Pesan Rahbar

Kembali Kepada Al Quran dan Hadis, Mustahi???

Written By Unknown on Monday, 11 August 2014 | 12:05:00

Bantahan buat: http://syiahindonesia.com, www.gensyiah.com, www.syiah.net, http://hakekat .com, http://haulasyiah.wordpress.com adalah web yang tidak tau apa-apa tentang agama.

Syi’ah Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait dalam hal Imamah.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.

Imamah dan Ahlul Bait.


Ismail Amin.

Akidah Islamiyah adalah kumpulan kaidah, hukum, landasan, perintah, larangan dan pengetahuan yang universal dan terperinci yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-Nya, Muhammad SAW. Rasululullah SAW bertugas memberikan penjelasan kepada umat mausia melalui perantara dakwah dan daulah yang dipimpinnya sendiri. Oleh karena itu setiap perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW adalah juga aturan Ilahi sebagai pelengkap Al-Qur’an. Semasa hidupnya, Rasulullah menjadi satu-satunya sumber rujukan syar’i yang merupakan pengejewantahan akidah Ilahiah. Adalah mustahil jika aqidah yang berasal dari Allah ini dibiarkan tanpa seorang rujukan yang bertugas menjelaskan aqidah tersebut. Sumber rujukan ini haruslah orang yang memiliki pengetahuan Ilahiah, paling baik, afdhal dan tepat dari sekian manusia yang ada. Untuk memilih dan mengangkat orang yang memiliki kapasitas itu, hanya Allah sendirilah yang berhak menentukan. Sejarah perjalanan manusiapun membuktikan, semua nabi-nabi yang 124 ribu jumlahnya diutus dan diangkat oleh Allah SWT. Tak sekalipun Allah SWT menyerahkan penentuan dan pemilihan orang yang menjadi sumber rujukan kepada hawa nafsu dan pendapat-pendapat manusia. Begitulah sejarah membuktikan, dan tidak ada seorangpun yang menyelisihi ini.

Lewat tulisan ini, saya ingin memperlihatkan ada realitas lain selain Nabi dan Rasul yang juga menjadi ketetapan Ilahi. Allah SWT berfirman, “Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman :”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia.” Ibrahim berkata, “(Dan aku mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman :”Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah : 124).

Ayat ini menunjukkan bahwa menurut Al-Qur’an ada satu lagi realitas selain nabi dan rasul yakni imam, sebab bukankah penunjukan Ibrahim sebagai imam setelah ia menjadi nabi dan rasul dengan berbagai ujian ?.  Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan Kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishak dan Yaqub sebagai suatu anugerah. Dan masing-masing Kami jadikan orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah.” (Qs. Al-Anbiya : 73).

Di ayat lain, “…Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan dan hikmah dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Baqarah : 41).

Dari ayat-ayat ini menunjukkan bahwa penunjukkan imam, khalifah ataupun pemimpin atas umat manusia adalah wewenang dan otoritas mutlak Allah SWT sebagaimana penunjukan nabi dan rasul.
Sebagaimana surah Al-Baqarah ayat 124 di atas, kedudukan imam sebagai jabatan langit selain nabi dan rasul juga dianugerahkan kepada keturunan biologis nabi Ibrahim as.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali lebih dahulu oleh kenabian, kerasulan dan berakhir pada keimamahan. Ini bisa dimaklumi bahwa tidak mungkin ada hukum tanpa ada hakim. Hukum Islam telah sempurna, karenanya dengan wafatnya Nabi terakhir meniscayakan adanya hakim Ilahiah yang mendampingi pelaksanaan hukum. Hakim di bumi inilah yang disebut Imam.

Setelah nabi Ibrahim as wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam dan Aku akan membuatnya menjadi umat yang besar (Kejadian 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik dua belas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah :12).

Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari perjanjian antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus. Al-Qur’an menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7).

Alhasil, substansi yang ingin saya tegaskan, bahwa status seorang imam di dalam Islam bahkan dalam ajaran Ibrahimik lainnya (Yahudi dan Nashrani) memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Imamah atau kekhalifaan terlalu berharga, terlalu tinggi dan tidak pantas hanya disebut sebagai pemimpin sebuah pemerintahan. Imamah terlalu pelik dan rumit bagi manusia biasa untuk  memilih dan mengangkat sendiri imam mereka. Imamah tidak dapat diputuskan dalam pemilihan. Sebab imamah bukan sekedar masalah mengurus ummat melainkan perwakilan Allah SWT di muka bumi. Karena itu hanya Allah SWT yang berhak memilih dan mengangkatnya.

Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54) Maka bagaimanakah dengan keluarga Muhammad saw sendiri? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?. Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari  ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. Bukhari-Muslim meriwayatkan, “Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari Qurays.”.

Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan. Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia.

Allah SWT berfirman: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah : 213).

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan perpecahan.

Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.

Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.

Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.

Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.

Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh umatnya.

Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya, Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat?

Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya? Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh umat Islam?

Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.

Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan.

Kata mazhab Syafi’i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).

Petunjuk Umat.

Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia di setiap masa tentunya selain syariat.

Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).

Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.

Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf :52).

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64).

Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.

Penyimpangan.

Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.

Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.

Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.

Syi’ah Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait dalam hal Imamah….http://syiahindonesia.com, http://www.gensyiah.com, http://www.syiah.net, http://hakekat .com, http://haulasyiah.wordpress.com adalah web yang tidak tau apa apa tentang agama


Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait karena 12 Khalifah Pengganti Rasul adalah dari Ahlul Bait… Ini hadisnya.


Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.
Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan. Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia. Allah SWT berfirman: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah : 213)..
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan perpecahan.
Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.
Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.
Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.

Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh umatnya.

Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya, Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat?
Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya? Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh umat Islam?

Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.

Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan.

Kata mazhab Syafi’i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).

Petunjuk Umat

Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia di setiap masa tentunya selain syariat.

Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).

Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.

Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf :52).

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64).

Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.

Penyimpangan.
Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.

Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.

Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.

Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam. Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman, setidaknya begitu yang saya tahu . Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi.

Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam. Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat Islam.

Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa:
  • Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.
  • Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam.
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar. Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis:


Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan

Salam Damai
Catatan : Sengaja Metode Penulisan Agak sedikit berbeda, sesuai dengan kebutuhan .Siap-siap menunggu hujatan.

Benarkah banyak hadist sunni yg palsu ?

PERPECAHAN SUNNI VS SYI’AH SALAH SATUNYA KARENA HADIS HADiS SUNNI ASWAJA SALING KONTRADIKSI.. DENGAN KATA LAIN BAHWA HADIS HADIS SUNNI TELAH DIUTAK ATIK DAN DIJAMAH OLEH TANGAN TANGAN JAHIL LALU DI CAMPUR ADUK ANTARA YANG BENAR DENGAN YANG BATHIL SEHINGGA PENGANUT SUNNI TIDAK MAMPU LAGi MEMBEDAKAN MANA YANG ASLI DAN MANA YANG PALSU.


Sebuah pertanyaan penting yang timbul, bagaimana kita menyikapi hadist-hadist yang simpang siur, yang setiap golongan mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan menggunakan dalil-dalil hadistnya.
Jawaban pertanyaan ini pernah saya paparkan kepada seorang teman saya yang telah menjadi mu’alaf. Dia seorang mu’alaf yang tekun mempelajari agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tapi saking tekunnya dia malah menjadi bingung sendiri, karena fatwa yang dia dapat berbeda-beda pada setiap pesantren

Inti pertanyaannya adalah bagaimana menyikapi hadist-hadist yg saling kontradiksi dan apakah mengakui hadist itu wajib atau tidak.

Saya menjawab bahwa dialah yang harus memutuskan sendiri jawabannya. Saya hanya bercerita sedikit tentang sejarah hadist. Selanjutnya saya minta agar dia mempergunakan PIKIRAN nya, karena Allah selalu dan selalu menyuruh umatnya untuk BERPIKIR.

Dalam sejarahnya, pembukuan hadist itu secara resmi muncul lebih 200 tahun setelah meninggalnya Rasulullah. Pertama-tama oleh Imam Bukhari (meninggal 256H/870), lalu Muslim (meninggal 261H/875), Abu Daud (meninggal 275H/888), Tirmidzi (meninggal 270H/883), Ibn Maja (meninggal 273H/886), dan al-Nasa’i (meninggal 303H/915).

Dalam pernyataan pembukaannya, Bukhari (yang dianggap sebagai sumber nomor satu dari Hadits shahih) menyatakan bahwa dari hampir 600 ribu Hadits yang ia ketahui pada zamannya, dia hanya dapat memastikan sebanyak 7397 sebagai hadits shahih dari nabi Muhammad. Ini adalah suatu pengakuan dari para pendukung Hadits bahwa sedikitnya 98,76% dari apa yang orang diharuskan untuk percaya sebagai sumber kedua selain Al-Qur’an, dan sebagai salah satu sumber utama hukum Islam, adalah semata-mata suatu kebohongan belaka!

Seharusnyalah PIKIRAN dan LOGIKA kita bertanya :
Apakah yg dipakai oleh umat Islam pada masa sebelum 200 tahun itu?


Dalam suatu riwayat, Jabir ibn Abdullah menyampaikan bahwa Nabi Muhammad melihat seorang perempuan kemudian ia masuk rumah untuk menemui Zainab bint Jahsyn untuk menunaikan “hajat”-nya. Setelah usai, ia keluar menemui para sahabat sembari berkata, “Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu (hasrat seksual) karenanya, bersegeralah ke istrinya. Perilaku itu akan menghilangkan hasrat yang ada di dalam jiwa (dalam riwayat lain: akan menekan hasrat yang terpendam di dalam jiwa).” Hadis ini diriwayatkan Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Qathan, dan al-Albani. Semua ahli hadis ini memastikan bahwa hadis ini sahih.

Kita akan jadikan hadis ini sebagai obyek pembahasan untuk membuktikan bahwa ide berpedoman kepada hadis-hadis Nabi yang baru dikumpulkan dua ratus tahun setelah mangkatnya Nabi adalah keliru jika kita tidak mempertimbangkannya secara rasional dan logis. Rasionalitas dan logika akan membantu menentukan tingkat kesahihan suatu hadis. Prinsip-prinsip yang dipegang para perawi hadis, seperti ilmu jarh wa ta’dîl dan lain-lain, tidak sepenuhnya dapat dijadikan pedoman. Sebab, prinsip-prinsip ini tidak cukup mumpuni untuk membendung sampainya hadis-hadis sebagaimana disebutkan tadi kepada pembaca masa kini yang begitu saja meyakininya sahih dan dapat dipercaya.

Cobalah kita bayangkan kejadian yang digambarkan hadis di atas sesuai dengan konteks ruang dan waktunya. Bayangkanlah Nabi dan para sahabat yang duduk dalam satu majelis, lalu lewatlah seorang perempuan. Nabi melihatnya dan berhasrat padanya (atau karenanya). Ia lalu minta izin kepada para sahabat untuk masuk rumah menemui Zainab bint Jahsyn. Ia lantas menunaikan “hajat”-nya kepada Zainab dan segera kembali ke para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Ia lalu menjelaskan apa yang telah dilakukannya: “Perempuan datang menyerupai setan. Dalam kondisi seperti itu, sebaiknya seorang laki-laki segera menemui istrinya agar tidak termakan godaan setan.”

Mari kita analisa hadis di atas. Jika direka ulang, kita mendapat gambaran bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat dalam rangka berdiskusi tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan umat, agama, dan masyarakat. Dalam buku-buku sejarah kita tak pernah menemukan bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat hanya untuk bergurau menghabiskan waktu. Tiba-tiba seorang perempuan lewat, lalu Nabi segera meninggalkan perbincangan serius tentang berbagai masalah umat untuk menunaikan “hajat” kepada istrinya. Jelaslah bahwa perilaku ini tidak layak bagi seorang pemimpin seperti Nabi dan tidak pula sesuai dengan usianya ketika itu.

Semua riwayat yang menceritakan hadis ini memang tidak menjelaskan kondisi si perempuan yang lewat di hadapan Nabi dan para sahabat: Apakah ia muda atau tua; Apakah ia cantik atau tidak? Apakah ia berpakaian tertutup atau terbuka? Semua riwayat juga tidak menjelaskan alasan mengapa Nabi menoleh kepada perempuan itu, memperhatikannya, lalu meninggalkan forum sahabatnya.

Lepas dari pembicaraan penting antara Nabi dan para sahabat, siapa pun tidak pantas meninggalkan sebuah majelis sekadar untuk menunaikan “hajat” pada istrinya kemudian kembali lagi, seolah tak terjadi apa pun. Perilaku seperti ini tidak mungkin terjadi pada Nabi. Sikap ini mengandung penghinaan terhadap seorang tamu (jika ia tuan rumah), terhadap tuan rumah (jika ia seorang tamu), atau terhadap majelis manapun. Hal-hal seperti ini memang tidak dijelaskan di dalam hadis di atas.

Namun, Nabi masuk menemui Zainab, sesuai teks hadis, “kemudian menunaikan ‘hajat’ kepada Zainab dan segera keluar lagi menemui para sahabat…” Teks hadis ini, dengan berbagai riwayatnya, mengesankan bahwa Nabi menemui Zainab hanya dalam waktu yang singkat. Sebab ketika ia keluar, para sahabat masih duduk di tempat semula. Ini berarti Nabi datang tergesa-gesa kepada istrinya, kemudian menyetubuhinya, lalu mengalami orgasme dalam waktu singkat. Setelah itu, ia segera kembali lagi kepada para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Sikap seperti ini bukanlah watak Nabi dan bukan pula watak laki-laki mana pun yang menghargai diri sendiri dan istrinya.

Sebab Nabi pernah bersabda, “Janganlah seseorang menyetubuhi istrinya seperti hewan. Hendaklah ada rasûl di antara mereka.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan rasûl itu?” Beliau menjawab: “Ciuman dan rayuan.” Dalam riwayat Anas ibn Malik, Nabi bersabda, “Ada tiga kelemahan pada seorang laki-laki…” Ia antara lain menyebutkan: “Seorang laki-laki mendekati istrinya kemudian menyetubuhinya tanpa cumbu rayu. Ia menyetubuhi istrinya dan mencapai orgasme sebelum sang istri mencapai orgasme.”
Mungkinkah Nabi melarang sesuatu namun ia justru melakukannya? Tampaknya petunjuk Nabi dalam hal ini dapat kita lihat dalam penjelasan Imam Abu Hamid al-Ghazali: “Jika seseorang bersetubuh dengan istrinya, hendaklah ia memperlambat orgasmenya sehingga sang istri mencapai orgasme pula. Orgasme sang istri bisa jadi lebih lambat. Jika ia meninggalkan istrinya sebelum ia mencapai orgasme, dorongan syahwatnya tidak akan terpenuhi. Dengan demikian ia telah menyakiti sang istri. Perbedaan waktu datangnya orgasme ini membuat ketidaknyamanan ketika suami sudah orgasme lebih dulu. Orgasme secara berbarengangan lebih memberi kenikmatan bagi istri. Seorang suami tidak boleh bersikap egoistis. Bisa jadi istri merasa malu dalam hal ini. Maka, sang suami haruslah dapat memahaminya,”

Inilah penjelasan yang sangat baik tentang pentingnya seorang suami tidak tergesa-gesa mencapai orgasme lalu meninggalkan tempat tidur sebelum sang istri mencapai orgasme pula. Jika etika demikian berlaku bagi laki-laki biasa, apakah mungkin Nabi memperbolehkan dirinya untuk cepat-cepat mencapai orgasme tanpa mempedulikan istrinya?

Apa yang sedang dilakukan oleh Zainab ketika Nabi menemuinya? Apakah ia sedang sibuk dengan urusan rumah tangga atau sibuk dengan urusan agama? Dalam dua kondisi ini, apakah sang suami boleh datang kepadanya untuk mengajak berhubungan badan dan ia harus segera meninggalkan apa yang sedang ia kerjakan? Setelah beberapa saat, sang suami justru keluar menemui para sahabat. Apa yang Zainab lakukan kemudian? Apakah ia meneruskan kesibukannya dan seolah-olah tidak terjadi apa pun? Benar belaka, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi pernah bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (untuk berhubungan badan), tapi sang istri menolak, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi”. Tapi hadis ini secara implisit mengandung pengertian bahwa sang suami mengajak istrinya pada malam hari karena ada kalimat “sampai pagi”. Jika sang suami datang secara mendadak, langsung mengajak istrinya berhubungan badan, tapi sang istri menolak, apakah para malaikat tetap juga akan mengutuknya?!
Teks hadis kita menegaskan bahwa Nabi segera kembali menemui para sahabat. Apakah hal ini berhubungan dengan keinginan Nabi untuk segera menyelesaikan tema pembicaraan? Atau, ia ingin segera menjelaskan perilakunya yang sangat cepat itu kepada mereka?

Sesuatu yang lebih penting dari itu semua adalah, dalam hadis di atas, Nabi tampak begitu lemah berhadapan dengan sesuatu yang datang dari luar dirinya (faktor eksternal), yaitu setan. Dalam hadis itu pun Nabi berkata, “Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu karenanya, hendaklah ia menemui (menyetubuhi) istrinya. Yang demikian itu akan meredam hasrat (seksual) yang ada dalam jiwanya.” Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Albani disebutkan, “Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaklah kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu.”

Menyamakan perempuan dengan setan adalah pelecehan yang tidak mungkin dilakukan oleh Nabi. Menurut Alquran, beliau tak berbicara berdasarkan nafsu. Karena itu perlu dipahami bahwa menyamakan perempuan dengan setan adalah kasus yang umum pada agama-agama tauhid, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi. Penyamaan ini kadangkala sangat tak masuk akal. Contohnya adalah hadis Nabi riwayat Muslim: “Waspadalah terhadap dunia. Waspadalah terhadap perempuan. Sungguh, kerusakan pertama yang terjadi pada Bani Israel adalah karena perempuan.” Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi juga menegaskan: “Aku tidak meninggalkan cobaan yang paling berbahaya bagi laki-laki melebihi perempuan.”

Poin terakhir yang akan kita bahas adalah hadis al-Albani: “Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaknya kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu.” Hadis ini secara eksplisit mengandung unsur pelecehan kemanusiaan terhadap perempuan. Hadis ini memberikan pengertian bahwa jika seorang laki-laki tertarik (secara seksual) kepada seorang perempuan, hendaklah ia menemui istrinya. Karena, pada istrinya ada anggota tubuh yang sama dengan anggota tubuh yang diinginkan pada perempuan itu. Bukankah ini berarti menggeser status perempuan dari manusia istimewa menjadi laksana barang? Apakah perempuan hanya diinginkan karena tubuh (fisik)-nya? Apakah ucapan, interaksi, kelembutan, akal, dan jiwa perempuan tidak ada gunanya dalan hubungan seksual?

Akal yang sehat tentu tidak akan menerima sikap seperti itu terhadap perempuan. Seorang Nabi yang berwatak sebagai pendidik, arif, dan pemimpin umat, tidak mungkin memperlakukan perempuan seperti yang digambarkan di dalam hadis-hadis misoginis di atas. Hadis-hadis misoginis itu pun bertentangan dengan puluhan hadis lain yang menegaskan keharusan menghormati dan menghargai perempuan. Pertanyaanya: apakah hadis-hadis misoginis itu sahih? Apakah Nabi melakukan itu semua kemudian mengucapkan hadis-hadis misoginis? Ada dua jawaban: “ya” atau “tidak”. Jawaban yang pertama berarti pelecehan terhadap sosok Nabi yang dicintai dan dimuliakan. Jawaban yang kedua adalah yang benar.

Tampaknya kita harus berani mempertanyakan sikap para peneliti Muslim yang secara berlebihan mengaggap hadis sunni sebagai sumber kebenaran sejarah. Kita harus berani memulai penelitian terhadap wacana hadis sebagai sumber perdana yang lahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Kita harus meletakkannya dalam kerangka analisis yang rasional dan logis. Kita harus pula mengembalikan wacana hadis sunni pada kondisi ruang dan waktunya. Kita tidak perlu harus secara membabi-buta menjadikannya sebagai kaidah bagi perilaku kita hari ini. Kita tidak perlu bercermin kepadanya secara serampangan.
Andai Nabi Muhammad hari ini diutus kembali kepada kita sebagai masyarakat manusia, pasti ia akan menggunakan cara-cara yang rasional dalam memahami apa yang pernah ia ucapkan dulu. Dan sebetulnya, sebagian besar peninggalan sejarah yang kita miliki saat ini (turâts) masih dipenuh dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang luhur andai saja kita memperlakukannya secara rasional.

Penulis Sejarah menyadari adanya prasangka dari saksi-saksi pelapor suatu peristiwa atau keadaan dan para penyalur yang membentuk rangkaian Isnad. Ia juga harus menyadari kemungkinan adanya kesalahan dan kekeliruan mereka karena kelemahan-kelamahan manusiawai, seperti lupa, salah tanggap, salah tafsir, pengaruh penguasa terhadap dirinya, serta latar belakang keyakinan pribadinya. Suatu rangkaian Isnad yang lengkap , dengan penyalur-penyalur yang identitas orangnya dapat dipercaya, belum bisa menjadi kebenaran suatu berita.

Murthada al-Askari misalnya, telah berhasil menemukan nama 150 orasng sahabat nabi yang fiktif, yang telah dimasukan oleh para penulis sejarah lama sebagai saksi-saksi pelapor. Penulis sejarah semacam ini telah memasukan nama berbagai kota dan sungai yang kenyataannnya tidak pernah ada. Al’ Amin berhasil mengumpulkan nama 700 nama pembohong yang pernah mengada-adakan berita tentang Nabi Muhammad, bahkan ada yang menyampaikan seorang diri beribu-ribu hadis palsu. Diantar mereka terdapat para pembohong Zuhud, yang sembahyang, mengaji dan berdoa semalaman tetapi pada pagi hari mulai duduk mengajar dan berbohong seharian.

Sebenarnya para ulama jaman dahulu telah mengetahui cerita fiktif, dan telah mengenal para penulis buku tersebut sebagai pembohong , tetapi karena berbagai sebab, keritik-keritik mereka terhenti ditengah jalan. Kedudukan Ulama makin beralih ke “tugas dakwah” dan “mengabaikan penelitian”. Penelitian dijaman para sahabatpun dilupakan. Ditutupnya pintu ijtihad, telah menambah parahnya perkembangan penelitian sejarah jaman para sahabat dan tabiin, generasi kedua. Sedangkan para ulama terus bertaklid pada ijtihad para imam yang hidup pada masa-masa kemudian.
.
Itulah sebabnya buku-buku yang mengandung hasil studi yang kritis tidak lagi mendapatkan pasaran. Karena “pikiran-pikiran baru” ini akan membuat dirinya terasing dalam kalangannya sendiri dan dari masyarakat yang telah “mantap” dalam keyakinan.

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: