Anak-anak Izadi korban kekerasan ISIS di Irak utara
Bahaya radikalisme begitu nyata. Dalam bentuk
yang paling lunak, radikalisme adalah keengganan untuk menerima kelompok
lain yang berbeda. Bentuk ekstrem dari radikalisme adalah aksi
kekerasan dan terorisme. Orang radikal belum tentu teroris, tetapi
teroris pasti radikal.
Radikalisme versi lunak sekilas tak berbahaya karena ia cenderung
pasif. Namun, dalam situasi tertentu, terutama ketika terjadi kerawanan
sosial, radikalisme pasif bisa berubah menjadi agresif. Kasus pembakaran
rumah ibadah di Tolikara, Papua, 17 Juli lalu, bisa dilihat dari
perspektif ini.
Benih radikalisme
Radikalisme bukan monopoli agama tertentu. Dalam tradisi agama-agama
selalu terkandung benih-benih yang oleh David Lochhead (1988) disebut
isolasionis (tiap-tiap agama hidup dalam komunitasnya sendiri yang
terpisah dari kelompok lain), konfrontasionis (kelompok lain dianggap
saingan yang harus selalu dicurigai), dan bahkan kebencian (kelompok
lain adalah musuh yang harus ditaklukkan).
Bagi kelompok tertentu, benih-benih radikalisme ini bahkan menjadi
ideologi yang bisa dengan mudah berubah menjadi kekerasan. Inilah yang
oleh Mark Juergensmeyer (1995) disebut sebagai kultur kekerasan. Upaya
melawan radikalisme secara koersif melahirkan mata rantai kekerasan yang
tidak berkesudahan.
Ciri penting dari kultur kekerasan adalah munculnya persepsi luas
bahwa dunia seolah-olah memang menghendaki kekerasan. Bagi kelompok
radikal, persepsi ini dikonstruksi sedemikian rupa sebagai tekanan dari
pihak luar yang menyebabkan komunitas mereka dalam situasi terancam.
Dalam pandangan mereka, aksi kekerasan adalah respons terhadap perasaan
terancam yang mereka rasakan.
Mereka bereaksi dalam bentuk perlawanan yang bahkan tidak bisa
diduga. Perlawanan itu, menurut Marty dan Appleby (1993), muncul dalam
bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau
identitas yang menjadi taruhan hidup.
Mereka berjuang untuk menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan
hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Mereka
berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari
warisan masa lalu ataupun konstruksi baru. Untuk itu, mereka juga
berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas
atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang. Terakhir, mereka
mengklaim perjuangan mereka atas nama Tuhan.
Radikalisme yang mengarah kepada kekerasan ini pada dasarnya tidak
terjadi dengan sendirinya. Radikalisme semacam ini tidak langsung tumbuh
dan besar. Ibarat benih, ia butuh lahan yang subur. Pandangan keagamaan
yang hitam-putih dan merasa paling “murni” adalah benih yang sangat
potensial. Benih ini akan tumbuh dengan cepat di lahan sosial yang
diwarnai oleh kesenjangan ekonomi, ketakadilan, kecemburuan sosial, dan
penegakan hukum yang lemah.
Perasaan terancam oleh kehadiran kelompok lain adalah pupuk yang
membuat radikalisme berubah cepat menjadi agresivisme. Daftar panjang
intoleransi dan kekerasan bernuansa agama di Indonesia akumulasi dari
hal-hal ini.
Banyak orang berkilah, maraknya kasus intoleransi dan kekerasan
bernuansa agama di Indonesia tak bisa menghapuskan fakta kerukunan yang
telah berlangsung puluhan tahun. Harus diakui, kajian banyak lembaga
antaragama menunjukkan, konflik bernuansa agama yang berdarah-darah baru
terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru. Itu sebabnya, kerukunan
antarpemeluk agama sering dibanga-banggakan Orde Baru.
Namun, kerukunan itu sebetulnya cenderung artifisial. Konflik
antaragama tak sering terjadi bukan karena masyarakat telah hidup rukun,
tetapi lebih karena penguasa menekan sedemikian rupa agar potensi
konflik tersebut tidak muncul ke permukaan. Melalui konsep SARA, umat
yang berbeda agama disegregasi begitu rupa sehingga mereka tidak saling
memahami satu sama lain. Mereka memahami kelompok lain hanya dalam
stereotip-stereotip tertentu.
Ketika bendungan Orde Baru runtuh dan kontestasi sosial berlangsung
secara terbuka, bahkan cenderung vulgar, sementara mereka hidup dalam
ketidaktahuan satu sama lain, penuh kecurigaan, kecemburuan dan bahkan
“permusuhan”, maka tak sulit untuk menduga apa yang akan terjadi.
Lintas sektor
Dalam dunia yang makin majemuk, paradigma mayoritas-minoritas yang
cenderung diskriminatif tak bisa lagi dipertahankan. Mobilitas penduduk
dari satu negara ke negara lain, dari satu kota ke kota lain, membuat
kemajemukan betul-betul hadir di depan kita. Kenyataan ini mengharuskan
kita bertemu dengan orang lain yang sama sekali berbeda, baik dari segi
ras, suku, kultur, bahasa, maupun keyakinan. Di sinilah toleransi
menjadi kata kunci yang tidak bisa ditawar. Dalam ungkapan Michael
Walzer (1997), toleransi membuat perbedaan menjadi mungkin; dan perbedan
membuat toleransi menjadi penting.
Meski demikian, upaya mengatasi bahaya radikalisme tak cukup hanya
dengan konsep toleransi, apalagi toleransi hanya dimaknai sebagai
kerukunan. Diakui atau tidak, kecenderungan radikalisme yang mengarah
kepada kekerasan tidak bisa dibaca semata-mata sebagai persoalan agama.
Karena itu, upaya mengatasinya tidak cukup hanya dengan pendekatan
toleransi. Akan tetapi, perlu juga upaya lintas sektoral agar
radikalisme tidak mengarah kepada kekerasan.
Upaya memotong mata rantai kekerasan radikalisme setidaknya harus
melibatkan tiga unsur vital. Pertama, mendorong para pemimpin agama
melakukan pencerahan terus-menerus kepada umatnya bahwa agama adalah
ajaran kasih sayang, toleransi dan kewajiban beramal saleh. Kematangan
beragama tidak hanya ditentukan oleh intensitas ibadah terhadap Sang
Pencipta, tetapi juga oleh kesediaan menerima ciptaan-Nya yang sangat
beragam, baik dari segi budaya, etnis, bahasa, maupun agama.
Kedua, mendorong organisasi sosial (ormas) untuk terus-menerus
menjaga “rumah bersama” dari ancaman apa pun yang dapat merusak
kedamaian hidup bersama. Di sinilah pentingnya dialog yang otentik
antarpemeluk agama agar mereka lebih bisa saling memahami. Upaya dialog
selama ini lebih sering mencari titik temu ketimbang memahami keunikan
masing-masing kelompok agama. Padahal, substansi toleransi bukan
persamaan, melainkan justru penghargaan terhadap perbedaan.
Ormas bukan sekadar wadah komunitas sebagai tempat bernaung bagi
masyarakat yang memiliki kesamaan-kesamaan tertentu. Ormas adalah
benteng untuk menjaga dan melembagakan nilai-nilai dan moral sosial.
Tugas ormas dalam hal ini adalah melindungi anggotanya dari
kecenderungan kekerasan.
Ketiga, mendorong negara melaksanakan tanggung jawabnya menjamin rasa
aman, menegakkan hukum secara adil dan membangun sarana-prasarana yang
memudahkan warganya melaksanakan hajat hidup. Kesediaan warga negara
untuk taat hukum akan ditentukan oleh sejauh mana negara mampu
melaksanakan tanggung jawab ini.
Disadari atau tidak, radikalisme tidak akan pernah mati. Dengan tiga
pendekatan ini, setidaknya radikalisme tidak mudah berubah menjadi
agresivisme.
Agus Muhammad
Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU.
(Kompas/MahdiNews/ABNS)