Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII, menari tari Sari Tunggal, sebagai
kado istimewa pernikahan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard. Foto:
KITLV.
Tinimbang mempersembahkan permata dan benda berharga, Mangkunegara VII memilih pentas tari sebagai kado pernikahan.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO
KGPAA
Mangkunegara VII ingin memberikan kado istimewa untuk pernikahan Putri
Juliana, anak Ratu Belanda Wilhelmina, dengan Pangeran Bernhard.
Sementara raja-raja lain di Nusantara mempersembahkan permata dan
benda-benda berharga, dia memilih pentas tari. Kado itu semakin istimewa
karena putrinya yang cantik, Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemo
Wardhani atau kerap disapa Gusti Nurul, bakal jadi penarinya.
“Romo (bapak), mempunyai gagasan dalam tarianku,” ujar Gusti Nurul, lahir pada 17 September 1921, dalam Lembar Kenangan Gusti Noeroel.
Pementasan tari akan diiringi gamelan
Kyai Kanyut Mesem yang dimainkan di Pura Mangkunagaran, Solo.
Alunan
gamelan dipancarkan secara langsung melalui stasiun radio Solosche Radio Vereeniging (SRV) ke Negeri Belanda. Tarian yang dipilih Sari Tunggal, “tari dari Keraton Yogyakarta yang selama ini telah kupelajari dari kakak ibuku, Pangeran Tedjo Koesoemo,” kata Gusti Nurul.
Rangkaian acara pernikahan akan digelar
pada Desember 1936-Januari 1937. Mengingat perjalanan jauh dan menyita
waktu, Mangkunegara VII dan permaisuri GKR Timur serta Gusti Nurul
berangkat pada Agustus 1936.
Dalam perjalanan, di atas kapal Marnix,
Gusti Nurul menyempatkan diri berlatih. Setelah tiba di Italia,
perjalanan disambung dengan keretapi. Mereka tiba di Amsterdam pada 16
November 1936, lalu bertolak ke Den Haag pada 1 Desember 1936.
Menurut Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah,
inilah untuk pertama kalinya seorang raja Jawa yang sedang berkuasa
berkunjung ke Negeri Belanda. Selama empat bulan rombongan menginap di
Puri Oud-Wassenar.
Panitia pernikahan Putri Juliana baru
mengetahui rencana pementasan tari saat rombongan tiba di Belanda.
Menurut Hary Wiryawan dalam Mangkoenegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia,
pihak panitia semula keberatan dengan pementasan itu dengan alasan
waktu persiapan singkat untuk acara yang rumit. Namun, setelah
diyakinkan Mangkunegara VII, pementasan tari masuk dalam susunan acara.
Sebulan sebelum acara, panitia melakukan
tes dan meminta Gusti Nurul menari lengkap dengan iringan musik
langsung dari Pura Mangkunegaran Solo yang dipancarkan melalui SRV.
Bertempat di gedung Pos, Telegraph, dan Telpon (PTT), Gusti Nurul pun
menari di hadapan Ratu Wilhelmina dan anggota kabinet. Pada saat yang
sama, Gusti Partinah, anak kedua Mangkunegara VII, menari di Pura
Mangkunegaran Solo sebagai patokan bagi pemain gamelan.
“Pada saat tes, suara gamelan sempat
hilang. Namun Ibu (Gusti Timoer) yang duduk di dekat pentas membantu
dengan hitungan, sehingga tarianku dapat diselesaikan dengan baik,” ujar
Gusti Nurul.
Perusahaan Philips merekam gending
tersebut untuk pementasan di hari-H. Pementasan tari pun digelar di
Istana Noordeinde, disaksikan para petinggi negara, raja dan ratu dari
berbagai negara, serta kedua mempelai. Pementasan berjalan lancar. “Aku
merasa lega,” ujar Gusti Nurul.
Pementasan itu ramai diwartakan
suratkabar Belanda. Pementasan itu juga membuat para tamu ingin
mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan Timur dari Mangkunegara VII.
Rombongan Mangkunegara VII meninggalkan Belanda pada 15 Februari 1937 dan melanjutkan perjalanan keliling Eropa.