Kitab Lillahi Tsuma Lil-Tarikh yang
ditulis oleh orang yang menyebut dirinya Husain Al Musawi termasuk kitab
yang menjadi andalan salafy nashibi untuk merendahkan mahzab syiah.
Banyak pengikut salafiyun yang tidak henti-hentinya berhujjah dengan
kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah?”. Judul yang provokatif dan tentu saja para pembaca akan sulit menemukan hal-hal yang baik di dalam kitab tersebut.
Pokok bahasan ini bisa dibilang sudah
basi dan cukup banyak para pengikut syiah yang telah membahas kitab ini.
Mereka pengikut syiah menyatakan kalau penulis kitab ini “fiktif” dan
kitab tersebut penuh dengan kedustaan. Tentu saja adalah hak syiah untuk
membela diri dari siapapun yang merendahkan mahzab mereka. Kami telah
membaca sebagian tulisan pengikut syiah tersebut dan berusaha
menelitinya dengan bantuan teman-teman yang memang lebih kompeten untuk
itu. Berikut adalah sedikit bukti yang menunjukkan kedustaan yang ada di
dalam kitab tersebut.
Ternyata jati diri Husain Al Musawi
tidaklah dikenal di kalangan syiah, pernyataan bahwa ia seorang
mujtahid, murid Syaikh Muhammad Kasyf Al Ghita, pernah belajar di Najaf
dan sebagainya hanya bersumber dari kitab itu sendiri. Dengan kenyataan
ini terdapat tiga kemungkinan
Sangatlah sulit untuk membuktikan dengan
pasti yang mana dari ketiga kemungkinan tersebut yang benar. Tetapi
secara metodologis kita dapat menggunakan metode sederhana yang sesuai
dengan standar ilmu hadis atau rijalul hadis. Dalam ilmu jarh wat ta’dil
seseorang itu dinilai tsiqat atau tidak, pendusta atau tidak
diantaranya dengan menilai riwayat-riwayat yang dibawakan oleh orang
tersebut. Apakah benar adanya ataukah suatu kedustaan?. Jika terbukti
bahwa seseorang itu berdusta maka riwayatnya tidak bisa diterima dan
tetaplah jarh “kadzab” padanya. Oleh karena itu kami akan menggunakan
kesaksian sang penulis kitab tersebut “Husain Al Musawi”. Penulis kitab
tersebut berkata:
Disebutkan bahwa Ahmad bin Ali Ash Shaafiiy An Najafiiy lahir tahun 1314 H dan wafat pada tahun 1397 H [Mu’jam Rijal Al Fikr Wal Adab Fil Najaf 2/793 Syaikh Muhammad Hadi Al Amini].
Dengan berdasarkan data ini maka dapat
diperkirakan kalau si penulis “Husain Al Musawi” yang lebih muda tiga
puluh tahun atau lebih dari Ahmad Ash Shaafiiy lahir pada tahun
1314+30=1344 H atau lebih. Kemudian sang penulis berkata:
Disebutkan bahwa Sayyid Daldar Ali bin Muhammad An Naqawiiy penulis kitab Asaas Al Ushul wafat pada tahun 1235 H [Adz Dzarii’ah ilaa Tashanif Asy Syii’ah 2/4 Syaikh Agha Bazrak Ath Thahraani].
Aneh bin ajaib ternyata bukti seperti ini
luput dari pandangan salafy nashibi. Tentu saja jika para salafy hanya
menelan bulat setiap apa yang mereka baca maka tidaklah mengherankan
kalau mereka tidak melihat kedustaan sang penulis. Tetapi bukankah para
salafy itu membanggakan diri sebagai seorang yang objektif dan ilmiah
seperti yang diumbar-umbar oleh Mamduh Farhan Al Buhairi [penulis gen
syiah], orang yang memberikan kata pengantar untuk tulisan Husain Al
Musawi. Sungguh manis di mulut tetapi pahit di hati, begitulah
orang-orang yang mengidap penyakit “Syiahpobhia” di hatinya. Begitu
besarnya kebencian mereka terhadap Syiah sehingga membuat mereka jatuh
dalam kedustaan.
Kalau soal fatwa Al Khumainiy yang
membolehkan menikah dengan anak kecil maka itu benar dan kedudukannya
tidak jauh berbeda dengan sebagian ulama ahlus sunnah yang membolehkan
menikah dengan anak kecil.
Penulis tersebut membawakan dua riwayat
yang menyebutkan tentang kebolehan melihat aurat orang kafir. Kedua
riwayat tersebut berdasarkan pendapat yang rajih atau kuat di sisi
Syi’ah kedudukannya dhaif. Penulis tersebut menukil kedua riwayat
tersebut dari kitab Wasa’il Syi’ah. Sebenarnya sumber asal kedua riwayat
tersebut adalah riwayat dalam Al Kafiy dan riwayat Syaikh Shaduuq dalam
Al Faqiih,
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير،
عن غير واحد، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: النظر إلى عورة من ليس
بمسلم مثل نظرك إلى عورة الحمار
‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Ibnu Abi ‘Umair dari lebih dari satu orang dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis
salaam] yang berkata “melihat aurat orang yang bukan muslim sama seperti
melihat aurat keledai” [Al Kafiy Al Kulainiy 6/501].
Riwayat ini kedudukannya dhaif karena
terdapat perawi majhul dalam sanadnya. Ada yang menguatkan riwayat ini
dengan alasan mursal Ibnu Abi ‘Umair shahih karena ia hanya meriwayatkan
dari perawi tsiqat.
Syaikh Ath Thuusiy menyatakan bahwa Ibnu
Abi Umair termasuk perawi yang tidak meriwayatkan dan mengirsalkan
kecuali dari perawi tsiqat [‘Uddat Al Ushul Syaikh Ath Thuusiy 1/154].
Pernyataan Ath Thuusiy ini tidak bisa dijadikan hujjah secara mutlak
karena faktanya Ibnu Abi Umair meriwayatkan juga dari para perawi dhaif.
Al Khu’iy dalam muqaddimah kitab Mu’jam Rijal Al Hadits telah membahas
perkataan Syaikh Ath Thuusiy ini dan menunjukkan bahwa ternyata Ibnu Abi
Umair juga meriwayatkan dari perawi dhaif seperti Muhammad bin Sinan,
Aliy bin Abi Hamzah Al Batha’iniy dan yang lainnya.
Bagaimana bisa dipastikan perawi yang
tidak disebutkan namanya oleh Ibnu Abi Umair adalah gurunya yang tsiqat
atau gurunya yang dhaif maka dari itu pendapat yang rajih sesuai dengan
kaidah ilmu kedudukan riwayat Al Kafiy tersebut dhaif.
وروي عن الصادق عليه السلام أنه قال: ” إنما
أ كره النظر إلى عورة المسلم فأما النظر إلى عورة من ليس بمسلم مثل النظر
إلى عورة الحمار
Diriwayatkan dari Ash Shaadiq
[‘alaihis salaam] bahwasanya Beliau berkata “sesungguhnya dibenci
melihat aurat seorang muslim, adapun melihat aurat bukan muslim sama
seperti melihat aurat keledai” [Man La Yahdhuruhu Al Faqiih 1/114 no
236].
Syaikh Shaduuq tidak menyebutkan sanad
lengkap riwayat ini dalam kitabnya sehingga kedudukannya dhaif. Ada yang
menguatkan riwayat di atas dengan dasar bahwa Syaikh Shaduuq
memasukkannya dalam Al Faqiih dimana dalam muqaddimah Al Faqiih
disebutkan bahwa Syaikh Shaduuq memasukkan dalam kitabnya riwayat yang
shahih saja. Pernyataan ini memang dikatakan Syaikh Shaduuq tetapi
setiap perkataan ulama harus ditimbang dengan kaidah ilmu, termasuk juga
dalam periwayatan dan tashih riwayat. Bagaimana bisa dikatakan shahih
jika sanadnya saja tidak ada?.
Apalagi riwayat Syaikh Shaduuq ini bertentangan dengan riwayat shahih yaitu pada lafaz “dibenci melihat aurat seorang muslim” karena pada riwayat shahih disebutkan bahwa haram melihat aurat sesama muslim
حدثنا محمد بن موسى بن المتوكل، قال: حدثنا
عبد الله بن جعفر الحميري، عن أحمد بن محمد، عن الحسن بن محبوب عن عبد الله
بن سنان عن أبي عبد الله عليه السلام قال: قال له: عورة المؤمن على المؤمن
حرام؟ قال: نعم
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Muusa bin Mutawakil yang berkata telah menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy dari Ahmad bin Muhammad dari Hasan
bin Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis
salaam], [Ibnu Sinaan] berkata kepadanya “aurat seorang mukmin atas mukmin yang lain haram?”. Beliau berkata “benar”…[Ma’aaniy Al Akhbar Syaikh Shaduuq hal 255].
Riwayat ini sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya;
- Muhammad bin Musa bin Mutawakil adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59].
- ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400].
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
- Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
- ‘Abdullah bin Sinaan seorang
yang tsiqat jaliil tidak ada celaan sedikitpun terhadapnya, ia
meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal
214 no 558].
Jadi berdasarkan pendapat yang rajih maka
kedua riwayat yang dibawakan penulis tersebut adalah dhaif, oleh karena
itu Sayyid Al Khu’iy yang mengakui kedhaifan kedua riwayat tersebut
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan keharaman melihat aurat muslim
ataupun nonmuslim,
لا فرق في الحرمة بين عورة المسلم والكافر على الأقوى
Tidak ada perbedaan dalam
keharamannya antara aurat muslim dan kafir berdasarkan pendapat yang
terkuat [Kitab Thaharah Sayyid Al Khu’iy 3/357]
Kesimpulan:
Dalam mazhab Syi’ah tidak ada kebolehan
melihat film atau gambar wanita telanjang. Jika ada yang menyatakan
demikian maka ia telah berdusta. Semoga Allah SWT menunjukkan dan
meneguhkan kepada kita semua jalan yang lurus.
Shahih Riwayat Syi’ah : Pengakuan Keislaman Ahlus Sunnah.
Salah satu propaganda para Pembenci Syi’ah untuk merendahkan mazhab Syi’ah adalah mereka menuduh bahwa Syi’ah telah mengkafirkan Ahlus sunnah.
Kami tidak menafikan bahwa ada sebagian ulama Syi’ah yang bersikap
berlebihan dalam perkara ini [terutama dari kalangan akhbariyun]
menyatakan baik itu dengan isyarat atau dengan jelas mengindikasikan
kekafiran ahlus sunnah. Tetapi terdapat juga sebagian ulama Syi’ah yang
justru menegaskan keislaman Ahlus sunnah dan tidak menyatakan kafir.
Perkara ini sama hal-nya dengan sebagian
ulama ahlus sunnah yang mengkafirkan Syi’ah baik itu secara isyarat
ataupun dengan jelas dan memang terdapat pula sebagian ulama ahlus
sunnah yang tetap mengakui Syi’ah walaupun menyimpang tetap Islam bukan kafir. Kebenarannya
adalah baik Ahlus Sunnah dan Syi’ah keduanya adalah Islam. Silakan
mazhab yang satu merendahkan atau menyatakan mazhab yang lain sesat
tetapi hal itu tidak mengeluarkan salah satu mereka dari Islam.
Riwayat Pengakuan Keislaman Ahlus Sunah.
Berikut adalah riwayat-riwayat Syi’ah
yang menunjukkan pengakuan akan keislaman Ahlus sunnah. Kami cukupkan
pada riwayat-riwayat yang kedudukannya shahih dan muwattsaq berdasarkan
ilmu hadis Syi’ah, walaupun sebenarnya cukup banyak riwayat yang dhaif
dari segi sanad yang membuktikan keislaman ahlus sunnah. Sengaja riwayat
tersebut tidak kami nukilkan karena riwayat shahih dalam mazhab Syi’ah
lebih baik kedudukannya sebagai hujjah.
Riwayat Pertama:
أبي (ره) قال حدثنا سعد بن عبد الله عن
يعقوب بن يزيد عن محمد ابن أبي عمير عن محمد بن حمران عن أبي عبد الله عليه
السلام قال من قال لا إله إلا الله مخلصا دخل الجنة وإخلاصه بها ان يحجزه
لا إله إلا الله عما حرم الله
Ayahku [rahimahullah] mengatakan
telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah dari Ya’qub bin Yaziid
dari Muhammad Ibnu Abi Umair dari Muhammad bin Hamraan dari Abi
‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata barang
siapa mengatakan “laa ilaaha illallah dengan ikhlas maka ia masuk surga
dan ikhlas dengannya adalah ia menjaga laa ilaaha illaallah dari
perkara yang diharamkan Allah” [Tsawab Al A’maal Syaikh Ash Shaaduq hal 24 no 1].
Riwayat ini sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya,
- Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684].
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
- Yaqub bin Yaziid bin Hamaad seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215].
- Muhammad bin Abi Umair, ia
termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah]
maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
- Muhammad bin Hamraan An Nahdiy seorang yang tsiqat termasuk yang meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 359 no 965].
Riwayat serupa ini juga terdapat dalam
kitab ahlus sunnah dan menjadi dalil bahwa syahadat adalah pintu yang
membedakan antara seorang muslim dengan nonmuslim dan akan memasukkan
seseorang ke dalam surga.
Riwayat Kedua:
حدثني أبي رضي الله عنه قال: حدثنا سعد بن
عبد الله عن إبراهيم بن هاشم، عن محمد بن أبي عمير، عن جعفر بن عثمان، عن
أبي بصير قال: كنت عند أبي جعفر عليه السلام فقال له رجل: أصلحك الله إن
بالكوفة قوما يقولون مقالة ينسبونها إليك فقال: وماهي؟ قال: يقولون:
الايمان غير الاسلام، فقال أبوجعفر عليه السلام: نعم، فقال الرجل: صفه لي
قال: من شهد أن لاإله إلا الله وأن محمدا رسول الله صلى الله عليه وآله
وأقر بما جاء من عند الله وأقام الصلاة وآتى الزكاة وصام شهر رمضان وحج
البيت فهو مسلم، قلت: فالايمان؟ قال: من شهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا
رسول الله وأقر بما جاء من عند الله وأقام الصلاة وآتى الزكاة وصام شهر
رمضان وحج البيت ولم يلق الله بذنب أو عد عليه النار فهو مؤمن قال أبو
بصير: جعلت فداك، وأينا لم يلق الله بذنب أو عد عليه النار؟ فقال: ليس هو
حيث تذهب إنما هو لم يلق الله بذنب أو عد عليه النار ولم يتب منه
Telah menceritakan kepadaku Ayahku
[radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin
‘Abdullah dari Ibrahim bin Haasyim dari Muhammad bin Abi Umair dari
Ja’far bin ‘Utsman dari Abi Bashiir yang berkata aku berada di sisi Abu
Ja’far [‘alaihis salaam] maka seorang laki-laki berkata kepadanya
“semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, sesungguhnya di Kufah
terdapat kaum yang mengatakan sesuatu dengan menisbatkan kepadamu?.
Beliau berkata “apa itu?”. Orang tersebut berkata “mereka mengatakan
bahwa Iman bukanlah Islam”. Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata
“benar”. Orang tersebut berkata “jelaskan kepadaku”. Beliau
berkata “barang siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT
dan Muhammad adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dan
meyakini apa yang datang dari sisi Allah, menunaikan shalat, memberikan
zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke baitullah maka ia adalah Muslim.
Aku berkata “maka Iman?”. Beliau berkata “barang siapa yang bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wa alihi], dan meyakini apa yang datang dari sisi
Allah, menunaikan shalat, memberikan zakat, puasa di bulan Ramadhan,
haji ke baitullah dan tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat
memasukkannya ke neraka maka ia adalah Mu’min. Abu Bashiir berkata “aku
menjadi tebusanmu, siapakah diantara kita yang tidak menghadap Allah
dengan dosa yang dapat memasukkannya ke neraka?. Maka Beliau berkata
“itu bukan seperti yang kau pikirkan, sesungguhnya yang dimaksud
hanyalah ia tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat memasukkannya
ke neraka dimana ia tidak bertaubat dari dosa tersebut” [Al Khisaal
Syaikh Shaaduq 2/411 no 14].
Riwayat Syaikh Shaaduq di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya,
- Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684].
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy
seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang
dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati
tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- Muhammad bin Abi Umair, ia
termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah]
maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
- Ja’far bin Utsman sahabat Abu Bashiir adalah seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 108].
- Abu Bashiir Al Asdiy yaitu Yahya
bin Qaasim ia meriwayatkan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu
‘Abdullah [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy
hal 441 no 1187].
Riwayat Ketiga:
محمد بن يحيى عن أحمد بن محمد عن الحسن بن
محبوب عن جميل بن صالح عن سماعة قال قلت لأبي عبد الله (عليه السلام)
أخبرني عن الاسلام والايمان أهما مختلفان؟ فقال إن الايمان يشارك الاسلام
والاسلام لا يشارك الايمان فقلت فصفهما لي فقال الاسلام شهادة أن لا إله
إلا الله والتصديق برسول الله (صلى الله عليه وآله) به حقنت الدماء وعليه
جرت المناكح والمواريث وعلى ظاهره جماعة الناس، والايمان الهدى وما يثبت في
القلوب من صفة الاسلام وما ظهر من العمل به والايمان أرفع من الاسلام
بدرجة إن الايمان يشارك الاسلام في الظاهر والاسلام لا يشارك الايمان في
الباطن وإن اجتمعا في القول والصفة
Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin
Muhammad dari Hasan bin Mahbuub dari Jamiil bin Shalih dari Sama’ah yang
berkata aku berkata kepada Abi Abdullah [‘alaihis salaam] “kabarkanlah
kepadaku tentang islam dan iman apakah keduanya berbeda?. Maka Beliau
berkata “sesungguhnya iman mencakup islam dan islam belum mencakup
iman”. Aku berkata “jelaskanlah keduanya kepadaku”. Maka Beliau berkata “Islam
adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan membenarkan
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dengannya darah terlindungi,
dan karenanya bisa terjadi pernikahan dan pewarisan, dan itulah yang
nampak pada jama’ah manusia. Sedangkan Iman adalah petunjuk, apa
yang ada di dalam hati dari yang disifatkan islam dan apa yang nampak
dari amal perbuatan dengannya, iman lebih tinggi derajatnya dari islam,
iman mencakup islam dalam zahir dan islam belum mencakup iman dalam
bathin dan sesungguhnya keduanya bergabung dalam perkataan dan sifat [Al
Kafiy Al Kulainiy 2/19 no 1].
Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya
muwatstsaq sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, para perawinya tsiqat hanya
saja Sama’ah bin Mihraan disebutkan ia bermazhab waqifiy, berikut
keterangan para perawinya
- Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902].
- Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
- Jamil bin Shalih Al Asadiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 127 no 329].
- Sama’ah bin Mihraan seorang yang
tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 193 no 517]. Disebutkan bahwa ia
bermazhab waqifiy [Rijal Ath Thuusiy hal 337].
Riwayat Keempat:
عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد; ومحمد بن
يحيى، عن أحمد بن محمد جميعا، عن ابن محبوب، عن علي بن رئاب، عن حمران بن
أعين، عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: سمعته يقول: الايمان ما استقر في
القلب وأفضى به إلى الله عز وجل وصدقه العمل بالطاعة لله والتسليم لامره
والاسلام ما ظهر من قول أو فعل وهو الذي عليه جماعة الناس من الفرق كلها
وبه حقنت الدماء وعليه جرت المواريث وجاز النكاح واجتمعوا على الصلاة
والزكاة والصوم والحج، فخرجوا بذلك من الكفر وأضيفوا إلى الايمان،
Sekelompok sahabat kami dari Sahl bin
Ziyaad, dan Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad, keduanya [Sahl
bin Ziyaad dan Ahmad bin Muhammad] dari Ibnu Mahbuub dari Aliy bin Ri’ab
dari Hamran bin ‘A’yan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam], [Hamraan]
berkata aku mendengarnya mengatakan Iman adalah apa yang ada di dalam
hati dan menuju kepada Allah ‘azzawajalla dan dibenarkan dengan amal
taat kepada Allah dan berserah diri pada perintahnya,
sedangkan Islam adalah apa yang nampak dari perkataan dan perbuatan, ia
yang dianut oleh jama’ah manusia dari semua Firqah [golongan], dan
dengannya darah terlindungi dan karenanya berlangsung pewarisan dan
bolehnya pernikahan, dan bergabung dengan shalat, zakat, puasa dan haji
maka dengan semua itu mereka keluar dari kekafiran dan dimasukkan
kedalam iman…[Al Kafiy Al Kulainiy 2/20 no 5]
Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya
- Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902]
- Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
- Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151]
- Hamraan bin ‘A’yun ia dikatakan
hawaariy Imam Abu Ja’far Al Baqir [‘alaihis salaam], ia seorang yang
tsiqat [Al Fa’iq Fii Ruwah Wa Ashabul Imam Shadiq 1/475-476 no 975].
Ia termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki
keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun
Syaikh Abu Ghalib hal 2]
Riwayat Kelima:
علي، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن جميل بن
دراج، عن فضيل بن يسار قال: سمعت أبا عبد الله (عليه السلام) يقول: إن
الايمان يشارك الاسلام ولا يشاركه الاسلام، إن الايمان ما وقر في القلوب
والاسلام ما عليه المناكح والمواريث و حقن الدماء، والايمان يشرك الاسلام
والاسلام لا يشرك الايمان
Aliy dari Ayahnya dari Ibnu Abi
‘Umair dari Jamiil bin Daraaj dari Fudhail bin Yasaar yang berkata aku
mendengar Aba ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan sesungguhnya Iman
mencakup Islam dan Islam belum mencakup Iman, Iman adalah apa yang
diyakini di dalam hati dan Islam apa yang diatasnya berlaku pernikahan, pewarisan dan terlindung darahnya, Iman mencakup Islam dan Islam belum mencakup Iman [Al Kafiy Al Kulainiy 2/26 no 3].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy
seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang
dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati
tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- Muhammad bin Abi Umair, ia
termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah]
maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
- Jamil bin Daraaj, ia termasuk orang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 126 no 328].
- Fudhail bin Yasaar An Nahdiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 309 no 846].
Matan riwayat menunjukkan bahwa Islam di
dalamnya berlaku bolehnya pernikahan, pewarisan dan terjaga darahnya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dibolehkan menikahi orang yang tidak
meyakini perkara Wilayah,
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير،
عن جميل بن دراج، عن زرارة قال: قلت لأبي جعفر (عليه السلام) إني أخشى أن
لا يحل لي أن أتزوج من لم يكن على أمري فقال: ما يمنعك من البله من النساء؟
قلت: وما البله؟ قال: هن المستضعفات من اللاتي لا ينصبن ولا يعرفن ما أنتم
عليه
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Ibnu Abi Umair dari Jamiil bin Daraaj dari Zurarah yang berkata aku
berkata kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] aku khawatir tidak
dihalalkan bagiku menikahi wanita yang tidak berdiri di atas urusanku
[wilayah]. Maka Beliau berkata “apa yang mencegahmu dari wanita al
balah?”.Aku berkata “apa itu al balah?” Beliau
berkata “mereka adalah kaum yang lemah tidak melakukan nashb dan tidak
pula mereka mengenal apa yang engkau berada di atasnya [wilayah]” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/349 no 7].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy
seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang
dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati
tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- Muhammad bin Abi Umair, ia
termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah]
maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
- Jamil bin Daraaj, ia termasuk orang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 126 no 328].
- Zurarah bin A’yun Asy Syaibaniy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu Abdullah [Rijal Ath Thuusiy hal 337].
Hadis di atas menjadi bukti bahwa mereka
yang tidak mengenal Imamah juga merupakan seorang Muslim menurut hadis
shahih riwayat Ahlul Bait dalam mazhab Syi’ah. Dibolehkannya menikahi
wanita yang tidak meyakini Imamah menunjukkan bahwa mereka masih
tergolong ke dalam Islam.
Riwayat Yang Dijadikan Hujjah Dalam Mengkafirkan Ahlus Sunnah.
Sebagian nashibiy mengutip berbagai
riwayat dalam kitab mazhab Syi’ah yang menurut mereka mengkafirkan ahlus
sunnah, berikut riwayat yang dimaksud:
Riwayat Pertama:
أبو علي الأشعري، عن الحسن بن علي الكوفي،
عن عباس بن عامر، عن أبان بن عثمان، عن فضيل بن يسار، عن أبي جعفر (عليه
السلام) قال: بني الاسلام على خمس: على الصلاة والزكاة والصوم والحج
والولاية ولم يناد بشئ كما نودي بالولاية، فأخذ الناس بأربع وتركوا هذه
يعني الولاية
Abu ‘Aliy Al ‘Asyariy dari Hasan bin
Aliy Al Kuufiy dari ‘Abbas bin ‘Aamir dari Aban bin ‘Utsman dari Fudhail
bin Yasaar dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata
rukun islam itu ada lima yaitu shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah,
dan tidak diserukan sesuatu seperti diserukan tentang wilayah maka
orang-orang mengambil yang empat dan meninggalkan yang ini yaitu wilayah [Al Kafiiy Al Kulainiy 2/18 no 3].
Riwayat di atas sanadnya muwatstsaq berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah
Ahmad bin Idris bin Ahmad adalah seorang tsiqat faqih banyak
meriwayatkan hadis, shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228].
- Hasan bin Aliy Al Kuufiy adalah Hasan bin Aliy bin ‘Abdullah bin Mughiirah Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy 62 no 147].
- ‘Abbaas bin ‘Aamir bin Rabah, Abu Fadhl Ats Tsaqafiy seorang syaikh shaduq tsiqat banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 281 no 744].
- Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al
Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang
shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku
riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal
Allamah Al Hilliy hal 74 no 3].
- Fudhail bin Yasaar An Nahdiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 309 no 846].
Riwayat di atas muwatstaq karena Aban bin
‘Utsman yang kendati mendapat predikat ta’dil ia seorang yang mazhabnya
menyimpang. Riwayat ini juga dikuatkan oleh riwayat shahih lainnya yang
menyebutkan bahwa wilayah termasuk rukun islam dalam mazhab Syi’ah
yaitu riwayat Zurarah sebagaimana yang disebutkan dalam Al Kafiy dengan
riwayat yang panjang [Al Kaafiy Al Kulainiy 2/18-19 no 5]. Dan dalam
riwayat Zurarah setelah menyebutkan kelima rukun Islam [termasuk
wilayah] maka terdapat tambahan bahwa mereka yang tidak mengenal Wilayah
tidak berhak atas pahala amal perbuatannya dan bukan termasuk ahlul
iman.
Disini kami hanya akan menampilkan
ringkasan riwayat tersebut sebagaimana dinukil Syaikh Al Hurr Al Amiliy
dalam kitabnya Wasa’il Syi’ah,
وعن علي بن إبراهيم، عن أبيه، وعبد الله بن
الصلت جميعا، عن حماد بن عيسى، عن حريز، عن زرارة، عن أبي جعفر
(عليهالسلام) – في حديث في الإمامة – قال: أما لو أن رجلا قام ليله وصام
نهاره وتصدق بجميع ماله وحج جميع دهره ولم يعرف ولاية ولي الله فيواليه
ويكون جميع أعماله بدلالته إليه ما كان له على الله حق في ثوابه ولا كان من
أهل الايمان
Dan dari Aliy Ibrahim dari Ayahnya
dan ‘Abdullah bin Ash Shalt keduanya dari Hammaad bin Iisa dari Hariiz
dari Zuraarah dari Abi Ja’far [‘alaihis salaam] hadis tentang Imamah,
Beliau berkata “adapun seandainya seseorang
menegakkan shalat di waktu malam, puasa di waktu siang, bersedekah
dengan seluruh hartanya, haji dengan seluruh umurnya tetapi ia tidak
mengenal wilayah waliy Allah, berwala’ kepadanya, dan menjadikan seluruh
amalnya atas petunjuknya maka ia tidak berhak atas Allah tentang pahala
amalnya dan bukanlah ia termasuk ahlul Iman [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Aamiliy 27/65-66].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy
seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang
dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati
tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- ‘Abdullah bin Ash Shalt Abu Thalib Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 217 no 564].
- Hammad bin Iisa Abu Muhammad Al Juhaniy ia seorang yang tsiqat dalam hadisnya shaduq [Rijal An Najasyiy hal 142 no 370].
- Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy seorang penduduk Kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118].
- Zurarah bin A’yun Asy Syaibaniy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu Abdullah [Rijal Ath Thuusiy hal 337].
Mengenai lafaz “tidak berhak atas pahala dan bukan termasuk ahlul iman”
maka lafaz ini tidak menyatakan kekafiran bagi mereka yang tidak
meyakini Wilayah. Tidak diragukan bahwa dalam mazhab Syi’ah, Wilayah
termasuk rukun Islam tetapi riwayat-riwayat sebelumnya telah membuktikan
bahwa mazhab lain yang menyimpang dari Syi’ah termasuk ahlus sunnah
masih masuk dalam batasan Islam walaupun dikatakan dalam mazhab Syi’ah
bahwa mereka adalah muslim yang tersesat bukan tergolong mukmin dan
bukan pula kafir. Dan ma’ruf dalam mazhab Syi’ah bahwa mereka membedakan
terminologi muslim dan mu’min.
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن محبوب، عن
ابن رئاب، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: إنا لا نعد الرجل مؤمنا حتى
يكون بجميع أمرنا متبعا مريدا، ألا وإن من اتباع أمرنا وإرادته الورع،
فتزينوا به، يرحمكم الله وكبدوا أعدائنا [به] ينعشكم الله
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Mahbuub dari Ibnu Ri’aab dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata sesungguhnya
kami tidak menganggap seseorang sebagai mu’min sampai ia mengikuti
semua perintah kami dengan taat dan ridha, dan sungguh ia mengikuti
perintah kami dan memenuhinya dengan wara’, maka hiasilah diri
kalian dengannya [wara’] semoga Allah merahmati kalian dan hadapilah
musuh kami dengannya [wara’] semoga Allah mengangkat kalian [Al Kafiy Al
Kulainiy 2/78 no 13].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya.
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy
seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang
dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati
tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
- Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151].
Nampak dalam riwayat Al Kaafiy di atas
bahwa seseorang dikatakan mu’min sampai ia memenuhi Wilayah ahlul bait
dalam arti mengikuti semua perintah ahlul bait dengan taat dan ridha.
وروى الحسن بن محبوب، عن يونس بن يعقوب، عن
حمران بن أعين ” وكان بعض أهله يريد التزويج فلم يجد امرأة يرضاها، فذكر
ذلك لأبي عبد الله عليه السلام فقال: أين أنت من البلهاء واللواتي لا يعرفن
شيئا؟ قلت: إنما يقول: إن الناس على وجهين كافر ومؤمن، فقال: فأين الذين
خلطوا عملا صالحا وآخر سيئا؟! وأين المرجون لأمر الله؟! أي عفو الله “
Dan riwayat Hasan bin Mahbuub dari
Yunus bin Ya’qub dari Hamraan bin A’yun bahwa sebagian dari keluarganya
ingin menikah maka mereka tidak menemukan wanita yang diridhainya,
disebutkan hal itu kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] maka Beliau
berkata “kemana engkau dari wanita-wanita al balah yang tidak mengenal
sesuatu [wilayah]?. Maka aku berkata “sesungguhnya kami mengatakan bahwa
orang-orang hanya terbagi menjadi dua yaitu kafir dan mu’min. Maka
Beliau berkata “lantas dimana orang-orang yang mencampuradukkan amal
shalih dengan amal yang buruk? Dimana orang-orang yang dikembalikan
urusannya kepada Allah SWT?. Dimana ampunan Allah SWT?. [Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih Syaikh Shaduq 3/408 no 4427].
Riwayat Syaikh Shaduq dalam kitab Man Laa
Yahdhuruh Al Faqiih telah dishahihkan oleh Syaikh Shaduq sebagaimana
dikatakannya dalam muqaddimah kitab. Tetapi tentu saja yang paling baik
dalam perkara ini adalah melihat sanad lengkap atau jalan sanad Syaikh
Ash Shaduq sampai Hasan bin Mahbuub
وما كان فيه عن الحسن بن محبوب فقد رويته عن
محمد بن موسى بن المتوكل رضي الله عنه عن عبد الله بن جعفر الحميري، وسعد
بن عبد الله، عن أحمد بن محمد ابن عيسى، عن الحسن بن محبوب
Adapun yang kami sebutkan tentangnya
dari Hasan bin Mahbuub maka sungguh itu diriwayatkan dari Muhammad bin
Muusa bin Mutawakil [radiallahu ‘anhu] dari ‘Abdullah bin Ja’far Al
Himyariy dan Sa’d bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Iisa dari Hasan bin
Mahbuub. [Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih Syaikh Shaduq 4/453].
Riwayat Syaikh Shaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Muhammad bin Musa bin Mutawakil
[radiallahu ‘anhu] adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang
yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59].
- ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400].
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
- Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
- Yunus bin Ya’qub seorang yang tsiqat, termasuk sahabat Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal Ath Thuusiy hal 368].
- Hamran bin A’yun termasuk
diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang
tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib
hal 2]. Ia dikatakan hawaariy Imam Abu Ja’far Al Baqir [‘alaihis
salaam], ia seorang yang tsiqat [Al Fa’iq Fii Ruwah Wa Ashabul Imam
Shadiq 1/475-476 no 975].
Riwayat Syaikh Ash Shaduuq menyebutkan
bahwa dalam pandangan Imam Abu ‘Abdullah manusia itu tidak hanya terbagi
menjadi dua golongan mu’min dan kafir tetapi terdapat juga mereka orang
muslim yang mencampuradukkan amal shalih dengan keburukan, yang
kedudukannya dikembalikan kepada Allah SWT atau akan diampuni oleh Allah
SWT. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang tidak mengenal wilayah
ahlul bait. Inilah yang dimaksud mereka tidak berhak akan pahala yaitu
kedudukan amal shalihnya akan diserahkan keputusannya kepada Allah SWT.
Dan mereka dikatakan “bukan termasuk ahlul iman” tetapi tetap dikatakan
muslim karena berdasarkan riwayat shahih, lafaz mu’min di sisi Syi’ah
disifatkan pada mereka yang meyakini dan mentaati Wilayah ahlul bait.
Riwayat Kedua:
علي بن إبراهيم، عن صالح بن السندي، عن جعفر
بن بشير، عن أبي سلمة عن أبي عبد الله عليه السلام قال: سمعته يقول: نحن
الذين فرض الله طاعتنا، لا يسع الناس إلا معرفتنا ولا يعذر الناس بجهالتنا،
من عرفنا كان مؤمنا، ومن أنكرنا كان كافرا، ومن لم يعرفنا ولم ينكرنا كان
ضالا حتى يرجع إلى الهدى الذي افترض الله عليه من طاعتنا الواجبة فإن يمت
على ضلالته يفعل الله به ما يشاء
Aliy bin Ibrahim dari Shalih bin As
Sindiy dari Ja’far bin Basyiir dari Abi Salamah dari Abi ‘Abdullah
[‘alaihis salaam] yang berkata aku mendengarnya mengatakan kami adalah
orang-orang yang Allah SWT wajibkan ketaatan kepada kami, tidak diberi
pilihan orang-orang kecuali mengenal kami, tidak diberikan udzur
orang-orang yang jahil terhadap kami, barang
siapa yang mengenal kami maka ia mu’min dan barang siapa yang
mengingkari kami maka ia kafir, barang siapa yang tidak mengenal kami
dan tidak pula mengingkari kami maka ia tersesat sampai ia kembali
kepada petunjuk dimana Allah SWT mewajibkan atasnya ketaatan kepada
kami, dan jika ia mati dalam keadaan tersesat tersebut maka Allah SWT
akan menetapkan sesuai dengan kehendaknya [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/187 no 11].
Riwayat di atas berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya dhaif karena Shalih bin As Sindiy
seorang yang majhul [Al Muufid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 282].
Terdapat sebagian ulama muta’akhirin yang mengisyaratkan tautsiq
terhadapnya seperti Syaikh Muhammad bin Ismaiil Al Mazandaraniy menukil
dalam kitabnya biografi Shalih bin Sindiy bahwa ia meriwayatkan Kitab
Yunus bin ‘Abdurrahman dan Ibnu Walid telah mempercayainya [Muntaha Al
Maqal 4/13 no 1447].
Shalih bin As Sindiy memang termasuk
diantara perawi yang meriwayatkan kitab Yunus bin ‘Abdurrahman
sebagimana disebutkan oleh Syaikh Ath Thuusiy [Al Fahrasat hal 266
biografi Yunus bin ‘Abdurrahman] kemudian Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan:
قال أبو جعفر بن بابويه: سمعت ابن الوليد
رحمه الله يقول كتب يونس بن عبد الرحمن التي هي بالروايات كلها صحيحة يعتمد
عليها الا ما ينفرد به محمد بن عيسى بن عبيد عنه ولم يروه غيره وانا لا
نعتمد عليه ولا نفتي به
Abu Ja’far bin Babawaih berkata aku
mendengar Ibnu Walid [rahimahullah] mengatakan Kitab Yunus bin
‘Abdurrahman yang datang dengan riwayat semuanya shahih dapat berpegang
dengannya kecuali apa yang diriwayatkan secara tafarrud Muhammad bin Isa
bin ‘Ubaid darinya dan tidak diriwayatkan oleh selainnya, maka aku
tidak berpegang dengannya dan tidak berfatwa dengannya [Al Fahrasat
Syaikh Ath Thuusiy hal 266].
Dari perkataan Ibnu Walid ini tidak ada
tautsiq terhadap Shalih bin Sindiy, disini Ibnu Walid menyatakan bahwa
kitab Yunus bin ‘Abdurrahman semuanya shahih kecuali riwayat Muhammad
bin Isa bin Ubaid secara tafarrud maka bukan berarti semua perawi Kitab
Yunus selain Muhammad bin Isa statusnya tsiqat dalam pandangan Ibnu
Walid. Apalagi Shalih bin Sindiy bukan satu-satunya perawi yang
meriwayatkan kitab Yunus selain Muhammad bin Iisa.
Ibnu Walid termasuk ulama mutaqaddimin
dimana ulama mutaqaddimin ketika menyatakan shahih suatu riwayat atau
kitab tidak selalu bermakna semua perawi dalam sanad atau kitab tersebut
shahih. Karena bisa saja bermakna bahwa riwayat tersebut atau kitab
tersebut shahih matannya, diriwayatkan secara mutawatir atau terdapat
dalam kitab Usul dan alasan lainnya. Masih mungkin untuk dikatakan
Shalih bin Sindiy ini dhaif atau majhul tetapi karena riwayatnya
bersesuaian dengan perawi lain maka riwayatnya Kitab Yunus bin
‘Abdurrahman shahih dalam pandangan Ibnu Walid.
Maka dari itu pendapat yang rajih isyarat
tautsiq terhadap Shalih bin Sindiy disini tidak jelas penunjukkannya
hanya bersifat kemungkinan dimana ada banyak kemungkinan lain yang
menafikannya.
Riwayat Ketiga:
يونس، عن داود بن فرقد، عن حسان الجمال، عن
عميرة، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: سمعته يقول: أمر الناس بمعرفتنا
والرد إلينا والتسليم لنا، ثم قال: وإن صاموا وصلوا وشهدوا أن لا إله إلا
الله وجعلوا في أنفسهم أن لا يردوا إلينا كانوا بذلك مشركين
Yunus dari Dawud bin Farqad dari
Hasan Al Jamaal dari ‘Umairah dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam]
[‘Umairah] berkata aku mendengarnya mengatakan orang-orang diperintahkan
mengenal kami mengembalikan [permasalahan] kepada kami dan tunduk
sepenuhnya kepada kami kemudian Beliau
berkata meskipun mereka puasa, shalat dan bersaksi tiada Tuhan selain
Allah tetapi mereka tidak mengembalikan [permasalahan] kepada kami maka
mereka musyrik [Al Kafiy Al Kulainiy 2/398 no 5].
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya dhaif
karena Umairah seorang yang majhul sebagaimana disebutkan dalam Al
Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits,
عميرة: مجهول – روى رواية عن أبي عبد الله (ع) في الكافي ج 2 كتاب الايمان والكفر، باب الشرك
Umairah majhul perawi yang
meriwayatkan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis sallam] dalam Al Kaafiy juz 2
Kitab Iman dan Kafir Bab Syirik [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits
hal 443].
Riwayat Keempat:
محمد بن يحيى، عن محمد بن الحسين، عن صفوان
بن يحيى، عن العلاء بن رزين عن محمد بن مسلم قال: سمعت أبا جعفر عليه
السلام يقول: كل من دان الله عز وجل بعبادة يجهد فيها نفسه ولا إمام له من
الله فسعيه غير مقبول، وهو ضال متحير والله شانئ لاعماله، ومثله كمثل شاة
ضلت عن راعيها وقطيعها، فهجمت ذاهبة وجائية يومها، فلما جنها الليل بصرت
بقطيع غنم مع راعيها، فحنت إليها واغترت بها، فباتت معها في مربضها فلما أن
ساق الراعي قطيعه أنكرت راعيها وقطيعها، فهجمت متحيرة تطلب راعيها
وقطيعها،فبصرت بغنم مع راعيها فحنت إليها واغترت بها فصاح بها الراعي:
الحقي براعيك، وقطيعك فأنت تائهة متحيرة عن راعيك وقطيعك، فهجمت ذعرة،
متحيرة، تائهة، لا راعي لها يرشدها إلى مرعاها أو يردها، فبينا هي كذلك إذا
اغتنم الذئب ضيعتها، فأكلها، وكذلك والله يا محمد من أصبح من هذه الأمة لا
إمام له من الله عز وجل ظاهر عادل، أصبح ضالا تائها، وإن مات على هذه
الحالة مات ميتة كفر ونفاق، و اعلم يا محمد أن أئمة الجور وأتباعهم
لمعزولون عن دين الله قد ضلوا وأضلوا فأعمالهم التي يعملونها كرماد اشتدت
به الريح في يوم عاصف، لا يقدرون مما كسبوا على شئ، ذلك هو الضلال البعيد
Muhammad bin Yahya dari Muhammad bin
Husain dari Shafwaan bin Yahya dari Al A’laa bin Raziin dari Muhammad
bin Muslim yang berkata aku mendengar Abu Ja’far [‘alaihis salaam]
mengatakan “Semua yang beribadah kepada Allah ‘azza wajalla dengan
mengharapkan imbalan dan berjuang dalam melakukannya, tetapi tanpa
memiliki Imam dari Allah maka usahanya tidak diterima. Dan dia adalah
orang yang tersesat, Allah tidak menyukai amal perbuatannya.
Permisalannya seperti domba yang hilang yang menyimpang jauh dari
gembala dan kawanannya . Dia mengembara di siang hari dan pada malam
hari dia menemukan kawanan domba dengan gembala yang berbeda .Dia
tertarik kepadanya dan tertipu olehnya, jadi dia bergabung dengan mereka
di gudang mereka, tetapi ketika gembala mengeluarkan mereka, dia tidak
mengakui gembala dan kawanan tersebut.Maka
dia mengembara bingung dalam mencari gembala dan kawanannya.Kemudian
dia menemukan kembali kawanan domba dengan gembala, dia tertarik
dengannya dan tertipu olehnya tetapi gembala tersebut berteriak
kepadanya “carilah kawanan dan gembalamu sendiri, karena engkau hilang
dan tersesat dari gembala dan kawananmu”.Jadi dia mengembara sedih,
bingung dan tersesat, dengan tidak ada gembala untuk membimbingnya ke
tempat gembala dan gudang. Kemudian pada saat itu serigala mengambil
kesempatan dan memakannya. Demi Allah,
begitulah wahai Muhammad hal yang sama terjadi pada umat ini tanpa
memiliki Imam dari Allah ‘azza wajalla yang zhahir lagi adil, mereka
seperti hilang dan tersesat. Dan jika mati pada keadaan seperti ini,
maka ia mati seperti kematian orang kafir dan munafik. Dan ketahuilah
wahai Muhammad, bahwa Imam yang tidak adil dan pengikut mereka terputus
dari agama Allah. Mereka telah sesat dan menyesatkan, sehingga perbuatan
mereka yang telah mereka lakukan seperti debu yang diterbangkan oleh
angin ketika badai. Mereka tidak mampu mendapatkan keuntungan dari
perbuatan mereka begitulah keadaan yang tersesat jauh. [Al Kafiy Al Kulainiy 1/183-184 no 8].
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 19/33 no 12010].
- Muhammad bin Husain bin Abi Khaththab seorang yang tsiqat dan banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897].
- Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524].
- Al A’laa bin Raziin termasuk sahabat Muhammad bin Muslim, seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 298 no 811].
- Muhammad bin Muslim bin Rabah termasuk orang yang paling terpercaya [Rijal An Najasyiy hal 323-324 no 882].
أحمد بن إدريس، عن محمد بن عبد الجبار، عن
صفوان، عن الفضيل، عن الحارث بن المغيرة قال: قلت لأبي عبد الله عليه
السلام: قال رسول الله صلى الله عليه وآله: من مات لا يعرف إمامه مات ميتة
جاهلية؟ قال: نعم، قلت: جاهلية جهلاء أو جاهلية لا يعرف إمامه؟ قال جاهلية
كفر ونفاق وضلال
Ahmad bin Idriis dari Muhammad bin
‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Fudhail dari Al Harits bin Mughiirah
yang berkata aku berkata kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam]
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi] berkata “barang
siapa yang mati dalam keadaan tidak mengenal Imamnya maka ia mati
seperti kematian jahiliyah”?. Beliau berkata “benar”. Aku berkata
“Jahiliyah orang-orang bodoh atau jahiliiyah tidak mengenal Imamnya?.
Beliau berkata Jahiliyah orang-orang kafir, munafik dan tersesat [Al Kafiy Al Kulainiy 1/377 no 3].
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Ahmad bin Idris bin Ahmad Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah seorang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis, shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228].
- Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar ia adalah Ibnu Abi Ashabaan seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391].
- Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524].
- Fudhail bin Utsman atau Fadhl bin Utsman Al Muraadiy seorang yang tsiqat tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 456].
- Al Harits bin Mughiirah meriwayatkan dari Abu Ja’far, Ja’far, Musa bin Ja’far dan Zaid bin Aliy, tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 139 no 361].
Makna mati seperti kematian orang kafir
dan munafik dalam riwayat di atas sama maknanya dengan mati seperti
kematian orang-orang jahiliyah. Dan jahiliyah disini bukan bermakna
orang-orang bodoh atau jahil tetapi bermakna seperti orang-orang di
zaman Jahiliyah dahulu yang mana mereka adalah orang-orang kafir yang
tersesat karena tidak memiliki Imam yang memberikan petunjuk kepada
mereka. Jadi bukan bermakna mereka yang tidak mengenal wilayah berarti
kafir dan pasti masuk neraka. Makna seperti ini sesuai dengan
hadis-hadis sebelumnya yang menegaskan keislaman mereka yang tidak
mengenal Wilayah ahlul bait.
Disebutkan dalam riwayat shahih mazhab
Syi’ah bahwa kedudukan mereka akan dikembalikan nanti urusannya kepada
Allah SWT. Sebagaimana nampak dalam riwayat panjang dari Dhurais Al
Kanaasiy yang bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam], dalam
riwayat panjang tersebut terdapat penggalan berikut:
قلت أصلحك الله فما حال الموحدين المقرين
بنبوة محمد (صلى الله عليه وآله) من المسلمين المذنبين الذين يموتون وليس
لهم إمام ولا يعرفون ولايتكم؟ فقالأما هؤلاء فإنهم في حفرتهم لا يخرجون
منها فمن كان منهم له عمل صالح ولم يظهر منه عداوة فإنه يخد له خد إلى
الجنة التي خلقها الله في المغرب فيدخل عليه منها الروح في حفرته إلى يوم
القيامة فيلقى الله فيحاسبه بحسناته وسيئاته فإما إلى الجنة وإما إلى النار
فهؤلاء موقوفون لأمر الله، قال: وكذلك يفعل الله بالمستضعفين والبله
والأطفال وأولاد المسلمين الذين لم يبلغوا الحلم
Aku [Dhurais] berkata [kepada Abu
Ja’far] “semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, maka bagaimana
keadaan orang-orang Islam yang bertauhid dan meyakini Kenabian Muhammad
[shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan mereka mati dalam keadaan tidak
memiliki Imam dan tidak mengenal Wilayah kalian?. Maka Beliau [Abu
Ja’far] berkata “adapun mereka di dalam
kubur mereka dan tidak keluar darinya, maka barang siapa diantara mereka
yang memiliki amal shalih dan tidak nampak dari mereka permusuhan
[kepada ahlul bait] maka ia akan diberikan ruangan yang terhubung ke
surga [taman surga] yang diciptakan Allah di Barat maka akan masuk dari
sana wewangian surga ke dalam kuburnya hingga hari kiamat ia bertemu
Allah dan Allah akan menghisabnya sesuai dengan amal kebaikan dan
keburukannya, adapun apakah ia ke surga atau ke neraka maka semua mereka
diserahkan urusannya kepada Allah. Beliau berkata “begitu pula yang
akan ditetapkan Allah atas orang-orang mustadha’ifiin, albalah [orang
bodoh], anak yang baru lahir atau anak-anak kaum muslimin yang belum
mencapai baligh” [Al Kafiy Al Kulainiy 3/247].
Riwayat Al Kafiy di atas adalah riwayat yang panjang, sanad lengkap riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، وسهل بن
زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا، عن ابن محبوب، عن علي بن رئاب، عن
ضريس الكناسي قالسألت أبا جعفرعليه السلام
Sekelompok sahabat kami dari Ahmad
bin Muhammad dan Sahl bin Ziyaad, Dan Aliy bin Ibrahiim dari Ayahnya,
semuanya [Ahmad bin Muhammad, Sahl bin Ziyaad dan Ibrahim bin Haasyim]
berkata dari Ibnu Mahbuub dari ‘Aliy bin Ri’ab dari Dhurais Al Kanaasiy
yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam]…[Al Kafiy
Al Kulainiy 3/246].
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy
seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang
dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati
tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
- Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151].
- Dhurais bin ‘Abdul Malik Al Kanasiy seorang yang khair, fadhl, tsiqat [Rijal Al Kasyiy 2/601 no 566].
Riwayat Al Kafiy di atas menguatkan
penafsiran bahwa makna mati dalam kematian jahiliah kafir musyrik
tersesat itu bermakna kematian seperti orang-orang kafir dan sesat di
zaman jahiliyah yang tidak memiliki Imam yang memberi petunjuk atas
mereka. Bukan bermakna mati dalam keadaan kafir yang pasti masuk neraka
karena riwayat shahih di atas menunjukkan dengan jelas bahwa orang islam
yang tidak memiliki Imam dan tidak mengenal Wilayah kedudukannya
diserahkan kepada Allah SWT apakah ke surga atau ke neraka.
Sebenarnya hadis dengan lafaz “mati dalam keadaan jahiliyah” tidak hanya ditemukan dalam kitab mazhab Syi’ah. Dalam kitab mazhab ahlus sunnah juga ditemukan hadis dengan lafaz demikian,
حدثنا عبيدالله بن معاذ العنبري حدثنا أبي
حدثنا عاصم وهو ابن محمد بن زيد عن زيد بن محمد عن نافع قالجاء عبدالله بن
عمر إلى عبدالله بن مطيع حين كان من أمر الحرة ما كان زمن يزيد بن معاوية
فقال اطرحوا لأبي عبدالرحمن وسادة فقال إني لم آتك لأجلس أتيتك لأحدثك
حديثا سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقوله سمعت رسول الله صلى الله
عليه و سلم يقول من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن
مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Telah menceritakan kepada kami
‘Ubaidillah bin Mu’adz Al ‘Anbariy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aashim
dan ia adalah Ibnu Muhammad bin Zaid dari Zaid bin Muhammad dari Nafi’
yang berkata ‘Abdullah bin Umar datang kepada ‘Abdullah bin Muthi’ dan
ia adalah pemimpin Harrah pada zaman Yaziid bin Mu’awiyah. Ia berkata
“berikan bantal kepada ‘Abu ‘Abdurrahman”. [Ibnu ‘Umar] berkata “aku
datang bukan untuk duduk tetapi aku datang kepadamu untuk menceritakan
kepadamu hadis yang aku dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam], [Abdullah bin ‘Umar] mengatakan aku mendengar Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “barang siapa yang melepaskan
tangannya dari ketaatan maka ia akan menemui Allah SWT pada hari kiamat
dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barang siapa yang mati tanpa
baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah [Shahih Muslim 3/1478 no 1851].
Para ulama Ahlus sunnah menafsirkan makna
kematian jahiliyah tersebut sebagai kematian orang-orang kafir pada
masa jahiliyah yang tidak taat kepada pemimpin atau tidak memiliki
pemimpin, para ulama Ahlus Sunnah tidak memaknai hadis tersebut sebagai
mati dalam keadaan kafir.
وأخبرني محمد بن أبي هارون أن إسحاق حدثهم
أن أبا عبد الله سئل عن حديث النبي صلى الله عليه وسلم من مات وليس له إمام
مات ميتة جاهلية ما معناه ؟ قال أبو عبد الله تدري ما الإمام ؟ الإمام
الذي يجمع المسلمون عليه كلهم يقول هذا إمام ، فهذا معناه
Telah mengabarkan kepadaku Muhammad
bin Abi Haruun bahwa Ishaaq mengabarkan kepada mereka bahwa Abu
‘Abdullah ditanya tentang hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
“barang siapa mati tanpa memiliki Imam maka ia mati seperti kematian
Jahiliyah” apa maknanya?. Abu ‘Abdullah berkata “tahukah engkau yang
disebut Imam?. Imam adalah orang yang berkumpul atasnya kaum muslimin
seluruhnya dan mengatakan inilah Imam, maka inilah makna hadis tersebut
[As Sunnah Al Khalaal no 11].
Muhammad bin Abi Haruun Abu Fadhl adalah seorang yang shalih, fadhl dan banyak memiliki ilmu [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 21/291]. Ishaaq adalah Ishaaq bin Manshuur bin Bahraam
dikatakan Muslim bahwa ia tsiqat ma’mun dan Nasa’iy berkata tsiqat
[Tarikh Baghdad 6/362 no 3386] dan Abu ‘Abdullah adalah Ahmad bin Hanbal
yang sudah dikenal keilmuannya di kalangan ulama Ahlus Sunnah.
Pertanyaan terkait hadis ini adalah siapakah Imam kaum muslimin sekarang
dimana jika kaum muslimin tidak membaiatnya dan mati dalam keadaan
demikian maka mereka mati seperti kematian jahiliyah. Kalau lafaz
“kematian jahiliyah” ini dimaknai sebagai kafir maka kaum muslimin [dari
kalangan ahlus sunnah] akan menjadi kafir mengingat di zaman sekarang
ini tidak ada Imam dimana berkumpul dan berbaiat atasnya seluruh kaum
muslimin.
Dan terkadang zhahir lafaz “kafir” dalam
suatu riwayat atau hadis tidak selalu bermakna kekafiran yang
mengeluarkan seseorang dari Islam. Memang terdengar aneh, tetapi konsep
kekafiran di bawah kekafiran ini cukup dikenal dalam mazhab Ahlus
Sunnah. Silakan perhatikan hadis berikut:
حدثنا أبو عبد الله قال ثنا عبد الرزاق قال
ثنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه قال سئل ابن عباس عن قوله ومن لم يحكم بما
أنزل الله فأولئك هم الكافرون قال هي به كفر قال ابن طاوس وليس كمن كفر
بالله وملائكته وكتبه ورسله
Telah menceritakan kepada kami ‘Abu
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang
berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari
Ayahnya yang berkata ‘Ibnu ‘Abbas ditanya tentang firman Allah “barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS Al Ma’idah : 44]. Ibnu
‘Abbas berkata “Itu adalah Kafir”. Ibnu Thawus berkata “dan bukanlah
itu seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan
Rasul-Nya” [As Sunnah Al Khalaal no 1443].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu hadis Ahlus Sunnah, berikut keterangan para perawinya,
- Abu ‘Abdullah adalah Ahmad bin Hanbal salah seorang imam tsiqat hafizh faqiih hujjah [Taqrib At Tahdzib 1/84 no 96].
- ‘Abdurrazzaaq bin Hamaam Ash Shan’aniy
seorang tsiqat hafizh, penulis kitab, buta di akhir umurnya bercampur
hafalannya dan ia bertasyayyu’ [Taqrib At Tahdzib 1/354 no 4064]. Ahmad
bin Hanbal meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq sebelum ia buta dan bercampur
hafalannya.
- Ma’mar bin Rasyiid Al ‘Azdiy
seorang tsiqat tsabit fadhl kecuali riwayatnya dari Tsaabit, A’masyiy,
Hisyam bin ‘Urwah dan hadisnya di Bashrah [Taqrib At Tahdzib 1/541 no
6809]. Ini adalah riwayatnya dari ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy yang
dijadikan hujjah oleh Bukhariy Muslim.
- ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy seorang yang tsiqat fadhl ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/308 no 3397].
- Thawus bin Kaisan Al Yamaniy seorang yang tsiqat faqiih fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/281 no 3009].
حدثني يعقوب بن إبراهيم قال حدثنا هشيم قال
أخبرنا عبد الملك بن أبي سليمان عن سلمة بن كهيل عن علقمة ومسروق أنهما
سألا ابن مسعود عن الرشوة فقال من السحت قال فقالا أفي الحكم؟ قال ذاك
الكفر ثم تلا هذه الآية ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub
bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang
berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin Sulaiman dari
Salamah bin Kuhail dari ‘Alqamah dan Masruuq bahwa keduanya bertanya
kepada Ibnu Mas’ud tentang suap, Maka Ibnu Mas’ud berkata “itu perbuatan
haram”, Keduanya berkata “bagaimana hukumnya?”. Ibnu
Mas’ud berkata “itu kafir” kemudian Ia membaca ayat “barang siapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir” [QS Al Ma’idah : 44]. [Tafsir Ath Thabariy 10/357 no 12061].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu hadis Ahlus Sunnah, berikut keterangan para perawinya,
- Ya’qub bin Ibrahiim Ad Dawraaqiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan termasuk hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/607 no 7812].
- Husyaim bin Basyiir perawi kutubus sittah, seorang tsiqat tsabit banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy [Taqrib At Tahdzib 1/574 no 7312].
- ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman,
termasuk perawi Muslim seorang yang shaduq pernah melakukan kesalahan
[Taqrib At Tahdzib 1/363 no 4184] kemudian disebutkan dalam Tahrir
Taqrib At Tahdzib bahwa ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib
no 4184].
- Salamah bin Kuhail Al Hadhramiy perawi kutubus sittah yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/248 no 2508].
- Alqamah bin Qais An Nakha’iy perawi kutubus sittah, tsiqat tsabit faqiih ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/397 no 4681].
- Masruuq bin Al A’jda’ Al Hamdaaniy perawi kutubus sittah tsiqat faqiih ahli ibadah mukhadhramun [Taqrib At Tahdzib 1/528 no 6601].
Kedua riwayat di atas menunjukkan bahwa
hadis dengan lafaz “kafir” tidak selalu bermakna keluar dari Islam atau
murtad, para ulama ahlus sunnah [salafus shalih] menerima konsep
kekafiran di bawah kekafiran atau kekafiran yang tidak mengeluarkan dari
Islam atau kekafiran yang tidak seperti kafir kepada Allah SWT,
Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Kami membawakan riwayat-riwayat
ahlus sunnah ini hanya ingin menunjukkan bahwa konsep kekafiran di bawah
kekafiran atau kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam juga
dikenal dalam mazhab ahlus sunnah.
Kesimpulan:
Riwayat-riwayat shahih dalam mazhab
Syi’ah tetap menyatakan keislaman ahlus sunnah dan memang terdapat
riwayat shahih yang seolah-olah menyatakan kekafiran orang-orang selain
mazhab Syi’ah tetapi pada hakikatnya hal itu bukanlah kekafiran yang
mengeluarkan mereka dari islam, sebagaimana telah berlalu penjelasannya
di atas.