Pesan Rahbar

Home » » Ulama Sunni Menipu Umat, ternyata manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah)

Ulama Sunni Menipu Umat, ternyata manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah)

Written By Unknown on Friday 5 September 2014 | 22:11:00

Perhatikan Disini Ucapan dari Seseorang Try Msi Menyatakan:


5 jam

Apa Akidah Rafidhah Dalam Masalah Sifat?

Adalah Rafidhah orang yang pertama kali mengatakan tajsiim (bersifat seperti tubuh manusia). Sungguh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menentukan bahwa sesungguhnya orang yang melakukan kedustaan ini dari kalangan kaum Rafidhah adalah Hisyam ibnul Hakam[1], dan Hisyam bin Salim Al Jawaliqi, Yunus bin Abdurrahman Al Qummi, dan Abu Ja'far Al Ahwal[2].

Seluruh orang yang disebutkan tadi termasuk syaikh-syaikh besar golongan Itsna Asyriyah (Rafidhah), kemudian mereka menjadi pemeluk paham Jahmiyah mu'athilah, sebagaimana sekumpulan riwayat mereka mensifati Rabb semesta alam dengan sifat-sifat negetif yang mereka masukkan sebagai sifat yang tetap bagi Allah. Dan sungguh Ibnu Babawaih meriwayatkan lebih dari tujuh puluh riwayat yang mengatakan bahwa Allah Ta'ala, tidak disifati dengan zaman, tidak dengan tempat, tidak dengan bagaimananya, tidak dengan gerak, tidak dengan berpindah, tidak dengan sesuatupun dari sifat-sifat tubuh, Dia bukan yang bisa diraba, bukan bertubuh dan berbentuk."[3] Maka syaikh-syaikh mereka mengikuti jalan (metode) yang sesat ini dengan menta'til (menghilangkan) sifat-sifat yang tercantum dalam AlQuran dan sunnah.

Sebagaimana mereka mengingkari turunnya Allah yang Maha Agung. Mereka mengatakan Al Quran makhluk, mereka mengingkari ru'yah (melihat kepada Allah) pada hari akhirat. Tercantum dalam kitab "Biharul Anwar", bahwasanya Abu Abdillah Ja'far As Shodiq ditanya tentang Allah ta'ala, apakah bisa dilihat pada hari akhirat? Beliau berkata : "Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari hal itu dengan ketinggian yang besar, sesungguhnya pandangan tidak akan bisa mencapai kecuali hal-hal yang mempunyai warna dan bentuk, dan Allah yang menciptakan warna-warni dan bentuk".

Bahkan mereka mengatakan : "Jika seandainya dinisbatkan kepada Allah sebagian sifat seperti ru'yah, maka dihukum sebagai murtad, sebagaimana yang didapatkan dari syaikh mereka Ja'far Al Najfi di kitab "Kasyful Ghitho'" hal : 417. Perlu diketahui bahwasanya melihat kepada Allah pada hari akhirat adalah benar adanya dan sudah konsisten dalam Kitab dan Sunnah tanpa meliputi seluruhnya dan tanpa bagaimananya, sebagaimana firman Allah :

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ - إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ .

"Wajah-wajah pada saat itu berseri-seri, kepada Rabbnya melihat" (Al Qiyamah : 22,23).

Dan dari sunnah apa yang tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Jarir bin Abdillah Al Bajali, berkata:

"Adalah kami duduk-duduk bersama Rasulullah, lalu beliau melihat kepada purnama, pada malam empat belas, lalu bersabda : "Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata telanjang, sebagaimana kalian melihat ini (purnama), dimana kalian tidak berdesakan melihatnya"[4]. Dan ayat-ayat serta hadits-hadits dalam masalah itu banyak sekali, yang tidak memungkinkan kita untuk menyebutkannya.[5]


Catatan Kaki:

[1] Minhaaj sunnah (1/20) oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
[2] 'Itiqadaat Firaqul Muslimin Wal Musyrikin, hal : 97
[3] At Tauhid, oleh Abu Babawaih, hal : 57
[4] Bukhari no : 544, dan Muslim no : 633
[5] Lihat karangan-karangan Ahli Sunnah Wal Jamaah dalam menetapkan ru'yah, seperti kitab Ar Ru'yah oleh Daruqutni, dan kitab imam Al Lalikai dan lainnya.

_______________________________________

Bantahan KamiAhlus Sunnah dan Syiah sebagai berikut Penjelasannya:

http://www. jamaahtabligh .tk/pemalsuan-kitab-al-ibanah-oleh-salafy-wahaby/ (Sayang Link Ini Dihapus) pihak jama'ah tabligh bersikeras Al ibanah telah dipalsukan, berikut ini saya kutip karya tulis Nurcholis Majid:
___________________________________________

MASALAH TA'WIL SEBAGAI METODOLOGI PENAFSIRAN AL- QUR'AN
oleh Nurcholish Madjid (2/2)

mereka tetap menolak antropomorfisme, dengan mengatakan bahwa sekali pun disebutkan Tuhan itu mempunyai tangan, wajah, mata dan lain-lain, namun tangan, wajah dan mata Tuhan itu tidak sama dengan yang ada pada makhluk seperti manusia, dan "tanpa bagaimana" (bi-la kayfa).

Inilah metode al-Asy'ari, rujukan utama paham Sunni dalam ilmu Ketuhanan atau akidah. [Abu al-Hasan al-Asy'ari, al-Ibanah'an Ushul al-Diyanah (Idarat al-Thiba'at al-Muniriyyah, 1348 H), h. 8-9.] ..........................................

 Lagi-lagi lagu lama mereka, mereka berkata: “Kitab Al-Ibanah Karya Imam Abul Hasan Al-Asy’ariy Itu Telah Dipalsukan/Didistorsi”???


Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah. Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut.

Abu Hasan Al Asy’ari dan Sebagian Ahlul Hadis Sunni menganggap Tuhan benar benar mempunyai anggota badan berupa tangan, wajah, mata dan bersemayam di atas arsy.. Sifat jasmani tersebut dianggap Asy’ari berbeda dengan makhluk, tetapi sifat tersebut menurut Asy’ari tidak boleh di interpretasikan !! Syi’ah membantah…


Ahmad bin Hambal menolak ilmu kalam..

Abu Hasan Al Asy’ari menerima akidah Imam Ahmad lalu menggabungkannya dengan ilmu kalam sehingga lahirlah ilmu kalam sunni …

Menurut Asy’ari, ayat ayat antropomorfis (mutasyabihat) tidak boleh diinterpretasikan secara metaforis (majazi) tetapi harus diyakini apa adanya sehingga Asy’ari dan sebagian ahlul hadis sunni menggambarkan Tuhan memiliki sifat sifat jasmani ..

Syi’ah menakwilkan ( interpretasi secara metaforis / majazi ) semua kata kata yang bersifat jasmani, semua kata kata yang bersifat jasmani ditakwilkan kepada kata kata yang bersifat rohani…

Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :

إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.

ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا

“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218.]

Saya selaku pengikut syi’ah menganggap Abu Hasan Al Asy’ari adalah seorang ahlul kalam yang merasionalkan akidah Imam Ahmad bin Hambal, dengan kata lain Asy’ari adalah penengah antara paham mu’tazilah dan paham ahlul hadis..

Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.


Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H)

1. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah):

جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال: (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.

ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.

“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.

Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak menafikkannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikkannya. Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.

Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.

Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.

Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]

2. Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata:

:إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.

ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا

“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4]

3. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat:

رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد

“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan lafadhnya karena khawatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.

4. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :

فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم – إذا دعوا – نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.

“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37).

Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.

Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.

وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.

وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.

“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.

Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.

Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]

ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.

“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan) : ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]


Catatan:

[1] Ini sesuai judul pada manuskrip, sedangkan judul pada naskah cetakan terkenal dengan judul : Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
[2] Dalam beberapa cetakan tertulis : Al-Mudlilliin. Namun yang benar adalah sebagaimana di atas.
[3] Maqaalatul-Islaamiyyin, hal. 290-297.
[4] Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218.
[5] Al-Ibaanah, hal. 34-37.
(7) Al-Ibaanah, hal. 35-36.
______________________________________

 Link Website: http://elhijrah.blogspot.co.id/2011/01/menjawab-tuduhan-wahabi-telah.html
_____________________________________

Scan kitab Maqaalatul-Islaamiyyiin karya Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, hal. 260-261 (Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H) dapat dilihat di bawah :



Scan kitab Al-Ibaanah hal. 9 (Daar Ibni Zaiduun) dapat dilihat di bawah :



Pemikiran kasb Al Asy’ari merupakan pemahaman yang mendekati paham jabariyah…

Karena Imam Al Ghazali maka kalam Asy’ari jadi lebih dekat dengan irfan (sufisme), sehingga ajaran asy’ari yang asli berubah secara gradual kehilangan warna khasnya… Hal ini bahkan tidak disadari Asy’ariyyah, kaum Asy’ariyyah bahkan tidak tau ajaran asli Asy’ari sangat mengerikan !!

Syi’ah menolak ajaran Abu Hasan Al Asy’ari yang menyatakan Allah berada di arsy, menolak ajaran bahwa Allah punya tangan – wajah – mata yang zhahir.

Jika anda melihat sendiri dalam Sahih Bukhari, banyak hadis palsu Nabi s.a.w yang menyebut sifat Tangan, kaki, turun, wajah, dan sebagainya tanpa ditakwil kepada makna lain. Kami syi’ah menolak ajaran menzahirkan tangan-kaki-wajah Allah SWT.


قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّـلَمِى: وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحُدٍوَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ . فَاِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بَشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ . اَسَفَ كَمَا يَاْسـفُوْنَ . لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَاَعْتِقُهَا؟ قَالَ: اِئْتِنِيْ بِهَا. فَقَالَ لَهَا: اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ فِى السَّـمَآءِ . قَالَ: مَنْ اَنَا؟ قَالَتْ اَنْتَ رَسُـوْلُ اللهِ. قَالَ : اَعْتِقْهَا فَاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Berkata Muawiyah bin Hakam As-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwaiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah! Adakah aku harus memerdekakannya? Jawab Rasulullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasulullah bertanya lagi: Siapakah aku? Dijawabnya: Engkau Rasulullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini, kerana dia adalah seorang mukminah”. (H/R Muslim dan Abi Daud).

Menurut syi’ah, hadis ini palsu !!! Allah tidak bertempat dilangit secara zahir, yang benar adalah bahwa pusat pemerintahan Allah SWT ada dilangit dikendalikan malaikat.

manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana zhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat.

Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :

إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.

ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا

“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4] bisa dilihat disini: https://maktabahonline.wordpress.com/Donnie/Islam/Internet/Imam%20Abul-Hasan%20Al-Asy'ariy%20bukan%20Asya'irah%20-%20Asy'ariyyah.docx#_ftn4
  Tapi sayangnya dihapus. lihat scan yang dihapus;

scan yang dihapus

Saya selaku pengikut syi’ah menganggap Abu Hasan Al Asy’ari adalah seorang ahlul kalam yang merasionalkan akidah Imam Ahmad bin Hambal, dengan kata lain Asy’ari adalah penengah antara paham mu’tazilah dan paham ahlul hadis.

Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.


PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH

Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:

Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).

Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).

Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah” (320-324/330 H).

(Lihat Kesini:  http://old.gensyiah.com/madzhab-al-asyari-benarkah-ahlussunnah-wal-jamaah-bag-1.html)


*****

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 1)

PENILAIAN TERHADAP BUKU

“MADZHAB AL-ASY’ARI, BENARKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH?

Jawaban Terhadap Aliran Salafi”

Tulisan:Muhammad Idrus Ramli

Oleh Agus Hasan Bashori[1]


الحمد لله وبعد : لقد بعث الله نبينا محمدًا صلى الله عليه وسلم- بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون، وقد تحقق هذا كماوعد- سبحانه وتعالى وقد ترك أمته على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك

Setelah membaca buku yang ditulis Gus Muhammad Idrus ini ternyata ada banyak informasi, asumsi, argumentasi, persepsi dan kesimpulan yang kurang atau salah bahkan menyesatkan. Dalam kesempatan yang sangat singkat ini kita bahas beberapa hal, antara lain:
Istilah Asy’ari dan Salafi

Judul buku melawankan antara al-asy’ari dan as-Salafi- memang demikian adanya, namun penulis mengunggulkan al-asy’ari atas as-salafi.

Asy’ari adalah nisbat kebada imam abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H). Sedang salafi adalah nisbat kepada as-salaf as-shalih yaitu generasi terdahulu dari para sahabat dan tabi’in dan atba’ attabi’in.

Jika nisbat kepada seorang imam dari abad ke 3 boleh dan terpuji tentu nisbat kepada seluruh imam dari 3 generasi awal islam yang pertama adalah lebih boleh dan lebih terbuji.

Jika mengikuti seorang imam di abad ketiga –yang tidak ma’shum- diyakini benar tentu mengikut seluruh imam pada 3 kurun waktu yang utama –yang ijma’ mereka ma’shum- lebih dijamin kebenarannya.

Jika mengikuti seorang imam pada abad ketiga tidak ada perintahnya maka mengikuti para ulama salaf ada banyak perintahnya, bahkan sebagai tanda golongan yang selamat.

Imam asy’ari bergantung pada salaf, bukan sebaliknya dan imam asy’ari diukur dengan salaf bukan sebaliknya.

Ahlussunnah, ahli hadits, dan ahli atsarsudah ada sebelum imam al-Asy’ari lahir, dan tidak menjadi asy’ariyyah setelah imam al-Asy’ari menjadi imam.

Kelompok salaf, Ahlussunnah, ahli hadits dan ahli atsar berpegang teguh dengan sunnah dan membenci kalam dan ahlinya, sementara kelompok asya’irah adalah termasuk ahli kalam dan membela kalam.

Para ulama salaf sebelum imam al-Asy’ari dan sesudahnya berwasiat agar mengikuti manhaj salaf as-shalih, yaitu mengikuti hadits dan atsar dan tidak berwasiat untuk mengikuti asyairah atau ilmu kalam.

Abu Hamzah al-A’war berkata: Ketika maqalah-maqalah (pemikiran akidah) marak di Kufah saya mendatangi Ibrahim al-Nakha’I ( mufti dan faqih Irak W. 96 ), saya katakan: “Wahai Abu Imran, Tidakkah anda melihat makalah-makalah yang beredar di Kufah? Maka dia berkata:

أَوَّهْ، دَقَّقُّوْا قَوْلاً وَاخْتَرَعُوْا دِيْنًا مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمْ لَيْسَ مِنْ كِتَابِ اللهِ وَلاَ مِنْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالُوْا: هَذَا هُوَ اْلحَقُّ وَمَا خَالَفَهُ بَاطِلٌ، لَقَدْ تَرَكُوْا دِيْنَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، إِيَّاكَ وَإِيَّاهُمْ.

“Oh. Mereka merumitkan ucapan dan merekayasa agama dari nafsunya sendiri, tidak dari kitab Allah juga tidak dari sunnah Rasul r, lalu mereka mengatakan: Inilah yang benar, dan yang menyalahi adalah batil. Sungguh mereka telah meninggalkan agama Nabi Muhammad r . Jauhilah mereka olehmu.” (Hilyatul Auliya’: 4/223)

Bahkan imam Asyari sendiri menisbatkan dirinya kepada Imam Ahmad imam Ahli hadits, dan setelah menceritakan akidah ahli hadits ahli sunnah (para salaf shalih) mengatakan:

فهذه جملة ما يأمرون به ويستسلمون إليه ويرونه، وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب؛ وما توفيقنا إلا بالله …( مقالات الإسلاميين: 229)

Intinya, saya ingin mengatakan bahwa istilah salafiyah dan salafi adalah istilah syar’i yang harus diterima, lebih baik dan lebih mulia dari pada istilah asya’irah.
Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:

Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).

Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).

Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah”[2] (320-324/330 H). (rinciaannya ada di buku saya Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi, hal. 19-32)

3.Adapun pernyataan penulis bahwa tesis perjalanan pemikiran imam Asy’ari yang 3 fase itu disebarluaskan oleh wahhabi (h. 39, maka ini mengesankan sentimen penulis terhadap wahhabi cukup tingggi, sebabIbnu Katsîr j (774 H) dan Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) bukan wahhabi dan tidak mengenal wahhabi. Juga tidak setiap orang yang mengingkari adanya 3 fase itu bukan salafi, sebab masalah periodesadsi itu ijtihad, yang penting sepakat bahwa antara kitab-kitab awal pasca mu’tazilah yang belum berintisab dengan Imam Ahmad dengan kitab-kitab akhir setelah berintisab dengan imam Ahmad ada perbedaan, yaitu yang akhir lebih kental kepada salaf ahli hadits, dan menyatakan diri mengikut ucapan mereka.

4.Ucapan penulis: seandainya kehidupan asy’ari seperti dalam tesis diatas tentu akan populer dan tersebar luas sebagaimana halnya informasi keluarnya dari faham mu’tazilah (40). Saya katakan : Justru itu sudah terjadi, sangat terkenal kalau imam Asy’ari akhirnya menisbatkan diri kepada imam Ahmad ibn Hanbal ra. Jadi bukan hanya orang lain, justru imam Asy’ari sendiri yang menyatakan hal itu dalam kitabnya al-Ibanah seperti yang ada dalam Tabyin Kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari (hal. 125). Sedangkan di dalam kitab Maqalat beliau menyatakan mengikut para ulama ahli hadits dan ahli sunnah (maqalat: 226), serta menyendirikan penyebutan Abdullah ibn Said ibn Kulab dalam hal-hal yang pemikirannya menyalahi ahli hadits ahli sunnah. (Maqalat halaman 146, 226, 229, 398, 421, 423)

5.Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapilangsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakanoleh Khaldun, (dikutip oleh penulis hal 42). Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmaddan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir (hal. 20)

Penulis kurang transparan saat menyebut “dalam fase kedua ini al-Asy’ari menulis kitabnya al-Ibanah (50) padahal ia meyakini bahwa fase kedua ini memanjang dari tahun 300 H hingga 324 atau 330 H), yang tentu ada puluhan kitab yang dikarang oleh al-Asy’ari selama masa 24 atau 30 tahun itu. dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya. Menurut al-Kautsari al-Ibanah ditulis saat memasuki Baghdad (hamisy Tabyin Kadzibil muftari hal. 289)

6.Klaim bahwa sebagian ulama ahli hadits sebagai bermanhaj Asy’ariyyah perlu dikritisi dan diluruskan (124-172). Mereka yang diklaim itu sangat banyak, antara lain: Alhafizh Abu Bakar al-Ismaili (371H), al-Hafizh al-Daruquthni (385 H),al-Hafizh al-Baihaqi (458 H), al-Hafizh an-Nawawi (676 H), Ibn Hajr al-Asqalani (852). Jawaban klaim ini ada pada buku saya Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi hal. 75-85). Lima ulama ini bisa sebagai contoh bahwa klaim yang sama terhadap ulama ahli hadits yang lain perlu dikritisi.

7.Contoh klaim yang serupa adalah bahwa imam Bukhari (256 H)dan Thabarimengikuti ibnu Kullab (47, 50)

Ini adalah bathil, tidak bisa diterima. Imam Bukhari adalah Imam al-dunyapada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.

Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.

Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyatamembatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain.[3]

Bahkan ia dia berkata:

من زعم أني قلت لفظي بالقرآن مخلوق فهو كذاب فإني لم أقله (الالكائي: رقم: 611)

Imam Thabari imamul mufassirin (310 H) juga demikian, meskipun dia memiliki kitab Sharih as-Sunnah, dan at-Tabshir fi ma’alimiddin tetap saja mereka klaim sebagai asyairah. Itu belum lagi dengan kitab tafsirnya. Padahal jelas at-Thabari menetapkan al-Quran adalah kalamullah bukan makhluk, dan membatalkan akidah asy’ariyyah yang mengatakan bahwa ada dua al-qur`an: yang satu kalamullah bukan makhluk, yaitu yang ada pada diri Allah (kalam nafsi, makna), dan yang satunya lagi makhluk, yaitu (kalam lafzhi) yang diucapkan, dibaca, dan ditulis.

Oleh karena kita tidak boleh percaya begitu saja dengan klaim-klaim yang lain.

Artikel Terkait :

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 2)

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 3)

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 4)

Catatan:

[1] Disampaikan dalam bedah buku Madzhab al-Asy’ari. Pembahas: Muhammad Idrus Ramli (penulis). Pembanding dan penilai: 1. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag. 2. Prof. Dr. Jamaluddin Miri, Lc., MA. 3. Ahmad Muzhofar Jufri, Lc., MA. Pada tanggal 11 Juli 2009, di Magnet Zone Bookstore & Café Surabaya.
[2] Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430,2/ 784.
[3] Lihat al-lalakai, nomor 610.
*****

 Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.


Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun,

Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir.

dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya.

Kembali ke persoalan: tujuan dari pembahasan itu adalah membuktikan adanya 3 fase pemikiran imam asy’ari rahimahullah: i’tizal, keluar dari i’tizal kemudian intisab kepada imam Ahmad rahimahullah. Dan ini diucapkan oleh ibnu katsir dan dikutib oleh az-zabidi. Sudah jelas?

Bukhari adalah Imam al-dunya pada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.

Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.

Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain
______________________________________

Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah , beliau berkata;

Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya,meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu– ragu. Semoga Allah merohmatinya’.

Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya.

الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى

(Thoha ayat 5)

Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya:

 خَلَقْتُ بِيَدَيً 

(QS. Shod: 75) dan

Firman-Nya;

بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ

(QS. Al Maidah: 64)

Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14).

Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana firman Allah;

الرَّحْمَانُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Artinya :
“Allah itu bersemayam di atas ‘arsy” (QS. Thaha : 5)

Dan bahwasanya Allah itu memiliki wajah sebagaimana telah berfirman :

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبُّكَ ذُوْ الجَلاَل وَالإِكْرَامِ

Artinya :
“Kekallah wajah Allah yang memiliki keagungan” (QS. Ar-Rahman : 27).

Bahwasanya Allah memiliki dua tangan (tanpa membahas bagaimana tangan itu), sebagaimana firman Allah :

…لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ…

“Ketika Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75).

…بَلْ يَدَاهُ مَبْسوطَتَنِ…

Artinya :
“Bahkan kedua tangan Allah iu terbuka” (QS. Al-Maidah : 64).

Dan bahwasanya Allah memiliki dua mata tanpa membahas bagaimana mata itu, sebagaimana firman-Nya:

…تَجْرَيْ بِأَعْيُنِنَا…

Artinya : “Berjalan dengan mata kami ” (QS Al-Qomar :14).

Kita mengatakan bahwa imam yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam itu adalah Abu Bakar as-Shiddiiq radliallahu ‘anhu. Dan bahwasanya melalui dia, Allah telah menjayakan dan mendhahirkan Islam terhadap orang-orang murtad dan kaum muslimin menjadikannya dia sebagai imamah pertama sebagaimana Rasulullah memperlakukannya demikian, dan mereka semua menamakannya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kemudian Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu, kemudian Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu kemudian Ali bin Abi Thalib.

Maka mereka itulah imam setelah Rasulullah saw dan kekhilafahan mereka adalah khilafah kenabian (khilafah nubuwwah).

Kita menyaksikan kepastian masuk surga bagi sepuluh sahabat yang dijamin demikian oleh Rasulullah dan kita mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhenti dari membicarakan atas apa-apa yang menjadi perselisihan diantara mereka.

Kita meyakini bahwasanya para imam yang empat itu adalah khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk dan keutamaan, yang selain mereka tidak ada yang menandingi mereka.

Kita membenarkan seluruh riwayat dari para rawi yang tsiqah, yang mana menegaskan turunnya Allah ke langit dunia dan bahwasanya Dia mengatakan apakah ada orang yang meminta ampun, dan membenarkan apa-apa yang mereka riwayatkan dan kukuhkan berbeda halnya dengan apa apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat.

Kita kembali dalam apa yang kita perselisihkan terhadap Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma’ kaum muslimin dan apa-apa yang semakna dengan itu, kita tidak berbuat bid’ah yang dilarang dalam Islam ini dan tidak mengatakan apa-apa tentang Allah yang tidak kita ketahui.

Kita mengatakan bahwasanya Allah itu akan datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya :

Artinya :
“Dan Allah itu akan datang pada hari kiamat secara bershaf-shaf” (QS. Al-Mutaffifin : 22).

Dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendekat terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :

Artinya :
“Kami lebih dekat daripadanya dari urat kerongkongan” (QS. Qaaf :16)

Artinya :
“Kemudian mendekat dan kemudian lebih mendekat lagi, maka jadilah antara Allah dan Rasulullah antara dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi” (QS. An-Najm :8-9).

Dan diantara ajaran dien kita adalah kita menegakkan shalat jum’at, shalat ied dan seluruh shalat jama’ah dibelakang setiap orang baik maupun tidak baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu shalat di belakang Al-Hajjaj.

Bahwasanya mengusap kedua sepatu adalah sunnah baik dalam keadaan mukim atau musafir, lain halnya dengan orang yang mengingkari hal itu

Kita mendo’akan kebaikan para imam dan mengakui keimamahannya dan menghukum sesat bagi yang membolehkan berontak terhadap mereka apabila tampak dari mereka ketidak istiqomahannya.

Kita meyakini kemungkaran adanya pemberontakan dengan menggunakan pedang dan meninggalkan perang dalam keadaan fitnah dan membenarkan keluarnya Dajjal sebagimana riwayat-riwayat dari Rasulullah tentang hal itu.
____________________________________

ABU HASAN AL ASY’ARi YANG MENJADi KONTROVERSi SALAFi WAHABi vs NAHDLATUL ULAMA

Pengikut Asy’ari seperti Nahdlatul Ulama tidak menyadari bahwa akidah Asy’ari yang asli mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.

Di lain pihak, Salafi Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata “masih ahlul kalam”….

Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam dibidang akidah…

Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin:

“Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH.Sirojuddin Abbas, hal. 16–17)”.

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan : Imam Ahmad bin Hambal ( Ahlul hadis ) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti : dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir.. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali.. Juga disebutkan wajib taat pada pemimpin…Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik.

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan : Imam Ahmad bin Hambal ( Ahlul hadis ) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti : dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir..… ARTiNYA walaupun mereka menganggap hal tersebut SEBAGAi BERBEDA DENGAN MAKHLUK, tetapi I’tiqad ahlul hadis hasywiyyah dan Abu Hasan Al Asy’ari adalah antropomorfis !!!!!!

Dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin, tokoh sunni Abu HAsan Al Asy’ari menulis : “ Keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian tertinggi dari ‘arsy nya”… Abu Hasan menyatakan : “Allah mempunyai dua tangan, dua mata, dua kaki, semua akan binasa kecuali WAJAH nya ( Kitab Maqalat Al islamiyyin hal. 295 ).

Pertanyaan :

1. Apakah keagungan ZAT Allah cuma sebatas bagian tertinggi dari arsy nya ???
2. Apakah tangan dan mata Allah akan binasa ????

Bagi syi’ah : ini pelecehan ………

Pada masa Rasululullah SAW : Kaum mujassimah dari kalangan Yahudi ( ahlul kitab ) memiliki i’tiqad MEMBADANKAN ALLAH, sehingga mereka terjerat kedalam ekstrimitas…Namun hal tersebut menyusup kedalam ajaran Islam.

Abu Hurairah yang merupakan MANTAN YAHUDi ( kemudian ia masuk Islam ) memiliki beberapa orang sahabat karib dari kalangan mantan ahlul kitab yang masuk Islam seperti Ka’ab al Ahbar dan Wahab Munabbih memasukkan akidah israilliyat kedalam hadis sunni…

Penganut mazhab hambali ( salafiah ) menolak keras asy’ariyyah maturidiyyah karena dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….


Pada akhirnya….

Aliran ASY’ARiYYAH MAMPU MENGALAHKAN DUA ALiRAN :
1. Aliran rasionalis mu’tazilah.
2. Aliran ahlul hadis hasywiyyah ( anti ilmu kalam ).

kedua aliran ini terkapar…. karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy… Jadi asy’ari dan maturidy merupakan perintis awal aliran kalam aswaja sunni.
___________________________________

Pertanyaan : Dimanakah posisi Abu Hasan Al Asy’ari ???

Jawab : Asy’ari adalah tokoh aliran kalam yang mencoba memadukan aliran mu’tazilah dengan aliran ahlul hadis hasywiyyah

___________________________________

Pertanyaan : Wahabi mengklaim Abu HAsan Al Asy’ari mengalami 3 fase kehidupan, jadi asy’ari adalah salafi ????

Jawab : Abu Hasan Al Asy’ari mencetuskan teori kasb, yang mana teori ini dikecam keras oleh iBNU TAiMIYYAH karena berbau jabariyah..

Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab beliau berkata: “Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!

Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau menetapkan:
1. Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan, dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah berbicara dan al-Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit dunia.
2. Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
3. Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan malaikat berbaris )

Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau menetapkan adanya ijma” kesepakatan salaf dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;
1. Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
2. Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada diatas arsy.
3. Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225).

Abu Hasan Al Asy’ari menyatakan : “Allah bersemayam di atas singgasana Nya, Dia mempunyai sepasang tangan tetapi bukan sebagai pemilikan, Dia mempunyai mata tetapi bukan sebagai cara, dan Dia mempunyai wajah”( Kitab Maqalat Al Islamiyyin karya Abu Hasan Al Asy’ari ) ….

Memang, pemahaman metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali dan abu Hasan Al Asy’ari cenderung tekstual / literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syi’ah dan mayoritas Ahlusunah… Anehnya pengikut asy’ari mengkafir kan ajaran Asy’ari Sang Gembong Pendiri Mazhab !!!!!

Hambaliyyah dan Asy’ari berpendapat bahwa derajat keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian paling tinggi dari singgasana Nya….

Imam Ali bin Abu Thalib menolak pandangan kejasmaniahan Allah dan menempatkan Allah diatas kualitas kualitas yang dapat disifatkan pada makhluk Nya :

“”Mereka yang mengklaim dapat disamakan dengan Mu menzalimi Mu ketika menyamakan Mu dengan berhala berhala mereka, secara keliru melekatkan pada Mu suatu sifat yang mungkin cocok bagi ciptaan Mu, dan secara tersirat mengakui bahwa Engkau tersusun dari bagian bagian seperti hal hal material ( Kitab Nahj Al Balaghah halaman 144 ).
________________________________________
Syi’ah menolak kejasmaniahan Allah…

Salafi mengambil arti lahiriah, sedangkan syi’ah mengambil arti majazi (kiasan)…

Syi’ah menolak hal hal material seperti kejasmaniahan, ruang, waktu, ketersusunan dan komposisi pada Allah SWT.

Allah ZAT Yang Tak Terbatas sehingga Allah tidak menempati ruang..Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala sisi ayat “Tuhan Yang Maha pengasih beristiwa’ di atas arsy ”[a] (QS. 20:5)

Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada itu, jika kita katakan bahwa Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal Dia adalah “Tida ada sast pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42:11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. 112:4).

Demikian pula ketika Allah berfirman, Tetapi kedua tangan-Nya terbentang. (QS. 5:64), atau, Dan buatlah kapal dengan mata Kami. (QS. 11:37), sama sekali tidak dapat dipahami dalam arti mata atau tangan fisik, karena setiap fisik mempunyai bagian-bagian dan memerlukan ruang, waktu, dan arah sehingga ia akan punah, sedangkan Allah mustahil demikian. Kalau begitu, maka makna yang paling tepat untuk kata “kedua tangan-Nya” pada ayat di atas ialah kekuasaan-Nya yang besar, di mana semua alam tunduk pada-Nya. Sedangkan makna “mata”, ialah pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu.

Sebagai contoh, kita yakin bahwa maksud kata al-’ama atau buta dalam ayat, Barangsiapa buta di dunia akan buta pula di akhirat, (QS. 17:72), sudah pasti bukan dalam arti buta fisik, sebagaimana makna harfiyah, karena banyak sekali orang buta, tapi baik dan salih.

Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat dilihat dapat membawa kepada kemusyrikan. Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sedang Dia menjangkau penglihatan, dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu. (QS. 6:103).

Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menengarai adanya kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan rnelihat-Nya secara kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling menafsirkan, al-Qurn yufassiru ba’dhuhu ba’dhan.[b]

Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: “Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?” Amirul Mukminin menjawab, “Bagaimana aku bisa menyembah Tuhan yang tidak kulihat?” Tapi buru-bur Amirul Mukminin menyempurnakan kalimatnya, “Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia hanya dapatdijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman”. (Nahjul Balaghah, Khutbah 179).

Syi’ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnembawa kepada kemusyrikan Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa dengan apa pun.

manusia bebas dalam kehendaknya (free will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri. Akan tetapi, karena kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah, maka perbuatan-perbuatan kita atas izin Allah.

Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan. Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr (mutlah terpaksa) dan ridak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya. Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya (Ushul al-Kafi, I, hal.160).

Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah Swt dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).

[a] Berdasarkan beberapa ayatal-Quran dapat dipahami bahwa “Kursi”-Nya meliputi alam materi. Firman Allah, “Kursi-Nya mencakup langit dan bumi”. (QS. 2:225).
[b] Ungkapan di atas sangat populer dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sementar itu, dalam kitab Nahjul Balaghah diriwayatkan pula dari Amirul Mukminin as dengan redaksi yang berbeda, yaitu “Sesungguhnya al-Quran, satu sama lainnya saling membenarkan”.

Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Karena ini bertentangan dengan firman Allah swt. sebagai berikut: Dalam surat Syuura (42) : 11; ‘ Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.

Setiap dalil yang menyiratkan seolah olah Zat Allah memiliki organ jasmaniah atau menempati ruang maka wajib hukumnya di majazi / di kiasan kan / di metafora kan, jadi tidak boleh dizahirkan

Bahkan, ketika dikatakan Isa adalah roh Allah, orang-orang Nasrani menetapkannya dengan makna zahir sehingga mendakwa Isa salah satu daripada sifat-sifat Allah.
________________________________

Saudaraku...

SAYYiD MUHAMMAD RASYiD RiDHA ( 1865-1935 ), adalah seorang pembaharu dari Aswaja Sunni.. Beliau merupakan murid Muhammad Abduh yang sangat populer.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Asy Syahid Husain, putera Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (a) ..

Berikut saya ringkas beberapa pendapat RASYiD RiDHA dalam Tafsir Al Manar

Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 115 ??

Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Kiblat yang diridhai Allah” (b)

Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan pendapat Mujahid ( w.104 H ) dan Imam Syafi’i ( w.204 H ) (c)

Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 272

Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (d)

Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al An’am (6) ayat 52

Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (e)

Apakah a’yunina pada Qs. Hud ( 11 ) ayat 37 artinya mata Allah atau pengawasan Allah ??

Jawab: Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha; penggunaan kata jamak a’yunina adalah mubalaghah (mempertegas) adanya perhatian Allah dalam mengawasi dan menjaga (f)

Kalau anda tanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan Mujahid ( w.104 H ) yang mengatakan bahwa orang orang Arab biasa menggunakan lafal ‘ayn dalam bentuk mufrad (tunggal) untuk menyebut perhatian dan menggunakan lafal a’yun dalam bentuk jamak untuk menyebut perhatian yang tinggi (g)

Apakah “kedua tangan Allah terbuka” pada Qs. Al Maidah (5) ayat 64 artinya Allah memiliki dua tangan zahir ataukah Allah Pemurah ?? Mana yang benar ???

Jawab : Yang benar artinya adalah Allah Pemurah.. Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Ibn Abbas (w.68 H) menyatakan bahwa lafal “ghull al yad” ( tangan terbelenggu ) sudah lumrah di pakai dalam bahasa Arab untuk arti kikir , dan lafal “basth al yad” ( tangan terbuka ) dipakai untuk arti pemurah dan dermawan (h)

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mengutip Qs. Al Isra’ (17) ayat 29 yang berbunyi; “Dan jangan lah kamu jadikan tangan mu terbelenggu pada lehermu dan janganlah pula kamu terlalu membukanya” .. (h) Apakah tangan manusia disini bermakna zahir ????

Jadi kenapa ada bentuk tunggal dan ganda pada YAD ALLAH dalam Qs.5:64 ?

Jawab: Menurut Al Baydhawi (w.691 H); bentuk ganda ( tatsniyah pada “bal yadahu mabsuthatan” ) bukan bentuk tunggal (mufrad seperti pada “yadullah maghlulah”) ADALAH untuk mempertegas kemurahan Nya dan mempertegas penolakan Nya terhadap fitnah keji orang orang Yahudi.. INGAT :Al Quran turun pada masa sastra Arab sedang berada dipuncaknya !!!

Referensi:

a. Buku “Rasionalitas Al Quran” karya M. Quraisy Shihab hal. 71. Penerbit Lentera Hati, 2006
b. Ibnu Al Qayyim Al Jawziyah, Mukhtashar Al Shawa’iq Al Mursalah ‘An Al Jahmiyyah wa Al Mu’aththilah, cetakan ke 1 ( Beirut: Dar A- Kutub Al ‘ilmiyyah ) hal. 339
b. TAFSiR AL M A N A R, disusun Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, jilid 1, hal. 435
c. Ibid, Jilid 3 hal. 83
d. Ibid, Jilid 7 hal. 436
e. Ibid, Jilid 12 hal. 73
f. Ibid, Jilid 6 hal. 454
g. Buku “Rasyid Ridha, Konsep Teologi”, karya Dr. A.Athaillah dari IAIN ANTASARI, penerbit ERLANGGA

___________________________________________

Saudara pembaca…

Apa maksud wajah Allah ??


Jawab :

Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 272 disebutkan, “Dan janganlah Kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah (wajhillâh).” Berangkat dari ayat ini, sebuah soal mengemuka; apakah maksud dari ungkapan wajhullâh tersebut?

Wajh secara leksikal bermakna wajah, dan terkadang bermakna dzat (substansi). Oleh karena itu, wajhullah bermakna Dzat Allah. Niat para pemberi infak harus ditujukan kepada dzat kudus Allah Swt. Oleh karena itu, kata wajh pada ayat ini dan yang semisalnya bermuatan satu jenis penegasan. Karena, ketika wajh disebutkan (untuk dzat Ilahi), merupakan penegasan terhadap untuk Allah swt. semata, bukan untuk yang lain.

Selain itu, galibnya, wajah manusia -secara lahiriah- adalah bagian termulia di dalam struktur tubuhnya. Lantaran organ-organ yang penting pada tubuh manusia terletak di wajahnya, seperti penglihatan, pendengaran, dan mulut. Atas dasar ini, ketika ungkapan wajhullah digunakan pada ayat ini, itu memberikan arti kemuliaan dan nilai penting. Di sini, wajh secara figuratif (majâzî) digunakan dalam kaitannya dengan Allah Swt, yang sejatinya merupakan satu bentuk penghormatan dan signifikansi dari ayat ini.

artinya : “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya”.


Maknalafadz illa wajhahu (kecuali wajah-Nya), al Imam al Bukhari berkata: “kecuali sulthan (tasharruf atau kekuasaan-) Allah”.

Mengaharapkan “wajah Allah” bermakna “mengharapkan pahala/ridho Allah.

wa maa tunfiquuna illabtighaa-a wajhillah

“Dan Janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena Keridhaan Allah ” (Al-Baqarah 272).

Dalam tafsir jalalain disebutkan : (illabtighaa-a wajhillah) mengharapkan ganjaran dari Allah saja bukan selainnya dari kekayaan dunia.


Tafsir Ayat Mutasyabihat WAJAH

Kemanapun engkau menghadap maka akan kamu dapati WAJAH ALLAH ( KIBLAT ALLAH ) (QS albaqarah 115) menurut Mujahid.
______________________________________

Saudaraku…

Tafsir Ayat Mutasyabihat TANGAN.

Allah SWT telah berfirman dalam Adzariyat : 47;

Artinya : ” Dan langit, kami membinanya dengan Tangan(Kekuasaan) Kami….” (Qs adzariyat ayat 47)

Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud lafadz biaidin) adalah “dengan kekuasaan“, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.

Lihat rujukan dalam kitab Tafsir mu’tabar sunni :
1. Dalam Tafsir Qurtuby:
2. Dalam Tafsir Thabary :
3. Dalam Tafsir Jalalain ; Biquwati

Lafadz BI AIDIN artinya DENGAN KEKUTAN-NYA

kemudian dalam surat Al-Fath : 10;

firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.

Dalam Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi saw bersabda, “Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan”… Menurut para ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi. Pada hadits lainnya dijelaskan oleh Rasulullah bahwa dari arah Najd akan timbul dua tanduk iblis. Sekarang kita bertanya-tanya siapakah gerangan? Yakni Musailamah Al Kadzab dan Muhamad Bin Abdul Wahhab. Keduanya datang dari arah itu.

Ternyata akidah wahabi dibidang asma’ wa shifat sama dengan akidah Abu Hasan Al Asy’ari…

Akidah Abu Hasan Al Asy’ari Dalam Kitab Maqalat Al Islamiyyin Sam Dengan Akidah Wahabi Salafi… Kenapa Kaum Sunni Cuma Berani Mengkafirkan Akidah Wahabi Tetapi Mengagung Agungkan Abu Hasan Al Asy’ari…. Mazhab Anda Kacau Balau !
Al-Ibanah Adalah Kitab Karya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari Yang Sebenar.

Abu-Syafiq telah menulis satu artikel di dalam blognya yang berjudul “Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah’ Bukan Kesemua Isi Kandungannya Tulisan Imam Asy’ari”. Artikel ini sangatlah tidak ilmiah dalam membuktikan dakwaan mereka terhadap kitab yang menunjukkan kembalinya Imam Asy’ari kepada aqidah salaf. Abu Syafiq kemudiannya berkata “Wahabi Berdusta pada Kitab Al-Ibanah” perkataan ini sangatlah tidak teliti malah menuduh serta mengklaim para wahabi yang menambah-nambah isi kandungannya. Di sini saya nukilkan kata-kata ulama bahawa Kitab Al-Ibanah adalah benar-benar adalah tulisan Imam Asy’ari dan bukan seperti yang di katakan oleh golongan ahbash terutamanya abu-syafiq yang berguru dengan syeikh Harari Al-Habasy seorang pengasas golongan Ahbash.

Tokoh yang terkenal Al-Hafiz Az-Dzahabi telah menisbatkan kitab Al-Ibanah kepada Abul Hasan Al-Asy’ari seperti mana katanya dalam kitab Al-‘Uluw lil ‘Aliyil Ghaffar halaman 278: “Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam kitabnya Al-Ibanah ‘An Usul Ad-Diyanah dalam bab Istiwa’ (bersemayamnya Allah di atas ‘Arasy): “Jika seseorang berkata: “Apa pandanganmu tentang Istiwa?” Maka jawabnya: “Kami berpendapat bahawa Allah beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arasy sebagaimana firman Allah s.w.t:

“(Iaitu) Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arasy” [Thaaha: 5]

Az-Dzahabi meriwayatkan dari Al-Hafiz Abul Abbas Ahmad bin Tsabit Ath-Thuraqy, bahawa ia berkata: “Aku membaca kitab Abul Hasan Al-Asy’ary yang berjudul Al-Ibanah tentang dalil-dalil yang menetapkan bahawa Allah bersemayam di atas ‘Arasy”. Ia menukilkan juga dari Abu Ali Ad-Daqqaaq bahawa ia mendengar Zahir bin Ahmad Al-Faqih berkata: “Imam Abul Hasan Al-Asy’ari wafat di rumahku. Ketika sedang sakarat beliau mengucapkan: :Semoga Allah melaknat Mu’tazilah yang keliru dan bodoh”.[Dinukil daripada pengenalan pada kitab Al-Ibanah 'An Usul Al-Diyanah yang di tulis oleh Syeikh Hammad bin Muhammad Al-Anshari. Beliau adalah Pensyarah Fakulti dakwah Universiti Islamiyah Madinah Al-Munawwarah.].

Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’;

فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم – إذا دعوا – نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.

“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.

Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.

Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidhah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidhah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena dia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.

وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون – إلى أن قال :

وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، – إلى أن قال : -

وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.

Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata;
Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :

“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.

“Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah;

ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.

كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.

“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.

Di antara para ulama yang mengisbatkan buku Al-Ibanah kepada Imam Asy’ari juga adalah Al-Hafiz Al-Kabir Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi, Asy-Syafi’I wafat pada tahun 458 H dalam kitabnya Al-I’tiqad wal Hidayah Ilaa Sabili Ar-Rasyaad pada bab Al-Qaulu fii Al-Quran halaman 31: “Asy-Syafi’I r.a menyebutkan bahawa bukti yang menunjukkan Al-Quran yang kita tulis dalam mushaf disebut Kalam Allah adalah bahawasanya Allah s.w.t berbicara dengan Al-Quran kepada hambaNya dan mengutuskan Rasul-Nya s.a.w dengan mambawa Al-Quran dan maknanya.

Di antara yang mengisbatkan Al-Ibanah adalah benar-benar daripada Imam Asy’ari ialah Ibn Farhun Al-Maliki. Ia berkata dalam kitabnya Ad-Dibaaj halaman 193-194: “Di antra kitab yang ditulis Abul Hasan Al-Asy’ari adalah Al-Luma’ Al-Kabir, Al-Luma’ Ash-Shaghir dan Kitab Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah.

Abu Al-Fallah Abdul Hayyi bin Al’Imad Al-Hanbali (w 1098 H) juga mengisbatkan kitab Al-Ibanah adalah karya Imam Asy-‘ari. Ia berkata dalam kitabnya Syadzarat Adz-Dzahab fi A’yaanil min dzahab pada juz 2 halaman 303: “Abul Hasan Al-Asy’ari telah berkata dalam kitabnya Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah dan ini adalah kitab beliau yang terakhir”.

Seterusnya Abul Qaasim Abdul Malik bin Isa bin Darbas Asy’Syafi’I (w 605 H) ia berkata dalam kitab Adz-Dzabb ‘An Abil Hasan Al-Asy’ari: “Wahai saudara-saudara sekalian! Ketahuilah bahawa Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah adalah kitab yang ditulis oleh Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari yang merupakan keyakinan beliau yang terakhir.

Imam Abu Hanifah berkata lagi: Barangsiapa yang berkata: “Aku tidak tahu Rabbku, di langit atau di bumi?” bererti ia kafir. Begitu juga seseorang menjadi kafir apabila mengatakan bahawa Allah itu di atas ‘Arasy, tetapi aku tidak tahu adakah ‘Arasy itu di langit atau di bumi. –al-Fiqhul Absath, ms. 46.

Imam Abu Hanifah berkata kepada seseorang wanita yang bertanya: “Dimanakah Ilahmu yang engkau sembah itu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya Allah itu ada di langit bukan di bumi.” Lalu datanglah seorang pemuda mengajukan pertanyaan: “Bagaimana dengan ayat: وهو معكم اين ما كنتم? “Dia bersama kamu dimana kamu berada.” (Surah al-Hadid: 4).


IMAM MALIK BIN ANAS

Abu Nu’aim mentakhrijkan dari Ja’far bin Abdillah berkata: “Ketika kami sedang berada di samping Malik bin Anas, datanglah seorang pemuda lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, Ar-Rahman (Allah yang Maha Pengasih) bersemayam di atas ‘Arasy bagaimana bersemayamNya?” Mendengar pertanyaan ini, Imam Malik menjadi berang dan marah. Lalu ia menundukkan muka ke bumi seraya menyandarkannya ke tongkat yang dipegangnya hingga tubuhnya bersimbah peluh. Setelah ia mengangkat kepalanya, ia lantas berkata: “Cara bersemayamNya tidak diketahui (tidak dapat digambarkan), sedang istiwanya (bersemayamnya) telah jelas dan diketahui, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Aku menyangka engkau adalah si pelaku bid’ah.” Lalu beliau menyuruh orang itu keluar. –Hilyatul Aulia’ (VI/325-326), Ibn Abdil Barr dalam at-Tauhid (VI/151), Al-Baihaqi dalam al-Asma’ Was Sifat, ms. 498, Ibn Hajar dalam Fathul Bari (XIII/406-407), Az-Zahabi dalam al-Uluw, ms. 103.


IMAM MUHAMMAD IDRIS AS-SYAFI’I

Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wa Taala memiliki asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh KitabNya dan diberitakan oleh NabiNya s.a.w. kepada umatnya, yang tidak boleh diingkari oleh sesiapa pun dari makhluk Allah S.W.T. yang telah sampai kepadanya dalil bahawa al-Quran turun membawa keterangan tentang hal tersebut, juga sabda Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan tsiqah telah jelas-jelas sahih yang menerangkan masalah itu. Maka barangsiapa yang mengingkari atau berbeza dengan semuanya itu padahal hujah (dalil/ keterangan) tersebut telah jelas baginya, bererti ia kafir kepada Allah S.W.T. Adapun jika ia menentang kerana belum mendapat hujah/ keterangan tersebut, maka ia diampuni kerana kebodohannya, kerana pengetahuan tentang semuanya itu (sifat-sifat Allah dan asma’Nya) tidak dapat dijangkau oleh akal dan pemikiran.

Yang termasuk ke dalam keterangan-keterangan seperti itu adalah juga keterangan-keterangan Allah S.W.T. bahawa Dia Maha Mendengar dan bahawa Allah itu memiliki tangan sesuai dengan firmanNya: “Bahkan Tangan Allah itu terbuka.” (Surah al-Maidah: 64). Dan bahawa Allah memiliki tangan kanan, sebagaimana dinyatakan: “…Dan langit digulung dengan tangan kananNya.” (Surah az-Zumar: 67) dan bahawa Allah itu memiliki wajah, berdasarkan firmanNya yang menetapkan: “Dan tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa, kecuali Wajah Allah…” (Surah Al-Qasas: 88), “Dan kekallah wajah Rabbmu yang mempunyai keagungan dan kemulian.” (Surah Ar-Rahman: 27). Juga bahawa Allah mempunyai tumit, sesuai dengan pernyataan Rasulullah s.a.w: “Sehingga Rabb Azza wa Jalla meletakkan tumitNya pada Jahannam.” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848) dan Allah ketawa berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. tentang orang yang mati fi sabilillah: “Ia akan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla sedang Allah tertawa kepadanya….” (Riwayat Bukhari, no: 2826 dan Muslim, no:1890).

Dan bahawa Allah turun ke langit dunia pada setiap malam berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w. tentangnya. Begitu juga keterangan bahawa Allah S.W.T. itu tidak buta sebelah mataNya berdasarkan pernyataan Nabi s.a.w. ketika baginda menyebut dajjal, baginda bersabda: “Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabbmu tidaklah buta (sebelah mataNya).” (Riwayat Bukhari, no: 7231 dan Muslim, no: 2933). Dan bahawa orang-orang mukmin pasti akan melihat Rabb mereka pada hari kiamat dengan pandangan mata mereka seperti halnya mereka melihat bulan di malam purnama, juga bahawa Allah S.W.T. mempunyai jari-jemari seperti ditetapkan oleh sabda Nabi s.a.w: “Tidaklah ada satu jari pun melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman Azza wa Jalla.” (Riwayat Ahmad IV/182, Ibnu Majah I/72, Hakim I/525 dan Ibn Mandah ms.87. Imam Hakim mensahihkannya dipersetujui oleh az-Zahabi dalam at-Talkhis).

Semua sifat-sifat ini yang telah ditetapkan oleh Allah S.W.T. sendiri bagi diriNya dan oleh Rasulullah s.a.w. untukNya, hakikatnya tidaklah dapat dijangkau oleh akal atau fikiran dan orang yang mengingkarinya kerana bodoh (tidak mengetahui keterangan-keterangan tentangnya) tidaklah kafir kecuali jika ia mengetahuinya tetapi ia mengingkarinya, barulah ia kafir. Dan bilamana yang datang tersebut merupakan berita yang kedudukannya dalam pemahaman seperti sesuatu yang disaksikan dalam apa yang didengar, maka wajib baginya sebagai orang yang mendengar berita tersebut untuk mengimani dan tunduk kepada hakikat hal tersebut dan mempersaksikan atasnya seperti halnya ia melihat dan mendengar dari Rasulullah s.a.w.

Namun kita tetapkan sifat-sifat ini dengan menafikan (meniadakan) tasybih sebagaimana Allah telah menafikannya dari diriNya dalam firmanNya: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Surah As-Syura: 11). –Dinukil daripada I’tiqadul Aimmatil Arba’ah oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais.


IMAM AHMAD BIN HANBAL

Syeikh Ibn Taimiyyah menyebut kata-kata Imam Hanbal: “Kita beriman kepada Allah itu di atas ‘Arasy sesuai dengan kehendaknya tanpa dibatasi dan tanpa disifati dengan sifat yang kepadanya seseorang yang berusaha mensifatinya telah sampai atau dengan batas yang kepadanya seseorang yang membatasinya telah sampai. Sifat-sifat Allah itu (datang) dariNya dan milikNya. Ia mempunyai sifat seperti yang Ia sifatkan untuk diriNya, yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan.” –Ta’arudh al-‘Aqli wa al-Naqli (II/30).

Ibnul Jauzi dalam al-Manaqib menyebutkan tulisan (surat) Imam Ahmad bin Hanbal kepada Musaddad yang di antara isinya ialah: “Sifatilah Allah dengan sifat yang denganNya Ia telah mensifati diriNya dan nafikanlah dari Allah apa-apa yang Ia nafikan dari diriNya. –Manaqib Imam Ahmad, ms. 221.

Di dalam kitab ar-Raddu ‘ala al-jahmiah tulisan Imam Ahmad, ia mengucapkan: “Jahm bin Safwan telah menyangka bahawa orang yang mensifati Allah dengan sifat yang dengannya Ia mensifati diriNya dalam kitabNya, atau dengan yang disebutkan Rasulullah s.a.w. dalam hadisnya adalah seorang kafir atau termasuk Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).” –Ar-Raddu ‘ala al-Jahmiah, ms. 104

Abu Hasan Al Asy’ari menyatakan : “Allah bersemayam di atas singgasana Nya, Dia mempunyai sepasang tangan tetapi bukan sebagai pemilikan, Dia mempunyai mata tetapi bukan sebagai cara, dan Dia mempunyai wajah”( Kitab Maqalat Al Islamiyyin karya Abu Hasan Al Asy’ari ) ….

Memang, pemahaman metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali dan abu Hasan Al Asy’ari cenderung tekstual / literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syi’ah dan mayoritas Ahlusunah… Anehnya pengikut asy’ari mengkafir kan ajaran Asy’ari Sang Gembong Pendiri Mazhab !!!!!

Hambaliyyah dan Asy’ari berpendapat bahwa derajat keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian paling tinggi dari singgasana Nya….

Imam Ali bin Abu Thalib menolak pandangan kejasmaniahan Allah dan menempatkan Allah diatas kualitas kualitas yang dapat disifatkan pada makhluk Nya :

“”Mereka yang mengklaim dapat disamakan dengan Mu menzalimi Mu ketika menyamakan Mu dengan berhala berhala mereka, secara keliru melekatkan pada Mu suatu sifat yang mungkin cocok bagi ciptaan Mu, dan secara tersirat mengakui bahwa Engkau tersusun dari bagian bagian seperti hal hal material ( Kitab Nahj Al Balaghah halaman 144 ).
___________________________________________

Syi’ah menolak kejasmaniahan Allah…

Salafi mengambil arti lahiriah, sedangkan syi’ah mengambil arti majazi (kiasan)…

Syi’ah menolak hal hal material seperti kejasmaniahan, ruang, waktu, ketersusunan dan komposisi pada Allah SWT.

Saya selaku pengikut syi’ah menganggap Abu Hasan Al Asy’ari adalah seorang ahlul kalam yang merasionalkan akidah Imam Ahmad bin Hambal, dengan kata lain Asy’ari adalah penengah antara paham mu’tazilah dan paham ahlul hadis..

Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.


PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH

Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:

Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).

Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).

Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah” (320-324/330 H).
(Lihat Kesini:  http://old.gensyiah.com/madzhab-al-asyari-benarkah-ahlussunnah-wal-jamaah-bag-1.html)


*****

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 1)

PENILAIAN TERHADAP BUKU

“MADZHAB AL-ASY’ARI, BENARKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH?

Jawaban Terhadap Aliran Salafi”

Tulisan:Muhammad Idrus Ramli

Oleh Agus Hasan Bashori[1]


الحمد لله وبعد : لقد بعث الله نبينا محمدًا صلى الله عليه وسلم- بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون، وقد تحقق هذا كماوعد- سبحانه وتعالى وقد ترك أمته على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك

Setelah membaca buku yang ditulis Gus Muhammad Idrus ini ternyata ada banyak informasi, asumsi, argumentasi, persepsi dan kesimpulan yang kurang atau salah bahkan menyesatkan. Dalam kesempatan yang sangat singkat ini kita bahas beberapa hal, antara lain:
Istilah Asy’ari dan Salafi

Judul buku melawankan antara al-asy’ari dan as-Salafi- memang demikian adanya, namun penulis mengunggulkan al-asy’ari atas as-salafi.

Asy’ari adalah nisbat kebada imam abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H). Sedang salafi adalah nisbat kepada as-salaf as-shalih yaitu generasi terdahulu dari para sahabat dan tabi’in dan atba’ attabi’in.

Jika nisbat kepada seorang imam dari abad ke 3 boleh dan terpuji tentu nisbat kepada seluruh imam dari 3 generasi awal islam yang pertama adalah lebih boleh dan lebih terbuji.

Jika mengikuti seorang imam di abad ketiga –yang tidak ma’shum- diyakini benar tentu mengikut seluruh imam pada 3 kurun waktu yang utama –yang ijma’ mereka ma’shum- lebih dijamin kebenarannya.

Jika mengikuti seorang imam pada abad ketiga tidak ada perintahnya maka mengikuti para ulama salaf ada banyak perintahnya, bahkan sebagai tanda golongan yang selamat.

Imam asy’ari bergantung pada salaf, bukan sebaliknya dan imam asy’ari diukur dengan salaf bukan sebaliknya.

Ahlussunnah, ahli hadits, dan ahli atsarsudah ada sebelum imam al-Asy’ari lahir, dan tidak menjadi asy’ariyyah setelah imam al-Asy’ari menjadi imam.

Kelompok salaf, Ahlussunnah, ahli hadits dan ahli atsar berpegang teguh dengan sunnah dan membenci kalam dan ahlinya, sementara kelompok asya’irah adalah termasuk ahli kalam dan membela kalam.

Para ulama salaf sebelum imam al-Asy’ari dan sesudahnya berwasiat agar mengikuti manhaj salaf as-shalih, yaitu mengikuti hadits dan atsar dan tidak berwasiat untuk mengikuti asyairah atau ilmu kalam.

Abu Hamzah al-A’war berkata: Ketika maqalah-maqalah (pemikiran akidah) marak di Kufah saya mendatangi Ibrahim al-Nakha’I ( mufti dan faqih Irak W. 96 ), saya katakan: “Wahai Abu Imran, Tidakkah anda melihat makalah-makalah yang beredar di Kufah? Maka dia berkata:

أَوَّهْ، دَقَّقُّوْا قَوْلاً وَاخْتَرَعُوْا دِيْنًا مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمْ لَيْسَ مِنْ كِتَابِ اللهِ وَلاَ مِنْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالُوْا: هَذَا هُوَ اْلحَقُّ وَمَا خَالَفَهُ بَاطِلٌ، لَقَدْ تَرَكُوْا دِيْنَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، إِيَّاكَ وَإِيَّاهُمْ.

“Oh. Mereka merumitkan ucapan dan merekayasa agama dari nafsunya sendiri, tidak dari kitab Allah juga tidak dari sunnah Rasul r, lalu mereka mengatakan: Inilah yang benar, dan yang menyalahi adalah batil. Sungguh mereka telah meninggalkan agama Nabi Muhammad r . Jauhilah mereka olehmu.” (Hilyatul Auliya’: 4/223)

Bahkan imam Asyari sendiri menisbatkan dirinya kepada Imam Ahmad imam Ahli hadits, dan setelah menceritakan akidah ahli hadits ahli sunnah (para salaf shalih) mengatakan:

فهذه جملة ما يأمرون به ويستسلمون إليه ويرونه، وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب؛ وما توفيقنا إلا بالله …( مقالات الإسلاميين: 229)

Intinya, saya ingin mengatakan bahwa istilah salafiyah dan salafi adalah istilah syar’i yang harus diterima, lebih baik dan lebih mulia dari pada istilah asya’irah.
Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:

Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).

Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).

Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah”[2] (320-324/330 H). (rinciaannya ada di buku saya Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi, hal. 19-32)

3.Adapun pernyataan penulis bahwa tesis perjalanan pemikiran imam Asy’ari yang 3 fase itu disebarluaskan oleh wahhabi (h. 39, maka ini mengesankan sentimen penulis terhadap wahhabi cukup tingggi, sebabIbnu Katsîr j (774 H) dan Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) bukan wahhabi dan tidak mengenal wahhabi. Juga tidak setiap orang yang mengingkari adanya 3 fase itu bukan salafi, sebab masalah periodesadsi itu ijtihad, yang penting sepakat bahwa antara kitab-kitab awal pasca mu’tazilah yang belum berintisab dengan Imam Ahmad dengan kitab-kitab akhir setelah berintisab dengan imam Ahmad ada perbedaan, yaitu yang akhir lebih kental kepada salaf ahli hadits, dan menyatakan diri mengikut ucapan mereka.

4.Ucapan penulis: seandainya kehidupan asy’ari seperti dalam tesis diatas tentu akan populer dan tersebar luas sebagaimana halnya informasi keluarnya dari faham mu’tazilah (40). Saya katakan : Justru itu sudah terjadi, sangat terkenal kalau imam Asy’ari akhirnya menisbatkan diri kepada imam Ahmad ibn Hanbal ra. Jadi bukan hanya orang lain, justru imam Asy’ari sendiri yang menyatakan hal itu dalam kitabnya al-Ibanah seperti yang ada dalam Tabyin Kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari (hal. 125). Sedangkan di dalam kitab Maqalat beliau menyatakan mengikut para ulama ahli hadits dan ahli sunnah (maqalat: 226), serta menyendirikan penyebutan Abdullah ibn Said ibn Kulab dalam hal-hal yang pemikirannya menyalahi ahli hadits ahli sunnah. (Maqalat halaman 146, 226, 229, 398, 421, 423)

5.Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapilangsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakanoleh Khaldun, (dikutip oleh penulis hal 42). Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmaddan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir (hal. 20)

Penulis kurang transparan saat menyebut “dalam fase kedua ini al-Asy’ari menulis kitabnya al-Ibanah (50) padahal ia meyakini bahwa fase kedua ini memanjang dari tahun 300 H hingga 324 atau 330 H), yang tentu ada puluhan kitab yang dikarang oleh al-Asy’ari selama masa 24 atau 30 tahun itu. dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya. Menurut al-Kautsari al-Ibanah ditulis saat memasuki Baghdad (hamisy Tabyin Kadzibil muftari hal. 289)

6.Klaim bahwa sebagian ulama ahli hadits sebagai bermanhaj Asy’ariyyah perlu dikritisi dan diluruskan (124-172). Mereka yang diklaim itu sangat banyak, antara lain: Alhafizh Abu Bakar al-Ismaili (371H), al-Hafizh al-Daruquthni (385 H),al-Hafizh al-Baihaqi (458 H), al-Hafizh an-Nawawi (676 H), Ibn Hajr al-Asqalani (852). Jawaban klaim ini ada pada buku saya Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi hal. 75-85). Lima ulama ini bisa sebagai contoh bahwa klaim yang sama terhadap ulama ahli hadits yang lain perlu dikritisi.

7.Contoh klaim yang serupa adalah bahwa imam Bukhari (256 H)dan Thabarimengikuti ibnu Kullab (47, 50)

Ini adalah bathil, tidak bisa diterima. Imam Bukhari adalah Imam al-dunyapada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.

Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.

Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyatamembatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain.[3]

Bahkan ia dia berkata:

من زعم أني قلت لفظي بالقرآن مخلوق فهو كذاب فإني لم أقله (الالكائي: رقم: 611)

Imam Thabari imamul mufassirin (310 H) juga demikian, meskipun dia memiliki kitab Sharih as-Sunnah, dan at-Tabshir fi ma’alimiddin tetap saja mereka klaim sebagai asyairah. Itu belum lagi dengan kitab tafsirnya. Padahal jelas at-Thabari menetapkan al-Quran adalah kalamullah bukan makhluk, dan membatalkan akidah asy’ariyyah yang mengatakan bahwa ada dua al-qur`an: yang satu kalamullah bukan makhluk, yaitu yang ada pada diri Allah (kalam nafsi, makna), dan yang satunya lagi makhluk, yaitu (kalam lafzhi) yang diucapkan, dibaca, dan ditulis.

Oleh karena kita tidak boleh percaya begitu saja dengan klaim-klaim yang lain.

Artikel Terkait :

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 2)

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 3)

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 4)

Catatan:

[1] Disampaikan dalam bedah buku Madzhab al-Asy’ari. Pembahas: Muhammad Idrus Ramli (penulis). Pembanding dan penilai: 1. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag. 2. Prof. Dr. Jamaluddin Miri, Lc., MA. 3. Ahmad Muzhofar Jufri, Lc., MA. Pada tanggal 11 Juli 2009, di Magnet Zone Bookstore & Café Surabaya.
[2] Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430,2/ 784.
[3] Lihat al-lalakai, nomor 610.
*****

 Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.


Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun,

Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir.

Dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya.

Kembali ke persoalan: tujuan dari pembahasan itu adalah membuktikan adanya 3 fase pemikiran imam asy’ari rahimahullah: i’tizal, keluar dari i’tizal kemudian intisab kepada imam Ahmad rahimahullah. Dan ini diucapkan oleh ibnu katsir dan dikutib oleh az-zabidi. Sudah jelas?

Bukhari adalah Imam al-dunya pada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.

Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.

Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain.

Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah , beliau berkata;
Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya,meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu– ragu. Semoga Allah merohmatinya’.

Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya.

الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى

(Thoha ayat 5)

Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya:

بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ

(QS. Al Maidah: 64).

Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14).

Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana firman Allah :

الرَّحْمَانُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Artinya :
“Allah itu bersemayam di atas ‘arsy” (QS. Thaha : 5).

Dan bahwasanya Allah itu memiliki wajah sebagaimana telah berfirman;

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبُّكَ ذُوْ الجَلاَل وَالإِكْرَامِ

Artinya :
“Kekallah wajah Allah yang memiliki keagungan” (QS. Ar-Rahman : 27).

Bahwasanya Allah memiliki dua tangan (tanpa membahas bagaimana tangan itu), sebagaimana firman Allah :

…لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ…

“Ketika Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75).

…بَلْ يَدَاهُ مَبْسوطَتَنِ…

Artinya :
“Bahkan kedua tangan Allah iu terbuka” (QS. Al-Maidah : 64).

Dan bahwasanya Allah memiliki dua mata tanpa membahas bagaimana mata itu, sebagaimana firman-Nya:

…تَجْرَيْ بِأَعْيُنِنَا…

Artinya : “Berjalan dengan mata kami ” (QS Al-Qomar :14).

Kita mengatakan bahwa imam yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam itu adalah Abu Bakar as-Shiddiiq radliallahu ‘anhu. Dan bahwasanya melalui dia, Allah telah menjayakan dan mendhahirkan Islam terhadap orang-orang murtad dan kaum muslimin menjadikannya dia sebagai imamah pertama sebagaimana Rasulullah memperlakukannya demikian, dan mereka semua menamakannya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kemudian Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu, kemudian Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu kemudian Ali bin Abi Thalib.

Maka mereka itulah imam setelah Rasulullah saw dan kekhilafahan mereka adalah khilafah kenabian (khilafah nubuwwah).

Kita menyaksikan kepastian masuk surga bagi sepuluh sahabat yang dijamin demikian oleh Rasulullah dan kita mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhenti dari membicarakan atas apa-apa yang menjadi perselisihan diantara mereka.

Kita meyakini bahwasanya para imam yang empat itu adalah khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk dan keutamaan, yang selain mereka tidak ada yang menandingi mereka.

Kita membenarkan seluruh riwayat dari para rawi yang tsiqah, yang mana menegaskan turunnya Allah ke langit dunia dan bahwasanya Dia mengatakan apakah ada orang yang meminta ampun, dan membenarkan apa-apa yang mereka riwayatkan dan kukuhkan berbeda halnya dengan apa apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat.

Kita kembali dalam apa yang kita perselisihkan terhadap Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma’ kaum muslimin dan apa-apa yang semakna dengan itu, kita tidak berbuat bid’ah yang dilarang dalam Islam ini dan tidak mengatakan apa-apa tentang Allah yang tidak kita ketahui.

Kita mengatakan bahwasanya Allah itu akan datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya :

Artinya :
“Dan Allah itu akan datang pada hari kiamat secara bershaf-shaf” (QS. Al-Mutaffifin : 22).

Dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendekat terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :

Artinya :
“Kami lebih dekat daripadanya dari urat kerongkongan” (QS. Qaaf :16)

Artinya :
“Kemudian mendekat dan kemudian lebih mendekat lagi, maka jadilah antara Allah dan Rasulullah antara dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi” (QS. An-Najm :8-9).

Dan diantara ajaran dien kita adalah kita menegakkan shalat jum’at, shalat ied dan seluruh shalat jama’ah dibelakang setiap orang baik maupun tidak baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu shalat di belakang Al-Hajjaj.

Bahwasanya mengusap kedua sepatu adalah sunnah baik dalam keadaan mukim atau musafir, lain halnya dengan orang yang mengingkari hal itu.

Kita mendo’akan kebaikan para imam dan mengakui keimamahannya dan menghukum sesat bagi yang membolehkan berontak terhadap mereka apabila tampak dari mereka ketidak istiqomahannya.

Kita meyakini kemungkaran adanya pemberontakan dengan menggunakan pedang dan meninggalkan perang dalam keadaan fitnah dan membenarkan keluarnya Dajjal sebagimana riwayat-riwayat dari Rasulullah tentang hal itu
____________________________________

ABU HASAN AL ASY’ARi YANG MENJADi KONTROVERSi SALAFi WAHABi vs NAHDLATUL ULAMA.

Pengikut Asy’ari seperti Nahdlatul Ulama tidak menyadari bahwa akidah Asy’ari yang asli mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.

Di lain pihak, Salafi Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata “masih ahlul kalam”….

Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam dibidang akidah…

Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin:
“Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH.Sirojuddin Abbas, hal. 16–17)”.

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan : Imam Ahmad bin Hambal ( Ahlul hadis ) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti : dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir.. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali.. Juga disebutkan wajib taat pada pemimpin…Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik.

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan : Imam Ahmad bin Hambal ( Ahlul hadis ) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti : dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir..… ARTiNYA walaupun mereka menganggap hal tersebut SEBAGAi BERBEDA DENGAN MAKHLUK, tetapi I’tiqad ahlul hadis hasywiyyah dan Abu Hasan Al Asy’ari adalah antropomorfis !!!!!!

Dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin, tokoh sunni Abu HAsan Al Asy’ari menulis : “ Keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian tertinggi dari ‘arsy nya”… Abu Hasan menyatakan : “Allah mempunyai dua tangan, dua mata, dua kaki, semua akan binasa kecuali WAJAH nya ( Kitab Maqalat Al islamiyyin hal. 295 ).

Pertanyaan :

1. Apakah keagungan ZAT Allah cuma sebatas bagian tertinggi dari arsy nya ???
2. Apakah tangan dan mata Allah akan binasa ????

Bagi syi’ah : ini pelecehan ………

Pada masa Rasululullah SAW : Kaum mujassimah dari kalangan Yahudi ( ahlul kitab ) memiliki i’tiqad MEMBADANKAN ALLAH, sehingga mereka terjerat kedalam ekstrimitas…Namun hal tersebut menyusup kedalam ajaran Islam.

Abu Hurairah yang merupakan MANTAN YAHUDi ( kemudian ia masuk Islam ) memiliki beberapa orang sahabat karib dari kalangan mantan ahlul kitab yang masuk Islam seperti Ka’ab al Ahbar dan Wahab Munabbih memasukkan akidah israilliyat kedalam hadis sunni…

Penganut mazhab hambali ( salafiah ) menolak keras asy’ariyyah maturidiyyah karena dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….

Pada akhirnya….

Aliran ASY’ARiYYAH MAMPU MENGALAHKAN DUA ALiRAN :
1. Aliran rasionalis mu’tazilah.
2. Aliran ahlul hadis hasywiyyah ( anti ilmu kalam ).

kedua aliran ini terkapar…. karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy… Jadi asy’ari dan maturidy merupakan perintis awal aliran kalam aswaja sunni.

___________________________________

Pertanyaan : Dimanakah posisi Abu Hasan Al Asy’ari ???

Jawab : Asy’ari adalah tokoh aliran kalam yang mencoba memadukan aliran mu’tazilah dengan aliran ahlul hadis hasywiyyah.
___________________________________

Pertanyaan : Wahabi mengklaim Abu HAsan Al Asy’ari mengalami 3 fase kehidupan, jadi asy’ari adalah salafi ????

Jawab : Abu Hasan Al Asy’ari mencetuskan teori kasb, yang mana teori ini dikecam keras oleh iBNU TAiMIYYAH karena berbau jabariyah..

Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab beliau berkata: “Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!

Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau menetapkan:
1. Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan, dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit dunia.
2. Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
3. Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan malaikat berbaris).

Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau menetapkan adanya ijma” kesepakatan salaf dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;
1. Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
2. Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada diatas arsy.
3. Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225).

Abu Hasan Al Asy’ari menyatakan : “Allah bersemayam di atas singgasana Nya, Dia mempunyai sepasang tangan tetapi bukan sebagai pemilikan, Dia mempunyai mata tetapi bukan sebagai cara, dan Dia mempunyai wajah”( Kitab Maqalat Al Islamiyyin karya Abu Hasan Al Asy’ari ) ….

Memang, pemahaman metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali dan abu Hasan Al Asy’ari cenderung tekstual / literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syi’ah dan mayoritas Ahlusunah… Anehnya pengikut asy’ari mengkafir kan ajaran Asy’ari Sang Gembong Pendiri Mazhab !!!!!

Hambaliyyah dan Asy’ari berpendapat bahwa derajat keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian paling tinggi dari singgasana Nya….

Imam Ali bin Abu Thalib menolak pandangan kejasmaniahan Allah dan menempatkan Allah diatas kualitas kualitas yang dapat disifatkan pada makhluk Nya :

“”Mereka yang mengklaim dapat disamakan dengan Mu menzalimi Mu ketika menyamakan Mu dengan berhala berhala mereka, secara keliru melekatkan pada Mu suatu sifat yang mungkin cocok bagi ciptaan Mu, dan secara tersirat mengakui bahwa Engkau tersusun dari bagian bagian seperti hal hal material ( Kitab Nahj Al Balaghah halaman 144 ).

_______________________________________

Syi’ah menolak kejasmaniahan Allah…

Salafi mengambil arti lahiriah, sedangkan syi’ah mengambil arti majazi (kiasan)…

Syi’ah menolak hal hal material seperti kejasmaniahan, ruang, waktu, ketersusunan dan komposisi pada Allah SWT.

Allah ZAT Yang Tak Terbatas sehingga Allah tidak menempati ruang..Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala sisi ayat “Tuhan Yang Mahapengasih beristiwa’ di atas arsy ”[a] (QS. 20:5)

Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada itu, jika kita katakan bahwa Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal Dia adalah “Tida ada sast pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42:11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. 112:4).

Demikian pula ketika Allah berfirman, Tetapi kedua tangan-Nya terbentang. (QS. 5:64), atau, Dan buatlah kapal dengan mata Kami. (QS. 11:37), sama sekali tidak dapat dipahami dalam arti mata atau tangan fisik, karena setiap fisik mempunyai bagian-bagian dan memerlukan ruang, waktu, dan arah sehingga ia akan punah, sedangkan Allah mustahil demikian. Kalau begitu, maka makna yang paling tepat untuk kata “kedua tangan-Nya” pada ayat di atas ialah kekuasaan-Nya yang besar, di mana semua alam tunduk pada-Nya. Sedangkan makna “mata”, ialah pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu.

Sebagai contoh, kita yakin bahwa maksud kata al-’ama atau buta dalam ayat, Barangsiapa buta di dunia akan buta pula di akhirat, (QS. 17:72), sudah pasti bukan dalam arti buta fisik, sebagaimana makna harfiyah, karena banyak sekali orang buta, tapi baik dan salih.

Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat dilihat dapat membawa kepada kemusyrikan. Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sedang Dia menjangkau penglihatan, dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu. (QS. 6:103).

Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menengarai adanya kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan rnelihat-Nya secara kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling menafsirkan, al-Qurn yufassiru ba’dhuhu ba’dhan.[b]

Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: “Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?” Amirul Mukminin menjawab, “Bagaimana aku bisa menyembah Tuhan yang tidak kulihat?” Tapi buru-bur Amirul Mukminin menyempurnakan kalimatnya, “Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia hanya dapatdijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman”. (Nahjul Balaghah, Khutbah 179).

Syi’ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnembawa kepada kemusyrikan Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa dengan apa pun.

Manusia bebas dalam kehendaknya (free will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri. Akan tetapi, karena kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah, maka perbuatan-perbuatan kita atas izin Allah.

Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan. Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr (mutlah terpaksa) dan ridak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya. Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya (Ushul al-Kafi, I, hal.160).

Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah Swt dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
[a] Berdasarkan beberapa ayatal-Quran dapat dipahami bahwa “Kursi”-Nya meliputi alam materi. Firman Allah, “Kursi-Nya mencakup langit dan bumi”. (QS. 2:225).
[b] Ungkapan di atas sangat populer dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sementar itu, dalam kitab Nahjul Balaghah diriwayatkan pula dari Amirul Mukminin as dengan redaksi yang berbeda, yaitu “Sesungguhnya al-Quran, satu sama lainnya saling membenarkan”.

Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Karena ini bertentangan dengan firman Allah swt. sebagai berikut: Dalam surat Syuura (42) : 11; ‘ Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.

Setiap dalil yang menyiratkan seolah olah Zat Allah memiliki organ jasmaniah atau menempati ruang maka wajib hukumnya di majazi / di kiasan kan / di metafora kan, jadi tidak boleh dizahirkan

Bahkan, ketika dikatakan Isa adalah roh Allah, orang-orang Nasrani menetapkannya dengan makna zahir sehingga mendakwa Isa salah satu daripada sifat-sifat Allah.

___________________________________

Saudaraku…

SAYYiD MUHAMMAD RASYiD RiDHA ( 1865-1935 ), adalah seorang pembaharu dari Aswaja Sunni.. Beliau merupakan murid Muhammad Abduh yang sangat populer

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Asy Syahid Husain, putera Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (a) ..

Berikut saya ringkas beberapa pendapat RASYiD RiDHA dalam Tafsir Al Manar

Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 115 ??

Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Kiblat yang diridhai Allah” (b)

Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan pendapat Mujahid ( w.104 H ) dan Imam Syafi’i ( w.204 H ) (c)

Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 272

Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (d)

Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al An’am (6) ayat 52

Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (e)

Apakah a’yunina pada Qs. Hud ( 11 ) ayat 37 artinya mata Allah atau pengawasan Allah ??

Jawab: Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha; penggunaan kata jamak a’yunina adalah mubalaghah (mempertegas) adanya perhatian Allah dalam mengawasi dan menjaga (f)

Kalau anda tanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan Mujahid ( w.104 H ) yang mengatakan bahwa orang orang Arab biasa menggunakan lafal ‘ayn dalam bentuk mufrad (tunggal) untuk menyebut perhatian dan menggunakan lafal a’yun dalam bentuk jamak untuk menyebut perhatian yang tinggi (g)

Apakah “kedua tangan Allah terbuka” pada Qs. Al Maidah (5) ayat 64 artinya Allah memiliki dua tangan zahir ataukah Allah Pemurah ?? Mana yang benar ???

Jawab : Yang benar artinya adalah Allah Pemurah.. Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Ibn Abbas (w.68 H) menyatakan bahwa lafal “ghull al yad” ( tangan terbelenggu ) sudah lumrah di pakai dalam bahasa Arab untuk arti kikir , dan lafal “basth al yad” ( tangan terbuka ) dipakai untuk arti pemurah dan dermawan (h)

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mengutip Qs. Al Isra’ (17) ayat 29 yang berbunyi; “Dan jangan lah kamu jadikan tangan mu terbelenggu pada lehermu dan janganlah pula kamu terlalu membukanya” .. (h) Apakah tangan manusia disini bermakna zahir ????

Jadi kenapa ada bentuk tunggal dan ganda pada YAD ALLAH dalam Qs.5:64 ?

Jawab: Menurut Al Baydhawi (w.691 H); bentuk ganda ( tatsniyah pada “bal yadahu mabsuthatan” ) bukan bentuk tunggal (mufrad seperti pada “yadullah maghlulah”) ADALAH untuk mempertegas kemurahan Nya dan mempertegas penolakan Nya terhadap fitnah keji orang orang Yahudi.. INGAT :Al Quran turun pada masa sastra Arab sedang berada dipuncaknya !!!

Referensi:

a. Buku “Rasionalitas Al Quran” karya M. Quraisy Shihab hal. 71. Penerbit Lentera Hati, 2006
b. Ibnu Al Qayyim Al Jawziyah, Mukhtashar Al Shawa’iq Al Mursalah ‘An Al Jahmiyyah wa Al Mu’aththilah, cetakan ke 1 ( Beirut: Dar A- Kutub Al ‘ilmiyyah ) hal. 339
c. TAFSiR AL M A N A R, disusun Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, jilid 1, hal. 435
d. Ibid, Jilid 3 hal. 83
e. Ibid, Jilid 7 hal. 436
f . Ibid, Jilid 12 hal. 73
g. Ibid, Jilid 6 hal. 454
h. Buku “Rasyid Ridha, Konsep Teologi”, karya Dr. A.Athaillah dari IAIN ANTASARI, penerbit ERLANGGA.
______________________________________

Saudara pembaca …

Apa maksud wajah Allah ??


Jawab :

Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 272 disebutkan, “Dan janganlah Kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah (wajhillâh).” Berangkat dari ayat ini, sebuah soal mengemuka; apakah maksud dari ungkapan wajhullâh tersebut?

Wajh secara leksikal bermakna wajah, dan terkadang bermakna dzat (substansi). Oleh karena itu, wajhullah bermakna Dzat Allah. Niat para pemberi infak harus ditujukan kepada dzat kudus Allah Swt. Oleh karena itu, kata wajh pada ayat ini dan yang semisalnya bermuatan satu jenis penegasan. Karena, ketika wajh disebutkan (untuk dzat Ilahi), merupakan penegasan terhadap untuk Allah swt. semata, bukan untuk yang lain.

Selain itu, galibnya, wajah manusia -secara lahiriah- adalah bagian termulia di dalam struktur tubuhnya. Lantaran organ-organ yang penting pada tubuh manusia terletak di wajahnya, seperti penglihatan, pendengaran, dan mulut. Atas dasar ini, ketika ungkapan wajhullah digunakan pada ayat ini, itu memberikan arti kemuliaan dan nilai penting. Di sini, wajh secara figuratif (majâzî) digunakan dalam kaitannya dengan Allah Swt, yang sejatinya merupakan satu bentuk penghormatan dan signifikansi dari ayat ini.

artinya : “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya”.

Maknalafadz illa wajhahu (kecuali wajah-Nya), al Imam al Bukhari berkata: “kecuali sulthan (tasharruf atau kekuasaan-) Allah”.

Mengaharapkan “wajah Allah” bermakna “mengharapkan pahala/ridho Allah

wa maa tunfiquuna illabtighaa-a wajhillah

“Dan Janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena Keridhaan Allah ” (Al-Baqarah 272).

Dalam tafsir jalalain disebutkan : (illabtighaa-a wajhillah) mengharapkan ganjaran dari Allah saja bukan selainnya dari kekayaan dunia.


Tafsir Ayat Mutasyabihat WAJAH

Kemanapun engkau menghadap maka akan kamu dapati WAJAH ALLAH ( KIBLAT ALLAH ) (QS albaqarah 115) menurut Mujahid.
_____________________________________

Saudaraku….

Tafsir Ayat Mutasyabihat TANGAN.

Allah SWT telah berfirman dalam Adzariyat : 47;
Artinya : ” Dan langit, kami membinanya dengan Tangan(Kekuasaan) Kami….” (Qs adzariyat ayat 47)

Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud lafadz biaidin) adalah “dengan kekuasaan“, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.

Lihat rujukan dalam kitab Tafsir mu’tabar sunni :
Dalam Tafsir Qurtuby;
Dalam Tafsir Thabary;
Dalam Tafsir Jalalain ; Biquwati

Lafadz BI AIDIN artinya DENGAN KEKUTAN-NYA

kemudian dalam surat Al-Fath : 10;

firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.

Dalam Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi saw bersabda, “Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan”… Menurut para ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi. Pada hadits lainnya dijelaskan oleh Rasulullah bahwa dari arah Najd akan timbul dua tanduk iblis. Sekarang kita bertanya-tanya siapakah gerangan? Yakni Musailamah Al Kadzab dan Muhamad Bin Abdul Wahhab. Keduanya datang dari arah itu.

ternyata akidah wahabi dibidang asma’ wa shifat sama dengan akidah Abu Hasan Al Asy’ari…

Akidah Abu Hasan Al Asy’ari Dalam Kitab Maqalat Al Islamiyyin Sam Dengan Akidah Wahabi Salafi… Kenapa Kaum Sunni Cuma Berani Mengkafirkan Akidah Wahabi Tetapi Mengagung Agungkan Abu Hasan Al Asy’ari…. Mazhab Anda Kacau Balau !


Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.


PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH

Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah , beliau berkata;

Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya, meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu–ragu. Semoga Allah merohmatinya’.

Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya.

الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى

(Thoha ayat 5)

Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya:

بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ

(QS. Al Maidah: 64).

Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14).

Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana firman Allah :

الرَّحْمَانُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Artinya :
“Allah itu bersemayam di atas ‘arsy” (QS. Thaha : 5).

Dan bahwasanya Allah itu memiliki wajah sebagaimana telah berfirman;

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبُّكَ ذُوْ الجَلاَل وَالإِكْرَامِ

Artinya :
“Kekallah wajah Allah yang memiliki keagungan” (QS. Ar-Rahman : 27).

Bahwasanya Allah memiliki dua tangan (tanpa membahas bagaimana tangan itu), sebagaimana firman Allah :

…لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ…

“Ketika Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75).

…بَلْ يَدَاهُ مَبْسوطَتَنِ…

Artinya :
“Bahkan kedua tangan Allah iu terbuka” (QS. Al-Maidah : 64).

Dan bahwasanya Allah memiliki dua mata tanpa membahas bagaimana mata itu, sebagaimana firman-Nya:

…تَجْرَيْ بِأَعْيُنِنَا…

Artinya : “Berjalan dengan mata kami ” (QS Al-Qomar :14).

Kita mengatakan bahwa imam yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam itu adalah Abu Bakar as-Shiddiiq radliallahu ‘anhu. Dan bahwasanya melalui dia, Allah telah menjayakan dan mendhahirkan Islam terhadap orang-orang murtad dan kaum muslimin menjadikannya dia sebagai imamah pertama sebagaimana Rasulullah memperlakukannya demikian, dan mereka semua menamakannya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kemudian Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu, kemudian Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu kemudian Ali bin Abi Thalib.

Maka mereka itulah imam setelah Rasulullah saw dan kekhilafahan mereka adalah khilafah kenabian (khilafah nubuwwah).

Kita menyaksikan kepastian masuk surga bagi sepuluh sahabat yang dijamin demikian oleh Rasulullah dan kita mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhenti dari membicarakan atas apa-apa yang menjadi perselisihan diantara mereka.

Kita meyakini bahwasanya para imam yang empat itu adalah khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk dan keutamaan, yang selain mereka tidak ada yang menandingi mereka.

Kita membenarkan seluruh riwayat dari para rawi yang tsiqah, yang mana menegaskan turunnya Allah ke langit dunia dan bahwasanya Dia mengatakan apakah ada orang yang meminta ampun, dan membenarkan apa-apa yang mereka riwayatkan dan kukuhkan berbeda halnya dengan apa apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat.

Kita kembali dalam apa yang kita perselisihkan terhadap Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma’ kaum muslimin dan apa-apa yang semakna dengan itu, kita tidak berbuat bid’ah yang dilarang dalam Islam ini dan tidak mengatakan apa-apa tentang Allah yang tidak kita ketahui.

Kita mengatakan bahwasanya Allah itu akan datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya :

Artinya :
“Dan Allah itu akan datang pada hari kiamat secara bershaf-shaf” (QS. Al-Mutaffifin : 22).

Dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendekat terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :

Artinya :
“Kami lebih dekat daripadanya dari urat kerongkongan” (QS. Qaaf :16)

Artinya :
“Kemudian mendekat dan kemudian lebih mendekat lagi, maka jadilah antara Allah dan Rasulullah antara dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi” (QS. An-Najm :8-9).

Dan diantara ajaran dien kita adalah kita menegakkan shalat jum’at, shalat ied dan seluruh shalat jama’ah dibelakang setiap orang baik maupun tidak baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu shalat di belakang Al-Hajjaj.

Bahwasanya mengusap kedua sepatu adalah sunnah baik dalam keadaan mukim atau musafir, lain halnya dengan orang yang mengingkari hal itu.

Kita mendo’akan kebaikan para imam dan mengakui keimamahannya dan menghukum sesat bagi yang membolehkan berontak terhadap mereka apabila tampak dari mereka ketidak istiqomahannya.

Kita meyakini kemungkaran adanya pemberontakan dengan menggunakan pedang dan meninggalkan perang dalam keadaan fitnah dan membenarkan keluarnya Dajjal sebagimana riwayat-riwayat dari Rasulullah tentang hal itu.
____________________________________

ABU HASAN AL ASY’ARi YANG MENJADi KONTROVERSi SALAFi WAHABi vs NAHDLATUL ULAMA

Pengikut Asy’ari seperti Nahdlatul Ulama tidak menyadari bahwa akidah Asy’ari yang asli mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.

Di lain pihak, Salafi Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata “masih ahlul kalam”….

Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam dibidang akidah…

Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin.

Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH.Sirojuddin Abbas, hal. 16–17).

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan : Imam Ahmad bin Hambal ( Ahlul hadis ) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti : dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir.. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali.. Juga disebutkan wajib taat pada pemimpin…Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik.

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan : Imam Ahmad bin Hambal ( Ahlul hadis ) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti : dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir..… ARTiNYA walaupun mereka menganggap hal tersebut SEBAGAi BERBEDA DENGAN MAKHLUK, tetapi I’tiqad ahlul hadis hasywiyyah dan Abu Hasan Al Asy’ari adalah antropomorfis !!!!!!

Dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin, tokoh sunni Abu HAsan Al Asy’ari menulis : “ Keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian tertinggi dari ‘arsy nya”… Abu Hasan menyatakan : “Allah mempunyai dua tangan, dua mata, dua kaki, semua akan binasa kecuali WAJAH nya ( Kitab Maqalat Al islamiyyin hal. 295 )

Pertanyaan :

1. Apakah keagungan ZAT Allah cuma sebatas bagian tertinggi dari arsy nya ???
2. Apakah tangan dan mata Allah akan binasa ????

Bagi syi’ah : ini pelecehan ………

Pada masa Rasululullah SAW : Kaum mujassimah dari kalangan Yahudi ( ahlul kitab ) memiliki i’tiqad MEMBADANKAN ALLAH, sehingga mereka terjerat kedalam ekstrimitas…Namun hal tersebut menyusup kedalam ajaran Islam.

Abu Hurairah yang merupakan MANTAN YAHUDi ( kemudian ia masuk Islam ) memiliki beberapa orang sahabat karib dari kalangan mantan ahlul kitab yang masuk Islam seperti Ka’ab al Ahbar dan Wahab Munabbih memasukkan akidah israilliyat kedalam hadis sunni…

Penganut mazhab hambali ( salafiah ) menolak keras asy’ariyyah maturidiyyah karena dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….

Pada akhirnya….

Aliran ASY’ARiYYAH MAMPU MENGALAHKAN DUA ALiRAN :
1. Aliran rasionalis mu’tazilah.
2. Aliran ahlul hadis hasywiyyah ( anti ilmu kalam ).

kedua aliran ini terkapar…. karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy… Jadi asy’ari dan maturidy merupakan perintis awal aliran kalam aswaja sunni.

__________________________________

Pertanyaan : Dimanakah posisi Abu Hasan Al Asy’ari ???

Jawab : Asy’ari adalah tokoh aliran kalam yang mencoba memadukan aliran mu’tazilah dengan aliran ahlul hadis hasywiyyah.
_________________________________

Pertanyaan : Wahabi mengklaim Abu HAsan Al Asy’ari mengalami 3 fase kehidupan, jadi asy’ari adalah salafi ????

Jawab : Abu Hasan Al Asy’ari mencetuskan teori kasb, yang mana teori ini dikecam keras oleh iBNU TAiMIYYAH karena berbau jabariyah..

Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab beliau berkata: “Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!

Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau menetapkan:
1. Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan, dua mata dan wajah secara hakiki, namun tidak boleh ditanyakan bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit dunia.
2. Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
3. Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan malaikat berbaris).

Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliaum menetapkan adanya ijma” kesepakatan salaf dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;
1. Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
2. Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada di

atas arsy.

3. Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225).
____________________________________

ABU HASAN AL ASY’ARi YANG MENJADi KONTROVERSi SALAFi WAHABi vs NAHDLATUL ULAMA.

Pengikut Asy’ari seperti Nahdlatul Ulama tidak menyadari bahwa akidah Asy’ari yang asli mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.

Di lain pihak, Salafi Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata “masih ahlul kalam”….

Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam dibidang akidah…

Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin.

Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH.Sirojuddin Abbas, hal. 16–17).

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan : Imam Ahmad bin Hambal ( Ahlul hadis ) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti : dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir.. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali.. Juga disebutkan wajib taat pada pemimpin…Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik.

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan : Imam Ahmad bin Hambal ( Ahlul hadis ) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti : dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir..… ARTiNYA walaupun mereka menganggap hal tersebut SEBAGAi BERBEDA DENGAN MAKHLUK, tetapi I’tiqad ahlul hadis hasywiyyah dan Abu Hasan Al Asy’ari adalah antropomorfis !!!!!!

Dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin, tokoh sunni Abu HAsan Al Asy’ari menulis : “ Keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian tertinggi dari ‘arsy nya”… Abu Hasan menyatakan : “Allah mempunyai dua tangan, dua mata, dua kaki, semua akan binasa kecuali WAJAH nya ( Kitab Maqalat Al islamiyyin hal. 295 ).

Pertanyaan :

1. Apakah keagungan ZAT Allah cuma sebatas bagian tertinggi dari arsy nya ???
2. Apakah tangan dan mata Allah akan binasa ????

Bagi syi’ah : ini pelecehan ………

Pada masa Rasululullah SAW : Kaum mujassimah dari kalangan Yahudi ( ahlul kitab ) memiliki i’tiqad MEMBADANKAN ALLAH, sehingga mereka terjerat kedalam ekstrimitas…Namun hal tersebut menyusup kedalam ajaran Islam.

Abu Hurairah yang merupakan MANTAN YAHUDi ( kemudian ia masuk Islam ) memiliki beberapa orang sahabat karib dari kalangan mantan ahlul kitab yang masuk Islam seperti Ka’ab al Ahbar dan Wahab Munabbih memasukkan akidah israilliyat kedalam hadis sunni…

Penganut mazhab hambali ( salafiah ) menolak keras asy’ariyyah maturidiyyah karena dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….

Pada akhirnya….
Aliran ASY’ARiYYAH MAMPU MENGALAHKAN DUA ALiRAN :
1. Aliran rasionalis mu’tazilah
2. Aliran ahlul hadis hasywiyyah ( anti ilmu kalam )

kedua aliran ini terkapar…. karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy… Jadi asy’ari dan maturidy merupakan perintis awal aliran kalam aswaja sunni.

______________________________________

Pertanyaan : Dimanakah posisi Abu Hasan Al Asy’ari ???

Jawab : Asy’ari adalah tokoh aliran kalam yang mencoba memadukan aliran mu’tazilah dengan aliran ahlul hadis hasywiyyah.
______________________________________

Pertanyaan : Wahabi mengklaim Abu HAsan Al Asy’ari mengalami 3 fase kehidupan, jadi asy’ari adalah salafi ????

Jawab : Abu Hasan Al Asy’ari mencetuskan teori kasb, yang mana teori ini dikecam keras oleh iBNU TAiMIYYAH karena berbau jabariyah.. Itulah bukti Asy’ari adalah tokoh kalam dan asy’ari bukan salafi murni !!!!!!!!!!!!!!


Allah SWT Dalam Akidah Ahlusunnah

Di antara keyakinan tentang Allah SWT dan sifat-sifat-Nya yang meniscayakan tajsîm dan tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah SWT itu butuh kepada ruang dan wadah untuk bertempat. Dan tempat itu adalah Arsy. Dan Arsy yang di atasnya Allah bersemayam itu dipikul oleh delapan malaikat dalam bentuk kambing hutan yang mengapung di atas laut di atas langit ke tujuh. Dalam laut itu seperti tebal antara langit yang satu dengan langit lainnya! Demikianlah keyakinan Mazhab Sunni dalam menggambarkan Tuhan yang dibangun di atas hadis-hadis yang diriwayatkan para muhaddis dan dibakukan sebagai dasar akidah oleh para ulama Sunni. Hadis tentangnya dikenal dengan nama hadis Au’âl (kambing jantan).

Untuk menyingkat pembahasan ini, saya akan sebutkan langsung nash hadis andalan Mazhab Sunni dalam menegakkan akidah yang satu ini.


Nash Hadis Au’âl!

Para muhaddis Sunni, di antaranya Al Hâkim dalam kitab al Mustadrak-nya[1] dengan sanad: Dari Abdullah ibn Umarah dari Abbas ibn Abdil Muththalib, ia berkata;

كنا جلوساً مع رسول الله (ص) بالبطحاء ، فمرت سحابة ، فقال رسول الله (ص) : أتدرون ما هذا ؟ فقلنا : الله ورسوله أعلم . فقال السحاب . فقلنا: السحاب ؟ فقال : والمزن فقلنا : وما المزن ؟ فقال : والعنان ، ثم سكت ، ثم قال : أتدرون كم بين السماء والأرض ؟
فقلنا : الله ورسوله أعلم .
فقال : بينهما مسيرة خمسمائة سنة ، وبين كل سماء إلى السماء التي تليها مسيرة خمسمائة سنة ، وكثف كل سماء مسيرة خمسمائة سنة ، وفوق السماء السابعة بحر بين أعلاه وأسفله كما بين السماء والأرض ، ثم فوق ذلك ثمانية أوعال بين ركبهم وأظلافهم كما بين السماء والأرض ، والله فوق ذلك ليس يخفى عليه من أعمال بني آدم شيء .

“Ketika kami sedangn duduk di sisi Rasulullah saw. di sebuah lembah, lalu lewatlah awan, maka beliau saw. bersabda: ‘Tahukah kalian apa namanya ini?’ kamipun menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lah yang lebih tau.’ Lalu beliau bersabda, ‘Ia adalah sahâb/awan.’ Maka kamipun mengatakan: ‘awan.’ Dan al muzn, lanjut beliau. Maka kami pun mengatakan, al muzn. Al ‘anân, tambah beliau lagi, dan kami pun mengatakannya. Kemudian beliau berhenti sejenak lalu bersabda: ‘Tahukah kalian berapa jarak antara langit dan bumi?

Kamipun menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih mengetahui.’

Lanjut beliau: ‘Jarak antara langit dan bumi adalah lima ratus tahun (perjalanan). Dan jarak antara satu langit dengan langit setelahnya adalah lima ratus tahun (perjalanan). Dan tebal antara satu langit dengan langit berikutnya adalah lima ratus tahun (perjalanan).

Dan di atas langit ke tujuh terdapat lautan yang jarak antara atas dan bawahnya seperti jarak antara langit dan bumi. Kemudian di atas itu terdapat delapan kambing hutan yang antara lutut dan kuku-kuku mereka sepertti jarak antara langit dan bumi. Dan Allah berada di atas itu. Tiada terseumbunyi sedikitpun dari amal anak Adam.”

(Al Hâkim berkata; “Hadis ini shahhih sanadnya akan tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Adz Dzahabi juga menyetujui penshahihan itu.)

Seperti telah disinggung bahwa hadis di atas telah diriwayatkan banyak ulama selain al Hâkim, di antaranya adalah:

1) Ahmad dalam Musnad-nya. Hanya saja dalam riwayat Ahmad terdapat tambahan di akhirnyta:

: ثم فوق ذلك ثمانية أوعال بين ركبهن وأظلافهن كما بين السماء والأرض ، ثم فوق ذلك العرش بين أسفله وأعلاه كما بين السماء والأرض ، والله تبارك وتعالى فوق ذلك وليس يخفى عليه من أعمال بنى آدم شيء

“Kemudian di atasnya terdapat delapan ekor kambing hutan yang jarak antara lutut dan kuku-kuku mereka seperti jarak antara kangit dan bumi. Kemudian di atasnya terdapat Arsy yang jarak antara atas dan bawahnya seperti jarak antara kangit dan bumi. Dan Allah Yang Maha Berkah dan maha Tinggi berada di atasnya. Dan tiada samar atas-Nya amal-amal bani Adam.”[2]
2. At Turmudzi dan ia mengatakan: “hadis itu Hasan Gharîb.
3. Abu Daud.
4. Ibnu Mâjah.
5. Abu Ya’lâ al Mûshili.
6. Al Bzzâr.
7. Ibnu Ab Syaibah dalam kitab al ‘Arsy.
8. Al Fâkihi dalam kitab Akhâr Mekkah.
9. Ibnu Abi Hâtim.
10. Al Lâlakai ath Thabari dalam ‘Ushûl I’tiqâd Ahlisunnah wal Jamâ’ah.
11. Al âjuri dalam kitab Syarî’ah.
12. Utsman ibn Sa’ad ad Dârimi dalam an Naqdhi, dan dalam ar radd ‘Ala al jahmiah.
13. Ibnu Khuzaimah dalam kitab at Tauhid.
14. Ibnu Mandah dalam kitab at Tauhid.
15. Al baihaqi dalam al Asmâ’ wa ash Shifât.
16. Abu Bakr asy Syafi’i dalam kitab al Fawâid.
17. Ar Ruyâni dalam Musnad-nya.
18. Ibnu ABdil Barr dalam att Tamhid-nya.
19. Abu Syaikh al Isfahâni dalam kitab al ‘Adhamah.
20. Al Maqdisi dalam kitab al Mutkhtarah-nya.
21. Adz Dzahabi dalam kktab al ‘Uluw-nya.
22. Dan selain mereka masih banyak lainnya.[3]


Pernyataan Para Ulama Ahlusunnah wal Jamâah

Para ulama Ahlusunnah-khusunya yang bermazhab Hanbali, yang sekarang menamakan diri dengan Salafiyah telah menshahihkan hadis di atas dan menjadikannya dasar dalam meyakini bahwa Allah (Maha Suci Allah dari pensifatan kaum Jahil) itu bertempat dan bersemayam di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan malaikat yang menyerupai rupa kambing. Di antara mereka:
1. Al Hâkim
2. Adz Dzahabi seperti telah Anda baca bersama pernyataan mereka berdua.
3. Ibnu Tamiyah (yang selalu mereka sebut dengan gelar Syeikhul Islam sebagai penghormatan.


Keterangan Ibnu Tamiyah

Dalam perdebatannya dengan lawan akidah al Wâsithiah-nya, Ibnu Tamiyah yang dipojokkan kerena meyakini apa yang disebutkan dalam hadis membela diri dengan mengatakan;

… وطلب بعضهم إعادة قراءة الأحاديث المذكورة في العقيدة ليطعن في بعضها ، فعرفت مقصوده . فقلت: كأنك قد استعددت للطعن في حديث الأوعـال: حديث العباس بن عبـد المطلب .

“Sebagian mereka meminta untuk meneliti kembali hadis-hadis tersebut dalam Aqidah karena sebagiannya ada yang cacat. Aku mengerti maksudnya, maka aku berkata, ‘Sepertinya kamu telah menyiapkan kecaman atas hadis Au’âl yaitu hadis riwayat Abbas ibn Abdul Muththalib.

Lalu ia mengatakan;

وكانوا قد اعنتوا حتى ظفروا بما تكلم به زكي الدين عبد العظيم من قول البخاري في تأريخه : عبد الله بن عميرة لا يعرف له سماع من الأحنف . فقلت : هذا الحديث مع أنه رواه أهل السنن كأبي داود ، وابن ماجة ، والترمذي ، وغيرهم ، فهو مروي من طريقين مشهورين فالقدح في أحدهما لا يقدح في الآخر .
فقال : أليس مداره على ابن عميرة ، وقد قال البخاري : لا يُعرف له سماع من الأحنف ؟
فقلت : قد رواه إمام الأئمة ابن خزيمة في كتاب التوحيد الذي اشترط فيه أنه لا يحتج فيه إلا بما نقله العدل عن العدل موصولاً إلى النبي صلى الله عليه (وآله) وسلم . قلت : والإثبات مقدم على النفي ، والبخاري إنما نفى معرفة سماعه من الأحنف ، لم ينف معرفة الناس بهذا ، فإذا عرف غيره كإمام الأئمة ابن خزيمة ما ثبت به الإسناد كان معرفته وإثباته مقدماً على نفي غيره وعدم معرفته .

“Mereka telah bersungguh-sungguh dalam memerhatikan hadis ini sehingga mereka menemukan keterangan dari Zakiyyuddîn Abdul ‘Adzim yang menukil pernyataan Bukhari dalam kitab Târîkh-nya: ‘Abdullah ibn ‘Umairah itu tidak dikenal pernah mendengar hadis dari Ahnaf.’ Maka aku berkata: ‘Hadis ini telah diriwayatkan oleh penulis kitab Sunan seperti Abu Daud, Ibnu Mâjah, at Turmudzi dan lainnya. Dia telah diriwayatkan dari dua jalur yang terkenal. Mengecam salah satunya tidak akan mencacat hadis jalur lainnya.

Ia berkata: ‘Bukankah hadis itu berporos pada Ibnu ‘Umairah, sementara Bukhari telah berkata: ‘Abdullah ibn ‘Umairah itu tidak dikenal pernah mendengar hadis dari Ahnaf?’

Maka aku berkata: “Hadis itu telah diriwayatkan oleh imam para imam; Ibnu Khuzaimah dalam kitab at Tauhid-nya yang di dalamnya ia mensyaratkan untuk tidak berhujjah melainkan dengan hadis yang dinukil oleh parawi adil hingga bersambung kepada Nabi saw. Aku (Ibnu Taimyah) berkata: ’Dan yang menetapkan lebih diutamakan dari yang menafikan. Bukhari hanya menafikan pengetahuannya bahwa Ibnu ‘Umairah itu pernah mendengar riwayat dai Ahnaf. Tetapi ia tidak menafikan pengetahuan orang lain. Maka jika ada seorang imam lain seperti Ibnu Khuzaimah; imam para imam mengetahuinya yang dengannya telah tetap sanad maka ia lebih diutamakan atas penafian selainnya dan ketidak tauannya. [4]

4) Ibnu Qayyim al Jauziyah (murid setia Ibnu Tamiyah)

Ibnu Qayyim juga menshahihkan hadis ini dalam Hasyiah (cacatan pinggir atas kitab) Sunan Abu Daud. Dan setelah menyebutkan beberap kritik di antaranya pertentangannya dengan hadis Abu Hurairah, ia berkata;

فكل منهما يصدق الآخر ويشهد بصحته ، ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافاً كثيراً .

“Maka kedua hadis itu saling membenarkan dan mendukung keshahihannya. Andai bukan dari Allah pastilah kamu menemukan pertentangan yang banyak. [5]

Inilah dongeng Au’âl yang menjadi akidah andalan para ulama Ahlusunnah. Dan itulah keterangan para ulama tentangnya dan selain mereka masih banyak lainnya.


Ibnu Jakfari berkata:

Jika Anda meneliti akidah kaum pagan dan rajin membaca dongeng-dongeng bangsa Yunani kuno pasti Anda akan segera mengetahui sumber dongeng yang berubah menjadi akidah andalan Mazhab Sunni. Dalam dongeng bangsa Yunani kuno digambarkan bahwa tuahn mereka mengendareai singgasana dan kendaraan yang memuatnya. Jelas gambaran Tuhan seperti dalam hadis Au’âl adalah akidah yang sangat bertentangan dengan Kemaha Sucian Allah!

Saya yakin Anda setuju jika ada yang mengatakan bahwa Allah harus disucikan dari pensifatan kaum jahil. Dan meyakini bahwa Allah –Dzat Yang Maha Agung dan Maha Suci dari butuh kepada makhluk-Nya!

Tetapi jika kebutuhan Allah kepada bertempat…. Bersemayam di atas Arsy yang dipikul oleh Au’âl (kambing hutan jantan) yang mengapung di atas lautan yang berada di atas langit ke tujuh itu tidak dianggap bertentangan dengan kemaha sucian Allah SWT.. maka apa yang harus kami katakkan?

Para ulama Ahlusunnah (khususnya mereka yang kental dengan kayakinan tajsîm dan tasybîh) hanya sibuk menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Au’âl itu adalah para malaikat yang memikul Arsy yang di atasnya Allah SWT bersemayam, bukan kambing hutan jantan yang beneran. Mungkin dalam anggapan mereka dengan demikian masalahnya menjadi beres… kemaha sucian Allah terselamatkan!

Apa bedanya, Allah yang sedang bersemayam di atas Arsy yang mana Arsy-Nya dipikul makhluk-Nya, baik dia itu kambing hutan jantan atau malaikat? Apakah akan merubah masalah? Tolong fatwakan kepada kami, semoga Allah merahmati dan memberi upah surga abadi untuk kalian wahai Sunniyyûn?

Mungkin akal kami sangat terbatas dan tidak sejenius kalian, sehingga mampu meyakini Kemaha Sucian Allah itu terletak pada bersemayamnya Allah di atas Arsy yang ditegakkan di atas punggung Au’âl dan bukan pada ketidak butuhan Allah SWT kepada tempat, apapun dia, Arsy atau lainya? Sebab seperti disabdakan dan diajarkan para imam Ahlulbait as. yang kami beriman akan keimamahan dan kemaksuman mereka menegaskan bahwa Maha Suci Allah dari bertempat, sebab Dia adalah Dzat yang Azali dan telah wujud sebelum wujudnya tempat. Dialah yang menciptakan tempat, lalu bagaimana Dia butuh kepada bertempat.

Namun sayang, sabda-sabda suci para imam suci tidak kalian hiraukan dan tidak diindahkan. Kalian lebih bangga mengandalkan hadis-hadis palsu buatan kaum pembatil. Innâ Lillâhi wa Innâ ilaihi Râji’ûn.


Catatan Kaki:

[1] Mustadrak,1/378.
[2] Musnad Ahmad,1/206.
[3] Sunan at Turmudzi,5/395 hadis:3320, Sunan Abu Daud,4/231, ‘Aun al Ma’bûd (syarah Sunan Abu Daud,7/4-6, Sunan Ibnu Mâjah,1/69 hadis:193, Musnad al Bazzâr,4/135 hadis:1310, al Asmâ’ wa ash Shifât:526, Musnad Abu Ya’lâ,12/76 hdis:6713, Akhbâr Mekkah,3/76, 77 hadis:1827, kitab Al Arsy:319-322, ar Radd ‘ala al Jahmiah:50 hadis 72, at Tamhîd,7/140, al Ahâhîts al Mikhtârah,8/378 dan 375 hadis: 462 dan376 hadis:464, Syarah ‘Ushûli Aqidah Ahlisunnah,3/389-390 nomer:650, 390-391 nomer:651, at Tauhîd; Ibnu Khuzaimah:101-102, kitab as Sunnah; Ibnu Abi ‘Âshim,1/253 hadis:577, 254 hadis:578 , kitab al ‘Adhamah:82 nomer 206, 2/566 nomer 15, asy Syari’ah:292, al ‘Uluw:59, Itsbât Shifati al ‘Uluw; Ibnu Qudamah al Maqdisi:59, dan Firdaus al Akhbâr,5/130.
[4] Majmû’ Fatâwa Ibn Tamiyah,3/191-193.
[5] Hasyiyah atas Sunan Abu Daud,7/8 Dan pernyataan Ibnu Qayyim di atas dapat juga Anda baca dalam Tuhfatu Ahwadzi (syarah Sunan at Turmudzi; Al Mubarakfuri)9/166.
____________________________________

Bandingkan Akidah Kalian Dengan Akidah Kami!!

Tidak ada yang dapat dipercaya dalam mengawal agama Islam selain pribadi-pribadi suci yang telah direkomendasikan Allah dan rasul-Nya untuk menjadi pengawal dan menjaga agama-Nya dari kerusakan dan penyimpangan yang dilakoni oleh kaum-kaum, yang entah dengan sengaja atau karena keteledoran atau karena kelemahan dan kejahilan.

Dalam salah satu hadis shahihnya, Nabi tercinta saw. telah memperkenalkan kepada kita pribadi-pribadi suci yang lahir dari pohon kenabian. Beliau saw. bersabda;

فِيْ كُلِّ خَلَفٍ مِن أُمَّتِي عُدولٌ مِن أهْلِ بَيْتِي، يَنْفَونَ عَن هذا الدِّيْنِ تَحْرِيْفَ الضَّالِّيْن، وانْتِحالَ الْمُبْطِلِيْنَ، وَتأوِيْلَ الجاهِلِين. الاَ و إنَّ أَئِمَّتَكُم وَفْدُكُم إلىَ اللهِ، فَانْظُرُوا مَنْ تُوْفِدُوْنَ.

“Pada setiap generasi dari umatku ada orang-orang adil dari Ahlulbaitku, mereka menghilangkan dari agama ini penyimpangan kaum sesat, penambahan kaum pembatil dan penakwilan menyimpang kaum jahil. Ketahuilah bahwa para imam kalian adalah delegasi yang membimbing kalian menuju Allah, maka perhatikan siapa yang kalian jadikan delegasi.” [1]

Perhatikan! Bagaimana Nabi saw. telah mensinyalir terjadinya kerusakan dan penyimpangan, khususnya dalam akidah dengan memperalat ayat-ayat mutasyâbihât dan memalsu atau tertipu oleh hadis palsu yang akan dialami oleh agama Islam -yang dengan susah payah dan pengorbanan beliau perjuangkan-. Dan yang melakoninya adalah trio penyesat umat;
Kaum Sesat, dengan penyimpangan tafsir agama yang disengaja untuk menyesatkan para pejalan di padang pasir luas tak bertepi menuju hidayah Allah SWT…

Kaum Pembatil yang mengaku-ngaku menyandang maqam tertentu dan memikiki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT yang kemudian dengannya mereka menjaring kaum yang sedang kebingungan mencari-cari figur panutannya yang akan menuntunnya menuju tepian petunjuk Ilahi dan kebahagian serta kedamaian abadi…
Kaum Jahil yang memaksa diri menyelami lautan ajaran Islam lalu menebak-nebak takwil dan maksud ajaran langit…

Sebagai bukti kecil, kami akan sebutkan dua model sajian akidah yang ditawarkan Ahlulbait suci Nabi saw. dan yang ditawarkan oleh selain Ahlulbait suci as.
Akidah Tauhid Tawaran Sunni.

Para ulama Sunni telah meriwayatkan hadis atas nama Nabi saw. dari Umar dan selainnya, bahwa Allah SWT duduk di atas Arsy-Nya. Dan Arsy itu mengeluarkan suara tanda adanya beban berat yang ia pikul. Maha Suci Allah dari bualan kaum Pembid’ah!

Al Haitsami meriwayatkan dalam kitab Majma’ az Zawâid,1/83 dari Umar;

أن امرأة أتت النبي (ص) فقالت: أدع الله أن يدخلني الجنة، فَعَظَّمَ الرب تبارك وتعالى وقال:إن كرسيه وسع السموات والأرض، وإن له أطيطاً كأطيط الرَّحْل الجديد إذا رُكب، من ثقله

“Bahwa ada seorang wanita datag menemui Nabi saw. lalu berkata, ‘Berdoalah agar Allah memasukkanku ke dalam surga.’ Maka Nabi saw. mengagungkan Tuhan Maha Berkah Lagi Maha Tinggi, lalu berkata: “Sesungguhnya Kursi-Nya melebihi luasnya langit-langit dan bumi, dan ia (kursi Allah) memiliki bunyi/athîth seperti athîth kendaraan baru jika dikendarai karena bobot-Nya.”

Setelah meriwayatkannya, al Haitsami menegaskan kesahihannya dengan mengatakan;

رواه البزار ورجاله رجال الصحيح

“Hadis ini dirwayatkan oleh al Bazzâr dan seluruh perawinya adalah parawi berkualitas sahih.”

Jika demikian pasti Anda berhak bertanya, berapa juta ton bobot Tuhan mereka sehingga Kursi Allah hampi-hampir tak sanggup menaggung-Nya dan merasa keberatan sehingga mengeluarkan suara/ athîth?

Sementara di hadis lain, yang juga diriwayatkan dan disahihahkan para penggede ulama dan imam Ahlusunnah bahwa langit … itu berada dalam genggaman jari-jemari Allah… dan yang aneh jari-jemari Allah masih belum jelas jumlahnya, menurut sebagian riwayatnya ada enam sementara hadis lainnya memastikan jumlahnya ada lima….

Imam Bukhaari meriwayatkan dalam kitab Shahih karangannya,6/33 dari Abdulllah ibn Umar, ia berkata;

جاء حبر من الأحبار إلى رسول الله (ص) فقال: يا محمد إنا نجد أن الله يجعل السماوات على إصبع والأرضين على إصبع والشجر على إصبع والماء والثرى على إصبع وسائر الخلائق على إصبع فيقول أنا الملك! فضحك النبي (ص) حتى بدت نواجذه تصديقاً لقول الحبر!

“Ada seorang pendeta Yahudi datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata, “Hai Muhammad, kami menemukan (dalam kitab Taurat_pen) bahwa Allah menjadikan langit-langit di atas sebuah jari, bumi-bumi di atas sebuah jari lain, pepohonan di atas jari lain lagi, air di atas jari, bintang di atas jari dan seluruh ciptaan di atas jari lain. Lalu Dia berfiman; “Akulah Raja!” Maka Nabi saw. tertawa sehingga gigi-gigi graham beliau terlihat sebagai pembenaran atas ucapan sang pendeta.”

Hadis serupa juga diriwayatkan Imam Sunni Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad-Nya,1/457 dari Abdullah ibn Mas’ud;

جاء حبر إلى رسول الله (ص) فقال: يامحمد أو يا رسول الله إن الله عز وجل يوم القيامة يحمل السموات على إصبع والأرضين على إصبع والجبال على إصبع والشجر على إصبع والماء والثرى على إصبع وسائر الخلق على إصبع، يهزهن فيقول أنا الملك! فضحك رسول الله (ص) حتى بدت نواجذه تصديقاً لقول الحبر.

“Ada seorang pendeta Yahudi datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata, “Hai Muhammad, (atau ia berkata: Hai Rasul Allah), sesungguhnya Allah –Azza wa Jalla/Yang Maha Mulia lagi Maha Agung- pada hari kiamat akan menggotong langit-langit di atas sebuah jari, bumi-bumi di atas sebuah jari lain, gunung-gunung di atas sebuah jari, pepohonan di atas jari lain lagi, air di atas jari, bintang di atas jari dan seluruh ciptaan di atas jari lain, Dia menggoyangkannya sambil berfiman; “Akulah Raja!” Maka Nabi saw. tertawa sehingga gigi-gigi graham beliau terlihat sebagai pembenaran atas ucapan sang pendeta.” [2]

Hadis ini juga disambut gembira oleh pendiri sekte Wahhâbiyah; Ibnu ABdil Wahhâb dalam kitab at Tauhid karyanya.

Demikian mereka memperkenalkan kemaha agungan Allah…. Allah berbobot sehingga membuat berat Kusri yang Dia duduki dan dalam lembaran lain justru seluruh ciptaan-Nya (termasuk Kursi sebab ia adalah termasuk ciptaan Allah) berada di atas sebuah jari-Nya.


Konsep Tauhid Tawaran Ahlulbait as.

Nah, sekarang bandingkan dengan sabda Ahlulbait suci as. sebagaimana diriwayatkan Nabi saw ; Syeikh al Kulaini dalam kitab berharga beliau al Kâfi yang mulia,1/130;

عن صفوان بن يحيى قال: سألني أبو قرة المحدث أن أدخله على أبي الحسن الرضا (عليه السلام) فأستأذنته فأذن لي فدخل فسأله عن الحلال والحرام، ثم قال له: أفتقر أن الله محمول؟ فقال أبو الحسن (عليه السلام): كل محمول مفعول به مضاف إلى غيره محتاج، والمحمول اسم نقص في اللفظ، والحامل فاعل وهو في اللفظ مدحة، وكذلك قول القائل: فوق وتحت وأعلى وأسفل، وقد قال الله: (وَللهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا)، ولم يقل في كتبه، إنه المحمول،بل قال: إنه الحامل في البر والبحر، والممسك السماوات والأرض أن تزولا، والمحمول ما سوى الله! ولم يسمع أحد آمن بالله وعظمته قط قال في دعائه: يا محمول!!

“Dari Shafwân ibn Yahya, ia berkata, Abu Qarrah memintaku agar aku memasukkannya menemui Abul Hasan ar Ridha as., lalu aku memintakan izin untuknya, kemudian beliau mengizinkan dan iapun masuk, lalu bertanya kepada Imam tentang masalah (hukum) halal dan haram. Kemudian ia berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mengakui bahwa Allah itu dimuat/dipikul?’ Maka Abul Hasan as. bersabda: “setiap yang dipikul itu berarti ia maf’ûl (dikenai pekerjaan) dan disandarkan kepada sesuatu lainnya dan butuh. Yang diangkut itu adalah kata yang mengandung konotasi kurang/cacat. Sedangkan ‘si pembawa’ adalah palaku, dan ia dalam pengucapan adalah pujian. Demikain pula dengan ucapan seorang: di atas, di bawah, lebih tinggi dan lebih rendah/lebih di bawah. Dan Allah telah berfirman: “Dan bagi-Nya nama-nama yang baik, maka serulah Dia dengannya.” Dan Allah tidak pernah berfirman dalam kitab-kitab suci-Nya bahwa Dia dipikul/dimuat. Bahkan Dialah Dzat Yang Membawa baik di lautan maupun di daratan. Dialah yang menahan langit-langit dan bumi dari berjatuhan/sirna. Yang diangkut itu yang selain Allah! Dan tidak pernah didengar ada seorang yang beriman kepada Allah dan mengakui keagungan-Nya berkata dalam doa yang ia panjatkan: Wahai Dzat yang Diangkut.

قال أبو قرة: فإنه قال: (وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ) وقال: (الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ)؟

Abu Qarrah berkata: “Sesungguhnya Dia berfirman: “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru- penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.“ (QS. Al Hâqqah [69];17 ).

Dan Dia berfiarman: “Malaikat- malaikat) yang memikul Arasy… “?

Maka Abul Hasan as. bersabda;

العرش ليس هو الله، والعرش اسم علم وقدرة، وعرشه فيه كل شئ، ثم أضاف الحمل إلى غيره: خلق من خلقه، لأنه استعبد خلقه بحمل عرشه، وهم حملة علمه، وخلقاً يسبحون حول عرشه وهم يعملون بعلمه، وملائكة يكتبون أعمال عباده؟ واستعبد أهل الأرض بالطواف حول بيته، والله (عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كما قال، والعرش ومن يحمله ومن حول العرش الله الحامل لهم، الحافظ لهم، الممسك القائم على كل نفس، وفوق كل شئ، وعلى كل شئ، ولا يقال: محمول ولا أسفل، قولاً مفرداً لايوصل بشئ فيفسد اللفظ والمعنى.

“Arsy bukanllah Allah dan Arsy adalah nama untuk ilmu dan kekuasaan. Arsy-Nya di dalamnya terdapat segala sesuatu. Kemudian Dia menyandarkan tugas memikul kepada selain-Nya yaitu makhluk dari ciptaan-Nya. Sebab Allah memperhambakan makhluk-Nya untuk memikul Arsy-Nya, mereka itu adalah para pemikul Arsy. Ada sekelompok ciptaan-Nya yang bertasbih di sekitar Arsy-Nya dan mereka beraktifitas atas sepengetahuan Allah. Dan ada pula para malaikat yang mencatat amal hamba-hamba-Nya. Dan Allah memperhambakan penduduk bumi dengan bertawaf mengelilingi rumah-Nya (Ka’bah) dan Allah beristiwâ’ di atas Arsy-Nya, seperti yang Ia firmankan. Dan Arsy berserta yang membawanya dan yang berada di sekitar Arsy, Allah lah yang membawa mereka, menjaga mereka, menahan mereka dari keruntuhan dan yang mengurus setiap jiwa. Dia di atas segala sesuatu. Dan tidak dikatakan bahwa Dia dimuat/angkut dan pula Dia di bawah sesuatu…

قال أبو قرة: فتكذب بالرواية التي جاءت أن الله إذا غضب إنما يعرف غضبه أن الملائكة الذين يحملون العرش يجدون ثقله على كواهلهم، فيخرون سجداً، فإذا ذهب الغضب خف ورجعوا إلى مواقفهم؟

Abu Qarrah berkata, “Lalu apakah Anda membohongkan riwayat yang berkata bahwa sesungguhnya jika Allah murka akan diketahui murka-Nya bahwa para malaikat yang memikul Arsy-Nya merasakan adanya berat di atas pundak-pundak mereka, lalu mereka sujud. Dan jika murka Allah hilang (berhenti) maka menjadi ringanlah Arsy itu dan mereka pun kembali ke pos-pos mereka masing-masing?”

فقال أبو الحسن (عليه السلام): أخبرني عن الله تبارك وتعالى منذ لعن إبليس إلى يومك هذا هو غضبان عليه، فمتى رضي؟ وهو في صفتك لم يزل غضبان عليه وعلى أوليائه وعلى أتباعه، كيف تجترئ أن تصف ربك بالتغيير من حال إلى حال وأنه يجري عليه ما يجري على المخلوقين. سبحانه وتعالى، لم يزُل مع الزائلين، ولم يتغير مع المتغيرين، ولم يتبدل مع المتبدلين، ومن دونه يده وتدبيره، وكلهم إليه محتاج، وهو غني عمن سواه

Maka Abul Hasan as. bersabda: “Baritahukan kepadaku tentang Allah Yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi sejak Dia melaknat Iblis hingga hari ini, tidakkah Dia murka atasnya, lalu kapan Dia rela? Dia (Allah) berdasarkan pensifatanmu itu senantiasa murka atas Iblis dan para pengikutnya, lalu bagaimana engkau berani mensifati Tuhanmu dengan adanya perubahan dari sebuah kondisi ke kondisi lainnya, dan sesungguhnya berlaku atas-Nya apa yang berlaku atas ciptaan-Nya?! Maha Suci dan Maha Tinggi Allah. Dia tidak beranjak bersama ciptaan yang beranjak dan Dia tidak berubah bersama benda-benda yang mengamali perubahan seta tidak berganti bersama makhluk yang berganti. ….. dan semuanya (selain-Nya) adalah butuh kepada-Nya dan Dia tidak butuh kepada selain Dzat-Nya sendiri.” [3]

Setelah menyajikan satu dari ratusan atau bahkan ribuan sabda para imam mulia Ahlulbait Nabi as., pembaca kami persilahkan untuk membandingkan tawaran konsep ketuhanan dan tauhid yang mereka ajarkan dengan konsep tauhid yang ditawarkan diajarkan oleh selain para imam Ahlulbait as.?

Sepenuhnya saya serahkan kepada Anda.

Catatan Kaki:

[1] Hadis di atas dapat Anda temukan dalam ash Shawâiq:150 dan 151 ketika menafsirkan ayat ke 4 dari riwayat Mulla dalam Sirahnya juga Dzakhâir al ‘Uqba; Muhibbuddîn ath Thabari:17 dari Mulla.
[2] Hadis ini juga diriwayatkan dalam banyak kesempatan lain oleh Ahmad ibn Hanbal, di antaranya:6/33 dan 8/174,202.
[3] Beberapa kalimat dalam hadis mulai di atas sengaja tidak kami terjemahkan karena ketidak mampuan kami dalam memilih kata yang tepat untuknya, agar kami tidak terjatuh dalam memaknai sabda mulia para imam suci dengan sembarangan. Sebab yang kami terjemahkan bukan ocehan Ka’ab Ahbâr misalnya.!!
_________________________________

Pembahasan Sanad Hadis Ummu Thufail “Nabi Melihat Allah Dalam Bentuk Pemuda Berambut Lebat”

Hadis Ru’yatullah termasuk hadis kontroversial yang diributkan baik ulama-ulama terdahulu maupun yang datang kemudian. Hadis ini diperbincangkan karena matannya mengandung lafaz yang mungkar yaitu Nabi SAW melihat Allah dalam bentuk Pemuda. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ummu Thufail. Dalam tulisan kali ini akan dibahas terlebih dahulu hadis Ummu Thufail.

Takhrij Hadis Ummu Thufail;

عن أم الطفيل امرأة أبي بن كعب قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ( رأيت ربي في المنام في صورة شاب موقر في خضر عليه نعلان من ذهب وعلى وجهه فراش من ذهب)

Dari Ummu Thufail Istri Ubay bin Ka’ab, ia berkata “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata “Aku melihat Rabbku di dalam mimpi dalam bentuk pemuda berambut lembat dengan pakaian hijau memakai sandal dari emas dan berada di atas tempat tidur dari emas”.

Hadis riwayat Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 25/143 no 346, Asmaa’ Was Shifaat Baihaqi hadis no 922, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 15/426, Daruquthni dalam Ar Ru’yah no 231 dan 232, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 62/161, Abu Ya’la dalam Ibthaalut At Ta’wiilat no 130, 131 dan 132, Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah no 9 dan Al Maudhu’at 1/125. Semuanya dengan jalan Ibnu Wahb dari Amru bin Al Harits dari Sa’id bin Abi Hilal dari Marwan bin Utsman dari Umaarah bin Amir bin Hazm Al Anshari dari Ummu Thufail.

Hadis ini sanadnya dhaif jiddan dan dengan matan yang mungkar maka tidak diragukan kalau hadis ini maudhu’ (palsu). Hadis ini mengandung illat.
1. Marwan bin Utsman, dia seorang yang dhaif sebagaimana disebutkan Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 8/272 no 1244. Dalam Muntakhab Min Illal Al Khallal no 183 dan Ibthaalut Ta’wiilaat Abu Ya’la no 137 disebutkan kalau Ahmad bin Hanbal menyatakan Marwan bin Utsman majhul. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/171 menyatakan ia dhaif sedangkan dalam Al Ishabah 8/246 no 12116 biografi Ummu Thufail ia menyatakan Marwan bin Utsman matruk.
2. Umaarah bin Amir, dia adalah perawi yang majhul. Dalam Muntakhab Min Illal Al Khallal no 183 Ahmad bin Hanbal menyatakan “ia tidak dikenal”. Al Bukhari dalam Tarikh As Shaghir juz 1 no 1419 juga berkata “Umaarah tidak dikenal”. Adz Dzahabi dalam Mughni Adh Dhu’afa no 4404 juga berkata “tidak dikenal”.
Inqitha’ (sanadnya terputus) Umaarah dari Ummu Thufail. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Bukhari dalam Tarikh As Shaghir juz 1 no 1419 dan Tarikh Al Kabir juz 6 no 3111 bahwa Umaarah tidak diketahui mendengar dari Ummu Thufail. Ibnu Hibban memasukkan Umaarah dalam kitabnya Ats Tsiqat juz 5 no 4682 dan menyatakan bahwa Ia tidak mendengar dari Ummu Thufail. Penyebutannya dalam kitab Ats Tsiqat tidak bisa dijadikan hujjah sebagai penta’dilan karena Umaarah telah dinyatakan majhul oleh Ahmad bin Hanbal dan Al Bukhari.
3. Cacat lain adalah pada sebagian sanadnya [Ibnu Jauzi, Ibnu Asakir dan Al Khatib] juga diriwayatkan oleh Nuaim bin Hammad dari Ibnu Wahb, dia walaupun dita’dilkan oleh sebagian orang tetapi ia juga dinyatakan dhaif oleh An Nasa’i [Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 617], Abu Fath Al Azdi dan Ibnu Ady menuduhnya sebagai pemalsu hadis [At Tahdzib juz 10 n0 833]. Ibnu Hajar dalam At Taqrib menyebutnya shaduq yukhti’u tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 7166 bahwa ia seorang yang dhaif. Kendati demikian Nuaim bin Hammad tidaklah menyendiri meriwayatkan hadis ini dari Ibnu Wahb. Bersamanya ada Ahmad bin Shalih Al Mishri [Ath Thabrani], Ahmad bin Abdurrahman bin Wahb, Ahmad bin Isa [Baihaqi], dan Yahya bin Sulaiman [Ath Thabrani]. Oleh karena itu pendapat yang benar adalah hadis tersebut maudhu’ karena illat yang telah kami sebutkan.

Hadis ini tidak diragukan lagi adalah hadis maudhu’ sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ulama diantaranya Ibnu Jauzi dalam kitabnya Al Maudhu’at 1/125. Ahmad bin Hanbal mengatakan hadis tersebut mungkar dalam Muntakhab Min Illal Al Khallal no 183 dan Ibthaalut Ta’wiilaat Abu Ya’la no 137. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 5 no 4682 juga mengakui kalau hadis tersebut mungkar. Begitu pula yang dikatakan Bukhari dalam Tarikh Al kabir juz 5 no 4682. Bashar Awad Ma’ruf pentahqiq kitab Tarikh Baghdad 15/426 juga menyatakan hadis tersebut maudhu’. Bahkan Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah no 6371 menyatakan hadis tersebut maudhu’. Jadi hadis tersebut bukan sekedar dhaif tetapi memang maudhu’.

Syaikh Al Albani melakukan keanehan yang luar biasa dalam kitabnya Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah Ibnu Abi Ashim hadis no 471. Ibnu Abi Ashim meriwayatkan;

ثنا اسماعيل بن عبدالله ثنا نعيم بن حماد ويحيى بن سليمان قالا حدثنا عبدالله بن وهب عن عمرو بن الحارث عن سعيد بن أبي هلال حدثه أن مروان بن عثمان حدثه عن عمارة بن عامر عن أم الطفيل امرأة أبي بن كعب قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول رأيت ربي في المنام في أحسن صورة وذكر كلاما

Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abdullah yang berkata menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hammad dan Yahya bin Sulaiman yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb dari Amru bin Al Harits dari Sa’id bin Abi Hilal yang menceritakan kepadanya, dari Marwan bin Utsman yang menceritakan kepadanya, dari Umaarah bin Amir dari Ummu Thufail istri Ubay bin Ka’ab yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW berkata “Aku telah melihat Rabbku di dalam mimpi dalam sebaik-baik bentuk –kemudian menyebutkan perkataan-.

Syaikh berkomentar bahwa hadis ini shahih lighairihi, shahih dengan penguat hadis-hadis sebelumnya, sanadnya dhaif gelap. Tentu saja bagi seorang peneliti pernyataan shahih lighairihi ini merupakan suatu keanehan. Pernyataan shahih lighairihi hanya berlaku bagi hadis yang sanadnya hasan lizatihi dan dikuatkan oleh hadis-hadis shahih lain. Hadis Ummu Thufail sudah jelas sangat dhaif sehingga tidak mungkin bisa naik menjadi shahih lighairihi.

Selain itu hadis Ru’yatullah riwayat Ummu Thufail adalah hadis yang berlafaz mungkar, lafaz itulah yang tidak disebutkan oleh Ibnu Abi Ashim dimana ia meringkasnya dengan kalimat –kemudian menyebutkan perkataan-. Tentu tidaklah sulit bagi seorang Syaikh Al Albani untuk mengetahui lafaz hadis Ummu Thufail tersebut secara lengkap, oleh karena itu sudah seharusnya Syaikh tidak menyatakan shahih hadis Ummu Thufail karena pada dasarnya hadis Ummu Thufail itu berbeda dengan hadis-hadis lainnya. Jika dikatakan bahwa hadis itu shahih hanya sebatas perkataan Aku telah melihat Rabbku di dalam mimpi dalam sebaik-baik bentuk, maka sudah seharusnya Syaikh memberikan pernyataan secara eksplisit tentang hal itu dan mengatakan bahwa lafaz hadis Ummu Thufail itu sebenarnya mungkar dan yang shahih hanya bagian Aku telah melihat Rabbku di dalam mimpi dalam sebaik-baik bentuk. Bagi kami hal seperti ini jelas sekali sangat penting apalagi hadis yang dibicarakan ini bukan masalah yang sederhana yaitu Nabi SAW melihat Rabb di dalam mimpi dalam bentuk pemuda berambut lebat.

Anehnya seorang ulama seperti Abu Zur’ah Ad Dimasyq tidak segan-segan mengakui kebenaran hadis Ummu Thufail yang berlafaz mungkar. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Daruquthni dalam Ar Ru’yah no 231 dan Abu Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wilaat no 140, Abu Ya’la mengatakan kalau Abu Zur’ah menshahihkan hadis Ummu Thufail di atas. Abu Zur’ah berkata;

كل هؤلاء الرجال معروفون لهم أنساب قوية بالمدينة فأما مروان بن عثمان فهو مروان بن عثمان بن أبى سعيد بن المعلى الأنصارى وأما عمارة فهو ابن عامر بن عمرو بن حزم صاحب رسول الله وعمرو بن الحارث وسعيد ابن أبى هلال فلا يشك فيهما وحسبك بعبد الله بن وهب محدثا فى دينه وفضله

Semua perawinya dikenal mempunyai nasab yang kuat di Madinah, Marwan bin Utsman dia adalah Marwan bin Utsman bin Abi Sa’id bin Al Ma’ally Al Anshari dan Umaarah dia adalah Ibnu Amir bin Amru bin Hazm sahabat Rasulullah. Amru bin Harits dan Sa’id bin Abi Hilal tidak diragukan keduanya dan cukuplah Abdullah bin Wahb muhaddis dalam agamanya dan keutamaannya.

Kami katakan perkataan Abu Zur’ah sungguh merupakan kekacauan yang patut disayangkan muncul dari beliau. Marwan bin Utsman telah disebutkan kalau Ahmad bin Hanbal menyatakan ia majhul dan Abu Hatim menyatakannya dhaif. Abu Zur’ah sendiri tidak menjelaskan keadaannya oleh karena itu tetaplah ia dengan predikat dhaif dan menjadi tertuduh karena hadis ini. Selain itu keadaan Umaarah sendiri tidak dijelaskan oleh Abu Zar’ah dan ulama lain telah menyatakan bahwa ia tidak dikenal. Jadi hadis tersebut maudhu’ dan tidak ada artinya penshahihan dari Abu Zar’ah. Sungguh tidak dapat dimengerti bagaimana lafaz mungkar pada hadis tersebut bisa diakui kebenarannya oleh ulama sekaliber Abu Zur’ah. Jauh setelah Abu Zur’ah ternyata Ibnu Taimiyyah ulama salafy yang terkenal itu ikut-ikutan menshahihkan hadis Ibnu Abbas dengan lafaz mungkar yang mirip hadis Ummu Thufail di atas. Ulama yang aneh
___________________________________

Allah-nya Kaum Wahhabiyah Bersemayam Di Atas Arsy Dan Arsy-Nya Di Atas Punggung Delapan Kambing Hutan!

Dalam akhir kitab Tauhîd-nya, Imam Besar Sekte Wahhâbiyah menegaskan bahwa Allah bersemayan di atas Arsy… arsy-Nya berada di atas laut yang berada di atas langit ke tujuh dan memiliki kedalaman seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya yaitu 71 atau 72 atau 73 tahun perjalanan…. Nah di atas lautan itu ada delapan ekor kambing hutan yang ukurannya sangat besar, antara kuku-kuku danlutut-lututnya seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya.. di atas punggung-punggung kedelapan kambing hutan itulah Arsy Allah bertempat… lalu allah bersemayam di atas Arsy-Nya yang berada di atas punggung-punggung kambing hutan. (Kitab Fathu al Majîd Syarh Kitab al Tauhîd:515-516).

Pentahqiqnya membanggakan konsep Tauhid sesat yang diusung Imam Sekte Wahhâbiyah ini. Ia mengatakan: Pengarang telah mengawali kitabnya yang agung ini dengan menerangkan tauhdi Ilahiyah, sebab kebanyakan umat yang datang belakangan jahil terhadapnya. Mereka malakukan sesuatu yang menyalahhi tauhdi berupa kemusyrikan dan menyekutukan Allah…. Kemdian beliau mengakhiri kitabnya dengan menerangkan Tauhdi Asmâ’ dan Sifat. Sebab kebanyakan kaum umum tidak perhatian terhadap ilmu ini yang digeluti oleh orang yang tidak mumpuni….. (Ibid.517).

Jadi inilah konsep Tauhid yang menjadi inti ajakan Imam Sekte Wahhâbiyah!! Kita diajak untuk mengimani konsep Tauhid yang mengatakan bahwa Allah bertengger di atas Arsy-nya yang berada di atas punggung-punggung delapan kambing hutan raksasa mengapun di atas air laut di atas laingit ke tujuh!

Saya beraharap ada seorang pelukis yang siap melukis obyek unggulan ini untuk dijadikan hiasan dinding di kantor-kantor para mufti Sekte Whhâbiyah di Arab Saudi sana dan di depan mihrab-mihrab mmasjid mereka agar shalat mereka lebih khusuk dengan memerhatikan postur Tuhan mereka yang sedang diusung di atas punggung kambing hutan raksasa!

Atau membuat miniature yang memposturisasi Tuhan mereka! Agar tidak kalah dengan para ppenyembah berhala di India atau negeri-negeri penyemba berhala lainnya!

Setuju?!

Teks Riwayat Andalan Imam Wahhabi Dari Kitab at Tauhid dan Fathul Majid:

Sebegian pembaca mungkin ada yang meragukan kebenaran apa yang kami tulis dalam artikel kami sebeulmnya tentang akidah Imam Wahhabiyah bahwa Arsy Allah dipikul oleh delapan ekor kambing hutan dan meminta teks asli yang termuat dalam kitab tersebut, maka kami dengan senang hati menampilkan teks asli tersebut.

و عن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و آله و سلم: هل تدرون كم بين السماء و الأرض؟ قلنا: ألله و رسوله أعلم. قال: بينهما مسيرة خمسمائة سنة، و من كل سماء إلى سما مسيرة خمسمائة سنة، و كثف كل سماء مسيرة خمسمائة سنة، و بين السماء السابعة و العرش بحر بين أسفله و أعلاه كما بين السماء و الآرض، و الله تعالى فوق ذلك. و ليس يخفى عليه شيئ من أعمال بني آدم. أخرجه أبو داود و غيره.

(Baca Fathul Majid:515)

Akan tetapi sebenaranya Imam Wahhabi melakukan manipulasi dan merobeh-robah sedikit redaksi riwayat di atas. Sebab apa yang tertera dalam kitab Sunan Abu Daud berbeda dengan apa yang ia sebutkan. Tetapi kami tidak akan mempermasalahkannya sekarang.

Karenanya Syeikh Abdurrahman (pensyarahnya) mengakuinya walaupun kemudian ia menutupinya dengan mengatakan bahwa Syeikh meringkas riwayat, sementara yang terjadi bukan meringkas akan tetapi merobah-robah (merusak keotentikannya).

Pensyarahnya menyebutkan riwayat dengan lengkap:

هل تدرون ما بعد ما بين السماء و الأرض؟ قالوا: لا ندري. قال: إن بعد ما بينهما إما واحدة أو اثنتان أو ثلاث و سبعون سنة، ثم السماء التي فوقها كذلك، حتى عدّ سبع سموات، ثم فوق السابعة بحر بين أسفله وأعلاه مثل ما بين سماء إلى سماء ثم فوق ذلك ثمانية أوعال، بين أظلافِهم و ركبهم مثل ما بين السماء إلى سماء ثم على ظهورهم العلرش بين اسفله و أعلاه كما بين سماء إلى سماء ثم الله فوق ذلك.

Tahukah kalian berapa jarak antara langit dan bumi? Mereka berkata: Kami tidak mengetahuinya. Beliau bersabda: Sesungguhnya jarak antara keduanya adalah tujuh puluh satau atau dua atau tiga tahun, kemudian langit yang ada di atasnya juga demikian hingga tujuh lapis langit. Kemudian di atas langit ke tujuh ada laut yang jarak antara bawah dan atasnya seperti jarak antara satu langit dengan langit atasnya. Kemudian di atasnya terdapat delapan ekor kambing hutan jarak antara kuku-kuku dan lutut-lutut mereka seperti jarak antara satu langit dengan langit atasnya. Kemudian di atas punggung mereka terdapat Arsy yang jarak antara bagian bawah dan atasnya seperti jakar antara satu langit dengan langit atasnya. Kemudian Allah di atas itu semua.

Adz Dzahabi berkata: Hadis ini telah diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan.

Akan tetapi, na’asnya hadis di atas adalah lemah dari sisi sanadnya, dan seperti ditegaskan oleh pentahqiq kitab tersebut Syeikh Muhammad Hamid Faqi. (Fathu al Majid:515-516)
_____________________________________


Ibnu Taimiyyah Menshahihkan Hadis “Nabi Melihat Allah SWT Dalam Bentuk Pemuda Amrad”.

Kali ini hadis yang akan dibahas adalah hadis ru’yatullah riwayat Ibnu Abbas. Hadis ini juga tidak lepas dari kemungkaran yang nyata dengan lafaz “Melihat Allah SWT dalam bentuk pemuda amrad (yang belum tumbuh jenggot dan kumisnya)”.Tetapi anehnya hadis dengan lafaz mungkar ini tidak segan-segan dinyatakan shahih oleh Abu Zur’ah, Ath Thabrani, Abu Bakar bin Shadaqah dan tentu syaikh salafy yang terkenal Ibnu Taimiyyah.

Takhrij Hadis Ibnu Abbas;

ثنا حماد بن سلمة عن قتادة عن عكرمة عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رأيت ربي جعدا امرد عليه حلة خضراء

Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku melihat Rabbku dalam bentuk pemuda amrad berambut keriting dengan pakaian berwarna hijau”.

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Asmaa’ was Shifaat no 938, Ibnu Ady dalam Al Kamil 2/260-261, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 13/55 biografi Umar bin Musa bin Fairuz, Adz Dzahabi dalam As Siyaar 10/113 biografi Syadzaan, Abu Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 122, 123, 125, 126,127 ,129, dan 143 (dengan sedikit perbedaan pada lafaznya), Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah no 15. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Sedangkan yang meriwayatkan dari Hammad adalah Aswad bin Amir yakni Syadzaan (tsiqat dalam At Taqrib 1/102), Ibrahim bin Abi Suwaid (tsiqat oleh Abu Hatim dalam Al Jarh wat Ta’dil 2/123 no 377), Abdush Shamad bin Kaisan atau Abdush Shamad bin Hasan (shaduq oleh Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 6/51 no 272).

Hadis ini maudhu’ dengan sanad yang dhaif dan matan yang mungkar. Hadis ini mengandung illat
Hammad bin Salamah, ia tidak tsabit riwayatnya dari Qatadah. Dia walaupun disebutkan sebagai perawi yang tsiqah oleh para ulama, dia juga sering salah karena kekacauan pada hafalannya sebagaimana yang disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 14 dan At Taqrib 1/238. Disebutkan dalam Syarh Ilal Tirmidzi 2/164 yang dinukil dari Imam Muslim bahwa Hammad bin Salamah banyak melakukan kesalahan dalam riwayatnya dari Qatadah. Oleh karena itu hadis Hammad bin Salamah dari Qatadah ini tidak bisa dijadikan hujjah apalagi jika menyendiri dan lafaznya mungkar.

Tadlis Qatadah, Ibnu Hajar telah menyebutkannya dalam Thabaqat Al Mudallisin no 92 sebagai mudallis martabat ketiga, dimana Ibnu Hajar mengatakan bahwa pada martabat ketiga hadis perawi mudallis tidak dapat diterima kecuali ia menyebutkan penyimakannya dengan jelas. Dalam Tahrir At Taqrib no 5518 juga disebutkan bahwa hadis Qatadah lemah kecuali ia menyebutkan sama’ nya dengan jelas. Dalam hadis ini Qatadah meriwayatkan dengan ‘an ‘anah sehingga hadis ini lemah.

Kelemahan sanad hadisnya ditambah dengan matan yang mungkar sudah cukup untuk menyatakan hadis ini maudhu’ sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal no 15. Kemungkaran hadis ini juga tidak diragukan lagi bahkan diakui oleh Baihaqi dan Adz Dzahabi dalam As Siyaar. Bashar Awad Ma’ruf dalam tahqiqnya terhadap kitab Tarikh Baghdad 13/55 menyatakan hadis ini maudhu’.

Sayang sekali kemungkaran hadis ini seperti nya luput dari pandangan sebagian ulama seperti Abu Zur’ah, Ath Thabrani dan Al Faqih Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Shadaqah [seorang Imam Hafiz yang tsiqat tsiqat sebagaimana disebutkan Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 5/40-41]. Mereka mengakui kebenaran hadis ini. Abu Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 144 mengutip penshahihahn dari Ath Thabrani, ia berkata;

قال وأبلغت أنّ الطبراني قال حديث قتادة عن عكرمة عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم في الرؤية صحيح ، وقال من زعم أني رجعت عن هذا الحديث بعدما حدثت به فقد كذب

Telah disampaikan bahwa Ath Thabrani berkata “hadis Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW tentang Ru’yah adalah shahih, dan siapa yang mengatakan bahwa aku rujuk dari hadis ini setelah meriwayatkannya maka sungguh ia telah berdusta.

Dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 145 Ath Thbarani berkata;

سمعت إبن صدقة الحافظ يقول من لم يؤمن بحديث عكرمة فهو زنديق

Aku mendengar Ibnu Shadaqah Al Hafiz berkata “siapa yang tidak mempercayai hadis Ikrimah [tentang Ru’yah] maka ia seorang zindiq”.

Dalam Al Laaly Al Masnu’ah 2/32 As Suyuthi mengutip perkataan Ath Thabrani;

قال الطبراني سمعت أبابكر بن صدقة يقول سمعت أبا زرعة الرازي يقول حديث قتادة عن عكرمة عن إبن عباس في الرؤية صحيح رواه شاذان وعبدالصمد بن كيسان وإبراهيم بن أبي سويد لا ينكره إلاّ معتزلي

Ath Thabrani berkata aku mendengar Abu Bakar bin Shadaqah berkata aku mendengar Abu Zur’ah Ar Razi berkata “hadis Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas tentang Ru’yah adalah shahih yang diriwayatkan oleh Syadzaan, Abdush Shamad bin Kaisan dan Ibrahim bin Abi Suwaid, tidak ada yang mengingkarinya melainkan ia seorang mu’tazilah.

Tentu saja fenomena ini adalah keanehan yang luar biasa. Bagaimana mungkin mereka begitu berani menshahihkan hadis tersebut bahkan mengecam orang yang mengingkarinya. Sikap berlebihan seperti ini benar-benar patut disayangkan. Apakah ulama-ulama lain dan orang-orang islam yang mengingkari hadis ini akan dengan mudahnya mereka katakan zindiq atau mu’tazilah?. Apakah Imam Ahmad bin Hanbal itu zindiq atau mu’tazilah?. Terkadang sehebat apapun ulama tetap tampaklah kenehannya.

Selain mereka, ternyata ada pula Ibnu Taimiyyah yang ikut-ikutan menshahihkan hadis Ibnu Abbas ini. Ia dengan jelas menyatakan shahih marfu’ hadis dengan lafal pemuda amrad dalam kitabnya Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah 7/290.

Scan Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah

Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah

Dan ini penggalan kitab tersebut juz 7 hal 290 dimana Ibnu Taimiyyah menshahihkan hadis Ru’yah dengan lafal pemuda amrad,

 
Scan Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah 7/290

Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah 7/290;

Sudah jelas pernyataan shahih terhadap hadis ini adalah kebathilan yang nyata. Bagaimana mungkin mereka tidak risih untuk mengatakan bahwa Allah SWT menampakkan dalam bentuk pemuda amrad di dalam mimpi?. Dan kalau kita perhatikan ulama yang disebut Ibnu Taimiyyah ini, dalam kitab-kitabnya seperti Minhaj As Sunnah ia tidak segan-segan mendustakan berbagai hadis shahih keutamaan Ahlul Bait hanya karena hadis tersebut mungkar dalam pandangannya tetapi anehnya ia tidak segan-segan untuk menshahihkan hadis mungkar riwayat Ibnu Abbas di atas. Sungguh berkali-kali keanehan.
____________________________________

Pendahulu Kaum Wahhâbi Melarang Kaum Asy’ariyah Menuniakan Shalat Jum’at Di Masjid Jami’!

Kekakuan an keganasan sikap serta kebengisan perlakuaan yang sering kali kita saksikan dari kaum Wahhâbi/Salafi di berbagai daerah di tanah air dan juga seperti diberitakan di berbagai belahan duni Islam, khususnya ketika mereka merasa kuat… baik disebabkan banyak jumlah merreka atau karena ada dukungan dari penguasa … semua itu bukanlah hal baru dan sikap yang lahir dari kehampaan… Akan tetapi ia adalah model didikan dan doktrin yang ditanamkan dalam jiwa sempit mereka… ini adalah doktrin turn-temurun yang sudah menjadi bagian tak terpisahlkan dari ediologi dan keyakinan keberagamaan komunitas ini…

Sejarah mencatat bahwa pendahulu kaum Wahhabi/Salafi telah mengajarkan doktrin kekerasan dengan praktik nyata bagaimana mereka harus menyikapi lawan-lawan mereka; kaum Muslimin dari mazhab-mazhab lain selain mazhab Hanbali (yang mereka modifikasi menjadi mazhab galak dan sadis)!

Ibnu Katsir (ahli sejarah dan mufassir yang tak henti-hentinya dibanggakan kaum Salafi Wahhâbi) melaporkan (tentu kaum Wahhâbi harus menerimanya, sebab beliau adalaah imam terpercaya dalam keyakinan mereka) bahwa kaum pendahulu kaum Wahhâbi (Hanâbilah) telah berbuat kejahatan agamis dengan melarang kaum Muslimin beraliran Asy’ariyah menunaikan shalat jum’at!

Dengar apa laporang Ibnu Katsir ketika beliau melaporkan pristiwa tahun 447 H:

وفيها وقعت الفتنة بين الأشـاعرة والحنابلـة ، فقـوي جانب الحنابلة قـوة عظيمـة ، بحيث أنه كان ليس لأحد من الأشاعرة أن يشهـد الجمعة ولا الجماعات .

“Pada tahun ini terjadilah fitnah (kekacauan) antara penganut Asy’ariyah dan kaum Hanâbilah. Lalu kuatlah posisi kaum Hanâbilah dengan kekuatan yang sangat sehingga tidak seorang pun dari pengikut Asy’ariyah yang dibolehkan menhadiri shalat Jum’at dan jama’ah.”[1]

Ibnu Jauzi juga melaporkan pristiwa tahun 447 H sebagai berikut:

ووقعت بين الحنابلة والأشاعرة فتنة عظيمة حتى تأخر الأشاعـرة عـن الجمعـات خـوفاً من الحنابلة .

“Dan terjadilah fitnah/kerusuha besar antara kaum Hanâbilah dan Asy’ariyah sampai-sampai kaum Asy’ariyah meninggalkan shalat jum’at karena takut dari kaum Hanâbilah.”[2]

Keurusahan yang terjadi, sekali lagi diakaibatkan kaum Hanbaliyah menyebarkan akidah sesat tentang tajsîm dan demi menikat hati kaum awam mereka membawa-bawa nama Imam Ahmad ibn Hanbal! Ibnu Kahldun merekam dengan rinci keganasan yang dipicu oleh pendahulu/Salaf kaum Salafi Wahhâbi dal;am masalah sifat Allah SWT. Ia melaporkan:

… وبين الحنابلة والشافعية وغيرهم من تصريح الحنابلة بالتشبيه في الذات والصفات ، ونسبتهم ذلك إلى الإمام أحمد ، وحاشاه منه ، فيقع الجدال والنكير ، ثم يفضي إلى الفتنة بين العوام .

“Dan antara kaum Hanbaliyah dan Syafi’iyah dan penganut mazhab lainnya terjadi perdebatan di mana kaum Hanbaliyah berterang-terangan dalam akidah tasybîh (menyerupakah Allah dengan makhluk-Nya) dalam Dzat dan Sifat dan mereka menisbatkan akidah itu kepada Imam Ahmad (dan tidak mungkin beliau berakidah seperti itu), lalu terjadilah perdebatan dan penolakan keras kemudian menyulut fitnah di kalangan kaum awam.”[3]


Ustad Syi’ah Ali dan AHLUL BAIT NABI SAW :

KAJIAN KUMPULAN ILMU YANG TERLENGKAP MILIK AHLUL BAIT NABI SAW UNTUK INDONESIA DAN MALAYSIA SERTA SEKITARNYA:

Selamanya kaum Hanbaliyah (yang kini diwakili kaum Wahhâbi/Salafi) meracuni kaum awam (walaupun ulama mereka juga tidak kalah awamnya dengn kaum awam yang sangat awam) dengan bahasan-bahasan tentang tauhid yang berorientasi kepada doktrin penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Walaupun mereka selalu ngoto mengelak bahwa akidah mereka itu adalah inti akidah tasybîb dan tajsîm!

Kini cara-cara itu juga mulai dipergunakan kaum Wahhâbi selalui otot-ooto preman bayaran untuk melarang kaum Muslim yang tidak mereka sukai untuk menegakkan shalat di masjid-masjid; rumah ibadah!

Jika nanti mereka kuat, mungkin saja apa yang diprktikkan pendahulu mereka juga dikalukan kepada kaum Mulim non Wahhâbi…

Coba perhatikan sikap mereka ketika mendapat sedekit angin segar… ketika sedikit merasa kuat.. langgar-langgar kaum Muslim yang dahulu membaca Mauludan dan Diba’an atau tawassul dan istighatsah mereka kuasai kemudian semua acara ritual itu diporak-porandakan… dilarang… dengan alasan bid’ah! Mengandung unsur syirik.. dll. masjid-masjid yang dahulu membaca qunut dilarang dengan alasan Nabi saw. tidak pernah mensunnahkan qunut!

Al hasil… mereka adalah kelompok ganas yang tidak pernah mentolerir perbedaaan mazhab! Hanya mazhab mereka saja yang boleh dijalankan… sebab hanya mazhab mereka yang mengikuti Al Qur’an dan Sunnah! Mazhab-mazhab lain sesat! Menyimpang dari tuntunan Salaf!

Bukankah cara berpikir seperti itu adalah bahaya?!


Referensi:
[1] Al Bidâyah wa an Nihâyah,12/71. terbitan Dâr ar Rayyân Li at Tutrâts-Kairo.
[2] Al Muntadzim,15/347.
[3] Tarikh Ibn Khaldûn,3/477.
_____________________________________


Segala hal ditempuh bagi kaum Wahhâbi/Salafy, khusunya bagi para sukarelawan dan Misionaris mereka dalam menegakkan akidah andalan mazhab menyimpang mereka! Demi meyakinkan kaum awam, dalil harus ditegakkan… Tidak ada Qur’an dan Sunnah shahihan, ucapan para pendata Yahudi dan/atau pendapat kaum Musyrik pun jadi! Demikian kira-kira semangat da’wah yang mereka usung!

Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya..

Termasuk di antara akidah nyeleneh lagi menyimpang kaum Wahhâbi/Salafy adalah keyakinan bahwa Allah itu bersemayam/duduk di atas Arsy-Nya….

Mereka memperkosa berbagai ayat Al Qur’an dan menelan mentah-mentah riwayat palsu beracun dan menjadikan ucapan belum pasti kebenaranya dari orang-orang yang mereka vonis kafir-musyrik yang telah menyimpang akidahnya dan keluar dari agama! Menjadikan semua itu sebagai pondasi keyakinan dan akidah sesat mereka!

He he he….mari kita buktikan hadis hadis yang dianggap sahih oleh Sunni karena ada dlm kitab Sahih Bukhori.

Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis hadis Israilliyat spt:
1. Adam diciptakan spt bentuk Allah.
2. Setan lari sambil kentut ktk mendengar suara adzan.
3. Nabi Sulaiman as mengancam akan membelah bayi yg diperebutkan dua ibu.
4. Allah menaruh kakinya di neraka.
5. Nabi Sulaiman as meniduri 70 wanita dlm semalam tp hanya melahirkan seorang bayi separuh manusia.
6. Nabi Muhammad saw membakar sarang semut karena gara2 digigit seekor semut.
7. Nabi Isa turun membunuh babi (apa salahnya babi ?).
8. Awan yg berbicara.
9. Sapi dan serigala berbicara bhs Arab.
10. Musa menampar malaikat.
11. Nabi Musa yg telanjang mengejar batu yg lari membawa bajunya, terlihat kemaluannya oleh Bani Israil.
12. Allah mencipta Adam pada hari Jumat sesudah Ashar.
13. Allah turun ke langit dunia.
14. Sungai Nil dan Efrat adalah sungai dari surga.
15. Tidak ada penyakit yg menular.
dll.

Dalam Sahih Bukhori hadis no. 3 umpamanya kita dpt baca peristiwa ketika Rasulullah menerima wahyu yg digambarkan spt orang yg ketakutan dan tdk mengenal siapa yg mendatanginya. Hadis ini driwiyatkan dari Aisyah. Ada keganjilan dlm hadis ini, baik dari sanad maupun matan :
1. Pada sanad riwayat disebutkan seorang bernama Al-Zuhri, Urwah bin Zubayr, dari Aisyah. Al-Zuhri adalah ulama penguasa yg berkhidmat kpd Hisyam bin Abd Malik. Ia sangat terkenal membenci Imam Ali.
2. Ketika peristiwa turunnya wahyu itu, Aisyah belum dilahirkan. Dlm riwayat ini seolah-olah Aisyah mendengar sendiri. Dalam ilmu hadis seharusnya ia mengatakan :’ Aku mendengar Rasulullah saw bersabda….dst.
3. Rasulullah digambarkan tdk faham dg pengalaman ruhani yg dia alami. Padahal beliau adalah Insan Kamil.

Hadis2 yg bertentangan dg pernyataan Al-Quran tentang ketinggian maqom Nabi saw a.l. :
1. Lupa rakaat salat
2. Mau salat lupa mandi janabah
3. Menonton sambil bermesraan di depan org banyak
4. Rasul kena sihir
5. Allah punya betis
6. Nabi berbicara tanpa ilmu
7. Nabi lupa ayat al-Quran
8. Buang air menghadap kiblat.

dan masih banyak lagi hadis2 yg bermasalah baik dari segi sanad maupun matannya. Hal itu menunjukkan bahwa banyak hadis2 palsu dalam kitab hadis yg di-klaim sahih spt dlm Bukhori dan Muslim.

Bayangkan saja seorang Nabi yg Allah dan para malaikat-Nya membaca salawat dlm Al-Quran,digambarkan oleh hadis2 Sunni spt itu !!


Engga usah kemana-mana dulu gimana tanggapan ente ttg hadis2 yg bermasalah yg merendahkan derajat Nabi dlm kitab “sahih: Bukhori ? Contoh yg terakhir adalah riwayat bahwa Nabi doyan jimak (bersetubuh). Bayangkan sehari semalam 9 istri digilir ! Ini kitab hadis soalnya sdh beredar ke seluruh dunia melalui internet. Siapa kalo bgt yg bikin malu ? Diriwayatkan dari Qatadah berkata bahwa Anas bin Malik pernah bercerita kepada kami bahwa Nabi saw pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu waktu sehari semalam dan jumlah mereka ada sebelas orang. Qatadah mengatakan,’Aku bertanya kepada Anas,’Seberapa kuat beliau saw?’ Dia menjawab,’Kami pernah memperbincangkannya bahwa kekuatan beliau saw sebanding dengan (kekuatan) tiga puluh orang.” Said berkata dari Qatadah,’Sesungguhnya Anas menceritakan kepada mereka bahwa jumlah isteri-isterinya saw adalah sembilan orang.” (HR. Bukhori).

Berbeda dg ulama Sunni yg secara tergesa-gesa mengklaim sahihnya semua hadis dalam kitab hadis Bukhori Muslim, para ulama Syi’ah tdk mengambil sikap yg berlebihan dg meyakini bahwa semua hadis dlm kitab Al-Kafi adalah sahih. Tetapi mereka juga tdk bisa menerima jika keterbatasan pemahaman manusia dijadikan tolok ukur dlm menilai kesahihan suatu hadis. Atau menilai kedudukan suatu hadis hanya dg mengandalkan aspek sanad semata.Jadi sanad bukan segala-galanya, tapi harus ditimbang dg Al-Quran dan logika yg sehat.

Dalam khazanah intelektual Ahlul Bait ada kaedah2 dan neraca untuk mengenal ciri hadis yg sahih yg dpt diterima sbg sabda Nabi saw atau sabda para Imam Ahlul Bait dan membedakannya dari ucapan palsu yg dinisbahkan kpd Nabi saw dan para Imam. Kaidah2 itu adalah sbb :
Pertama, menimbang hadis dengan al-Quran
Kedua, mengambil hadis yg bertentangan dg hadis para penguasa dan pendukungnya.


Sementara itu Sahih Bukhori yg temen ente klaim sahih sanadnya ternyata setelah diteliti hadis2nya sangat bermasalah baik dari segi sanad maupun matannya. Diatas ane sdh memberikan beberapa contoh hadis2 yg bermasalah. Dan ternyata dari sekitar 2000-an hadis yg ada dalam kitab ringkasan “Sahih” Bukhori jumlah hadis yg katanya berasal dari Imam Ali hanya sekitar 5 atau 6 hadis. Lainnya didominasi oleh Abu Hurairah, Aisyah dan Anas bin Malik.

He he…kok engga mudeng juga. Emangnya cuma ulama Sunni yg punya Mustolah Hadis/Rijal Hadis atau Jarh wa Ta’dil. Syi’ah juga punya mang. Cuma bedanya Sunni cukup puas atau berhenti pada titik Jarh wa Ta’dil, sedangkan Syi’ah terus berlanjut ke verifikasi berdasarkan tolok ukur Al-Quran. Bukti2 yg menunjukkan bahwa para ulama hadis Sunni cukup puas dg verifikasi sanad dlm hadis Bukhori yg digembar-gemborkan sahih, adalah sbb :

1. Nabi lupa rakaat salat. Hadis no. 471);

Dari Abu Huarirah ra, ia berkata: Rasulullah saw salat bersama kami akan salah satu salat Maghrib dan Isya. Beliau salat bersama kami dua rakaat kemudian salam. Beliau berdiri pada kayu yg melintang di masjid. Lalu beliau bertelekan padanya seolah-olah beliau marah, beliau meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, menjalinkan jari-jari dan meletakkan pipi kanan diatas bagian luar telapak tangan kiri beliau, dan keluarlah orang2 yang bersegera di pintu mesjid. Mereka berkata:’ Salatnya ringkas’. Di kalangan kaum itu ada Abu Bakar dan Umar takut untuk menyatakannya. Di kaum itu ada seorang laki2 yg kedua tangannya panjang bernama Dzul Yadain berkata :’Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa atau mengqashar salat ?’ Beliau bersabda:’Saya tdk lupa dan tdk pula salat itu diqashar.’ Ia bertanya:’Apakah sebagaimana yg dikatakan oleh Dzul Yadain ?’ Mereka menjawab:’Ya’. Maka beliau maju dan salat akan apa yg tertinggal, kemudian beliau salam, takbir dan sujud spt sujudnya, atau lebih lama. Kemudian beliau mengangkat kepala, takbir, kemudian takbir dan sujud spt sujudnya atau lebih lama. Kemudian beliau mengangkat kepala, takbir dan salam.

2. Mau salat lupa mandi janabah. (Hadis no. 176);

Abu Hurairah ra. menceritakan:”(Pada suatu ektika) orang telah qomat untuk salat. Saf telah diluruskan sambil berdiri. Rasulullah saw datang kpd kami. Setelah berdiri di tempatnya biasa salat, tiba2 ia ingat bahwa beliau junub. Beliau berkata kpd kami,”Tunggulah sebentar !” Sesudah mandi ia datang kembali kpd kami, sedangkan rambutnya masih basah. lalu beliau takbir dan salat bersama-sama dg kami”.

3. Nabi lupa ayat Al-Quran (Hadis no. 2532);

Dari Aisyah ra. Dia berkata:”Nabi saw mendengar seorang laki2 sedang membaca Al-Quran di masjid. Lalu beliau bersabda:”Semoga Allah merahmatinya. Dia telah mengingatkan aku akan ayat ini dan ayat ini dari surat ini yg hampir saja aku lupa.”

Bayangkan saja seorang Al-Mustafa (manusia pilihan), seorang kekasih Allah, seorang Sayidul Anbiya wal Mursalin, seorang yang akhlaknya Al-Quran atau yg disebut Al-Quran dg Khuluqil Adzim dan seorang Insan Kamil, dalam Sahih Bukhori ini digambarkan sbg orang pelupa yg biasa ada pada manusia biasa.

Perhatikan point 3. Walaupun hadis ini sangat pendek, tapi kandungan maknanya sangat membahayakan bangunan Islam, karena jika Rasulullah saw lupa akan ayat2 yg harus disampaikannya, lantas apa yg menjamin keaslian Al-Quran ? Jika hadis ini diterima, kita membuka peluang untuk meragukan otentitas Al-Quran !! Hadis ini bertentangan dg jaminan Allah, ‘Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran dan Kamilah yg menjaganya (QS Al-Hijr 9). ‘Kami akan membacakan Al-Quran kepadamu (Muhammad) sehingga kamu tidak akan (pernah) lupa (QS Al’Ala 6).
Bagaimana hadis2 spt bisa lolos ? Gawat….gawat….! Makanya engga cukup cuma pake kritik sanad (Mustholah Hadis dan Jarh wa’ ta’dil).

4. Rasul Allah kena sihir.(Hadis no. 3118);

Dari Aisyah ra, dia berkata:”Nabi saw disihir, shg terbayang oleh beliau bahwa beliau berbuat sesuatu padahal beliau tdk berbuat demikian itu, hingga pada suatu hari beliau berdoa dan berdoa dan di kemudian hari beliau beliau bersabda:”Adakah kamu (Aisyah) tahu bahwa Allah berfatwa (memenuhi doa) kepadaku mengenai kesembuhanku ? Telah datang kepadaku dua orang (malaikat Jibril dan Mikail, dlm mimpi).

Seorang (Jibril) dari keduanya duduk di kepalaku dan yg lain (Mikail) di kedua kakiku. Seorang (Mikail) dari keduanya berkata: kpd yg lain (Jibril):’Apakah sakitnya laki2 (Nabi) ini ?”
Dia (Jibril) menjawab:”Dia disihir.”
Dia (Mikail) bertanya:” Dan siapakah yg menyihirnya ?”
Dia (Jibril) menjawab:” Labid bin ‘Asham.”……..dst.

Pemikir Islam spt Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Ridha menolak riwayat ini. Yah bayangkan saja seorang nabi Musa saja mampu mengalahkan puluhan tukang sihir di hadapan umum. Apalagi seorang Sayyidul Anbiya wal Mursalin spt Nabi Muhammad saw ? Tapi aneh dlm kitab hadis Sunni spt dlm Buhkori dan Muslim ada kisah spt ini yg jelas2 menurunkan derajat nabi saw yg sangat tinggi di sisi Allah ?

Mau tambah lagi ? He he cukup 4 contoh dulu…..

Dlm kitab2 hadis Syi’ah engga ada tuh riwayat2 spt itu. Eh, pake bilang ulama Syi’ah engga pede segala. Tapi salut juga sama ente, kitab sahihnya banyak kemasukan riwayat2 yg maudhu, eh sempat2nya bisa bilang org lain engga pede.

Hua kakak…kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata terlihat.

Nih lihat riwayat tahrif Al-Quran dari kitab hadis Sunni :
1.”Dari Qabishah bin Uqbah yg berasal dari Ibrahim bin ‘Alqamah. Ia berkata kpd kami:”Saya bersama pengikut ‘Abdullah bin Ubay datang ke Syam. Abu Darda yg mendengar kedatangan kami segera datang dan bertanya:”Adakah diantara kalian yg membaca Al-Quran?”. Orang2 menunjuk kpd saya. Kemudian ia berkata :”Bacalah!” Maka sayapun membaca :”Wa layli idza yaghsya wan nahaari idza tajalla wa dzdzakaro wal untsa”. Mendengar demikian dia bertanya:”Apakah engkau mendengarnya dari mulut temanmu ‘Abdullah bin Ubay? Aku menjawab:”Ya”. Ia melanjutkan:”Saya mendengarnya dari mulut Nabi saw dan mereka menolak untuk menerimanya.” (Sahih Bukhori Kitab At-Tafsir bab Surah wal laily idza yakhsya).
Bacaan tsb kurang “ma kholaqo”.
2. Umar bin Khattab berkata:”Bila bukan karena orang akan mengatakan bahwa Umar menambah ayat kedalam Kitab Allah, akan kutulis ayat rajam dg tanganku sendiri.” (Sahih Bukhori, Bab Asy-Syahadah ‘indal Hakim fi wilayatil Qadha’).
Dg demikian Umar termasuk org yg meyakini adanya tahrif dan pengirangan dalam Al-Quran. Sebab ayat rajam yg dia yakini ada dalam Al-Quran, ternyata tidak ada !
3. Dari Khuzaifah yg berkata:”Saya pernah membaca Surah Ahzab pada masa Nabi saw dan tujuh puluh (70) ayat darinya saya sudah agak lupa dan saya tdk mendapatkannya di dalam Al-Quran yg ada sekarang.” ( Ad-Durrul Mansur, jilid 5, hal 180).
4. Dari Abdurrazaq yg berasal dari Tsauri dari Zirr bin Hubaisy yg berkata:”Ubay bin Ka’ab telah bertanya kpd saya:”Berapa jumlah ayat yg kalian baca dari Surah Al-Ahzab?” Saya menjawab:”Tujuh puluh tiga (73) atau tujuh puluh empat (74) ayat.” Dia bertanya:” Hanya sebanyak itu ?” Pada mulanya Surah tsb sama panjangnya dg Surah Al-Baqarah atau lebih. Dan di dalamnya terdapat Surah Rajam.” Saya bertanya:”Wahai Abu Mundzir, bagaimana bunyi Surah rajam itu ?” Dia menjawab:” Ayat tsb ialah :”..idza zanaya wasysyaihotu farjumu humal battatan nakalan minallah wallahu ‘azizun hakiim…”

Lah kalau ada ulama yg mengatakan kitab hadisnya sahih tapi ternyata banyak yg dhaif/maudhunya apa bukan penipu ?! Hi hi hi ente lucu deh. Soalnya ente kok bangga dg ulama spt itu.

Ajaran Islam dibangun di atas dua pilar utama; Al Qur’an dan Sunnah! Al Qur’an adalah qath’iul wurûd (sudah pasti dan terbukti datangnya dari sisi Allah SWT), kendati dalam dalâlah/petunjuknya bersifat dzanni (masih terbukanya beberapa penafsiran tentangnya). Sedangkan Sunnah Nabiwiyah kita terima dalam kualitas dzanniyah, yang rawan pemalsuan, kekeliruan dan penyelewengan. Sebagaimana dari sisi dalâlah-nya juga banyak yang bersifat dzanniyah.[1]

Berangkat dari kenyataan ini, adalah keharusan atas para ulama untuk menyeleksi dengan teliti semua riwayat yang memuat klaim Sunnah agar kita dapat menemukan Sunnah yang shahihah dari tumpukan riwayat-riwayat yang mengklaim memuat Sunnah!

Dan karena produk-produk palsu atas nama Sunnah Nabi saw. telah membanjiri ‘Pasar Hadis’ maka tidaklah heran jika banyak ‘Ahli Hadis’ yang tertipu dan kemudian menganggapnya sebagai Sunnah yang sedang mereka cari![2] Mereka mengoleksinya dalam kitab-kitab kebanggaan mereka dan generasi berikutnya menganggap produk palsu itu sebagai Sunnah Nabi Muhammad saw.; sumber kedua ajaran Islam yang murni! Kitab-kitab hadis yang diyakini penulisnya sebagai hanya memuat hadis-hadis shahih sekali pun ternyata tidak selamat dari rembesan hadis-hadis palsu atau hadis-hadis bermasalah!

Namun demikian sebagian pihak mengklaim dengan nada menantang bahwa apa yang dilakukan para Muhaddis Sunni telah mencapai puncak ketelitian dalam menyeleksi hadis-hadis, dan puncak dari usaha itu adalah dibukukannya enam kitab hadis Shahih, khususnya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim!

Dalam kesempatan ini saya tidak sedang meragukan “kerja ngotot” mereka dalam menyaring hadis, akan tetapi sekedar mempertanyakan sejauh mana kesuksesan usaha tersebut! Sebab pada kenyataannya masih terlalu banyak hadis bermasalah yang lolos seleksi dan masuk dalam kategori hadis sehat, sementara ia mengandung penyakit!

Mungkin hal itu diakibatkan oleh dahsyatnya produk-produk palsu yang diikemas dengan kemasan menarik dan menipu sehingga bukan hal mudah membedakannya dari Sunnah yang Shahihah! Atau diakibatkan ketidak akuratan alat seleksi yang mereka pergunakan! Atau karena sebab lain! Wallahu A’lam.

Hadis-hadis bermasalah itu menyebar hamper dalam semua bab dan tema agama, dari tema akidah, syari’at (fikih), akhlak, sejarah para nabi as., sejarah Nabi Muhammad saw. dll.

Di bawah ini saya berharap ada jawaban memuaskan dari mereka yang membanggakan hasil usaha slektif para Ahli Hadis Sunni, yang dianggapnya telah mencapai puncaknya! Berbeda dengan dunia hadis Syi’ah yang masih amboradul, serba tidak matang, tak mengenal liku-liku sanad riwayat dan rentang kepalsuan! Saya berharap teman-teman tersebut mmeberikan jawaban ilmiah tentang hadis-hadis bermasalah riwayat Bukhari dean Muslim atau salah satu dari keduanya di bawah ini. Dan sengaja saya batasi telaah saya pada dua kitab tershahih setelah Al Qur’an itu mengingat:

A) Kedua kitab tersebut adalah telah mendapat kepercayaan luas di kalangan tokoh-tokoh Ahlusunnah sebagai Ashahhu kutubi ba’da itabillah/kitab tershahih setelah Kitabullah!

B) Dengan melibatkan kitab-kitab hadis level dua dikhawatirkan akan makin mempermarah keadaan. Sebab dalam kitab-kitab tersebut terdapat banyak hadis yang mengerikan untuk diungkap, walaupun dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim juga banyak hadis yang tidak kalah bermasalahnya!
Postur Nabi Adam as. Sama dengan Postur Allah SWT!

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda:

حدثنا ‏ ‏يحيى بن جعفر ‏ ‏حدثنا ‏ ‏عبد الرزاق ‏ ‏عن ‏ ‏معمر ‏ ‏عن ‏ ‏همام ‏ ‏عن ‏ ‏أبي هريرة ‏
‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال ‏ ‏خلق الله ‏ ‏آدم ‏ ‏على صورته طوله ستون ذراعا فلما خلقه قال اذهب فسلم على أولئك النفر من الملائكة جلوس فاستمع ما يحيونك فإنها تحيتك وتحية ذريتك فقال السلام عليكم فقالوا السلام عليك ورحمة الله فزادوه ورحمة الله فكل من يدخل الجنة على صورة ‏ ‏آدم ‏ ‏فلم يزل الخلق ينقص بعد حتى الآن ‏[3]

“Allah menciptakan Adam atas bentuk/shûrah-Nya, panjangnya enam puluh hasta. Dan ketika Dia menciptakannya, Dia berfiman, ‘Pergilah dan ucapkan salam kepada para malaikat yang sedang duduk itu dan dengarkan jawaban mereka, karena ia adalah ucapan salammu dan salam keturunmu. Maka Adam mengucapkan: “Salam atas kalian.” Lalu mereka menjwab: “Salam dan rahmat Allah atasmu.” Para malaikat itu menambah kata rahmat Allah. Maka setiap orang yang masuk surga akan berpostur seperti Adam. Dan setelahnya ciptaan berkurang (mengecil) ukurannya sehingga seperti sekarang ini.”. (HR. Shahih Bukhari, Kitab al Isti’dân, Bab Bad’u as Salâm dan Shahih Muslim, Kitab al Jannah wa Shifatu Na’îmiha, Bab Yadkhulul Jannah Aqwâmun…)

Hadis di ataas dengan redaksi lain, dari Abu Hurairah dari Nabi saw. :
“Jika seorang dari kalian memukul saudaranya hendaknya ia menghindari memukul wajah, sebab sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas bentuk/shûrah-Nya.” (HR Shahih Muslim, Bab an Nahyu ‘An Dharbil Wajhi/larangan memukul wajah).


Ibnu Jakfari Berkata:
Maha suci Allah dari menyerupai makhluk-Nya!

Ada kekhawatiran bahwa Abu Hurairah menimba ucapan itu dari Guru Besar yang bernama Ka’ab al Ahbâr; seorang pendeta Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam dan kemudian menyebarkan ajaran yahudiyah di tengah-tengah kaum Muslimin dan sempat memikat kekaguman sebagian sahabat, seperti Abu Hurairah yang kemudian menjadi murid setia yang rajin menjajahkan kepalsuan bualannya!

Sebab bulalan palsu seperti itu termuat dengan kentalnya dalam Al Kitab; Penjanjian Lama, Kitab Kejadian:1:27:
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarann-Nya, menurut gambaran Allah diciptakan-Nya dia.”[4]

Dan pada Kitab Kejadian 5:1:
“Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah.”

Para penafsir Al Kitab kebingungan dalam mengahadapi ayat-ayat di atas, dan akhirnya mereka terpaksa mempelesetkan maknanya agar tidak memberi makna materistis bagi Dzat Allah. Mereka mengartikan bahwa yang dimaksud dengannya adalah bahwa Allah menciptakan manusia menyerupai Allah dalam kesucian/kekudusannya.[5]

Sepereti Anda ketahui bahwa tasfir yang dipilih dalam kamus tersebut adalah demi menghindar dari tajsîs/meyakini Allah berpostru seperti makhluk-Nya. Tetapi anehnya mereka yang mengadopsi tekas Al Kitab dan kemudian menamakannya sebagai sabda Nabi sauci Muhammad saw. letah melangkah lebih jauh dengan menutup semua pintu usaha untuk menakwilkannya dengan selain makna posturisasi Allah. Maha suci Allah dari pensifatan mereka, seperti yang dapat Anda saksikan dalam riwayat kedua yang saya sebutkan dari riwayat Imam Muslim!


Jika Tinggi Ada 60 Hasta, Berapa Lebar Badannya?

Saranya sah-saha saja jika ada yang usil dan ingin tahu berapa sebenarnya lebar badan Nabi Adam as. sebab beliau addalah ayah kita semua. Di sini al ‘Aini –pensyarah Shahih Bukhari- memberikan jawaban pasti bahwa lebar badan Adam; ayah umat manusia adalah tujuh hasta! Hanya tujuh hasta! Tidak lebih dan tidak kurang![6]


Edialkah prawakan seperti itu? Panjang 60 hasta, lebar 7 hasta!

Jika panjang/tinggi Adam itun 60 hasta itu mkeniscayakan tulang tengkoraknya sepanjang 2 hasta. Tapi anehnya sepanjang penemuan vosil dan kerangka manusia pra sejarah sekalipunn tidak pernah ditemukan tengkorak manusia seperti itu! Apa yang ditemukan para iilmuan tidak jauh beda besarnya dengan tengkorak manusia sekarang/modern. Tidak pula ternah ditemukan ada kerangka manusia setinggi 60 hasta!

Selain itu, jika benar apa yang dikatakan Abu Hurairah bahwa tinggi Adam as. adalah 60 hasta maka sermestinya tebal badannya mencapai 17,7 hasta. Sebab manusia normal, lebar badan mestinya adalah 2/7 dari tinggi badannya!

Jika benar bahwa lebar badan Adam as. itu 7 hasta maka semestinya tingginya adalah 24,5 hasta bukan 69 hasta!

Jadi di hadapan ucapan Abu Hurairah itu hanya ada dua plihan;

A) Abu Hurairah salah dalam memberikan gambaran postur Nabi Adam as.!

B) Adam as. memang diciptakan tidak Fi Ahsani taqwîm/sebaik-baik bentuk penciptaan. Postus Adam as. terlalu ramping, tidak serasi antara tinggi dan lebar!
Allah SWT Memamerkan Betis Indah-Nya

Di antara hadis-hadis Shahih Bukhari dan Muslim terkait dengan masalah tauhid dan sifat Allah SWT yang perlu mendapat sorotan adalah hadis yang mengatakan bahwa: “Kelak di hari kiamat ketika para pengyembah selain Allah telah dipertemukan dengan sesembahan mereka…. Sehingga setelah selesai dan tidak tersisa melainkan mereka yang menyembah Allah; baik yang shaleh maupun yang durja. Datanglah Allah Rabbul ‘Alâmin daalam tampilan lain yang lebih rendah dari tampilan yang pernah mereka kenal di dunia dahulu, lalu Allah berfirman kepada mereka, “Apa yang kalian nanti? Semua telah mengikuti sesembahan yang dahulu mereka sembah.” Maka mereka menjawab, “Orang-orang telah meninggalkan kami di dunia di saat kami sangat membutuhkan mereka, kami tidak menemani mereka. Kami sedang menanti Tuhan yang dahulu kami sembah.” Lalu Allah berfirman, “Aku-lah Tuhan kalian.” Maka mereka berkata, ‘Kami tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Dua atau tiga kali mereka ucapkan.

Dalam riwayat lain: “Maka datanglah Dzat Yang Maha Perkasa dalam bentuk selain bentuk yang dahulu mereka saksikan pertama kali, lalu Dia berkata, “Aku-lah Tuhan kalian.” Maka mereka berkata, “Engkau Tuhan kami?”…

Dalam riwayat lain, mereka berkata menolak, “Kami berlindung darimu!.”

Maka Allah berfiman, “Adakah tanda antara kalian dan Dia dengannya kalian mengenal-Nya?” Mereka berkata, “Ya, ada. Betis.” Maka Allah menyingkap betis-Nya. Maka bersujudlah semua orang Mukmin, adapun orang yang dahulu menyembah-Nya karena riya’ dan mencari pamor tidak bias bersujud, setiap kali mereka hendak bersujud punggung mereka menajdi seperti papan dan mereka tertelungkup… “

(Shahih Bukhari, Kitab at Tauhid, Bab Qaulullah –Ta’ala- Wujûhun Yaumaidzin Nâdzirah, hadsi no.7439 dan beberapa tempat lainnya di antaranya: Kitab at Tafsîr, Bab Qaulihi Innallaha Lâ Yadzlimu Mitsqâla Dzarratin, hadis no.4581 dan baca juga Shahih Muslim Bab Ma’rifah Tharîq ar Ru’yah).

Di antara redaksri riwayat Bukhari adalah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا ‏ ‏يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏زَيْدٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ‏ ‏قَالَ :‏قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ ‏ ‏هَلْ تُضَارُونَ فِي رُؤْيَةِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ إِذَا كَانَتْ صَحْوًا قُلْنَا لَا قَالَ فَإِنَّكُمْ لَا تُضَارُونَ فِي رُؤْيَةِ رَبِّكُمْ يَوْمَئِذٍ إِلَّا كَمَا تُضَارُونَ فِي رُؤْيَتِهِمَا ثُمَّ قَالَ يُنَادِي مُنَادٍ لِيَذْهَبْ كُلُّ قَوْمٍ إِلَى مَا كَانُوا يَعْبُدُونَ فَيَذْهَبُ أَصْحَابُ الصَّلِيبِ مَعَ صَلِيبِهِمْ وَأَصْحَابُ الْأَوْثَانِ مَعَ أَوْثَانِهِمْ وَأَصْحَابُ كُلِّ آلِهَةٍ مَعَ آلِهَتِهِمْ حَتَّى يَبْقَى مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ مِنْ بَرٍّ أَوْ فَاجِرٍ وَغُبَّرَاتٌ مِنْ ‏ ‏أَهْلِ الْكِتَابِ ‏ ‏ثُمَّ يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ تُعْرَضُ كَأَنَّهَا سَرَابٌ فَيُقَالُ ‏ ‏لِلْيَهُودِ ‏ ‏مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ قَالُوا كُنَّا نَعْبُدُ ‏ ‏عُزَيْرَ ‏ ‏ابْنَ اللَّهِ فَيُقَالُ كَذَبْتُمْ لَمْ يَكُنْ لِلَّهِ صَاحِبَةٌ وَلَا وَلَدٌ فَمَا تُرِيدُونَ قَالُوا نُرِيدُ أَنْ تَسْقِيَنَا فَيُقَالُ اشْرَبُوا فَيَتَسَاقَطُونَ فِي جَهَنَّمَ ثُمَّ يُقَالُ ‏ ‏لِلنَّصَارَى ‏ ‏مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ فَيَقُولُونَ كُنَّا نَعْبُدُ ‏ ‏الْمَسِيحَ ‏ ‏ابْنَ اللَّهِ فَيُقَالُ كَذَبْتُمْ لَمْ يَكُنْ لِلَّهِ صَاحِبَةٌ وَلَا وَلَدٌ فَمَا تُرِيدُونَ فَيَقُولُونَ نُرِيدُ أَنْ تَسْقِيَنَا فَيُقَالُ اشْرَبُوا فَيَتَسَاقَطُونَ فِي جَهَنَّمَ حَتَّى يَبْقَى مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ مِنْ بَرٍّ أَوْ فَاجِرٍ فَيُقَالُ لَهُمْ مَا يَحْبِسُكُمْ وَقَدْ ذَهَبَ النَّاسُ فَيَقُولُونَ فَارَقْنَاهُمْ وَنَحْنُ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَيْهِ الْيَوْمَ وَإِنَّا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِيَلْحَقْ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ وَإِنَّمَا نَنْتَظِرُ رَبَّنَا قَالَ فَيَأْتِيهِمْ الْجَبَّارُ فِي صُورَةٍ غَيْرِ صُورَتِهِ الَّتِي رَأَوْهُ فِيهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ فَيَقُولُ أَنَا رَبُّكُمْ فَيَقُولُونَ أَنْتَ رَبُّنَا فَلَا يُكَلِّمُهُ إِلَّا الْأَنْبِيَاءُ فَيَقُولُ هَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ آيَةٌ تَعْرِفُونَهُ فَيَقُولُونَ السَّاقُ فَيَكْشِفُ عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَيَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ لِلَّهِ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَيَذْهَبُ كَيْمَا يَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ ‏ ‏طَبَقًا ‏ ‏وَاحِدًا ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجَسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ ……

*****

Dalam riwayat-riwayat tersebut dikatakan bahwa (1) Umat manusia kelak di hari kiamat akan melihat Allah dengan mata telanjang! Sebagiamana sebelumnya nmereka juga pernah melihat-Nya hanya saja dalam tampilan dan bentuk lain yang berbeda dengan bentuk di hari kiamat. Dan hal itu tentunya meniscayakan adanya cahaya yang menyambung antara mata dan Dzat Allah! (2) Memandang Allah SWT drngan mata telanjang ternyata tidak terbatas hanya bagi kaum Mukminin saja, akan tetapi Allah juga akan dilihat oleh kaum munafikin! (3) Allah memiliki bentuk yang terdiri dari bagian-bagian dan berlaku padanya apa yang berlaku atas meteri seperti berpindah tempat, bergerak dan menempati ruang, serta akan tampil untuk di permukaan dan diliaht mata telanjang! (4) Allah tampil daalam rupa dan bentuk yang bermacam-macam. (5) Dan ketika Allah tampil di hari kiamat dalam bentuk dan rupa lain yang tidak mereka kelal sebelumnya, maka mereka meminta agar Allah menampakkan tanda pengenal yaitu betis! Akhirnya Allah menyingkap betis-Nya dan mereka pun mengenali-Nya lalu merreka bersujud!

Itu artinya, andai Allah tidak memperkenalkan jati diri-Nya dengan menyingkap betis-Nya pastilah kaum Mukminin di hari kiamat itu tidak akan mengenal-Nya. Maha suci Allah dari menyerupai makhluk-Nya!


Betis Allah!

Masalah penetapan adanya betis Allah SWT. yang Allah singkap itu terkait dengan ayat 42 surah Nûn, karena itu, Bukhari menyebutkan hadis ini pada tafsir surah Nûn Bab Yauma Yuksyafu ‘An Sâqin, sebagai tafsir dari ayat tersebut! Oleh sebab itu kami akan menelaah maksud ayat tersebut walau secara ringkas.

يَكِْشِفُ رَبُّنا عن ساقٍ….

“Pada hari betis disngkapkan…. “

Ayat tersebut dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang kedahsyatan kejadian di hari kiamat. Kaum kafir diminta untuk mendatangkan sesembahan mereka untuk menolong dan menyelamatkan mereka! Kapan? “Pada hari betis disngkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa.” Yang dimaksud dengan betis disingkapkan adalah menggambarkan keadaan yang sedang ketakutan dan kedahsyatan yang sangat!

Tafsir ini telah dinukil dari para pembesa Salaf, seperti Ibnu Abbas, hasan al Basrhi, Mujahid, Qatadah dan Sa’id ibn Jubair. Baca ketarangan mereka dalam: Fathu al Bâri,18/307.

Akan tetapi, Bukhari memaknai kata sâqin dengan arti betis dan dikaitan dengan Dzat Allah SWT.; betis Allah!!

Dan akibat menerima tanpa seleksi hadis Bukhari di atas, sebagian orang berkeyakinan bahwa Allah SWT punya betis yang kelak pada hari kiamat akan disingkap sebagai tanda pengenal kepada kaum Mukminin!!

Mengepa terjadi penyelewengan dalam memahami makna ayat di atas? Jawabnya jelas! Karena Bukhari; Imam Ahli Hadis telah meriwayatkannya demikian!

Sementara salah satu pangkal kesalahan itu terletak pada adanya kesalahan pada penukilan teks sebenarnya! Imam Bukhari meriwayatkannya dengan redaksi demikian:

يَكِْشِفُ رَبُّنا عن ساقِهِ….

“Tuhan kami menyingkap betis-Nya, maka bersujudlah semua orang mukmin dan mukminah….” (HR. Bukari, Kitab at Tafsîr, Bab Yauma Yuksyafu ‘An Sâqin, hadis no.4919)

Sepertinya terjadi kesalahan dalam redaksi itu yang kemudian menyebabkan kekacauan akidah tentang sifat Allah SWT.

Coba Anda perhatikan redaksi dalam ayat Al Qur’an di atas! Ia hanya menyebutkan kata: ساقٍdan dalam bentuk nakirah. Ia berkata, “Pada hari betis disngkapkan.” Tidak ada sebutan bahwa Allah menyingkap betis-Nya, sehingga ia sama sekali tidak terkait dengan sifat Allah! Akan tetapi, ketika kita memerhatikan riwayat Bukhari kita temukan bahwa Allah yang menyingkap betis-Nya! Betis Allah!!

Karenanya salah seorang tokoh agung Ahli Hadis Sunni bernama Isma’ili menegaskan bahwa pada redaksi riwayat Bukhari di atas terjadi kesalahan! Yang shahih adalah tanpa kata ganti orang ketiga: هِ pada kata: ساقِهِ, sebab redaksi terakhir ini sesuai dengan redaksi Al Qur’an. Dan tidak lah terbayangtkan bahwa Allah punya organ badan sebab yang demikian itu menyerupkan-Nya dengan makhluk-Nya, sementara Allah tidak menyerupai makhlu-Nya! Demikian ditegaskan al Isma’ili.[7]

Jadi dalam hemat al Isma’ili, Bukhari salah dalam menukil atau meriwayatkan redaksi hadis yang salah!

Akankah para ulama Sunni lainnya berbesar hati seperti al Isma’il?


Penutup:

Selain dua contoh kasus di atas, masih banyak lainnya! Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kapada saya untuk membeberkan kasud-kasus lainnya dalam kesempatan mendatang. Amîn.

Dan semoga kenyataan ini menjadi bahan renungan bagi para pecinta Sunnah Nabi saw. dan kami menanti sikap ilmiah (bukan ocehan kosong) dari para pemerhati!

Dan jika kitab tershahih Ahlusunnah sedemikian rentangnya dari kepalsuan, maka apa bayakan kita terhadap kitab-kitab hadis lainnya yang dari sisi kualitas jauh di bawah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim?!


Catatan Kaki:

[1] Tentunya tidak menutup kenyataan bahwa di antara ayat-ayat Al Qur’an ada yang qathi petunjuknya sebagaimana di antara Sunnah ada yang qathi juga wurûd-nya.
[2] Qadhi Abu Bakar ibn al Arabi meriwayatkan dalam syarahh at Turmudzi dari Ibnu Hubâb bahwa Malik telah meriwayatkan seratus ribu hadis. Ia menghimpunnya dalam Muwaththa’ sebanyaak sepuluh ribu, kemudian ia terus-menerus menyocokkannya dengan Al Qur’an dan Sunnah dan menguji kualitasnya dengan atsâr dan akhbâr, sehingga ia kembali (hanya menerima) lima ratus hadis saja.”
[3] http://hadith.al-islam.com/Display/Display.asp?Doc=0&Rec=9299.
[4] Al Kitab,diterbitankan OLEH LEMBAGA AL KITAB INDONESIA – JAKARTA 1985.
[5] Baca Kamus al Kitab al Muqaddas, pada kata Adam.
[6] ‘Umdah al Qâri,22/229.
[7] Baca Fathu al Bâri,18/308.
______________________________________


Tuhan Salafi Jelas Berbentuk!

Jika dikatakan bahwa kalian wahai orang=orang Salafi/Wahabi adalah Mujassimah! Kalian marah, dan menepisnya dengan mengatakan bahwa kami adalah pengikut Salaf Shaleh! Kami memurnikan Tauhid! Kami Mensifati Allah SWT dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya sifati Diri-Nya!!

Akan tetapi semua akidah kalian tentang ketuhanan dengan terang menunjukkan bahwa Tuhyan kalian itu berbentuk, berfisik, terdiri dari beberapa angoota seperti tangan, betis, wajah, mata, telinga… sebagaimana kalian juga mensifatinya dengan sifat makhluk_nya seperti berlari-lari kecil, naik dan turun.. bersemayam di attas Arsy yang dipikul delapan ekor kambing hutan yang kalian artikan malaikat berbentuk kambing jantan… dan lain sebagainya dari akidaah menyimpang dan kental dengan tajsim!

Kini, kalian mensifati Tuhan kalian dengan bertambah berat bobot tubuh-Nya apabila ia murka… entah apa relevansinya antara murka dengan bertambah boot badan? Apa karena “ngeden” (dalam bahasa jawa negeden pasti Anda mengerti maknanya)…. ? Atau karena sebab lain?

Yang pasti demikian akidah kalian!!

Ini buktinya!!

Perhatikan baik-baik!



Nabi ditanya, “Apakah Arsy bertambah berat atas para pemikulnya.”

Maka beliau menjawab: “Ya, benar. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran… “


Catatan kaki:

Hadis itu diriwayatkan Ibnu Asakir secara lengkap: “Nabi menjawab: “Ya, benar, demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran. Mereka berkata, ‘Kapan ia menjadi berat?

Nabi menjawab, “Jika kaum musyrikun bengkit kepada kemusyrikan mereka maka murka Allah azza wa Jalla menjadi keras, dan Arsy menjadi berat atas para pemangulnya sehingga ada seorang yang sadar akan: ‘Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya’, maka redahkan murka Allah Azza wa Jalla dan menjadi ringanlah Arsy atas para pemikulnya. dan mereka pun mendoakan, ‘Ya Allah ampunilah si pengucap kalimat itu,’” (Tarikh Damasqus,19/362 dan Tahdzib at Tahdzib,7/221)


Akidah Ahmad ibn Hanbal:



Terjemah:

“Dan sesungguhnya ar Rahman (Allah) membuat barat atas para pemikul Arsy sejak awal siang… “

Subhanallah, Maha Suci Allah dari pensifatan kaum penyimpang!

Apakah kalian setuju dengan akidah seperti ini?
______________________________________

Kesimpulan :

Ulama Sunni Menipu Umat !!!!!!!!!!!!!!!!!!

Syi’ah menolak ajaran Abu Hasan Al Asy’ari yang menyatakan Allah berada di arsy, menolak ajaran bahwa Allah punya tangan – wajah – mata yang zhahir…

Syi’ah menolak paham Allah bersemayam di langit di arsy secara zahir…
(Syiah-Ali/Jakfari/Abu-Salafy/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: