Pesan Rahbar

Home » » Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 11

Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 11

Written By Unknown on Wednesday 26 October 2016 | 01:19:00


Al-asl al-mustarak (dasar penyatuan) di antara berbagai ibadah adalah ketika seseorang yang telah mencapai rahasia-rahasia ibadah mampu melihat Ma’bud-nya (sesuatu yang disembah, yakni Allah Swt). Rahasia adalah sesuatu yang bersifat batiniah. Dan aspek batiniah dari ibadah kepada Allah adalah melihat-Nya. Untuk mengetahui apakah seseorang hanya semata-mata mengindahkan aspek hukum dan adab beribadah ataukah telah melampauinya dan telah mencapai rahasia ibadah, maka harus diperhatikan apakah ia telah melihat Ma’bud-nya atau belum. Demikianlah cara untuk mengetahuinya.

Perlu juga diperhatikan bahwa sesungguhnya penglihatan terhadap sang Ma’bud memiliki banyak tingkatan. Di mana tingkatan yang paling akhir darinya adalah melihat langsung (musyahadah) sang Ma’bud. Adapun tingkat pertama dari penglihatan tersebut adalah dengan masuk ke dalam lubuk hatinya dan merenungi sesuatu yang terdapat di dalamnya, adakah dalam lubuk hatinya selain Allah Swt? Dengan apa ia terikat? Jika terikat dengan berbagai kelezatan pribadi dan berbagai hal yang bersifat parsial, maka ketahuilah, ia belum mencapai rahasia ibadah dan hatinya tidak sepenuhnya mencintai Allah. Hati dari orang yang telah melihat Ma’bud-nya akan menjadi tempat hudhur (kehadiran) dan dhuhur (penampakan) sang Ma’bud tersebut.

Imam Ali as telah mencapai tingkat paling akhir dalam melihat sang Ma’bud. Imam Ali as berkata: “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.” Artinya, ia bukan seperti orang-orang yang menyembah Allah tanpa melihat-Nya dengan mata hati. Tingkatan pertama ditempuh dengan cara melihat apa yang menjadi keinginan seseorang. Apakah ia meminta kepada Allah untuk dirinya, ataukah justru dirinya yang diperuntukkan untuk Allah? Apakah ia menyembah Allah dan menjadikan-Nya sarana untuk mendapatkan kehidupan yang menyenangkan dan menjadikan ibadah sebagai wasilah (perantara) untuk masuk ke surga, ataukah menjadikan diri dan ibadahnya semata-mata demi mendapatkan ridha Allah Swt?

Inilah yang terdapat dalam khutbah bulan Sya’ban yang di sampaikan Rasulullah Muhammad saww: “Berdoalah kepada Allah dengan hati yang bersih dan niat yang suci.” Imam Shadiq as menjelaskan tentang hati yang bersih: “Hati yang tidak melintas di dalamnya selain Allah Swt.” Dan juga dari Imam Shadiq as ketika menjelaskan makna ayat: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.”(al-Muluk: 2)

Kematian dan kehidupan merupakan wasilah sekaligus ujian, yang darinya bisa dibedakan mana orang yang mengerjakan amal baik dengan mana yang tidak, dan bukan untuk menjelaskan siapa yang paling banyak ibadahnya. Persoalannya bukanlah berkisar tentang kuantitas, melainkan kualitas ibadah. Imam berkata: “Yang dimaksud bukanlah yang paling banyak amalnya di antara kalian. Tetapi yang amalnya paling benar. Targetnya adalah takut kepada Allah dan niat yang bersih.”

Kemudian Imam berkata: “Amal yang murni adalah amal yang Anda tidak ingin seorang pun memuji Anda, kecuali pujian itu datang dari Allah Swt. Dan niat lebih afdhal dari amal.183 Kematian dan kehidupan itu tak lain adalah untuk menjelaskan manakah orang yang paling benar amalnya.”184

Disebutkan bahwa para pengikut hakikat kebenaran amat takut kepada Allah. karena hati mereka murni untuk-Nya? Perbuatan yang murni adalah perbuatan yang dikerjakan seseorang tanpa mengharap pujian seorang pun dan tidak berkata, “mengapa mereka tidak bersyukur kepadaku?“ Sangatlah disayangkan apabila dalam melakukan suatu perbuatan, seseorang mengharap ucapan terima kasih serta pujian dari orang lain. Orang yang memiliki kedudukan mulia adalah orang yang tidak menginginkan pujian orang lain. Manusia yang shalih hanya menginginkan dan mengharapkan pujian Ilahi.

Ya, niat lebih baik daripada amal, karena niat yang kuat dan murnilah yang memotivasi manusia untuk melakukan kebaikan. Pemurnian niat lebih sulit daripada pelaksanaan amal. Karena itu, mereka berkata: “Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya.”185 Selanjutnya juga dikatakan: “Amal yang paling baik adalah yang paling kuat.”186 Semakin sulit mengerjakan suatu amal, semakin banyak pula pahalanya.

Dalam hal ini, terdapat dua pokok agama yang apabila dibahas secara bersamaan akan menghasilkan kesimpulan bahwa penyucian niat merupakan ikhtiar yang sangat sulit sekali. Bagaimana bisa amal yang paling afdhal dan paling sulit diberi ganjaran pahala lebih sedikit dibandingkan penyucian niat? Mengapa keberadaan niat lebih afdhal daripada amal? Bukankah berniat lebih mudah ketimbang beramal?

Mungkin saja seseorang mengikuti peperangan dan menemui kesyahidan. Menempuh kesyahidan tidaklah sulit. Tetapi berniat secara ikhlas kepada Allah-lah yang sulit. Menekan hawa nafsu dan menentang setanlah yang sulit. Karena ita, Imam Maksum berkata: “Niat lebih afdhal daripada amal.” Karena niat merupakan ruh-nya amal. Sehingga dikatakan pula: “Hadirkanlah niat ketika beribadah.”

Bayangkan diri Anda tengah melakukan shalat dhuhur. Dalam istilah mantiq (logika), secara haml al-awwali (melihat kepada mafhuml pemahaman-akal saja), hal itu bisa dikatakan sebagai pendekatan diri kepada Allah. Adapun secara haml al-sayi’ (melihat kepada misdaq wujud-luarnya), hal itu tak lain dari sebuah kelalaian. Yang dimaksud dengan niat bukanlah seperti ini. Melainkan, muncul dari terbangnya ruh. Seseorang dikatakan berniat apabila terbang dari alam tabiat menuju ke tingkatan yang lebih tinggi. Inilah yang secara haml al-sayi’ disebut dengan niat. Jika tidak, itu hanya penampakan yang bersifat hushuli dan mafhum dzihni. Dan ini merupakan ibadah paling rendah yang tetap wajib kita tunaikan. Dan apabila telah ditunaikan, kewajiban itu menjadi gugur dan tak perlu lagi diulang atau di-qadha.

Keberadaan niat yang berhubungan dengan aspek batin dari amal, lebih tinggi daripada keberadaan amal. Sebabnya, niat memiliki makna penghadiran dan terbangnya ruh. Inilah alasan mengapa orang-orang menegaskan bahwa keberadaan niat lebih afdhal daripada keberadaan amal, sehingga dikatakan: “Mintalah kepada Allah dengan niat yang bersih.” Inilah yang disebut dengan niat. Jika seseorang membaca al-Quran ―yang juga merupakan ibadah― dan melihat siapa yang diajak berbicara dalam bacaannya, ia bisa dikatakan telah mencapai rahasia bacaan. Jika telah mampu melihat Ma’bud dengan ruh dalam ibadahnya, maka seseorang telah mencapai rahasia ibadah.

Amirul Mukminin Ali as berkata: “Maka Allah Swt menampakkan kepada mereka melalui kitab-Nya tanpa mereka melihat-Nya.”187

Dengan begitu, kegiatan membaca al-Quran memiliki rahasia, yaitu melihat Yang Berbicara. Membaca al-Quran memiliki tatakrama dan hukum, yaitu bagaimana melantunkan kalimat-kalimat dan huruf-huruf berdasarkan mahraj-nya. seperti kapan harus berhenti dan kapan sudah sampai. Ini merupakan bagian dari hukum dan tatakrama membaca.

Adapun rahasia membaca adalah melihat Allah Swt. Dengan demikian, seseorang harus membaca al-Quran dengan cara melihat siapa yang berbicara dan menyembah dengan cara melihat Allah Swt. Tingkatan pertama dari ibadah di dunia dalam hal melihat Ma’bud adalah ketika hati seseorang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan selain Allah, dan manusia bisa dengan mudah memeriksa apakah di dalam hatinya terdapat kecintaan kepada Allah ataukah tidak.

Imam Sajjad as berkata: “Seandainya (mati) seluruh yang ada di Timur dan di Barat, aku tidak takut setelah al-Quran bersamaku.”188 Jika membaca, maliki yaumiddin, Imam senantiasa mengulangnya sampai seolah-olah beliau tengah mendekati ajalnya.189 Apakah makna ucapan Imam bahwa jika seluruh umat manusia meninggal dunia sehingga tak ada seorang pun yang hidup di muka bumi, maka beliau tidak merasa takut dan mengalami kesendirian selama al-Quran masih bersamanya? Terkadang manusia merasakan “sumpek” (letih jiwa) dan ketakutan lantaran tidak memiliki seseorang yang dapat membuatnya bahagia. Mungkin maksud dari ungkapan Imam ini adalah seandainya seluruh umat manusia mati ―maksudnya adalah kekafiran, karena kematian yang hakiki adalah kekufuran― maka Imam tidak akan pernah merasakan ketakutan.

Pada hakikatnya, kematian manusia adalah kematian ruhnya. Dari sudut pandang al-Quran, orang kafir adalah orang yang mati ruhnya. Orang yang hidup adalah orang yang meyakini agama Allah Swt.”Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.”(Yasin: 70) Allah memfirmankan kepada Rasul-Nya bahwa di saat kekufuran telah menyebar dan menyelimuti seluruh bumi, dan tak ada seorang pun yang menolongmu, maka berjuanglah sendirian.”Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri.” (al-Nisa: 84)

Apabila tak ada seorang pun yang ikut di belakang Anda dalam peperangan sehingga Anda harus sendirian menghadapi musuh, maka tetaplah perangi mereka. Sebab Yang Mewahyukan al-Quran kepadamu senantiasa mendapingimu. Siapakah yang lebih lezat ucapannya dibanding Allah Swt? Allah Swt berbicara dengan seseorang yang sedang membaca al-Quran.

Dan salah satu tatakrama dalam membaca al-Quran ketika seseorang membaca ayat: “Wahai orang-orang yang beriman,” dan menjawab: “Labbaik (aku sambut panggilan-Mu dan siap menerima perintah-Mu,” Ini merupakan komunikasi yang nyata yang juga ditujukan kepada kita, Dialog dengan Allah Swt terjadi tatkala seseorang mengatakan, “labbaik,” ― ungkapan yang biasanya digunakan seseorang yang menjawab panggilan orang lain― saat membaca ayat: “Wahai orang-orang yang beriman.”

Begitu pula dengan firman Allah Swt kepada Rasul-Nya: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindangan kepadamu, maka lindangilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.”(al-Taubah: 6) yang mengisyaratkan bahwa apa yang dibaca manusia adalah firman Allah. Dan kita mendengarnya dari lisan hamba-Nya.

Bagaimana kalian memahami penjelasan Allah tentang keharusan memerangi orang-orang kafir dan Allah akan menyiksa mereka dengan tangan-tangan kalian? Siksaan datangnya dari Allah Swt, sedangkan pelaksananya adalah kalian. Tangan-tangan kalian mempakan perpanjangan “tangan” Allah Swt, “Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu.”(al-Taubah: 14) Manusia merupakan perantara bagi Allah Swt. “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka).”(al-Anfal: 17)

Sesungguhnya seseorang tengah mendengarkan firman Allah Swt ketika dirinya membaca al-Quran, Karena itu disebutkan, jika orang kafir mati mendengarkan ayat-ayat Allah, berikanlah perlindangan kepadanya, sehingga ia dapat mendengarkan firman Allah Swt dengan sungguh- sungguh, Sebagaimana tangannya, ucapan seorang mukmin juga menjadi perantara “tangan“ Allah, yakni untuk berbicara kepada Allah dan mengajukan permintaannya kepada-Nya. Karena itu, tatkala kita mendengar seseorang mernbaca ayat: “Wahai orang-orang yang beriman,” maka sesuai dengan adab membaca dan mendengarkan al-Quran, kita harus mengucapkan: “labbaik,” yang merupakan jawaban atas panggilan. Jika tidak ada panggilan, maka talbiah (jawaban) tidak akan bermanfaat.

Al-Quran tidak serupa dengan buku-buku lainnya: “Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang.”(al-A’raf: 204) Artinya, seluruh anggota tubuh harus menjadi telinga yang mendengarkan dan memahami ayat-ayat al-Quran yang dilantunkan orang. Jangan-lah kalian berbicara ketika al-Quran sedang dilantunkan.

Tentunya untuk itu juga tidak cukup hanya dengan diam, melainkan harus didengarkan dan disimak baik-baik. Seseorang yang tidak mendengarkan al-Quran, tidak akan memperoleh pemahaman tentangnya. Menyimak berbeda dengan mendengar. Karena itu, dalam mendengarkan lantunan al-Quran tentu tidak cukup hanya dengan diam, melainkan juga harus diiringi dengan upaya untuk memahaminya.

Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, ketika membicarakan orang- orang kafir, untuk mengatakan kepada mereka: “Wahai orang-orang kafir.” Adapun ketika berbicara dengan orang-orang mukmin. Allah Swt berfirman: “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: ‘Salamun alaikum.’”(al-An’am: 54)

Orang yang mengikuti ajaran al-Quran memiliki kedudukan yang khusus. Sebagian orang mendengarkan sabda Nabi saww dan sebagian lagi mendengarkan firman-fiman Allah Swt. Oleh sebab itulah, Imam Sajjad as berkata, jika al-Quran bersamaku, aku tidak akan pernah takut terhadap apapun, sekalipun seluruh makhluk di bumi ini mati, baik kematian yang bersifat zahir maupun hakiki. Kematian hakiki adalah kekufuran. Dan apabila seluruh penghuni dunia menjadi kafir, maka itu tidak ada pengaruhnya terhadap diriku selama al-Quran bersamaku.

Kita tidak merasa takut terhadap apapun, karena seorang mukmin yang menemui kematian ketika berperang dengan orang kafir tidak akan kehilangan apapun, melainkan hanya mengalami perpindahan dari alam dunia yang serba terbatas menuju alam akhirat. Dan pada hakikatnya, terjadinya kematian itu merupakan suatu kepastian.

Rahasia ibadah dicapai apabila seorang hamba, melalui hatinya, mampu “melihat” Ma’bud-nya. Ini bukanlah sesuatu kemustabilan apabila ia telah memenuhi aturan, adab, dan syarat-syarat tertentu. Bagaimana cara mengetahui ada-tidaknya Ma’bud selain Allah dalam hati kita, dan amal apa yang dapat menghantarkan kita kepada Allah Swt? Caranya adalah dengan berupaya menjaga kedua mata dan telinganya dari segenap bentuk kemaksiatan dan melaksanakan taklif syar’i, baik di tempat kerja maupun di rumah. Inilah cara-cara yang dapat menghantarkan seseorang menuju maqam yang telah kita sebutkan di atas.

Almarhum Sayyid Abdul Husein Syarafuddin ―semoga Allah merahmatinya― ketika menjelaskan keadaan sebagian tokoh ulama di dalam bukunya al-Muraja’at, berkata: “Sebagian ulama memiliki program khusus di dalam rumahnya, dengan membagi tugas pada anggota keluarganya. Maksudnya, setiap anggota keluarga beramal siang-malam sehingga rumahnya tetap bercahaya. Anggota keluarga, setelah makan malam, tidak semuanya tidur sampai pagi, tetapi mereka bergantian untuk beribadah. Contohnya, fulan sibuk dengan beribadah, belajar, diskusi, membaca al-Quran, dan berdoa sampai waktu tertentu, sedangkan yang lain tidur. Kemudian salah seorang bangun untuk beribadah dan berzikir, dan selainnya tidur. Setelah menghabiskan waktunya beribadah, yang lain bangun. Begitulah seterusnya, rumah itu tetap bercahaya dengan ibadah dan doa.”

Seandainya kalian melihat keluarga yang dibina oleh Syeikh Anshori, atau pribadi seperti Bahrul Ulum dan selainnya, maka kalian akan menjumpai keluarga yang mulia dan terhormat. Semua itu merupakan hasil jerih payah dari pembinaan yang dilakukan beliau secara terus-menerus terhadap keluarganya.

Allah Swt tidak begitu saja memberikan keistimewaan kepada seseorang sebagaimana yang diterima keluarga ini, yang terus berusaha agar rumah mereka tetap terang-benderang sampai fajar menjelang, dan dalam rumahnya tidak dilakukan satupun pekerjaan kecuali yang diridhai Allah Swt. Agar rumah kita secara bertahap menjadi pusat cahaya petunjuk, dan menjadi tempat yang terang benderang, kita harus selalu membaca al-Quran dan menjadikannya hakim dalam rumah kita. Rumah ini akan diterangi cahaya yang dipancarkan para malaikat dari langit, sebagaimana bintang-bintang yang menerangi bumi.

Ketika memandang ke angkasa luar, seseorang akan menyaksikan bahwa sebagian tempat tampak terang benderang, sementara sebagiannya lagi terlihat gelap gulita. Sebagian tempat terdapat bintang-bintang, sementara sebagian lagi kosong darinya. Sebaliknya pula, tatkala para malaikat memandang penghuni bumi, mereka akan melihat adanya sebagian tempat yang terang benderang, dan sebagian lagi tampak gelap gulita atau kurang bercahaya. Ala kulli hal, rumah yang di dalamnya senantiasa dibacakan al-Quran dapat menerangi penduduk langit.

Al-Shadiqah al-Kubra (Fathimah) ―salam atasnya― disebut al-Zahra yang memiliki arti 'yang menerangi', dikarenakan rumah, mihrab, dan tempat beliau beribadah memancarkan cahaya yang menerangi penghuni langit. Manusia yang memiliki kesempurnaan akan memancarkan cahaya yang menerangi penghuni langit.

Terdapat dua ayat al-Quran al-Karim yang mengisyaratkan tentang sekelompok malaikat dan penjaga arsy yang mendoakan orang mukmin. Serta sekelompok malaikat lain yang memintakan ampunan bagi orang- orang yang menyembah Allah Swt: “(Malaikat-malaikat) yang memikul arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih dan memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman.”(al-Mukmin: 7) Dan dalam ayat yang lain, dikatakan tentang adanya sekelompok malaikat lain yang meminta ampunan bagi seluruh umat manusia di bumi.

Disebutkan bahwa maksud dari kedua ayat ini adalah satu, di mana ampunan yang dimintakan para malaikat rahmat yang menjaga arsy diperuntukan bagi orang-orang mukmin. Maksud ayat: “Serta memintakan ampun hagi orang-orang yang beriman.” Ini juga diperuntukan bagi orang mukmin. Karena selain terhadap mukmin, mereka tidak dapat melihat apapun selain kegelapan. Setiap rumah yang penghuninya dimintakan ampunan oleh para malaikat adalah rumah yang menjadikan agama sebagai hakim (yang menghakimi). Rumah tersebut memancarkan cahaya yang terang benderang dan senantiasa dimintakan ampunan oleh para malaikat.

Adapun rumah yang dihuni orang kafir akan gelap gulita, sehingga para malaikat tidak dapat melihatnya. Dan pada hari kiamat, Allah tidak akan melihatnya: “Dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat.”(al-Baqarah: 174) “Dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat.”(al-Imran: 77) Sebagaimana cahaya bintang-bintang yang menerangi bumi, rumah-rumah yang di dalamnya disembah Allah swt, akan memancarkan cahaya yang menerangi langit. Jika seseorang mampu menjadikan tempat kerja, rumah, atau lingkungan hidupnya bercahaya sehagaimana bintang-bintang tersebut, maka secara bertahap ia akan mencapai maqam yang tinggi. Pada tahap awal, seseorang akan merasa sangat kesulitan untuk menempuh jalan ini. Namun lewat usaha yang terus-menerus, semua itu akan menjadi mudah.

Sebagian orang memandang bahwa kalimat yang keliru dapat menjadikannya bingung dan frustasi, sebagaimana sebagian orang yang merasa kebingungan bahkan kesal terhadap paparan yang rumit berkenaan dengan masalah-masalah rasional dan pengetahuan-pengetahuan Ilahi, dikarenakan mereka tidak menyukai masalah-masalah tersebut. Kita menyaksikan bahwa seseorang yang sudah terbiasa menghadiri majelis orang-orang pandir, tidak merasa tersiksa dan marah ketika mendengarkan perkataan-perkataan mereka dari orang lain. Manusia mampu mendidik dirinya sendiri dan mengarahkannya sesuai dengan keinginannya. Lantas, mengapa ia tidak mendidik dirinya dalam hal kebaikan? Mengapa kita tidak membiasakan diri untuk mengerjakan kebaikan?

Jika kita ingin mengetahui, apakah kita telah mencapai rahasia ibadah atau belum, kita harus melihat ke dalam diri kita sendiri; apakah kita sudah melihat Allah ataukah belum. Seorang hamba akan mengetahui rahasia ibadah apabila ia tidak lagi melihat adanya selain Allah dalam hatinya. Dan pengetahuan tentang rahasia memiliki sejumlah tahapan. Namun, semua tahapan tersebut berpijak di atas prinsip bahwa manusia sudah tidak lagi menjumpai di dalam hatinya sesuatu yang layak dicintai selain Allah Swt. Ketika itu terjadi, kegelisahan seseorang pasti akan lenyap. Apapun yang hilang darinya tak lagi memiliki arti dikarenakan tak ada satupun yang dicintainya (kecuali Allah Swt). Segala sesuatu yang tidak diinginkannya akan lenyap. Karena itu, manusia yang arif tidak memiliki keinginan terhadap apapun dan tidak bersedih atas hilangnya berbagai hal dari dirinya.

Kadangkala manusia merasa sedih dan sumpek atas apa yang telah terjadi dan merasa takut atau khawatir dengan apa yang akan terjadi. Sesuatu yang hilang dari dirinya akan menjadikannya bersedih. Atau terkadang seseorang merasa takut terhadap masa depan lantaran sesuatu yang dimilikinya akan hilang. Jika seseorang telah berhasil melewati masa lampau sekaligus masa yang akan datang, yang selama ini telah membuatnya ketakutan, maka ia laksana orang yang datang dari “atas” zaman dan menjejakan kedua kakinya di atas masa lampau dan masa yang akan datang. Ia tidak bersedih terhadap apa yang telah hilang darinya dan tidak merasa khawatir akan kehilangan apapun yang ada pada dirinya.

Dalam ibarat Ibnu Sina: “Orang yang arif tersenyum ketika memuliakan yang lebih kecil darinya karena tawadhu, dan memu1iakan orang yang lebih besar darinya serta menyenangkan orang yang tidak ia kenal, seperti yang muncul dari dalam niat. Bagaimana ia tidak senang sedang ia mencintai Allah.”

Hati orang mukmin senantiasa diliputi kebahagiaan. Dan ini merupakan tanda bahwa ia telah mencapai rahasia ibadah. Ketahuilah bahwa Allah Swt bersumpah dengan ke-izzah-an-Nya untuk tidak menyiksa orang-orang yang sedang shalat dan sujud, dan pada hari kiamat Dia tidak akan menakut-nakuti mereka dengan api neraka190: “Mereka tidak mendengar sedikitpun suara api neraka.”(al-Anbiya’: 102) “Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang memberikan iftar (buka) bagi orang yang berpuasa karena Allah di bulan ini, maka itu di sisi Allah sama dengan membebaskan budak dan pengampunan bagi dosanya di masa lampau.” Seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah, tidaklah kami semuanya mampu untuk melakukannya.” Rasul bersabda: “Takutlah kepada api neraka, walaupun hanya dengan memberikan sepotong kurma.”191

Setiap orang yang memberikan makanan untuk berbuka puasa di bulan yang mulia ini akan diampuni dosa-dosanya, serta akan mendapatkan pahala yang sama dengan yang diterima oleh orang yang membebaskan budak. Apakah Allah akan memberikan pahala sebagaimana yang diterima orang yang membebaskan budak? Atau orang yang berpuasalah yang membebaskan dirinya?

Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah ditanya: “Keutamaan ini bagi orang yang memberikan makanan untuk berbuka, sedang kami tidak mampu untuk melakukannya, maka bagaimana kami bisa sampai kepada pemberian pahala ini?” Rasul bersabda: “Kalian bisa melakukannya walaupun dengan sepotong kurma.” Pada saat itu, keadaan memanglah sulit, sehingga memberikan sepotong kurma demi membatalkan puasa menjadi sangat berarti.

Suatu ketika, ada orang yang ingin memperdaya manusia dengan mengatakan kepada mereka: Apa yang kalian keluhkan? Tentang suatu kekurangan ataukah kelebihan? Semua itu tak lain demi kemaslahatan kalian sebagaimana telah ditentukan Allah. Allah Swt berfirman dalam salah satu ayat al-Quran al-Karim: Dan tidak ada sesuatu pun melainkan di sisi Kami lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.

Allah telah menurunkan anugerah sesuai dengan maslahatnya masing- masing, namun mengapa kalian tetap mengeluh? Segala sesuatu yang ada dalam genggaman kalian sesungguhnya telah ada dalam khazanah Ilahi. Allah memandang kadar sesuatu yang diturunkan dari khazanah-Nya sesuai dengan kemaslahatan kalian. Karenanya, mengapa kalian tetap mengeluh mengenai kelebihan dan kekurangan?

Pada suatu ketika, Ahnaf pernah berdiri untuk memprotes Muawiyah yang sedang berbicara di depan umum: “Wahai Muawiyah, terdapat tiga hal yang engkau campur aduk menjadi satu. Pertama, setiap rahasia termaktub dalam khazanah Ilahi dan tidak ada keraguan tentangnya. Kedua, Allah telah menurunkan untuk hamba-hamba-Nya dari khazanah ini setiap apa yang bermanfaat bagi kehidupan mereka. Untuk hal ini juga tidak terdapat perbedaan. Dan yang ketiga, Allah menurunkan dari khazanah ini kadar sesuatu yang sesuai untuk mengatur kaum muslimin, tetapi engkau mengambilnya dan meletakkannya dalam khazanahmu serta berupaya menyembunyikannya. Protes yang kami lontarkan berkaitan dengan perihal yang ketiga. Persoalannya bukanlah terletak pada sedikitnya anugerah yang Allah turunkan melainkan dalam hal pemberian Allah. Engkau telah menyimpannya dan tidak memberikannya kepada orang-orang.192

Seandainya setiap orang yang berada dalam suatu negara miskin mengetahui kewajibannya dan tidak memiliki sifat seperti lebah yang menyimpan dan menimbun makanannya, mengapa sebagian manusia pada hari kiamat datang dalam bentuk semut dari lebah? Sebabnya, ketika hidup di dunia, mereka memiliki sifat-sifat seperti ini dan telah menyatu dalam jiwa mereka.

Rasul berkata: “Pabila kalian tidak mampu memberikan makanan untuk berbuka kepada seseorang, paling tidak kalian memberikannya sepotong kurma untuk berbuka. Dan bila tidak sanggup, berikanlah kepada orang yang berpuasa seteguk air.”

Begitulah keadaan yang ada pada saat itu. Pada awalnya, sebagian orang di Madinah memiliki kehidupan ekonomi yang terhitung lumayan. Namun kemudian, mereka menjadi miskin. Keadaan mereka tak ubahnya sebagian masyarakat lain yang pada awalnya memang telah hidup miskin. Dalam situasi masyarakat yang tengah dihimpit kemiskinan ini, Rasul saww menyeru mereka untuk masuk ke dalam Islam. Beliau berkata: “Kalian akan maju dan tidak akan dikuasai oleh apapun jika kalian meninggalkan pikiran tentang perut, dan jika kalian terbebas dari ikatan dan belenggu syahwat, tak akan ada seorang pun yang sanggup menundukkan kalian.”

Rasul bersabda: “Wahai sekalian manusia, jika di bulan ini kalian mengurangi apa yang kalian miliki, maka Allah akan mengurangi hisab-Nya atas kalian.” Pernyataan ini dialamatkan kepada orang-orang yang memiliki budak. Dikatakan bahwa mereka wajib menolong para budaknya dan berperilaku baik terhadap mereka.

Di bulan mulia ini, manusia wajib berbuat baik kepada setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya. Pada hari kiamat kelak, keberadaan orang yang memerintah dan yang diperintah akan jelas diketahui. Boleh jadi, ketika hidup di dunia, seseorang senantiasa berkendaraan dalam melakukan setiap perjalanan, ―peny. namun di akhirat kelak ia hanya berjalan kaki.

Sebaliknya, orang yang senantiasa berjalan kaki di dunia justru akan datang di hari kiamat dengan menggunakan kendaraan. Ada kemungkinan, orang yang hidup di dunia sebagai budak, akan menjadi tuan di hari kiamat kelak, dan orang yang menjadi tuan di dunia akan menjadi budak di akhirat. “Setelah ada di hadapan Allah, diketahuilah siapa yang kaya dan siapa yang miskin.”


Referensi:

183. Ushul al-Kafi, Bab “al-Ikhlas”, hadis ke-4.
184. Al-Mahajiah al-Ba’dha, juz 8, hal.110.
185. Imam Baqir berkata: “Niat seorang mukmin lehih baik dari amalnya. karena ia berniat dari kebaikan yang tidak diketahuinya. Dan niat seorang kafir lehih buruk dari amalnya, karena ia berniat keburukan dan mentakwilkan dari keburukan yang tidak diketahuinya.” Lihat, Ushul al-Kafi, juz 2, hal. 82; al-Mahajjah al-Ba’dha, juz 8, hal. 110.
186. Bihar al-Anwar, juz 7, hal. 191.
187. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke- 7.
188. Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “Keutamaan al-Quran”, hadis ke-13.
189. Ibid.
190. Syaikh al-Baha’i, Arbain: al-Khutbah al-Sya’baniyah, hadis ke-9.
191. Ibid.
192. Usud al-Qabah (terj. al-Ahnat bin Qoys).

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: