Pesan Rahbar

Home » » Perbedaan Irfan teoritis dan Irfan praktis

Perbedaan Irfan teoritis dan Irfan praktis

Written By Unknown on Monday 22 February 2016 | 14:32:00


Terdapat dua makna yang digunakan dalam bidang Irfan praktis:
1. Suluk itu sendiri dan segala perbuatan yang dilakukan.
2. Ajaran-ajarannya yang mengandung tentang metode suluk.

Irfan teoritis terkadang digunakan sebagai lawan kata dari makna pertama. Dan terkadang kebalikan dari makna kedua dari dua makna Irfan praktis di atas. Artinya Irfan teoritis adalah menjelaskan temuan-temuan dan capaian-capaian seorang salik atau berada pada tataran menjelaskan pembahasan ontologi dan ilmu yang mengkaji tentang manusia.


Terdapat ragam ungkapan dan penjelasan pada ucapan-ucapan para ahli makrifat dalam menerangkan Irfan teoritis dan Irfan praktis dan perbedaan di antara keduanya.

Penjelasan pertama:


Irfan memiliki dua dimensi:

1. Dimensi sosial (tasawwuf): Dalam dimensi ini yang menjadi obyek kajian adalah Irfan sebagai mazhab sosial dengan segala tipologi yang dimilikinya.[1]

2. Dimensi keilmuan dan kebudayaan: Dan dimensi ini sendiri terdiri dari dua bagian lainnnya:

a. Praktis, dari dimensi ini Irfan ingin mengubah manusia dan singkatnya menjelaskan pelbagai hubungan dan tugas manusia terkait dengan dirinya, semesta dan Tuhan.

b. Teoritis, dari dimensi ini Irfan ingin memberikan penafsiran dan interpretasi tentang keberadaan; artinya interpretasi tentang Tuhan, semesta dan diri manusia.[2]


Penjelasan kedua:

Pembahasan yang membimbing seseorang untuk bagaimana mengenal manusia, manusia sempurna (insan kamil), tauhid, nama-nama, dan sifat-sifat Tuhan serta masalah ontologi seluruhnya merupakan tema-tema penting yang diusung dalam pembahasan Irfan teoritis. Adapun terkait dengan masalah zuhud, kecintaan, riyadhah, dzikir, berbuat kebaikan, beribadah dan lain sebagainya merupakan tema-tema yang diangkat dalam pembahasan Irfan praktis.[3]

Penjelasan Ketiga:

Dalam Irfan teoritis (nazhari) apa yang disaksikan dengan hati dijelaskan dengan lisan akal.[4]


Penjelasan Keempat:

Pengarang kitab Irfan teoritis setelah menjelaskan matlab ini bahwa yang paling asasi dalam masalah Irfan Islami (unsur-unsur utama Irfan) adalah:
1. Wahdat.
2. Syuhud.
3. Fana.
4. Riyadah (olah jiwa).
5. Cinta (isyq).

Dalam menjelaskan perbedaan antara Irfan teoritis dan praktis, ia berkata: "Irfan praktis adalah mengimplementasikan program-program yang sarat dengan usaha dan kerja keras dalam melintasi pelbagai tingkatan dan stasiun untuk sampai pada derajat-derajat dan kondisi-kondisi di jalan meraih makrifat irfani dan sampai kepada tauhid dan kefanaan yang disebut sebagai thariqat. Adapun Irfan teoritis adalah sekumpulan redaksi dan ungkapan para arif terkait dengan pelbagai pengetahuan, capaian syuhudinya tentang hakikat semesta dan manusia.[5]


Penjelasan Kelima:

Dalam kitab Tamhid al-Qawâid, setelah menjelaskan pelbagai objeksi ilmiah (isykalan) yang diarahkan pada fondasi-fondasi Irfan teoritis (nazhari) tentang keharusan adanya seorang manusia sempurna (insan kamil), objeksi-objeksi ini mengarah pada fondasi Irfan praktis – untuk sampai pada derajat yang disebut sebagai Kaun Jami' – dan disebutkan bahwa: "Ucapan-ucapan yang telah lewat merupakan objeksi-objeksi yang mengarah pada Irfan teoritis. Dan obyeksi-obyeksi ini terkait dengan Irfan praktis.

Ayatullah Jawadi Amuli dalam memberikan ulasan terkait masalah ini berkata: "Yang dimaksud dengan Irfan amali (praktis) dalam hal ini adalah sekumpulan ajaran dan bimbingan yang menyangkut masalah metodologi dan tata laku. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan Irfan praktis yang membentuk teks suluk dan perbuatan dengan pelbagai redaksi, proposisi, masalah dan semisalnya.[6] Ayatullah Jawadi Amuli menegaskan bahwa dalam Irfan yang mengemuka bukanlah sebuah masalah atau sebuah proposisi. Yang mengemuka adalah tingkatan dan stasiun. Artinya seorang arif berupaya dengan melintasi tingkatan-tingkatan, ia sampai pada tingkatan ain al-yaqin yang bukan merupakan sebuah pengetahuan yang dicapai dengan pemahaman, melainkan sebuah penyaksian (syuhud) terhadap realitas sebenarnya.

Mereka yang mencerap dan memahami sebuah realitas melalui pemahaman dan konsep adalah laksana orang yang menyaksikan asap yang muncul dari api. Akan tetapi mereka yang seperti Haritsa bin Malik yang telah berhasil menyingkirkan media, menyaksikan langsung dengan ain al-yaqin wujud api.

Yang menarik adalah menyaksikan api

Bukan sekedar melihat membumbung dari kejauhan asap api

Akan tetapi Irfan teoritis yang bersandar dan berpijak pada konsep dan pemahaman sebagai ilmu memiliki proposisi dan argumentasi.[7]

Kesimpulan pembahasan:
Sebagaimana yang telah dikaji pada kesempatan kali ini secara lahir terdapat kontradiksi dan kerancuan dalam penjelasan-penjelasan ini. Akan tetapi dengan sedikit menyimak secara teliti atas matlab yang dijelaskan akan menjadi terang bahwa keluasan dan kesempitan pemahaman Irfan teoritis bergantung pada bagaimana kita memaknai Irfan praktis dalam benak kita.

Terkait dengan Irfan praktis terdapat dua makna yang mengemuka:
1. Suluk itu sendiri dan perbuatan
2. Ajaran-ajarannya yang mengandung tentang metode suluk.
Dua penjelasan pertama terkait dengan perbedaan antara Irfan teoritis dan Irfan praktis. Lantaran Irfan teoritis terkadang digunakan sebagai lawan kata dari makna kedua. Adapun tiga penjelasan belakangan Irfan teoritis diposisikan berhadapan (lawan kata dari) dengan makna pertama. Dan sesuai dengan ungkapan kedua tidak ada masalah bahwa seluruh pembahasan Asfar Arba'ah (Empat Perjalanan) dan penjelasan tingkatan-tingkatan sair suluk dan qaus su'ud, zuhud, kecintaan (mahabbah), riyadhah (olah jiwa) dan sebagianya dikemukakan dalam Irfan teoritis.[]


Catatan kaki:
[1]. Atas dasar ini ia disebut sebagai firqah sufiyah. Dalam buku "Mabâni Irfân wa Tasawwuf" karya Dr. Qasim Anshari pada pelajaran pertama dijelaskan alasan penamaan firqah ini sebagai firqah sufiyah.
[2]. Syahid Muthahhari, Asynai ba 'Ulum-e Islami, bag. Irfân, hal. 76-77.
[3]. Nazhimzadeh Qummi, 'Ali Aiyine 'Irfan, hal. 40-41.
[4]. Syahid Muthahhari, A^synâi bâ 'Ulûm-e Islâmi, bag. Irfân, hal. 76-77.
[5]. Dr. Yatsribi, Irfân Nazhari, hal. 38-53.
[6]. Ayatullah Jawadi Amuli, Tahrir Tamhid al-Qawâid, hal. 598-601.
[7]. Ayatullah Jawadi Amuli, Tahrir Tamhid al-Qawâid, hal. 13 dan 158.

(Syiah-Menjawab/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: