohong , tetapi karena berbagai sebab, keritik-keritik mereka terhenti ditengah jalan. Kedudukan Ulama makin beralih ke “tugas dakwah” dan “mengabaikan penelitian”. Penelitian dijaman para sahabatpun dilupakan. Ditutupnya pintu ijtihad, telah menambah parahnya perkembangan penelitian sejarah jaman para sahabat dan tabiin, generasi kedua. Sedangkan para ulama terus bertaklid pada ijtihad para imam yang hidup pada masa-masa kemudian.
.
Itulah sebabnya buku-buku yang mengandung hasil studi yang kritis tidak lagi mendapatkan pasaran. Karena “pikiran-pikiran baru” ini akan membuat dirinya terasing dalam kalangannya sendiri dan dari masyarakat yang telah “mantap” dalam keyakinan.

Terkait Berita: