Pesan Rahbar

Home » » Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 12

Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 12

Written By Unknown on Wednesday 26 October 2016 | 01:14:00


“Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, maka pada hari kiamat Allah akan meringankan mizan (timbangannya).”

Pada hari kiamat, amal manusia akan ditimbang dengan sebuah timbangan. Namun timbangan tersebut bukan sebagaimana timbangan yang bersifat material atau sejenisnya. Di dunia ini, jika ingin menimbang sesuatu, scseorang akan menggunakan sebuah timbangan khusus. Misalnya, untuk mengukur derajat panas dan dingin digunakan alat ukur yang khas, yakni termometer. Dan untuk mengukur tekanan air atau ketinggian permukaan air sungai, digunakan alat ukur yang lain. Begitu pula dengan persoalan yang berkenaan dengan kesusastraan. Untuk mengukur wazan suatu syair, haruslah digunakan timbangan yang spesifik. Segala sesuatu yang ada di dunia ini harus ditimbang dengan menggunakan alat ukur tertentu. Lalu, dengan apakah seluruh amal kita akan ditimbang pada hari kiamat? Apakah diukur dengan angka-angka, hilangan-hilangan, atau dengan meteran? Atau adakah timbangan yang khas untuknya?

Al-Quran al-Karim menyatakan: “Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan).”(al-A’raf: 8) Pada hari kiamat, setiap amalan akan diukur dengan satu timbangan, yaitu kebenaran. Sebagaimana kita mengatakan bahwa surga dan neraka itu benar adanya, maka kata “benar” dalam ayat mulia ini ma’rifah (menjadi jelas) dengan alif dan lam.

Maksudnya, amal, akidah, dan akhlak manusia akan dihitung dengan timbangan yang benar. Kebenaran berada di satu sisi timbangan, sementara amal perbuatan manusia berada di sisi bagian yang lain. Kebenaran merupakan penimbang, sementara akidah, akhlak, dan amal perbuatan manusia adalah yang ditimbang. Jika ingin menimbang roti, seseorang akan meletakkan roti tersebut di satu sisi timbangan, sementara di sisi yang lain diletakkan standar timbangan dalam ukuran beban tertentu.

Pada hari kiamat, amal perbuatan manusia diukur dengan alat timbangan yang sebenarnya. Kebenaran dan amal perbuatan tidaklah ditimbang dengan batu, dan bukan seperti buah kenari yang bisa ditaksir dengan angka, atau seperti roti dan daging yang bisa ditimbang dengan menggunakan standar yang terbuat dari logam. Amal perbuatan akan ditimbang dengan kebenaran. Sehingga darinya dapat dibedakan, mana perbuatan manusia yang baik dan mana yang buruk. Karenanya, al-Quran al-karim menyebutkan bahwa berdasarkan timbangan amal perbuatan, orang-orang yang amal perbuatannya berat, akan menjadi orang-orang yang beruntung. Sedangkan orang-orang yang timbangannya ringan tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Maksudnya, kebenaran ada pada sebagian orang dan tidak pada sebagian lainnya.

Pada hari ketika amal perbuatan ditimbang, akan segera diketahui, siapa yang amal perbuatannya berat dan siapa yang ringan. Untuk mengetahui berat badannya, seseorang akan mengukurnya dengan alat timbangan yang juga bisa digunakan untuk mengukur seluruh hal yang bersifat materi. Demikian pula dengan amal perbuatannya. Manusia bisa mengukurnya sendiri.

Tetapi, sebagaimana kesempurnaan manusia yang terletak pada akal dan pengetahuannya, untuk menimbang amal dirinya, sebaiknya manusia menggunakan timbangan yang diturunkan Allah Swt. Imam Ali as berkata: “Timbanglah amal perbuatan kalian sebelum ia ditimbang.”193 Lihatlah, apakah timbangan kalian berat atau ringan. Seseorang dapat menimbang amal dirinya untuk mengetahui apakah ia termasuk orang yang memiliki amal perbuatan yang baik ataukah tidak? Dengan menggunakan al-Quran, tentu hal ini tidak sulit untuk dilaksanakan.

Dalam khutbah ini, Rasul saww bersabda: “Barangsiapa di bulan Ramadhan memperbanyak shalawat kepadaku, maka pada hari kiamat Allah akan memberatkan timbangannya.” Sesungguhnya, setiap shalawat yang dicurahkan tidak akan menambah kesempurnaan Nabi saww. Sebabnya, Allah telah menganugerahkan kesempurnaan yang pantas kepada Nabi-Nya. Adapun sesuatu yang kita minta kepada Allah bukanlah sebagai sebab dan perantara dalam faidh (manifestasi) kepada Nabi.

Namun, melalui shalawat-shalawat tersebut, segenap kesempurnaan Nabi akan semakin nampak, yang pada gilirannya menjadi penyebab bagi diturunkannya rahmat Ilahi.

Dengan bershalawat, sebenarnya kita bukan hendak memberikan kebaikan kepada Nabi. Karena, seluruh kebaikan yang kita miliki justru berasal dari keberkahan Nabi. Ini seperti seorang penjaga kebun yang memberikan setangkai mawar kepada pemilik kebun pada hari raya. Padahal, mawar tersebut sebenarnya memang milik si pemilik kebun. Apakah si penjaga kebun telah memberikan sesuatu yang dimilikinya?

Setiap buah kebaikan yang kita miliki sesungguhnya berasal dari tanaman Rasul, Setangkai mawar yang kita bawa ke hadapan Rasul pada dasarnya berasal dari taman beliau. Karena itu, shalawat dan ucapan selamat yang dicurahkan tidak akan menambah kesempurnaan beliau. Manfaat shalawat serta salam pada dasarnya kembali kepada diri kita, yakni sebagai wahana untuk mendekatkan diri kepada beliau. Sehingga dengan itu, kita bisa mencapai kesempurnaan diri.

Shalawat yang kita bacakan untuk Nabi: “Wahai Tuhanku, turunkanlah rahmat-Mu atas Muhammad dan keluarganya,” memiliki arti bahwa pada dasarnya, rahmat yang diturunkan Allah kepada Nabi diperuntukkan buat orang lain, sebab Nabi sendiri merupakan tempat bagi faidh Ilahi.

Jika kalian ingin menyampaikan kebaikan kepada orang lain, maka pertama-tama wajib bagi kalian untuk menyampaikan shalawat atas Nabi. Shalawat, sebagai bentuk rahmat yang bersifat khusus, merupakan penyebab sampainya kebaikan pada orang lain. Berkenaan dengan itu, Imam Ali as berkata: “Jika kalian ingin berdoa dan meminta kepada Allah di setiap waktu, maka bershalawatlah kepada Nabi dan keluarganya di dalam doa atau setelahnya, karena shalawat kepada nabi adalah doa yang mustajab.”194

Jika kalian berdoa dengan menyertakan shalawat di dalamnya, tentu mustahil Allah akan menerima shalawat tanpa menerima doa kalian. Karena itu, tak heran apabila dalam doa-doa Imam Sajjad as yang sarat nilai-nilai pendidikan, kita banyak menjumpai ucapan shalawat. Setiap penggalan doa Imam senantiasa didahului, disisipi, dan diakhiri oleh ucapan shalawat. Dikarenakan Allah Swt akan mengabulkan bagian-bagian doa yang menyertakan ucapan shalawat, maka bagian-bagian yang lainnya pun pasti akan dikabulkan-Nya.

Allah, malaikat-malaikat, dan orang-orang mukmin bershalawat kepada Nabi. Alangkah indahnya kedudukan seorang mukmin! Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”(al-Ahzab: 56) Perintah ini tertuju kepada kita untuk mengucapkan: “Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad.”

Allah berfirman Swt: “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang).” (al-Ahzab: 43) Allah Swt dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk mengeluarkan kalian dari gelapnya kebodohan menuju benderangnya cahaya hidayah.

Seorang mukmin yang mencapai maqam di mana Allah dan malaikat- malaikat-Nya bershalawat baginya, akan membawa Anda ke alam cahaya dan hidayah. Keistimewaan shalawat adalah memberikan cahaya kepada manusia. Dan shalawat yang diucapkan Allah merupakan sifat fi’il-Nya, yakni sebagai pembcri cahaya bagi manusia. Ucapan Allah merupakan fi’il-Nya, dan lafadz Allah adalah amal-Nya. Orang yang mendapat anugerah taufik dan cahaya hidayah dari Allah Swt adalah orang yang telah bershalawat dengan benar.

Manakala seseorang tidak merasakan adanya kegelapan sebersitpun dalam hatinya, itu menunjukkan bahwa para malaikat telah bershalawat kepadanya. Jika dalam pikiran seseorang terlintas keinginan untuk melakukan perbuatan yang keliru, maka shalawat para malaikat tidak akan pernah sampai kepadanya. Namun apabila ia telah merasakan hangatnya cahaya Ilahi, maka ketahuilah bahwa shalawat para malaikat telah menerpa dirinya.

Allah Swt menyampaikan firman-Nya yang diperuntukan khusus bagi Nabi: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk nabi.” Para malaikat berkumpul dan turut serta dalam sebuah majelis agung, tempat di mana Nabi dimuliakan dan diagungkan.

Keadaan tersebut mirip dengan penyambutan terhadap seorang penziarah mulia yang baru pulang berziarah dari Madinah. Kedatangannya akan disambut banyak orang, yang berkumpul layaknya hendak menggelar demonstransi. Ketika Allah Swt ingin bershalawat untuk Nabi-Nya, maka para malaikat pun segera berkumpul untuk ikut bershalawat kepadanya.

Adapun isi ayat yang kedua, yaitu shalawat untuk orang-orang mukmin. tidaklah sebanding dengan yang pertama. Karena: “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu).” Allah menyampaikan shalawat untuk orang-orang mukmin, sembari menyebutkan pula bahwa para malaikat pun bershalawat kepada mereka. Penghormatan Allah Swt dalam bentuk shalawat kepada orang-orang mukmin tentu tidak sama dengan penghomatan-Nya kepada Nabi- Nya. Shalawat yang disampaikan kepada orang-orang mukmin tidak lain hanya untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya hidayah. Sementara shalawat kepada Nabi tidak dimaksudkan demikian, sebab Nabi sendiri sudah memiliki kesempurnaan sehingga tidak lagi memerlukan cahaya.

Allah Swt berfirman: “Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.”(al-An’am: 122) Berbeda dengan itu, sesuai dengan firman-Nya tentang orang-orang mukmin, Allah menyampaikan shalawat kepada kalian demi mengeluarkan kalian dari kegelapan menuju cahaya keselamatan.

Seluruh shalawat tersebut merupakan cahaya yang dianugerahkan Allah Swt kepada mukmin. Dan apabila anugerah ini terputus, maka seseorang akan tetap berada dalam kegelapan hidup.

Kita harus menimbang diri kita dengan menggunakan standar ini, kemudian perhatikan dengan cermat, apakah kita termasuk dalam cakupan shalawat yang disampaikan Allah Swt, ataukah tidak. Apakah kita memperoleh manfaat dari shalawat tersebut sehingga hati kita menjadi terang ataukah tidak?

Jika kita menjumpai diri kita berada di bawah bayang-bayang dosa dan syahwat, maka ketahuilah bahwa shalawat kita tidak bermakna. Setiap kali kita merasakan bahwa kita telah mendapatkan taufik lantaran ketaatan atau pemenuhan kewajiban syariat ―baik berupa hukum maupun adab, maka ketahuilah bahwa pada saat itu kita telah menemukan jalan menuju rahasia ibadah dan telah dianugerahi shalawat Allah dan para malaikat-Nya.

Apabila seorang mukmin telah mencapai kedudukan tinggi semacam ini, tempat di mana Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepadanya, maka dirinya akan ditaburi cahaya. Dan ketika cahaya tersebut telah diperolehnya, ia akan mampu melihat jalan kebenaran dan menjelaskannya kepada orang lain. Sebaliknya, jika belum, ia tak akan sanggup mengetahui jalan kebenaran dan tak dapat menunjukkannya pada orang lain.

Imam Ali as berkata: “Kilat yang cepat tidak dapat didengar oleh orang yang tenggelam dalam kegelapan.”195 Orang yang tenggelam dalam kegelapan, tak akan bisa melihat jalan yang akan dilaluinya. Ia tak akan bisa mencapai tujuannya hanya dengan bantuan cahaya kilat di langit yang hanya bersifat sesaat. Seseorang yang tidak mengenal jalan yang akan dilalui, kemudian melakukan perjalanan di malam hari yang gelap gulita, tidak akan sampai ke tempat tujuan hanya dengan bantuan cahaya kilat yang hanya menerangi secara sesaat. Cahaya tersebut mungkin hanya sempat menerangi satu langkah kakinya saja. Namun segera setelah itu, keadaan malam kembali menjadi gelap gulita.

Keadaan manusia yang mencintai dunia dan disibukkan olehnya, layaknya seorang musafir yang berjalan dalam kegelapan dan kemudian tersesat. Sesungguhnya ia hanya menikmati kehidupan dunia ini barang sebentar saja. Namun ia menyangka dirinya telah memperoleh kebahagiaan dan kesempurnaan. Seperti musafir yang tersesat tadi, ia tak akan bisa sampai pada tujuannya. Orang yang terbenam dalam kegelapan tak akan mampu melihat jalan hidayah, apalagi memberikannya kepada orang lain.

Imam Hasan as, di akhir hayat beliau, berkata kepada Ibnu Hanafiah: “Aku akan katakan kepadamu sebuah ucapan yang bisa menghidupkan orang mati, dan tidak pantas engkau tidak mendengarkan ucapan ini.” Kemudian beliau as berkata, “Jadilah kalian orang yang sadar akan pentingnya ilmu dan sebagai cahaya yang menerangi.” Berusahalah agar ruh kalian menyadari pentingnya amal perbuatan. Jadikanlah ilmu ini mampu menembus hati kalian. Janganlah kalian membiarkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat merasuki hati kalian. Yang diharapkan bukanlah agar kalian menyadari pentingnya ilmu, melainkan menjadi pelita yang menerangi jalan yang dilalui orang lain.

Seorang mukmin yang alim tak akan mencegah dan menghalangi orang lain untuk mencapai cahaya hidayah. Sebaliknya, ia akan mengajak mereka bersama-sama kepadanya. Sedangkan orang yang bodoh yang tidak mengetahui jalan, atau orang alim yang bukan mukmin kedati mengetahui jalan kebenaran, akan mencegah dan memotong jalan menuju kebaikan.

Imam Hasan as berkata: “Berusahalah agar hati kalian sadar akan pentingnya ilmu dan kalian menjadi cahaya hidayah yang ilmu mengalir dari sisi-sisi kalian dan cahaya dari hati kalian.” Cahaya imanlah yang menjadi suluh penerang bagi umat Islam. Dan keberadaan ilmu tidak bermanfaat tanpa didasari oleh iman. Karena itu, Imam as berkata: “Janganlah kalian puas dengan hanya menjadi ulama, tetapi jadilah ulama yang menerangi dan memberikan hidayah agar orang lain mendapatkan hidayah dengan cahaya kalian.”

Imam as membahas topik imamah dan kbilafah melalui sabdanya: “Saudaraku Imam Husain akan menduduki kursi imamah dan kbilafah setelahku dan kedudukan ini hanya khusus padanya. Walau engkau, wahai Muhammad, adalah saudara kami dan putera Ali bin Abi Thalib, namun kedudukan imamah tidaklah diwariskan seperti hal-hal lain di dunia ini. Ia adalah pemberian Ilahi untuk Imam Husain, maka janganlah engkau menginginkannya.”

Ketika mendengarkan ucapan Imam Hasan as tersebut, Ibnu Hanafiyah berkata: “Apakah aku boleh mengeluarkan pendapatku tentang imamah dan kbilafah?” Imam as berkata: “Katakanlah.” Ia berkata: “Dalam keyakinanku, kedudukan ini khusus bagi saudaraku Husain as. Ia memiliki derajat yang sangat tinggi yang tidak ada padaku. Ia memiliki banyak hal yang tidak aku miliki. Ia lebih pintar, lebih bijaksana, dan lebih dekat kepada Rasul dari segi nasab. Ia telah mengerti agama sebelum ia dilahirkan dan telah membaca wahyu sebelum ia dapat berbicara.” Ia telah alim sebelum terlahir di dunia ini. Ia telah dibesarkan di alam ilmu ketika berada di alam ghaib, dan tidak pernah mempelajari berbagai pengetahuan dari madrasah.

Imam Ali as berkata: “Aku adalah orang yang pertama beriman kepada Nabi dan ketika aku mengimaninya, nabi Adam ada di antara alam malakut dan nasut, atau di antara alam jabarut dan malakut, dan di antara alam akal dan mitsal, dan para imam hadir di alam tersebut, dan mereka seluruhnya mengimani Nabi sebelum nabi Adam sampai ke maqam kesempurnaan wujudi.”196

Karena itulah, Ibnu Hanafiah berbicara khusus tentang Imam Husain as yang dikatakannya telah menjadi alim sebelum diciptakan dan mampu membaca wahyu sebelum wahyu diturunkan ke alam ucapan. Bagaimanakah para imam menjadi mualim dan murabbi bagi masyarakat yang dilanda kebingungan, sementara mereka ―para imam― tidak pernah belajar di madrasah dan berguru kepada siapapun?

Dalam pandangan Allah, keberadaan para imam adalah satu. Para imam menjadi mualim dan murabbi bagi masyarakat lantaran mereka langsung memperoleh ilmu dari Allah Swt. Ketika Ibnu Hanafiyah menjelaskan keyakinannya tersebut kepada Imam Hasan, jelas sudah bahwa ia tak menginginkan kedudukan imamah.

Dalam sebuah perjalanan, Imam Hasan as duduk bersama seorang laki-laki di samping pohon kurma yang telah mengering. Laki-laki itu berkata: “Seandainya pohon kurma ini masih hijau, maka kita pasti akan memetik buahnya.” Imam bertanya: “Apakah engkau ingin memakan buah kurmanya?” Ia menjawab: “Ya.” Imam pun segera mengangkat tangannya untuk berdoa. Tak lama berselang, pohon itu berubah menjadi hijau dan berbuah. Seseorang yang bernama Jamal, yang saat itu juga berada di tempat tersebut, berkata: “Imam telah menyihir pohon kurma.” Imam as berkata: “Ini bukan sihir, tetapi doa anak Nabi yang dikabulkan.”197

Jika seseorang telah mencapai maqam rahasia ibadah, ia akan mampu melihat Ma’bud-nya. Keinginannya adalah keinginan Allah Swt. Jika ia menginginkan sesuatu, maka keinginannya itu akan segera terwujud. Ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa ketika menafsirkan ayat: “Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah,”(al-Insan: 30), para imam berkata: “Sesungguhnya hati-hati kami adalah tempat untuk menyandarkan iradah.”

Jika ingin menerima amal perbuatan manusia, maka Allah akan melakukannya dengan iradah juz’iyah (kehendak yang muncul karena adanya faktor eksternal, ―pen.). Kehendak Allah tersebut merupakan sifat fi'li Allah dan bukan dari dzat-Nya, dan akan nampak pada maujud atau tempat yang lain. Kemunculannya ada dalam hati para imam yang merupakan auliya Allah. Karenanya, Allamah Thaba’tabai ―semoga Allah merahmatinya, berkenaan dengan arti dari shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, berkata: “Maksud dari shalawat kepada Muhammad dan keluarganya adalah: ‘Wahai Tuhanku, turunkanlah rahmat-Mu kepada mereka sehingga kami pun mendapatkan rahmat tersebut.’” Rahmat Allah terlebih dahulu akan diturunkan kepada mereka, baru setelah itu disampaikan kepada kita. Oleh sebab itu, permintaan rahmat semacam ini akan melazimkan terkabuinya doa. Dalam hal ini, para imam berkata: “Sesungguhnya hati-hati kami adalah tempat untuk menyandarkan iradah.”198

Sayyid Haidar al-Amuli meriwayatkan hadis yang berasal dan al- Muhaqqiq al-Thusi, khusus tentang Imam Hujjah as, yang isinya: “Dengannya lemak pun mencair dan dengan keberadaannya langit dan bumi menjadi ada.”199 Inilah dalil yang paling sederhana sekaligus mudah.

Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa ketika melakukan perjalanan ke Baitullah, Imam Hasan as mengendarai tunggangan yang mampu berlari cepat. Namun, dikarenakan ingin memperoleh pahala dari berjalan kaki, Imam pun segera turun dari tunggangannya dan mulai berjalan kaki hingga kakinya membengkak. Kepada pembantu yang menyertainya, beliau berkata: “Ambillah uang ini dan berjalanlah perlahan mengikuti jalan ini, nanti Anda akan menemukan seordng lelaki berkulit hitam yang memiliki minyak. Berikan uang ini, ambillah minyaknya, dan bawakanlah kepadaku agar aku bisa mengusap kakiku dengannya. Mudah-mudahan kedua kakiku sembuh.” Hal ini merupakan masalah gaib yang terdapat dalam ilmu yang dimiliki para imam.

Pembantu itu lantas mengambil uang tersebut dan bergegas pergi. Tak lama kemudian, ia menjumpai seorang lelaki yang mirip dengan yang digambarkan Imam. Ia berkata: “Apakah Anda memiliki minyak yang bermanfaat bagi kaki yang bengkak?” Lelaki itu menjawab: “Ya.” Pembantu itu berkata: “Ambillah uang ini dan berikanlah minyak itu kepadaku.” Lelaki tersebut berkata: “Siapa yang menginginkan minyak ini?” Ia menjawab: “Untuk Hasan bin Ali.” Lelaki itu berkata: “Hasan bin Ali adalah tuanku dan aku mencintainya, ambillah minyak ini dan bawakanlah kepadanya.” Pembantu itu berkata: “Saya harus membayarnya dan jika Anda ingin menemui Imam, maka ikutlah bersamaku.” Ketika sudah berada di samping Imam, ia kemudian berkata: “Wahai putra Rasulullah, ketika aku keluar dari rumah aku meninggalkan isteri yang sedang hamil, maku mintakanlah kepada Allah agar kami diberikan seorang anak laki-laki yang menjadi pengikut dan pencinta kalian.” Maka Imam berdoa dan berkata: “Semoga Allah memberikanmu seorang anak laki-laki dan ia termasuk Syi’ah dan pencinta kami.”200

Orang hitam ini tidak meminta harta atau dunia kepada imamnya. Ia malah meminta seorang anak yang shalih. Ia benar-benar menyadari bahwa salah satu keberkahan bagi kehidupan seseorang adalah memiliki anak shalih yang bermanfaat baginya setelah mati.

“Siapa saja yang membaca al-Quran di bulan Ramadhan. maka itu sama dengan menghatamkan al-Quran di bulan-bulan yang lain.”201 Keagungan bulan Ramadhan yang mulia adalah karena al-Quran diturunkan di dalamnya. Rasul saww menerangkan keutamaan bulan itu melalui sabdanya: “Jika seseorang membaca al-Quran di bulan Ramadhan, maka ia seperti menghatamkan al-Quran di bulan selain bulan Ramadhan.”


Referensi:

193. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-90.
194. Bihar al-Anwar, juz 94, hal. 54, dan juz 20, hal. 491; Sawab al-Amal, hal. 312; Kanzu al-Ummal, riwayat ke-3988.
195. Nahj al-Balaghah.
196. Syaikh al-Mufid, al-Amali; ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub, hal. 297.
197. Safinah al-Bihar, topik “‘Ajaza”; Bihar al-Anwar, Bab “Mu’jizat al-Nabi wa al-Aimmah”.
198. Tafsir al-Mizan, juz 2, hal. 236 (dikutip dari kitab al-Kharaij wa al-Jaraih).
199. Mafatih al-Jinan, doa “al-‘Adilah”. Sayyid Haidar al-Amuli menukil keterangan ini dan menisbahkannya kepada al-Muhaqqiq al-Tabarsi.
200. Ushul al-Kafi, juz 1, Bab “Kelahiran Hasan”, hadis ke-6.
201. Syaikh al-Baha’i, Arbain: al-Khutbah al-Sya’baniyah, hadis ke-9.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: