Pesan Rahbar

Home » , , , , , » Dedengkot Wahabi Akun Nabil Al-Haddad Menyatakan: Syi'ah tidak beda dengan pelacuran yg di monopoli kaum yahudi, Ahlus sunnah Menyatakan Shahih Riwayat Syi’ah : Pengakuan Keislaman Ahlus Sunnah

Dedengkot Wahabi Akun Nabil Al-Haddad Menyatakan: Syi'ah tidak beda dengan pelacuran yg di monopoli kaum yahudi, Ahlus sunnah Menyatakan Shahih Riwayat Syi’ah : Pengakuan Keislaman Ahlus Sunnah

Written By Unknown on Saturday, 6 September 2014 | 00:04:00

Perhatikan disini Wahabi sampah disini:

Syi'ah tidak beda dengan pelacuran.yg di monopoli kaum yahudi.


Sumber: https://www.facebook.com/groups/ahlulbaitnabisaw/257893731001503/?ref=notif&notif_t=group_comment_reply

Inilah Jawaban Syiah AHLUL BAIT NABI SAW sebagai Berikut:

Fakta Sunni dan Wahabi banyak dustanya.

Ahlus Sunnah Mengambil Hadis Dari Pengikut  Saba’iyyah?

Tulisan ini tidak usah dianggap serius, hanya sekedar selingan untuk menyentil akal para nashibiy yang sudah keracunan Abdullah bin Saba’. Nashibiy tidak henti-hentinya menuduh bahwa Syi’ah adalah pengikut ‘Abdullah bin Saba’ tetapi mereka tidak menyadari bahwa dalam kitab hadis Ahlus Sunnah [yang entah menjadi pegangan mereka atau tidak] juga terdapat perawi hadis yang ternyata dikatakan sebagai pengikut Saba’iyyah.

Menurut sebagian ulama ahlus sunnah, Saba’iyyah adalah penisbatan terhadap kaum atau kelompok yang mengikuti Abdullah bin Saba’. Tidak usah berpanjang lebar berikut nukilan dari Al Jauzjaniy dalam salah satu kitab-nya,

ثم السبئية غلت في الكفر فزعمت أن علياً إلهاً حتى حرقهم بالنار إنكاراً عليهم

Kemudian As Saba’iyyah ghuluw dalam kekufuran, mereka menganggap Aliy sebagai Tuhan  sehingga [Aliy] membakar mereka dengan api sebagai pengingkaran terhadap mereka [Ahwal Ar Rijaal Abu Ishaaq Al Jauzjaaniy hal 37].

Kami tidak perlu meneliti nukilan ini karena para nashibi sangat mempercayainya dan berhujjah dengan nukilan ini untuk merendahkan Syi’ah. Bahkan Asy Sya’biy pernah berkata tentang As Saba’iyyah,

فلم أر قوما أحمق من هذه السبئية

Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih tolol dari kelompok Saba’iyyah ini [Al Kamil Ibnu Adiy 6/116].

Jadi menurut anggapan para nashibi tersebut pengikut Saba’iyyah tergolong orang yang tolol dan ghuluw dalam kekufuran. Kemudian perhatikan apa yang ditulis Bukhariy berikut:

عبد الله بن محمد ابن الحنفية ومحمد هو ابن على بن ابى طالب الهاشمي أبو هاشم اخو الحسن، سمع اباه، يعد في اهل المدينة، قال عبد الله بن محمد عن ابن عيينة حدثنا الزهري كان الحسن اوثقهما في انفسنا وكان عبد الله يتبع السبائية

‘Abdullah bin Muhammad Ibnu Al Hanafiah -dan Muhammad ia putra Aliy bin Abi Thalib Al Haasyimiy- Abu Haasyim saudara Hasan, mendengar dari Ayahnya termasuk penduduk Madiinah, Abdullah bin Muhammad berkata dari Ibnu Uyainah yang berkata telah menceritakan kepada kami Az Zuhriy yang berkata Al Hasan yang paling tsiqat diantara keduanya bagi diri kami dan Abdullah ia mengikuti As Saba’iyyah [Tarikh Al Kabir Al Bukhariy 5/187].

Sanad riwayat Bukhari kedudukannya shahih, para perawinya tsiqat termasuk Az Zuhriy dan dia adalah murid Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah,
  1. Abdullah bin Muhammad, gurunya Bukhariy adalah Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far Al Ju’fiy seorang yang tsiqat hafizh [At Taqrib Ibnu Hajar 1/321].
  2. Sufyan bin Uyainah adalah seorang imam tsiqat, termasuk sahabat Az Zuhriy yang paling tsabit dan ia lebih alim dalam riwayat ‘Amru bin Diinar daripada Syu’bah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 1/35].
  3. Az Zuhriy adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihaab Az Zuhriy seorang faqih hafizh disepakati kebesaran dan keitqanannya termasuk pemimpin thabaqat keempat [At Taqrib Ibnu Hajar 1/506].
Faktanya Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah atau Abdullah bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib adalah perawi hadis kutubus sittah [Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah], sebagaimana telah ditegaskan oleh Ibnu Hajar dalam At Taqrib [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/321].

Bukankah Saba’iyyah itu kelompok orang-orang tolol dan ghuluw dalam kekufuran lantas mengapa Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah diambil hadisnya dalam kutubus sittah?. Kalau ada yang berdalih hadisnya hanya sebagai mutaba’ah dan ia dikuatkan oleh saudaranya Hasan bin Muhammad Al Hanafiah, maka itupun tetap bermasalah. Untuk apa mengambil hadis sebagai mutaba’ah perawi yang tolol dan ghuluw dalam kekufuran.

Dan masalah utamanya adalah Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah ini telah ditsiqatkan oleh para ulama ahlus sunnah seperti:
  1. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat sedikit hadisnya” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 7/322].
  2. Al Ijliy mengatakan bahwa Abdullah bin Muhammad tsiqat dan dia seorang syi’ah [Ma’rifat Ats Tsiqat 2/58].
  3. An Nasa’iy berkata bahwa Abdullah bin Muhammad tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar 5/612].
  4. Ibnu Hibban memasukkan Abdullah bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 7/2].
  5. Adz Dzahabiy menyatakan ia tsiqat dalam Al Miizan [Miizan Al I’tidal Adz Dzahabiy 2/483 no 4533].
Jika dikatakan mereka yang menyatakan tsiqat kepada Abdullah bin Muhammad tidak mengetahui bahwa ia pengikut As Saba’iyyah maka inipun keliru, Ibnu Hajar dalam At Tahdzib telah menukil riwayat dari Az Zuhriy kalau ia pengikut Saba’iyyah tetapi dalam At Taqrib ia tetap menyatakan tsiqat. Dan Az Zuhriy sebagai muridnya yang mengakui kalau ia pengikut Saba’iyyah tetap meriwayatkan hadis Abdullah bersama saudaranya Hasan sebagaimana dapat dilihat dalam kitab hadis diantaranya Shahih Bukhariy.

Mungkin dalam pandangan mereka menjadi pengikut As Saba’iyyah tidak menjatuhkan kredibilitas Abdullah bin Muhammad, ia tetap seorang yang tsiqat. Sebagaimana banyak perawi hadis yang ternyata khawarij, nashibi, rafidhah, murji’ah, qadariyah dan sebagainya yang dianggap sebagai firqah sesat tetapi tetap diambil hadisnya jika mereka termasuk orang-orang tsiqat. Hal ini juga ditemukan dalam kitab hadis Syi’ah yaitu perawi yang dikenal bermazhab menyimpang seperti waqifiy, fathhiy tetap diambil hadisnya jika yang bersangkutan memang tsiqat.

Tetapi masalah-nya firqah-firqah sesat di sisi Ahlus Sunnah seperti khawarij, nashibi, rafidhah, murjiah dan firqah sesat di sisi Syi’ah seperti waqifiy dan fathahiy, semuanya tetap menyembah Allah SWT, tidak ada yang dikatakan menuhankan Imam Aliy seperti apa yang dinisbatkan pada As Saba’iyyah.

Atau akan ada dalih bahwa As Saba’iyyah disana bukan bermakna sebagai pengikut Abdullah bin Saba’ yang menuhankan Imam Aliy. Kalau begitu ada berapa macam makna As Saba’iyyah dan Abdullah bin Muhammad ini termasuk As Saba’iyyah jenis yang mana?. Akhir kata seperti yang kami katakan tulisan ini cuma sekedar selingan dan kalau dipikirkan dengan serius hanya menimbulkan kebingungan saja.

Syi’ah Agama Para Binatang Penganut Seks : Kedustaan Terhadap Syi’ah.

Tulisan ini akan menunjukkan kepada para pembaca betapa kebencian dan kebodohan bisa menjadi racun yang mematikan akal seorang muslim sehingga melahirkan berbagai kedustaan dan kemungkaran. Itulah yang terjadi pada penulis situs yang menyedihkan dimana ia menulis kedustaannya terhadap Syi’ah. Ia mengatakan bahwa Syi’ah adalah agama para binatang penganut seks.
 
Perhatikan Disini Website Dedengkot Wahabi Sebagai Berikut:
______________________________

Agama Para Binatang "Penganut Seks" 


Maka muncul pertanyaan besar, siapakah mereka ?? Maka jawabannya adalah para penganut “Agama Syiah”. Mengapa mereka disamakan dengan para binatang ?? Jawabannya karena mereka sendiri yang mengikuti tindak-tanduk para binatang. Apa kesamaan mereka dengan para binatang ?? Kesamaannya adalah:

1- Syiah menjadikan ibu sendiri sebuah objek pelampiasan syahwat. Lihatlah perkataan ulama besar mereka “Al Hadi Al Madrasi”:
يجوز للإبن أن يعاشر والدته إن كانت ارملة كي لاتهجر هم و تتركهم للبحث عن من يسد شهوتها
“Diperbolehkan bagi anak untuk menggauli ibunya jika dia seorang janda. Agar ibunya tidak meninggalkan anak-anaknya untuk mencari orang lain yang memenuhi syahwatnya” Manar Al Ilm 4/386
Lihat kebinatangan syiah yang menjadikan ibunya sebuah objek seks anaknya.
2- Syiah menjadikan anak sendiri sebuah objek pelampiasan syahwat. Disebutkan dalam kitab “Wasail Asy Syiah” bolehnya seorang bapak menghisap-hisap (mengecup) lidah istrinya dan anak perempuannya tatkala puasa:
عن أبي ولاد الحناط قال : قلت لابي عبدالله ( عليه السلام ) : إني اقبل بنتا لي صغيرة وأنا صائم فيدخل في جوفي من ريقها شيء ؟ قال : فقال لي : لا بأس ليس عليك شيء
Dari Abi Walad Al Hanath dia berkata:  Aku berkata kepada Abi Abdillah alaihissalam: “Sesungguhnya aku mencium anak kecilku dan aku sedang puasa, maka masuklah sesuatu dari ludahnya kedalam kerongkongnku? Maka Abu Abdillah berkata: Tidak mengapa, engkau tidak diwajibkan sesuatupun” Wasa’il Asy Syiah 249/5
Lihat bagaimana kebinatangan syiah yang melakukan seks terhadap anaknya dan hal teersebut dilakukan tatkala puasa. Benar-benar syiah adalah agama binatang.
3- Bukan hanya mencium-ciumnya bahkan para syiah memperbolehkan untuk menggesek-gesekkan dzakar diantara kedua anak perempuan yang masih kecil. Khumaini berkata:
وأما سائر الاستمتاعات كاللمس بشهوة والضم والتفخيذ فلا بأس بها حتى في الرضيعة

“Adapun segala cara untuk mencari kenikmatan seperti menyentuh-nyentuh dengan syahwat, dan memeluk, serta menggesek-gesek kemaluan ke paha maka tidak mengapa walaupun yang menjadi objek adalah seorang bayi berkelamin wanita yang masih menyusui”.
Lengkaplah sudah kebinatangan syiah dalam mengikuti seks para binatang.

PenulisMuhammad Abdurrahman Al Amiry

Artikel
alamiry.net (Kajian Al Amiry)


Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.


Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry
____________________________________
Berikut bukti yang ia tampilkan dan pembahasannya secara objektif.

Bukti Pertama:
Penulis itu berkata Syi’ah menjadikan Ibu sendiri sebagai objek pelampiasan syahwat. Ia membawakan nukilan berikut yang katanya dari ulama Syi’ah Hadiy Al Mudarrisiy dalam kitab Manar Al Ilm 4/386;

يجوز للإبن أن يعاشر والدته إن كانت ارملة كي لاتهجر هم و تتركهم للبحث عن من يسد شهوتها

Dibolehkan bagi anak menggauli Ibunya jika dia seorang janda agar Ibunya tidak berpisah dengan mereka dan tidak meninggalkan mereka untuk mencari orang lain yang memenuhi syahwatnya.

Seorang yang objektif akan menganalisis informasi secara ilmiah. Ia akan bertanya apakah nukilan tersebut benar atau autentik. Pertanyaan pertama yang patut diajukan adalah darimana penulis tersebut menukil pernyataan ulama tersebut, apakah dari kitab aslinya atau dari orang lain yang tidak jelas juntrungannya.
Kami menelusuri situs-situs Syi’ah yang memuat berbagai kitab para ulama dan kami tidak menemukan adanya kitab Manar Al Ilm karya Hadiy Al Mudarrisiy. Tentu saja kami juga tidak bisa memastikan bahwa kitab tersebut memang benar-benar tidak ada. Apakah sesuatu yang belum anda temukan bisa anda katakan secara pasti bahwa itu tidak ada?.

Silakan penulis dusta tersebut menyebutkan darimana ia mengambil nukilan tersebut. Kalau memang ia membaca kitab aslinya maka silakan ia bawakan scan kitab aslinya, kalau ia membaca dari situs Syi’ah maka silakan ia menyebutkan situsnya, kalau ia menukil dari ulama ahlus sunnah maka silakan ia menyebutkan nama ulama tersebut beserta kitabnya, dan kalau ia menukil dari situs ahlus sunnah maka silakan ia menyebutkan situsnya.

Mengapa saya berkata demikian?. Karena terdapat qarinah kuat bahwa nukilan tersebut hanyalah dusta. Nukilan tersebut kami temukan dalam akun twitter seseorang yang menyebut dirinya Muhsin Alu ‘Ushfur, dan banyak sekali situs yang menampilkan nukilan tersebut merujuk pada akun twitter yang dimaksud. Inilah yang tertulis di akun twitter yang mengaku sebagai Muhsin Alu ‘Ushfur [kami nukil dari akun facebook seseorang yang menampilkan twitter yg dimaksud] (Akun Kelompok Radikal ISIS)
_____________________________

FATWA JIHAD NIKAH (baca: zina mut'ah) HANYA ADA DALAM AGAMA KAFIR SYI'AH !!.


FATWA JIHAD NIKAH (baca: zina mut'ah) HANYA ADA DALAM AGAMA KAFIR SYI'AH !!
Wahai kaum muslimin syi'ah masuk ke Indonesia tidak membuat kalian khawatir ? wahai para suami jika istri kalian selingkuh dan ditunggangi lelaki lain selain dirimu apakah kalian tidak cemburu ??!!
Fatwa Gila Pendeta Syi'ah Muhsin Alu 'Usfur marja' syi'ah dari Bahrain, berkicau dalam akun twitternya (di bawah ini terjemahannya :

"Diperbolehkan bagi seorang wanitayang sudah menikah untuk bertamattu’ (bersenang-senang dalam hubungan sex) dengan lelaki lain tanpa seizin suaminya. Dan dalam perkara ini andai ada izin suaminya sungguh pahala yang didapatkan lebih sedikit, adapun syarat wajib niat itu sesungguhnya cukup ikhlas karena wajah Allah."

(Fatawa 12/432)

Lalu Akun wanita Syi’ah bernama Yaa Husain bertanya :

Wahai sayyid kami al Fadhil apakah bertamattu’ (bersenang-senang dalam hubungan sex) dengan kemaluanku dengan niat shadaqah jariyah akan dihitung bagiku sebagai shadaqah jariyah ?
wa lakum jazilus syukri.

Lalu Muhsin Alu ‘Ushfur menjawab :

Bahkan akan memasukkanmu ke surga, Dan jihadmu dengan kemaluanmu sama saja dengan jihadnya para tentara kita (syi’ah) di Syam (suriah), Wafaqakillahu wa taqabbalallahu minki shalihal a’mal (semoga Allah menyetujuimu dan semoga Allah menerima sebaik-baik amalan darimu).

siapa ingin melihat sepak terjangnya ditwitter maka ini twitternya :

https://twitter.com/ShMohsnAlAsfor
______________________________

كما ذكر المرجع هادي المدرسي في كتابه منار العلم ( ٣٨٦/٤) يجوز للأبن أن يعاشر والدته ان كانت ارملة كي لاتهجرهم وتتركهم للبحث عن من يسد شهوتها

Sebagaimana yang disebutkan oleh Marja’ Hadiy Al Mudarrisiy dalam kitabnya Manaar Al Ilm 4/386 Dibolehkan bagi anak menggauli Ibunya jika dia seorang janda agar Ibunya tidak berpisah dengan mereka dan tidak meninggalkan mereka untuk mencari orang lain yang memenuhi syahwatnya.

Syaikh Muhsin Alu ‘Ushfur memang adalah salah seorang ulama Syi’ah tetapi masalahnya disini adalah apakah benar akun twitter tersebut milik ulama Syi’ah tersebut atau milik orang yang tidak jelas juntrungannya kemudian mengatasnamakan Syaikh Muhsin Alu ‘Usfur. Apakah sulit berpikir kritis seperti itu?. 
Apakah kedustaan yang terkait jejaring media sosial adalah perkara yang mustahil atau malah perkara yang ma’ruf?. 
Bukankah begitu mudah mengaku diri sebagai siapa saja dalam jejaring sosial seperti facebook dan twitter?.

Kedustaan dan kemungkaran dari akun twitter yang mengaku Muhsin Alu ‘Ushfur itu sudah cukup banyak dan secara akal waras rasanya sangat tidak pantas hal-hal seperti itu muncul dari seorang Ulama. Sebagai perbandingan berikut ternukil klarifikasi dari Syaikh Muhsin Alu ‘Ushfur yang dimuat dalam situs alwatannews.net
_________________________________________
الإرهابيون خربوا على البحرينيين موعداً مع رخاء غير مسبوق
آل عصفور: ظلاميون انتحلوا شخصيتي على «تويتر» لشق صف المسلمين
الجمعة 7 يونيو 2013 06:52
 
 
 
كشف عضو المجلس الأعلى للشؤون الإسلامية الشيخ محسن آل عصفور عن وجود محاولات لانتحال شخصيته على موقع التواصل الاجتماعي «تويتر» وفبركة حسابات مكذوبة باسمه لـ»أغراض دنيئة وقذرة في تقليعة وموجة جديدة من مسلسلات الإجرام وأدوارالخزي والعار التي ما فتئت تحيكها و تستهدف إثارة الفتنة وشق الصف والوحدة بين المسلمين والعبث بثوابت الدين».

وقال آل عصفور، في بيان صحافي أمس، إن «القوى الظلامية وتيارات البغي والفساد الدنيئة التي تحاول انتحال شخصيتي على شبكات التواصل الاجتماعي تلفق الأكاذيب والسخافات والمخازي على لساني بأنواع الشطط والغلط للإساءة لي أولاً واستغلالها ثانياً لإذكاء فتن مستعرة ستطوق بها أعناقهم يوم الحشر والنشر شاؤا أم أبوا ينبغي أن لا تنطلي على أحد من العقلاء».

وأضاف: «اعلن أني بريء من كل كذبة تلفق أو تهمة زور أو استهزاء بدين أو عبث بأحكام شرعية أو تطاول على أحد بدون وجه حق أوتوجيه إساءة إلى طائفة أو شعب أو شخصية ما سياسية او غيرها وأن الحساب الرسمي لي في تويتر حساب واحد فقط هو Sh Mohsin Al Asfoor، وأي حساب آخر هو حساب مختلق ومفبرك ومكذوب و لا صلة لي به وأنزه نفسي عنه وأبرأ منه».

وأشار آل عصفور إلى أن «البحرين كانت على موعد عرس وطني وكان مليكها وحامل لوائها يبشر شعبها بأحلى الأيام التي لم تعشها بعد وبأيام من الانفتاح والرخاء والحرية والعزة والكرامة وبإطلالة عهد جديد وعصر مجيد ومشروع سياسي تليد تتبوأ فيه هذه الأرض الطيبة وشعبها المعطاء قمة المجد ويكون لها قصب السبق على المستوى الإقليمي والدولي كما كان لأجدادهم قصب السبق في الريادة والسؤدد والأمجاد على مر التاريخ إلا أن الأعداء الألداء الذين يتربصون الدوائر بها وبشعوب المنطقة أبوا إلا أن يفوتوا هذه اللحظات التاريخية الجميلة على شعبها وينغصوا عيشهم وينكدوا حياتهم ويسلبوا الفرحة الغامرة التي كانت تترقبهم على أحر من الجمر بإشاعة الإرهاب والتخريب والفتن في ربوعها».

وتابع الشيخ آل عصفور أن «ضعاف العقول والنفوس استعانوا بجيوش الإعلام المأجورة وجلبوا كل أجندات القوى الاستعمارية في الشرق والغرب والعقول المأسورة لإفساد ما كان مخططاً لصالح البلاد والعباد لخدمة مصالحهم الاستعمارية التي لا يبنونها إلا على الآلام والمصائب والمعاناة والقهر والاستضعاف المصطنع واحدثوا عواصف من الفتن وقواصف من المحن ذهب فيها من ذهب من الأبرياء والمغرر بهم بلا موجب وأتلفت فيها ملايين الدنانير من أموال الشعب التي كان من حقه أن ينعم ويغنم رخاءه بها وحرفت مسار سفينة الوطن ولازالوا يناكفون ويساومون لإبعادها عن بر الأمان في مشهد سيسجل لهم في صفحات التاريخ السوداء».

وخلص عضو المجلس الأعلى للشؤون الإسلامية إلى أنه «كنا وما نزال مع المخلصين من أبناء هذا الوطن والأمة دعاة إصلاح وعدل ومحبة وأخوة وألفة وتعايش سلمي بين جميع المكونات لا ندخر وسعاً ولا نأل جهداً في سبيل عزة الوطن وصونه والذوذ عنه بكل غال ونفيس، ونعلنها مدوية في وجه كل متآمر منسلخ عن دينه وأمته ووطنه كفى تآمراً على الشعب باسم الشعب وكفى فتنة وعبثاً بمقدراته وكفى تغريراً بكل سفيه ومعتوه وكفى خيانة للوطن وتعدياً على الحرمات والكرامات وكفى تفويتاً لفرص العيش الكريم والأمن والاستقرار وحياة العزة والكرامة».
 
____________________________________
yang berjudul:

آل عصفور: ظلاميون انتحلوا شخصيتي على «تويتر» لشق صف المسلمين

Alu ‘Ushfur : orang-orang zalim mencuri karakter saya di twitter untuk memecah belah barisan kaum muslimin.

Dalam situs itu sudah disebutkan bahwa akun twitter yang mengaku sebagai ulama Syi’ah Muhsin Alu ‘Ushfur adalah dusta. Silakan bagi pembaca yang berminat untuk merujuk ke situs alwatannews.net
Mungkin akan ada yang berkata apa buktinya ucapan di situs alwatannews.net tersebut benar?. 
Jawabannya ya sama apa buktinya akun twitter tersebut benar. Kalau anda bisa bertanya seperti itu maka mengapa sebelumnya anda tidak menanyakan hal yang sama terhadap akun twitter tersebut. Bukankah ini menunjukkan bahwa pada dasarnya tidak setiap informasi dari jejaring sosial dan dunia maya bisa dijadikan hujjah. Setiap informasi yang akan dijadikan hujjah harus bisa diverifikasi untuk membuktikan kebenarannya.
Kalau memang tidak bisa dipastikan kebenarannya maka mengapa penulis tersebut dan orang-orang awam berhujjah dengannya. Bukankah hal itu hanya menunjukkan kebodohan, dan ketika kebodohan ini bercampur dengan kebencian maka hilanglah akal waras mereka. Kualitas penulis tersebut dan orang-orang yang mencela Syi’ah berdasarkan akun twitter yang tidak jelas adalah sama seperti tukang gosip dan tukang fitnah yang menelan dan menyebarkan apapun setiap ocehan buruk yang mereka dengar.

Seorang yang objektif dan ilmiah akan bersikap tawaqquf dan tidak akan menjadikan akun twitter seperti itu sebagai hujjah, tidak peduli apakah ia Ahlus sunnah ataupun Syi’ah. Kami menilai bukti yang diajukan penulis tersebut tidak ada nilai hujjahnya. Silakan ia buktikan secara valid apa yang ia tulis. Kalau memang ia tidak mengambil dari akun twitter tersebut maka tunjukkan dari mana sumber penukilannya.

Bukti Kedua:
Penulis tersebut membawakan bukti kedua yang katanya menunjukkan bahwa Syi’ah menjadikan anak sendiri sebagai objek pelampiasan syahwat. Ia membawakan riwayat berikut:

محمد بن الحسن باسناده عن محمد بن علي بن محبوب، عن محمد بن عيسى عن ابن محبوب، عن أبي ولاد الحناط قال: قلت لأبي عبد الله عليه السلام، إني اقبل بنتا لي صغيرة وأنا صائم فيدخل في جوفي من ريقها شئ؟ قال: فقال لي: لا بأس ليس عليك شئ

Muhammad bin Hasan dengan sanadnya dari Muhammad bin Aliy bin Mahbuub dari Muhammad bin ‘Iisa dari Ibnu Mahbuub dari Abi Walaad Al Hanaath yang berkata aku berkata kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] “aku mencium anak perempuanku yang masih kecil dan aku sedang puasa maka masuklah dalam kerongkonganku sesuatu dari ludahnya. [Abu Walaad] berkata maka Beliau kepadaku “tidak apa-apa, tidak diwajibkan atasmu sesuatupun” [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Amiliy 10/102].

Syaikh Al Hurr Al Amiliy memaknai riwayat di atas sebagai tidak sengaja menelan sesuatu dari ludah keduanya [istri atau anak] ketika mencium mereka. Ia menyebutkan riwayat tersebut dalam bab:

باب جواز مص الصائم لسان امرأته أو ابنته وبالعكس على كراهية، وعدم بطلان الصوم بدخول ريقهما مع عدم التعمد

Bab dibolehkan seorang yang puasa menghisap lidah istrinya atau anaknya begitu pula sebaliknya dengan hukum makruh, dan tidak batal puasa dengan masuknya sesuatu dari ludah mereka berdua jika tidak sengaja [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Amiliy 10/102 bab 34].

Penulis tersebut menjadikan riwayat di atas sebagai bukti bahwa Syi’ah menjadikan anak kecil sebagai objek pelampiasan syahwat. Pertanyaannya adalah pada lafaz mana dalam riwayat yang menyebutkan demikian?. Apakah pada lafaz Abu Walaad menyebutkan ia mencium anak perempuan kecilnya?. Apakah mencium anak sendiri berarti menjadikan anak sebagai objek pelampiasan syahwat?. Dalam pandangan saya pribadi saya tidak melihat lafaz mana yang menunjukkan “objek pelampiasan syahwat”. Silakan para pembaca menilainya.

Dalam kitab hadis ahlus sunnah juga ditemukan riwayat dimana menyebutkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mencium Hasan bin Aliy [diantaranya riwayat Abu Hurairah dan riwayat Mu’awiyah].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا هاشم بن القاسم ثنا جرير عن عبد الرحمن بن عوف الجرشي عن معاوية قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم يمص لسانه أو قال شفته يعني الحسن بن علي صلوات الله عليه وانه لن يعذب لسان أو شفتان مصهما رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Qaasim yang berkata telah menceritakan kepada kami Jariir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf Al Jurasyiy dari Mu’awiyah yang berkata aku melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menghisap lidah atau [perawi] berkata mulutnya yakni Hasan bin Aliy shalawat Allah atasnya, dan sesungguhnya tidak akan disiksa lidah atau mulut yang dihisap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Musnad Ahmad 4/93 no 16894].

Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata mengenai hadis ini:

إسناده صحيح رجاله ثقات رجال الصحيح غير عبد الرحمن بن أبي عوف الجرشي فقد روى له أبو داود والنسائي وهو ثقة

Sanadnya shahih para perawinya tsiqat perawi shahih selain ‘Abdurrahman bin ‘Auf Al Jurasyiy, sungguh Abu Dawud dan Nasa’i memiliki riwayatnya, dan dia tsiqat [Musnad Ahmad 4/93 no 16894].

Orang yang akalnya dipenuhi kebencian dan pikiran kotor tentu ketika menemukan riwayat dimana seorang Ayah mencium anaknya yang masih kecil maka yang ada dalam pikirannya hanyalah syahwat. Mungkin itulah yang terjadi pada penulis tersebut. Bukti yang ia bawakan hanya menunjukkan kerendahan akal pikirannya.

Bukti Ketiga:
Penulis tersebut berkata bahwa tidak hanya mencium bahkan Syi’ah membolehkan menggesekkan kemaluan diantara kedua paha anak kecil. Penulis tersebut mengutip Sayyid Khumainiy yang berkata:

وأما سائر الاستمتاعات كاللمس بشهوة والضم والتفخيذ فلا بأس بها حتى في الرضيعة

Adapun cara-cara mencari kenikmatan seperti menyentuh dengan syahwat, memeluk, dan menggesekkan kemaluan diantara kedua paha maka itu tidak mengapa bahkan dengan bayi yang masih menyusui [Tahriir Al Wasiilah Sayyid Al Khumainiy 2/241]
Perkataan tersebut memang ada dalam kitab Sayyid Al Khumainiy yaitu Tahriir Al Wasillah. Jika penulis tersebut memaksudkan bahwa perkataan Khumainiy di atas membolehkan menggesekkan kemaluan diantara kedua paha anak kecil secara mutlak maka ia telah berdusta.

Sebenarnya yang dikatakan Al Khumainiy itu berkaitan dengan status anak kecil tersebut sebagai istri seorang suami. Inilah perkataan lengkapnya, Sayyid Al Khumainiy berkata:

لا يجوز وطء الزوجة قبل إكمال تسع سنين، دواما كان النكاح أو منقطعا، وأما سائر الاستمتاعات كاللمس بشهوة والضم والتفخيذ فلا بأس بها حتى في الرضيعة،

Tidak diperbolehkan bersetubuh dengan istrinya sebelum ia mencapai usia Sembilan tahun baik itu nikah daim atau nikah mut’ah, Adapun cara-cara mencari kenikmatan seperti menyentuh dengan syahwat, memeluk, dan menggesekkan kemaluan diantara kedua paha maka itu tidak mengapa bahkan dengan bayi yang masih menyusui [Tahriir Al Wasiilah Sayyid Al Khumainiy 2/241].

Jadi fatwa Sayyid Al Khumainiy menyebutkan bolehnya menikahi anak wanita yang masih kecil tetapi dengan perincian bahwa hubungan badan hanya boleh dilakukan jika usia anak sudah mencapai 9 tahun sedangkan cara mencari kenikmatan lain selain hubungan badan maka itu dibolehkan.

Siapapun boleh mempertanyakan apa dalil dari fatwa seorang ulama kemudian menerima ataupun menolak fatwa tersebut. Syi’ah memiliki dalil soal larangan melakukan hubungan badan dengan istri sampai usia 9 tahun. Adapun soal mencari kesenangan selain hubungan badan maka tidak ada dalil keterangan tentangnya sehingga Sayyid Khumainiy memutlakkan kebolehannya sebagaimana seorang suami boleh mencari kesenangan dengan istrinya. Seandainya pun ada yang tidak setuju dengan fatwa tersebut maka layaknya seorang yang berijtihad, Sayyid Al Khumainiy bisa saja keliru dalam hal ini dan mungkin ulama lain ada yang lebih benar darinya.

Yang kami herankan adalah mengapa penulis tersebut menjadikan fatwa ini sebagai hujjah untuk merendahkan Syi’ah. Apakah penulis tersebut tidak pernah membaca masalah seperti ini dalam kitab ahlus sunnah?. 
Faktanya masalah ini dibahas juga oleh para ulama Ahlus Sunnah. An Nawawiy pernah berkata:

 

وأما وقت زفاف الصغيرة المزوجة والدخول بها فإن اتفق الزوج والولي على شيء لا ضرر فيه على الصغيرة عمل به وإن اختلفا فقال أحمد وأبو عبيد تجبر على ذلك بنت تسع سنين دون غيرها وقال مالك والشافعي وأبو حنيفة حد ذلك أن تطيق الجماع ويختلف ذلك باختلافهن ولا يضبط بسن وهذا هو الصحيح

Adapun waktu mengadakan pesta pernikahan anak kecil dan bercampur dengannya maka jika suami dan wali anak tersebut bersepakat atas tidak membahayakan anak tersebut maka hal itu bisa dilakukan dan jika mereka [suami dan wali] berselisih maka Ahmad dan Abu Ubaid berkata boleh dipaksa bercampur jika usia anak sudah mencapai 9 tahun tetapi tidak jika usianya kurang dari itu dan Malik, Syafi’i Abu Hanifah berkata batasannya adalah ia mampu melakukan jima’ dan hal ini berbeda sesuai perbedaan diantara mereka [anak-anak tersebut] dan tidak ada batasan usia, inilah yang shahih. [Syarh Shahih Muslim An Nawawiy 9/206].

Dalam nukilan di atas An Nawawiy membolehkan bercampur dengan anak kecil yang sudah menjadi istri jika suami dan wali bersepakat atas tidak membahayakan bagi anak tersebut dan jika suami dan wali tidak bersepakat maka hal itu tergantung apakah anak tersebut sudah mampu melakukan jima’ dan hal ini tidak ada batasan usianya. Dalam kitabnya yang lain An Nawawiy mengakui akan bolehnya menikah dengan anak kecil yang masih menyusui [Raudathul Thaalibin An Nawawiy 4/379], An Nawawiy berkata:


 

يجوز وقف ما يراد لعين تستفاد منه ، كالأشجار للثمار ، والحيوان للبن والصوف والوبر والبيض ، وما يراد لمنفعة تستوفى منه ، كالدار ، والأرض ، ولا يشترط حصول المنفعة والفائدة في الحال ، بل يجوز وقف العبد والجحش الصغيرين ، والزمن الذي يرجى زوال زمانته ، كما يجوز نكاح الرضيعة

Dibolehkan mewakafkan sesuatu yang dapat diambil hasilnya seperti pohon untuk diambil buahnya, hewan untuk diambil susu, rambut, bulu dan telurnya. [dan dibolehkan mewakafkan] sesuatu yang dapat digunakan manfaatnya seperti rumah dan tanah. Tidak disyaratkan bahwa hasil manfaat dan faidahnya bisa diperoleh pada saat itu. Bahkan dibolehkan mewakafkan budak dan keledai yang masih kecil dan waktu yang diharapkan akan habis, sebagaimana dibolehkan menikahi bayi yang masih menyusui [Raudhathul Thaalibin An Nawawiy 4/379].

Silakan para pembaca memperhatikan apa bedanya fatwa Sayyid Al Khumainiy dengan apa yang dikatakan An Nawawiy. Bahkan An Nawawiy membolehkan suami bercampur dengan istrinya yang masih kecil jika suami dan waliy bersepakat atas tidak membahayakan anak tersebut. Sedangkan Al Khumainiy memutlakkan bahwa bercampur hanya boleh dilakukan ketika usia 9 tahun tetapi mencari kesenangan selain bercampur itu dibolehkan. Kalau dengan fatwa Sayyid Al Khumainiy membuat mazhab Syi’ah jadi tercela maka dengan fatwa An Nawawiy juga bisa dikatakan mazhab ahlus sunnah tercela.

Contoh lain datang dari Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughniy dimana ia membolehkan mencumbui budak walaupun ia adalah anak yang masih kecil,


فأما الصغيرة التي لا يوطأ مثلها ، فظاهر كلام الخرقي تحريم قبلتها ومباشرتها لشهوة قبل استبرائها وهو ظاهر كلام أحمد ، وفي أكثر الروايات عنه ، قال تستبرأ ، وإن كانت في المهد . وروي عنه أنه قال إن كانت صغيرة بأي شيء تستبرأ إذا كانت رضيعة . وقال في رواية أخرى : تستبرأ بحيضة إذا كانت ممن تحيض ، وإلا بثلاثة أشهر إن كانت ممن توطأ وتحبل . فظاهر هذا أنه لا يجب استبراؤها ، ولا تحرم مباشرتها . وهذا اختيار ابن أبي موسى ، وقول مالك ، وهو الصحيح  لأن سبب الإباحة متحقق . وليس على تحريمها دليل ، فإنه لا نص فيه ، ولا معنى نص ; لأن تحريم مباشرة الكبيرة إنما كان لكونه داعيا إلى الوطء المحرم ، أو خشية أن تكون أم ولد لغيره ، ولا يتوهم هذا في هذه ، فوجب العمل بمقتضى الإباحة

Adapun anak yang masih kecil yang belum bisa disetubuhi, maka Al Kharqiy mengatakan haram untuk menciumnya dan mencumbuinya dengan syahwat sebelum ia istibra’. Dan ini juga perkataan Ahmad dan dalam banyak riwayat darinya, ia berkata “harus istibra’ meskipun dia masih dalam buaian”. Dan diriwayatkan darinya bahwa ia berkata “sesungguhnya anak yang masih kecil dengan apa ia istibra’  jika ia masih menyusui. Dan dalam riwayat lain “istibra’ itu dengan haid jika ia masih mengalami haidh jika tidak maka dengan tiga bulan untuk perempuan yang bisa disetubuhi dan bisa hamil”. Maka yang nampak disini adalah tidak wajib istibra’-nya dan tidak haram mencumbuinya, inilah pendapat yang dipilih Ibnu Abi Muusa dan perkataan Malik. Dan inilah yang shahih karena sudah ada sebab pembolehannya dan tidak ada dalil pengharamannya, tidak ada nash tentangnya dan juga tidak ada makna nash. Karena pengharaman mencumbui perempuan dewasa hanya disebabkan karena dapat mendorong terjadinya persetubuhan yang diharamkan atau kekhawatiran kemungkinan ia Ibu dari anak laki-laki lain dan itu tidak mungkin terjadi pada kasus ini. Maka wajib untuk menetapkan kebolehannya. [Al Mughniy Ibnu Qudamah 11/276].

Orang yang objektif akan menilai informasi apa adanya dan tidak menjadikan kebenciannya menutupi akal warasnya. Tidak suka terhadap mazhab Syi’ah ya boleh-boleh saja tetapi silakan katakan yang benar tentang mereka dan kritiklah mereka secara ilmiah.

Kesimpulan:
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa bukti-bukti yang dibawakan penulis tersebut atas tuduhannya Syi’ah agama binatang penganut seks semuanya tidak bernilai. Orang yang menjadikan hal-hal seperti itu sebagai bukti hanya menunjukkan bahwa ia ingin menipu orang awam atau ia seorang yang pura-pura bodoh sehingga ketika hal itu bercampur dengan kebencian maka lahirlah kedustaan dan kemungkaran. Kami berlindung kepada Allah SWT dari orang-orang yang seperti ini.

Syi’ah Membolehkan Melihat Film Atau Gambar Wanita Telanjang: Kedustaan Terhadap Syi’ah.

Ada orang menyedihkan yang membuat tuduhan terhadap Syi’ah, ia berkata agama Syi’ah dengan terang-terangan membolehkan menonton film porno. Tulisan ini akan meluruskan syubhat tersebut. Adapun soal penulis menyedihkan tersebut kami serahkan kepada para pembaca untuk menilai kualitas dirinya. Penulis tersebut membawakan salah satu fatwa ulama Syi’ah yaitu Sayyid Aliy Khamene’iy. Berikut kami nukil dari tulisannya (http://www.alamiry.net/2014/04/agama-syiah-dengan-terang-terangan.html)
Perhatikan Website Dedengkot Wahabi Sebagai Berikut:
_______________________________

Agama Syiah Dengan Terang - Terangan Membolehkan Menonton Film Porno

 
Tidak diragukan lagi agama yang terburuk dan lebih buruk dari agama yahudi dan nashrani adalah agama “syiah” la’natullah ‘alaihim. Mereka adalah musuh kaum muslimin dalam selimut. Cita-cita mereka adalah menghancurkan agama islam dari dalam dan merusak nama islam dengan terang-terangan.
Lihatlah !! Yang lebih buruk dari ini semua “Syiah membolehkan untuk menonton film porno dan para wanita telanjang”. Dan pernyataan ini termaktub dalam kitab-kitab mereka sendiri.
1- Dalam sebuah fatwa ulama besar mereka yang bernama “Ali Husain Al Khamenei “, yang mana ulama
(baca: jahil) ini bergelar ayatullah (baca: ayatus syaithon) ditanya:
هل يجوز مشاهدة صور النساء العاريات أو شبه العاريات المجهولات اللواتي لا نعرفهن في الافلام السينمائية وغيرها؟
“Apakah boleh menonton wanita-wanita telanjang (porno) atau yang sejenisnya yang mana kita tidak mengenal mereka di film sinema ataupun di film yang lainnya?”
Ali Al Khamenei menjawab:
النظر إلى الافلام والصور ليس حكمه حكم النظر إلى الاجنبي، ولا مانع منه شرعا
“Menonton film atau gambar hukumnya bukanlah seperti hukum melihat kepada wanita yang bukan mahram secara langsung, maka tidak ada larangan untuk menontonnya secara syariat” Ajwibah Al Istifta’at 2/32
Lihat betapa bodohnya ulama syiah dan errornya otak mereka. Ulama syiah menggunakan alasan rendahan demi menghalalkan nonton video porno.
Yang lucu, Al Khamenei juga mengatakan jika film wanita telanjang tadi atau film porno menimbulkan syahwat dan fitnah maka tidak boleh ditonton akan tetapi kalau film pornonya tidak menimbulkan syahwat dan fitnah maka boleh ditonton. Lihat, kebodohan dan ketololan ulama syiah yang satu ini.
Tidak akan mungkin seseorang menonton wanita telanjang  kecuali akan timbul sebuah syahwat ! Maka dari itu Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan untuk lelaki dan wanita saling menundukkan pandangan mata. Apalagi syiah yang otaknya adalah otak porno seperti Khumaini dan kawan-kawannya. Anak kecil yang tidak telanjang saja membuat syahwat khumaini naik dan tak terkendali terlebih wanita dewasa yang telanjang didepan khumaini. Contoh, kisah nyata khumaini yang melihat anak kecil yang cantik dan langsung terkena nafsu dan syahwat maka langsung disewa untuk digauli malam itu juga. Maka besoknya mengeluarkan fatwa: boleh menggesek-gesekkan dzakar dipaha anak kecil jika nafsu untuk digauli, Lihat otak syiah !! Anak kecil saja mereka nafsuin terlebih jika melihat wanita dewasa yang telanjang.
Saudara bisa membaca kisah khumaini menggauli anak kecil berusia 4 atau 5 tahun disini: http://www.alamiry.net/2014/01/kisah-nyata-khumaini-sang-pengagung.html
2- Kemudian yang lebih parah lagi, jika pemain film porno adalah wanita kafir maka halal ditonton dan jika pemainnya adalah wanita muslimah maka hukum menontonnya makruh. Hal ini dikarenakan mereka membolehkan melihat aurat wanita kafir seperti kita melihat aurat hewan ternak, adapun aurat wanita muslim maka melihat auratnya adalah makruh.
Dalam sebuah riwayat syiah disebutkan:
عن أبي عبدالله ( عليه السلام ) قال : النظر الى عورة من ليس بمسلم مثل نظرك الى عورة الحمار
“Dari Abi Abdillah alaihissalam, dia berkata: “Melihat aurat orang kafir, seperti kamu melihat auaratnya keledai” Wasa’il Asy Syiah 35/11
Dalam riwayat lain disebutkan:
عن الصادق ( عليه السلام ) أنه قال : إنما أكره النظر الى عورة المسلم ، فأما النظر الى عورة من ليس بمسلم مثل النظرالى عورة الحمار.
“Dari Ash Shadiq alaihissalam, bahwasanya dia berkata: “Sesungguhnya aku memakruhkan untuk melihat aurat seorang muslim, adapun melihat aurat orang kafir maka hukumnya seperti melihat aurat keledai” Refrensi sama seperti diatas
Beginilah otak porno para ulama syiah dan pengikutnya. Semoga Allah melaknat mereka jika tidak mau bertaubat. 

PenulisMuhammad Abdurrahman Al Amiry

Artikel
alamiry.net (Kajian Al Amiry)


Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.


Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry  
____________________________
1- Dalam sebuah fatwa ulama besar mereka yang bernama “Ali Husain Al Khamenei “, yang mana ulama (baca: jahil) ini bergelar ayatullah (baca: ayatus syaithon) ditanya:
هل يجوز مشاهدة صور النساء العاريات أو شبه العاريات المجهولات اللواتي لا نعرفهن في الافلام السينمائية وغيرها؟
“Apakah boleh menonton wanita-wanita telanjang (porno) atau yang sejenisnya yang mana kita tidak mengenal mereka di film sinema ataupun di film yang lainnya?”
Ali Al Khamenei menjawab:
النظر إلى الافلام والصور ليس حكمه حكم النظر إلى الاجنبي، ولا مانع منه شرعا
“Menonton film atau gambar hukumnya bukanlah seperti hukum melihat kepada wanita yang bukan mahram secara langsung, maka tidak ada larangan untuk menontonnya secara syariat” Ajwibah Al Istifta’at 2/32.
Lihat betapa bodohnya ulama syiah dan errornya otak mereka. Ulama syiah menggunakan alasan rendahan demi menghalalkan nonton video porno.
Yang lucu, Al Khamenei juga mengatakan jika film wanita telanjang tadi atau film porno menimbulkan syahwat dan fitnah maka tidak boleh ditonton akan tetapi kalau film pornonya tidak menimbulkan syahwat dan fitnah maka boleh ditonton. Lihat, kebodohan dan ketololan ulama syiah yang satu ini.
________________________________
ج: لا إشكال في الاستماع إلى الطرائف ومشاهدة المسرحيات الفكاهية، وأما الموسيقى فإن كانت لهوية ومناسبة لمجالس اللهو والطرب والمعاصي فلا يجوز الاستماع إليها.
س 105: أخذت لي عدة صور أثناء حفل الزفاف ولم أكن حينها أرتدي كامل حجابي، وهي موجودة الآن لدى الأصدقاء والأقارب، فهل يجب علي جمع هذه الصور؟
ج: إذا لم يكن وجود الصور عند الآخرين مما تترتب عليه مفسدة، أو على فرضه لم تكن لك مدخلية في اعطائهم الصور، أو كان جمع الصور من الآخرين حرجا عليك، فلا تكليف عليك في ذلك.
س 106: هل هناك اشكال في تقبيل صور الإمام (قدس سره) والشهداء من جهة كونهم أجانب علينا أم لا؟
ج: عموما صورة الأجنبي ليست كالأجنبي، فلا إشكال في تقبيل صورة الأجنبي في مقام الاحترام والتبرك وإبداء الحب إذا كان بعيدا عن قصد الريبة ولم يكن فيه خوف الفتنة.
س 107: هل يجوز مشاهدة صور النساء العاريات أو شبه العاريات المجهولات اللواتي لا نعرفهن في الأفلام السينمائية وغيرها؟
ج: النظر إلى الأفلام والصور ليس حكمه حكم النظر إلى الأجنبي، ولا مانع منه شرعا إذا لم يكن بشهوة وريبة ولم تترتب على ذلك مفسدة، ولكن نظرا إلى أن مشاهدة الصورة الخلاعية المثيرة للشهوة لا تنفك غالبا عن النظر بشهوة، ولذلك تكون مقدمة لارتكاب الذنب، فهي حرام.
س 108: هل يجوز للمرأة، التقاط صور لها في حفلات الزفاف من دون إذن
(٤٠)
___________________________________

هل يجوز مشاهدة صور النساء العاريات أو شبه العاريات المجهولات اللواتي لا نعرفهن في الأفلام السينمائية وغيرها؟ ج: النظر إلى الأفلام والصور ليس حكمه حكم النظر إلى الأجنبي، ولا مانع منه شرعا إذا لم يكن بشهوة وريبة ولم تترتب على ذلك مفسدة، ولكن نظرا إلى أن مشاهدة الصورة الخلاعية المثيرة للشهوة لا تنفك غالبا عن النظر بشهوة، ولذلك تكون مقدمة لارتكاب الذنب، فهي حرام

[Soal] Apakah boleh menonton gambar wanita-wanita telanjang atau seperti telanjang yaitu wanita-wanita majhul yang tidak dikenal, dalam film sinema dan selainnya?. [Jawaban]. Melihat film dan gambar tidaklah hukumnya seperti hukum melihat langsung kepada wanita ajnabiy [yang bukan mahram], tidak ada halangan dari syari’at jika tanpa dengan syahwat serta tidak menimbulkan keburukan olehnya, tetapi melihat kepada tontonan dan gambar mesum yang membangkitkan syahwat pada umumnya tidak bisa lepas dari melihat dengan syahwat dan dengan demikian hal itu dapat menjadi awal dari berbuat dosa, maka hukumnya adalah haram [Ajwibah Al Istifta’at Sayyid Aliy Khamene’iy 2/40 no 107].

Penulis tersebut sebenarnya sudah membaca fatwa lengkap ini tetapi kemudian ia menukil hanya bagian awal kemudian memberi komentar bahwa Sayyid Aliy Khamene’iy membolehkan menonton wanita telanjang jika tidak menimbulkan syahwat sedangkan jika menimbulkan syahwat maka tidak boleh ditonton.

Hakikat fatwa tersebut tidak demikian [seperti yang dikatakan penulis tersebut]. Pada bagian awal Sayyid Aliy Khamene’iy menyebutkan bahwa melihat film atau gambar itu berbeda dengan melihat langsung wanita ajnabiy [yang bukan mahram]. Pada kalimat ini Sayyid Aliy belum menyebutkan soal film atau gambar wanita telanjang. Ia sedang menjelaskan secara umum bahwa antara melihat film dan gambar itu berbeda dengan melihat langsung wanita ajnabiy.

Kemudian Sayyid berkata “tidak ada halangan dari syari’at jika tanpa dengan syahwat dan tidak menimbulkan kerusakan darinya”. Maksud kalimat itu adalah melihat film atau gambar yang ada wanita ajnabiy tidak ada halangan dari syari’at jika melihat tanpa dengan syahwat serta tidak menimbulkan mudharat atau kerusakan. Bagian ini belum menyebutkan soal film atau gambar wanita telanjang atau semi telanjang, ia hanya menyebutkan film atau gambar wanita ajnabiy secara umum. Dalam kitabnya yang lain Sayyid Aliy menyebutkan dengan lafaz yang lebih jelas, ia menyebutkan

لا مانع من النظر إلى ما عدا الوجه والكفين من صورة المرأة الأجنبية إذا لم يكن بشهوة

Tidak ada halangan dari melihat pada apa yang nampak dari wajah dan kedua telapak tangan dari gambar wanita ajnabiy [yang bukan mahram] jika tanpa dengan syahwat [Muntakhab Al Ahkam Sayyid Aliy Khamene’iy hal 171].

Barulah kemudian di kalimat akhir, Sayyid Aliy mengatakan bahwa melihat film atau gambar mesum yang membangkitkan syahwat tidak bisa dilepaskan dari melihat dengan syahwat. Artinya dalam pandangan Sayyid Aliy film atau gambar mesum tersebut pasti menimbulkan syahwat maka dari itu Beliau menyatakan haram.

Kesimpulan fatwa tersebut adalah film atau gambar wanita ajnabiy boleh dilihat asal tidak dengan syahwat. Kalau dilihat dengan syahwat maka hukumnya tidak boleh walaupun hanya nampak wajah dan kedua telapak tangan. Adapun jika film atau gambar tersebut mengumbar aurat dan mesum maka hukumnya haram.
Letak keharaman film atau gambar wanita menurut Sayyid Aliy Khameneiy adalah karena menimbulkan syahwat. Walaupun film atau gambar wanita tersebut berhijab dan hanya nampak wajah dan kedua telapak tangan jika melihat dengan syahwat maka hukumnya haram. Adapun gambar yang mengumbar aurat dan mesum pasti menimbulkan syahwat maka hukumnya sudah pasti haram.

Silahkan para pembaca bandingkan apa yang dipahami penulis tersebut dan apa yang kami sampaikan. Tidak masalah jika seseorang hanya menukil sepotong atau sepenggal dari hadis atau qaul ulama asalkan tidak mengubah makna aslinya hanya dengan potongan nukilan tersebut.

Adapun tuduhan terhadap Al Khumainiy yang ia sebutkan menikah mut’ah dengan anak kecil itu berasal dari tulisan Husain Al Musawiy seseorang yang sudah terbukti berdusta dalam bukunya Lillahi Tsumma Lil Tariikh. Jika pembaca ingin melihat bukti kedustaan Husain Al Musawiy maka silakan melihat tulisan disini
_______________________________
Kedustaan Penulis Kitab Lillahi Tsumma Lil-Tarikh “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah” [Sayyid Husain Al Musawi].
Kitab Lillahi Tsuma Lil-Tarikh yang ditulis oleh orang yang menyebut dirinya Husain Al Musawi termasuk kitab yang menjadi andalan salafy nashibi untuk merendahkan mahzab syiah. Banyak pengikut salafiyun yang tidak henti-hentinya berhujjah dengan kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah?”. Judul yang provokatif dan tentu saja para pembaca akan sulit menemukan hal-hal yang baik di dalam kitab tersebut.

Pokok bahasan ini bisa dibilang sudah basi dan cukup banyak para pengikut syiah yang telah membahas kitab ini. Mereka pengikut syiah menyatakan kalau penulis kitab ini “fiktif” dan kitab tersebut penuh dengan kedustaan. Tentu saja adalah hak syiah untuk membela diri dari siapapun yang merendahkan mahzab mereka. Kami telah membaca sebagian tulisan pengikut syiah tersebut dan berusaha menelitinya dengan bantuan teman-teman yang memang lebih kompeten untuk itu. Berikut adalah sedikit bukti yang menunjukkan kedustaan yang ada di dalam kitab tersebut.

Ternyata jati diri Husain Al Musawi tidaklah dikenal di kalangan syiah, pernyataan bahwa ia seorang mujtahid, murid Syaikh Muhammad Kasyf Al Ghita, pernah belajar di Najaf dan sebagainya hanya bersumber dari kitab itu sendiri. Dengan kenyataan ini terdapat tiga kemungkinan
  • Husain Al Musawi benar akan kesaksiannya mengenai dirinya sendiri tetapi Syiah berusaha menyangkalnya
  • Husain Al Musawi berdusta akan kesaksiannya mengenai dirinya oleh karena itu Syiah tidak mengenalnya
  • Husain Al Musawi itu tidak pernah ada, tokoh ini adalah tokoh fiktif dan orang yang menulis kitab tersebut menggunakan nama palsu Husain Al Musawi
Sangatlah sulit untuk membuktikan dengan pasti yang mana dari ketiga kemungkinan tersebut yang benar. Tetapi secara metodologis kita dapat menggunakan metode sederhana yang sesuai dengan standar ilmu hadis atau rijalul hadis. Dalam ilmu jarh wat ta’dil seseorang itu dinilai tsiqat atau tidak, pendusta atau tidak diantaranya dengan menilai riwayat-riwayat yang dibawakan oleh orang tersebut. Apakah benar adanya ataukah suatu kedustaan?. Jika terbukti bahwa seseorang itu berdusta maka riwayatnya tidak bisa diterima dan tetaplah jarh “kadzab” padanya. Oleh karena itu kami akan menggunakan kesaksian sang penulis kitab tersebut “Husain Al Musawi”. Penulis kitab tersebut berkata:

وفي ختام مبحث الخمس لا يفوتني أن أذكر قول صديقي المفضال الشاعر البارع المجيد أحمد الصافي النجفي رحمه الله، والذي تعرفت عليه بعد حصولي على درجة الاجتهاد فصرنا صديقين حميمين رغم فارق السن بيني وبينه، إذ كان يكبرني بنحو ثلاثين سنة أو أكثر عندما قال لي: ولدي حسين لا تدنس نفسك بالخمس فإنه سحت، وناقشني في موضوع الخمس حتى أقنعني بحرمته

Dan diakhir pembahasan tentang khumus ini, saya tidak akan melewatkan perkataan seorang teman yang utama, penyair besar dan terkenal, Ahmad Ash Shaafiiy An Najafiiy rahimahullah, dan saya mengenal beliau setelah saya mencapai derajat ijtihad [mujtahid]. Kami menjalin pertemanan yang sangat baik walaupun terdapat perbedaan umur yang jauh, dimana dia lebih tua dari saya tiga puluh tahun atau lebih. Dia berkata kepada saya “Anakku Husain, janganlah kamu kotori dirimu dengan khumus karena ia adalah haram”. Dia berdiskusi dengan saya tentang khumus sampai saya merasa yakin akan keharamannya. [Lillahi Tsumma Lil-Tarikh hal 95-96].

Disebutkan bahwa Ahmad bin Ali Ash Shaafiiy An Najafiiy lahir tahun 1314 H dan wafat pada tahun 1397 H [Mu’jam Rijal Al Fikr Wal Adab Fil Najaf 2/793 Syaikh Muhammad Hadi Al Amini]. 

Dengan berdasarkan data ini maka dapat diperkirakan kalau si penulis “Husain Al Musawi” yang lebih muda tiga puluh tahun atau lebih dari Ahmad Ash Shaafiiy lahir pada tahun 1314+30=1344 H atau lebih. Kemudian sang penulis berkata:

في زيارتي للهند التقيت السيد دلدار علي فأهداني نسخة من كتابه (أساس الأصول) جاء في (ص51) (إن الأحاديث المأثورة عن الأئمة مختلفة جداً لا يكاد يوجد حديث إلا وفي مقابله ما ينافيه، ولا يتفق خبر إلا وبإزائه ما يضاده) وهذا الذي دفع الجم الغفير إلى ترك مذهب الشيعة

Dalam kunjungan saya ke india, saya bertemu dengan Sayyid Daldar Ali, dia memperlihatkan kepada saya kitabnya yaitu Asaas Al Ushul. Disebutkan dalam halaman 51 “bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan dari para Imam sangat bertentangan . Tidak ada satu hadispun kecuali ada hadis lain yang menafikannya, tidak ada suatu khabar yang sesuai kecuali terdapat kabar yang menantangnya”. Inilah yang menyebabkan sebagian besar manusia meninggalkan mahzab syiah [Lillahi Tsumma Lil-Tarikh hal 134].

Disebutkan bahwa Sayyid Daldar Ali bin Muhammad An Naqawiiy penulis kitab Asaas Al Ushul wafat pada tahun 1235 H [Adz Dzarii’ah ilaa Tashanif Asy Syii’ah 2/4 Syaikh Agha Bazrak Ath Thahraani].

Berdasarkan keterangannya sendiri maka Husain Al Musawi diperkirakan lahir pada tahun 1344 H atau di atas tahun tersebut dan berdasarkan keterangannya sendiri Husain Al Musawi bertemu dengan Sayyid Daldar Ali yang wafat pada tahun 1235 H. Bagaimana mungkin Husain Al Musawi yang belum lahir bisa bertemu dengan Sayyid Daldar Ali?. Bukankah Husain Al Musawi lahir lebih dari 100 tahun setelah wafatnya Sayyid Daldar Ali. Bagi kami, ini jelas sekali menunjukkan kedustaan yang nyata. Pengakuan Husain Al Musawi di atas itu sudah pasti dusta. Jika seseorang telah terbukti berdusta dalam kitab yang ia tulis maka sangatlah wajar untuk meragukan keabsahan isi-isi kitabnya. Tidak diragukan lagi kalau Husain Al Musawi itu seorang pendusta atau mungkin saja ia adalah tokoh fiktif yang tidak pernah ada tetapi dibuat-buat oleh penulis kitab tersebut. Wallahu ‘alam

Aneh bin ajaib ternyata bukti seperti ini luput dari pandangan salafy nashibi. Tentu saja jika para salafy hanya menelan bulat setiap apa yang mereka baca maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak melihat kedustaan sang penulis. Tetapi bukankah para salafy itu membanggakan diri sebagai seorang yang objektif dan ilmiah seperti yang diumbar-umbar oleh Mamduh Farhan Al Buhairi [penulis gen syiah], orang yang memberikan kata pengantar untuk tulisan Husain Al Musawi. Sungguh manis di mulut tetapi pahit di hati, begitulah orang-orang yang mengidap penyakit “Syiahpobhia” di hatinya. Begitu besarnya kebencian mereka terhadap Syiah sehingga membuat mereka jatuh dalam kedustaan.

________________________________
Kalau soal fatwa Al Khumainiy yang membolehkan menikah dengan anak kecil maka itu benar dan kedudukannya tidak jauh berbeda dengan sebagian ulama ahlus sunnah yang membolehkan menikah dengan anak kecil.
 
Penulis tersebut membawakan dua riwayat yang menyebutkan tentang kebolehan melihat aurat orang kafir. Kedua riwayat tersebut berdasarkan pendapat yang rajih atau kuat di sisi Syi’ah kedudukannya dhaif. Penulis tersebut menukil kedua riwayat tersebut dari kitab Wasa’il Syi’ah. Sebenarnya sumber asal kedua riwayat tersebut adalah riwayat dalam Al Kafiy dan riwayat Syaikh Shaduuq dalam Al Faqiih,

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن غير واحد، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: النظر إلى عورة من ليس بمسلم مثل نظرك إلى عورة الحمار

‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari lebih dari satu orang dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata “melihat aurat orang yang bukan muslim sama seperti melihat aurat keledai” [Al Kafiy Al Kulainiy 6/501].

Riwayat ini kedudukannya dhaif karena terdapat perawi majhul dalam sanadnya. Ada yang menguatkan riwayat ini dengan alasan mursal Ibnu Abi ‘Umair shahih karena ia hanya meriwayatkan dari perawi tsiqat.
Syaikh Ath Thuusiy menyatakan bahwa Ibnu Abi Umair termasuk perawi yang tidak meriwayatkan dan mengirsalkan kecuali dari perawi tsiqat [‘Uddat Al Ushul Syaikh Ath Thuusiy 1/154]. Pernyataan Ath Thuusiy ini tidak bisa dijadikan hujjah secara mutlak karena faktanya Ibnu Abi Umair meriwayatkan juga dari para perawi dhaif. Al Khu’iy dalam muqaddimah kitab Mu’jam Rijal Al Hadits telah membahas perkataan Syaikh Ath Thuusiy ini dan menunjukkan bahwa ternyata Ibnu Abi Umair juga meriwayatkan dari perawi dhaif seperti Muhammad bin Sinan, Aliy bin Abi Hamzah Al Batha’iniy dan yang lainnya.

Bagaimana bisa dipastikan perawi yang tidak disebutkan namanya oleh Ibnu Abi Umair adalah gurunya yang tsiqat atau gurunya yang dhaif maka dari itu pendapat yang rajih sesuai dengan kaidah ilmu kedudukan riwayat Al Kafiy tersebut dhaif.

وروي عن الصادق عليه السلام أنه قال: ” إنما أ كره النظر إلى عورة المسلم فأما النظر إلى عورة من ليس بمسلم مثل النظر إلى عورة الحمار

Diriwayatkan dari Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] bahwasanya Beliau berkata “sesungguhnya dibenci melihat aurat seorang muslim, adapun melihat aurat bukan muslim sama seperti melihat aurat keledai” [Man La Yahdhuruhu Al Faqiih 1/114 no 236].

Syaikh Shaduuq tidak menyebutkan sanad lengkap riwayat ini dalam kitabnya sehingga kedudukannya dhaif. Ada yang menguatkan riwayat di atas dengan dasar bahwa Syaikh Shaduuq memasukkannya dalam Al Faqiih dimana dalam muqaddimah Al Faqiih disebutkan bahwa Syaikh Shaduuq memasukkan dalam kitabnya riwayat yang shahih saja. Pernyataan ini memang dikatakan Syaikh Shaduuq tetapi setiap perkataan ulama harus ditimbang dengan kaidah ilmu, termasuk juga dalam periwayatan dan tashih riwayat. Bagaimana bisa dikatakan shahih jika sanadnya saja tidak ada?.

Apalagi riwayat Syaikh Shaduuq ini bertentangan dengan riwayat shahih yaitu pada lafaz “dibenci melihat aurat seorang muslim” karena pada riwayat shahih disebutkan bahwa haram melihat aurat sesama muslim

حدثنا محمد بن موسى بن المتوكل، قال: حدثنا عبد الله بن جعفر الحميري، عن أحمد بن محمد، عن الحسن بن محبوب عن عبد الله بن سنان عن أبي عبد الله عليه السلام قال: قال له: عورة المؤمن على المؤمن حرام؟ قال: نعم

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muusa bin Mutawakil yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy dari Ahmad bin Muhammad dari Hasan bin Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam], [Ibnu Sinaan] berkata kepadanya “aurat seorang mukmin atas mukmin yang lain haram?”. Beliau berkata “benar”…[Ma’aaniy Al Akhbar Syaikh Shaduuq hal 255].

Riwayat ini sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya;
  1. Muhammad bin Musa bin Mutawakil adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59].
  2. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400].
  3. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
  4. Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  5. ‘Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat jaliil tidak ada celaan sedikitpun terhadapnya, ia meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558].
Jadi berdasarkan pendapat yang rajih maka kedua riwayat yang dibawakan penulis tersebut adalah dhaif, oleh karena itu Sayyid Al Khu’iy yang mengakui kedhaifan kedua riwayat tersebut menyatakan bahwa tidak ada perbedaan keharaman melihat aurat muslim ataupun nonmuslim,

لا فرق في الحرمة بين عورة المسلم والكافر على الأقوى

Tidak ada perbedaan dalam keharamannya antara aurat muslim dan kafir berdasarkan pendapat yang terkuat [Kitab Thaharah Sayyid Al Khu’iy 3/357]

Kesimpulan:
Dalam mazhab Syi’ah tidak ada kebolehan melihat film atau gambar wanita telanjang. Jika ada yang menyatakan demikian maka ia telah berdusta. Semoga Allah SWT menunjukkan dan meneguhkan kepada kita semua jalan yang lurus.

Shahih Riwayat Syi’ah : Pengakuan Keislaman Ahlus Sunnah.

Salah satu propaganda para Pembenci Syi’ah untuk merendahkan mazhab Syi’ah adalah mereka menuduh bahwa Syi’ah telah mengkafirkan Ahlus sunnah. Kami tidak menafikan bahwa ada sebagian ulama Syi’ah yang bersikap berlebihan dalam perkara ini [terutama dari kalangan akhbariyun] menyatakan baik itu dengan isyarat atau dengan jelas mengindikasikan kekafiran ahlus sunnah. Tetapi terdapat juga sebagian ulama Syi’ah yang justru menegaskan keislaman Ahlus sunnah dan tidak menyatakan kafir.

Perkara ini sama hal-nya dengan sebagian ulama ahlus sunnah yang mengkafirkan Syi’ah baik itu secara isyarat ataupun dengan jelas dan memang terdapat pula sebagian ulama ahlus sunnah yang tetap mengakui Syi’ah walaupun menyimpang tetap Islam bukan kafir. Kebenarannya adalah baik Ahlus Sunnah dan Syi’ah keduanya adalah Islam. Silakan mazhab yang satu merendahkan atau menyatakan mazhab yang lain sesat tetapi hal itu tidak mengeluarkan salah satu mereka dari Islam. 

Riwayat Pengakuan Keislaman Ahlus Sunah.
Berikut adalah riwayat-riwayat Syi’ah yang menunjukkan pengakuan akan keislaman Ahlus sunnah. Kami cukupkan pada riwayat-riwayat yang kedudukannya shahih dan muwattsaq berdasarkan ilmu hadis Syi’ah, walaupun sebenarnya cukup banyak riwayat yang dhaif dari segi sanad yang membuktikan keislaman ahlus sunnah. Sengaja riwayat tersebut tidak kami nukilkan karena riwayat shahih dalam mazhab Syi’ah lebih baik kedudukannya sebagai hujjah.

Riwayat Pertama:

أبي (ره) قال حدثنا سعد بن عبد الله عن يعقوب بن يزيد عن محمد ابن أبي عمير عن محمد بن حمران عن أبي عبد الله عليه السلام قال من قال لا إله إلا الله مخلصا دخل الجنة وإخلاصه بها ان يحجزه لا إله إلا الله عما حرم الله

Ayahku [rahimahullah] mengatakan telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah dari Ya’qub bin Yaziid dari Muhammad Ibnu Abi Umair dari Muhammad bin Hamraan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata barang siapa mengatakan “laa ilaaha illallah dengan ikhlas maka ia masuk surga dan ikhlas dengannya adalah ia menjaga laa ilaaha illaallah dari perkara yang diharamkan Allah” [Tsawab Al A’maal Syaikh Ash Shaaduq hal 24 no 1].

Riwayat ini sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya,
  1. Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684].
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  3. Yaqub bin Yaziid bin Hamaad seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215].
  4. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah]  maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  5. Muhammad bin Hamraan An Nahdiy seorang yang tsiqat termasuk yang meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 359 no 965].
Riwayat serupa ini juga terdapat dalam kitab ahlus sunnah dan menjadi dalil bahwa syahadat adalah pintu yang membedakan antara seorang muslim dengan nonmuslim dan akan memasukkan seseorang ke dalam surga.

 Riwayat Kedua:

حدثني أبي رضي الله عنه قال: حدثنا سعد بن عبد الله عن إبراهيم بن هاشم، عن محمد بن أبي عمير، عن جعفر بن عثمان، عن أبي بصير قال: كنت عند أبي جعفر عليه السلام فقال له رجل: أصلحك الله إن بالكوفة قوما يقولون مقالة ينسبونها إليك فقال: وماهي؟ قال: يقولون: الايمان غير الاسلام، فقال أبوجعفر عليه السلام: نعم، فقال الرجل: صفه لي قال: من شهد أن لاإله إلا الله وأن محمدا رسول الله صلى الله عليه وآله وأقر بما جاء من عند الله وأقام الصلاة وآتى الزكاة وصام شهر رمضان وحج البيت فهو مسلم، قلت: فالايمان؟ قال: من شهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأقر بما جاء من عند الله وأقام الصلاة وآتى الزكاة وصام شهر رمضان وحج البيت ولم يلق الله بذنب أو عد عليه النار فهو مؤمن قال أبو بصير: جعلت فداك، وأينا لم يلق الله بذنب أو عد عليه النار؟ فقال: ليس هو حيث تذهب إنما هو لم يلق الله بذنب أو عد عليه النار ولم يتب منه

Telah menceritakan kepadaku Ayahku [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah dari Ibrahim bin Haasyim dari Muhammad bin Abi Umair dari Ja’far bin ‘Utsman dari Abi Bashiir yang berkata aku berada di sisi Abu Ja’far [‘alaihis salaam] maka seorang laki-laki berkata kepadanya “semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, sesungguhnya di Kufah terdapat kaum yang mengatakan sesuatu dengan menisbatkan kepadamu?. Beliau berkata “apa itu?”. Orang tersebut berkata “mereka mengatakan bahwa Iman bukanlah Islam”. Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata “benar”. Orang tersebut berkata “jelaskan kepadaku”. Beliau berkata “barang siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dan meyakini apa yang datang dari sisi Allah, menunaikan shalat, memberikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke baitullah maka ia adalah Muslim. Aku berkata “maka Iman?”. Beliau berkata “barang siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dan meyakini apa yang datang dari sisi Allah, menunaikan shalat, memberikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke baitullah dan tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat memasukkannya ke neraka maka ia adalah Mu’min. Abu Bashiir berkata “aku menjadi tebusanmu, siapakah diantara kita yang tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat memasukkannya ke neraka?. Maka Beliau berkata “itu bukan seperti yang kau pikirkan, sesungguhnya yang dimaksud hanyalah ia tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat memasukkannya ke neraka dimana ia tidak bertaubat dari dosa tersebut” [Al Khisaal Syaikh Shaaduq 2/411 no 14].

Riwayat Syaikh Shaaduq di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya,
  1. Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684].
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  3. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  4. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  5. Ja’far bin Utsman sahabat Abu Bashiir adalah seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 108].
  6. Abu Bashiir Al Asdiy yaitu Yahya bin Qaasim ia meriwayatkan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187].

Riwayat Ketiga:

محمد بن يحيى عن أحمد بن محمد عن الحسن بن محبوب عن جميل بن صالح عن سماعة قال قلت لأبي عبد الله (عليه السلام) أخبرني عن الاسلام والايمان أهما مختلفان؟ فقال إن الايمان يشارك الاسلام والاسلام لا يشارك الايمان فقلت فصفهما لي فقال الاسلام شهادة أن لا إله إلا الله والتصديق برسول الله (صلى الله عليه وآله) به حقنت الدماء وعليه جرت المناكح والمواريث وعلى ظاهره جماعة الناس، والايمان الهدى وما يثبت في القلوب من صفة الاسلام وما ظهر من العمل به والايمان أرفع من الاسلام بدرجة إن الايمان يشارك الاسلام في الظاهر والاسلام لا يشارك الايمان في الباطن وإن اجتمعا في القول والصفة

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Hasan bin Mahbuub dari Jamiil bin Shalih dari Sama’ah yang berkata aku berkata kepada Abi Abdullah [‘alaihis salaam] “kabarkanlah kepadaku tentang islam dan iman apakah keduanya berbeda?. Maka Beliau berkata “sesungguhnya iman mencakup islam dan islam belum mencakup iman”. Aku berkata “jelaskanlah keduanya kepadaku”. Maka Beliau berkata “Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan membenarkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dengannya darah terlindungi, dan karenanya bisa terjadi pernikahan dan pewarisan, dan itulah yang nampak pada jama’ah manusia. Sedangkan Iman adalah petunjuk, apa yang ada di dalam hati dari yang disifatkan islam dan apa yang nampak dari amal perbuatan dengannya, iman lebih tinggi derajatnya dari islam, iman mencakup islam dalam zahir dan islam belum mencakup iman dalam bathin dan sesungguhnya keduanya bergabung dalam perkataan dan sifat [Al Kafiy Al Kulainiy 2/19 no 1].

Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya muwatstsaq sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, para perawinya tsiqat hanya saja Sama’ah bin Mihraan disebutkan ia bermazhab waqifiy, berikut keterangan para perawinya
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902].
  3. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  4. Jamil bin Shalih Al Asadiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 127 no 329].
  5. Sama’ah bin Mihraan seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 193 no 517]. Disebutkan bahwa ia bermazhab waqifiy [Rijal Ath Thuusiy hal 337].

Riwayat Keempat:

عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد; ومحمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد جميعا، عن ابن محبوب، عن علي بن رئاب، عن حمران بن أعين، عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: سمعته يقول: الايمان ما استقر في القلب وأفضى به إلى الله عز وجل وصدقه العمل بالطاعة لله والتسليم لامره والاسلام ما ظهر من قول أو فعل وهو الذي عليه جماعة الناس من الفرق كلها وبه حقنت الدماء وعليه جرت المواريث وجاز النكاح واجتمعوا على الصلاة والزكاة والصوم والحج، فخرجوا بذلك من الكفر وأضيفوا إلى الايمان،

Sekelompok sahabat kami dari Sahl bin Ziyaad, dan Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad, keduanya [Sahl bin Ziyaad dan Ahmad bin Muhammad] dari Ibnu Mahbuub dari Aliy bin Ri’ab dari Hamran bin ‘A’yan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam], [Hamraan] berkata aku mendengarnya mengatakan Iman adalah apa yang ada di dalam hati dan menuju kepada Allah ‘azzawajalla dan dibenarkan dengan amal taat kepada Allah dan berserah diri pada perintahnya, sedangkan Islam adalah apa yang nampak dari perkataan dan perbuatan, ia yang dianut oleh jama’ah manusia dari semua Firqah [golongan], dan dengannya darah terlindungi dan karenanya berlangsung pewarisan dan bolehnya pernikahan, dan bergabung dengan shalat, zakat, puasa dan haji maka dengan semua itu mereka keluar dari kekafiran dan dimasukkan kedalam iman…[Al Kafiy Al Kulainiy 2/20 no 5]
Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902]
  3. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  4. Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151]
  5. Hamraan bin ‘A’yun ia dikatakan hawaariy Imam Abu Ja’far Al Baqir [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Al Fa’iq Fii Ruwah Wa Ashabul Imam Shadiq 1/475-476 no 975]. Ia termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib hal 2]

Riwayat Kelima:

علي، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن جميل بن دراج، عن فضيل بن يسار قال: سمعت أبا عبد الله (عليه السلام) يقول: إن الايمان يشارك الاسلام ولا يشاركه الاسلام، إن الايمان ما وقر في القلوب والاسلام ما عليه المناكح والمواريث و حقن الدماء، والايمان يشرك الاسلام والاسلام لا يشرك الايمان

Aliy dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Jamiil bin Daraaj dari Fudhail bin Yasaar yang berkata aku mendengar Aba ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan sesungguhnya Iman mencakup Islam dan Islam belum mencakup Iman, Iman adalah apa yang diyakini di dalam hati dan Islam apa yang diatasnya berlaku pernikahan, pewarisan dan terlindung darahnya, Iman mencakup Islam dan Islam belum mencakup Iman [Al Kafiy Al Kulainiy 2/26 no 3].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  4. Jamil bin Daraaj, ia termasuk orang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 126 no 328].
  5. Fudhail bin Yasaar An Nahdiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 309 no 846].
Matan riwayat menunjukkan bahwa Islam di dalamnya berlaku bolehnya pernikahan, pewarisan dan terjaga darahnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dibolehkan menikahi orang yang tidak meyakini perkara Wilayah,

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن جميل بن دراج، عن زرارة قال: قلت لأبي جعفر (عليه السلام) إني أخشى أن لا يحل لي أن أتزوج من لم يكن على أمري فقال: ما يمنعك من البله من النساء؟ قلت: وما البله؟ قال: هن المستضعفات من اللاتي لا ينصبن ولا يعرفن ما أنتم عليه

Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Abi Umair dari Jamiil bin Daraaj dari Zurarah yang berkata aku berkata kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] aku khawatir tidak dihalalkan bagiku menikahi wanita yang tidak berdiri di atas urusanku [wilayah]. Maka Beliau berkata “apa yang mencegahmu dari wanita al balah?”.Aku berkata “apa itu al balah?” Beliau berkata “mereka adalah kaum yang lemah tidak melakukan nashb dan tidak pula mereka mengenal apa yang engkau berada di atasnya [wilayah]” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/349 no 7].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  4. Jamil bin Daraaj, ia termasuk orang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 126 no 328].
  5. Zurarah bin A’yun Asy Syaibaniy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu Abdullah [Rijal Ath Thuusiy hal 337].
Hadis di atas menjadi bukti bahwa mereka yang tidak mengenal Imamah juga merupakan seorang Muslim menurut hadis shahih riwayat Ahlul Bait dalam mazhab Syi’ah. Dibolehkannya menikahi wanita yang tidak meyakini Imamah menunjukkan bahwa mereka masih tergolong ke dalam Islam.

Riwayat Yang Dijadikan Hujjah Dalam Mengkafirkan Ahlus Sunnah.
Sebagian nashibiy mengutip berbagai riwayat dalam kitab mazhab Syi’ah yang menurut mereka mengkafirkan ahlus sunnah, berikut riwayat yang dimaksud:

Riwayat Pertama:

أبو علي الأشعري، عن الحسن بن علي الكوفي، عن عباس بن عامر، عن أبان بن عثمان، عن فضيل بن يسار، عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: بني الاسلام على خمس: على الصلاة والزكاة والصوم والحج والولاية ولم يناد بشئ كما نودي بالولاية، فأخذ الناس بأربع وتركوا هذه يعني الولاية

Abu ‘Aliy Al ‘Asyariy dari Hasan bin Aliy Al Kuufiy dari ‘Abbas bin ‘Aamir dari Aban bin ‘Utsman dari Fudhail bin Yasaar dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata rukun islam itu ada lima yaitu shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah, dan tidak diserukan sesuatu seperti diserukan tentang wilayah maka orang-orang mengambil yang empat dan meninggalkan yang ini yaitu wilayah [Al Kafiiy Al Kulainiy 2/18 no 3].

Riwayat di atas sanadnya muwatstsaq berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris bin Ahmad adalah seorang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis, shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228].
  2. Hasan bin Aliy Al Kuufiy adalah Hasan bin Aliy bin ‘Abdullah bin Mughiirah Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy 62 no 147].
  3. ‘Abbaas bin ‘Aamir bin Rabah, Abu Fadhl Ats Tsaqafiy seorang syaikh shaduq tsiqat banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 281 no 744].
  4. Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3].
  5. Fudhail bin Yasaar An Nahdiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 309 no 846].
Riwayat di atas muwatstaq karena Aban bin ‘Utsman yang kendati mendapat predikat ta’dil ia seorang yang mazhabnya menyimpang. Riwayat ini juga dikuatkan oleh riwayat shahih lainnya yang menyebutkan bahwa wilayah termasuk rukun islam dalam mazhab Syi’ah yaitu riwayat Zurarah sebagaimana yang disebutkan dalam Al Kafiy dengan riwayat yang panjang [Al Kaafiy Al Kulainiy 2/18-19 no 5]. Dan dalam riwayat Zurarah setelah menyebutkan kelima rukun Islam [termasuk wilayah] maka terdapat tambahan bahwa mereka yang tidak mengenal Wilayah tidak berhak atas pahala amal perbuatannya dan bukan termasuk ahlul iman.

Disini kami hanya akan menampilkan ringkasan riwayat tersebut sebagaimana dinukil Syaikh Al Hurr Al Amiliy dalam kitabnya Wasa’il Syi’ah,

وعن علي بن إبراهيم، عن أبيه، وعبد الله بن الصلت جميعا، عن حماد بن عيسى، عن حريز، عن زرارة، عن أبي جعفر (عليهالسلام) – في حديث في الإمامة – قال: أما لو أن رجلا قام ليله وصام نهاره وتصدق بجميع ماله وحج جميع دهره ولم يعرف ولاية ولي الله فيواليه ويكون جميع أعماله بدلالته إليه ما كان له على الله حق في ثوابه ولا كان من أهل الايمان

Dan dari Aliy Ibrahim dari Ayahnya dan ‘Abdullah bin Ash Shalt keduanya dari Hammaad bin Iisa dari Hariiz dari Zuraarah dari Abi Ja’far [‘alaihis salaam] hadis tentang Imamah, Beliau berkata “adapun seandainya seseorang menegakkan shalat di waktu malam, puasa di waktu siang, bersedekah dengan seluruh hartanya, haji dengan seluruh umurnya tetapi ia tidak mengenal wilayah waliy Allah, berwala’ kepadanya, dan menjadikan seluruh amalnya atas petunjuknya maka ia tidak berhak atas Allah tentang pahala amalnya dan bukanlah ia termasuk ahlul Iman [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Aamiliy 27/65-66].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. ‘Abdullah bin Ash Shalt Abu Thalib Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 217 no 564].
  4. Hammad bin Iisa Abu Muhammad Al Juhaniy ia seorang yang tsiqat dalam hadisnya shaduq [Rijal An Najasyiy hal 142 no 370].
  5. Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy seorang penduduk Kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118].
  6. Zurarah bin A’yun Asy Syaibaniy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu Abdullah [Rijal Ath Thuusiy hal 337].
Mengenai lafaz “tidak berhak atas pahala dan bukan termasuk ahlul iman” maka lafaz ini tidak menyatakan kekafiran bagi mereka yang tidak meyakini Wilayah. Tidak diragukan bahwa dalam mazhab Syi’ah, Wilayah termasuk rukun Islam tetapi riwayat-riwayat sebelumnya telah membuktikan bahwa mazhab lain yang menyimpang dari Syi’ah termasuk ahlus sunnah masih masuk dalam batasan Islam walaupun dikatakan dalam mazhab Syi’ah bahwa mereka adalah muslim yang tersesat bukan tergolong mukmin dan bukan pula kafir. Dan ma’ruf dalam mazhab Syi’ah bahwa mereka membedakan terminologi muslim dan mu’min.

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن محبوب، عن ابن رئاب، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: إنا لا نعد الرجل مؤمنا حتى يكون بجميع أمرنا متبعا مريدا، ألا وإن من اتباع أمرنا وإرادته الورع، فتزينوا به، يرحمكم الله وكبدوا أعدائنا [به] ينعشكم الله

Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Mahbuub dari Ibnu Ri’aab dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata sesungguhnya kami tidak menganggap seseorang sebagai mu’min sampai ia mengikuti semua perintah kami dengan taat dan ridha, dan sungguh ia mengikuti perintah kami dan memenuhinya dengan wara’, maka hiasilah diri kalian dengannya [wara’] semoga Allah merahmati kalian dan hadapilah musuh kami dengannya [wara’] semoga Allah mengangkat kalian [Al Kafiy Al Kulainiy 2/78 no 13].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  4. Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151].
Nampak dalam riwayat Al Kaafiy di atas bahwa seseorang dikatakan mu’min sampai ia memenuhi Wilayah ahlul bait dalam arti mengikuti semua perintah ahlul bait dengan taat dan ridha.

وروى الحسن بن محبوب، عن يونس بن يعقوب، عن حمران بن أعين ” وكان بعض أهله يريد التزويج فلم يجد امرأة يرضاها، فذكر ذلك لأبي عبد الله عليه السلام فقال: أين أنت من البلهاء واللواتي لا يعرفن شيئا؟ قلت: إنما يقول: إن الناس على وجهين كافر ومؤمن، فقال: فأين الذين خلطوا عملا صالحا وآخر سيئا؟! وأين المرجون لأمر الله؟! أي عفو الله “

Dan riwayat Hasan bin Mahbuub dari Yunus bin Ya’qub dari Hamraan bin A’yun bahwa sebagian dari keluarganya ingin menikah maka mereka tidak menemukan wanita yang diridhainya, disebutkan hal itu kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] maka Beliau berkata “kemana engkau dari wanita-wanita al balah yang tidak mengenal sesuatu [wilayah]?. Maka aku berkata “sesungguhnya kami mengatakan bahwa orang-orang hanya terbagi menjadi dua yaitu kafir dan mu’min. Maka Beliau berkata “lantas dimana orang-orang yang mencampuradukkan amal shalih dengan amal yang buruk? Dimana orang-orang yang dikembalikan urusannya kepada Allah SWT?. Dimana ampunan Allah SWT?. [Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih Syaikh Shaduq 3/408 no 4427].

Riwayat Syaikh Shaduq dalam kitab Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih telah dishahihkan oleh Syaikh Shaduq sebagaimana dikatakannya dalam muqaddimah kitab. Tetapi tentu saja yang paling baik dalam perkara ini adalah melihat sanad lengkap atau jalan sanad Syaikh Ash Shaduq sampai Hasan bin Mahbuub

وما كان فيه عن الحسن بن محبوب فقد رويته عن محمد بن موسى بن المتوكل رضي الله عنه عن عبد الله بن جعفر الحميري، وسعد بن عبد الله، عن أحمد بن محمد ابن عيسى، عن الحسن بن محبوب

Adapun yang kami sebutkan tentangnya dari Hasan bin Mahbuub maka sungguh itu diriwayatkan dari Muhammad bin Muusa bin Mutawakil [radiallahu ‘anhu] dari ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy dan Sa’d bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Iisa dari Hasan bin Mahbuub. [Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih Syaikh Shaduq 4/453].

Riwayat Syaikh Shaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Muhammad bin Musa bin Mutawakil [radiallahu ‘anhu] adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59].
  2. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400].
  3. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  4. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
  5. Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  6. Yunus bin Ya’qub seorang yang tsiqat, termasuk sahabat Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal Ath Thuusiy hal 368].
  7. Hamran bin A’yun termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib hal 2]. Ia dikatakan hawaariy Imam Abu Ja’far Al Baqir [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Al Fa’iq Fii Ruwah Wa Ashabul Imam Shadiq 1/475-476 no 975].
Riwayat Syaikh Ash Shaduuq menyebutkan bahwa dalam pandangan Imam Abu ‘Abdullah manusia itu tidak hanya terbagi menjadi dua golongan mu’min dan kafir tetapi terdapat juga mereka orang muslim yang mencampuradukkan amal shalih dengan keburukan, yang kedudukannya dikembalikan kepada Allah SWT atau akan diampuni oleh Allah SWT. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang tidak mengenal wilayah ahlul bait. Inilah yang dimaksud mereka tidak berhak akan pahala yaitu kedudukan amal shalihnya akan diserahkan keputusannya kepada Allah SWT. Dan mereka dikatakan “bukan termasuk ahlul iman” tetapi tetap dikatakan muslim karena berdasarkan riwayat shahih, lafaz mu’min di sisi Syi’ah disifatkan pada mereka yang meyakini dan mentaati Wilayah ahlul bait.

Riwayat Kedua:

علي بن إبراهيم، عن صالح بن السندي، عن جعفر بن بشير، عن أبي سلمة عن أبي عبد الله عليه السلام قال: سمعته يقول: نحن الذين فرض الله طاعتنا، لا يسع الناس إلا معرفتنا ولا يعذر الناس بجهالتنا، من عرفنا كان مؤمنا، ومن أنكرنا كان كافرا، ومن لم يعرفنا ولم ينكرنا كان ضالا حتى يرجع إلى الهدى الذي افترض الله عليه من طاعتنا الواجبة فإن يمت على ضلالته يفعل الله به ما يشاء

Aliy bin Ibrahim dari Shalih bin As Sindiy dari Ja’far bin Basyiir dari Abi Salamah dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata aku mendengarnya mengatakan kami adalah orang-orang yang Allah SWT wajibkan ketaatan kepada kami, tidak diberi pilihan orang-orang kecuali mengenal kami, tidak diberikan udzur orang-orang yang jahil terhadap kami, barang siapa yang mengenal kami maka ia mu’min dan barang siapa yang mengingkari kami maka ia kafir, barang siapa yang tidak mengenal kami dan tidak pula mengingkari kami maka ia tersesat sampai ia kembali kepada petunjuk dimana Allah SWT mewajibkan atasnya ketaatan kepada kami, dan jika ia mati dalam keadaan tersesat tersebut maka Allah SWT akan menetapkan sesuai dengan kehendaknya [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/187 no 11].

Riwayat di atas berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya dhaif karena Shalih bin As Sindiy seorang yang majhul [Al Muufid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 282]. Terdapat sebagian ulama muta’akhirin yang mengisyaratkan tautsiq terhadapnya seperti Syaikh Muhammad bin Ismaiil Al Mazandaraniy menukil dalam kitabnya biografi Shalih bin Sindiy bahwa ia meriwayatkan Kitab Yunus bin ‘Abdurrahman dan Ibnu Walid telah mempercayainya [Muntaha Al Maqal 4/13 no 1447].

Shalih bin As Sindiy memang termasuk diantara perawi yang meriwayatkan kitab Yunus bin ‘Abdurrahman sebagimana disebutkan oleh Syaikh Ath Thuusiy [Al Fahrasat hal 266 biografi Yunus bin ‘Abdurrahman] kemudian Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan:

قال أبو جعفر بن بابويه: سمعت ابن الوليد رحمه الله يقول كتب يونس بن عبد الرحمن التي هي بالروايات كلها صحيحة يعتمد عليها الا ما ينفرد به محمد بن عيسى بن عبيد عنه ولم يروه غيره وانا لا نعتمد عليه ولا نفتي به

Abu Ja’far bin Babawaih berkata aku mendengar Ibnu Walid [rahimahullah] mengatakan Kitab Yunus bin ‘Abdurrahman yang datang dengan riwayat semuanya shahih dapat berpegang dengannya kecuali apa yang diriwayatkan secara tafarrud Muhammad bin Isa bin ‘Ubaid darinya dan tidak diriwayatkan oleh selainnya, maka aku tidak berpegang dengannya dan tidak berfatwa dengannya [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 266].

Dari perkataan Ibnu Walid ini tidak ada tautsiq terhadap Shalih bin Sindiy, disini Ibnu Walid menyatakan bahwa kitab Yunus bin ‘Abdurrahman semuanya shahih kecuali riwayat Muhammad bin Isa bin Ubaid secara tafarrud maka bukan berarti semua perawi Kitab Yunus selain Muhammad bin Isa statusnya tsiqat dalam pandangan Ibnu Walid. Apalagi Shalih bin Sindiy bukan satu-satunya perawi yang meriwayatkan kitab Yunus selain Muhammad bin Iisa.

Ibnu Walid termasuk ulama mutaqaddimin dimana ulama mutaqaddimin ketika menyatakan shahih suatu riwayat atau kitab tidak selalu bermakna semua perawi dalam sanad atau kitab tersebut shahih. Karena bisa saja bermakna bahwa riwayat tersebut atau kitab tersebut shahih matannya, diriwayatkan secara mutawatir atau terdapat dalam kitab Usul dan alasan lainnya. Masih mungkin untuk dikatakan Shalih bin Sindiy ini dhaif atau majhul tetapi karena riwayatnya bersesuaian dengan perawi lain maka riwayatnya Kitab Yunus bin ‘Abdurrahman shahih dalam pandangan Ibnu Walid.

Maka dari itu pendapat yang rajih isyarat tautsiq terhadap Shalih bin Sindiy disini tidak jelas penunjukkannya hanya bersifat kemungkinan dimana ada banyak kemungkinan lain yang menafikannya.

Riwayat Ketiga:

يونس، عن داود بن فرقد، عن حسان الجمال، عن عميرة، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: سمعته يقول: أمر الناس بمعرفتنا والرد إلينا والتسليم لنا، ثم قال: وإن صاموا وصلوا وشهدوا أن لا إله إلا الله وجعلوا في أنفسهم أن لا يردوا إلينا كانوا بذلك مشركين

Yunus dari Dawud bin Farqad dari Hasan Al Jamaal dari ‘Umairah dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [‘Umairah] berkata aku mendengarnya mengatakan orang-orang diperintahkan mengenal kami mengembalikan [permasalahan] kepada kami dan tunduk sepenuhnya kepada kami kemudian Beliau berkata meskipun mereka puasa, shalat dan bersaksi tiada Tuhan selain Allah tetapi mereka tidak mengembalikan [permasalahan] kepada kami maka mereka musyrik [Al Kafiy Al Kulainiy 2/398 no 5].

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya dhaif karena Umairah seorang yang majhul sebagaimana disebutkan dalam Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits,

عميرة: مجهول – روى رواية عن أبي عبد الله (ع) في الكافي ج 2 كتاب الايمان والكفر، باب الشرك

Umairah majhul perawi yang meriwayatkan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis sallam] dalam Al Kaafiy juz 2 Kitab Iman dan Kafir Bab Syirik [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 443].

Riwayat Keempat:

محمد بن يحيى، عن محمد بن الحسين، عن صفوان بن يحيى، عن العلاء بن رزين عن محمد بن مسلم قال: سمعت أبا جعفر عليه السلام يقول: كل من دان الله عز وجل بعبادة يجهد فيها نفسه ولا إمام له من الله فسعيه غير مقبول، وهو ضال متحير والله شانئ  لاعماله، ومثله كمثل شاة ضلت عن راعيها وقطيعها، فهجمت ذاهبة وجائية يومها، فلما جنها الليل بصرت بقطيع غنم مع راعيها، فحنت إليها واغترت بها، فباتت معها في مربضها فلما أن ساق الراعي قطيعه أنكرت راعيها وقطيعها، فهجمت متحيرة تطلب راعيها وقطيعها،فبصرت بغنم مع راعيها فحنت إليها واغترت بها فصاح بها الراعي: الحقي براعيك، وقطيعك فأنت تائهة متحيرة عن راعيك وقطيعك، فهجمت ذعرة، متحيرة، تائهة، لا راعي لها يرشدها إلى مرعاها أو يردها، فبينا هي كذلك إذا اغتنم الذئب ضيعتها، فأكلها، وكذلك والله يا محمد من أصبح من هذه الأمة لا إمام له من الله عز وجل ظاهر عادل، أصبح ضالا تائها، وإن مات على هذه الحالة مات ميتة كفر ونفاق، و اعلم يا محمد أن أئمة الجور وأتباعهم لمعزولون عن دين الله قد ضلوا وأضلوا فأعمالهم التي يعملونها كرماد اشتدت به الريح في يوم عاصف، لا يقدرون مما كسبوا على شئ، ذلك هو الضلال البعيد

Muhammad bin Yahya dari Muhammad bin Husain dari Shafwaan bin Yahya dari Al A’laa bin Raziin dari Muhammad bin Muslim yang berkata aku mendengar Abu Ja’far [‘alaihis salaam] mengatakan “Semua yang beribadah kepada Allah ‘azza wajalla dengan mengharapkan imbalan dan berjuang dalam melakukannya, tetapi tanpa memiliki Imam dari Allah maka usahanya tidak diterima. Dan dia adalah orang yang tersesat, Allah tidak menyukai amal perbuatannya. Permisalannya seperti domba yang hilang yang menyimpang jauh dari gembala dan kawanannya . Dia mengembara di siang hari dan pada malam hari dia menemukan kawanan domba dengan gembala yang berbeda .Dia tertarik kepadanya dan tertipu olehnya, jadi dia bergabung dengan mereka di gudang mereka, tetapi ketika gembala mengeluarkan mereka, dia tidak mengakui gembala dan kawanan tersebut.Maka dia mengembara bingung dalam mencari gembala dan kawanannya.Kemudian dia menemukan kembali kawanan domba dengan gembala, dia tertarik dengannya dan tertipu olehnya tetapi gembala tersebut berteriak kepadanya “carilah kawanan dan gembalamu sendiri, karena engkau hilang dan tersesat dari gembala dan kawananmu”.Jadi dia mengembara sedih, bingung dan tersesat, dengan tidak ada gembala untuk membimbingnya ke tempat gembala dan gudang. Kemudian pada saat itu serigala mengambil kesempatan dan memakannya. Demi Allah, begitulah wahai Muhammad hal yang sama terjadi pada umat ini tanpa memiliki Imam dari Allah ‘azza wajalla yang zhahir lagi adil, mereka seperti hilang dan tersesat. Dan jika mati pada keadaan seperti ini, maka ia mati seperti kematian orang kafir dan munafik. Dan ketahuilah wahai Muhammad, bahwa Imam yang tidak adil dan pengikut mereka terputus dari agama Allah. Mereka telah sesat dan menyesatkan, sehingga perbuatan mereka yang telah mereka lakukan seperti debu yang diterbangkan oleh angin ketika badai. Mereka tidak mampu mendapatkan keuntungan dari perbuatan mereka begitulah keadaan yang tersesat jauh. [Al Kafiy Al Kulainiy 1/183-184 no 8].

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 19/33 no 12010].
  2. Muhammad bin Husain bin Abi Khaththab seorang yang tsiqat dan banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897].
  3. Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524].
  4. Al A’laa bin Raziin termasuk sahabat Muhammad bin Muslim, seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 298 no 811].
  5. Muhammad bin Muslim bin Rabah termasuk orang yang paling terpercaya [Rijal An Najasyiy hal 323-324 no 882].

أحمد بن إدريس، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان، عن الفضيل، عن الحارث بن المغيرة قال: قلت لأبي عبد الله عليه السلام: قال رسول الله صلى الله عليه وآله: من مات لا يعرف إمامه مات ميتة جاهلية؟ قال: نعم، قلت: جاهلية جهلاء أو جاهلية لا يعرف إمامه؟ قال جاهلية كفر ونفاق وضلال

Ahmad bin Idriis dari Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Fudhail dari Al Harits bin Mughiirah yang berkata aku berkata kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi] berkata “barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mengenal Imamnya maka ia mati seperti kematian jahiliyah”?. Beliau berkata “benar”. Aku berkata “Jahiliyah orang-orang bodoh atau jahiliiyah tidak mengenal Imamnya?. Beliau berkata Jahiliyah orang-orang kafir, munafik dan tersesat [Al Kafiy Al Kulainiy 1/377 no 3].

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Ahmad bin Idris bin Ahmad Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah seorang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis, shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228].
  2. Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar ia adalah Ibnu Abi Ashabaan seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391].
  3. Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524].
  4. Fudhail bin Utsman atau Fadhl bin Utsman Al Muraadiy seorang yang tsiqat tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 456].
  5. Al Harits bin Mughiirah meriwayatkan dari Abu Ja’far, Ja’far, Musa bin Ja’far dan Zaid bin Aliy, tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 139 no 361].
Makna mati seperti kematian orang kafir dan munafik dalam riwayat di atas sama maknanya dengan mati seperti kematian orang-orang jahiliyah. Dan jahiliyah disini bukan bermakna orang-orang bodoh atau jahil tetapi bermakna seperti orang-orang di zaman Jahiliyah dahulu yang mana mereka adalah orang-orang kafir yang tersesat karena tidak memiliki Imam yang memberikan petunjuk kepada mereka. Jadi bukan bermakna mereka yang tidak mengenal wilayah berarti kafir dan pasti masuk neraka. Makna seperti ini sesuai dengan hadis-hadis sebelumnya yang menegaskan keislaman mereka yang tidak mengenal Wilayah ahlul bait.

Disebutkan dalam riwayat shahih mazhab Syi’ah bahwa kedudukan mereka akan dikembalikan nanti urusannya kepada Allah SWT. Sebagaimana nampak dalam riwayat panjang dari Dhurais Al Kanaasiy yang bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam], dalam riwayat panjang tersebut terdapat penggalan berikut:

قلت أصلحك الله فما حال الموحدين المقرين بنبوة محمد (صلى الله عليه وآله) من المسلمين المذنبين الذين يموتون وليس لهم إمام ولا يعرفون ولايتكم؟ فقالأما هؤلاء فإنهم في حفرتهم لا يخرجون منها فمن كان منهم له عمل صالح ولم يظهر منه عداوة فإنه يخد له خد إلى الجنة التي خلقها الله في المغرب فيدخل عليه منها الروح في حفرته إلى يوم القيامة فيلقى الله فيحاسبه بحسناته وسيئاته فإما إلى الجنة وإما إلى النار فهؤلاء موقوفون لأمر الله، قال: وكذلك يفعل الله بالمستضعفين والبله والأطفال وأولاد المسلمين الذين لم يبلغوا الحلم

Aku [Dhurais] berkata [kepada Abu Ja’far] “semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, maka bagaimana keadaan orang-orang Islam yang bertauhid dan meyakini Kenabian Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan mereka mati dalam keadaan tidak memiliki Imam dan tidak mengenal Wilayah kalian?. Maka Beliau [Abu Ja’far] berkata “adapun mereka di dalam kubur mereka dan tidak keluar darinya, maka barang siapa diantara mereka yang memiliki amal shalih dan tidak nampak dari mereka permusuhan [kepada ahlul bait] maka ia akan diberikan ruangan yang terhubung ke surga [taman surga] yang diciptakan Allah di Barat  maka akan masuk dari sana wewangian surga ke dalam kuburnya hingga hari kiamat ia bertemu Allah dan Allah akan menghisabnya sesuai dengan amal kebaikan dan keburukannya, adapun apakah ia ke surga atau ke neraka maka semua mereka diserahkan urusannya kepada Allah. Beliau berkata “begitu pula yang akan ditetapkan Allah atas orang-orang mustadha’ifiin, albalah [orang bodoh], anak yang baru lahir atau anak-anak kaum muslimin yang belum mencapai baligh” [Al Kafiy Al Kulainiy 3/247].

Riwayat Al Kafiy di atas adalah riwayat yang panjang, sanad lengkap riwayat tersebut adalah sebagai berikut:

عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، وسهل بن زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا، عن ابن محبوب، عن علي بن رئاب، عن ضريس الكناسي قالسألت أبا جعفرعليه السلام

Sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad dan Sahl bin Ziyaad, Dan Aliy bin Ibrahiim dari Ayahnya, semuanya [Ahmad bin Muhammad, Sahl bin Ziyaad dan Ibrahim bin Haasyim] berkata dari Ibnu Mahbuub dari ‘Aliy bin Ri’ab dari Dhurais Al Kanaasiy yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam]…[Al Kafiy Al Kulainiy 3/246].

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  4. Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151].
  5. Dhurais bin ‘Abdul Malik Al Kanasiy seorang yang khair, fadhl, tsiqat [Rijal Al Kasyiy 2/601 no 566].
Riwayat Al Kafiy di atas menguatkan penafsiran bahwa makna mati dalam kematian jahiliah kafir musyrik tersesat itu bermakna kematian seperti orang-orang kafir dan sesat di zaman jahiliyah yang tidak memiliki Imam yang memberi petunjuk atas mereka. Bukan bermakna mati dalam keadaan kafir yang pasti masuk neraka karena riwayat shahih di atas menunjukkan dengan jelas bahwa orang islam yang tidak memiliki Imam dan tidak mengenal Wilayah kedudukannya diserahkan kepada Allah SWT apakah ke surga atau ke neraka.

Sebenarnya hadis dengan lafaz “mati dalam keadaan jahiliyah” tidak hanya ditemukan dalam kitab mazhab Syi’ah. Dalam kitab mazhab ahlus sunnah juga ditemukan hadis dengan lafaz demikian,

حدثنا عبيدالله بن معاذ العنبري حدثنا أبي حدثنا عاصم وهو ابن محمد بن زيد عن زيد بن محمد عن نافع قالجاء عبدالله بن عمر إلى عبدالله بن مطيع حين كان من أمر الحرة ما كان زمن يزيد بن معاوية فقال اطرحوا لأبي عبدالرحمن وسادة فقال إني لم آتك لأجلس أتيتك لأحدثك حديثا سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقوله سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin Mu’adz Al ‘Anbariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aashim dan ia adalah Ibnu Muhammad bin Zaid dari Zaid bin Muhammad dari Nafi’ yang berkata ‘Abdullah bin Umar datang kepada ‘Abdullah bin Muthi’ dan ia adalah pemimpin Harrah pada zaman Yaziid bin Mu’awiyah. Ia berkata “berikan bantal kepada ‘Abu ‘Abdurrahman”. [Ibnu ‘Umar] berkata “aku datang bukan untuk duduk tetapi aku datang kepadamu untuk menceritakan kepadamu hadis yang aku dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], [Abdullah bin ‘Umar] mengatakan aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan maka ia akan menemui Allah SWT pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barang siapa yang mati tanpa baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah [Shahih Muslim 3/1478 no 1851].

Para ulama Ahlus sunnah menafsirkan makna kematian jahiliyah tersebut sebagai kematian orang-orang kafir pada masa jahiliyah yang tidak taat kepada pemimpin atau tidak memiliki pemimpin, para ulama Ahlus Sunnah tidak memaknai hadis tersebut sebagai mati dalam keadaan kafir.

وأخبرني محمد بن أبي هارون أن إسحاق حدثهم أن أبا عبد الله سئل عن حديث النبي صلى الله عليه وسلم من مات وليس له إمام مات ميتة جاهلية ما معناه ؟ قال أبو عبد الله تدري ما الإمام ؟ الإمام الذي يجمع المسلمون عليه كلهم يقول هذا إمام ، فهذا معناه

Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Abi Haruun bahwa Ishaaq mengabarkan kepada mereka bahwa Abu ‘Abdullah ditanya tentang hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “barang siapa mati tanpa memiliki Imam maka ia mati seperti kematian Jahiliyah” apa maknanya?. Abu ‘Abdullah berkata “tahukah engkau yang disebut Imam?. Imam adalah orang yang berkumpul atasnya kaum muslimin seluruhnya dan mengatakan inilah Imam, maka inilah makna hadis tersebut [As Sunnah Al Khalaal no 11].

Muhammad bin Abi Haruun Abu Fadhl adalah seorang yang shalih, fadhl dan banyak memiliki ilmu [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 21/291]. Ishaaq adalah Ishaaq bin Manshuur bin Bahraam dikatakan Muslim bahwa ia tsiqat ma’mun dan Nasa’iy berkata tsiqat [Tarikh Baghdad 6/362 no 3386] dan Abu ‘Abdullah adalah Ahmad bin Hanbal yang sudah dikenal keilmuannya di kalangan ulama Ahlus Sunnah. Pertanyaan terkait hadis ini adalah siapakah Imam kaum muslimin sekarang dimana jika kaum muslimin tidak membaiatnya dan mati dalam keadaan demikian maka mereka mati seperti kematian jahiliyah. Kalau lafaz “kematian jahiliyah” ini dimaknai sebagai kafir maka kaum muslimin [dari kalangan ahlus sunnah] akan menjadi kafir mengingat di zaman sekarang ini tidak ada Imam dimana berkumpul dan berbaiat atasnya seluruh kaum muslimin.

Dan terkadang zhahir lafaz “kafir” dalam suatu riwayat atau hadis tidak selalu bermakna kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Memang terdengar aneh, tetapi konsep kekafiran di bawah kekafiran ini cukup dikenal dalam mazhab Ahlus Sunnah. Silakan perhatikan hadis berikut:

حدثنا أبو عبد الله قال ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه قال سئل ابن عباس عن قوله ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون قال هي به كفر قال ابن طاوس وليس كمن كفر بالله وملائكته وكتبه ورسله

Telah menceritakan kepada kami ‘Abu ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Ayahnya yang berkata ‘Ibnu ‘Abbas ditanya tentang firman Allah “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS Al Ma’idah : 44]. Ibnu ‘Abbas berkata “Itu adalah Kafir”. Ibnu Thawus berkata “dan bukanlah itu seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan Rasul-Nya” [As Sunnah Al Khalaal no 1443].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu hadis Ahlus Sunnah, berikut keterangan para perawinya,
  1. Abu ‘Abdullah adalah Ahmad bin Hanbal salah seorang imam tsiqat hafizh faqiih hujjah [Taqrib At Tahdzib 1/84 no 96].
  2. ‘Abdurrazzaaq bin Hamaam Ash Shan’aniy seorang tsiqat hafizh, penulis kitab, buta di akhir umurnya bercampur hafalannya dan ia bertasyayyu’ [Taqrib At Tahdzib 1/354 no 4064]. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq sebelum ia buta dan bercampur hafalannya.
  3. Ma’mar bin Rasyiid Al ‘Azdiy seorang tsiqat tsabit fadhl kecuali riwayatnya dari Tsaabit, A’masyiy, Hisyam bin ‘Urwah dan hadisnya di Bashrah [Taqrib At Tahdzib 1/541 no 6809]. Ini adalah riwayatnya dari ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy yang dijadikan hujjah oleh Bukhariy Muslim.
  4. ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy seorang yang tsiqat fadhl ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/308 no 3397].
  5. Thawus bin Kaisan Al Yamaniy seorang yang tsiqat faqiih fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/281 no 3009].

حدثني يعقوب بن إبراهيم قال حدثنا هشيم قال أخبرنا عبد الملك بن أبي سليمان عن سلمة بن كهيل عن علقمة ومسروق أنهما سألا ابن مسعود عن الرشوة فقال من السحت قال فقالا أفي الحكم؟ قال ذاك الكفر ثم تلا هذه الآية ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari ‘Alqamah dan Masruuq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang suap, Maka Ibnu Mas’ud berkata “itu perbuatan haram”, Keduanya berkata “bagaimana hukumnya?”. Ibnu Mas’ud berkata “itu kafir” kemudian Ia membaca ayat “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS Al Ma’idah : 44]. [Tafsir Ath Thabariy 10/357 no 12061].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu hadis Ahlus Sunnah, berikut keterangan para perawinya,
  1. Ya’qub bin Ibrahiim Ad Dawraaqiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan termasuk hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/607 no 7812].
  2. Husyaim bin Basyiir perawi kutubus sittah, seorang tsiqat tsabit banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy [Taqrib At Tahdzib 1/574 no 7312].
  3. ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman, termasuk perawi Muslim seorang yang shaduq pernah melakukan kesalahan [Taqrib At Tahdzib 1/363 no 4184] kemudian disebutkan dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib bahwa ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4184].
  4. Salamah bin Kuhail Al Hadhramiy perawi kutubus sittah yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/248 no 2508].
  5. Alqamah bin Qais An Nakha’iy perawi kutubus sittah, tsiqat tsabit faqiih ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/397 no 4681].
  6. Masruuq bin Al A’jda’ Al Hamdaaniy perawi kutubus sittah tsiqat faqiih ahli ibadah mukhadhramun [Taqrib At Tahdzib 1/528 no 6601].
Kedua riwayat di atas menunjukkan bahwa hadis dengan lafaz “kafir” tidak selalu bermakna keluar dari Islam atau murtad, para ulama ahlus sunnah [salafus shalih] menerima konsep kekafiran di bawah kekafiran atau kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam atau kekafiran yang tidak seperti kafir kepada Allah SWT, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Kami membawakan riwayat-riwayat ahlus sunnah ini hanya ingin menunjukkan bahwa konsep kekafiran di bawah kekafiran atau kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam juga dikenal dalam mazhab ahlus sunnah.

Kesimpulan:
Riwayat-riwayat shahih dalam mazhab Syi’ah tetap menyatakan keislaman ahlus sunnah dan memang terdapat riwayat shahih yang seolah-olah menyatakan kekafiran orang-orang selain mazhab Syi’ah tetapi pada hakikatnya hal itu bukanlah kekafiran yang mengeluarkan mereka dari islam, sebagaimana telah berlalu penjelasannya di atas.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: