Kebocoran dokumen rahasia selalu membuat gusar penguasa. Baik dulu maupun sekarang.
OLEH: BONNIE TRIYANA
ETHAN Hunt
menerima pesan yang dibungkus dalam sebuah mortir tanpa hulu ledak yang
ditembakkan beberapa meter di depannya. Sebuah kacamata hitam yang
tersimpan dalam selongsong mortir dipakainya untuk membaca instruksi
misi rahasia yang harus dilakukan Hunt. Di akhir pesan, Hunt diminta
untuk menjaga kerahasiaan misinya. Kalau bocor, Kementerian Luar Negeri
akan menyangkal semua aksinya.
Cuplikan adegan itu diambil dari film Mission Impossible I
(1996) di mana aktor Tom Cruise memerankan jadi Ethan Hunt, agen
rahasia andalan dinas intelijen Amerika Serikat (AS). Sebagaimana judul
filmnya, misi Ethan Hunt selalu berakhir sukses dan tak pernah
mendapatkan penyangkalan dari Kementerian Luar Negeri AS.
Hal yang dipertontonkan dalam film itu
sebetulnya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi belakangan ini,
terutama soal penyangkalan informasi yang termuat di dalam data
intelijen yang dibocorkan oleh WikiLeaks. Seperti diberitakan oleh koran
The Age dan Sydney Morning Herald, WikiLeaks menguak
penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Para petinggi Indonesia ramai-ramai membantahnya. Bahkan Presiden SBY
pun pada 14 Maret 2011 secara resmi meminta agar media dan masyarakat
menghentikan semua polemik tentang WikiLeaks. “Tidak perlu kita terus
menerus ikut dalam kegaduhan ini. Banyak yang lebih penting soalnya,”
kata SBY seperti dikutip dari laman berita Vivanews.com.
Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS
sendiri tak pernah secara resmi menyampaikan penyangkalan atas
informasi yang termuat di dalam data yang dibocorkan oleh WikiLeaks
kepada dua koran besar di Australia itu. Alih-alih menyangkal isi
dokumen, Duta Besar AS Scot Marciel malah memberikan keterangan
bagaimana mereka mendapatkan informasi. “Tak hanya pejabat pemerintah
setempat, tapi juga cendekiawan, jurnalis, politisi, masyarakat awam dan
lain-lain. Kami berbicara dan bertukar pikiran atas segala hal yang
menjadi perhatian masing-masing pihak,” kata Marciel, beberapa waktu
lalu seperti dikutip dari Vivanews.com.
Kontroversi kebocoran informasi
intelijen ini bukanlah yang pertama dalam sejarah di Indonesia. Pada 16
September 1963 sejumlah massa yang mendemo dukungan Inggris terhadap
Federasi Malaysia (Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak) menyerbu Kedutaan
Besar Inggris di Jakarta. Mereka mengobrak-abrik dan menjarah kedutaan
Inggris yang terletak tak jauh dari Bundaran Hotel Indonesia itu. Pada
saat itulah ditemukan dokumen yang memuat informasi strategis hasil
kajian Kedubes Inggris di Jakarta tentang friksi internal Angkatan
Darat.
“Tetapi, paling mengejutkan, Kartono
Kadri dan Rubijono menemukan analisis pribadi dari Dubes Sir Andrew
Gilchrist, “...posisi Presiden Soekarno sekarang bagaikan tikus
terpojok,” tulis Julius Pour dalam bukunya, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang.
Kartono Kadri adalah petinggi di Badan
Pusat Intelijen (BPI) sedangkan Rubijono yang disebut oleh Julius Pour
adalah Rubijono Kertapati, dokter pribadi Presiden Sukarno. Temuan itu
mereka laporkan kepada Perdana Menteri I Djuanda Kartawidjaja, namun dia
tak melaporkannya pada Presiden Sukarno karena khawatir presiden marah.
Pada Mei 1965 sejumlah anggota Pemuda
Rakyat yang menyerbu vila milik Bill Palmer, distributor film Amerika di
Puncak, Bogor, Jawa Barat yang diduga jadi mata-mata CIA. Saat itu
para pemuda juga menemukan dokumen yang memuat telegram rahasia Sir
Andrew Gilchrist kepada atasannya di Kementerian Luar Negeri Inggris
tentang kemungkinan kerjasama antara Inggris dengan Angkatan Darat
Indonesia (Our local Army friends) serta rencana gabungan Inggris-AS untuk mengintervensi Indonesia. Dokumen itu kemudian dikenal sebagai “Dokumen Gilchrist”.
Dokumen terakhir menyingkapkan
keterlibatan segelintir perwira Angkatan Darat yang dianggap tak loyal
kepada Presiden Sukarno dalam soal konfrontasi dengan Malaysia. Dokumen
yang sempat diragukan keasliannya itu dilaporkan oleh Kepala BPI
Soebandrio kepada Presiden Sukarno. Presiden Sukarno panik dan memanggil
seluruh panglima angkatan. Dalam pertemuan itu seluruh pimpinan
angkatan menyangkal tuduhan yang disebutkan dalam dokumen Gilchrist.
Seiring waktu, isu itu menggelinding bak
bola liar dan memunculkan dugaan adanya Dewan Jenderal yang berencana
mengudeta Presiden Sukarno. Situasi politik pun semakin memanas dan
kemudian berujung pada peristiwa G.30.S/1965. Sukarno disebut-sebut akan
dikudeta pun terjungkal dari kursi kepresidenannya. Secara perlahan
Soeharto mengambilalih kekuasaan sampai akhirnya diangkat sebagai
presiden definitif pada 27 Maret 1968.
Pada saat Dokumen Gilchrist itu
ditemukan dan menjadi bahan pemberitaan di media massa, tak sedikit
orang yang meragukan keaslian informasi di dalamnya. Sejumlah keraguan
muncul karena susunan tata bahasa Inggris yang digunakan dalam dokumen
itu tak mencerminkan gaya bahasa seorang diplomat Inggris. Bahkan
Soebandrio sendiri sempat meragukan validitas dokumen tersebut dan
meminta Kepala Staff BPI Soetarto untuk membandingkan jenis kertas
dokumen dengan kertas yang biasa digunakan oleh Kedubes Inggris.
Tapi sejarah punya cerita lain. Dokumen
Gilchrist yang menyebutkan adanya kerjasama beberapa perwira Angkatan
Darat dengan pihak Inggris dalam urusan konfrontasi Malaysia itu kelak
terbukti dengan adanya fakta bahwa perwira tinggi di Angkatan Darat tak
berminat menjalankan instruksi Sukarno secara serius. Jamie Mackie dalam
bukunya, Konfrontasi: The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966
menulis tentang kekhawatiran Brigjend. Supardjo, komandan pasukan di
Kalimantan Barat, yang merasa ada upaya sabotase dalam operasi itu untuk
tak meningkatkan eskalasi konflik dengan pihak Malaysia.
Dugaan adanya upaya kudeta dari
segelintir perwira Angkatan Darat terhadap Sukarno, bila merujuk pada
apa yang terjadi, pun terbukti di kemudian hari. Struktur kekuasaan Orde
Baru di bawah Soeharto, sebagaimana digambarkan oleh David Jenkins
dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983,
hampir sepenuhnya didominasi oleh para jenderal. Usaha untuk
mengambilalih kekuasaan lewat penyingkiran kekuatan politik pendukung
Sukarno, seperti PKI, dengan sendirinya “terkesan” membenarkan apa yang
pernah disebut-sebut dalam dokumen itu.
Dugaan keterlibatan asing dalam
penggulingan kekuasaan Sukarno semakin menguat ketika pada April 2001
pemerintah AS memublikasi dokumen Departemen Luar Negeri AS yang selama
30 tahun lebih dirahasiakan. Dokumen itu menguak peran AS pada periode
transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Uniknya dokumen yang sempat
terpublikasi lewat situs resmi National Security Archieve itu tiba-tiba
ditarik kembali atas campur tangan CIA begitu Megawati Sukarnoputri
dilantik menjadi Presiden Indonesia akhir Juli 2001. Kabarnya Pemerintah
AS tak enak pada Megawati dan khawatir relasi Indonesia-Amerika akan
terganggu.
Namun dokumen bertajuk Foreign Relations of the United States (FRUS) 1964-1968: Indonesia, Malaysia, Singapore, Philippines, Volume XXVI itu
terlanjur tersebar luas. Bahkan penerbit Hasta Mitra menerjemahkannya
dan menerbitkan bundel dokumen itu dengan judul yang provokatif: Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965 dengan kata pengantar dari Joesoef Isak, wartawan yang pernah ditahan Pemerintah Soeharto selama sepuluh tahun tanpa pengadilan.
Tidak ada penyangkalan dari pihak pemerintah Amerika atas informasi
yang terdapat di dalam dokumen-dokumen itu, kecuali beberapa bagian yang
mereka hitamkan, menunjukkan tingkat kerahasiaan informasi.
Dari dokumen itu juga Tim Weiner menulis buku Legacy of Ashes: A History of CIA
yang sempat menghebohkan publik di Indonesia pada pengujung 2008 karena
menyebut-nyebut nama Adam Malik sebagai agen CIA di Indonesia. Banyak
tokoh membantah tulisan Tim Weiner, termasuk Jusuf Kalla yang saat itu
masih menjabat wakil presiden.
Pemerintah AS sendiri memiliki peraturan
untuk membolehkan dibukanya arsip-arsip penting (dan rahasia) setelah
berumur 30 tahun (declassified). Arsip-arsip itu dianggap telah
bersifat statis karena peristiwanya sudah lama berlalu dan sebagian
besar orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu sudah meninggal
dunia. Sementara itu arsip yang masih bersifat dinamis, di mana proses
dan kontinuitas peristiwanya masih berlanjut, diberi label Top Secret
dan tak mungkin dibuka untuk umum. Masuk akal bila sekarang, saat
WikiLeaks membocorkan dokumen-dokumen rahasia milik Pemerintah AS yang
masih bersifat dinamis, ada upaya untuk menutupinya.
Seperti sebuah gosip, informasi
intelijen yang dibocorkan oleh WikiLeaks itu terletak di wilayah
abu-abu. “Informasi itu bisa disebut sebagai hoax (isapan jempol-red)
kalau sudah terbukti bohong. Tapi yang sekarang terjadi adalah tak ada
pihak yang bisa membuktikan kalau itu bohong atau benar adanya,” kata
antropolog LIPI Dr. Fadjar Ibnu Thufail.