Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Solo. Show all posts
Showing posts with label Solo. Show all posts

JK Dukung Militer Sapu Bersih ISIS di Poso


Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung aparat militer yang akan menumpas kelompok teroris ISIS di Poso. Menurutnya, di Poso masih banyak sumber-sumber teror yang bersembunyi.
Bahkan, ia mengatakan masih banyak pula sejumlah kelompok yang dilatih oleh kelompok radikal. "Ya tentu itu kan Poso masih banyak unsur-unsur yang dilatih oleh yang radikal, sumber-sumber teror, karena itu polisi, tentara, harus menyelesaikan itu," katanya di Bandara Adi Soemarmo, usai meninjau Pasar Klewer di Solo yang baru saja terbakar, Senin (29/12).

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan pemerintah akan menumpas kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah. Kelompok teroris ini juga disebut-sebut telah memasuki Poso.

Menurut Tjahjo, perintah ini langsung diberikan oleh Presiden Joko Widodo agar TNI dikerahkan untuk menyapu bersih kelompok-kelompok yang sering melakukan aksi teror pada Januari 2015.

Mendagri juga telah mendeteksi 100 warga dari luar Indonesia yang masuk ke Poso, Sulawesi Tengah untuk berjihad. Hal ini pun, lanjutnya, harus segera diantisipasi oleh pemerintah.

Ia menegaskan pemerintah tidak akan mentolelir kelompok-kelompok yang akan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.

(Source)

Forum Pendukung ISIS Membaiat Ratusan Muslim Dukung ISIS

Dosen Pascasarjana Universitas MuhammadiyahSurakarta, Dr Amir Mahmud, Pemimpin ForumPendukung ISIS

Ratusan umat Islam di Solo, Jawa Tengah, dibaiat untuk mendukung The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Baiat dilakukan di Masjid Baitul Makmur, Solobaru, pada Selasa (15/7) sore yang lalu. Sebelum dibaiat, mereka terlebih dulu mengikuti acara pemahaman tentang daulah dan khilafah, yang diselenggarakan oleh Forum Pendukung Daulah Islamiyah.

Penasehat Forum Pendukung Daulah Islamiyah, Ustaz Afif Abdul Majid mengatakan acara tersebut dihadiri sekitar 1.500 orang. Namun tak semua yang hadir minta dibaiat. Sebagian dari mereka ada yang hanya ingin tahu saja.


Menurut Ustaz Afif, ribuan orang tersebut sengaja datang untuk mendengar langsung penjelasan tentang pentingnya sebuah daulah dan khilafah bagi umat Islam.

“Setelah mendengarkan pemahaman, mereka mengikuti baiat untuk mendukung ISIS pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai daulah Islamiyah,” katanya di Solo, Kamis (17/7).


Menurutnya, forum tersebut berguna untuk umat Islam yang memiliki visi dan misi sama tentang khilafah dan daulah Islam. Forum tersebut kata Ustaz Afif, dibentuk sebagai wadah bersama bagi umat Islamyang mendukung berdirinya sebuah daulah Islamiyah.
“Memang tidak semua yang hadir bersedia dibaiat sebagai pendukung ISIS. Tapi lebih dari separuh yang hadir bersedia berbaiat,” ucapnya.

Ustaz Afif mengatakan baiat dilakukan di hadapan pimpinan Forum Pendukung Daulah Islamiyah, Dr Amir Mahmud, yang juga dosen di Fakultas Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
“Kami akan melaporkan baiat ini kepada pimpinan ISIS di Timur Tengah. Kami juga akan terus melakukan sosialisasi tentang ISIS di berbagai kota,” pungkasnya.

Kado Istimewa Pernikahan

Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII, menari tari Sari Tunggal, sebagai kado istimewa pernikahan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard. Foto: KITLV.

Tinimbang mempersembahkan permata dan benda berharga, Mangkunegara VII memilih pentas tari sebagai kado pernikahan.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO

KGPAA Mangkunegara VII ingin memberikan kado istimewa untuk pernikahan Putri Juliana, anak Ratu Belanda Wilhelmina, dengan Pangeran Bernhard. Sementara raja-raja lain di Nusantara mempersembahkan permata dan benda-benda berharga, dia memilih pentas tari. Kado itu semakin istimewa karena putrinya yang cantik, Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemo Wardhani atau kerap disapa Gusti Nurul, bakal jadi penarinya.

Romo (bapak), mempunyai gagasan dalam tarianku,” ujar Gusti Nurul, lahir pada 17 September 1921, dalam Lembar Kenangan Gusti Noeroel.
Pementasan tari akan diiringi gamelan Kyai Kanyut Mesem yang dimainkan di Pura Mangkunagaran, Solo. 

Alunan gamelan dipancarkan secara langsung melalui stasiun radio Solosche Radio Vereeniging (SRV) ke Negeri Belanda. Tarian yang dipilih Sari Tunggal, “tari dari Keraton Yogyakarta yang selama ini telah kupelajari dari kakak ibuku, Pangeran Tedjo Koesoemo,” kata Gusti Nurul.

Rangkaian acara pernikahan akan digelar pada Desember 1936-Januari 1937. Mengingat perjalanan jauh dan menyita waktu, Mangkunegara VII dan permaisuri GKR Timur serta Gusti Nurul berangkat pada Agustus 1936. 

Dalam perjalanan, di atas kapal Marnix, Gusti Nurul menyempatkan diri berlatih. Setelah tiba di Italia, perjalanan disambung dengan keretapi. Mereka tiba di Amsterdam pada 16 November 1936, lalu bertolak ke Den Haag pada 1 Desember 1936.

Menurut Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, inilah untuk pertama kalinya seorang raja Jawa yang sedang berkuasa berkunjung ke Negeri Belanda. Selama empat bulan rombongan menginap di Puri Oud-Wassenar.

Panitia pernikahan Putri Juliana baru mengetahui rencana pementasan tari saat rombongan tiba di Belanda. Menurut Hary Wiryawan dalam Mangkoenegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia, pihak panitia semula keberatan dengan pementasan itu dengan alasan waktu persiapan singkat untuk acara yang rumit. Namun, setelah diyakinkan Mangkunegara VII, pementasan tari masuk dalam susunan acara.

Sebulan sebelum acara, panitia melakukan tes dan meminta Gusti Nurul menari lengkap dengan iringan musik langsung dari Pura Mangkunegaran Solo yang dipancarkan melalui SRV. Bertempat di gedung Pos, Telegraph, dan Telpon (PTT), Gusti Nurul pun menari di hadapan Ratu Wilhelmina dan anggota kabinet. Pada saat yang sama, Gusti Partinah, anak kedua Mangkunegara VII, menari di Pura Mangkunegaran Solo sebagai patokan bagi pemain gamelan.

“Pada saat tes, suara gamelan sempat hilang. Namun Ibu (Gusti Timoer) yang duduk di dekat pentas membantu dengan hitungan, sehingga tarianku dapat diselesaikan dengan baik,” ujar Gusti Nurul.
Perusahaan Philips merekam gending tersebut untuk pementasan di hari-H. Pementasan tari pun digelar di Istana Noordeinde, disaksikan para petinggi negara, raja dan ratu dari berbagai negara, serta kedua mempelai. Pementasan berjalan lancar. “Aku merasa lega,” ujar Gusti Nurul.

Pementasan itu ramai diwartakan suratkabar Belanda. Pementasan itu juga membuat para tamu ingin mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan Timur dari Mangkunegara VII.
Rombongan Mangkunegara VII meninggalkan Belanda pada 15 Februari 1937 dan melanjutkan perjalanan keliling Eropa.

Gelombang Sejarah Radio

Radio Philips Tombstone produksi Belanda 1930-1940-an.

Radio hadir di negeri ini hampir seabad lalu.
OLEH: WENRI WANHAR

SETIAP tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio karena pada tanggal itu, 69 tahun lalu, kali pertama Radio Republik Indonesia (RRI) mengudara. Radio tersebut hasil merebut kantor radio Jepang (Hosokyoku). Stasiun RRI yang pertama di Jawa ada delapan buah, yakni bekas Hosokyoku, di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.

Pada masa revolusi (1945-1949), selain RRI, dikenal juga radio-radio perjuangan. Di antaranya Radio Pemberontakan di Surabaya, Malang, dan Solo, di mana Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan; Radio Internasional Indonesia di Kediri; Gelora Pemuda di Madiun; Radio Militer dan Radio Indonesia Raya di Yogyakarta; Radio Perjuangan di Semarang; dan Rimba Raya di Aceh.

Sejarah radio di negeri ini sebetulnya sudah dimulai sejak 91 tahun silam. Gubernur Jenderal de Fock meresmikan pemancar radio Malabar di Bandung pada 5 Mei 1923. Inilah stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. (Baca: Malabar Bubar ditangan Laskar)
*****
Malabar Bubar di Tangan Laskar

Radio Malabar, 1915. Foto: KITLV.

Simbol paling ampuh radio kolonial. Hancur-lebur di tangan Republiken.
OLEH: WENRI WANHAR

BANDUNG, 5 Mei 1923. Pagi-pagi sekali Gubernur Jenderal de Fock beserta rombongan keluar dari penginapan di hotel Preanger. Iring-iringan kendaraan bergerak melintasi Dayeuhkolot ke arah perbukitan Bandung Selatan. Setelah melampaui Ciwidey, sampailah mereka di kaki Gunung Malabar.

Hari itu de Fock meresmikan pemancar radio Malabar, “stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda,” tulis Haryadi Suadi dalam Riwayat Radio Republik Indonesia.
Pemancar Malabar dibangun Cornelius Johannes de Groot (1883-1927), alumnus teknik listrik dan rekayasa mekanis Delftse Polytechnische School, Karlsruhe, Jerman.

“Dalam disertasi yang berjudul Radiotelegrafie In The Tropen, Groot mengemukakan perlunya hubungan radio secara langsung antara Nederland dan Hindia Belanda. Dia yakin, secara teknis hal itu bisa dilakukan,” tulis buku The Year-book of Wireless Telegraphy & Telephony terbitan Marconi Press Agency Limited, 1920.

Pria bertubuh tambun itulah yang memimpin Departemen Pos Telepon dan Telegraph (PTT) Hindia Belanda melakukan serangkaian percobaan komunikasi radio untuk menghubungkan Hindia Belanda dengan Belanda.
Akhir 1916, Groot mulai mendirikan pemancar di kaki Gunung Malabar. Perangkat teknologinya dipesan dari perusahaan elektronik Telefunken, Jerman. Medan yang berat tak menyurutkan langkahnya. Peralatan berat berupa besi-besi dan mesin-mesin diangkut lewat jalan kecil, menanjak dan berliku ke lokasi pemasangan antena yang terjal.

Berbeda dari pemasangan antena pada umumnya, Groot merentangkan antena pada dua sisi lereng gunung sepanjang kurang lebih duaribu meter. Ketinggian rentangan kabel rata-rata 250-750 meter di atas permukaan laut, atau rata-rata 350 meter di atas permukaan tanah.

Perjuangan Groot tak sia-sia. Dia berhasil menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. Ini menandai titik tolak kemajuan dunia telekomunikasi penyiaran. Sejawaran Rudolf Mrazek, penulis buku Engineers of Happy Land, menyebut pemancar Malabar di pegunungan Jawa Barat adalah titik fokus alamiah dan simbol paling ampuh radio Hindia Belanda.

Groot meningal dunia pada 1 Agustus 1927. Namanya diabadikan oleh Walikota Bandung B. Coops sebagai nama jalan di kota itu: Dr de Grootweg (kini Jalan Siliwangi).
Kini, Groot dan pemancar Malabar hanya tinggal cerita. Kompleks stasiun radio Malabar yang megah itu hancur-lebur saat meletus peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946. “Saya yang menghancurkan,” kata Entang Muchtar, dikutip Her Suganda dalam Jendela Bandung.

Entang bersama tiga kawannya menghancurkan stasiun radio Malabar dengan dinamit setelah mendapat perintah dari Mayor Daan Yahya. “Bumi seakan terguncang dan suara ledakan sangat memekakkan telinga. Ledakan pertama disusul ledakan-ledakan berikutnya sehingga seluruh bangunan luluh-lantak.”

*****
Empat tahun kemudian, Belanda melakukan percobaan siaran radio gelombang pendek (shortwave atau SW) melalui pemancar PCJ dari laboratorium Philips di Eindhoven ke Hindia Belanda. Merujuk situs Radio Nederland Wereldomroep, sewaktu melakukan siaran percobaan itu, almanak bertanggal 11 Maret 1927.
Untuk memuluskan ujicoba tersebut, beberapa hari sebelumnya pihak Belanda telah mengantar sebuah pesawat radio tombstone merek Philips seri 703 A kepada Sri Mangkunegara VII, penguasa Pura Mangkunegaran. Penguasa Keraton Solo itu mempercayakan Ir Sarsito melayani radio itu.

Sejumlah orang berkumpul di Pura Mangkunegaran, Surakarta. Sekian pasang mata tertuju pada Sarsito yang nampak hati-hati, putar-putar tuning mencari baris gelombang yang selaras. Terdengar suara bersuit-suit sangat keras. Terkadang menggelegar seperti geluduk. Tapi lebih sering, “menggero sebagai mengaumnya harimau. Maka terkejutlah sekalian pendengar karena ketakutan,” tulis SRV Gedenkboek, 1936.

Begitu Sarsito menemukan gelombang yang tepat, terdengar suara orang berkata-kata. Sekali pun hanya berbisik-bisik, sekalian pendengar senang dan tertawa. Ketika mendengar suara musik yang tiada ketahuan siapa yang memainkannya, tercenganglah mereka. Itulah kali pertama orang-orang di Pura Mangkunegaran melihat dan mendengar radio.

Dua puluh hari kemudian, Ratu Wilhelmina menyapa rakyat di wilayah koloninya dari laboratorium radio Philips. Siaran internasional yang dipancarkan secara live pada 31 Maret 1927 itu berhasil ditangkap di Australia, Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara, termasuk di Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Sarsito, dalam Triwindoe Mangkunegoro VII Gedenkboek (1939) menceritakan, malam  itu orang-orang di Pura Mangkunegaran berkumpul di Prangwedanan bersama Mangkunegara VII dan permaisuri Gusti Ratu Timur. Mereka mendengarkan siaran langsung pidato Ratu Wilhelmina. “Itu adalah suatu saat yang tak terlupakan,” kenang Sarsito.

Setelah pidato live Sang Ratu, selain bertalian dengan kepentingan politik kolonial, Philips melihat prospek bisnis. Semenjak itu, “Philips langsung memproduksi radio secara massal,” kata Didi Sumarsidi, ketua komunitas pecinta radio kuno Padmaditya, kepada Historia di sela pembukaan pameran radio lama bertajuk Layang Swara, di Bentara Budaya Jakarta, 24 April lalu. 

Situs resmi Philips melansir, mereka mulai serius memproduksi radio sejak 1927. Hingga 1932, Philips telah menjual satu juta radio dan langsung menjelma jadi produsen radio terbesar di dunia. Bahkan Philips mendirikan pabrik di Hindia Belanda.

Terkait Berita: