Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Pernikahan. Show all posts
Showing posts with label Pernikahan. Show all posts

Gereja Protestan Terbesar Prancis Legalkan Perkawinan Sejenis


Gereja Protestan terbesar Prancis, United Protestant Church of France, memutuskan untuk mengesyahkan perkawinan pasangan sesama jenis (homoseksual). Langkah ini menyusul 2 tahun setelah pemerintah Prancis melegalkan perkawinan ini.
United Protestant Church of France, yang mengklaim memiliki 400.000 penganut merupakan gabungan dari 2 gereja Protestan Reformed Church dan Evangelical Lutheran Church. Di Prancis gereja ini memiliki penganut terbesar keempat setelah Katholik, Yahudi dan Islam.

Russia Today melaporkan, Senin (19/5), keputusan melegalkan perkawinan sejenis itu didukung oleh 94% pendeta. Meski demikian, pendeta-pendeta yang menolak keputusan itu tidak akan dipaksa untuk mensyahkan perkawinan sejenis.

“Ini adalah pilihan, bukan kewajiban. Setiap pastor dan ‘parish’ bebas untuk mengimplementasikan perubahan ini,” kata jubir gereja tersebut.

Sebelumnya, Popular Evangelical Mission, gereja Protestan lain yang lebih kecil, telah terlebih dahulu mengesyahkan perkawinan sejenis.

Pada bulan Mei 2013 pemerintah Prancis mengesyahkan UU perkawinan sejenis. Hal ini memicu terjadinya aksi-aksi demonstrasi di seluruh Prancis oleh mayoritas warga Prancis yang merupakan penganut Katholik.

(Shabestan)

Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?


Saya menggauli (berulang kali) seorang gadis dan saya tahu bahwa ia telah menikah dengan pria lainnya. Apa hukum dari perbuatan ini dan apa yang saya harus lakukan untuk bertaubat?
Jawaban Global
Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan menebus kesalahan-kesalahannya yang telah lalu, maka harapan pengampunan dari sisi Tuhan sangat besar.

Karena itu, apabila Anda menginginkan keselamatan dengan harapan terhadap maaf dan ampunan Ilahi maka segeralah bertaubat. Anda tidak perlu mengabarkan kepada orang lain, cukuplah Anda dan Tuhan Anda yang mengetahui perbuatan tersebut.

Kebanyakan para marja taklid memandang bahwa berzina dengan wanita seperti ini akan menyebabkan keharaman abadi bagi pria yang berzina dengannya.
Jawaban Detil
Berzina dan menjalin hubungan gelap dengan wanita merupakan salah satu keburukan besar sosial yang mengakibatkan banyak kerugian yang tidak dapat ditebus dalam masyarakat. Atas dasar itu, Islam memandangnya sebagai perbuatan haram dan melawannya dengan sengit. Allah Swt dalam al-Qur’an berfirman, Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.(Qs. Al-Isra [17]:32).

Dalam penjelasan singkat dan padat terdapat tiga poin penting yang disinggung pada ayat ini:
Pertama, tidak disebutkan bahwa Anda jangan berzina, melainkan dinyatakan bahwa jangan mendekat kepada amalan yang memalukan ini. Pernyataan redaksi ini di samping merupakan stressing terhadap kedalaman perbuatan ini juga merupakan isyarat subtil bahwa kontaminasi perbuatan zina biasanya memiliki pendahuluan-pendahuluan sehingga manusia secara perlahan mendekatinya, budaya telanjang, kondisi tanpa hijab, buku-buku berbau porno,  film-film beradegan kekerasan seksual, koran dan majalah, night club masing-masing merupakan pendahuluan bagi perbuatan tercela ini.

Demikian juga, berdua-duaan dengan orang asing (pria dan wanita non-mahram berdua-duaan di satu tempat sepi) merupakan faktor yang dapat menimbulkan was-was sehingga orang terseret untuk melakukan perbuatan zina.

Di samping itu, ketika orang-orang muda meninggalkan lembaga perkawinan, mempersulit tanpa dalil di antara kedua belah mempelai, kesemuanya merupakan faktor-faktor “yang mendekatkan kepada zina” yang dilarang pada ayat di atas dengan satu kalimat singkat. Demikian juga pada riwayat-riwayat Islam masing-masing dari yang disebutkan ini secara terpisah juga dilarang.

Kedua, kalimat “innahu kana fâhisyatan” yang mengandung tiga penegasan (inna, penggunaan bentuk kalimat lampau dan redaksi “fâhisyatan”) semakin menandaskan dosa ini.
Ketiga, kalimat, “sa’a sabila” (perbuatan zina merupakan perbuatan keji dan jalan buruk) menjelaskan kenyataan ini bahwa amalan ini merupakan jalan yang melapangkan keburukan-keburukan lainnya di dalam masyarakat.


Pengaruh Buruk Zina dalam Sabda Para Maksum
Rasulullah Saw bersabda, “Zina mengandung kerugian-kerugian duniawi dan ukhrawi. Kerugian di dunia: hilangnya cahaya dan keindahan manusia, kematian yang dekat, terputusnya rezeki. Adapun kerugian di akhirat, tidak berdaya, mendapatkan kemurkaan Tuhan pada waktu perhitungan dan keabadian dalam neraka.

Diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Tatkala zina telah merajalela maka kematian mendadak juga akan semakin banyak. Janganlah berzina, sehingga istri-istrimu juga tidak ternodai dengan perbuatan zina. Barang siapa yang melanggar kehormatan orang lain maka kehormatannya juga akan dilanggar. Sebagaimana engkau memperlakukan orang engkau akan diperlakukan.”[1]

Imam Ali bin Abi Thalib As dalam sebuah hadis bersabda, “Aku mendengar dari Rasulullah Saw bersabda, “Pada zina terdapat enam efek buruk, tiga bagiannya di dunia dan tiga bagian lainnya di akhirat. Adapun pengaruh buruknya di dunia, pertama, akan mengambil cahaya dan keindahan dari manusia. Memutuskan rezeki, mempercepat kematian manusia. Adapun pengaruh buruknya di akhirat, kemurkaan Tuhan, kesukaran dalam perhitungan dan masuknya ke dalam neraka.”[2]

Ali memandang bahwa meninggalkan perbuatan zina akan menyebabkan kokohnya institusi keluarga dan meninggalkan perbuatan liwat (sodomi) adalah faktor terjaganya generasi manusia.

Dalam sebuah sabda Imam Ridha As telah dinyatakan sebagian keburukan zina di antaranya:
1. Terjadinya pembunuhan dengan pengguguran janin.
2. Kacaunya sistem kekeluargaan dan kekerabatan.
3. Terabaikannya pendidikan anak-anak.
4. Hilangnya warisan.

Karena pengaruh buruk dan jelek lainnya yang membuat Islam sangat mencela perbuatan zina dan memandangnya sebagai dosa besar. Namun apabila manusia melakukan perbuatan buruk ini khususnya berzina dengan wanita bersuami dan kemudian menyesali perbuatan tersebut dengan sebenarnya serta menyatakan taubat dan berjanji tidak akan mengulanginya maka jalan dan pintu taubat akan terbuka lebar baginya.
Al-Qur’an dalam mencirikan ‘ibadurrahman (hamba-hamba sejati Tuhan), salah satu ciri mereka adalah tidak melakukan perbuatan zina. Firman Tuhan, Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia menerima siksa yang sangat pedih, akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka Allah akan mengganti kejahatan mereka dengan kebaikan, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang; . dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia kembali kepada Allah dengan sebenarnya. (Qs. Al-Furqan [25]:68-71).

Pada ayat lainnya, Al-Qur’an memperkenalkan orang-orang bertakwa, Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Balasan mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (Qs. Ali Imran [3]:135-136).

Disebutkan dalam sebuah riwayat muktabar, “Seorang pemuda menangis dan bersedih hati datang ke hadirat Rasulullah Saw dan berkata bahwa ia takut kepada kemurkaan Tuhan.
Rasulullah Saw bersabda, “Apakah engkau telah melakukan syirik?” Jawabnya, “Tidak.”
Sabdanya, “Apakah engkau telah menumpahkan darah seseorang yang tidak berdosa?”
Katanya, “Tidak.”
Sabdanya, “Allah Swt akan mengampuni dosamu berapa pun besarnya.”
Katanya, “Dosaku lebih besar dari langi dan bumi, arasy dan kursi Tuhan.”
Sabdanya, “Apakah dosamu lebih besar dari Tuhan?” Katanya, “Tidak, Allah Swt lebih besar dari segalanya.”

Sabdanya, “Pergilah (Bertobatlah) sesungguhnya Allah Swt Mahabesar dan mengampuni dosa besar.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda lagi, “Katakanlah sebenarnya dosa apa yang telah kau lakukan?”
Katanya, “Wahai Rasulullah Saw, saya merasa malu mengatakannya kepada Anda.”

Sabdanya, “Ayo katakanlah apa yang telah kau lakukan?” Katanya, “Tujuh tahun saya membongkar kuburan dan mengambil kafan orang-orang mati hingga suatu hari tatkala saya membongkar kubur dan mendapatkan jasad seorang putri dari kaum Anshar kemudian saya telanjangi lalu hawa nafsu menguasai diriku…. (kemudian pemuda itu menjelaskan apa yang dilakukannya).. Ketika ucapan pemuda itu sampai di sini Rasulullah Saw bersedih luar biasa dan bersabda, “Keluarkanlah orang fasik ini dan berpaling kepada pemuda itu dan bersabda, “Alangkah dekatnya engkau kepada neraka?” Pemuda itu keluar dan menangis sejadi-jadinya, mengalihkan pandangannya ke sahara dan berkata, “Wahai Tuhan Muhammad! Apabila Engkau menerima taubatku maka kabarkanlah kepada Rasul-Mu dan apabila tidak demikian maka turunkanlah api dari langit dan membakarku serta melepaskanku dari azab akhirat. (Setelah itu) Di sinilah utusan wahyu Ilahi turun kepada Rasulullah Saw dan membacakan ayat, “Qul Yaa Ibâdiyalladzi asrafû…” bagi Rasulullah Saw.[3]  

Katakanlah (Wahai Rasul), “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Isra [17]:53)

Dengan demikian apabila Anda menginginkan keselamatan dengan harapan terhadap ampunan dan maaf ilahi maka segeralah bertaubat.  Anda tidak perlu harus mengabarkan orang lain atas apa yang terjadi. Cukup Anda dan Tuhan Andalah yang tahu apa yang telah Anda lakukan.

Sesuai dengan pandangan (fatwa) kebanyakan marja agung taklid yang memfatwakan keharaman abadi bagi wanita ini untuk menikah dengan orang yang telah berzina dengannya. Dan bahkan apabila wanita tersebut telah menerima talak dari suaminya, pria yang sebelumnnya berzina dengannya tidak dapat menikah dengannya (selamanya).[4]


[1]. Silahkan lihat, Tafsir Nur, Muhsin Qira’ati, jil. 8, hal. 193, Cetakan Kesebelas, Intisyarat Markaz Farhanggi Darsha-ye Qur’an, Teheran, 1383.  
[2]. Tafsir Nemune, Makarim Syirazi, jil. 12, hal. 102, Cetakan Pertama, Intisyarat-e Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1373.  
[3]. Ibid, jil. 19, hal. 507.  
[4]. Taudhi al-Masâil (al-Muhassyâ li al-Imâm Khomeini), jil. 2, hal. 471. Masalah 2403, 2402, 2401. 

Kado Istimewa Pernikahan

Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII, menari tari Sari Tunggal, sebagai kado istimewa pernikahan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard. Foto: KITLV.

Tinimbang mempersembahkan permata dan benda berharga, Mangkunegara VII memilih pentas tari sebagai kado pernikahan.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO

KGPAA Mangkunegara VII ingin memberikan kado istimewa untuk pernikahan Putri Juliana, anak Ratu Belanda Wilhelmina, dengan Pangeran Bernhard. Sementara raja-raja lain di Nusantara mempersembahkan permata dan benda-benda berharga, dia memilih pentas tari. Kado itu semakin istimewa karena putrinya yang cantik, Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemo Wardhani atau kerap disapa Gusti Nurul, bakal jadi penarinya.

Romo (bapak), mempunyai gagasan dalam tarianku,” ujar Gusti Nurul, lahir pada 17 September 1921, dalam Lembar Kenangan Gusti Noeroel.
Pementasan tari akan diiringi gamelan Kyai Kanyut Mesem yang dimainkan di Pura Mangkunagaran, Solo. 

Alunan gamelan dipancarkan secara langsung melalui stasiun radio Solosche Radio Vereeniging (SRV) ke Negeri Belanda. Tarian yang dipilih Sari Tunggal, “tari dari Keraton Yogyakarta yang selama ini telah kupelajari dari kakak ibuku, Pangeran Tedjo Koesoemo,” kata Gusti Nurul.

Rangkaian acara pernikahan akan digelar pada Desember 1936-Januari 1937. Mengingat perjalanan jauh dan menyita waktu, Mangkunegara VII dan permaisuri GKR Timur serta Gusti Nurul berangkat pada Agustus 1936. 

Dalam perjalanan, di atas kapal Marnix, Gusti Nurul menyempatkan diri berlatih. Setelah tiba di Italia, perjalanan disambung dengan keretapi. Mereka tiba di Amsterdam pada 16 November 1936, lalu bertolak ke Den Haag pada 1 Desember 1936.

Menurut Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, inilah untuk pertama kalinya seorang raja Jawa yang sedang berkuasa berkunjung ke Negeri Belanda. Selama empat bulan rombongan menginap di Puri Oud-Wassenar.

Panitia pernikahan Putri Juliana baru mengetahui rencana pementasan tari saat rombongan tiba di Belanda. Menurut Hary Wiryawan dalam Mangkoenegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia, pihak panitia semula keberatan dengan pementasan itu dengan alasan waktu persiapan singkat untuk acara yang rumit. Namun, setelah diyakinkan Mangkunegara VII, pementasan tari masuk dalam susunan acara.

Sebulan sebelum acara, panitia melakukan tes dan meminta Gusti Nurul menari lengkap dengan iringan musik langsung dari Pura Mangkunegaran Solo yang dipancarkan melalui SRV. Bertempat di gedung Pos, Telegraph, dan Telpon (PTT), Gusti Nurul pun menari di hadapan Ratu Wilhelmina dan anggota kabinet. Pada saat yang sama, Gusti Partinah, anak kedua Mangkunegara VII, menari di Pura Mangkunegaran Solo sebagai patokan bagi pemain gamelan.

“Pada saat tes, suara gamelan sempat hilang. Namun Ibu (Gusti Timoer) yang duduk di dekat pentas membantu dengan hitungan, sehingga tarianku dapat diselesaikan dengan baik,” ujar Gusti Nurul.
Perusahaan Philips merekam gending tersebut untuk pementasan di hari-H. Pementasan tari pun digelar di Istana Noordeinde, disaksikan para petinggi negara, raja dan ratu dari berbagai negara, serta kedua mempelai. Pementasan berjalan lancar. “Aku merasa lega,” ujar Gusti Nurul.

Pementasan itu ramai diwartakan suratkabar Belanda. Pementasan itu juga membuat para tamu ingin mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan Timur dari Mangkunegara VII.
Rombongan Mangkunegara VII meninggalkan Belanda pada 15 Februari 1937 dan melanjutkan perjalanan keliling Eropa.

Versi Syi’ah bahwa budak wajib dinikahi sebelum disetubuhi... Inilah Prinsip Syi’ah tentang BUDAK

Sebagian hadis sunni dibuat buat oleh raja raja zalim untuk mengkondisikan seolah olah Nabi SAW sama biadabnya dengan Mu’awiyah cs… Kami menolak hadis bar bar buatan sunni

Hadis hadis Sunni membuat buat fitnah terhadap Nabi kami :

1. Muhammad Tidak Melarang TINDAKAN COITUS terhadap BUDAK!

MUSLIM, Book 008, Number 3388:
Jabir (Allah be pleased with him) reported: We used to practise ‘azl during the lifetime of Allah’s Messenger (saw). This (the news of this practise) reached Allah’s Apostle (saw), and he did not forbid us.

2.Hadis hadis Sunni membuat buat fitnah terhadap Nabi kami : Bahkan Mengijinkan dan Menyetujui Tindakan Ali (menantu muhammad) MENG-Coitus Budak dari Khumus (harta rampasan perang hak milik muhammad).

BUKHARI, Volume 5, Book 59, Number 637:
Narrated Buraida:
The Prophet sent ‘Ali to Khalid to bring the Khumus (of the booty) and I hated Ali, and ‘Ali had taken a bath (after a sexual act with a slave-girl from the Khumus). I said to Khalid, “Don’t you see this (i.e. Ali)?” When we reached the Prophet I mentioned that to him. He said, “O Buraida! Do you hate Ali?” I said, “Yes.” He said, “Do you hate him, for he deserves more than that from the Khumus.”
.
Dari roman yg disadur dari kisah2 nyata :
Ilustrasi : Tentara Turki Sunni siap menjemput wanita2 tahanan perang yg akan dijadikan anggota harem
Pasar Perlelangan Budak di Afrika !


Pasar budak : baik lelaki maupun perempuan bisa dijadikan budak seks. Inilah keadilan dlm Sunni. Sunni tidak membedakan jenis kelamin.

OOOhhhh sunni…
Syi’ah  datang justru untuk menghapus perbudakan !!.

Sunni  menghalalkan PERKOSAAN  terhadap tawanan perang
wanita  yang dijadikan budak setelah suami suami mereka
dibunuh  !!!

Sunni menghalalkan zina dan perkosaan terhadap tawanan perang  wanita (budak) tanpa akad nikah, tanpa mas kawin, tanpa prosesi apapun. Jika hamil maka si perempuan dan anaknya tetap menjadi BUDAK,,,

Syi’ah  membantahnya !!!
Versi  Syi’ah bahwa budak wajib dinikahi sebelum disetubuhi. Dalam hal ini kami katakan kepada para Nashibi Wahabi maupun kepada saudara Sunni :

“Janganlah melempari rumah orang lain dengan batu, jika rumah kalian terbuat dari kaca  !!!”

Hadis Hadis Yang Ada Dalam Kitab Shahih Sunni bukan semua hadis Nabi yang asli, tetapi ada REKAAN ORANG-ORANG  TERTENTU  yang dinisbatkan kepada Nabi untuk mengkondisikan bahwa Nabi seolah-olah sama biadabnya dengan Mu’awiyah bin ABU SOFYAN.
__________________________________________

Ayat ayat perbudakan  masih relevan untuk dipakai, tidak ada yang  mansukh apalagi  basi.

Prinsip  Syi’ah tentang BUDAK :
1. Sebelumnya diberi kesempatan untuk menebus dirinya dengan cara memungut tebusan, jika tidak mampu maka boleh mengajar baca tulis kepada anak anak kaum muslimin, dalil : Qs. 24:33, Qs. 47:4, Qs. 4:25.
2. Tawanan perang wanita (kafir) dihalalkan disetubuhi dengan syarat :
a. Telah mau masuk islam alias bukan kafir/musyrik, sehingga terputuslah hubungan perkawinan dengan suaminya yang masih kafir atau musyrik, dalil : Qs 2 :21.
b. Budak perempuan harus dinikahi sebelum disetubuhi, dalil : Qs. 4:3, Qs. 23:6, Qs. 33:50, Qs.4:24, Qs.33:50, Qs.70:30.
3. Setelah nikah, budak menjadi orang merdeka. Pernikahan dengan budak merupakan upaya syi’ah melepas perbudakan, dalil : Qs. 90:13.
4. Memperkosa budak atau menzinai budak apalagi yang kafir musyrik maka haram hukumnya, dalil: Qs.17:32, Qs.24:33
5. Zakat merupakan upaya syi’ah melepas perbudakan, dalil : Qs.9:60
_________________________________________
“Penghalalan Budak Wanita” Terdapat Dalam Sunni.
Umar Bin Khatab Dan Budak Wanita.
 
RIWAYAT PERTAMA:
Imam al-Bayhaqi mencatat dalam “Al Sunan al Kubra” jilid 2 halaman 227 :

عن جده أنس بن مالك قال كن إماء عمر رضي الله عنه يخدمننا كاشفات عن شعورهن تضطرب ثديهن: قال الشيخ والآثار عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه في ذلك صحيحة 
Anas bin Malik berkata : “Budak perempuan Umar melayani kami dengan rambut tidak tertutup dan payudara mereka bergetar”.

Al-Bayhaqi menyatakan kedudukan riwayat diatas “Shahih”.

Al-Bani Sang Wahabi dalam “Irwa al-Ghalil” jilid 6 halaman 204 mengatakan : “Rantai (sanad) riwayat tersebut SEMPURNA”.
 
RIWAYAT KEDUA:
Dalam Al-Mushanaf oleh Ibn Abi Syaibah (jilid 2 halaman 41 Halaman 6236 ) mencatat : 
Anas berkata : Umar melihat budak perempuan milik kami (milik Anas) menggunakan syal (kerudung), lalu Umar memukulnya dan berkata kepadanya (kepada budak wanita tsb): Jangan berperilaku seperti wanita merdeka”.

Ibnu Hajar dalam “al-Diraya” (jilid 1 halaman 124) dan Al-Bani Sang Wahabi dalam “Irwa al-Ghalil” jilid 6 halan 203 menyatakan kedudukan riwayat tersebut “Shahih”.

RIWAYAT KETIGA:

عن المسيب بن دارم قال : رأيت عمر وفي يده درة فضرب رأس أمة حتى سقط القناع عن رأسها ، قال : فيم الأمة تشبه بالحرة 

Al-Musayyab bin Darum berkata : “Aku melihat Umar memegang tongkat ditangannya dan memukul seorang budak perempuan hingga penutup kepalanya (kerudung) terjatuh, lalu ia (umar) berkata: “Mengapa berperilaku seperti wanita merdeka”.

Riwayat diatas ada dalam Kanzul Umal jilid 15 halaman 486 : كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال
Kanzul Umal, j.15 h. 486 (online)
Tarikh Damisyq, j.58 h.191 (online)

Salahkah seorang budak wanita menggunakan “hijab”..?? Apa motif Umar melarang seorang wanita menggunakan kerudung..??

Ibn Umar Dan Budak Wanita.
Ulama Sunni, Al Bayhaqi dalam Sunnan Al-Kubra jilid 5 halaman 329:

عن نافع ، عن ابن عمر ” أنه كان إذا اشترى جارية كشف عن ساقها ووضع يده بين ثدييها و على عجزها 

Nafi’i meriwayatkan bahwa kapanpun ketika Ibn Umar ingin membeli budak wanita, ia (ibn Umar) akan memeriksa (budak tsb) dengan menganalisa kakinya dan meletakkan tangan di antara payudara dan bokongnya “.

الكتاب : السنن الكبرى للبيهقي
Sunnan Al-Kubra, j.5 h. 329 (online)

Keterangan Sang Nashibi Wahabi :
Al-Bani Sang Wahabi menyatakan riwayat tersebut “Shahih” dalam “Mukhtasir Irwa Al-Ghalil Fi Takhrij
Ahadits Manar Al-Sabil” j.1 h.355 , H.1792.

Dan dalam Al Mushanaf Abdul Razaq (jilid 7 , h.286 , Halaman 13204):
“Mujahid meriwayatkan bahwa Ibn Umar meletakkan tangannya diantara payudara dan mengguncangnya.

Mushanaf Abdul Razaq (online)
NB : yang ingin protes silahkan protes kepada penyusun kitab-kitab diatas.
IBN HAZM.
Ulama Sunni, Ibn Hazm (Al-Mahala jilid12 halaman 207-209) memberikan keterangan
jelas dan rinci mengenai permasalah budak wanita, dan bagi siapa sajakah budak
wanita dapat dihalalkan untuk orang lain.

Al-Mahala j.12, online 
Hamam meriwayatkan dari Ibn Mufaraj dari Ibn Arabi dai Al Dari dari Abdul Razaq dari Ibn Juraij dari Amr bin Dinar dari Tawus bahwa Ibn Abbas Berkata: “Jika seorang wanita (merdeka) membuat budak wanitanya halal untuk seorang laki-laki atau anak perempuannya atau saudaranya, biarkan (laki2 tsb) melakukan hubungan intim dengannya, ia (budak wanita tsb) akan tetap milik nya (wanita merdeka/pemiliknya), biarkan ia (laki-laki tsb) melakukan hubungan cepat diantara pahannya.
Dalam halaman yang sama disebutkan bahwa budak wanita di halalkan melahirkan (memberikan/
mengandung) anak dari seorang laki-laki yang telah di halalkan budak wanita tersebut oleh istrinya
sendiri : 
Ibn Juraij meriwayatkan dari Ibn Thawus dari ayahnya bahwa ia tidak melihat adanya masalah dalam hal tesebut dan berkata: “Itu Halal, jika ia (budak wanita) melahirkan seorang anak, maka anak tersebut bebas (merdeka) dan budak wanita (tetap) milik istri (laki2 tsb) dan tidak ada hukuman apapun untuk suaminya”
Selanjutnya tercatat : 
Ibn Juraij meriwayatkan dari Ibrahim bin Abi Bakr dari Abdurrahman bin Zadwih dari Thawus, berkata : Itu Halal sebagaimana (halalnya) makanan, jika ia (budak wanita tsb) melahirkan seorang anak, anak tersebut sah dan dimiliki oleh pemilik (tuan-nya) yg pertama”.
Dalam pandangan ulama sunni diatas jelas bahwa seorang laki-laki diperbolehkan berhubungan intim dengan budak wanita yang telah dihalalkan untuknya, dan budak wanita tersebut jika melahirkan anak, maka anaknya sah, dan anak yang dilahirkan tersebut menjadi pemilik budak wanita tersebut.

Ini yang dilaporkan Bukhari:Abu Saeed berkata: “Kami pergi bersama Rasul Allâh ke Ghazwa tempat Banu Al-Mustaliq dan kami menerima tawanan2 diantar tawanan2 Arab dan kami berhasrat pada wanita2 dan sukar untuk tidak berhubungan seks dan kami senang melakukan azl. Maka ketika kami hendak melakukan azl, kami berkata, ‘Bagaimana kami bisa melakukan azl sebelum bertanya pada Rasul Allâh yang ada diantara kita?’ Kami lalu bertanya padanya dan dia berkata, ‘Lebih baik jangan lakukan itu, karena jikalau sebuah jiwa (sampai hari kiamat) telah ditakdirkan akan ada, maka jiwa itu akan tetap ada.”[1]
sumber :
[1] Bukhari, Volume 5, Buku 59, Nomer 459.

Banyak hadis sahih menyatakan bagaimana Muhammad mengijinkan hubungan seks dengan budak2 wanita, tapi tidak perlu melakukan azl/coitus interruptus karena jika Allâh memang mau seseorang untuk lahir, maka jiwa orang itu akan lahir meskipun dilakukan azl/coitus interruptus. Lihat juga hadis sahih di bawah ini:
Bukhari 3.34.432: “Dikisahkan oleh Abu Saeed Al-Khudri: ketika dia duduk bersama Rasul Allâh dia berkata, “Wahai Rasul Allâh! Kami memiliki tawanan2 wanita sebagai jatah jarahan perang, dan kami ingin tertarik mengetahui harga mereka, apakah pendapatmu tentang azl/coitus interruptus?” Sang Nabi berkata, “Apakah kau memang melakukan itu?

Sebaiknya jangan. Jiwa yang sudah ditakdirkan Allâh untuk ada, akan tetap ada.”.

Sahih Muslim juga dianggap sahih oleh semua Muslim. Inilah hadis Sahih Muslim 8.3381: “Rasul Allâh (s.a.w.) ditanyai tentang azl/coitus interruptus dan dia menjawab: Seorang anak tidak terbentuk dari semua cairan (sperma) dan jika Allâh memang merencanakan menciptakan sesuatu maka tiada yang dapat mencegahnya.”.

Kaum Muslim juga menganggap hadis Abud Daud sahih. Inilah hadis sahih Abu Daud, 29.29.32.100: “Yahya mengisahkan padaku dari Malik dari Humayd ibn Qays al-Makki bahwa seorang pria bernama Dhafif berkata:
bahwa Ibn Abbas ditanyai tentang azl/coitus interruptus. Dia memanggil seorang budak wanita dan katanya, ‘Katakan pada mereka.’ Budak wanita itu merasa malu. Ibn Abbas berkata, ‘Baiklah, aku katakan sendiri.’.

Malik berkata, ‘Seorang pria tidak melakukan coitus interruptus dengan wanita merdeka kecuali jika wanita itu mengijinkannya. Tidak ada salahnya melakukan coitus interruptus dengan seorang budak wanita tanpa ijin darinya. Seseorang mengawini budak orang lain tidak melakukan coitus interruptus dengannya kecuali jika kalangan budak wanita itu memberinya ijin.”.

Juga lihat Bukhari 3.46.718, 5.59.459, 7.62.135, 7.62.136, 7.62.137, 8.77.600, 9.93.506 dan Sahih Muslim 8.3383, 8.3388, 8.3376, 8.3377, serta banyak lagi.
IMAM MALIK :
Masih dalam halaman yang sama ada sedikit perbedaaan dalam pandangan Imam Malik : 
“Ia (budak wanita tsb) tetap milik tuannya selama ia (budak wanita) tsb tidak hamil, jika ia hamil, kepemilikannya berpindah kepada orang yang mana ia dihalalkan bagi orang tersebut”. Pernah ia berkata :
“Kepemilikannya akan berpindah mengikuti (dengan siapa) pertama kali ia berhubungan intim”.

Masih dalam halaman yang sama disebutkan bahwa tidak ada hukuman untuk “berbagi” seorang
budak wanita : 
Abu Muhammad (ra) berkata : “Ini adalah sebuah pandangan dan Sufyan Al Thawri, (Abu Muhammad) berkata : “Malik dan sahabat-sahabatnya berkata : ” Tidak ada hukuman (hadd) dalam semua itu”.
Perbedaan Sunni dan Syiah dalam hal ini sangat jelas bahwa kehalalan budak wanita untuk orang lain dalam Syiah harus dengan pernikahan dan tidak cukup hanya dengan kata “Halal”. Dan dalam pandangan Sunni riwayat-riwayat dalam Al Mahala oleh Ibn Hazm sangatlah jelas.
I’arat al furuj dalam Sunni : 
“Tidak ada hadd (hukuman) dalam hal ini karena menurut Ata’ “meminjamkan Kemaluan” (I’arat al furuj) diperbolehkan”.

(Syarh al-Kabir oleh Abu Barakat, jilid 3 halaman 25) =>Mazhab MALIKI.
Ulama Sunni, Ibn Qudamah dalam karya besarnya “Al Mughni” ( jilid 9 halaman 157) mencatat : 
“Jika budak wanita “dibagi” kepada dua orang dan keduanya melakukan hubungan intim dengannya (dg budak wanita tsb), dia (budak wanita tsb) harus melakukan dua istibra.
_____________________________________________

Buka pikiran kita dengan jernih dan selamat membaca.
Kami tidak habis pikir mengapa para Nashibi selalu menggunakan cara yang paling hina untuk melawan Syiah, fitnah kepada Syiah Imamiyah selalu mereka gunakan, dan anehnya sebagian oknum sunni dengan senang membela mereka seolah seperti “pemandu sorak” sebuah team pemfitnah, jika memang oknum tersebut seorang pencari kebenaran, maka sudah pasti ia akan menjadi penengah atau paling tidak bersikap diam atas apa yang tidak mereka ketahui alih-alih membantu para nashibi tersebut dengan ucapan-ucapan konyol demi mengurangi “sakit hati” mereka atas fakta sejarah yang termaktub dalam kitab-kitab mereka sendiri yang terkuak akibat fitnah dan serangan mereka sendiri kepada Syiah Imamiyah.
Dalam hal ini kami katakan kepada para Nashibi Wahabi maupun kepada saudara Sunni:
“Janganlah melempari rumah orang lain dengan batu, jika rumah kalian tebuat dari kaca”.
FITNAH WAHABI NASHIBI.
Fitnah Pertama :
Beberapa waktu lalu seorang Nashibi Wahabi dengan percaya diri mengcopy paste tulisan para Nashibi lainnya seperti dibawah ini, dengan alasan ia mengutip dari al Kafi : 
Muhammad Ibnu Mudharrib berkata: Berkata kepadaku Abu Abdullah: “Hai Muhammad, ambillah PUTRI ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku.”. (Furu al Kafi hal. 200).
Sepintas orang yang membaca akan tercengang dengan fitnah yang sangat keji ini, orang awam seperti saya akan kaget membaca apa yangg dia bawakan, dan sebagian orang mungkin akan mengatakan :
“Jadi seperti ini Syiah, mengahalalkan anak perempuan untuk disetubuhi orang lain, pantas aja sesat..!”.
Sekarang saatnya kita bongkar satu persatu fitnah Nashibi tersebut, dengan
membawakan teks asli dari al Kafi, saya akan mengutip dari Al Kafi Jilid 5 halaman 470 (Darul Kitab
Islamiyah) dan teks aslinya ada dalam bab “Seorang laki-laki boleh menghalalkan budak wanitanya untuk
saudaranya, dan seorang wanita boleh menghalalkan budak wanitanya untuk suaminya”. : 
باب الرَّجُلُ يُحِلُّ جَارِيَتَهُ لِأَخِيهِ وَ الْمَرْأَةُ تُحِلُّ جَارِيَتَهَا لِزَوْجِهَا وَ بِإِسْنَادِهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُضَارِبٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا مُحَمَّدُ خُذْ هَذِهِ الْجَارِيَةَ إِلَيْكَ تَخْدُمُكَ فَإِذَا خَرَجْتَ فَرُدَّهَا إِلَيْنَا
Dengan sanad sampai kepada Muhammad Ibnu Mudharib. 

Muhammad Ibnu Mudharib berkata; berkata Abu Abdillah (as) ; “Wahai Muhammad ambillah JARIYAH (BUDAK WANITA) ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku
(teks yang sama juga terdapat dalam “Al-Istibshar”, jilid 3, hal. 136, riwayat no. 488).
Si Nashibi tersebut telah melakukan kebohongan besar dan fitnah yang keji, dengan menerjemahkan kata “JARIYAH” sebagai “PUTRI”, padahal seharusnya “BUDAK WANITA.

Catatan : Al-Kafi jilid 5 sama dengan Furu’ al Kafi jilid 3.
Fitnah Kedua :
Lagi, si Nashibi tersebut membawa copy paste tangan-tangan Nashibi lainnya seperti dibawah ini : 
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Hasan At-Thusi menyebutkan dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far, ia berkata: Aku tanyakan kepadanya: “Halalkah laki-laki MEMINJAMKAN pada temannya tubuh PUTRINYA untuk disetubuhi?” 
Jawabnya:
“Boleh. Bahwa halal bagi dia sebagaimana halal bagi temannya meminjamkan kemaluan PUTRINYA untuk disetubuhi. (Al-Istibshar, Juz III, hal. 136).
Mari kita lihat kalimat/tesk asli dari Al-Istibshar (jilid 3, halaman 136, riwayat 487) :
 
عنه عن جعفر بن محمد بن حكيم عن كرام بن عمرو عن محمد بن مسلم عن أبي جعفر(ع) قال قلت له الرجل يحل لاخيه فرج جاريته قال: نعم لا بأس به له ما أحل له منها. 

Al-Thusi meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Muslim, dari Abu Ja’far as:
Aku bertanya kepada beliau: “Apakah boleh seseorang menghalalkan (menjadikan halal) kemaluan BUDAK WANITA (jariyah)-nya bagi saudaranya?” Beliau menjawab: “Ya, tidak masalah. Hal itu halal bagi saudaranya, sebagaimana halalnya ia terhadap BUDAK WANITANYA itu.”. (“Al-Istibshar”, jilid 3, hal. 136, riwayat no. 487).

Sekali lagi Si Nashibi tersebut melakukan kebohongan besar mengartikan Kata“JARIYAH” sebagai “PUTRI” dan seharusnya “JARIYAH” berarti “BUDAK WANITA”, dan TIDAK ADA KATA MEMINJAMKAN, yang ada adalah MENGHALALKAN.
Catatan :
1. Al-Kafi jilid 5 sama dengan Furu’ al Kafi jilid 3.
2. Kesimpulannya adalah Nashibi tersebut telah berbohong dan memfitnah syiah dengan merubah kata “JARIYAH” yang beraati “BUDAK WANITA” menjadi “PUTRI” (anak kandung perempuan).
PENJELASAN LEBIH:
Untuk mencagah kesalah pahaman dan untuk melengkapi dua riwayat tersebut lebih jauh akan kita lihat beberapa riwayat mengenai “budak wanita” dan bagaimana bisa dihalalkan bagi orang lain.
Apakah hanya dengan menghalalkan saja tanpa ada syarat-syarat lain..?
Jika ada, apa syaratnya..?
Bagaimana “Penghalalan Budak Wanita dalam Sunni”..?
Insya Allah Bersambung

Nih sambungannya :
Dibawah ini adalah bukti Fitnah Nashbi tersebut :
Inilah contoh Nashibi berotak dekil dan tukang copas catatan nashibi2 lainnya..dengan dekilnya dia mengartikan Kata “JARIYAH” dengan makna “PUTRI”, dan Kata “Menghalalkan ” diartikan “MEMINJAMKAN”.
Mari kita lihat kalimat/tesk asli dari Al-Istibshar (jilid 3,halaman 136, riwayat 487) : 
عنه عن جعفر بن محمد بن حكيم عن كرام بن عمرو عن محمد بن مسلم عن أبي جعفر(ع) قال قلت له الرجل يحل لاخيه فرج جاريته قال: نعم لا بأس به له ما أحل له منها.
Al-Thusi meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Muslim, dari Abu Ja’far as: Aku bertanya kepada beliau: “Apakah boleh seseorang menghalalkan (menjadikan halal) kemaluan BUDAK WANITA (jariyah)-nya bagi saudaranya?” Beliau menjawab: “Ya, tidak masalah. Hal itu halal bagi saudaranya, sebagaimana halalnya ia terhadap BUDAK WANITANYA itu.” (“Al-Istibshar”, jilid 3, hal. 136, riwayat no. 487).
Al Kafi Jilid 5 halaman 470 (Darul Kitab Islamiyah :
باب الرَّجُلُ يُحِلُّ جَارِيَتَهُ لِأَخِيهِ وَ الْمَرْأَةُ تُحِلُّ جَارِيَتَهَا لِزَوْجِهَا وَ بِإِسْنَادِهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُضَارِبٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا مُحَمَّدُ خُذْ هَذِهِ الْجَارِيَةَ إِلَيْكَ تَخْدُمُكَ فَإِذَا خَرَجْتَ فَرُدَّهَا إِلَيْنَا
Dengan sanad sampai kepada Muhammad Ibnu Mudharib.
Muhammad Ibnu Mudharib berkata; berkata Abu Abdillah (as) ; “Wahai Muhammad ambillah JARIYAH (BUDAK WANITA) ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku

Sungguh Biadab dan Keji para Nashibi tsb.

I’arat al furuj (MEMINJAMKAN Kemaluan) dalam Sunni: “Tidak ada hadd (hukuman) dalam hal ini karena menurut Ata’ MEMINJAMKAN Kemaluan” (I’arat al furuj) diperbolehkan” (Syarh al-Kabir oleh Abu Barakat, j.3 h. 25) =>Mazhab MALIKI .
Ulama Sunni, Ibn Qudamah dalam karya besarnya “Al Mughni” ( j. 9 h. 157) mencatat :
“Jika budak wanita “dibagi” kepada dua orang dan keduanya melakukan hubungan intim dengannya (dengan budak wanita tersebut), dia (budak wanita tsb) harus melakukan dua istibra
Setelah membaca tulisan yang lalu yang berjdudul “Fitnah Nashibi I” ---> (ini dah dihapus sama pemiliknya karena malu), maka ada beberapa riwayat penjelas yang harus dicantumkan agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai riwayat-riwayat yang ada dalam catatan “Fitnah Nashibi I” tersebut.

HALAL DENGAN PERNIKAHAN.
Dalam Tahdib al-Ahkam (j. 7 h.244) tercatat ucapan Imam Musa Al Kadzim (as) ketika ditanya mengenai
Budak Wanita : 
Ali bin Yaqtin meriwayatkan, Abu al Hasan (as) ditanya mengenai budak. Apakah diperbolehkan berhubungan intim dengan budak wanita TANPA PERNIKAHAN dimana pemilik (pemilik budak tsb) menghalalkan baginnya (utk org lain): Imam (as) menjawab : “Tidak diperbolehkan baginya” (tanpa pernikahan).

Catatan : Allamah Hilli dlm Mukhtalaf al-Syiah j. 7 h. 275, Syaikh Jawahiri dlm Jawahir al-Kalam j.30
h. 231, Sayyid Khu’i dlm kitab al-Nikah j. 2 h. 119, menyatakan riwayat diatas Sahih.

يجوز للرجل أن يبيح مملوكته لغيره على معنى أنه يعقد عليها عقد النكاح الذي الذي فيه معنى الإباحة ، ولا يقتضي ذلك أن النكاح ينعقد بلفظ الإباحة 

“Diperbolehkan untuk seseorang laki-laki menghalalkan budak wanitanya untuk orang lain, dengan arti (org lain tsb) melakukan pernikahan untuk menjadikannya halal untuknya DAN TIDAK CUKUP menghalalkannya hanya dengan mengucap kata ‘Halal'”.

Ref : Syarif Murtadha dlm Al-Intisar h. 281.

Syaikh Mufid dalam al Muqana :
“Jika seorang laki-laki menikahkan budak wanitanya dengan orang bebas (merdeka) atau budak, maka dilarang baginya (pemilik yang menikahkan budak tsb) untuk melakukan hubungan intim dengannya”
Ref : Al-Muqana h. 543.

Masih banyak riwayat yang menjelasakan mengenai keharusan menikahkan budak wanita yg ia miliki jika ingin menjadikannya halal bagi orang lain, namun riwayat diatas tsb sudah cukup jelas.
“Dari Ruwaifi Al-Anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhuthbah-, ia berkata: Adapun sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku dengan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan pada hari Hunain, beliau bersabda: “TIDAK HALAL bagi seorang yang BERIMAN KEPADA ALLAH dan hari akhir untuk MENYIRAMKAN AIR (mani)nya KE TANAMAN ORANG LAIN (menyetubuhi wanita yang sedang hamil) dan TIDAK HALAL bagi seorang yang BERIMAN KEPADA ALLAH dan hari akhir untuk MENYETUBUHI WANITA DARI TAWANAN PERANG sampai PEREMPUAN ITU BERSIH (catt: versi  syi’ah  artinya sah menjadi istrinya). Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menjual harta rampasan perang sampai dibagikan. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan dari harta fa’i kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa’i kaum muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru megembalikannya” (HR. Abu Dawud (no. 2158 dan 2150) dan Ahmad (4/108-109), sanad Hasan).

“Meminjamkan” atau “Menjadikan Halal” (Yu’hillu) ?
Perlu diketahui bahwa dalam Syiah, hanya dengan “meminjamkan al furuj” Budak Wanita kepada orang lain dan hanya mengatakan “halal” (lalu kedunya melakukan hubungan intim) tanpa ada pernikahan, maka hal tersebut adalah HARAM. Jadi Pengertian yang benar adalah:

“Menjadikannya Halal dengan cara Pernikahan”.
Syarif Murthadha mencatat dalam Al Intisar h. 208 : 
“Apa yang telah digunakan untuk memfitnah Imamiyah adalah (klaim) bahwa mereka membolehkan peminjaman kemaluan (I’arat al furuj) dan “kemaluan” dapat sah atas nama pinjaman.”

“Menurut penelitian dalam hal ini, kami tidak menemukan ahli hukum (fiqih) yang membolehkannya ataupun mereka menulis tentangnya (diperbolehkannya hal tsb) dalam kitab manapun.

Lebih lanjut : 
“Tidak diperbolehkan meminjamkan budak wanita untuk kepentingan sexual.

Ref :
1. Allamah al-Hili dlm Al-Tadkira, j.2 h. 210.
2. Muhaqiq al-Kurki dlm Jami’ al-Maqasid, j. 6 h.62.
3. Ali Asghar Mirwarid dlm Yanabi al-Fiqya, j.17 h. 87.

Syaikh Thusi dalam al-Mabsut, j. 3 h. 57 menyatakan : 
“Tidak diperbolehkan meminjamkan (budak wanita) untuk tujuan “kenikmatan”, karena hubungan intim tidak sah melalui peminjaman”.

Benarkah Nyanyian Diharamkan Dan Diberi Rukhshah Saat Pernikahan?


Benarkah Nyanyian Diharamkan Dan Diberi Rukhshah Saat Pernikahan?
Ada salah satu golongan dalam islam [yang menyebut diri mereka salafiy] telah menyatakan bahwa Nyanyian dan memukul duff diharamkan dalam islam kemudian diberikan rukhshah pada saat pernikahan. Mereka berdalil dengan atsar berikut:

أخبرنا علي بن حجر قال حدثنا شريك عن أبي إسحق عن عامر بن سعد قال دخلت على قرظة بن كعب وأبي مسعود الأنصاري في عرس وإذا جوار يغنين فقلت أنتما صاحبا رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن أهل بدر يفعل هذا عندكم فقال اجلس إن شئت فاسمع معنا وإن شئت اذهب قد رخص لنا في اللهو عند العرس

Telah mengabarkan kepada kami ‘Aliy bin Hujr yang berkata telah menceritakan kepada kami Syariik dari Abi Ishaaq dari ‘Aamir bin Sa’d yang berkata aku masuk menemui Qarazhah bin Ka’b dan Abi Mas’ud Al Anshariy dalam suatu pernikahan, dan disana terdapat anak-anak perempuan yang sedang bernyanyi. Maka aku berkata “kalian berdua adalah sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari ahli badar, dan hal ini dilakukan di sisi kalian?”. Maka [salah seorang] berkata “duduklah jika engkau mau dan dengarkanlah bersama kami dan pergilah jika engkau mau, sungguh Beliau telah memberi rukhshah kepada kami mengenai hiburan dalam pernikahan [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 5/241 no 5539].

Syubhat Salafiy Atas Dalil.
Dengan atsar di atas yaitu pada lafaz “rukhkhisha lana” mereka berdalil bahwa lafaz tersebut menunjukkan hukum nyanyian saat pernikahan adalah pengecualian dari dalil yang jelas [yaitu keharamannya]. Lafaz tersebut menunjukkan bahwa perkara tersebut sebelum diberi rukhshah hukumnya adalah haram. Mereka memberi contoh dengan hadis berikut:

حدثنا أبو كريب محمد بن العلاء حدثنا أبو أسامة عن سعيد بن أبي عروبة حدثنا قتادة أن أنس بن مالك أنبأهم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخص لعبدالرحمن بن عوف والزبير ابن العوام في القمص الحرير في السفر من حكة كانت بهما أو وجع كان بهما

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Alaa’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Sa’iid bin Abi Aruubah yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah bahwa Anas bin Malik memberitakan kepada mereka bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan rukhshah kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin ‘Awwaam untuk mengenakan baju dari sutera dalam perjalanan karena keduanya terserang penyakit gatal atau penyakit lain [Shahih Muslim 3/1646 no 2076].

Telah ma’ruf bahwa sutra hukumnya haram bagi laki-laki dan dihalalkan bagi wanita, oleh karena itu mereka mengatakan bahwa lafaz rukhshah di atas adalah pengecualian atas keharaman sutra bagi laki-laki.

Rukhshah Tidak Selalu Atas Perkara Yang Telah Diharamkan.
Jawaban atas mereka adalah sebagai berikut, pertama-tama kami akan mengatakan bahwa penjelasan mereka benar yaitu pada sisi bahwa rukhshah bisa muncul dari perkara yang sudah diharamkan sebelumnya. Tetapi hal ini tidak bersifat mutlak, terdapat kasus dalam berbagai hadis bahwa lafaz rukhshah digunakan tetapi tidak menunjukkan pengharaman sebelumnya.

Misalnya lafaz rukhshah yang bisa bermakna memberikan penekanan kemudahan dengan tujuan tertentu atas suatu perkara walaupun perkara tersebut status asal hukumnya adalah mubah. Silakan perhatikan hadis berikut

حدثنا نصر بن علي أنا أبو أحمد يعني الزبيري أخبرنا إسرائيل عن أبي العنبس عن الأغر عن أبي هريرة أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم عن المباشرة للصائم فرخص له وأتاه آخر فسأله فنهاه فإذا الذي رخص له شيخ والذي نهاه شاب

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad yaitu Az Zubairiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Isra’iil dari Abul ‘Anbas dari Al ‘Aghar dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya tentang bercumbu pada saat berpuasa, maka Beliau memberikan rukhshah kepadanya, dan datang orang lain menanyakan hal itu kepada Beliau maka Beliau melarangnya. Ternyata orang yang Beliau berikan rukhshah adalah orang yang sudah tua dan yang Beliau larang adalah orang yang masih muda [Sunan Abu Dawud 1/726 no 2387].

Hadis riwayat Abu Dawud di atas sanadnya shahih berikut keterangan mengenai para perawinya
  1. Nashr bin ‘Aliy bin Nashr bin Aliy Al Jahdhamiy adalah seorang yang tsiqat tsabit termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 2/243]
  2. Abu Ahmad Az Zubairiy yaitu Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair seorang yang tsiqat tsabit tetapi sering keliru dalam hadis Ats Tsawriy, termasuk thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 2/95]
  3. Isra’iil bin Yunus bin Abi Ishaaq, seorang yang tsiqat, ada yang membicarakannya tanpa hujjah, termasuk thabaqat ketujuh [Taqrib At Tahdzib 1/88]
  4. Abul ‘Anbas Al Kuufiy yaitu Al Haarits bin Ubaid, seorang yang maqbul termasuk thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib 2/444]. Yang benar ia seorang yang tsiqat sebagaimana dikatakan Yahya bin Ma’iin [Tarikh Ad Darimiy dari Ibnu Ma’iin no 916].
  5. Al ‘Aghar Abu Muslim Al Madiiniy tinggal di Kuufah seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat ketiga [Taqrib At Tahdzib 1/108].
Dalam hadis Abu Dawud di atas, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah mengenai bercumbu pada saat berpuasa. Apakah hal itu menunjukkan bahwa sebelumnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mengharamkan bercumbu pada saat berpuasa?. Jawabannya tidak, karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri melakukannya,

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb yang berkata dari Syu’bah dari Al Hakam dari Ibrahim dari Al Aswad dari ‘Aisyah [radiallahu ‘anha] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mencium dan bercumbu sedang Beliau dalam keadaan berpuasa, dan ia orang yang paling kuat menahan nafsunya diantara kalian [Shahih Bukhariy 3/30 no 1927].

Bercumbu pada saat berpuasa hukum asalnya adalah dibolehkan tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah melarang orang muda melakukannya karena dikhawatirkan ia tidak mampu menahan nafsunya sehingga ia bisa jadi jatuh dalam perkara yang yang dapat membatalkan puasanya yaitu jima’ saat berpuasa. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah kepada orang yang sudah tua karena ia mampu menahan nafsunya dan  dengan melakukannya ia tidak akan terjatuh dalam perkara yang membatalkan puasanya yaitu jima’ saat berpuasa.

Terdapat juga contoh lain yang menunjukkan bahwa lafaz “rukhshah” bermakna membolehkan atau mengizinkan [dengan tujuan memberikan kemudahan] dan tidak pernah ada larangan atau pengharaman atas perkara tersebut sebelumnya.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَرَخَّصَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Muhammad bin Aliy dari Jabir bin ‘Abdullah [radiallahu ‘anhum] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melarang pada hari khaibar dari memakan daging keledai dan memberikan rukhshah memakan daging kuda [Shahih Bukhariy 7/95 no 5520].

Dan sebelumnya tidak pernah ada larangan atau pengharaman memakan daging kuda. Telah diriwayatkan oleh sahabat selain Jabir bahwa memakan daging kuda itu halal di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ فَاطِمَةَ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلْنَاهُ

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam dari Fathimah dari Asmaa’ yang berkata kami menyembelih kuda pada zaman hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kami memakannya [Shahih Bukhariy 7/95 no 5519].

Dan Jabir bin ‘Abdullah [radiallahu ‘anhu] sendiri di saat lain menyatakan bahwa di masa hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] para sahabat telah memakan daging kuda

أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ حدثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ عَمْرٍو قَالَ حدثَنَا عَبْدُ الْكَرِيمِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَأْكُلُ لُحُومَ الْخَيْلِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Aliy bin Hujr yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah dan ia adalah Ibnu ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Kariim dari Atha’ dari Jabir yang berkata kami memakan daging kuda di masa hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 4/482 no 4823].

Hadis Jabir riwayat An Nasa’iy di atas memiliki sanad yang shahih. Berikut keterangan mengenai para perawinya
  1. ‘Aliy bin Hujr Abu Hasan Al Marwaziy seorang tsiqat hafizh termasuk kalangan sighar dari thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 1/689]
  2. Ubaidillah bin ‘Amru Ar Raqiy seorang yang tsiqat faqih pernah melakukan kesalahan, termasuk thabaqat kedelapan [Taqrib At Tahdzib 1/637]
  3. ‘Abdul Kariim bin Malik Al Jazariy seorang yang tsiqat mutqin termasuk thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib 1/611]
  4. Atha’ bin Abi Rabah seorang yang tsiqat faqiih fadhl tetapi banyak melakukan irsal, termasuk thabaqat ketiga [Taqrib At Tahdzib 1/675]
Lafaz yang digunakan Asmaa’ dan Jabir di atas secara zhahir bermakna bahwa di zaman hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], memakan daging kuda itu halal dan tidak pernah diharamkan.
Contoh lain lafaz “rukhshah” terhadap suatu perkara dan perkara tersebut tidak pernah diharamkan sebelumnya adalah rukhshah dalam melakukan haji tamattu.

حدثنا محمد بن حاتم حدثنا روح بن عبادة حدثنا شعبة عن مسلم القري قال سألت ابن عباس رضي الله عنهما عن متعة الحج فرخص فيها وكان ابن الزبير ينهى عنها فقال هذه أم الزبير تحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخض فيها فادخلوا عليها فاسألوها قال فدخلنا عليها فإذا امرأة ضخمة عمياء فقالت قد رخص رسول الله صلى الله عليه و سلم فيها

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim yang berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubadaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhuma] tentang Mut’ah Haji, maka ia memberikan rukhshah untuk melakukannya sedangkan Ibnu Zubair melarangnya. Maka [Ibnu ‘Abbas] berkata “ini Ibu Ibnu Zubair menceritakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberi rukhshah tentangnya, masuklah kalian kepadanya dan tanyakan kepadanya”. Maka kamipun masuk menemuinya dan ternyata ia wanita yang gemuk dan buta. Ia berkata “sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan rukhshah tentangnya” [Shahih Muslim 2/909 no 1238].

Contoh-contoh di atas hanya ingin menunjukkan bahwa tidak setiap lafaz rukhshah bermakna bahwa perkara tersebut telah diharamkan sebelumnya baru kemudian diberi rukhshah untuk melakukannya.

Rukhshah Dalam Atsar Adalah Nyanyian dan Tangisan.
Kembali pada atsar mengenai rukhshah hiburan dalam pernikahan. Apa makna rukhshah dalam atsar tersebut?. Untuk mengetahui dengan jelas maknanya, ada baiknya melihat terlebih dahulu atsar berikut

حدثنا أبو داود قال حدثنا شعبة عن أبي إسحاق قال سمعت عامر بن سعد البجلي يقول شهدت ثابت بن وديعة وقرظة بن كعب الأنصاري في عرس وإذا غناء فقلت لهم في ذلك فقالا انه رخص في الغناء في العرس والبكاء على الميت في غير نياحة

Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Ishaaq yang berkata aku mendengar ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy mengatakan aku menyaksikan Tsaabit bin Wadii’ah dan Qarazhah bin Ka’b Al Anshariy dalam suatu pernikahan dan terdapat nyanyian disana, maka aku mengatakan kepada mereka tentang hal itu, keduanya berkata bahwasanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah dalam mendengar nyanyian saat pernikahan dan menangisi orang yang meninggal bukan nihayah [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy 1/169 no 1221].

حدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ دَخَلْت عَلَى أَبِي مَسْعُودٍ وَقَرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ فَقَالاَ إنَّهُ رُخِّصَ لَنَا فِي الْبُكَاءِ عِنْدَ الْمُصِيبَةِ حدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ وَثَابِتِ بْنِ يَزَيْدٍ نَحْوَهُ

Telah menceritakan kepada kami Syariik dari Abu Ishaaq dari ‘Aamir bin Sa’d yang berkata aku masuk menemui Abi Mas’ud dan Qarazhah bin Ka’b, keduanya berkata “bahwasanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah kepada kami mengenai menangis ketika mendapat musibah”. Telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah dari Abu Ishaaq dari ‘Aamir bin Sa’d dari Abi Mas’ud dan Tsaabit bin Yaziid seperti itu [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 4/572 no 12253 & 12254].

Riwayat Syu’bah ini lebih shahih dibandingkan riwayat Syariik yang disebutkan di awal pembahasan di atas karena Syarik diperbincangkan hafalannya. Dalam riwayat ini dapat dilihat bahwa rukhshah yang dimaksud itu tertuju pada dua perkara yaitu:
  1. Nyanyian saat pernikahan.
  2. Menangis ketika ada orang yang meninggal atau ketika mendapat musibah.
Jadi rukhshah itu diberikan untuk dua perkara yaitu nyanyian dan tangisan. Apakah menangis atau menangisi seseorang termasuk perkara yang diharamkan?. Tidak. Apakah menangisi orang yang meninggal [bukan nihayah] adalah sesuatu yang haram? Tidak, bahkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah melakukannya,

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا قُرَيْشٌ هُوَ ابْنُ حَيَّانَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ دَخَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَبِي سَيْفٍ الْقَيْنِ وَكَانَ ظِئْرًا لِإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِبْرَاهِيمَ فَقَبَّلَهُ وَشَمَّهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِبْرَاهِيمُ يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَجَعَلَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَذْرِفَانِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Abdul ‘Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hassaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Quraisy yaitu Ibnu Hayyaan dari Tsabit dari Anas bin Maalik [radiallahu ‘anhu] yang berkata Kami bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menemui Abu Saif Al Qain yang [isterinya] telah mengasuh Ibrahim [‘alaihissalam]. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian kami mengunjunginya setelah itu sedangkan Ibrahim telah meninggal. Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berlinang air mata. Maka ‘Abdurrahman bin ‘Auf [radhiallahu ‘anhu] berkata kepada beliau, “ada apa dengan anda, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya [tangisan] ini adalah rahmat” kemudian diikuti dengan tangisan. Setelah itu Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata, “Sungguh kedua mata telah berlinang air mata, hati telah bersedih, hanya saja kami tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kami. Dan sesungguhnya kami sangat sedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim” [Shahih Bukhariy 2/83 no 1303].

Menangis pada saat kematian orang yang dicintai adalah perkara yang fitrah. Dan agama islam tidak pernah mengharamkan seseorang menangis karena ada orang yang meninggal atau mendapat musibah. Yang diharamkan adalah nihayah yaitu berteriak, merobek pakaian, mencakar muka dan sebagainya. Nihayah memang diiringi dengan tangisan tetapi tangisan tidak berarti nihayah. Keduanya adalah perkara yang berbeda. Nihayah diharamkan dan menangis dibolehkan. Apalagi yang dimaksud “menangis” dalam atsar di atas telah ditegaskan bahwa itu bukan nihayah?.

Apakah akan ada orang bodoh yang berkata berdasarkan atsar ‘Aamir bin Sa’d di atas maka hukum asal “menangis” itu haram tetapi telah diberikan rukhshah boleh menangis ketika ada orang yang meninggal atau mendapat musibah. Alangkah anehnya pandangan seperti ini.

Maka lafaz “rukhshah” dalam atsar tersebut lebih layak untuk dikatakan bermakna membolehkan atau mengizinkan [dengan tujuan tidak menyulitkan atau memberi kemudhan] dan tidak pernah ada larangan atau pengharaman atas perkara tersebut sebelumnya.

Hadis Nyanyian Bukan Dalam Pernikahan.
Qarinah atau petunjuk lain bahwa nyanyian tidak diharamkan adalah terbukti dalam riwayat shahih bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mendengarkan nyanyian dan itu bukan pada saat pernikahan. Sebagaimana dapat dilihat pada hadis-hadis berikut:

Hadis Pertama:

أَخْبَرَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ نا الْجُعَيْدُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ  يَا عَائِشَةُ تَعْرِفِينَ هَذِهِ؟ قَالَتْ لا  يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ هَذِهِ قَيْنَةُ بَنِي فُلانٍ تُحِبِّينَ أَنْ تُغَنِّيَكِ؟ فَغَنَّتْهَا

Telah mengabarkan kepada kami Haruun bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Ju’aid dari Yaziid bin Khushaifah dari As Saa’ib bin Yaziid bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], maka Beliau berkata “wahai Aisyah apakah engkau mengenal wanita ini?”. [Aisyah] berkata “tidak wahai Nabi Allah”. Beliau berkata “wanita ini adalah penyanyi dari bani fulan, sukakah engkau jika ia menyanyi untukmu” maka ia menyanyi [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 8/184 no 8911].

Hadis riwayat An Nasa’iy di atas memiliki sanad yang shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Haruun bin ‘Abdullah bin Marwan Al Baghdadiy seorang perawi tsiqat termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 2/259].
  2. Makkiy bin Ibrahiim At Tamiimiy seorang yang tsiqat tsabit, termasuk thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 2/211].
  3. Al Ju’aid bin ‘Abdurrahman seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kelima [Taqrib At Tahdzib 1/159]
  4. Yaziid bin ‘Abdullah bin Khushaifah seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kelima [Taqrib At Tahdzib 2/327].
  5. As Saa’ib bin Yaziid termasuk kalangan sighar dari sahabat Nabi [Taqrib At Tahdzib 1/338].
Riwayat shahih di atas menunjukkan bahwa ketika ada seorang penyanyi wanita yang datang ke rumah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], Beliau memintanya bernyanyi untuk istrinya Aisyah [radiallahu ‘anha]. Dan tentu saja kisah ini bukan pada saat walimah atau pernikahan.

Hadis Kedua:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِينَةِ ، فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ وَيَتَغَنَّيْنَ ، وَيَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ  اللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّي لأُحِبُّكُنَّ

Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Iisa bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Auf dari Tsumaamah bin ‘Abdullah dari Anas bin Malik bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melewati sebagian kota madinah, maka Beliau [bertemu] dengan anak-anak perempuan yang menabuh duff dan bernyanyi, dan mereka mengatakan “kami anak-anak perempuan bani Najjaar, alangkah beruntungnya kami bertetangga dengan Muhammad”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Allah mengetahui bahwa aku mencintai kalian” [Sunan Ibnu Majah 3/92 no 1899].

Riwayat di atas memiliki sanad yang jayyid, berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Hisyaam bin ‘Ammar seorang yang shaduq, berubah hafalannya ketika tua sehingga ia ditalqinkan, maka hadisnya dahulu lebih shahih daripada ketika tua, termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 2/268].
  2. Iisa bin Yunus bin Abi Ishaq seorang yang tsiqat ma’mun, termasuk thabaqat kedelapan [Taqrib At Tahdzib 1/776].
  3. ‘Auf bin Abi Jamiilah Al A’rabiy, seorang yang tsiqat, dituduh qadariy dan tsyayyu’, termasuk thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib 1/759].
  4. Tsumamah bin ‘Abdullah seorang yang shaduq, termasuk thabaqat keempat [Taqrib At Tahdzib 1/150].
Hisyam bin ‘Ammaar dalam periwayatan dari Iisa bin Yuunus memiliki mutaba’ah dari Abu Khaitsamah Mush’ab bin Sa’iid sebagaimana diriwayatkan Ath Thabraniy berikut

حدثنا أبو جعفر أحمد بن النضر بن موسى العسكري حدثنا أبو خيثمة مصعب بن سعيد المصيصي حدثنا عيسى بن يونس عن عوف الأعرابي عن تمامة بن عبد الله بن أنس عن أنس بن مالك قال مر النبي صلى الله عليه و سلم على حي من بني النجار فإذا جواري يضربن بالدف ويقلن نحن قينات من بني النجار فحبذا محمد من جار فقال النبي صلى الله عليه و سلم الله يعلم أن قلبي يحبكم لم يروه عن عوف إلا عيسى تفرد به مصعب بن سعيد

Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Ahmad bin An Nadhr bin Muusa Al ‘Askariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah Mush’ab bin Sa’iid Al Mishshiishiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Iisa bin Yuunus dari ‘Auf Al A’rabiy dari Tsumamah bin ‘Abdullah bin Anas dari Anas bin Malik yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melewati perkampungan bani Najjaar maka Beliau [bertemu] dengan anak-anak perempuan yang menabuh duff mereka mengatakan “kami para penyanyi dari bani Najjaar, alangkah beruntungnya kami bertetangga dengan Muhammad”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Allah mengetahui bahwa hatiku mencintai kalian”. Tidak diriwayatkan dari Auf kecuali Iisa, diriwayatkan tafarrud oleh Mush’ab bin Sa’iid [Mu’jam Ash Shaghiir Ath Thabraniy 1/65 no 78].

Abu Ja’far Ahmad bin An Nadhr Al Askariy dikatakan Ibnu Munadiy bahwa ia termasuk orang yang paling tsiqat [Tarikh Baghdad Al Khatib 6/415 no 2905] dan Mush’ab bin Sa’iid Abu Khaitsamah, dikatakan Abu Hatim “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/309 no 1428]. Ibnu Adiy mengatakan ia meriwayatkan dari para perawi tsiqat hadis-hadis mungkar. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan mengatakan pernah melakukan kesalahan, hadisnya dijadikan i’tibar jika meriwayatkan dari perawi tsiqat dan menjelaskan sama’ [pendengarannya] karena ia mudallis [Lisan Al Mizan Ibnu Hajar juz 6 no 167]. Kesimpulannya Mush’ab bin Sa’iid termasuk perawi yang bisa dijadikan mutaba’ah hadisnya dan dalam hadis di atas ia telah menyebutkan dengan jelas penyimakannya.

Kisah di atas dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melewati sebagian kota Madinah dan melewati perkampungan Bani Najjar itu terjadi pada saat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah. lafaz “datang ke Madinah” mengisyaratkan bahwa peristiwa ini terjadi ketika hijrah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari Makkah ke Madinah. Berikut riwayat yang menyebutkan dengan lafaz “datang ke Madinah”

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِرْدَاسٍ نَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ عَوْفٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ هَكَذَا وَجَدْتُهُ فِي كِتَابِي بِخَطِّي عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ وَقَالَ غَيْرُهُ عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ  وَلا نَعْلَمُ أَحَدًا قَالَ عَنِ ابْنِ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ عَوْفٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ إِلَّا رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُوسَى بْنُ حَيَّانَ لا يُحْتَجُّ بِقَوْلِهِ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مِرْدَاسٍ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ صَدُوقًا ، فَرَأَيْتُهُ فِي كِتَابِي بِخَطِّي عَنِ ابْنِ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ عَوْفٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ تَلَقَّاهُ جَوَارِي الأَنْصَارِ فَجَعَلْنَ يَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارِي مِنْ بَنِي النَّجَّارْ يَا حَبَّذَا مُحَمَّد مِنْ جَارْ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mirdaas yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Adiy dari ‘Auf dari Tsumamah dari Anas, demikianlah yang kutemukan dalam kitabku dengan tulisan tanganku yaitu dari Tsumamah dari Anas. Dan berkata selainnya yaitu dari Tsumamah bin ‘Abdullah bin Anas. Aku tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan dari Ibnu Abi ‘Adiy dari Auf dari Tsumamah dari Anas kecuali orang yang bernama Muusa bin Hayyan dan ia tidak bisa dijadikan hujjah perkataannya, dan Muhammad bin Mirdaas tidak ada masalah padanya shaduq, maka aku melihatnya dalam kitabku dengan tulisan tanganku dari Ibnu Abi ‘Adiy dari ‘Auf dari Tsumamah dari Anas yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah, anak-anak perempuan Anshar menghampirinya dan mereka mengatakan “kami anak-anak perempuan bani Najjaar, alangkah beruntungnya kami bertetangga dengan Muhammad” [Musnad Al Bazzar 13/504-505 no 7334].

Hadis Al Bazzar di atas sanadnya juga jayyid. Muhammad bin Mirdaas dikatakan Abu Hatim “majhul” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/97 no 417]. Ibnu Hibban berkata “mustaqiim al hadiits” [Ats Tsiqat Ibnu Hibbaan 9/107 no 15445]. Adz Dzahabiy menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari Kharijah bin Mush’ab kabar-kabar batil, tetapi dibantah Ibnu Hajar bahwa kemungkinan hal itu berasal dari gurunya [Tahdzib At Tahdzib juz 9 no 714].

Pendapat yang rajih adalah Muhammad bin Mirdaas seorang yang shaduq sebagaimana tautsiq Ibnu Hibban dan ta’dil Al Bazaar di atas yang dengan jelas menyatakan “shaduq tidak ada masalah padanya”. Perkataan “majhul” Abu Hatim terangkat dengan adanya tautsiq dari Ibnu Hibbaan dan Al Bazzar. Tuduhan Adz Dzahabiy bahwa ia meriwayatkan kabar batil, lebih tepat berasal dari gurunya Muhammad bin Mirdaas yaitu Kharijah bin Mush’ab karena ia seorang yang matruk, sering melakukan tadlis dari para pendusta [Taqrib At Tahdzib 1/254-255]. Adapun Muhammad bin Abi ‘Adiy adalah seorang yang tsiqat termasuk thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 2/50].

Hadis shahih di atas menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mendengarkan anak-anak perempuan bani Najjar bernyanyi dan menabuh duff untuk menyambut kedatangan Beliau di Madinah. Kisah ini jelas bukan pada saat pernikahan.

Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq wal Ghinaa’ fii Mizan Al Islam hal 228-229 menjadikan hadis ini sebagai dalil dibolehkannya nyanyian dan musik saat pernikahan. Apa yang Syaikh katakan tersebut keliru, tidak ada dalil atau qarinah yang menunjukkan bahwa kisah tersebut terkait dengan pernikahan, bahkan kuat petunjuknya bahwa itu terjadi saat kedatangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pertama kali ke Madinah [sebagaimana ditunjukkan oleh bukti riwayat]. Adapun Syaikh Al Judai’ membawakan hadis berikut

حدثني أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب جميعا عن ابن علية ( واللفظ لزهير ) حدثنا إسماعيل عن عبدالعزيز ( وهو ابن صهيب ) عن أنس أن النبي صلى الله عليه و سلم رأى صبيانا ونساء مقبلين من عرس فقام نبي الله صلى الله عليه و سلم ممثلا فقال اللهم أنتم من أحب الناس إلي اللهم أنتم من أحب الناس إلي يعني الأنصار

Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya dari Ibnu ‘Ulayyah [dan ini lafaz Zuhair] telah menceritakan kepada kami Isma’iil bin ‘Abdul ‘Aziz [dan ia adalah Ibnu Shuhaib] dari Anas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihat anak-anak dan wanita anshar datang dari suatu pernikahan, maka Nabi Allah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berdiri sambil mengatakan “Ya Allah sesungguhnya mereka adalah orang yang paling aku cintai, Ya Allah sesungguhnya mereka adalah orang yang paling aku cintai” yaitu kaum Anshar [Shahih Muslim 4/1948 no 2508].

Hadis riwayat Muslim ini adalah kisah yang berbeda dengan hadis sebelumnya tentang anak perempuan bani Najjaar yang bernyanyi dan menabuh duff. Hadis riwayat Muslim menceritakan kisah saat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sudah berada di Madinah dan dalam hadis tersebut tidak ada disebutkan soal nyanyian dan tabuhan duff sedangkan hadis tentang perempuan bani Najjar itu terjadi saat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] baru datang ke Madinah dan melintasi sebagian kota Madinah yaitu perkampungan bani Najjar.

Hadis Ketiga:

حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى بْنُ أَبِي مَسَرَّةَ قَالَ ثنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ ثنا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ الْوَرْدِ  قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ  يَقُولُ  قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَيْنَا أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسَانِ فِي الْبَيْتِ اسْتَأْذَنَتْ عَلَيْنَا امْرَأَةٌ كَانَتْ تُغَنِّي فَلَمْ تَزَلْ بِهَا عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حَتَّى غَنَّتْ فَلَمَّا غَنَّتِ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَلَمَّا اسْتَأْذَنَ عُمَرُ ، أَلْقَتِ الْمُغَنِّيَةُ مَا كَانَ فِي يَدِهَا  وَخَرَجَتْ وَاسْتَأْخَرَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ مَجْلِسِهَا ، فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَضَحِكَ ، فَقَالَ  بِأَبِي وَأُمِّي مِمَّ تَضْحَكُ ؟ فَأَخْبَرَهُ مَا صَنَعَتِ الْقَيْنَةُ , وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  وَأَمَّا وَاللَّهِ لا ، اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَقُّ أَنْ يُخْشَى يَا عَائِشَةُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Yahya bin Abi Masarrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Jabbaar bin Wardi yang berkata aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah mengatakan Aisyah [radiallahu ‘anha] berkata “suatu ketika aku dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] duduk berdua di rumah, maka seorang wanita yang sering bernyanyi meminta izin kepada kami, tidak henti-hentinya Aisyah bersama dengannya sampai akhirnya ia menyanyi. Ketika ia bernyanyi Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] datang meminta izin. Ketika Umar meminta izin maka penyanyi itu melemparkan apa yang ada di tangannya dan keluar, Aisyah [radiallahu ‘anha] pun ikut keluar dari sana. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan izin kepadanya [Umar] dan tertawa. [Umar] berkata “demi Ayah dan Ibuku, mengapa anda tertawa?”. Maka Beliau memberitahunya apa yang dilakukan penyanyi itu dan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Umar [radiallahu ‘anhu] berkata “Demi Allah tidak [begitu], hanya Allah dan Rasul-nya [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang lebih berhak untuk ditakuti wahai Aisyah” [Akhbaaru Makkah Al Fakihiy 3/32 no 1740]
Hadis Aisyah di atas sanadnya jayyid para perawinya tsiqat dan shaduq. Berikut keterangan mengenai para perawinya
  1. Abu Yahya bin Abi Masarrah adalah Abdullah bin Ahmad bin Zakariya Abu Yahya Al Makkiy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat 8/369 no 13923]. Ibnu Abi Hatim berkata “aku menulis hadis darinya di Makkah dan ia tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/6 no 28]. Ibnu Quthlubugha memasukkannya ke dalam perawi tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Quthlubugha 5/468 no 5687]
  2. Ahmad bin Muhammad bin Waliid seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 1/45].
  3. Abdul Jabbaar bin Wardi Al Makkiy seorang yang shaduq terkadang keliru, termasuk thabaqat ketujuh [Taqrib At Tahdzib 1/553]. Dikoreksi dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib bahwa ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 3745]
  4. ‘Abdullah bin Abi Mulaikah seorang yang tsiqat faqih termasuk thabaqat ketiga [Taqrib At Tahdzib 1/511].
Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 225 mengatakan hadis ini hasan dan sanadnya kuat. Pernyataan Syaikh tersebut benar. Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 452 membantah Syaikh Al Judai’ yang menguatkan hadis ini.

Bantahan pertama Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa adalah Abu Yahya bin Abi Masarrah adalah perawi yang majhul hal tidak ada tautsiq dari ulama yang dijadikan pegangan tautsiq-nya. Syaikh hanya menukil Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menurutnya itu tidak mu’tamad.
Tentu saja bantahan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa ini keliru. Telah ditunjukkan bahwa Ibnu Abi Hatim juga memberikan ta’dil kepada Abu Yahya bin Abi Masarrah dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Quthlubugha.

Qarinah lain yang menguatkan kedudukan Abu Yahya bin Abi Masarrah adalah ia termasuk syaikh [guru] Abu Awanah dalam kitabnya Mustakhraj ‘Ala Shahih Muslim yang dikenal juga dengan Shahih Abu Awanah [Mustakhraj Abu Awanah 2/246 no 3024]. Adz Dzahabiy berkata tentang Abu Yahya bin Abi Masarrah bahwa ia Al Imam Muhaddis Musnid [Siyaar A’lam An Nubalaa’ 12/632 no 252]. Al Faakihiy berkata tentangnya,

أول من أفتى الناس من أهل مكة وهو ابن أربع وعشرين سنة، أو نحوه أبو يحيى بن أبي مسرة، وهو فقيه أهل مكة إلى يومنا هذا

Orang pertama yang memberikan fatwa kepada penduduk Makkah dan ia berumur 24 tahun atau semisalnya yaitu Abu Yahya bin Abi Masarrah, dan ia faqih penduduk Makkah hingga hari ini [Akhbaaru Makkah Al Faakihiy 3/241-242].

Dan Qasim bin Asbagh pernah berkata ketika meriwayatkan hadis darinya “telah menceritakan kepada kami Abu Yahya ‘Abdullah bin Abi Masarrah seorang faqiih Makkah” [At Tamhiid Ibnu Abdil Barr 6/25]
Jadi tidak mungkin dikatakan kalau ia seorang yang majhul hal, melihat berbagai qarinah di atas maka jika bukan seorang yang tsiqat minimal Abu Yahya bin Abi Masarrah seorang yang shaduq.

Anehnya Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mempermasalahkan perawi seperti Abu Yahya bin Abi Masarrah tetapi ia tidak mempermasalahkan perawi seperti ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy perawi yang meriwayatkan atsar “rukhshah nyanyian saat pernikahan di atas”. Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 308 malah menyetujui Syaikh Al Judai’ bahwa sanad atsar ‘Aamir bin Sa’d tersebut shahih.

‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy tidak ternukil tautsiq dari ulama mutaqaddimin selain dari Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat 5/189 no 4496]. Oleh karena itu Ibnu Hajar berkata “maqbul” [Taqrib At Tahdzib 1/461]. Harusnya dengan metode milik Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa perawi seperti ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy kedudukannya hanya bisa dijadikan mutaba’ah tetapi tidak bisa dijadikan hujjah.

Adapun kami berpandangan bahwa ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy perawi yang shaduq hasanul hadis dengan dasar Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan terdapat qarinah yang menguatkan seperti
  1. Muslim mengeluarkan hadis ‘Amir bin Sa’d Al Bajalliy walaupun sebagai penguat [Shahih Muslim 4/1826 no 2352].
  2. At Tirmidzi mengeluarkan hadis ‘Amir bin Sa’d Al Bajalliy dan mengatakan “hadis hasan shahih” [Sunan Tirmidzi 5/605 no 3653].
Bantahan kedua Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa, Beliau menyebutkan bahwa Al Khatib dalam Tarikh Baghdad telah menukil hadis Aisyah tersebut dengan sanadnya dan mengatakan bahwa asal hadis tersebut batil.

Al Khatib menukil riwayat dari Abul Fath Al Baghdadiy dari Muusa bin Nashr bin Jariir dari Ishaq bin Rahawaih dari ‘Abdurrazaaq dari Bakkaar bin ‘Abdullah dari Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah dengan matan yang mirip dengan riwayat Al Fakihiy di atas. Kemudian Al Khatib melemahkan Abul Fath dan Muusa bin Nashr dan mengatakan hadis tersebut batil [Tarikh Baghdad 15/59-60 no 6983].

Apa yang dikatakan Al Khatib tersebut keliru, walaupun Abul Fath dan Muusa bin Nashr adalah perawi yang lemah tetapi hadis Ishaq bin Rahawaih tersebut memang shahih sebagaimana diriwayatkan pula oeh Ibnu Syirawaih seorang imam hafizh faqiih dari Ishaq bin Rahawaih dengan sanad tersebut sampai Aisyah [radiallahu ‘anha]. Riwayat Ishaaq bin Rahawaih tersebut dapat ditemukan dalam Musnad Ishaaq bin Rahawaih 3/664-665 no 1258, dan berkata pentahqiq kitab [‘Abdul Ghafuur bin ‘Abdil Haaq Al Baluusiy] “shahih semua perawinya tsiqat”.

Jika dikatakan hadis Ishaaq tersebut batil, maka dari sisi manakah kebatilannya, pada sanadnya atau matannya?. Bagaimana mungkin sanadnya dikatakan batil jika para perawinya tsiqat. Apakah karena matannya menyebutkan bolehnya nyanyian maka matan hadis tersebut dikatakan batil?. Bukankah telah tsabit dalam dua hadis sebelumnya mengenai bolehnya nyanyian, kalau hal ini dikatakan batil maka betapa mudahnya menolak hadis shahih hanya dengan mengatakan batil. Kesimpulannya apa yang dikatakan Al Khatib itu tidak bisa dijadikan hujjah untuk melemahkan hadis Aisyah di atas.

Bantahan ketiga, Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengutip Al Bukhariy, Daruquthniy dan Ibnu Hibban yang menyebutkan jarh kepada ‘Abdul Jabbaar bin Wardi.
Abdul Jabbaar bin Ward adalah perawi yang tsiqat dan memang ternukil pula sedikit ulama yang melemahkannya.
  1. Ahmad bin Hanbal berkata tentangnya “tsiqat tidak ada masalah padanya. Abu Hatim berkata “tsiqat” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/31 no 161]. Abu Dawud berkata “tsiqat”. Aliy bin Madiiniy berkata “tidak ada masalah padanya”. Yaqub bin Sufyaan berkata “tsiqat” [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 214]. Al Ijliy berkata ‘tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat 2/69 no 1007]. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat” dan Ibnu Adiy berkata “di sisiku tidak ada masalah padanya ditulis hadisnya” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/15-16 no 1476]
  2. Al Bukhariy berkata “keliru pada sebagian hadisnya” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/15 no 1476]. Ibnu Hibban berkata “sering salah dan keliru”[Ats Tsiqat Ibnu Hibban 7/136 no 9348] dan ia juga berkata “ahli ibadah termasuk penduduk Makkah yang paling baik, sering salah dalam sesuatu setelah sesuatu” [Masyaahir Ulamaa’ Al ‘Amshaar no 1147]. Daruquthniy berkata “layyin” [Su’alat As Sulamiy hal 84 no 217].
Jarh yang ternukil pada ‘Abdul Jabbaar bin Ward adalah jarh yang ringan yaitu kesalahan pada sebagian hadisnya. Hal ini tidak menjatuhkan kedudukan perawi kederajat dhaif kecuali jika perawi tersebut memang banyak melakukan kesalahan dan buruk hafalannya. Oleh karena itu kedudukan ‘Abdul Jabbaar bin Ward tidak jauh dari derajat shaduq.

Kesimpulannya adalah apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ bahwa hadis Aisyah [riwayat Al Faakihiy] tersebut hasan adalah pendapat yang benar. Adapun bantahan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa terhadap Syaikh Al Judai’ adalah keliru.

Kesimpulan
Riwayat ‘Aamir bin Sa’d Al Bajally dari Abu Mas’ud [radiallahu 'anhu] dan selainnya yang menyebutkan “rukhshah nyanyian saat pernikahan” memiliki makna “dibolehkan nyanyian saat pernikahan”. Riwayat ini tidak menunjukkan keharaman atas nyanyian sebelumnya, hal ini sebagaimana rukhshah dibolehkannya “tangisan atas orang yang meninggal” tidak menunjukkan keharaman atas tangisan sebelumnya. Dan terbukti dalam hadis shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah membolehkan nyanyian selain pada saat pernikahan.

Mari kita lihat petikan berikut ini:


Takhrij Hadis Dua Suara Yang Dilaknat : Hadis Yang Dijadikan Hujjah Untuk Mengharamkan Musik.

Hadis ini termasuk salah satu hadis yang dijadikan hujjah oleh sebagian ulama untuk mengharamkan musik. Kedudukan hadis ini berdasarkan pendapat yang rajih [sesuai dengan kaidah ilmu hadis] adalah dhaif. Berikut pembahasan rinci tentangnya.

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ  ثنا أَبُو عَاصِمٍ  ثنا شَبِيبُ بْنُ بِشْرٍ الْبَجَلِيُّ  قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَة

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim yang berkata telah menceritakan kepada kami Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy yang berkata aku mendengar Anas bin Malik mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat, yaitu suara seruling ketika mendapat nikmat dan suara jeritan ketika mendapat musibah” [Musnad Al Bazzar 14/62 no 7513].

Riwayat ini juga disebutkan dalam Kasyf Al Astaar 1/377 no 795, Al Ahaadiits Al Mukhtaarah Dhiyaa’ Al Maqdisiy no 2200 dan 2201, At Targhiib Wat Tarhiib Abul Qaasim Al Ashbahaniy 3/238-239 no 2433. Semuanya dengan jalan sanad dari Syabiib bin Bisyr dari Anas bin Malik secara marfu’.

Riwayat ini sanadny dhaif karena Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy, pendapat yang rajih ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat” [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 3265]. Al Bukhariy berkata “munkar al hadiits” [Tartib Ilal Tirmidzi no 106]. Abu Hatim berkata “[layyin] lemah hadisnya dan hadisnya adalah hadis syuyukh [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 4/357 no 1564]. Ibnu Hibban berkata

شَبيب بْن بشر البَجلِيّ يَرْوِي عَن أنس بن مَالك يخطىء كثيرا رَوَى عَنْهُ أَبُو عَاصِم النَّبِيل وَإِسْرَائِيل

Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy meriwayatkan dari Anas bin Maalik, banyak melakukan kesalahan, telah meriwayatkan darinya Abu ‘Aashim An Nabiil dan Israiil [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 4/359 no 3343].

Ibnu Syahiin memasukkan namanya dalam perawi tsiqat dengan mengutip tautsiq Yahya bin Ma’in [Tarikh Asmaa’ Ats Tsiqat no 540]. Ibnu Khalfuun memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ikmal Tahdzib Al Kamal Al Mughlathay 6/211 no 2342]. Ibnu Jauziy memasukkannya ke dalam perawi dhaif dengan mengutip jarh Abu Hatim [Adh Dhu’afa Ibnu Jauziy no 1610]. Adz Dzahabiy memasukkannya dalam kitabnya Diiwaan Adh Dhu’afa Wal Matruukin dengan mengutip jarh Abu Hatim [Diiwan Adh Dhu’afa Wal Matruukin no 1861].
Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib bahwa ia shaduq sering keliru tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Syabiib bin Bisyr dhaif, tidak ada yang menyatakan tsiqat selain Ibnu Ma’in. Kemudian penulis menyebutkan jarh Bukhariy, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 2738].

Syaikh Abdullah Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 407-409 menyatakan hadis di atas dhaif karena Syabiib bin Bisyr perawi yang dhaif jika tafarrud. Apa yang dikatakan Syaikh tersebut benar dan sesuai dengan pembahasan di atas.

Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa membantah Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Ar Radd Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 329-333 dimana Syaikh berhujjah dengan tautsiq Yahya bin Ma’in, Ibnu Syahiin dan Ibnu Khalfun kemudian menyatakan bahwa Abu Hatim dan Ibnu Hibban termasuk ulama yang terlalu ketat dalam jarh. Sehingga Syaikh menyimpulkan sanad Al Bazzaar di atas hasan.

Bantahan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru. Ulama yang menyatakan jarh [celaan] terhadap Syabiib bin Bisyr tidak hanya Abu Hatim dan Ibnu Hibban [yang keduanya dikenal ketat dalam jarh] tetapi juga Al Bukhariy dengan lafaz jarh “munkar al hadiits”. Ibnu Hajar menjelaskan soal lafaz jarh Bukhariy ini dalam biografi Aban bin Jabalah Al Kuufiy,

وقال البخاري منكر الحديث ونقل بن القطان ان البخاري قال كل من قلت فيه منكر الحديث فلا تحل الرواية عنه انتهى وهذا القول مروي بإسناد صحيح عن عبد السلام بن أحمد الخفاف عن البخاري

Dan Bukhariy berkata “munkar al hadiits” dan Ibnu Qaththan menukil bahwa Bukhariy berkata “semua yang aku katakan tentangnya munkar al hadiits maka tidak halal meriwayatkan darinya”. [Ibnu Hajar berkata] Perkataan ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari ‘Abdus Salaam bin Ahmad Al Khaffaaf dari Bukhariy [Lisan Al Mizan Ibnu Hajar juz 1 no 6].

Imam Bukhariy termasuk ulama yang tergolong mu’tadil [pertengahan] dalam jarh tidak terlalu mudah menjarh dan tidak pula tasahul. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabiy,

و المعتدل فيهم أحمد بن حنبل و البخاري و أبو زرعة

Dan golongan mu’tadil diantara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Bukhariy dan Abu Zur’ah [Al Muuqidzhah Fi Musthalah Al Hadiits Adz Dzahabiy hal 63].

Selain itu apa yang dikatakan Abu Hatim terhadap Syabiib bin Bisyr adalah jarh atau kelemahan pada dhabit-nya yaitu dengan lafaz jarh “layyin al hadiits”. Dan hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Ibnu Hibban bahwa Syabiib banyak melakukan kesalahan. Jika kita menggabungkan fakta ini dengan jarh Al Bukhariy dan tautsiq Ibnu Ma’in maka pendapat yang rajih adalah Syabiib bin Bisyr perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa juga mengutip tautsiq dari Ibnu Syahiin dan Ibnu Khalfun terhadap Syabiib tetapi hal ini tidak berpengaruh untuk mengangkat derajat Syabiib. Tautsiq Ibnu Syahiin pada dasarnya adalah berpegang pada tautsiq Yahya bin Ma’in sebagaimana dengan jelas disebutkan Ibnu Syahiin dalam kitabnya Tarikh Asmaa’ Ats Tsiqat.

Sedangkan Ibnu Khalfun dan kitabnya Ats Tsiqat tidak lagi ditemukan di masa sekarang dan biasanya tautsiq Ibnu Khalfun dikutip oleh Al Hafizh Al Mughlathay dan Ibnu Hajar dalam kitab mereka. Ibnu Khalfun termasuk ulama muta’akhirin dan ia sering menukil tautsiq dari ulama terdahulu maka kemungkinan tautsiqnya disini berdasarkan ulama terdahulu yang mentautsiq Syabiib [dalam hal ini adalah Yahya bin Ma’in].

Kalau kita juga mengandalkan ulama muta’akhirin maka ternukil pula ulama muta’akhirin yang melemahkan Syabiib bin Bisyr seperti Ibnu Jauziy dan Adz Dzahabiy, dimana keduanya juga berpegang pada jarh ulama mutaqaddimin yaitu jarh Abu Hatim. Maka dengan mengumpulkan perkataan ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin tentang Syabiib bin Bisyr tetap akan menghasilkan kesimpulan bahwa ia perawi dhaif jika tafarrud.

Hadis Anas di atas dengan matan yang sama memiliki syahid dari hadis Ibnu ‘Abbaas. Hanya saja sanad hadis Ibnu ‘Abbaas ini maudhu’

حدثنا بن ياسين ثنا محمد بن معاوية ثنا محمد بن زياد ثنا ميمون عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال صوتان ملعونان في الدنيا والاخره صوت مزمار عند نعمه وصوت رنة عند مصيبة

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasiin yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mu’awiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Maimun dari Ibnu ‘Abbaas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat adalah suara seruling ketika mendapat nikmat dan suara jeritan ketika mendapat musibah [Al Kamil Ibnu Adiy 7/298-299].

Riwayat ini maudhu’ [palsu] karena Muhammad bin Ziyaad Ath Thahhaan Al Yasykuriy. Yahya bin Ma’in mengatakan ia pendusta. Ahmad bin Hanbal mengatakan ia pendusta pemalsu hadis. Al Bukhariy berkata “matruk al hadiits”. ‘Amru bin ‘Aliy berkata “matruk al hadiits munkar al hadiits” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/296-298 no 1632].

Ada hadis lain yang dijadikan hujjah untuk menguatkan hadis Anas bin Malik di atas yaitu hadis berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعِجْلِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبَى لَيْلَى , عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ صَوْتٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَمَزَامِيرُ شَيْطَانٍ وَصَوْتٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ  خَمْشُ وُجُوهٍ  وَشَقُّ جُيُوبٍ  وَرَنَّةُ شَيْطَانٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Utsman Al Ijliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Laila dari ‘Atha’ dari Jabir bin ‘Abdullah dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “aku melarang dua suara yang bodoh lagi fajir yaitu suara ketika mendapat nikmat hiburan permainan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, mencakar wajah, merobek pakaian dan jeritan syaithan [Dzammul Malaahiy Ibnu Abi Dunyaa hal 59-60 no 64].

Riwayat ‘Abdullah bin Numair Al Hamdaaniy dari Ibnu Abi Laila di atas juga disebutkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 1/114-115, dan Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63. Abdullah bin Numair memiliki mutaba’ah dari:
  1. Nadhr bin Ismaiil sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 1/114-115, Al Bazzar dalam Musnad-nya 3/214 no 1001, Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63, Ahmad bin Mani’ dalam Musnad-nya sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Mathalib Al ‘Aliyyah hal 359 no 844.
  2. Isra’iil bin Yunuus sebagaimana disebutkan Ath Thahawiy dalam Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/293 no 6975, Abu Ya’la dalam Al Maqshad Al ‘Aliy Fii Zawaid Abu Ya’la Al Haitsamiy no 441 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak 4/43 no 6825.
  3. Yunuss bin Bukair sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Syu’aab Al Iimaan 7/241 no 10163 dan Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63.
  4. Aliy bin Mushir sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhiid 24/442-443.
  5. ‘Imraan bin Muhammad bin ‘Abi Laila sebagaimana disebutkan Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 5/437-438 no 1535 dengan matan ringkas tanpa menyebutkan lafaz “dua suara yang bodoh lagi fajir”.
Mereka semua meriwayatkan dengan jalan sanad dari Ibnu ‘Abi Laila dari Atha’ bin Abi Rabah dari Jabir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf secara marfu’. Dan mereka diselisihi oleh sebagian perawi lain yang meriwayatkan dari Ibnu Abi Laila dari Atha’ dari Jabir [tanpa menyebutkan dalam sanadnya ‘Abdurrahman bin ‘Auf] yaitu:
  1. Abu ‘Awanah Al Yasykuriy sebagaimana disebutkan Abu Dawud Ath Thayalisiy dalam Musnad-nya 3/262-263 no 1788, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 4/69 no 6943, Syu’ab Al Iimaan 7/242 no 10164, dan Al ‘Adaab hal 472 no 1068, Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 5/430-431 no 1530.
  2. Ubaidillah bin Muusa sebagaimana disebutkan Abdu bin Humaid dalam Al Muntakhab Min Musnad ‘Abdu bin Humaid 2/129-130 no 1004.
  3. ‘Aliy bin Haasyim sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 4/569 no 12243.
  4. Iisa bin Yunus sebagaimana disebutkan At Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/328 no 1005 hanya saja matannya tidak menyebutkan lafaz “suara ketika mendapat nikmat hiburan permainan seruling-seruling syaithan”. Tetapi lafaz ini disebutkan dalam riwayat lain Iisa bin Yunus oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin 2/253.
Maka nampak bahwa terjadi idhthirab pada sanad tersebut yaitu pada Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila dimana terkadang ia menjadikan hadis ini sebagai hadis Jabir dan terkadang ia menjadikan hadis ini sebagai hadis’Abdurrahman bin ‘Auf.

Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila berdasarkan pendapat yang rajih adalah perawi dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya, sebagian ulama khususnya telah melemahkan hadisnya dari Atha’ bin Abi Rabah.

Ahmad bin Hanbal berkata “buruk hafalannya”. Ahmad mengatakan bahwa Yahya bin Sa’id menyerupakannya dengan Mathar Al Warraaq yaitu dalam buruk hafalannya. Ahmad bin Hanbal berkata “mudhtharib al hadiits”. Ahmad bin Hanbal juga berkata “fiqih Ibnu Abi Laila lebih aku sukai daripada hadisnya, di dalam hadisnya terdapat idhthirab”. Terkadang Ahmad menyatakan ia dhaif dan terkadang berkata “tidak bisa berhujjah dengannya”. Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata “Ibnu Abi Laila dhaif dan dalam riwayat Atha’ ia banyak melakukan kesalahan”. Ahmad bin Hanbal juga mengatakan Yahya telah mendhaifkan Ibnu Abi Laila dan Mathar dalam riwayatnya dari Atha’ [Mausu’ah Aqwaal Ahmad hal 285-287 no 2373].

Yahya bin Ma’in berkata “bukan seorang yang tsabit dalam hadis”. Yahya bin Ma’in juga pernah berkata “Ibnu Abi Laila dhaif”. Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Yahya bin Sa’id tidak meriwayatkan hadis dari Ibnu Abi Laila yaitu apa yang diriwayatkannya dari Atha’. [Mausu’ah Aqwaal Yahya bin Ma’in hal 218-219 no 3501].

Daruquthniy berkata “buruk hafalannya” terkadang berkata “ia tsiqat terdapat sesuatu dalam hafalannya” terkadang berkata “ia banyak melakukan kesalahan” dan terkadang berkata “bukan seorang hafizh” [Mausu’ah Aqwaal Daruquthniy hal 596 no 3198].

Al Ijliy berkata “orang kufah shaduq tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat hal 243 no 1618]. Syu’bah berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih jelek hafalannya dari Ibnu Abi Laila”. Abu Hatim mengatakan bahwa Ibnu Abi Laila tempat kejujuran jelek hafalannya tetapi tidak dituduh dengan dusta, ia diingkari karena banyak melakukan kesalahan, ditulis hadisnya tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Abu Zur’ah berkata “shalih tidak kuat” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/322-323 no 1739]. Nasa’iy berkata “tidak kuat dalam hadis” [Adh Dhu’afa An Nasa’iy hal 214 no 550]. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Ibnu Abi Laila buruk hafalannya banyak melakukan kesalahan dan banyak hal-hal mungkar dalam riwayatnya sehingga selayaknya ditinggalkan, Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in meninggalkannya [Al Majruhin Ibnu Hibban 2/251 no 918].

Ibnu Jarir Ath Thabariy berkata “tidak berhujjah dengannya”. Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat terdapat pembicaraan pada sebagian hadisnya dan ia layyin al hadiits di sisi para ulama. Ibnu Madiniy berkata “buruk hafalannya dan lemah hadisnya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “sebagian besar hadis-hadisnya terbalik”. As Sajiy mengatakan bahwa ia jelek hafalannya tetapi bukan pendusta, ia terpuji dalam keputusannya, adapun dalam hadis maka tidak menjadi hujjah. Ibnu Khuzaimah mengatakan ia bukan seorang yang hafizh tetapi faqih lagi alim [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 9 no 503].

Dengan mengumpulkan semua perkataan ulama tentangnya maka Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila adalah perawi yang dhaif tidak bisa dijadikan hujjah karena hafalannya yang sangat buruk dan banyaknya kesalahan serta riwayat-riwayat mungkarnya. Tetapi ia bisa dijadikan i’tibar hadisnya dengan dasar pernyataan sebagian ulama bahwa ia tsiqat atau shaduq. Khusus untuk riwayatnya dari Atha’ bin Abi Rabah maka kedudukannya dhaif sebagaimana dinyatakan oleh Yahya bin Sa’id dan ditegaskan oleh Ahmad bin Hanbal bahwa riwayatnya dari Athaa’ banyak terdapat kesalahan. Ibnu Hibbaan dalam Al Majruuhin memasukkan hadis Ibnu Abi Laila dari Atha’ di atas sebagai bagian dari riwayat mungkarnya.

Hadis Ibnu Abi Laila di atas dhaif dan tidak bisa dijadikan i’tibar karena termasuk bagian dari kemungkaran atau kesalahan Ibnu Abi Laila. Hadis Ibnu Abi Laila tidak bisa dikuatkan dengan hadis Syabib bin Bisyr sebelumnya, begitu pula sebaliknya hadis Syabib bin Bisyr tidak pula dikuatkan oleh hadis Ibnu Abi Laila. Apalagi tidak ada bukti atau qarinah yang menunjukkan bahwa hadis Syabib bin Bisyr tersebut adalah hadis yang sama dengan hadis Ibnu Abi Laila atau ringkasan dari hadis Ibnu Abi Laila karena dari segi matan lafaz kedua hadis tersebut tidak sama.

Hadis riwayat Anas bin Malik yang matannya lebih tepat sebagai syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila adalah hadis yang disebutkan oleh Syaikh Al Albaniy dan Syaikh Al Judai’. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadiits Ash Shahihah hal 190 no 2157 mengatakan:


“Aku menemukan jalan lain tentangnya, Ibnu As Sammaak berkata dalam Al ‘Awwal Min Hadiits-nya 2/87 telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaid bin ‘Abdurrahman At Tamiimiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Iisa bin Thahmaan dari Anas seperti hadis Ibnu Abi Laila di atas”.

Syaikh Al Judai’ dalam Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 410 juga menyebutkan hadis Anas ini dan menyebutkan sebagian matannya.


“Aku menyebutkan mutaba’ah yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu ‘Amru Utsman bin Ahmad Ibnu As Sammaak dalam Al ‘Awwaal Min Hadiits-nya 2/87 dari Jalan Ubaid bin ‘Abdurrahman At Taimmiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Iisa bin Thahmaan dari Anas yang berkata [maka ia menyebutkan kisah wafatnya Ibrahim putra Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam] dan di dalamnya terdapat lafaz “maka meneteslah air matanya, sahabatnya berkata kepadanya “wahai Nabi Allah bukankah engkau telah melarannangis?. Maka Beliau berkata “aku tidak melarangnya, sesungguhnya aku hanya melarang dua suara bodoh lagi fajir yaitu suara ketika mendapat musibah ratapan dan nyanyian, kami sangat bersedih atasmu wahai Ibrahim”.

Perkataan Syaikh Al Judai’ bahwa hadis ini mutaba’ah bagi hadis Syabiib bin Bisyr keliru karena matannya tidak sama, yang benar adalah ia menjadi syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila sebelumnya. Dan hadis ini tidaklah tsabit sebagai syahid karena sanadnya dhaif [Syaikh Al Judai' juga melemahkan hadis ini dan menyatakan tidak baik sebagai mutaba'ah]. Ubaid bin ‘Abdurrahman yang meriwayatkan dari Iisa bin Thahmaan adalah perawi majhul. Abu Hatim berkata “aku tidak mengenalnya dan hadis riwayatnya dusta” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/410 no 1905].

Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 402-407 menjelaskan secara detail takhrij hadis Ibnu Abi Laila di atas dan penjelasan akan kelemahannya. Hal ini sesuai dengan pembahasan kami di atas bahwa hadis Ibnu Abi Laila dhaif dan tidak bisa dijadikan mutaba’ah bagi hadis Anas bin Malik.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam Ar Radd Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 333-335 ketika membantah Syaikh Al Judai’, ia menyatakan bahwa idhthirab Ibnu Abi Laila di atas tidak bersifat menjatuhkan karena perselisihan sanad itu hanya seputar sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut yaitu dari Jabir yang menyebutkan kisah ‘Abdurrahman bin ‘Auf atau Jabir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang menceritakan kisahnya sendiri. Kesimpulannya menurut Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa kedua sanad tersebut benar.

Apa yang dikatakan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa soal idhthirab tersebut memang benar dengan catatan idhthirab tersebut bukanlah menjadi sebab yang melemahkan sanad tersebut. Kelemahan riwayat Ibnu Abi Laila di atas bukan terletak pada sebab sanadnya yang terbukti idhthirab tetapi pada kelemahan hafalan atau dhabit Ibnu Abi Laila.

Adapun idhthirab sanad tersebut hanya menjadi qarinah yang menunjukkan bahwa dhabit [hafalan] Ibnu Abi Laila dalam hadis ini bermasalah. Sehingga dengan statusnya yang buruk hafalannya dan mudhtharib hadisnya serta ia banyak melakukan kesalahan [khususnya riwayat dari Atha’] maka menjadi lengkaplah bahwa hadis Ibnu Abi Laila disini dhaif dan bagian dari kesalahan atau kemungkarannya. Seandainya Ibnu Abi Laila ini seorang yang tsiqat tsabit maka tidak ada celah untuk mengatakan bahwa idhthirab tersebut adalah kelemahan dalam dhabitnya tetapi faktnya Ibnu Abi Laila memang seorang yang buruk hafalannya maka idhthirab tersebut menjadi qarinah kuat akan kelemahan dhabitnya.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawi Wal Judai’ hal 339-340 mengutip pernyataan Tirmidzi dan Al Baghawiy yang menyatakan hadis ini hasan kemudian Beliau mengatakan sekelompok ulama hadis menyebutkan hadis ini tanpa menyatakan mungkar.

Bantahan Syaikh tersebut tidak memiliki hujjah yang kuat. Ulama hadis mengutip suatu hadis dalam kitabnya tanpa menyebutkan kelemahan atau kemungkaran hadis tersebut adalah fenomena yang wajar, tidak ada hujjah yang bisa diambil dari sini. Hujjah hanya bisa diambil dari pernyataan sharih [jelas] ulama terhadap hadis yang dikutipnya, apakah hadis tersebut shahih, dhaif atau mungkar. Adapun penghasanan Tirmidzi dan Al Baghawiy telah diselisihi oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Thahir [sebagaimana dikutip Syaikh Al Judai’ dalam Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 407].

Anehnya Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawi Wal Judai’ hal 346 seolah ingin membantah Ibnu Hibban dengan menyatakan bahwa ia termasuk ulama yang terlalu mudah dalam menjarh perawi. Pernyataan ini benar tetapi keliru jika menjadikan seolah-olah semua perkataan jarh Ibnu Hibban terhadap perawi tertolak karena ia dikenal mudah dalam menjarh. Harus ada qarinah yang menunjukkan bahwa Ibnu Hibban memang berlebihan dalam mencela perawi tertentu.
Misalkan jika perawi yang bersangkutan adalah perawi kitab Shahih yang dikenal tsiqat kemudian Ibnu Hibban mencela dengan mengatakan ia meriwayatkan hadis palsu. Maka sudah jelas jarh Ibnu Hibban bertentangan dengan para ulama hadis lain yang lebih mu’tabar darinya.

Dalam kasus hadis Ibnu Abi Laila di atas apa yang dikatakan Ibnu Hibban sudah sesuai dengan pendapat para ulama hadis bahwa Ibnu Abi Laila termasuk perawi yang lemah dalam dhabitnya [buruk hafalannya] dan banyak melakukan kesalahan bahkan Yahya bin Sa’id dan Ahmad bin Hanbal secara khusus melemahkan hadis Ibnu Abi Laila dari Atha’. Jadi tidak ada alasan menuduh Ibnu Hibban disini terlalu mudah menjarh.

Justru yang nampak adalah At Tirmidzi yang menghasankan hadis Ibnu Abi Laila di atas menunjukkan sikap tasahul-nya dalam menguatkan hadis. Dan At Tirmidzi memang dikenal ulama yang tasahul dalam tashih dan tahsin hadis dalam kitab Sunan-nya. Bagaimana mungkin dikatakan hasan jika Ibnu Abi Laila adalah perawi yang buruk hafalannya dan banyak melakukan kesalahan. Jika yang dimaksudkan Tirmidzi dengan hasan dalam hadis Ibnu Abi Laila itu adalah hasan lighairihi maka mengapa ia tidak menyebutkan syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila yang ia kutip. Bukankah At Tirmidzi seringkali menyebutkan syahid pada sebagian hadis yang ia sebutkan dalam kitab Sunan-nya.

Kesimpulannya disini adalah apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ bahwa hadis ini dhaif adalah pendapat yang benar, adapun pembelaan dan bantahan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru.

(Source)

Terkait Berita: