Pesan Rahbar

Home » » Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 10

Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 10

Written By Unknown on Wednesday, 26 October 2016 | 01:26:00


Terkadang, manusia menjadi sibuk dengan urusan dunia tanpa disadarinya. Bahkan, ia disibukkan dengan berbagai keangkuhan dan kesombongan. Ia tidak tahu bahwa dengan itu dirinya tengah diuji. Jika ingin menyesatkan seorang alim atau orang yang beragama, setan akan menggodanya dengan kesombongan yang berhubungan dengan keahlian yang dimiliki orang tcrsebut. Umpama dikatakan, “Saya memiliki murid seperti ini,“ atau, “Saya memiliki pengikut-pengikut seperti ini,“ atau, “Saya mengarang buku lebih banyak dari orang lain dan murid-murid yang belajar kepada saya lebih banyak dari orang lain,” dan seterusnya.

Ihwal yang membuat manusia lupa kepada Allah adalah kesombongan. Jika seorang pejuang berkata, “Saya telah pergi ke medan perang satu kali,” atau, “Saya pergi lebih banyak dari orang lain,” maka ini merupakan sebuah kesombongan.

Sesungguhnya, sangatlah sulit untuk mengetahui jalan yang lurus menuju kebenaran dan kebajikan. Karena itu, disebutkan bahwa shirat al-mustaqim (jalan yang lurus) itu lebih tipis dari sehelai rambut dan lebih tajam dari sebilah pedang.

Almarhum Muhaqqiq al-Thusi ―semoga Allah menyucikan jiwanya― dalam tulisannya yang bertajuk Al-Mabda wa al-Ma’ad171 menulis tentang dari mana, ke mana, dan melalui jalan mana manusia akan berjalan. Beliau kemudian melanjutkan bahwa jalan tersebut lebih tipis dibanding sehelai rambut dan lebih tajam dari sebilah pedang. Artinya, sangatlah sulit bagi seseorang untuk mengetahui dan melaksanakan kewajiban. Manusia akan mengalami kesulitan yang luar biasa untuk mengetahui apa saja yang menjadi kewajiban dirinya. Semua itu ibarat melintasi jalan yang lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam dari sebilah pedang. Dan yang lebih sulit darinya adalah menunaikan kewajiban itu sendiri.

Tidak mudah bagi manusia untuk mencapai rahasia ibadah. Berbagai masalah akan merintangi seseorang untuk mengetahui jalan tersebut. Ditambah lagi dengan berbagai masalah yang ada dijalan itu sendiri. Jika manusia tidak tertipu oleh tanah dan harta, setan akan merasuk dan menipunya dengan cara yang lain. Karenanya, Almarhum al-Ustadz al-Allamah Thabathabai ―semoga Allah meridhoinya― mengatakan bahwa tanpa disadari, manusia telah menghabiskan umurnya di bawah kekuasaan setan. Oleh sebab itu, ia harus senantiasa mengintrospeksi dirinya setiap hari.

Keberadaan shirat al-mustaqim ―yang kita ucapkan setiap hari, yang artinya tunjukkanlah kami jalan yang lurus― lebih halus daripada sehelai ratnbut dan lebih tajam dari sebilah pedang. Amatlah sulit untuk mengetahui jalan ini. Dan tentu jauh lebih sulit lagi untuk mengamalkannya. Jika manusia mengetahui dan melalui jalan ini, ia akan lebih afdhal dari malaikat. Bahkan malaikat akan menjadi pembantunya. Malaikat akan membuka pintu-pintu surga dan berkata pada orang mukmin: “Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.”(al-Zumar: 73) Beginilah cara malaikat menyambut orang-orang mukmin.

Malaikat merupakan pembantu orang mukmin dan itu tidak terjadi begitu saja serta bisa diperoleh secara cuma-cuma. Mereka adalah malaikat yang mendoakan orang-orang yang sedang berpuasa dan malaikat yang berdiri dari bumi sampai arsy untuk mendoakan orang yang sedang shalat. Adalah hal yang pelik dan sulit bagi manusia untuk menentukan jalan, mengetahui, dan mengerjakan kewajibannya. Sebab untuknya, dibutuhkan niat yang benar-benar suci.

Pada hari kiamat, shirat al-mustaqim akan menjadi jembatan yang berada di atas neraka jahanam, yang di kelilingi api yang menyala-nyala. Bagi sebagian orang, menjalankan agama merupakan perkara yang mudah. Namun bagi sebagian lainnya, itu menjadi hal yang sangat sulit.

Dalam doa di hari ke tiga belas bulan Ramadhan, kita meminta kepada Allah: “Ya Allah, sucikanlah kami dari kekotoran.” Janganlah kalian meminta harta atau tempat tinggal, sebab Allah Swt telah memberikan urusan-urusan ini dan tak akan pernah meninggalkan seorang pun tanpa pertolongan-Nya.

Dalam doa bulan Sya’ban, kita membaca: “Wahai Yang Memberi kepada orang yang tidak meminta dan memberi kepada orang yang tidak mengenali-Nya sebagai kasih sayang dan rahmat dari-Nya, berikanlah kepadaku seluruh kebaikan di dunia dan seluruh kebaikan di akhirat dan jauhkanlah aku dari seluruh keburukan di dunia dan seluruh keburukan di akhirat. Sesungguhnya apa yang Engkau berikan tidaklah berkurang dan tambahkanlah kebaikan-Mu kepadaku, Wahai Yang Maha Dermawan.”172

Dalam ungkapan agama disebutkan, bila kalian ingin mengetahui nilai dan kekayaan dunia, lihatlah di tempat siapa kalian berada. Jika berada di tempat orang shalih, ia akan memiliki nilai. Namun bila berada di tempat orang-orang yang tidak shalih, maka ia tidaklah bernilai.

Amirul Mukminin Ali as menyampaikan argumen ini173: “Apakah Rasul di sisi Allah dimuliakan dan ditetapkan atau tidak?” Apakah di sisi Allah, Rasul memiliki kemuliaan ataukah tidak? Itu merupakan sesuatu yang pasti Allah bcrfirman: “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-Mu.”(Alam Nasyrah: 4) Kedati di sisi Allah, Rasul dimuliakan dan ditetapkan, dan ini tidak diragukan lagi, namun kehidupan beliau sangatlah sederhana. Hal ini tentu tidak bisa lagi diperdebatkan.

Kemudian Imam Ali as berkata: “Dunia tidak berada di sisi Nabi.” Adapun ketika kita mengatakan bahwa harta dan kekayaan merupakan kesempurnaan, maka itu sama artinya ―semoga Allah menjauhkan― Allah tidak memuliakan nabi dan Allah tidak memberinya kedudukan yang laik baginya. Kemudian Imam berkata: “Apakah seseorang bisa mengatakan bahwa Allah Swt tidak memuliakan nabi-Nya? Jika Allah tidak memuliakan nabi-Nya, maka Allah menghinakan nabi-Nya.

Adapun jika kalian mengatakan bahwa Allah memberinya kemuliaan dan tidak menahan satu kemuliaan pun, maka ini berarti bahwa dunia dan kekayaan bukanlah bagian dari kesempurnaan. Karena jika itu termasuk kesempurnaan, maka Allah Swt pasti memberikan itu kepada nabi-Nya dan makna ini bisa dibuat dalam bentuk perhitungan matematis yang jelas.”

Segala sesuatu yang dapat menjadikan manusia melupakan Allah adalah dunia. Kadangkala setan memperdaya seorang mujahid atau pengawal revolusi dan mendorong mereka untuk mengatakan: “Aku pergi ke medan perang sebanyak sepuluh tali, sedangkan selainku hanya satu kali.” Ia membanggakan prestasi dirinya terhadap orang lain. Atau setan akan berkata kepada orang alim: “Katakan bahwa aku mengarang sepuluh buku sedang selainku hanya lima buku.”

Dengan terjadinya kecongkakan semacam ini, setan telah berhasil memperdaya manusia. Adapun terhadap orang lain yang memiliki keahlian berbeda, setan juga akan menggodanya dengan cara yang lain. Sarana dan keahlian yang dimiliki seseorang dapat mengeluarkannya dari jalan yang lurus. Janganlah seseorang berharap bahwa setan tidak akan bekerja di saat dirinya sedang lalai. Setan senantiasa menggunakan setiap kesempatan untuk terus menggoda.

Dalam buku al-Amali, pada pertemuan ke tujuh, al-Shaduq mengatakan: Imam Shadiq as berkata: “Perluaslah hati kalian. Jika Allah membersihkannya dari yang terlintas berupa kebencian terhadap ciptaan-Nya, jika kalian mendapatkannya seperti itu, maka mintalah kepada Allah apa yang kalian inginkan.” Selamilah lubuk hati kalian yang paling dalam, dan lihatlah apa yang kalian temukan di situ: Apakah dalam “lautan” hati terdapat “ikan-ikan” yang diharamkan ataukah “ikan-ikan” yang halal? Cermatilah apa yang melintas dalam lautan hatimu.

Dikarenakan kedudukannya yang tinggi, kedatangan seorang mukmin akan disambut para malaikat. Perluaslah lautan hati dan lihatlah apa yang melintasdi dalamnya! Dengan apakah hati kalian disibukkan? Pada malam hari, dengan apakah hati kalian menjadi sibuk? Adakah kalian sebagai orang-orang yang terkalahkan di medan perang atau agama Allah menjadi hidup di atas tangan kalian? Jika lubuk hati manusia tidak mengandungi apapun selain motivasi untuk menghidupkan agama Allah, maka ia bisa disebut sebagai hati yang bersih. Dalam khutbah bulan Sya’ban. Rasul mewasiatkan: “Mintalah kepada Allah apa yang kalian inginkan.” Mintalah kepada Allah Swt, segala sesuatu yang kalian inginkan.

Imam Hasan al-Mujtaba as berkata: “Jika manusia menjaga hatinya dan tidak membiarkan melintas di dalamnya apa yang tidak diridhai Allah, maka aku menjamin bagi dikabulkan-Nya doanya. Dan aku menjamin orang yang di dalam hatinya tidak terlintas kecuali apa yang diridhai Allah akan dikabulkan permintaannya.”174

Selama manusia sibuk memikirkan dirinya, selama itu pula ia tidak akan mendapatkan faidh Ilahi. Manusia seperti ini tidak akan merasa tenang. Sebaliknya, ia akan senantiasa merasa letih dan terbebani olehnya. Manusia tak akan meraih kesenangan kecuali setelah terbebas dari belenggu jiwanya.

Murid-murid Imam Khomeini ―semoga Allah mensucikan jiwanya― di Najaf yang mulia meminta izin beliau agar diperbolehkan mencetak risalah beliau ke dalam bahasa Urdu, sehingga mereka dapat mengirimkannya ke Pakistan. Imam berkata: “Bukankah di sana sudah ada risalah?” Mereka berkata: “Ada oleh sebagian marji’.” Imam berkata: “Kalau demikian, itu sudah memadai.”

Apabila manusia sudah menjadi seperti itu, Allah tentu akan menjaganya. Karenanya, baik musuh maupun teman, akan mengetahui bahwa Imam bekerja karena Allah Swt. Siapapun yang bertindak seperti ini, Allah pasti akan menjaganya.

Memang mustahil untuk mencapai maqam para imam maksum yang sedemikian tinggi. Namun untuk meraih maqam murid-murid beliau merupakan perkara yang mungkin. Almarhum Ayatullah Syekh Muhammad Taqi al-Amuli175 ―semoga Allah meridhainya― adalah suri teladan bagi kerendah hatian, sopan santun, fiqh, dan hikmah.

Beliau berkata: “Aku bermimpi musuh-musuh menyerangku, maka aku bertempur melawan mereka dengan pertempuran yang keras. Dan aku melihat salah seorang dari mereka tidak mau melepaskanku. Aku tidak melihat adanya jalan lain untuk lepas darinya kecuali dengan menggigit tangannya agar ia meninggalkanku. Aku pun terbangun dan mendapatiku menggigit tanganku sendiri. Mereka telah menginformasikan kepadaku melalui mimpi: ‘Engkau tidak memiliki musuh kecuali dirimu sendiri, maka berusahalah untuk lepas darinya.’”

Musuh manusia tak lain dari dirinya sendiri. Mimpi seperti ini tidak diperlihatkan Allah kepada setiap orang. Untuk memperoleh mimpi yang baik semacam ini, seseorang harus memenuhi banyak persyaratan.

Dalam sebagian riwayat yang berasal dari para imam as dikatakan bahwa apabila seseorang berada di bawah naungan pertolongan Allah: “Allah akan memperlihatkan keburukan-keburukannya beserta penawarnya.”176 Allah Swt akan menyingkapkan keburukan yang ada pada diri orang tersebut beserta obat penawarnya. Jika manusia tetap menjaga kesadaran dirinya di saat tidur, Allah akan menganugerahinya berbagai mimpi baik yang bermanfaat.

“Dan angkatlah tangan kalian untuk berdoa kepada-Nya di waktu kalian shalat, karena itu adalah paling baiknya waktu, Allah melihat hamba-Nya dengan rahmat-Nya.” Hari-hari di bulan Ramadhan merupakan hari-hari yang paling baik dalam setiap tahun dan waktu-waktu shalat di bulan Ramadhan mempakan waktu-waktu yang paling baik, saat mana Allah akan melihat hamba-Nya dengan ‘ain al-rahmah dan barakah.

“Allah menjawab mereka yang bermunajat kepada-Nya.”177 Allah akan menjawab setiap orang yang bermunajat kepada-Nya. “Dan menjawab panggilan orang yang memanggil-Nya.” Jika seorang hamba merasa jauh dan kemudian memanggil Allah, maka Allah akan menjawab permintaannya.

Sebagaimana kisah yang terjadi pada nabi Yunus yang difirmankan Allah Swt: “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap bahwa tidak ada tuhan selain Engkau.”(al-Anbiya’: 87) Jika berada dalam bahaya, manusia merasakan dirinya jauh dari-Nya.

“Dan mengabulkan kepada mereka jika mereka meminta kepada-Nya.” Kemudian Rasul bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya jiwa-jiwa kalian tergantung pada amal kalian, maka lepaskanlah ketergantungan itu dengan istighfar.” Wahai manusia, kalian bukanlah orang yang merdeka, jiwa kalian tergantung pada amal kalian. Artinya, perbuatan yang kalian lakukan adalah sangkar dan tali yang menjadikan jiwa kalian terikat dengannya, ia menjadi bergantung dan kalian tidak merdeka.

Seseorang yang berhutang akan membayar jaminan untuknya. Orang menjadikan perabot rumah tangga, rumah, atau permadani sebagai jaminan dari uang yang dipinjamnya. Ketika manusia diminta untuk memperlihatkan akidah, budi pekerti, dan amal shalihnya, maka yang diambil sebagai jaminan bukanlah hartanya, melainkan jiwanya.

Berkenaan dengan sifat yang dimiliki manusia yang merdeka. Amirul Mukminin Ali as menyebutkan, “Orang yang meninggalkan hawa nafsunya adalah orang yang merdeka.” Sedikit sekali kenikmatan yang menyerupai nikmat kebebasan.

Rasul saww bersabda: “Berusahalah untuk menjadi orang yang merdeka pada bulan ini. Lepaskanlah jaminan kalian dengan ber-istighfar dan meminta maaf” Al-Quran al-Karim menyatakan: “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”(al-Thur: 21) “Tap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Kecuali golongan kanan.”(al-Mudatsir: 38-39) Orang yang merdeka adalah orang yang melakukan pekerjaan yang dipenuhi dengan keberuntungan dan keberkahan. Mereka adalah orang-orang yang tidak dikuasai amarah dan hawa nafsu.

Terkadang. kita melihat seseorang yang dizalimi membalas orang yang menzaliminya dengan cara yang berlebihan. Ini membuktikan bahwa tindakannya dilakukan atas desakan emosi, bukan logika. Terkadang kita juga melihat seseorang yang membanggakan dirinya dan mengatakan apa yang disukainya, melakukan apa yang diinginkannya, dan pergi ke tempat yang disukainya. Orang seperti ini semata-mata bergantung pada syahwatnya. Segenap perbuatan dan ucapannya tidak sesuai dengan akal. Apabila ingin mengetahui apakah manusia ini merdeka atau terbelunggu, kita harus memperhatikan akalnya, yakni bagaimanakah ia berpikir!

Pelaksanaan revolusi bukan dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada Allah. Kita adalah hamba Allah dan kita melaksanakan revolusi agar kita tidak dikuasai oleh sesuatu selain Allah Swt.

Dalam suratnya kepada Malik al-Asytar178, Imam Ali as berkata: “Agama ini dahulu dibelenggu oleh orang-orang yang buruk, yang bekerja dalam agama dengan nafsu dan keinginan duniawi.” Sebelum revolusi Islam tercetus, agama Islam terbelenggu sedemikian rupa di tangan penguasa kerajaan. Dahulu, agama ini terpenjara dan dipenjara oleh orang-orang yang keji, dan memperlakukan dan menafsirkannya sesuai dengan keinginan mereka.

Revolusi ini datang untuk membebaskan agama dari orang-orang keji dan bermaksud menjadikan manusia sebagai hamba Allah, tidak kepada selain-Nya.

Amal yang paling baik di bulan ini adalah memerdekakan manusia. Kalian terikat dalam sangkar dan belenggu besi yang kalian buat dengan tangan kalian sendiri, sehingga kalian terpenjara di dalamnya. Apakah di bulan ini kalian tidak ingin terbebas dari sangkar dan penjara tersebut? Orang-orang yang merdeka hanyalah Ashab al-Yamin, yang hidup bebas di alam akhirat.

Cara paling utama demi membebaskan diri kita dari belenggu semacam itu adalah dengan ber-istighfar dan meminta maaf. Kita diperintahkan untuk mengulang-ulang istighfar di bulan Ramadhan: “Aku ber-istighfar kepada Allah dan aku bertaubat kepada-Nya.” Ketika sedang melaksanakan shalat maupun tidak, mintalah ampunan bagi diri kalian dan orang lain, agar belenggu besi penjara itu menjadi hancur. Dengan demikian, persoalannya bukan lagi berkisar tentang bagaimana kita beramal agar kita tidak masuk neraka atau agar kita masuk surga sehingga kita dapat makan minum di dalamnya. Tujuannya jauh lebih tinggi dari sekadar itu.

Allah Swt memang menganugerahkan berbagai nikmat kepada umat manusia, namun bukan itu yang kita jadikan pokok pembicaraan. Kita menyembah Allah bukan lantaran kita berharap dapat memasuki surga dan memakan buah-buahan di dalamnya. Nabi saww bersabda: “Jadilah kalian orang yang merdeka.” Tak ada sesuatupun yang dapat menakut-nakuti atau memikat kalian. Sesuai dengan penegasan Islam, terdapat dua faktor yang menyebabkan orang-orang mengalami kekalahan dalam peperangan; kecintaan untuk tetap tinggal di dunia dan takut akan kebebasan. Islam merendahkan dan menolak kedua hal tersebut. Ia kemudian juga menjelaskan kepada kita mengenai dua hal lain. Pertama, tidak boleh condang kepada dunia, dan kedua, jangan takut dan cemas akan hal yang ghaib. Semua itu merupakan petunjuk umum yang termaktub dalam al-Quran.

“Dan punggung kalian berat oleh beban-beban kalian, maka ringankanlah itu dengan memperpanjang sujud kalian.”179 Punggung kalian menjadi berat dikarenakan banyaknya dosa. Karenanya, segera ringankanlah beban tersebut dengan memperpanjang sujud.

Imam Sajjad as, dalam doa Abu Hamzah al-Tsimali, menjelaskan bagaimana bentuk kebangkitan manusia dari alam kubur serta gambaran kiamat180: “Apa yang membuatku tidak menangis, aku menangis karena keluarnya jiwaku, aku menangis karena gelapnya kuburku, aku menangis karena sempitnya lahatku, aku menangis karena pertanyaan Munkar dan Nakir kepadaku, aku menangis karena aku keluar dari kuburku dengan telanjang dan hina.” Beban dosa memang sangatlah berat. Namun dengan bersujud, beban tersebut akan menjadi ringan.

Imam Ali as menjelaskan dengan indah sabda dari Rasul saww: “Selamatlah orang-orang yang ringan.” Mereka yang ringan bebannya akan menjadi orang-orang yang selamat.

Imam Ali as berkata: “Peringanlah kalian agar sampai.”181 Ringankanlah dosa-dosa kalian agar kalian sampai: “Dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka yang belum rnenyusul mereka, bahwa mereka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(Ali Imran: 170)

Arti dari kalimat, “orang-orang yang belum menyusul mereka”, adalah orang-orang yang masih berada dalam perjalanan dan memiliki potenssi untuk sampai; namun mereka belum sampai. Adapun orang-orang yang sama sekali tidak berada dalam perjalanan, tidak disebut sebagai ‘orang-orang yang belum sampai’. Mobil yang diparkir di garasi rumah tidak bisa disebut sudah sampai. Tetapi jika di jalanan terdapat dua buah mobil, salah satu di antaranya melaju dengan kecepatan tinggi sedangkan yang satunya lagi biasa-biasa saja, dan manakala yang pertama tiba di tujuannya, maka ia dikatakan ‘sudah sampai’, sementara yang kedua dikatakan ‘belum sampai’.

Para syuhada tidaklah mengarahkan seruannya kepada setiap orang. Mereka hanya menyeru kepada orang-orang yang sedang berada di perjalanan, “kemarilah.” Seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan ingin sampai pada tujuannya harus meringankan bebannya: “Peringanlah kalian agar sampai.”

Meringankan beban dosa merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mencapai tujuannya. Bahkan terkadang, selain dirinya, seseorang juga dapat menjadikan orang lain tiba di tujuan. Itu dikarenakan ringannya beban yang dibawanya. Syekh Bahai ―semoga Allah meridhainya― meriwayatkan bahwa ketika terjadi kebakaran di kota, gubernur yang menjabat saat itu, Salman al-Farisi ―semoga Allah meridhainya― berhasil lolos dari kepungan api lantaran hanya memiliki al-Quran dan pedang. Ketika api tengah berkobar, ia segera mengambil Quran dan pedangnya. Serta merta, dirinya pun selamat. Saat itu ia berkata: “Beginilah orang-orang yang ringan, selamat.” Artinya, pada hari kiamat, manusia yang ringan dosanya akan terselamatkan seperti ini.

Dalam keadaan bahaya, beban yang berat tentu akan sulit dibawa. Dan, sebagaimana yang dikatakan Rasul saww, cara paling efektif untuk meringankan beratnya beban akibat perbuatan dosa adalah dengan memperpanjang sujud. Memang, ada sebagian orang yang tidak mampu sujud berlama-lama. Akan tetapi keutamaan ini tetap terdapat pada saat shalat dan selain shalat. Ia akan meringankan beban kita. Jika manusia mampu mengelak dari keburukan dirinya, maka tak satupun yang sanggup menggetarkan dan menyakiti dirinya.

Jiwa merupakan sumber penyakit bagi manusia. Ia mendorong keinginan manusia untuk memiliki segala sesuatu yang dilihatnya, baik berupa mobil, rumah, atau makanan, karena memang sebelumnya ia tidak memiliki semua hal itu. Karena tak memilikinya, ia lantas mengeluh serta menghabiskan waktunya untuk berusaha mendapatkannya. Maka hasil yang diperolehnya adalah sebagaimana yang diibaratkan Imam Ali as: “Akhir dari kehidupan mereka adalah antara dapur dan kamar mandi.”182

Dalam kehidupan ini, mereka tidak melihat adanya sebuah tujuan yang agung. Mereka tak akan menolong seorang pun dalam kehidupannya, dan tidak pernah mengerti tentang mengapa dirinya ada dan apa yang menjadi kewajiban dirinya. Jika bebannya ringan, manusia tentu akan mampu melepaskan diri dari musuh-musuhnya. Kelezatan yang pertama kali dirasakannya adalah keterbebasan dari kungkungan musuh internalnya, yaitu jiwanya. Baru kemudian ia akan merasakan berbagai kelezatan lain.


Referensi:

171. Isi dari risalah yang dikirimkan kepada dua orang alim dan terdiri dari 20 bab ini meliputi permasalahan yang berkenaan dengan hari kiamat.
172. Mafatih al-Jinan, Bab “A’mal Syahru Rajab”.
173. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-151 dan 182; Bihar al-Anwar, juz 73, hal. 110 dan 123.
174. Nasik at-Tawarikh.
175. Untuk mengetahui lebih jauh, lihat Syarif Razi, Tazkirah al-Maqabir fi Ahwal al-Mafajir.
176. Wasiat-wasiat Rasul kepada Abu Dzar: “Tidak ada seorang hamba pun yang Zuhud di dunia kecuali Allah menetapkan hikmah dalam hatinya dan lisannya berbicara dengan hikmah tersebut. Keburukan dunia, baik penyakit maupun obatnya akan diperlihatkan kepadanya dan ia akan dihindarkan darinya dengan selamat menuju surga.” Lihat, Majmu’ah Warram, juz 2, hal. 57.
177. Al-munajat dan an-najwa artinya berdoa dengan tenang. Adapun al-munadah diperuntukkan bagi seseorang yang memanggil darijauh.
178. Risalah Imam Ali kepada Malik al-Asytar, dalam Nahj al-Balaghah, risalah ke-53.
179. Syaikh al-Baha’i, Arbain, Kutbah al-Sya’baniyah, hadis ke-9.
180. Mafatih al-Jinan, dalam doa Abu Hamzah al-Simali.
181. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-21 dan 168.
182. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-3.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: