Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Bangsa. Show all posts
Showing posts with label Bangsa. Show all posts

Peran Tionghoa dalam Kemiliteran

Leo Wenas, seorang Tionghoa veteran pertempuran Surabaya, November 1945. Foto: Iwan Santosa/Repro buku "Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran."

Tionghoa identik dengan perekonomian. Namun, ternyata mereka juga berkiprah dalam kemiliteran.
OLEH: ARYONO

SEJARAH Indonesia dibentuk oleh berbagai tokoh dari berbagai latarbelakang, termasuk warga Tionghoa. Namun, penulisan sejarah oleh orang atau kelompok dengan tujuan tertentu telah menenggelamkan sumbangsih mereka kepada bangsa dan negara.

“Tiga dekade Orde Baru berkuasa telah menyembunyikan peran-peran Tionghoa kepada negara,” kata pengamat militer, Jaleswari Pramodhawardani dalam diskusi buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran karya Iwan “Ong” Santosa, di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat (4/12).

Oleh karena itu, kata Jaleswari, sejarah harus dikritisi karena banyak yang direduksi. Buktinya, buku ini menguak peran-peran Tionghoa dalam kemiliteran yang tidak dimuat dalam buku-buku sejarah. Buku ini menapaktilasi peran Tionghoa, mulai dari zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, kolonial Belanda, revolusi Indonesia, hingga awal Orde Baru (1966-1967), dan sekilas era reformasi.

Tionghoa yang melegenda dalam militer adalah Laksamana Muda John Lie. Dia menjadi Pahlawan Nasional pertama dari etnis Tionghoa. Selain dia, masih banyak Tionghoa lainnya yang berkiprah dalam kemiliteran yang termuat dalam buku ini.

Sonny Adrianto, Asintel Kodam Jayakarta, mengatakan bahwa selama Orde Baru, khususnya pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, peran Tionghoa dalam kemiliteran berkurang. “Mungkin akibat stigma negatif bahwa golongan Tionghoa dekat dengan golongan komunis saat peristiwa 1965,” kata Sonny.
Kendati demikian, Sonny, menunjukkan beberapa Tionghoa yang justru memegang posisi strategis di kemiliteran: Teguh Santosa (Tan Tiong Hiem) mantan wakil asisten perencanaan Kasad (1993-1995); Iskandar Kamil (Liem Key Ho) mantan kepala badan pembinaan hukum (1998); Teddy Yusuf (Him Tek Ji) komandan resort militer 131 Manado (1995); dan Bambang Soembodo, asisten logistik kepala staf umum (1996-1999).

Mayjen Gede Sumertha, kepala satuan pengawas Universitas Pertahanan, menyebut nama Surya Margono, seorang muslim Tionghoa asal Kalimantan Barat yang pernah menjadi atase udara di kantor atase pertahanan Indonesia di Tiongkok, yang kemudian berdinas di Kementerian Pertahanan.

Gede sendiri menceritakan pengalamanya ketika masuk Akademi Militer Negara, diasuh oleh dua pengasuh bernama, Hendra dan Totok. “Hendra, seorang Tionghoa dipanggil Acong. Dia pengasuh paling galak dan cerewet. Tetapi anak didiknya berhasil semua,” kenang Gede.

Dalam acara ini, hadir juga seorang tentara Tionghoa, Hendra K. (30 tahun), yang bertugas di Bravo 90 Penanggulangan Teror. Orangtuanya terpaksa menyingkat namanya menjadi Hendra K., karena kalau “Hendra Kho” akan menimbulkan masalah pada masa Orde Baru.

“Saat masa pendidikan dulu, oleh pelatih, saya sering dipanggil Dji Sam Soe. Sebab nomor helm saya 234,” ujar Hendra. Dia masuk tentara karena terispirasi kakeknya yang datang dari Tiongkok sekira tahun 1912-an. “Dan ketika disini, dia juga mengangkat senjata,” kata pria asal Jambi ini.

Dalam sambutannya, Iwan Ong menyatakan, buku yang ditulisnya selama tiga tahun ini bukan tentang kelompok etnis tertentu, dalam hal ini Tionghoa. “Tapi, ini tentang kita. Tentang ke-Indonesia-an,” ujar Iwan.
Hal senada dikemukakan Jaleswari, bahwa buku ini bukan tentang statistik berapa banyak orang Tionghoa berperan dalam kemiliteran. Tetapi yang terpenting, buku ini memberikan pesan akan pentingnya kesetaraan dan kebhinekaan.

Zionis, Perampas Warisan Sejarah Sebuah Bangsa


Pemimpin rezim Zionis, Reuven Rivlin mengkritik pengesahan RUU oleh Knesset yang secara resmi menetapkan Israel sebagai "Negara Yahudi." Dia menyebut langkah itu tidak urgen. Berbicara dalam sebuah konferensi di pelabuhan selatan Eilat, Rivlin keberatan jika warga Arab yang tinggal di wilayah pendudukan Palestina disebut sebagai kelompok minoritas. Dia mengatakan, "Etnis Arab mencakup seperempat dari jumlah pelajar di Sekolah Dasar dan mereka membentuk seperlima masyarakat Zionis." Rivlin menambahkan RUU tersebut tidak akan memperkuat karakter "Negara Yahudi," tapi justru akan melemahkannya.

Rivlin kemudian menyinggung pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang selalu menekankan bahwa RUU tersebut untuk menggagalkan upaya masyarakat internasional yang ingin menghapus karakter "Negara Yahudi Israel." Rivlin mengklaim Palestina pendudukan sebagai negara masyarakat Yahudi dan orang-orang yang meragukan masalah itu jumlah mereka sedikit atau mereka pihak yang terkucil.

Berbeda dengan komentar Rivlin dan RUU "Negara Yahudi," struktur masyarakat Palestina senantiasa dibentuk oleh komunitas Muslim, Yahudi, dan Kristen. Akan tetapi, rezim Zionis – melalui berbagai metode tidak manusiawi – berusaha meloloskan program Yahudisasi di Palestina pendudukan. Selain mengusir warga non-Yahudi dari bumi syuhada, rezim Zionis juga mendistorsi fakta sejarah di kawasan. Buku-buku geografi dan sejarah di sekolah-sekolah di Palestina pendudukan membuktikan fakta itu, di mana kebohongan tentang penduduk asli Palestina, struktur masyarakatnya, dan agama mereka telah menggantikan fakta sejarah. Sebagai contoh, kurikulum sekolah mengklaim bahwa rakyat Palestina telah menjual rumah dan tanah mereka kepada Zionis.

Menurut sejumlah informasi, proses perusakan situs-situs kuno di bumi Palestina meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Statistik Dinas Warisan Budaya Palestina mencatat bahwa aktivitas pencurian dan perdagangan peninggalan kuno dan sejarah Palestina naik sejak tahun 2000 dan lebih dari 500 situs kuno telah dijarah. Zionis Israel adalah satu-satunya rezim yang tidak menangkap dan menginterogasi para penadah benda-benda tersebut dan berdasarkan undang-undang Israel, warga Zionis diizinkan untuk memboyong peninggalan-peninggalan kuno ke luar negeri tanpa diperiksa oleh polisi.

Jelas bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan undang-undang internasional tentang pelestarian peninggalan kuno dan UNESCO berkewajiban untuk mengambil sikap tegas terhadap fenomena itu.

Sekjen Liga Arab Nabil Elaraby baru-baru ini dalam sebuah seminar “Palestine in Arabic Documents” di Kairo, mengatakan bahwa Israel telah mencuri 80.000 buku dan manuskrip Palestina sejak 1948. Dia menyerukan upaya untuk mengembalikan arsip sejarah yang dijarah di wilayah Palestina. Menurut Elaraby, kekuatan kolonial mencoba untuk melenyapkan warisan Arab, tetapi Israel mengklaim buku dan dokumen "dikumpulkan" dari rumah-rumah yang ditinggalkan bertujuan untuk "dilestarikan dan dilindungi."

Nabil Elaraby menerangkan bahwa negara-negara Arab menghadapi tantangan serius di fase ini dan itu adalah meningkatnya upaya untuk melenyapkan sejarah dan warisan budaya Arab dan Islam. Menurut televisi Al Jazeera, Zionis telah menjarah lebih dari 30.000 buku dari Yerusalem dan 30.000 lainnya dari Haifa dan Jaffa. Yang jelas dan berdasarkan sejumlah dokumen, puluhan ribu buku dan manuskrip telah dicuri oleh Zionis dan dengan cara ini, mereka ingin melenyapkan sejarah dan budaya bangsa Palestina. Rakyat Palestina – dengan harapan dapat kembali ke tanah air mereka suatu hari nanti – tidak membawa barang-barang seperti buku bersama mereka, namun rezim pendudukan memasuki rumah-rumah mereka dan menjarah seluruh isinya.

Perpustakaan Universitas Pendidikan Bahasa Ibrani saja "mengoleksi" 30.000 buku, surat kabar, dan manuskrip kuno Palestina antara bulan Mei 1948 sampai Februari 1949. Berdasarkan laporan itu, situasi yang sama juga mendera kota-kota lain di Palestina pendudukan dan kebanyakan dokumen-dokumen sejarah sudah dimusnahkan atau dijarah. Seorang dosen di Universitas Ben Gurion, Doktor Gish Amit menemukan buku-buku dan manuskrip Palestina yang sudah dideklasifikasi di perpustakaan tersebut. Tentu saja, warga Palestina tahu harta benda mereka dicuri selama pendudukan, namun tidak satu pun percaya bahwa itu adalah sebuah konspirasi yang disusun sebelum masa pendudukan.

Seorang penulis dan aktivis politik Palestina, Ghada Karmi yang tinggal di Baitul Maqdis sampai tahun 1948, mengisahkan tentang perpustakaan pribadi ayahnya. Dia menuturkan, perpustakaan itu merupakan salah satu harta karun keluarga mereka dan nenek moyang mereka telah mewariskan sejarah Palestina selama bertahun-tahun. Ghada Karmi menambahkan, "Pada masa serangan Zionis, tragedi kemanusiaan dan pembantaian massal terjadi secara luas dan tidak ada orang yang berpikir untuk menyelamatkan buku-buku Palestina. Pada dasarnya, Zionis memiliki skenario agar rakyat Palestina tidak dapat mengklaim kepemilikan tanah air mereka di masa depan dan mereka tidak mengantongi dokumen untuk itu."

Sebuah film dokumenter yang diputar pada tahun 2013 telah menyita perhatian dari kebanyakan kritikus film di dunia. Judul film itu adalah "The Great Book Robbery," sebuah penjarahan besar-besaran dari peninggalan-peninggalan bersejarah Palestina oleh rezim Zionis Israel. Harian al-Akhbar cetakan Lebanon dalam sebuah laporannya terkait film itu menulis, "Film ini memperkenalkan para penjarah raksasa yang mencuri buku-buku milik warga Palestina dari perpustakaan-perpustakaan pribadi mereka dan melarang mereka untuk mempelajari buku-buku itu."

Dalam film "The Great Book Robbery" kita menyaksikan bahwa penjarahan itu dilakukan Zionis secara terorganisir dan terencana dari perpustakaan-perpustakaan pribadi warga Palestina. Militer Zionis melaksanakan program itu di bawah kerjasama Perpustakaan Nasional Israel. Perpustakaan ini merupakan sebuah lembaga Zionis yang dibangun pada tahun 1982 dan mengoleksi buku-buku yang dicuri dari warga Palestina. Dalam film dokumenter ini, Zionis berkata bahwa buku-buku tersebut merupakan pinjaman dan nanti akan dikembalikan kepada pemiliknya!! Tentu saja ketika pemiliknya kembali.

Sejarawan Israel, Ilan Pappe mengidentifikasi dua jenis perampokan buku sejak pendudukan Baitul Maqdis yaitu, individu yang bertindak sendiri dan membawa pulang buku-buku yang mereka jarah, dan penjarah kolektif atau formal yang bertindak atas nama rezim dan mencuri buku-buku warga Palestina untuk Perpustakaan Nasional Israel. Sebuah tim bersama militer Israel mencari dari rumah ke rumah di barat al-Quds dan membawa pulang buku-buku dengan berbagai tema sastra, hukum, tafsir al-Quran, sejarah, filsafat, dan buku-buku terjemahan.

Menurut Ilan Pappe, "Perampokan buku-buku itu merupakan sebuah aksi penjarahan terhadap warisan tertulis Palestina. Ini adalah bagian dari upaya yang disebut orientalisme, yang bertujuan mendistorsi sejarah Islam dan Arab serta merusak citra mereka dan menghapus Palestina dari sejarah."

Lalu, apakah UNESCO – yang sudah menerima keanggotaan Palestina – sudah berkontribusi untuk menyelamatkan warisan budaya dan sejarah Palestina? Atau penerimaan keanggotaan Palestina hanya sebuah aksi simbolis untuk menyelamatkan citra organisasi itu di dunia? Aksi kebungkaman UNESCO tampaknya mempertegas gerakan pencitraan tersebut dan instrumen-instrumen lembaga itu tidak berdaya dalam menghadapi konspirasi dan arogansi rezim Zionis di bumi Palestina. 

(IRIB Indonesia/RM)

Nasib Bangsa


Oleh MUHAMMAD ANIS MAULACHELA.


Seiring dengan bergulirnya revolusi industri pada abad ke-18 M, para kapitalis (pemilik modal) berlomba-lomba membangun perusahaan industri, dari hulu hingga hilir. Tak ayal, nasib perekonomian negara pun berada di tangan mereka. Ketergantungan inilah yang kemudian menjadikan mereka merambah dunia politik. Sehingga, terbentuklah pemerintahan kapitalis, yang kemudian berkembang menjadi korporatokrasi (kekuasaan yang dikendalikan oleh elit politik, pengusaha, dan bank).

Namun pada akhirnya kapitalisme ini tidak hanya bersifat lokal, melainkan dikembangkan secara global. Kaum kapitalis rupanya tidak hanya puas menguasai negaranya, mereka juga ingin menguasai dunia. Mereka berpendapat bahwa ekonomi tidak memiliki batasan teritorial, dan pemerintah tidak semestinya mencampuri urusan pasar. Sehingga muncullah gagasan dan praktik demokrasi pasar, liberalisasi ekonomi, korporasi global, perdagangan bebas, deregulasi ekonomi, privatisasi, hutang luar negeri, globalisasi, dan lain-lain.
Dengan demikian kapitalisme pun bermetamorfosis menjadi neo-liberalisme, sebagai sarana imperialisme baru, di mana negara lain dapat dikuasai melalui penghancuran ekonomi negara tersebut. Amerika, sebagai dedengkot kapitalisme dunia, bahkan memiliki tim khusus perusak ekonomi (EHM/Economic Hit Man) yang berada di bawah koordinasi badan keamanan nasional (NSA/National Security Act). Kerja tim ini adalah dengan menjadikan suatu negara bergantung secara ekonomi dan politik pada Amerika dan Barat melalui hutang luar negeri.

Indonesia sebenarnya telah menjadi korban kapitalisme global atau neo-liberalisme semenjak masa-masa akhir penjajahan fisik Belanda dan Jepang. Sehingga tak heran bila kemudian Amerika justru berupaya agar Belanda dapat menjajah dan berkuasa kembali di Indonesia, demi membendung pengaruh komunisme (di masa perang dingin) dan melindungi kepentingan perusahaan-perusaha an minyak dan karet miliknya. Hal ini tergambar jelas dalam surat Menteri Luar Negeri AS, Byrnes, kepada Dubes AS untuk Inggris, Harriman, pada 12 Juni 1946, “Perlindungan terhadap berbagai kepentingan yang berkaitan dengan minyak di wilayah Palembang, khususnya ladang-ladang minyak, merupakan hal yang amat mendesak, mengingat kaum ekstremis sedang bersiap-siap untuk menghancurkan sumur-sumur minyak dan berbagai instalasi yang berkaitan dengan penyulingan minyak. Sejauh ini Departemen Luar Negeri belum mendapat kejelasan mengenai siapa yang akan melindungi ladang-ladang minyak itu, sementara rencana untuk melindungi kota Palembang tetap meragukan. Berhubung kepentingan Inggris dalam melindungi perusahaan Shell juga melibatkan perlindungan sumur-sumur dan berbagai peralatan yang letaknya tak jauh dari lokasi perusahaan Amerika di Pendopo dan Talang Akar, maka Departemen Luar Negeri berharap bahwa pemerintah Inggris akan mengambil langkah-langkah guna melindungi berbagai aset tersebut.”

Namun pengaruh neo-liberalisme ini mulai sedemikian sangat terasa sejak runtuhnya pemerintahan Orde Lama dan naiknya pemerintahan Orde Baru pada 1967. Indonesia telah menjadi target signifikan bagi kepentingan ekonomi dan politik negara-negara kapitalis. Sebagaimana yang tersirat dalam tulisan Stanley Hornbeck, seorang mantan pejabat luar negeri AS, pada 1948, “Indonesia merupakan rangkaian kepulauan yang paling kaya di dunia. Suatu wilayah yang secara politis, ekonomis, dan strategis amat penting bagi seluruh dunia.”

Globalisasi segera merambah di segala bidang, dari produk pangan hingga sekolah. Mekanisme pasar bebas juga tak ketinggalan mengambil peran. Sehingga untuk kebutuhan gula dan beras sekalipun, kita mesti mengimpor. Ironis sekali untuk sebuah negeri agraris. Lebih dahsyat lagi, perusahan-perusahaa n besar Amerika telah dengan leluasa mengeruk kekayaan alam Indonesia. Ratusan triliun harta publik telah diboyong ke Amerika, melalui persetujuan pemerintah kita yang lebih suka menjadi budak asing dan bermental inlander. Sementara, rakyat hanya bisa menggigit jari sembari berkutat dengan kelaparan, kemiskinan, penyakit, dan kebodohan. Persis seperti yang disinyalir oleh Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontents, “Sistem ekonomi internasional yang saat ini sedang berjalan justru telah membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi ratusan juta penduduk di negara-negara dunia ketiga.”

John Pilger dalam bukunya The New Rulers of the World menceritakan tentang kerja para kartel internasional dalam menghisap negara-negara miskin. Ia berkata, “Di dunia ini, yang tak terlihat oleh sebagian besar dari kami yang hidup di belahan utara adalah cara perampokan canggih, yang telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara untuk masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak 1980-an, yang telah membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Hal ini disebut sebagai Nation Building (pembangunan bangsa) dan Good Governance (pemerintahan yang baik) oleh empat serangkai yang mendominasi World Trade Organisation (Organisasi Perdagangan Dunia) yaitu Amerika, Eropa, Kanada, dan Jepang; serta tiga serangkai Washington yaitu Bank Dunia, IMF, dan Departemen Keuangan Amerika; yang mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari hutang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar 100 juta dolar per hari kepada para kreditur Barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang lebih sedikit dari satu milyar orang menguasai 80% kekayaan seluruh umat manusia.”

Jeffrey Winters dalam bukunya Power in Motion dan Brad Simpson dalam disertasinya yang mempelajari dokumen-dokumen tentang hubungan Indonesia dan Barat, menyatakan, “Pada November 1967, menyusul tertangkapnya hadiah terbesar yang hasilnya lalu dibagi-bagi, The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, seperti David Rockefeller. Sementara, raksasa korporasi Barat diwakili oleh perusahaan-perusaha an minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, dan US Steel. Sementara itu, di seberang meja duduk orang-orang Soeharto, yang oleh Rockefeller disebut sebagai ekonom-ekonom top Indonesia. Di Jenewa, mereka (para ekonom tersebut) juga dikenal dengan sebutan The Berkeley Mafia, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika untuk belajar di Universitas California, Berkeley. Mereka datang sebagai pengemis, yang menyuarakan apa-apa yang diinginkan oleh para majikan yang hadir; serta menyodorkan butir- butir, yang dijual dari negara dan bangsa mereka sendiri.”

Kenaikan harga BBM secara beruntun merupakan salah satu hasil dari praktik neo-liberalisme di Indonesia. Tujuan sebenarnya tak lain hanyalah demi melayani keinginan para kapitalis global. Pemerintah boleh saja mengemukakan berbagai macam dalih, namun sesuai dengan UU Migas No. 22/2001 kenaikan harga BBM tak dapat dipisahkan dari sedang berlangsungnya liberalisasi industri migas di negeri ini. Akibatnya, rakyat mesti membayar BBM dengan harga yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX), berdasarkan ketentuan mekanisme pasar yang diatur dalam UU Migas tersebut. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro sendiri mengakui bahwa tujuan dinaikkannya harga BBM antara lain adalah untuk merangsang masuknya investasi asing ke sektor hilir industri migas di Indonesia. Ia mengatakan, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”

Jelas sekali, karena sejak semula memang diniatkan untuk mengundang masuknya investor asing, maka tidak aneh bila hampir semua aspek perumusan keputusan pemerintah dalam melakukan liberalisasi industri migas dan kenaikan harga BBM sarat oleh campur tangan pihak asing; khususnya Amerika, yang—melalui USAID, ADB (Bank Pembangunan Asia), Bank Dunia, dan perusahaan Price Waterhouse Coopers—telah turut terlibat dalam penyusunan UU Migas, Kelistrikan, dan BUMN.

Oleh karena itu, banyak negara-negara dunia ketiga—khususnya di Asia seperti Iran, India, Cina, Malaysia, dan lain-lain—telah bersikap tegas dengan menolak neo-liberalisme. Bahkan beberapa waktu yang lalu (Januari 2004) berlangsung konferensi internasional menolak korporasi global, yang bertajuk Forum Sosial Dunia (FSD) IV di Mumbay, India.

Aksi penolakan terasa kental mewarnai seluruh penyelenggaraan konferensi ini. Tak satu pun spanduk sponsor dari perusahaan—entah itu bank, hotel, produk pangan, apalagi kosmetik—yang ditemukan. Tak ditemukan pula aneka merek minuman ringan yang biasanya mudah diperoleh di pedagang asongan pinggir jalan. Air minum kemasan dari merek lokal juga tak nampak, apalagi keluaran korporasi internasional. Sebagai gantinya, di berbagai lokasi disediakan keran-keran yang mengalirkan air minum gratis hasil pemurnian dengan cara lokal. Bagi yang enggan minum beramai-ramai dari keran, disediakan stan-stan air yang dimurnikan. Satu liter air dalam botol tanpa merek dijual hanya 10 rupee (sekitar Rp. 2.000,-). Bila telah memiliki botol, tinggal mengisi ulang dengan hanya membayar 3 rupee (sekitar Rp. 600,-).

Semboyan “another world is possible” dalam konferensi tersebut muncul bersama kesadaran terhadap fakta bahwa lokalitas dan kearifan tradisional makin tak memperoleh tempat. Orang tak lagi bangga bila di badannya tidak menempel tas, kacamata, sepatu, dan baju dari merek asing. Orang pun tak lagi mau minum air rebusan, melainkan menggantinya dengan air kemasan atau menyediakan berkaleng-kaleng minuman ringan dalam kulkasnya. Padahal dampak dari semua itu sangat terasa. Di Filipina misalnya, produk minuman ringan dan air minum kemasan telah dimonopoli oleh korporasi internasional. Demikian pula di Thailand, produk minuman lokal menjadi tak laku dan banyak industri dalam negeri gulung tikar. Di India bahkan terdapat organisasi “People’s Forum Against Coca-Cola” (Forum Masyarakat Anti Coca-Cola), yang selama berlangsungnya FSD IV aktif menyelenggarakan lokakarya, konferensi pers, serta mengorganisir massa untuk berdemo dalam memprotes kiprah korporasi global di India. Pasalnya, industri Coca-Cola di India dituding telah menghabiskan cadangan air dan mengkontaminasi sumber air masyarakat di beberapa daerah.

Dengan demikian, sudah saatnya Indonesia mengikuti langkah negara-negara ini, dengan menolak neo-liberalisme serta penjarahan dan intervensi pihak asing dalam sistem perekonomian dan pemerintahannya.

MUHAMMAD ANIS MAULACHELA,
Koordinator Bidang Riset dan Pengembangan, Gerakan Masyarakat Peduli Pilkada dan Pemilu (GMPP)

Terkait Berita: