Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Orde Baru. Show all posts
Showing posts with label Orde Baru. Show all posts

Bahaya Radikalisme Dalam Jihad Mengatasnamakan Ajaran Islam

Anak-anak Izadi korban kekerasan ISIS di Irak utara

Bahaya radikalisme begitu nyata. Dalam bentuk yang paling lunak, radikalisme adalah keengganan untuk menerima kelompok lain yang berbeda. Bentuk ekstrem dari radikalisme adalah aksi kekerasan dan terorisme. Orang radikal belum tentu teroris, tetapi teroris pasti radikal.

Radikalisme versi lunak sekilas tak berbahaya karena ia cenderung pasif. Namun, dalam situasi tertentu, terutama ketika terjadi kerawanan sosial, radikalisme pasif bisa berubah menjadi agresif. Kasus pembakaran rumah ibadah di Tolikara, Papua, 17 Juli lalu, bisa dilihat dari perspektif ini.

Benih radikalisme
Radikalisme bukan monopoli agama tertentu. Dalam tradisi agama-agama selalu terkandung benih-benih yang oleh David Lochhead (1988) disebut isolasionis (tiap-tiap agama hidup dalam komunitasnya sendiri yang terpisah dari kelompok lain), konfrontasionis (kelompok lain dianggap saingan yang harus selalu dicurigai), dan bahkan kebencian (kelompok lain adalah musuh yang harus ditaklukkan).

Bagi kelompok tertentu, benih-benih radikalisme ini bahkan menjadi ideologi yang bisa dengan mudah berubah menjadi kekerasan. Inilah yang oleh Mark Juergensmeyer (1995) disebut sebagai kultur kekerasan. Upaya melawan radikalisme secara koersif melahirkan mata rantai kekerasan yang tidak berkesudahan.

Ciri penting dari kultur kekerasan adalah munculnya persepsi luas bahwa dunia seolah-olah memang menghendaki kekerasan. Bagi kelompok radikal, persepsi ini dikonstruksi sedemikian rupa sebagai tekanan dari pihak luar yang menyebabkan komunitas mereka dalam situasi terancam. Dalam pandangan mereka, aksi kekerasan adalah respons terhadap perasaan terancam yang mereka rasakan.
Mereka bereaksi dalam bentuk perlawanan yang bahkan tidak bisa diduga. Perlawanan itu, menurut Marty dan Appleby (1993), muncul dalam bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup.

Mereka berjuang untuk menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu ataupun konstruksi baru. Untuk itu, mereka juga berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang. Terakhir, mereka mengklaim perjuangan mereka atas nama Tuhan.

Radikalisme yang mengarah kepada kekerasan ini pada dasarnya tidak terjadi dengan sendirinya. Radikalisme semacam ini tidak langsung tumbuh dan besar. Ibarat benih, ia butuh lahan yang subur. Pandangan keagamaan yang hitam-putih dan merasa paling “murni” adalah benih yang sangat potensial. Benih ini akan tumbuh dengan cepat di lahan sosial yang diwarnai oleh kesenjangan ekonomi, ketakadilan, kecemburuan sosial, dan penegakan hukum yang lemah.

Perasaan terancam oleh kehadiran kelompok lain adalah pupuk yang membuat radikalisme berubah cepat menjadi agresivisme. Daftar panjang intoleransi dan kekerasan bernuansa agama di Indonesia akumulasi dari hal-hal ini.

Banyak orang berkilah, maraknya kasus intoleransi dan kekerasan bernuansa agama di Indonesia tak bisa menghapuskan fakta kerukunan yang telah berlangsung puluhan tahun. Harus diakui, kajian banyak lembaga antaragama menunjukkan, konflik bernuansa agama yang berdarah-darah baru terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru. Itu sebabnya, kerukunan antarpemeluk agama sering dibanga-banggakan Orde Baru.

Namun, kerukunan itu sebetulnya cenderung artifisial. Konflik antaragama tak sering terjadi bukan karena masyarakat telah hidup rukun, tetapi lebih karena penguasa menekan sedemikian rupa agar potensi konflik tersebut tidak muncul ke permukaan. Melalui konsep SARA, umat yang berbeda agama disegregasi begitu rupa sehingga mereka tidak saling memahami satu sama lain. Mereka memahami kelompok lain hanya dalam stereotip-stereotip tertentu.

Ketika bendungan Orde Baru runtuh dan kontestasi sosial berlangsung secara terbuka, bahkan cenderung vulgar, sementara mereka hidup dalam ketidaktahuan satu sama lain, penuh kecurigaan, kecemburuan dan bahkan “permusuhan”, maka tak sulit untuk menduga apa yang akan terjadi.

Lintas sektor
Dalam dunia yang makin majemuk, paradigma mayoritas-minoritas yang cenderung diskriminatif tak bisa lagi dipertahankan. Mobilitas penduduk dari satu negara ke negara lain, dari satu kota ke kota lain, membuat kemajemukan betul-betul hadir di depan kita. Kenyataan ini mengharuskan kita bertemu dengan orang lain yang sama sekali berbeda, baik dari segi ras, suku, kultur, bahasa, maupun keyakinan. Di sinilah toleransi menjadi kata kunci yang tidak bisa ditawar. Dalam ungkapan Michael Walzer (1997), toleransi membuat perbedaan menjadi mungkin; dan perbedan membuat toleransi menjadi penting.

Meski demikian, upaya mengatasi bahaya radikalisme tak cukup hanya dengan konsep toleransi, apalagi toleransi hanya dimaknai sebagai kerukunan. Diakui atau tidak, kecenderungan radikalisme yang mengarah kepada kekerasan tidak bisa dibaca semata-mata sebagai persoalan agama. Karena itu, upaya mengatasinya tidak cukup hanya dengan pendekatan toleransi. Akan tetapi, perlu juga upaya lintas sektoral agar radikalisme tidak mengarah kepada kekerasan.

Upaya memotong mata rantai kekerasan radikalisme setidaknya harus melibatkan tiga unsur vital. Pertama, mendorong para pemimpin agama melakukan pencerahan terus-menerus kepada umatnya bahwa agama adalah ajaran kasih sayang, toleransi dan kewajiban beramal saleh. Kematangan beragama tidak hanya ditentukan oleh intensitas ibadah terhadap Sang Pencipta, tetapi juga oleh kesediaan menerima ciptaan-Nya yang sangat beragam, baik dari segi budaya, etnis, bahasa, maupun agama.

Kedua, mendorong organisasi sosial (ormas) untuk terus-menerus menjaga “rumah bersama” dari ancaman apa pun yang dapat merusak kedamaian hidup bersama. Di sinilah pentingnya dialog yang otentik antarpemeluk agama agar mereka lebih bisa saling memahami. Upaya dialog selama ini lebih sering mencari titik temu ketimbang memahami keunikan masing-masing kelompok agama. Padahal, substansi toleransi bukan persamaan, melainkan justru penghargaan terhadap perbedaan.

Ormas bukan sekadar wadah komunitas sebagai tempat bernaung bagi masyarakat yang memiliki kesamaan-kesamaan tertentu. Ormas adalah benteng untuk menjaga dan melembagakan nilai-nilai dan moral sosial. Tugas ormas dalam hal ini adalah melindungi anggotanya dari kecenderungan kekerasan.

Ketiga, mendorong negara melaksanakan tanggung jawabnya menjamin rasa aman, menegakkan hukum secara adil dan membangun sarana-prasarana yang memudahkan warganya melaksanakan hajat hidup. Kesediaan warga negara untuk taat hukum akan ditentukan oleh sejauh mana negara mampu melaksanakan tanggung jawab ini.

Disadari atau tidak, radikalisme tidak akan pernah mati. Dengan tiga pendekatan ini, setidaknya radikalisme tidak mudah berubah menjadi agresivisme.

Agus Muhammad
Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU.

(Kompas/MahdiNews/ABNS)

Penjaga Fisik dan Nama Baik Sukarno

Ki-ka: Asvi Warman Adam, Iwan Santosa (moderator), Bonnie Triyana, dan Anhar Gonggong, dalam bedah buku "Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno" di auditorium Museum Nasional, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2014. Foto: Micha Rainer Pali, 2014.

Kerap menepis keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S yang dilontarkan sejawatnya, Maulwi Saelan bukan hanya penjaga fisik Sukarno tapi juga nama baiknya.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO

PEKIK merdeka menggema di auditorium Museum Nasional, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2014. Maulwi Saelan (88 tahun), mantan wakil komandan pasukan pengawal presiden, Tjakrabirawa, mengumandangkannya sesaat sebelum memberi sambutan acara peluncuran dan diskusi biografinya, Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno.

Sebagai saksi dan pelaku sejarah, Maulwi merasa terpanggil memberi kesaksian dari sebagian kecil sejarah Indonesia, khususnya mengenai Sukarno. Penodaan terhadap nama baik presiden pertama Indonesia itu begitu besar dan terus berlanjut hingga kini akibat sejarah monoversi yang dipaksakan penguasa Orde Baru. “Saya bersedia dan terpanggil untuk menyatakan hitam dan putihnya sejarah, khususnya yang terkait dengan Sukarno,” ujarnya.

Kedekatannya dengan Sukarno bermula ketika Maulwi menjadi wakil komandan Tjakrabirawa pada 1962. Semenjak itu, kata Maulwi, “saya berada sangat dekat dengan presiden Sukarno, baik pada situasi penting dan genting, juga pada hal-hal yang kecil, remeh-temeh, hingga berkelakar.”

Salah satu informasi terpenting adalah detik-detik di sekitar peristiwa G30S. Kala itu, Maulwi mendampingi dan berada dekat dengan Sukarno. Menurutnya, pernyataan Kolonel KKO Bambang Widjanarko bahwa Sukarno terlibat dan menginstruksikan Letkol Untung untuk menindak para jenderal tidak loyal adalah tidak benar. Pada 4 Agustus 1965 pagi di serambi belakang Istana Merdeka, Sukarno menderita sakit, sehingga tidak mungkin ada pertemuan dengan Untung. Lagipula, Untung hanyalah komandan batalion. “Tidak mungkin dia bisa begitu saja bertemu presiden,” ujarnya.

Sejarawan Anhar Gonggong menanggapi perbedaan keterangan dua orang terdekat Sukarno itu. Persoalan yang mesti diingat, menurutnya, adalah tentang rasio dan background ketika keterangan itu diberikan. Ada kondisi-kondisi tertentu yang harus dipahami ketika keduanya memberi keterangan. “Saya khawatir bahwa Widjanarko berada dalam tekanan, sebab kondisinya tidak memungkinkanya untuk tidak mengatakan itu. Bila dia tidak mengatakan itu (keterangan yang diinginkan rezim Orde Baru –red), boleh jadi dia dipenjara. Faktor itulah yang harus diperhitungkan,” ujar Anhar.

Faktor psikis pula yang menjadi sorotan Bonnie Triyana, sejarawan sekaligus penulis biografi Maulwi Saelan. Menurut pemimpin redaksi majalah Historia ini, Bambang Widjanarko, Maulwi Saelan, dan Moh. Sabur (komandan Tjakrabirawa) sama-sama diinterogasi Team Pemeriksa Pusat (Teperpu). Perbedaan faktor psikologi di antara ketiganya dan down mental akibat interogasi dan paksaan menghasilkan keterangan yang berbeda. Widjanarko memberikan keterangan yang sesuai keinginan penguasa, yakni menyatakan Sukarno mengetahui dan merestui penculikan para jenderal. Sedangkan Maulwi memberikan keterangan yang jelas tak dikehendaki penguasa sehingga dia dipenjara.

Selepas bebas dari penjara, Maulwi sempat mengajak bertemu Bambang Widjanarko guna mengoreksi cerita keterlibatan Sukarno pada peristiwa G30S. Namun, hingga akhir hayatnya, Bambang tak pernah memenuhi janjinya untuk bertemu Maulwi.

Sejarawan Asvi Warman Adam berpendapat, Maulwi menepis anggapan miring bahkan tuduhan keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S. Selain mengkonfirmasi dan membantah adanya pertemuan pada 4 Agustus 1965, Maulwi juga membantah informasi adanya penyerahan secarik kertas dari Untung kepada Sukarno yang dibawa Sogol, anggota Tjakrabirawa bagian hygiene, di malam 30 September dan dibaca Sukarno di toilet. Bantahan-bantahan itu membuat “Maulwi tak hanya menjaga fisik Bung Karno, tetapi juga menjaga nama baik Sukarno dalam urusan sejarah,” ujar Asvi.

Asvi melanjutkan, peran Maulwi sebagai “penjaga” telah berjalan sejak Indonesia berdiri. Dia seorang penjaga revolusi karena ikut dalam perang kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, hingga Yogyakarta. Saat perhelatan Olimpiade Melbourne 1956, dia tampil sebagai penjaga gawang sekaligus kapten timnas Indonesia saat mengadapi Uni Soviet. Peran penjaga itu berlanjut ketika dia menjaga presiden Sukarno saat bertugas di Resimen Tjakrabirawa. Dan terakhir, dia aktif sebagai penjaga pendidikan dengan mendirikan sekolah al-Azhar Syifa Budi.

Kebocoran Dokumen Mulai Gilchrist Sampai WikiLeaks


Kebocoran dokumen rahasia selalu membuat gusar penguasa. Baik dulu maupun sekarang.
OLEH: BONNIE TRIYANA

ETHAN Hunt menerima pesan yang dibungkus dalam sebuah mortir tanpa hulu ledak yang ditembakkan beberapa meter di depannya. Sebuah kacamata hitam yang tersimpan dalam selongsong mortir dipakainya untuk membaca instruksi misi rahasia yang harus dilakukan Hunt. Di akhir pesan, Hunt diminta untuk menjaga kerahasiaan misinya. Kalau bocor, Kementerian Luar Negeri akan menyangkal semua aksinya.
Cuplikan adegan itu diambil dari film Mission Impossible I (1996) di mana aktor Tom Cruise memerankan jadi Ethan Hunt, agen rahasia andalan dinas intelijen Amerika Serikat (AS). Sebagaimana judul filmnya, misi Ethan Hunt selalu berakhir sukses dan tak pernah mendapatkan penyangkalan dari Kementerian Luar Negeri AS.

Hal yang dipertontonkan dalam film itu sebetulnya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi belakangan ini, terutama soal penyangkalan informasi yang termuat di dalam data intelijen yang dibocorkan oleh WikiLeaks. Seperti diberitakan oleh koran The Age dan Sydney Morning Herald, WikiLeaks menguak penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Para petinggi Indonesia ramai-ramai membantahnya. Bahkan Presiden SBY pun pada 14 Maret 2011 secara resmi meminta agar media dan masyarakat menghentikan semua polemik tentang WikiLeaks. “Tidak perlu kita terus menerus ikut dalam kegaduhan ini. Banyak yang lebih penting soalnya,” kata SBY seperti dikutip dari laman berita Vivanews.com.

Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS sendiri tak pernah secara resmi menyampaikan penyangkalan atas informasi yang termuat di dalam data yang dibocorkan oleh WikiLeaks kepada dua koran besar di Australia itu. Alih-alih menyangkal isi dokumen, Duta Besar AS Scot Marciel malah memberikan keterangan bagaimana mereka mendapatkan informasi. “Tak hanya pejabat pemerintah setempat, tapi juga cendekiawan, jurnalis, politisi, masyarakat awam dan lain-lain. Kami berbicara dan bertukar pikiran atas segala hal yang menjadi perhatian masing-masing pihak,” kata Marciel, beberapa waktu lalu seperti dikutip dari Vivanews.com.

Kontroversi kebocoran informasi intelijen ini bukanlah yang pertama dalam sejarah di Indonesia. Pada 16 September 1963 sejumlah massa yang mendemo dukungan Inggris terhadap Federasi Malaysia (Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak) menyerbu Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Mereka mengobrak-abrik dan menjarah kedutaan Inggris yang terletak tak jauh dari Bundaran Hotel Indonesia itu. Pada saat itulah ditemukan dokumen yang memuat informasi strategis hasil kajian Kedubes Inggris di Jakarta tentang friksi internal Angkatan Darat.

“Tetapi, paling mengejutkan, Kartono Kadri dan Rubijono menemukan analisis pribadi dari Dubes Sir Andrew Gilchrist, “...posisi Presiden Soekarno sekarang bagaikan tikus terpojok,” tulis Julius Pour dalam bukunya, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang.

Kartono Kadri adalah petinggi di Badan Pusat Intelijen (BPI) sedangkan Rubijono yang disebut oleh Julius Pour adalah Rubijono Kertapati, dokter pribadi Presiden Sukarno. Temuan itu mereka laporkan kepada Perdana Menteri I Djuanda Kartawidjaja, namun dia tak melaporkannya pada Presiden Sukarno karena khawatir presiden marah.

Pada Mei 1965 sejumlah anggota Pemuda Rakyat yang menyerbu vila milik Bill Palmer, distributor film Amerika di Puncak, Bogor, Jawa Barat yang diduga jadi mata-mata CIA.  Saat itu para pemuda juga menemukan dokumen yang  memuat telegram rahasia Sir Andrew Gilchrist kepada atasannya di Kementerian Luar Negeri Inggris tentang kemungkinan kerjasama antara Inggris dengan Angkatan Darat Indonesia (Our local Army friends) serta rencana gabungan Inggris-AS untuk mengintervensi Indonesia. Dokumen itu kemudian dikenal sebagai “Dokumen Gilchrist”.

Dokumen terakhir menyingkapkan keterlibatan segelintir perwira Angkatan Darat yang dianggap tak loyal kepada Presiden Sukarno dalam soal konfrontasi dengan Malaysia. Dokumen yang sempat diragukan keasliannya itu dilaporkan oleh Kepala BPI Soebandrio kepada Presiden Sukarno. Presiden Sukarno panik dan memanggil seluruh panglima angkatan. Dalam pertemuan itu seluruh pimpinan angkatan menyangkal tuduhan yang disebutkan dalam dokumen Gilchrist.

Seiring waktu, isu itu menggelinding bak bola liar dan memunculkan dugaan adanya Dewan Jenderal yang berencana mengudeta Presiden Sukarno. Situasi politik pun semakin memanas dan kemudian berujung pada peristiwa G.30.S/1965. Sukarno disebut-sebut akan dikudeta pun terjungkal dari kursi kepresidenannya. Secara perlahan Soeharto mengambilalih kekuasaan sampai akhirnya diangkat sebagai presiden definitif pada 27 Maret 1968.

Pada saat Dokumen Gilchrist itu ditemukan dan menjadi bahan pemberitaan di media massa, tak sedikit orang yang meragukan keaslian informasi di dalamnya. Sejumlah keraguan muncul karena susunan tata bahasa Inggris yang digunakan dalam dokumen itu tak mencerminkan gaya bahasa seorang diplomat Inggris. Bahkan Soebandrio sendiri sempat meragukan validitas dokumen tersebut dan meminta Kepala Staff BPI Soetarto untuk membandingkan jenis kertas dokumen dengan kertas yang biasa digunakan oleh Kedubes Inggris.

Tapi sejarah punya cerita lain. Dokumen Gilchrist yang menyebutkan adanya kerjasama beberapa perwira Angkatan Darat dengan pihak Inggris dalam urusan konfrontasi Malaysia itu kelak terbukti dengan adanya fakta bahwa perwira tinggi di Angkatan Darat tak berminat menjalankan instruksi Sukarno secara serius. Jamie Mackie dalam bukunya, Konfrontasi: The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966 menulis tentang kekhawatiran Brigjend. Supardjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, yang merasa ada upaya sabotase dalam operasi itu untuk tak meningkatkan eskalasi konflik dengan pihak Malaysia.

Dugaan adanya upaya kudeta dari segelintir perwira Angkatan Darat terhadap Sukarno, bila merujuk pada apa yang terjadi, pun terbukti di kemudian hari. Struktur kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto, sebagaimana digambarkan oleh David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983, hampir sepenuhnya didominasi oleh para jenderal. Usaha untuk mengambilalih kekuasaan lewat penyingkiran kekuatan politik pendukung Sukarno, seperti PKI, dengan sendirinya “terkesan” membenarkan apa yang pernah disebut-sebut dalam dokumen itu. 

Dugaan keterlibatan asing dalam penggulingan kekuasaan Sukarno semakin menguat ketika pada April 2001 pemerintah AS memublikasi dokumen Departemen Luar Negeri AS yang selama 30 tahun lebih dirahasiakan. Dokumen itu menguak peran AS pada periode transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Uniknya dokumen yang sempat terpublikasi lewat situs resmi National Security Archieve itu tiba-tiba ditarik kembali atas campur tangan CIA begitu Megawati Sukarnoputri dilantik menjadi Presiden Indonesia akhir Juli 2001. Kabarnya Pemerintah AS tak enak pada Megawati dan khawatir relasi Indonesia-Amerika akan terganggu.

Namun dokumen bertajuk Foreign Relations of the United States (FRUS) 1964-1968: Indonesia, Malaysia, Singapore, Philippines, Volume XXVI itu terlanjur tersebar luas. Bahkan penerbit Hasta Mitra menerjemahkannya dan menerbitkan bundel dokumen itu dengan judul yang provokatif: Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965 dengan kata pengantar dari Joesoef Isak, wartawan yang pernah ditahan Pemerintah Soeharto selama sepuluh tahun tanpa pengadilan. Tidak ada penyangkalan dari pihak pemerintah Amerika atas informasi yang terdapat di dalam dokumen-dokumen itu, kecuali beberapa bagian yang mereka hitamkan, menunjukkan tingkat kerahasiaan informasi.

Dari dokumen itu juga Tim Weiner menulis buku Legacy of Ashes: A History of CIA yang sempat menghebohkan publik di Indonesia pada pengujung 2008 karena menyebut-nyebut nama Adam Malik sebagai agen CIA di Indonesia. Banyak tokoh membantah tulisan Tim Weiner, termasuk Jusuf Kalla yang saat itu masih menjabat wakil presiden.

Pemerintah AS sendiri memiliki peraturan untuk membolehkan dibukanya arsip-arsip penting (dan rahasia) setelah berumur 30 tahun (declassified). Arsip-arsip itu dianggap telah bersifat statis karena peristiwanya sudah lama berlalu dan sebagian besar orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu sudah meninggal dunia. Sementara itu arsip yang masih bersifat dinamis, di mana proses dan kontinuitas peristiwanya masih berlanjut, diberi label Top Secret dan tak mungkin dibuka untuk umum. Masuk akal bila sekarang, saat WikiLeaks membocorkan dokumen-dokumen rahasia milik Pemerintah AS yang masih bersifat dinamis, ada upaya untuk menutupinya.

Seperti sebuah gosip, informasi intelijen yang dibocorkan oleh WikiLeaks itu terletak di wilayah abu-abu. “Informasi itu bisa disebut sebagai hoax (isapan jempol-red) kalau sudah terbukti bohong. Tapi yang sekarang terjadi adalah tak ada pihak yang bisa membuktikan kalau itu bohong atau benar adanya,” kata antropolog LIPI Dr. Fadjar Ibnu Thufail.

Peran Tionghoa dalam Kemiliteran

Leo Wenas, seorang Tionghoa veteran pertempuran Surabaya, November 1945. Foto: Iwan Santosa/Repro buku "Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran."

Tionghoa identik dengan perekonomian. Namun, ternyata mereka juga berkiprah dalam kemiliteran.
OLEH: ARYONO

SEJARAH Indonesia dibentuk oleh berbagai tokoh dari berbagai latarbelakang, termasuk warga Tionghoa. Namun, penulisan sejarah oleh orang atau kelompok dengan tujuan tertentu telah menenggelamkan sumbangsih mereka kepada bangsa dan negara.

“Tiga dekade Orde Baru berkuasa telah menyembunyikan peran-peran Tionghoa kepada negara,” kata pengamat militer, Jaleswari Pramodhawardani dalam diskusi buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran karya Iwan “Ong” Santosa, di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat (4/12).

Oleh karena itu, kata Jaleswari, sejarah harus dikritisi karena banyak yang direduksi. Buktinya, buku ini menguak peran-peran Tionghoa dalam kemiliteran yang tidak dimuat dalam buku-buku sejarah. Buku ini menapaktilasi peran Tionghoa, mulai dari zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, kolonial Belanda, revolusi Indonesia, hingga awal Orde Baru (1966-1967), dan sekilas era reformasi.

Tionghoa yang melegenda dalam militer adalah Laksamana Muda John Lie. Dia menjadi Pahlawan Nasional pertama dari etnis Tionghoa. Selain dia, masih banyak Tionghoa lainnya yang berkiprah dalam kemiliteran yang termuat dalam buku ini.

Sonny Adrianto, Asintel Kodam Jayakarta, mengatakan bahwa selama Orde Baru, khususnya pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, peran Tionghoa dalam kemiliteran berkurang. “Mungkin akibat stigma negatif bahwa golongan Tionghoa dekat dengan golongan komunis saat peristiwa 1965,” kata Sonny.
Kendati demikian, Sonny, menunjukkan beberapa Tionghoa yang justru memegang posisi strategis di kemiliteran: Teguh Santosa (Tan Tiong Hiem) mantan wakil asisten perencanaan Kasad (1993-1995); Iskandar Kamil (Liem Key Ho) mantan kepala badan pembinaan hukum (1998); Teddy Yusuf (Him Tek Ji) komandan resort militer 131 Manado (1995); dan Bambang Soembodo, asisten logistik kepala staf umum (1996-1999).

Mayjen Gede Sumertha, kepala satuan pengawas Universitas Pertahanan, menyebut nama Surya Margono, seorang muslim Tionghoa asal Kalimantan Barat yang pernah menjadi atase udara di kantor atase pertahanan Indonesia di Tiongkok, yang kemudian berdinas di Kementerian Pertahanan.

Gede sendiri menceritakan pengalamanya ketika masuk Akademi Militer Negara, diasuh oleh dua pengasuh bernama, Hendra dan Totok. “Hendra, seorang Tionghoa dipanggil Acong. Dia pengasuh paling galak dan cerewet. Tetapi anak didiknya berhasil semua,” kenang Gede.

Dalam acara ini, hadir juga seorang tentara Tionghoa, Hendra K. (30 tahun), yang bertugas di Bravo 90 Penanggulangan Teror. Orangtuanya terpaksa menyingkat namanya menjadi Hendra K., karena kalau “Hendra Kho” akan menimbulkan masalah pada masa Orde Baru.

“Saat masa pendidikan dulu, oleh pelatih, saya sering dipanggil Dji Sam Soe. Sebab nomor helm saya 234,” ujar Hendra. Dia masuk tentara karena terispirasi kakeknya yang datang dari Tiongkok sekira tahun 1912-an. “Dan ketika disini, dia juga mengangkat senjata,” kata pria asal Jambi ini.

Dalam sambutannya, Iwan Ong menyatakan, buku yang ditulisnya selama tiga tahun ini bukan tentang kelompok etnis tertentu, dalam hal ini Tionghoa. “Tapi, ini tentang kita. Tentang ke-Indonesia-an,” ujar Iwan.
Hal senada dikemukakan Jaleswari, bahwa buku ini bukan tentang statistik berapa banyak orang Tionghoa berperan dalam kemiliteran. Tetapi yang terpenting, buku ini memberikan pesan akan pentingnya kesetaraan dan kebhinekaan.

Sejarah Korupsi di Indonesia


Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.

Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.

Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.

Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.

Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
Oleh Amin Rahayu, SS

*Penulis adalah Analis informasi llmiah pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – LIPI, Pengajar llmu Sejarah, Sosiologi dan Tata Negara.

Source: http://swaramuslim.net/siyasah/more.php?id=2222_0_6_0_M

Terkait Berita: