Uni Soviet mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan tertarik dengan misi Sukarno untuk membebaskan seluruh Hindia Timur dari pemerintahan kolonial Belanda. Dukungan terbuka dan bantuan persenjataan Moskow terhadap Jakarta memaksa Belanda untuk bernegosiasi di meja perundingan.
Tak seperti perjuangan pembebasan negara-negara jajahan Inggris yang akhirnya diberi jalan untuk merdeka dan membentuk negara baru, Indonesia benar-benar harus melawan Belanda dalam perang empat tahun untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya.
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Papua. Pemerintah Belanda beralasan bahwa pulau dan suku-suku yang mendiami Papua memiliki kebudayaan mereka sendiri yang berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya.
Presiden pertama RI Sukarno, yang memimpin gerakan kemerdekaan Indonesia, membuat misi pribadi untuk membebaskan wilayah yang saat itu disebut sebagai Irian Barat dari kekuasaan Belanda.
“Pada awalnya, ini adalah upaya yang sia-sia,” kata Clarice Van den Hengel, seorang peneliti dan ahli Indonesia yang tinggal di Den Haag, kepada RBTH. “Awalnya, Amerika, yang telah membentuk NATO, mendukung Belanda, sedangkan Stalin tidak peduli dengan Indonesia yang berada jauh di khatulistiwa.”
Upaya Sukarno untuk membebaskan Irian Barat dimulai dengan melakukan negosiasi bilateral langsung dengan Belanda. Ketika langkah ini gagal, Indonesia kemudian mencoba untuk menggalang dukungan di Majelis Umum PBB. Namun, hal ini pun terbukti sia-sia.
Konfrontasi
Pada tahun 1956, Presiden Sukarno, yang memiliki kecenderungan jiwa sosialis yang kuat, melakukan kunjungan pertamanya ke Moskow. Di Moskow, sang presiden pertama RI membahas sengketa negaranya dengan Belanda, yang kemudian disebut sebagai Sengketa Irian Barat.
Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan Afrika, dengan cepat mengumumkan dukungannya terhadap Indonesia yang pada waktu itu tengah berupaya mendapatkan dukungan di PBB.
Moskow juga mulai mempersenjatai angkatan bersenjata Indonesia. Dari akhir 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Sukarno pada 1966, Uni Soviet telah memasok Indonesia dengan satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom.
“Situasi benar-benar berubah ketika Indonesia dipersenjatai oleh Soviet,” kata Van den Hengel. “Belanda sudah kalah perang dengan rakyat Indonesia dan tidak siapa untuk berurusan dengan tentara Indonesia yang dilengkapi dengan senjata modern.”
Dengan dukungan persenjataan Soviet, Indonesia memulai kebijakan konfrontasi dengan Belanda pada tahun 1960.
Subandrio Bertemu Khrushchev
Konfrontasi antara Indonesia dan Belanda melibatkan kombinasi tekanan diplomatik, politik, dan ekonomi, serta kekuatan militer yang terbatas.
Tahap akhir konfrontasi memaksa invasi militer berskala penuh, suatu rencana berisiko yang akan memaksa Amerika untuk campur tangan dan membantu sekutu NATO mereka.
Selama puncak konfrontasi, Subandrio, menteri luar negeri Sukarno yang fasih berbahasa Rusia, terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet.
Nikita Khrushchev menggambarkan peristiwa yang berujung pada konfrontasi ini dalam memoarnya. “Saya bertanya kepada Subandrio, ‘Seberapa besar kemungkinan kesepakatan (dengan Belanda) bisa tercapai’,” tulis Khruschev.
“Dia menjawab, ‘Tidak terlalu besar.’ Saya bilang, ‘Jika Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang yang, pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja’.”
Meskipun dukungan Moskow terhadap Indonesia sangat jelas dan dinyatakan secara terbuka, pembicaraan antara Khrushchev dan Subandrio ini seharusnya bersifat rahasia. Namun, sang menlu, menurut memoar Khrushchev, mengungkapkan hasil pembicaraannya itu kepada Amerika, yang sama sekali tak ingin terjebak dalam krisis lain yang berpotensi menjadi Perang Dunia.
“Ini menjadi momen berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat,” kata Van den Hengel. “Selain ingin menghindari konfrontasi langsung dengan Uni Soviet, AS tidak ingin terlihat bahwa negaranya tampak mendukung penjajah Eropa melawan negara dunia ketiga yang baru merdeka.”
Di bawah tekanan Amerika, pada Agustus 1962, Belanda akhirnya setuju untuk menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Pada 1963, wilayah Irian Barat akhirnya diserahkan kepada Indonesia.
Setelah referendum tahun 1969, atau yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat dengan suara bulat memilih bergabung dengan Indonesia. Meskipun dibantah oleh beberapa pengamat Barat, hasil referendum diterima oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, serta 81 anggota PBB lainnya.
Namun, Belanda mengembangkan sekelompok orang yang hendak menentang penggabungan wilayah Papua dengan Indonesia. Unsur-unsur ini kemudian membentuk gerakan separatis yang hingga kini masih aktif di Papua.
(RBTH-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev memberi hormat pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam kunjungannya ke Jakarta tahun 1959. (Foto: The LIFE Picture Collection)
Tak seperti perjuangan pembebasan negara-negara jajahan Inggris yang akhirnya diberi jalan untuk merdeka dan membentuk negara baru, Indonesia benar-benar harus melawan Belanda dalam perang empat tahun untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya.
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Papua. Pemerintah Belanda beralasan bahwa pulau dan suku-suku yang mendiami Papua memiliki kebudayaan mereka sendiri yang berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya.
Presiden pertama RI Sukarno, yang memimpin gerakan kemerdekaan Indonesia, membuat misi pribadi untuk membebaskan wilayah yang saat itu disebut sebagai Irian Barat dari kekuasaan Belanda.
Nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo, pahlawan nasional Indonesia dari Papua, pernah mengatakan, “Perubahan nama Papua menjadi Irian, selain mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.” (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107 – 108).
“Pada awalnya, ini adalah upaya yang sia-sia,” kata Clarice Van den Hengel, seorang peneliti dan ahli Indonesia yang tinggal di Den Haag, kepada RBTH. “Awalnya, Amerika, yang telah membentuk NATO, mendukung Belanda, sedangkan Stalin tidak peduli dengan Indonesia yang berada jauh di khatulistiwa.”
Upaya Sukarno untuk membebaskan Irian Barat dimulai dengan melakukan negosiasi bilateral langsung dengan Belanda. Ketika langkah ini gagal, Indonesia kemudian mencoba untuk menggalang dukungan di Majelis Umum PBB. Namun, hal ini pun terbukti sia-sia.
Konfrontasi
Pada tahun 1956, Presiden Sukarno, yang memiliki kecenderungan jiwa sosialis yang kuat, melakukan kunjungan pertamanya ke Moskow. Di Moskow, sang presiden pertama RI membahas sengketa negaranya dengan Belanda, yang kemudian disebut sebagai Sengketa Irian Barat.
Dari kiri ke kanan: kosmonot legendaris Uni Soviet Yuri Gagarin, Nikita Khruchev, Presiden RI Soekarno, dan Leonid Brezhnev di Kremlin, Moskow, Juni 1961. (Foto: RIA Novosti)
Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan Afrika, dengan cepat mengumumkan dukungannya terhadap Indonesia yang pada waktu itu tengah berupaya mendapatkan dukungan di PBB.
Moskow juga mulai mempersenjatai angkatan bersenjata Indonesia. Dari akhir 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Sukarno pada 1966, Uni Soviet telah memasok Indonesia dengan satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom.
Aktivitas militer Indonesia terus meningkat di wilyah yang dipersengketakan ini sampai pertengahan tahun 1962. AU RI mulai beroperasi dari pangkalan di pulau-pulau sekitar Irian Barat dan pesawat pengebom Tupolev Tu-16 yang dikirim Soviet — lengkap dengan misil antikapal AS-1 Kennel/KS-1 Kome — dikerahkan untuk mengantisipasi serangan kapal HNLMS Karel Doorman milik Belanda. (Foto: Wikipedia)
“Situasi benar-benar berubah ketika Indonesia dipersenjatai oleh Soviet,” kata Van den Hengel. “Belanda sudah kalah perang dengan rakyat Indonesia dan tidak siapa untuk berurusan dengan tentara Indonesia yang dilengkapi dengan senjata modern.”
Dengan dukungan persenjataan Soviet, Indonesia memulai kebijakan konfrontasi dengan Belanda pada tahun 1960.
Subandrio Bertemu Khrushchev
Konfrontasi antara Indonesia dan Belanda melibatkan kombinasi tekanan diplomatik, politik, dan ekonomi, serta kekuatan militer yang terbatas.
Tahap akhir konfrontasi memaksa invasi militer berskala penuh, suatu rencana berisiko yang akan memaksa Amerika untuk campur tangan dan membantu sekutu NATO mereka.
Menteri Luar Negeri RI Subandrio (1964). (Foto: Wikipedia)
Selama puncak konfrontasi, Subandrio, menteri luar negeri Sukarno yang fasih berbahasa Rusia, terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet.
Nikita Khrushchev menggambarkan peristiwa yang berujung pada konfrontasi ini dalam memoarnya. “Saya bertanya kepada Subandrio, ‘Seberapa besar kemungkinan kesepakatan (dengan Belanda) bisa tercapai’,” tulis Khruschev.
“Dia menjawab, ‘Tidak terlalu besar.’ Saya bilang, ‘Jika Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang yang, pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja’.”
Meskipun dukungan Moskow terhadap Indonesia sangat jelas dan dinyatakan secara terbuka, pembicaraan antara Khrushchev dan Subandrio ini seharusnya bersifat rahasia. Namun, sang menlu, menurut memoar Khrushchev, mengungkapkan hasil pembicaraannya itu kepada Amerika, yang sama sekali tak ingin terjebak dalam krisis lain yang berpotensi menjadi Perang Dunia.
“Ini menjadi momen berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat,” kata Van den Hengel. “Selain ingin menghindari konfrontasi langsung dengan Uni Soviet, AS tidak ingin terlihat bahwa negaranya tampak mendukung penjajah Eropa melawan negara dunia ketiga yang baru merdeka.”
Di bawah tekanan Amerika, pada Agustus 1962, Belanda akhirnya setuju untuk menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Pada 1963, wilayah Irian Barat akhirnya diserahkan kepada Indonesia.
Setelah referendum tahun 1969, atau yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat dengan suara bulat memilih bergabung dengan Indonesia. Meskipun dibantah oleh beberapa pengamat Barat, hasil referendum diterima oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, serta 81 anggota PBB lainnya.
Namun, Belanda mengembangkan sekelompok orang yang hendak menentang penggabungan wilayah Papua dengan Indonesia. Unsur-unsur ini kemudian membentuk gerakan separatis yang hingga kini masih aktif di Papua.
(RBTH-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email