Masih ingat program pembelian rumah dengan uang muka atau down payment (DP) nol persen di Jakarta?
Ya. Itu adalah salah satu program pembangunan di Jakarta yang ditawarkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saat berkampanye pada Pilkada DKI 2017.
Program yang muncul dan menjadi heboh pada putaran kedua ini menjadi isu paling ramai yang tidak hanya dibicarakan di media sosial (medsos) tetapi juga media mainstrem (arus utama).
Bahkan setelah Pilkada DKI 2017 putaran kedua 19 April 2017 secara telak dimenangkan oleh pasangan Anies-Sandi, program rumah DP nol persen masih terus menjadi obrolan di dunia medsos.
Pada putaran kedua, Anies-Sandi meraih 3.240.332 suara atau 57,95 persen dari total suara sah.
Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat meraih 2.351.245 suara atau 42,05 persen dari total suara.
Total suara sah adalah 5.591.577 suara yang tersebar di 13.034 tempat pemungutan suara (TPS).
Paling tidak ada dua penyebab utama kenapa program DP Nol Persen menjadi program paling diminati sekaligus dinyinyiri oleh kalangan netizen.
1. Memberi Harapan Warga Jakarta
Program ini bisa jadi menjadi salah satu program yang paling diminati oleh warga –khususnya warga jakarta atau mereka yang beraktivitas di Jakarta.
Kenapa? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa sebanyak 48,91 persen penduduk Jakarta tidak mempunyai bangunan atau rumah atau tempat tinggal milik sendiri.
Dengan jumlah penduduk Jakarta sekitar 10 juta, itu artinya ada 4,89 juta warga yang mengontrak atau menyewa tempat tinggal orang lain atau menumpang di tempat orang.
Selama ini, bagi masyarakat golongan menengah ke bawah atau mereka yang bekerja sebagai buruh dengan standar upah minimum provinsi (UMP) sekitar Rp 3,3 juta, mempunyai rumah sendiri di Jakarta seperti mimpi di siang bolong.
Harga tanah per meter persegi di Jakarta menurut Indonesia Property Watch tahun 2017 adalah Rp 80,9 juta (tertinggi di Jakarta Selatan) dan Rp 1,97 (termurah di Jakarta Timur).
Begitu juga biaya fisik bangunan per meter perseginya sekitar Rp 3 juta.
Jika luas bangunan 50 m2, maka harga bangunannya saja Rp 150 juta. Ini belum termasuk tanah. Kebayang kan mahalnya rumah di Jakarta.
Karena itu, begitu ada tawaran beli rumah tanpa uang muka (DP Nol Persen), tentu ini seperti sang musafir yang kehausan di tengah gurun sahara tiba-tiba diberi tahu di depan ada mata air jernih.
Ditambah lagi dengan ikatan emosi karena memosisikan diri sebagai pendukung atau simpatisan pasangan Anies-Sandi, maka logika bagaimana mekanisme memperoleh rumah itu menjadi urusan nomor sekian.
2. Program yang Sangat Mustahil
Pandangan kedua, pada umumnya dari mereka yang mendukung atau simpatisan pasangan Ahok-Djarot, menganggap program DP Nol Persen ini program PHP (pemberi harapan palsu).
Mereka beranggapan sangat mustahil orang bisa memperoleh rumah tapak (bukan rumah susun/rusun) di Jakarta hanya bermodal ‘angin’.
Bayangkan, tanpa uang sepeser pun (DP Nol Persen), warga bisa memperoleh rumah di Ibu Kota negara.
Pandangan kelompok ini, selain karena semangat nyinyir karena bukan pendukung –atau bahkan kaum opisisi– Anies-Sandi, juga pertimbangan hitung-hitungan awam.
Dengan harga tanah per meter persegi termurah Rp 1,97 juta (di Jakarta Timur) dan termahal Rp 80,9 juta (di Jakarta Selatan), harga rumah tapak di Jakarta dengan luas tanah 100 m2 dan luas bangunan 50 m2 adalah Rp 347 juta (tanah Rp 197 juta dan bangunan Rp 150 juta).
Jika harga Rp 347 juta itu dicicil 20 tahun dengan bunga kredit pemilikan rumah (KPR) 8,5 persen/tahun, maka nilai rumah menjadi Rp 936,9 juta. Ini belum biaya lain. Sehingga total bisa menjadi Rp 1 miliar.
Apabila jumlah itu dicil per bulan, maka beban warga adalah Rp 3,9 juta, lebih besar dari gaji per bulan (UMP) sekitar Rp 3,3 juta.
Mustahil kan? Belum lagi adanya ketentuan Bank Indonesia bahwa uang muka kredit rumah minimal 15 persen dari nilai rumah.
“Di aturan perbankan (rumah dengan DP Rp 0), sekarang enggak boleh. Kalau di BI, aturannya, semua pinjaman untuk pemilikan rumah ataupun pemilikan mobil atau pemilikan sepeda motor itu harus ada down payment (DP), itu adalah aturan Bank Indonesia,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, di Hotel Gran Senyiur, Balikpapan, Jumat (14/7/2017) sebagaimana ditulis Kompas.com.
Seperti diketahui, kepadatan penduduk di Jakarta merupakan yang tertinggi di Indonesia.
Data BPS tahun 2016 mencatat kepadatan penduduk di Ibu Kota mencapai 15.328 jiwa per kilometer persegi (km2).
Kondisi ini menyebabkan permintaan akan bangunan tempat tinggal menjadi tinggi dan kemudian berimbas pada mahalnya harga rumah.
(Info-Teratas/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email