Mukaddimah.
Permasalahan
yang berhubungan dengan filsafat kehidupan dan tujuan penciptaan
bukanlah hal baru bagi manusia, dan di sepanjang sejarah pada setiap
masyarakat terdapat banyak individu mengkaji tema ini, hal ini nampak
dari perspektif dan amal perbuatan mereka yang beragam. Jawaban yang
memuaskan atas persoalan ini banyak dijumpai dibeberapa karya para
filosof dan pemikir lainnya. Usaha cemerlang dari para filosof Yunani,
pemikir Romawi dan para teolog dari mazhab-mazhab yang besar tentang
penafsiran atas kehidupan hakiki manusia, ini juga merupakan dalil yang
jelas untuk menetapkan bahwa persoalan tersebut telah direnungkan secara
mendalam. Berdasarkan realitas ini, permasalahan tentang filsafat
penciptaan dan tujuan kehidupan dalam konteks sejarah sejalan dengan
peradaban manusia itu sendiri. Meskipun belum terdapat pembahasan
tersendiri secara mendetail yang berhubungan dengan filsafat dan tujuan
penciptaan pada tiga abad terakhir, dan pada masa kini hal tersebut
telah dijadikan tema mandiri dan dikaji secara mendetail dan hangat.
Kehangatan pembahasan tema ini pada zaman moderen karena tidak
tercapainya harapan kemanusian yang diamanatkan kepada ilmu dan
teknologi, walaupun apa yang telah dicapai sekarang ini berada kurang
kebih pada puncak kesempurnaan material, teknologi dan informasi, tetapi
peradaban manusia dari dimensi psikologi dan spiritual mengalami
kemunduran yang luar biasa dimana belum pernah diprediksi oleh manusia
sendiri. Kezaliman, ketidakadilan dan penderitaan umat manusia yang
terjadi pada masa kini jauh lebih buruk dan menakutkan dari apa yang
terjadi pada masa lampau, manusia lebih rendah daripada binatang dan
lebih licik dari iblis.
Kita mengetahui bahwa untuk membahas setiap pokok masalah langkah
pertama yang diambil adalah meneliti dan mengkaji secara tepat substansi
dan latar belakang munculnya tema permasalahan dari semua aspek dan
dimensi. Begitu banyak kritikan dan sanggahan atas pembahasan yang
berhubungan dengan fenomena-fenomena alam keberadaan karena dipengaruhi
oleh faktor ketiadaan pengamatan dan pengkajian yang tepat atas latar
belakang permasalahan.
Oleh karena itu, untuk mengenal dan mengungkap rahasia filsafat
penciptaan dan tujuan hakiki kehidupan manusia maka yang pertama harus
dilakukan adalah mengkaji faktor-faktor dan motivasi-motivasi yang
menyebabkan manusia lebih terdorong untuk memperhatikan dimensi filsafat
penciptaan dan tujuan kehidupannya.
Dalam hal ini, adalah suatu kekeliruan apabila kita memandang bahwa
solusi dari setiap masalah-masalah yang berkaitan dengan esensi manusia
sama dengan kita menarik suatu garis lurus untuk menghubungkan antara
titik awal dan titik akhir. Yang terbaik adalah memaparkan hal-hal yang
substansial dan esensial kemudian mencari solusinya yang tepat. Di bawah
ini akan kami jabarkan secara terperinci berbagai latar belakang dan
alasan-alasan manusia untuk mesti berpaling dan merenungkan kembali
filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.
1. Kehidupan Dunia yang Trasient
Mayoritas manusia ketika memandang aspek ketaklanggengan (transient),
ketidakabadian, dan keterbatasan kehidupan di dunia ini lantas
melahirkan pertanyaan-pertanyaan tentang filsafat penciptaan dan tujuan
kehidupan. Semua kebahagiaan, kenikmatan, dan kebaikan di dunia ini
mesti mengalami kefanaan, kehancuran, dan kepunahan. Tak satupun dari
perkara dan realitas kehidupan yang abadi dan langgeng. Inilah sebuah
kenyataan yang tak satu pun manusia mengingkarinya. Di lubuk hatinya
yang terdalam ia bertanya: Apakah tujuan dan arah kehidupan? Apakah
hakikat penciptaan alam yang tak abadi ini? Apakah makna dan nilai-nilai
kehidupan di dunia ini? Apakah substansi dan esensi kehidupan material
ini? Apakah yang diinginkan dari kehidupan seperti ini? Apakah masa
kanak-kanak harus berakhir dengan masa remaja? Apakah masa remaja mesti
berujung pada masa dewasa dan masa tua? Bukankah setelah semua
penderitaan, kesedihan, dan kemalangan yang di alami manusia di dunia
ini berakhir niscaya beralih pada kebahagiaan, kegembiraan, dan
keberuntungan manusia? Bagaimana dengan segelintir manusia yang selama
hidupnya senantiasa mengalami penderitaan dan kezaliman?
Pada dasarnya manusia senantiasa merindukan kesempurnaan, kebaikan, dan
kebahagiaan hakiki, apabila ia telah mendapatkan apa yang
dicita-citakan, maka mustahil ia menanyakan dan merenungkan kembali
hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hidup, filsafat penciptaan, dan
tujuan kehidupan.
2. Misteri Kematian
Kehidupan setiap manusia, baik yang dijalani dengan penuh kebahagiaan
dan kegembiraan atau dilalui dengan segala penderitaan, kemalangan, dan
kezaliman harus berujung dan berakhir dengan realitas kematian. Kematian
merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri dan mustahil
ditolak oleh semua manusia bahkan oleh setiap makhluk. Seluruh manusia
jujur berkata bahwa satu-satunya kenyataan dalam catatan kehidupan
mereka adalah kematian.
Ketika manusia melihat kehidupannya sendiri, ia mendapatkan
kehidupannya yang harus berujung pada gerbang kematian. Ia lantas
merenung bahwa mengapa kehidupan dunia ini tercipta dan setelah
menjalaninya untuk beberapa waktu lamanya dalam kubangan lumpur
penderitaan mesti berakhir pada kematian? Kenapa tidak dari awalnya
kehidupan alam materi ini dibentuk secara abadi dan berkepanjangan?
Apakah permainan kehidupan ini yang ujungnya adalah kematian mempunyai
arah dan tujuan? Apakah substansi dan esensi kehidupan?
Begitu banyak manusia yang dapat kita saksikan bagaimana dalam
kehidupannya bersikap acuh tak acuh terhadap hakikat dan tujuan
penciptaan, tetapi ketika mendengar atau menyaksikan langsung kematian
salah satu dari keluarga yang dicintainya maka ia seketika tersentak dan
kemudian larut merenungan kembali tentang filsafat penciptaan dan
tujuan kehidupan manusia di dunia ini.
3. Kegagalan dalam Cita-Cita
Pengaruh yang cukup besar dalam upaya mengalihkan manusia untuk kembali
merenungkan tentang tujuan hakiki kehidupan dunia adalah ketika manusia
menghadapi beragam kegagalan dan putus asa dalam menggapai cita-cita
dan keinginan duniawi.
Dalam menjalani kehidupan di alam fana ini manusia diharuskan merancang
cita-citanya yang relatif itu dan kemudian berupaya untuk mencapainya
dengan segala kemampuan yang ada padanya. Tetapi sangat disayangkan,
manusia yang semestinya menjadikan cita-cita yang relatif itu sebagai
perantara meraih tujuan hakiki dan filsafat kehidupan, hanya akan
berpaling kepada cita-cita hakiki ketika mulai terjebak dan tersudut di
pojok kehidupan, putus asa, dan tak mampu lagi berbuat yang terbaik bagi
kehidupan duniawinya.
Point yang perlu juga diperhatikan di sini berhubungan dengan
perenungan kembali persoalan hakikat dan filsafat penciptaan adalah
ketinggian cita-cita seseorang. Sebagai contoh, seorang musafir yang
menentukan tujuan perjalanannya pada wilayah tertentu dalam waktu yang
terbatas. Ketika ia tidak dapat mencapai tujuan perjalanannya itu
terkadang ia merenung sejenak mengenai arti kehidupan dan tujuan manusia
dihamparan kehidupan alam materi ini. Tapi manusia seperti ini, ketika
waktu berlalu dan mendapatkan lagi sebuah keinginan baru yang
menggantikan cita-citanya yang dulu, maka ia kembali lupa dan tidak
menghiraukan lagi tujuan hakikinya yang dulu ia tetapkan. Hal ini
berbeda dengan seorang kaya dan berilmu yang mematok cita-cita duniawi
setinggi langit dan kemudian berupaya di sepanjang umurnya dengan
mengerahkan segala potensi yang dimilikinya dalam mencapai cita-citanya
tersebut. Apabila telah bertahun-tahun lamanya berusaha namun apa yang
dicita-citakannya sama sekali tak kunjung tercapai, ia malah semakin
bangkrut dan akhirnya putus asa. Dalam keputus-asaannya, ia menggugat
peran kekayaan dan keilmuannya yang tidak dapat menafsirkan secara benar
dan bisa mengantarkan kehidupannya kepada apa-apa yang dicita-citakan,
di saat seperti ini, terkadang akan mengarahkan pikiran-jernih dan
menggoyah kesadaran batinnya untuk kembali merenungkan tujuan hakiki
kehidupan dan filsafat penciptaan.
4. Kondisi Kehidupan Sosial yang Tak Menguntungkan
Keadaan kehidupan masyarakat yang sarat dengan problem dan masalah yang
sulit mencari solusi dan pemecahannya merupakan salah satu faktor yang
dapat membuat manusia kembali merenungkan makna kehidupan dan tujuan
penciptaannya.
Seorang miskin yang jauh dari kenikmatan kehidupan duniawi,
kehidupannya dijalani dengan segala penderitaan, usaha keras dan banting
tulang dari pagi hingga malam hari terus mencari sesuap nasi dan
memenuhi segala kebutuhan primernya, orang seperti ini yang hanya
mendapatkan penderitaan dan kemalangan hidup niscaya akan merenungkan
kembali makna dan arti kehidupan. Mengapa kita mesti hadir di dunia ini
sehingga harus menjalani kehidupan dengan penuh penderitaan dan
kemalangan?
Sudah tentu ada diantara orang-orang yang tidak mendapatkan hak-haknya,
tidak berhasil, dan tidak rela dengan keadaan hidupnya di dunia ini
pasti akan melontarkan perkataan tentang arah dan tujuan kehidupan
duniawi. Tapi kalau diperhatikan sejenak, begitu banyak orang-orang
seperti ini bila meraih apa yang dikehendakinya di dunia ini kemungkinan
besar tidak memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan makna dan tujuan
penciptaan, karena mereka sesungguhnya hanya menginginkan perubahan
kondisi kehidupan duniawinya dan lantas menempatkan secara salah
pertanyaan tentang tujuan hidup.
5. Pertanyaan Hakiki tentang Filsafat Penciptaan
Hal-hal yang dikemukakan di atas belumlah menyentuh jawaban hakiki dari
permasalahan tujuan kehidupan dan filsafat penciptaan, mereka yang
mencari jawaban itu pada dasarnya hanyalah bersifat aksidental karena
penderitaan hidup senantiasa meliputi diri mereka. Tapi bagi mereka yang
tidak lagi dipengaruhi oleh watak kehidupan material dan bahkan
menguasai seluruh sendi kehidupan duniawi, memandang kehidupan dunia ini
dan segala realitas keberadaan niscaya akan mendapatkan jawaban hakiki
atas pertanyaan tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan tersebut.
Memandang kehidupan dunia ini secara hakiki, hanya bisa dirahi ketika
manusia lepas dari pengaruh emosional dan kejiwaan yang menimpa
kehidupan dunianya dan melihatnya dengan jiwa yang suci dan perenungan
rasional, dengan demikian ia akan mencapai masalah yang hakiki mengenai
tujuan penciptaan dan jawaban atasnya.
Sesungguhnya jawaban atas masalah tersebut ada dalam jiwa setiap
manusia, tujuan dan filsafat penciptaan tidak terletak di dalam
kehidupan material dan fenomena-fenomena lahiriah seperti makan, minum,
dan tidur serta kecenderungan-kecenderungan alami lainnya.
Apabila
manusia telah puas dengan kehidupan material dan duniawi ini, maka ia
tak lagi mengejar pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana kita datang?
Kenapa kita lahir di dunia ini? Dan hendak kemana kita pergi? Atau
paling tidak jawaban dari pertanyaan ini tidak ditafsirkan dan diarahkan
kepada kehidupan duniawi dan material.
Para
pengikut filsafat nihilisme juga melakukan suatu kesalahan besar,
karena mereka memandang bahwa kehidupan hakiki hanyalah kehidupan
dunia-material. Oleh karena itu, segala hal, termasuk tujuan dan
filsafat penciptaan didasarkan dan ditafsirkan berdasarkan watak
kehidupan duniawi. Mereka menolak tujuan lain selain ini.
Pandangan
yang berlawanan dengan perspektif di atas adalah bahwa kehidupan
dunia-material bukanlah tujuan akhir dan hakiki, mereka beranggapan
bahwa alam itu tidak terbatas pada alam materi saja melainkan terdapat
juga alam akal dan mitsal (barzakh).
Alam-alam ini, walaupun mempunyai tujuan-tujuan sementara, tetapi
secara universal memiliki tujuan akhir dan hakiki. Adalah suatu
kesalahan apabila kita memandang bahwa kumpulan dari tujuan-tujuan
setiap alam itu merupakan tujuan esensial dan hakiki. Tujuan hakiki tak
lain adalah tujuan akhir seluruh penciptaan dan realitas kehidupan.
Manusia dan Filsafat Penciptaan
Manusia sangat memerlukan pemahaman tentang filsafat hidup dan tujuan
penciptaan, karena dengannya ia berbuat dan berprilaku di dunia ini.
Namun sebagian pemikir yang semestinya menfokuskan pikiran-pikirannya
untuk mengarahkan dan membantu umat manusia meraih tujuannya malah
menjadi batu penghalang bagi kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki
manusia. Seringkali kita mendengar sebagian intelektual menyatakan bahwa
dengan keberadaan krisis-krisis yang meliputi dunia sekarang ini tidak
seharusnya waktu kita dihabiskan untuk menggali dan mengetahui filsafat
penciptaan, manusia mestinya memusatkan segenap pemikirannya dalam
bidang ekonomi dan sosial untuk mencari solusi yang terbaik bagi
permasalahan kehidupan ini.
Para pendukung gagasan ini lalai atas suatu hakikat bahwa jika manusia
tidak mengenal substansi filsafat penciptaannya sendiri, maka sangat
banyak problematika yang mustahil dapat terpecahkan. Selain dari itu,
manusia dipaksa oleh hati nuraninya sendiri untuk memahami tujuan
penciptaan dan filsafat kehidupannya, karena tanpa itu ia tidak dapat
menjani kehidupan di alam ini secara sempurna dan bahagia.
Kita mengetahui bahwa apabila manusia tidak memahami filsafat
penciptaannya, maka mustahil ia memiliki suatu ideologi. Walaupun tidak
semua ideologi bisa digolongkan sebagai filsafat penciptaan. Oleh karena
itu, dengan memperhatikan dua premis di bawah ini manusia seharusnya
mengetahui dan menghayati filsafat penciptaan:
1. Manusia niscaya memiliki ideologi dalam kehidupannya.
2. Tidak semua ideologi yang identik dengan filsafat penciptaan.
Untuk memahami lebih jauh permasalahan ini, di bawah ini akan
dijelaskan beberapa hal, antara lain:
1. Pengertian Ideologi
Ideologi adalah segala hal yang diposisikan sebagai pusat
kecenderungan, landasan segala prilaku, dan tujuan semua perbuatan
manusia serta dapat memberikan solusi dan pemecahan terhadap apa yang
berhubungan dengan tealitas kehidupan manusia.
Kecenderungan kepada ideologi terdapat dalam diri manusia, dan pada
kesempatan ini tidak dibahas bahwa apakah kecenderungan ini merupakan
kecenderungan esensial atau aksidental? Dalam hal ini, hanya
diisyaratkan bahwa kecenderungan ideologis hanya ditemukan dalam diri
manusia dan binatang karena tidak memiliki kehendak dan pengetahuan
tidak mempunyai kecenderungan seperti ini.
Ideologi adalah landasan gerak dan perbuatan manusia, dengan ungkapan
lain ideologi merupakan bentuk pilihan dan puncak tujuan manusia. Setiap
manusia akan menjalin komunikasi dan hubungan sosial kemasyarakatan
berdasarkan landasan ideologi yang dianutnya. Kecenderungan kepada
ideologi dari dimensi ini merupakan hal yang penting karena manusia akan
berusaha dan terus bersabar atas segala penderitaan dan kesulitan yang
dihadapinya untuk sampai pada tujuan dan cita-cita ideologisnya. Bahkan
manusia rela mengorbankan jiwa dan harta bendanya untuk membumikan
kecenderungan ideologisnya.
Salah kekhususan ideologi adalah bahwa manusia, sadar atau tak sadar,
membandingkan segala fenomena dan perkara dengannya dan bahkan
menjadikannya sebagai tolok ukur dalam menimbang dan mengkaji
nilai-nilai yang berhubungan dengan realitas kehidupannya. Sebagai
contoh, seseorang yang meletakkan ilmu sebagai nilai penting
kehidupannya, maka manusia yang paling berharga adalah manusia yang
paling banyak ilmu dan pengetahuannya, dalam hal ini tidak dibedakan
bahwa ilmunya bermanfaat bagi kemanusiaan atau tidak. Atau seseorang
yang menempatkan pelayanan terhadap orang lain sebagai ideologinya,
dengan demikian ia akan menilai orang lain sesuai dengan kualitas
pelayanannya kepada manusia, manusia yang paling terhormat dan berharga
dalam pandangannya adalah orang yang khidmatnya pada manusia paling
banyak dan berkualitas.
2. Urgensi Ideologi dalam Kehidupan Individu dan Masyarakat
Dalam pembahasan tentang ideologi, juga dikaji bahwa apakah keberadaan
idealitas memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia ataukah tidak?
Apakah manusia dapat menjalani kehidupannya tanpa menganut suatu
ideologi? Apakah suatu ideologi hanya bermanfaat bagi kehidupan
individual ataukah juga berfaedah untuk kehidupan bermasyarakat? Apakah
faktor internal dan eksternal yang mendasari kemestiaan manusia untuk
menganut suatu ideologi tertentu?
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa urgensi ideologi dalam kehidupan
memiliki dua pengertian, yaitu bisa dipahami sebagai sebab yang
memotivasi manusia untuk memiliki suatu ideologi dan juga bisa
dijabarkan sebagai akibat dari kehidupan yang bertujuan. Contohnya,
ketika kita menyatakan bahwa suatu kehidupan mustahil memiliki nilai
tanpa keberadaan ideologi (urgensi ini digolongkan sebagai sebab dan
dalil atas kemestian ideologi dalam kehidupan), atau dikatakan bahwa
apabila seseorang memiliki ideologi dalam kehidupannya, maka pasti
kehidupannya bermakna dan bertujuan serta tidak bisa terjebak dalam
nihilisme pemikiran dan perbuatan, dengan demikian ia mendapatkan
nilai-nilai baru yang lebih tinggi dan lebih sempurna daripada
nilai-nilai yang dijalaninya secara rutinitas, seperti makan, tidur, dan
pakaian.
a. Nilai Kehidupan Hanya dengan Ideologi
Kehidupan manusia tanpa ideologi akan kehilangan makna dan nilai.
Mayoritas umat manusia yang terperangkap dalam nihilisme dan menganggap
bahwa hidup ini tidak mempunyai tujuan karena mereka belum mendapatkan
suatu penjelasan rasional dari tujuan kehidupan.
Seorang yang tidak memiliki ideologi yang rasional ia pasti akan
merasakan beban yang sangat berat dalam menjalani kehidupan ini. Manusia
yang tidak mempunyai tujuan dalam kehidupannya seperti seorang yang
akan tenggelam di tengah gelombang laut yang besar dan telah putus asa
dengan keselamatannya. Sebuah ideologi dapat memberikan harapan kepada
manusia dan dengan harapan manusia bisa mendapatkan motivasi dalam
kehidupan. Dengan demikian ia bisa menjalani kehidupan ini dengan
pandangan dunia yang baru sehingga tak terjebak lagi dengan
kenikmatan-kenikmatan lahiriah dan bahkan penderitaan yang dialaminya
dipandang sebagai bentuk pelatihan bagi kesempurnaan dan kemapanan
dirinya sendiri. Ia memandang hidup ini dengan perspektif positif, semua
perkara yang terjadi di dunia ini diterima sebagai suatu kemestian
hidup yang mengandung hikmah untuk kebaikan dan kesempurnaan manusia itu
sendiri. Dengan ideologi manusia dapat berkhidmat lebih besar kepada
kemanusiaan.
Hanya dengan ideologi manusia memperoleh nilai-nilai yang lebih tinggi
dari sekedar makan, tidur, pakaian dan bersenang-senang.
Hanya
dengan ideologi manusia dapat meyakini bahwa kehidupan ini bukan
kumpulan dari pengulangan-pengulangan yang mengantarkan manusia kepada
kekosongan, ketiadaan, kefanaan, dan nihilisme. Dan hanya dengan
ideologi detik-detik kehidupan manusia menjadi bernilai dan dapat
memanfaatkan secara benar kesempatan hidupnya di dunia.
Kita
banyak menyaksikan orang-orang yang dengan kesabaran yang tinggi
menjalani kehidupannya yang serba sulit dan penuh penderitaan yang jika
kita analisa, maka kita akan dapatkan bahwa landasan dan napas segala
perbuatan baik, pikiran positif, dan apresiasi yang tinggi terhadap
kehidupan ini tidak lain adalah tujuan dan ideologi itu sendiri. Berbeda
dengan sekelompok manusia yang tidak mempunyai tujuan dan ideologi,
ketika ia berhadapan dengan persoalan dan penderitaan hidup yang
sekalipun kecil ia akan cepat putus asa dan tidak bersabar, terkadang
bunuh diri merupakan jalan keluar yang praktis baginya.
b. Cinta Kesempurnaan Memaksa Manusia Berideologi
Kecenderungan kepada kesempurnaan adalah salah satu faktor internal
yang memotivasi manusia berideologi. Setiap manusia cinta kepada
kesempurnaan dan senantiasa berupaya untuk mengantarkan dirinya kepada
kesempurnaan dengan segenap kemampuannya. Asa dan harapan manusia pada
keadaan hidup yang lebih baik merupakan bukti nyata kecenderungan
manusia pada kesempurnaan. Keinginan dan kecenderungan ini merupakan
sesuatu yang esensial dalam diri manusia, kecenderungan ini mustahil
dipisahkan dari wujud manusia.
Segala upaya manusia disepanjang hidupnya disamping karena kecintaan
kepada dirinya sendiri juga dimotivasi oleh kecenderungan esensialnya
kepada kesempurnaan dan kebahagiaan. Sebagai contoh, seorang siswa yang
belajar di sekolah dasar ingin cepat menyelesaikan pelajarannya dan
melanjutkan sekolahnya ketingkat yang lebih tinggi hingga ke
universitas, kecenderungannya belajar yang lebih tinggi ini tiada lain
karena keinginannya untuk menyempurna dalam keilmuan. Atau seorang
pedagang yang sangat giat dalam usaha perdagangan, ia berusaha
sedemikian rupa agar bisa memperbaiki kondisi kehidupnya menjadi lebih
baik, lebih makmur, dan lebih sempurna dari sisi materi.
Perlu ditekankan di sini bahwa pertama, setiap individu manusia
mempunyai kecenderungan pada kesempurnaan yang berbeda, seperti
kesempurnaan yang diinginkan oleh pedagang akan berbeda dengan
kesempurnaan yang dikehendaki oleh seorang siswa atau intelektual. Dalam
hal ini, memang sangat bergantung kepada pengajaran dan pendidikan,
pandangan dunia, lingkungan sosial, dan tingkat keilmuan, kecerdasan dan
spiritual. Kedua, terdapat beberapa faktor dan sebab sebagai penghalang
manusia dalam mencapai kesempurnaan, seperti seorang mahasiswa yang
ingin melanjutkan kuliah kejenjang doctoral, tapi karena kendala
keuangan akhirnya ia tak bisa meraih cita-citanya.
Kecenderungan kepada kesempurnaan memaksa manusia untuk menentukan
suatu bentuk kesempurnaan, kesempurnaan ini tidak lain adalah ideologi
seseorang yang dengannya ia menjalani kehidupan dan senantiasa berupaya
mencapai kesempurnaan yang dikehendakinya. Setiap individu masing-masing
memiliki ideologi, terkadang ideologi seseorang adalah kekayaan materi,
kekuasaan, ilmu, kecintaan, dan pelayanan kepada sesama manusia. Tak
diragukan bahwa pemihakan seseorang terhadap suatu ideologi tertentu
dikarenakan manusia ingin mengantarkan dirinya kepada kesempurnaan. Dari
sinilah sehingga kita katakan bahwa kecenderungan manusia kepada
kesempurnaan mendorong dan memotivasinya untuk memilih salah satu
ideologi.
c. Ideologi, Unsur Motivator Manusia
Ideologi sebagai faktor penggerak seluruh potensi yang dimiliki
manusia. Manusia mempunyai bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang tak
terbatas dan untuk mengaktualkan potensi-potensi tersebut membutuhkan
sebuah penggerak. Penggerak ini memberikan motivasi dan kekuatan
inspirasi sedemikian kepada manusia sehingga seluruh potensinya menjadi
aktual dan wujudnya menjadi sempurna.
Begitu banyak manusia karena mengadopsi suatu ideologi yang keliru pada
akhirnya mengalami kegagalan dalam menjalani kehidupan dan umurnya
menjadi sia-sia yang selayaknya ia manfaatkan untuk mengaktualkan
potensi-potensinya dan menyempurnakan wujudnya. Orang-orang seperti ini
apabila menemukan suatu ideologi yang benar maka mereka tidak mungkin
mengalami kegagalan dan terjebak dalam rutinitas kehidupan tanpa makna.
Sebagai contoh, apabila seseorang meletakkan ilmu sebagai idealitasnya,
walaupun idealitas ilmu tidak luput dari kekurangan, maka idealitasnya
ini cukup menggerakkan ia untuk berjalan mengaktualkan potensi
keilmuannya sehingga menjadi seorang ilmuwan yang sempurna. Lantas
bagaimana dengan manusia yang menemukan idealitas hidup hakiki (baca:
filsafat penciptaan) dan menjadikannya sebagai pola kehidupan dalam
mengarahkan segenap kemampuannya di jalan aktualisasi potensi dan
penyempurnaan diri.
Konklusinya, pilihan ideologi bisa mengaktualkan potensi-potensi yang
merupakan bahan dasar bagi kesempurnaan wujud manusia.
d. Ideologi, Tolok Ukur Kesempurnaan
Kehidupan manusia berdasarkan mekanisme internal wujudnya sendiri
mengarah kepada kesempurnaan. Dalam esensi kehidupan ada gerak dan
proses, gerakan ini mengarah kepada kesempurnaan.
Apabila manusia memiliki ideologi dan tujuan hidup yang benar dan
rasional, maka kehidupan manusia niscaya akan sampai pada arah dan
tujuan hakiki. Pemihakan manusia terhadap ideologi yang benar akan
memudahkan manusia menentukan mana jalan hidup yang benar karena
ideologi sebagai tolok ukur dan petunjuk kebenaran. Disamping itu,
ideologi juga menunjukkan tujuan dan jalan hidup yang sempurna.
Ideologi bagi manusia sebagai alat banding yang bisa digunakan untuk
menyingkap rahasia diri sendiri dan mengkaji ulang jalan hidup yang
sementara dijalani. Dengan ideologi kita dapat menentukan titik
kekeliruan dan kelemahan jalan hidup manusia, atau menentukan sisi
kesalahan implementasi, aplikasi, titik kegagalan, titik kesempurnaan,
faktor penyebab kegagalan dan keberhasilan, aspek positif perbuatan dan
aspek negatif prilaku, dan kesempurnaan tujuan hidup manusia.
Dalam banyangan ideologi manusia mampu mengetahui dimensi kekurangan-kekurangannya serta bagaimana menyempurnakannya.
e. Ideologi Merupakan Pengontrol Jiwa
Salah satu fenomena penting yang terdapat dalam jiwa manusia adalah
kecenderungan mengambil keuntungan dan manfaat. Berpijak pada
kecenderungan ini, manusia senantiasa mencari keuntungan dan manfaat
bagi dirinya sendiri dan terkadang untuk mewujudkan realitas
kecenderungan itu tak segan-segan merampas hak-hak orang lain dan dengan
serakahnya mengambil harta orang lain tanpa perasaan malu.
Kecenderungan manusia ini yang hadir dalam bentuk dan sifat yang
beraneka ragam, menjadi titik perhatian dan bahan pembicaraan kaum
psikolog dan mereka menamakan fenomena kejiwaan tersebut dengan istilah
yang beragam. Freud, psikolog barat terkenal, menamai fenomena itu
dengan “aku” atau “ia” dan beranggapan bahwa “aku” ini berpijak pada
kenikmatan dan kesenangan, ini berarti bahwa apa saja yang menyebabkan
terwujudnya kesenangan dan kenikmatan untuk manusia maka akan
membangkitkan kecenderungan egonya kemudian menarik “aku” ke arah
kesenangan tersebut. Psikolog lain menyebut fenomena itu dengan “saya
ingin” dan berkeyakinan bahwa keinginan-keinginan atau “saya
ingin”manusia mempunyai daya tarik yang tidak terbatas. Dalam Islam
fenomena ini disebut dengan “menyembah diri”.
Seluruh hukum, undang, dan peraturan tentang hak-hak dan kewajiban
manusia yang tercipta dilatar belakangi untuk mengontrol dan mengatur
keinginan-keinginan jiwa yang tak berhingga itu supaya terwujud hubungan
sosial kemasyarakatan yang adil dan beradab.
Untuk mengatur kecenderungan manusia yang tak terbatas ini, sebagian
menyatakan bahwa dengan perantaraan ilmu kecenderungan itu dapat
terkontrol, yang lain beranggapan bahwa dengan etika dan akhlak hal
tersebut bisa dikendalikan, dan sebagian berkesimpulan bahwa
kecenderungan dan keinginan itu harus dimatikan karena tidak ada metode
lagi yang efektif dapat mengendalikan dan mengaturnya.
Etika, karena pada satu sisi tidak ada jaminan berlaku pada jiwa secara
efektif dan sisi yang lain, etika itu sendiri hanyalah peraturan dan
hukum yang berada di luar jiwa karena itu tidak mempunyai daya kontrol
yang tetap dan esensial pada kecenderungan jiwa manusia. Hal ini juga
berlaku pada hukum-hukum sosial, dimana hukum seperti ini tidak langsung
berhubungan dengan substansi dan esensi jiwa.
Ideologi dalam hal ini merupakan jalan efektif dan fundamental untuk
mengendalikan dan mengatur kecenderungan jiwa manusia, karena sesuai
dengan akal dan tidak mengabaikan hukum etika dan undang-undang sosial
kemasyarakatan. Ideologi menarik manusia ke dalam dirinya sendiri
sehingga bisa melihat hakikatnya yang terdalam, dengan demikian manusia
dapat memandang sisi-sisi kehidupannya yang substansial dan
meletakkannya pada dimensi yang lebih primer serta mendahulukannya di
atas kecenderungan jiwa yang negatif. Hal ini menyebabkan kecenderungan
jiwa yang tak terbatas bisa dikontrol.
Berpihak pada ideologi hakiki menyebabkan manusia mengenal kedudukan
dirinya yang sentral di alam eksistensial ini, pengenalan ini membuat
manusia tidak mengarahkan lagi kekuatan pikiran dan jiwa demi melayani
kecenderungan dan keinginannya yang tak terbatas itu. Dengan ideologi
hakiki manusia dapat lepas dari pengaruh hawa nafsu dan suci dari
keinginan jiwa yang negatif sehingga dapat memusatkan pikiran demi
menggali dan memahami lebih banyak ideloginya sendiri.
Kemampuan dan daya kendali atas kecenderungan jiwa yang tak terbatas
hanya dimiliki oleh suatu ideologi yang hakiki, bukan semua ideologi
yang dianut secara faktual oleh manusia. Misalnya, seseorang yang
meletakkan kekayaan, kekuasaan, atau ketenaran sebagai suatu
ideologinya, maka hal ini bukan hanya dengan ideologi itu ia tidak bisa
mengontrol dan mengendalikan hawa nafsunya bahkan semakin dengan
ideologi itu hawa nafsunya semakin berkembang dan aktif.
f. Ideologi, Mewujudkan Keseimbangan Sosial
Membicarakan keseimbangan – apalagi keseimbangan sosial – akan
mengarahkan pikiran kita pada keseimbangan ekonomi, karena kita sering
menggunakan tolok ukur keseimbangan suatu masyarakat berdasarkan nilai
perdagangan, nilai produksi, ekspor, dan impor. Jadi ketika ideologi
diketengahkan sebagai faktor yang dapat menciptakan suatu keseimbangan
sosial sebagian orang tidak mempercayainya.
Dalam hal ini, bukan kita memungkiri keseimbangan ekonomi suatu
masyarakat, karena tidak satupun manusia berakal meragukan kemestian
memperhatikan masalah-masalah ekonomi suatu negara. Substansi
pembicaraan kita di sini adalah keseimbangan ekonomi dan masalah-masalah
ekonomi suatu masyarakat adalah alat dan bukanlah tujuan. Peradaban dan
budaya suatu masyarakat dikatakan tinggi dan cemerlang ketika memiliki
ideologi. Yakni setiap individu masyarakat berusaha mengarahkan
masyarakatnya demi mencapai tujuan ideologi yang menjadi panutan mereka.
Masyarakat yang tanpa ideologi akan kehilangan nilai karena mereka tak
mengetahui apa keingingan hakiki mereka dan kemana mereka akan pergi.
Peradaban masyarakat ini, cepat atau lambat akan mengalami kejatuhan dan
kehancuran. Begitu banyak peradaban yang secara lahiriah sangat maju,
tapi kalau dilihat secara internal sedang mengalami benturan dan
ketidakharmonisan serta secara perlahan-lahan dan berevolusi menuju
kehancuran, hal ini karena ideologi yang benar tidak bisa teraplikasi
pada seluruh segmen masyarakat, mereka tidak mengetahui keinginan hakiki
dan juga tidak memahami tujuan hidup yang mesti mereka capai.
Gerak suatu masyarakat menuju kesempurnaan bersandar pada ideologi.
Sangat disayangkan sebagian besar sosiolog dalam kajiannya terhadap
kondisi sosial masyarakat tidak memperhatikan dimensi yang mendasar ini
bahwa sejauh mana ideologi berperan dan mesti dianut oleh masyarakat.
Kaum sosiolog ini hanyalah berusaha menyelesaikan permasalahan
masyarakat secara permukaan dan bahkan menjadikan kecenderungan alami
masyarakat itu sebagai tolok ukur yang prinsipil, mereka memandang bahwa
paham sosialisme sebagai way of live bagi kemajuan
infrastruktur dan suprastruktur suatu masyarakat. Sosiolog tidak
menyelami hakikat eksistensial manusia kemudian menawarkan obat
penyembuh bagi segala penyakit kronis yang diderita manusia.
g. Ideologi dan Kedudukan Manusia di Alam Semesta
Pengetahuan manusia akan kedudukannya di alam eksistensial ini
merupakan suatu perkara yang paling urgen dan prinsipil. Manusia
senantiasa ingin mengetahui apa posisi dan kedudukannya di alam semesta
ini, dari mana mereka datang, kemana mereka akan pergi, kenapa hidup di
dunia ini, dan mengapa mesti meninggalkan dunia ini. Jawaban dari
soal-soal ini merupakan kebutuhan substansial manusia.
Untuk memahami semua perkara di atas, manusia memerlukan pandangan
dunia dan ideologi yang benar. Tidak semua ideologi yang berserakan di
dunia ini mampu memberikan solusi yang fundamental atas keseluruhan
persoalan yang dihadapi manusia, dengan demikian selayaknya manusia
bersungguh-sungguh mengkaji ideologi-ideologi yang ada ini dan memilih
salah satu di antaranya yang paling rasional, komprehensif, aplikatif,
proporsional, dan esensial bagi wujudnya.
h. Ideologi dan Persatuan Bangsa-Bangsa
Tak diragukan bahwa penderitaan dan kemalangan akan meliputi dunia ini
apabila tidak terwujud persatuan di antara bangsa-bangsa. Persatuan ini,
bukan hanya dibutuhkan di antara bangsa-bangsa yang ada, tapi juga
diperlukan di antara individu-individu dalam masyarakat atau di antara
individu-individu dalam suatu kelompok. Tan-persatuan ini mustahil semua
persoalan hidup dapat diselesaikan, karena tanpa perwujudan persatuan
setiap individu akan melakukan kecenderungan dan keinginan jiwanya tanpa
memperhatikan apakah kecenderungan mereka ini tidak membuat penderitaan
dan kezaliman bagi orang lain.
Permasalahan di sini adalah bagaimana mewujudkan persatuan di antara
individu-individu dan bangsa-bangsa? Sebagian menyatakan bahwa tanah,
darah, bahasa, dan suku merupakan faktor-faktor pemersatu manusia.
Faktor-faktor ini tidaklah benar, dan alasan yang kuat menolak
unsur-unsur ini tidak lain adalah pengalaman manusia itu sendiri yang
terjadi pada setiap zaman. Kelompok masyarakat yang hidup dalam
lingkungan bahasa, suku, tempat, dan kebangsaan yang sama tak mampu
menyambung tali persatuan hakiki di antara mereka, dan bahkan kita
menyaksikan sendiri bagaimana bangsa-bangsa yang memiliki bahasa yang
sama saling berperang dan menjajah satu sama lain. Dengan demikian,
satu-satunya faktor yang dapat menyatukan individu-individu, suku-suku,
dan bangsa-bangsa adalah ideologi.
Individu-individu masyarakat yang meyakini ideologi yang hakiki pasti
mengarah kepada kesempurnaan, karena ideologi ini disamping melahirkan
persatuan juga terwujud keharmonisan dan kerja sama.
Berdasarkan perspektif di atas, ideologi mampu menggantikan faktor
suku, bahasa dan kebangsaan, karena ideologi mempengaruhi substansi
kejiwaan setiap individu-individu lantas menarik mereka ke arah
persatuan. Tapi ideologi sangatlah tidak efektif dan tidak aplikatif
dengan fenomena-fenomena yang bersifat lahiriah belaka dimana tidak
berhubungan dengan hal-hal yang esensial dan fenomena internal dari
kejiwaan manusia.
3. Ideologi-Ideologi Manusia Sepanjang Sejarah
Manusia tidak bisa melanjutkan kehidupannya tanpa tujuan dan ideologi.
Di sepanjang sejarah manusia menganut ideologi-ideologi dan dengan
perantaraannya manusia menafsirkan sisi kehidupannya. Ideologi-ideologi
penting yang dianut manusia sepanjang sejarah yaitu ilmu, kekayaan,
kekuasaan, ketenaran, cinta, keindahan, dan hedonis.
Di bawah ini kita akan meneliti dan mengkaji ideologi-ideologi di atas
agar bisa menetapkan bahwa ideologi-ideologi tersebut tidak bisa
menjawab pertanyaan hakiki manusia tentang tujuan hidup manusia dan juga
tidak mampu menempatkan manusia pada kedudukan yang sebenarnya dalam
samudra kehidupan di alam yang tak berhingga ini.
a. Ilmu dan Pengetahuan
Sebagian manusia meletakkan ilmu sebagai tujuan hidupnya, dan ketika
mereka mengkaji suatu permasalahan ilmu atau filsafat mereka larut pada
pengkajian itu semata dan tidak menimbang bahwa apakah penemuan ilmu
dapat digunakan sebagai faktor meningkatkan kesempurnaan dan kualitas
hidup manusia. Menurut Mereka observasi semata dibidang keilmuan dan
tidak peduli tentang manfaat ilmu itu bagi kehidupan manusia adalah
tujuan sempurna hidup. Dan mereka menyangka bahwa jika dari pagi hingga
malam larut dalam penelitian hingga menambah kualitas dan kuantitas
ilmu, maka hal ini cukup mengantarkan pada puncak kesempurnaan tanpa
mesti memikirkan sejauh mana aplikasinya bagi kemaslahatan hidup manusia
di alam ini.
Seorang filosof seperti Bertrand Russel berusaha menetapkan bahwa ilmu
dan pengetahuan mengobati semua penyakit kemanusiaan dan mengantarkan
manusia ke puncak kesempurnaan, ilmu sebagai tujuan hakiki kehidupan
manusia dan puncak kebahagiaannya.
Apabila di samping mencari dan menyempurnakan ilmu manusia juga
prihatin pada kemajuan masyarakat dan mencari pemecahan bagi
kesempurnaannya, maka ia tidak dikategorikan sebagai orang yang
meletakkan ilmu sebagai tujuan mutlak kehidupan. Tapi kalau usaha
manusia hanya ingin menambahkan pengetahuannya atau tujuannya agar
karya ilmiahnya tetap abadi tanpa pernah memikirkan solusi bagi
penderitaan yang dialami manusia, orang seperti ini terperangkap dalam
penyakit “ketenaran” dan menjadikan ilmu sebagai alat meraih kemasyhuran
bukan sebagai tujuan hidupnya. Berkaitan dengan ideologi hakiki,
dikatakan bahwa ilmu dan pengetahuan bukanlah tujuan tapi merupakan
jalan, petunjuk prilaku, dan alat untuk memilah dan memilih yang terbaik
dan tersempurna dari realitas kehidupan. Walaupun manusia mempunyai
ilmu yang dengan perantaraannya ia dapat menyelesaikan segala
problematika alam dan manusia, tetapi apabila ia tidak menyempurnakan
dirinya sendiri dengan ilmu yang dimilikinya, maka ia tidak lain adalah
seperti eksiklopedia berjalan.
b. Harta dan Kekayaan
Mayoritas manusia menjadikan kekayaan sebagai ideologinya dan berusaha
dengan segenap kemampuan untuk menggapainya, dan sebagian di antaranya
bukan hanya mengambil hak-hak manusia lain bahkan ia rela mengorbankan
jiwa sendiri untuk mencapai tujuannya.
Kebergantungan yang kuat kepada harta dan kekayaan material akan
menyebabkan menguatnya kecenderungan negatif dari jiwa yang nantinya
akan menjadi penghalang bagi manusia untuk mendapatkan ideologi yang
hakiki. Apabila kekayaan material hanya sekedar wasilah dan bukan tujuan
hidup kita, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Tapi kalau hal itu
adalah tujuan hakiki, maka ia akan sangat bahaya.
Sangat disayangkan sebagian besar manusia tidak mengetahui bahwa
kekayaan material bisa menjadi aspek positif yakni sebagai alat untuk
mencapai tujuan hakiki manusia dan juga dapat menjadi aspek negatif
yaitu diposisikan sebagai ideologi, dan keinginan mereka bukan hanya
sebagai ideologi individu bahkan sebagai ideologi masyarakat.
Salah satu dalil yang menegaskan bahwa kekayaan material tak dapat
ditempatkan sebagai ideologi manusia adalah bahwa keinginan yang
berlebihan kepada kekayaan material membuat manusia lalai terhadap
kecenderungan positif dan keinginan hakiki jiwa manusia. Kecintaan
kepada harta benda menjadikan struktur jiwa dan pikiran manusia tidak
lagi sehat sedemikian sehingga yang terdapat hanyalah bagaimana menambah
dan memperbanyak harta dan kekayaan saja.
Apabila kekayaan material bisa dipandang sebagai suatu ideologi maka
tidak kemestian bagi orang-orang kaya untuk menginginkan hal-hal lain
dalam kehidupannya selain materi, karena kalau orang-orang kaya merasa
bahwa terdapat dimensi-dimensi lain dari kehidupan ini selain dari
dimensi material dan kenikmatan jasmaniah, maka niscaya ia tidak tinggal
diam dan berusaha mencapai dimensi-dimensi tersebut sebagai contoh
disamping ia mempunyai kekayaan material melimpah ia juga berusaha
meraih ilmu, ketenaran, dan kekuasaan.[]
Wujud Bernama Manusia.
Pengenalan Jiwa.
Mukadimah.
Salah satu persoalan yang penting dan urgen untuk mencapai kesempurnaan
akhir dan tujuan penciptaan adalah makrifat dan pengenalan jiwa.
Manusia yang tidak mengenal dirinya dapat dipastikan akan salah dalam
menentukan kesempurnaan insaninya, dan hal ini akan menyebabkannya
menjalani kehidupan di dalam lorong-lorong gelap kejahilan. Oleh karena
itu, pengetahuan terhadap jiwa dan diri sendiri merupakan prinsip yang
paling mendasar untuk kebahagiaan dan keberuntungan manusia.
Urgensi Pengenalan Diri dalam Al-Quran
Allah Swt dalam surah al-Maidah, berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk,
hanya kepada Allah kamu semuanya kembali, Maka Dia akan menerangkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Ayat di atas menyinggung beberapa poin penting berikut:
- Allah Swt berfirman, apabila kamu telah mendapat petunjuk, maka kamu berada di jalan yang benar dan terbimbing;
- Dalam keadaan ini, kesesatan orang-orang di sekitar kalian yang tersesat tidak akan membahayakan kalian;
- Kehidupan
manusia ibarat menempuh suatu jarak perjalanan di sepanjang hidup,
karena kesesatan dan hidayah ada pada setiap perjalanan, maka bisa
dikatakan orang yang mengenal jiwanya di tengah perjalanan, berarti ia
telah memperoleh hidayah tanpa harus mengalami kesesatan. Dalam keadaan
ini, tersesatnya sebagian dari teman seperjalanan tak akan mampu
mengalihkan perhatiannya, karena ia telah menemukan tujuan, mengenal
arah perjalanan, mengetahui akhir perjalanannya, dan yakin akan
memperoleh hasil dari tujuan hidupnya. Dan ibarat ini tak lain adalah
perjalanan jiwa, dimana al-Quran menyinggung hal tersebut dengan
firman-Nya, “Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi
mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Dan yang dimaksud dari menempuh perjalanan di sini adalah tak lain
merupakan perjalanan mengenal jiwa manusia, dan perjalanan semacam ini
merupakan jalan terdekat untuk sampai pada Tuhan, sebuah perjalanan yang
memiliki paling sedikit kesalahan.
Akan
tetapi perjalanan horisontal merupakan lintasan lain yang bisa
digunakan untuk sampai pada tujuan dan kesempurnaan manusia, dimana hal
ini merupakan perjalanan ilmu pada alam kosmos dan mikrokosmos, dan ayat
di atas, menyinggung kedua perjalanan tersebut.
Jadi,
jelaslah bahwa perjalanan jiwa pada hakikatnya merupakan gerak manusia
pada lintasan wujud dirinya yang terjadi dari awal dan akan berlanjut
hingga akhir hayat, yaitu manusia yang melangsungkan kehidupannya di
dunia natural tidak seharusnya tertawan oleh karakteristik materi dan
seumur hidup mengecimpungkan dirinya dalam dunia materi, melainkan dia
harus melangkah dalam lintasannya sendiri untuk mengenal dan menemukan
bumi dan tempat tinggal yang hakiki bagi wujud nya.
Pada ayat di atas dikatakan “Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan (‘alaikum anfusikum) pada diri mereka sendiri
…”, maksud dari ‘alaikum anfusikum tersebut, antara lain:
1. Jangan
sekali-sekali melepaskan diri kalian sendiri, kenalilah jiwa kalian,
karena kesulitan untuk mengenal mutiara berharga ini setara dengan
kesulitan untuk mengenal-Nya, dan adanya keniscayaan antara pengenalan
jiwa dan pengenalan Tuhan merupakan bukti dari pentingnya persoalan ini;
2. Berhati-hatilah
kalian terhadap diri kalian sendiri, supaya kalian mampu menjalankan
kewajiban Ilahi yang seharusnya dan tidak melakukan dosa. Melalui
Nabi-Nya, Allah Swt telah menjelaskan metode untuk menjaga diri dari
jiwa, dan Allah juga telah menentukan seluruh persoalan, manfaat, dan
kerugian manusia serta kewajiban-kewajiban praktisnya. Selain manusia
harus mengamalkan aturan-aturan langit dan program-program Ilahi yang
telah ditentukan, dia juga harus menjaga diri dari bahaya-bahaya dan
kerugian-kerugian jiwa, dan karena merupakan penjaga yang cerdik dan
cermat, seluruh aktivitas jiwa sesaat demi sesaat harus senantiasa
berada di bawah pengawasan untuk kemudian mengarahkannya pada
program-program Ilahi dengan sepenuh keyakinan.
3. Karena
jiwa merupakan salah satu dari eksistensi yang ajaib, rumit, dan
misterius, bahkan paling rumitnya eksistensi yang ada di alam, maka
arahkan jiwa tersebut pada kebesaran, keagungan, dan untuk mengenal
Penciptanya.
Urgensi Pengenalan Jiwa dalam Hadits
Imam Ali As bersabda, “Manusia yang tidak mengetahui jiwanya sendiri, dia akan dilepaskan”,
yaitu baginya tidak ada perbedaan antara hidayah atau kesesatan.
“Seseorang yang tak mengenal dirinya, maka perbuatannya akan mengarah
pada kerusakan”.
“Aku heran kepada orang yang sibuk mencari sesuatu yang hilang darinya,
akan tetapi ketika dia kehilangan dirinya, dia tidak mencarinya dan
tidak berusaha untuk menemukan dirinya kembali”. “Barang siapa tidak mengenal dirinya, dia akan lebih jahil untuk mengenal selainnya”. “Siapa yang tidak mengenal dirinya, berarti dia telah jauh dari jalan keselamatan dan dia akan sesat dan bodoh”. “Paling lemahnya orang, adalah mereka yang menghalangi dirinya untuk memperbaiki diri”. “Barang siapa mengenal dirinya, dia akan lebih mengetahui keadaan selainnya”. “Barang siapa mengenal seluruh hakikat dirinya, maka dia telah memperoleh paling tingginya makrifat dan pengetahuan”. “Siapa yang mengenal dirinya, akan berhadapan dengan Keindahan Sumber Keajaiban”.
“Arif adalah orang yang mengenal dirinya, membebaskan jiwanya dari
ikatan waswas setan dan nafsu amarah, menyingkirkan segala sesuatu yang
akan menjauhkannya dari Tuhan dan akan membersihkan segala sesuatu yang
menyebabkan kehancurannya”.
Jadi
seseorang yang tidak mengenal jiwa, maka dia tidak akan berhasil
membersihkan dan menyempurnakan jiwanya, karena pengenalan jiwa berarti
mengenal kesempurnaan sekaligus mengetahui segala rintangan dan hambatan
dalam pencapaian kesempurnaan, begitu pula, dengan ini ia dapat
mengenal segala keburukan bagi jiwa. Tentunya, pengenalan jiwa juga
bermakna pengetahuan terhadap hakikat jiwa, kedudukan, dan hal-hal yang
menyebabkan kebahagiaan dan kemalangannya. Dan mengenal jiwa membuat
manusia larut dalam kenikmatan akal dan spiritual dan tidak lagi
mengikuti kecenderungan hawa nafsu, bisikan setan, dan penghambaan
kepada selain Tuhan.
Imam Ali bersabda, “Kebodohan yang terbesar adalah kejahilan manusia terhadap persoalan-persoalan jiwanya”.
“Paling baiknya pengetahuan adalah mengenal diri, barang siapa mengenal
dirinya berarti dia mengetahui, dan siapa yang tidak mengenal dirinya
akan berjalan ke arah kesesatan”. “Bagaimana seseorang yang jahil terhadap dirinya bisa mengenal Tuhannya?”. “Barang siapa mampu meliputi seluruh ilmu tentang jiwanya, maka dia akan sampai pada pengenalan dan makrifat Tuhan”.
Harus
diingatkan bahwa makrifat jiwa dan perjalanan jiwa, merupakan
perjalanan yang sangat sulit, dengan alasan inilah mengenai riwayat di
atas sebagian ulama mengatakan, sebagaimana makrifat Tuhan adalah sangat
sulit, makrifat jiwa pun demikian juga, dan kesulitan serta kerumitan
jalan inilah yang telah menyebabkan hanya sedikit orang yang mampu
berjalan di atasnya.
Akan
tetapi makna lain yang bisa disimpulkan dari riwayat ini adalah adanya
kemestian antara pengenalan jiwa dan pengenalan Tuhan.
Lebih lanjut Imam bersabda, “Pengenalan jiwa merupakan pengenalan yang paling bermanfaat”.
Sebagaimana
yang telah kami singgung sebelumnya, tanda-tanda Ilahi, bisa disaksikan
pada dua perjalanan, baik perjalanan kosmos maupun mikrokosmos, akan
tetapi perjalanan yang paling baik dan bermanfaat adalah perjalanan
mikrokosmos atau perjalanan jiwa. Ketika menyaksikan penciptaan alam
tanpa batas yang begitu mengagumkan, manusia tidak saja mampu untuk
tidak melupakan dirinya, bahkan dia juga bisa semakin memahami keajaiban
dan kemisteriusan dunia yang ada di dalam dirinya. Hal inilah yang
lebih baik bagi manusia, yaitu mengenal jiwa dan kapabilitasnya, bukan
mengenal dunia luar dengan sebaik-baiknya akan tetapi jahil terhadap apa
yang ada di dalam dirinya.
“Puncak dari seluruh makrifat adalah makrifat jiwa”, yaitu pada hakikatnya apabila seseorang mampu mengenal dirinya, maka dia telah sampai pada puncak dari berbagai makrifat.
“Seseorang yang tidak mengenal dirinya, bagaimana dia bisa mengenal selainnya?”
“Dalam pengetahuan, cukuplah bagi manusia untuk mengenal dirinya, dan
dalam kejahilan cukup baginya untuk tidak mengenali dan jahil terhadap
dirinya.” “Barang siapa mengenal dirinya, berarti dia telah bersifat spiritual.” Dalam keadaan ini, ia tidak lagi sebagaimana manusia pada umumnya.
Kadangkala
manusia tersungkur sangat jauh ke bawah hingga jiwanya menduduki
predikat, jiwa materi. Ketika jiwa terpenjara di dalam kungkungan tabiat
dan kecenderungan tubuh, dan makan, tidur, syahwat, dan amarah telah
mendominasi dirinya, maka secara bertahap, jiwa yang tadinya non-materi
akan berubah menjadi materi, dan sebaliknya, ketika seseorang
memperhatikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwanya dengan cara yang
benar, dan dia berusaha untuk menggapai derajat malakutinya, di sini
tubuh akan menemukan keadaan yang bersifat spiritual, yaitu seakan tubuh
telah meruhani dan secara sempurna berada di bawah kekuasaan jiwa.
Dengan alasan inilah sehingga kadangkala sebagian individu terlihat
mampu menunjukkan perbuatan-perbuatan yang ajaib, seperti kematian
ikhtiari, lapar dalam waktu lama, dan lain sebagainya. Meskipun bisa
jadi ilmu saat ini, seperti ilmu kedokteran tidak bisa menerima hal-hal
semacam itu, akan tetapi harus diketahui bahwa subyek yang dibahas dalam
ilmu kedokteran adalah tubuh manusia bukan jiwa manusia.
Jadi
sekali lagi, orang yang menemukan makrifat jiwa akan bisa berubah
menjadi realitas spiritual, dimana pada hakikatnya mekanisme materi
tidak lagi mendominasinya.
Setelah tingkatan tersebut, terdapat tingkatan yang lebih tinggi dari non-materi dan pembebasan jiwa (tajarrud) dimana manusia akan menjadi manifestasi dari asma, sifat, dan nama agung Tuhan, sebagaimana Imam as bersabda, “Nahnu asma-ullahu al husna (Kami adalah asma-asma Tuhan)”. Tentang tajarrud ada tiga makna:
- Pembebasan jiwa dari alam materi;
- Pembebasan jiwa dari keterikatan atas manusia lain;
- Pembebasan dari segala sesuatu dengan ikhlas pada-Nya.
“Barang
siapa mengenal dirinya, maka dia akan melawan kecenderungan buruk
jiwanya, dan siapa yang tidak mengenal jiwanya, dia akan memujinya dan
merasa puas dengannya”.
Dari
sini bisa diketahui dengan jelas, apa yang akan terjadi pada manusia
apabila dia jahil terhadap dirinya, dan bagaimana dia bisa menjual
komoditi yang paling agung dan paling berharga dalam alam penciptaan ini
dengan harga yang paling murah?
Imam
Ali as dalam Nahjul Balaghah, bersabda, “Merupakan perdagangan yang
merugikan jika kalian meletakkan harga pada diri kalian lalu
menjualnya.”
Suatu
hari Pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Ali Khamenei dan Imam Khomeini
ra berkata, “Seandainya kunci dunia ini diberikan kepada manusia, hal
ini masih merupakan perkara yang sangat kecil baginya”. Menukilkan
sebuah misal untuk hal ini akan lebih menjelaskan pernyataan tersebut.
Misalnya pada sebuah perpustakaan telah ditemukan sebuah kitab sangat
langka dengan nilainya yang tiada banding dan penulisnya yang handal
menduduki peringkat dunia yang hidup pada masa lalu. Bisa jadi seorang
peneliti yang memiliki spesialisasi dalam bidang tersebut sampai rela
menjual rumahnya untuk membeli kitab tersebut, lalu setelah kitab berada
di tangannya, dia akan menjaga dan menyimpannya seakan-akan merupakan
benda yang teramat sangat berharga. Akan tetapi orang yang sama sekali
tidak mengetahui tentang nilainya, bisa jadi dia malah akan merobek
kitab tersebut selembar demi selembar lalu menggunakannya untuk
membungkus cabe dan garam yang ada di warungnya. Jadi pengetahuan
terhadap diri, merupakan pendahuluan untuk memperbaiki diri dan untuk
menghiasi mutiara jiwanya, lalu menggunakannya untuk bergerak hingga ke
puncak makrifat, sedangkan kejahilan dan ketidaktahuan terhadap diri
akan menjadi penyebab kemusnahan dan tersia-sianya jiwa.
Keburukan Lupa Diri.
Sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya, mengenal diri merupakan
persoalan yang sangat penting, dan manusia harus mengetahui tentang
siapa ‘aku’, karena jika dia tidak memperoleh pengenalan semacam ini,
maka pasti terjadi kesalahan dalam menentukan apa-apa yang hakiki dan
apa-apa yang non-hakiki, dia akan menyangka sesuatu yang hakiki sebagai
non-hakiki, lalu meletakkan yang hakiki di tempat non-hakiki dan
sebaliknya, yaitu dia melupakan dirinya yang hakiki, dan menganggap
non-jiwa sebagai hakikat dirinya. Dengan demikian, dia telah melakukan
perbuatan berdasarkan keyakinan yang tidak benar ini, dan hal ini sama
artinya dengan membuat kehancuran bagi dirinya sendiri.
Suatu ketika, terdapat orang yang memiliki modal besar. Dengan uang
tersebut dia mempunyai rencana akan membangun sebuah gedung yang kokoh,
megah, dan sangat indah di atas tanah yang sangat luas. Beberapa waktu
lamanya dia membanting tulang dan berjerih payah mengeluarkan tenaga dan
pikiran untuk membangun gedung impiannya tersebut, hingga setelah
beberapa waktu lamanya akhirnya selesai jualah apa yang dia inginkan.
Karena sekian waktu tenaganya telah terkuras untuk membangun gedung itu,
maka bersamaan dengan selesainya pembangunan gedung dan habisnya modal,
kondisi dan stamina tubuhnya pun menurun. Dalam hal ini, dalam satu
waktu sekaligus dia telah kehilangan dua hal, yaitu modal dan stamina
tubuh. Dalam kelemahannya, dia menyaksikan gedung megah yang berdiri di
hadapannya dengan perasaan puas dan bangga, akan tetapi tiba-tiba dia
tersadar bahwa dia telah membangun gedung tersebut di atas tanah milik
tetangga, sedangkan di atas tanahnya sendiri kosong dari bangunan. Apa
yang terjadi? Seluruh yang dia lakukan, modal yang dia gunakan, waktu
yang dia habiskan, semuanya telah hilang dengan sia-sia.
Kadangkala sebagian manusia bekerja dan berusaha siang- malam selama
bertahun-tahun, akan tetapi tidak pernah merasakan ketenangan meskipun
sedetik. Ketika ditanyakan tentang semua alasan usahanya ini, menjadi
jelas bahwa seluruh jerih payahnya tersebut adalah untuk mendapatkan
beberapa helai permadani, mobil, sebuah rumah, dan uang. Jelaslah bahwa
di sini mereka menganggap yang non-hakiki sebagai realitas yang hakiki,
yang seharusnya mereka berkhidmat kepada “jiwa hakiki”, yang terjadi
malah mereka berkhidmat secara total kepada “tubuh non-hakiki”. Ketika
tiba saat perpisahan antara jiwa dan tubuh, mereka baru sadar bahwa
usaha dan jerih payah yang mereka lakukan selama ini hanyalah untuk
memenuhi kepentingan tubuhnya, sedangkan diri dan jiwanya yang hakiki
tidak mengalami kemajuan sedikitpun dan tetap berada pada usia
kanak-kanak, hal seperti ini merupakan stagnasi ruh yang sangat
mengerikan. Dikarenakan seseorang tidak mengenal diri dan jiwanya secara
hakiki, seluruh jerih payah dan pengkhidmatannya hanya dia berikan
untuk menggapai keinginan-keinginan tubuh materi yang bakal punah.
Pengaruh Makrifat Jiwa
Ketika
jiwa manusia telah sampai pada tingkatan non-materi murni dan
kebergantungannya pada apa yang ditampakkan oleh dunia telah berkurang,
secara bertahap dia akan keluar dari penjara tubuh dan tidak lagi
melihat adanya benturan-benturan yang menghalangi tubuhnya. Dalam
keadaan seperti ini – sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya –
tubuh akan berada dibawah kewenangan jiwa dan seakan tubuh pun telah
berubah menjadi jiwa, kemudian keajaiban-keajaiban dan
kemuliaan-kemuliaan yang mengherankan akan muncul darinya, sedemikian
hingga dia mampu memisahkan ruh dari jiwa dengan kemauannya sendiri,
kematian seperti ini biasa disebut kematian ikhtiari yang sering terjadi
pada diri para wali Tuhan. Salah satunya adalah kejadian menarik yang
dinukilkan dari Ogho Sayyed Muhammad Darceh-i.
Telah ditanyakan kepada beliau mengenai kebenarn riwayat, “Imam Ridha
as memerintahkan untuk melukis gambar singa pada sebuah tirai, lalu
singa tersebut hidup dan setelah memangsa orang tak beradab yang berada
di dekatnya, dia kembali lagi ke tempatnya semula”. Ogho Sayyed dalam
jawabannya mengatakan, “Perbuatan itu bisa pula muncul dari aku yang
hanya sebagai budak beliau. Ketahuilah bahwa kodrat semacam ini
berkaitan dengan jiwa yang telah menyempurna dan telah terbebas dari
penghalang-penghalang materi dan telah memiliki kedudukan di tempat yang
tinggi”.
Hal
yang serupa diceritakan juga oleh Mahyuddin, dia berkata, “Dahulu aku
mempunyai seorang guru bernama Abu Madain yang memiliki jabatan tinggi
dalam kemiliteran, dan dia bisa melakukan berbagai pekerjaan, akan
tetapi dia sama sekali tidak pernah memperhatikan kepentingan dirinya,
kehidupan pribadinya senantiasa berada dalam keadaan yang susah dan
kurang, keadaan beliau telah sedemikian susahnya hingga sebagian para
pembesar mengatakan, kenapa kamu tidak berusaha untuk memperbaiki
keadaanmu? Akan tetapi lelaki agung tersebut berkata, bahwa seluruh
persoalan hidupnya telah dia serahkan kepada Allah”.
Alamah
Thabathabai, pada setiap malam Kamis dan malam Jumat senantiasa
mengadakan pertemuan dengan para sahabat dan murid-muridnya secara
bergilir dari rumah satu ke rumah lainnya, suatu kali seluruh peserta
majelis sepakat untuk mengadakan pertemuan di rumah salah satu pelajar,
akan tetapi rumah pelajar tersebut begitu jauh dan gelap, sedangkan saat
itu usia Alamah Thabathabai sendiri telah lanjut, sehingga untuk
berjalan di tempat yang gelap akan sangat menyusahkkan beliau. Melihat
hal demikian, para murid memberikan saran kepada beliau, lebih baik
pertemuan kali ini diadakan saja di rumah beliau, akan tetapi dalam
jawabannya, beliau berkata, “Ketika berjalan di siang hari, mataharilah
yang menjaga kita sehingga kita tidak terjatuh, dan sekarang dalam
kegelapan, karena matahari dan cahaya tidak menjaga kita lagi, apakah
maka kita akan terjatuh ke tanah?”
Hal-hal di atas merupakan contoh dari kemuliaan dan kemampuan jiwa
dalam menguasai tubuh, adanya pengaruh dominan untuk melakukan
perintah-perintah Ilahi, telah memunculkan hal-hal yang mengagumkan
dalam wujud hamba-hamba yang taqwa ini. Pelatihan, ketaatan, dan
penghambaan kepada Tuhan, secara bertahap akan mengantarkan jiwa untuk
sampai ke arah dan tingkatan tersebut, dimana kemudian jiwa menemukan
kodrat yang seharusnya, dan menguasai tubuh secara baik, dan
kedekatannya kepada Tuhan, akan menyebabkan kemuliaan-kemuliaan Tuhan
menurun kepadanya.
Karena karakter manusia adalah mencari keuntungan, maka dia akan
berusaha untuk menggapai apa yang dikenalnya sebagai persoalan yang
sesuai untuk dirinya. Tentunya kecenderungan untuk mencari keuntungan
ini memiliki akar kecintaan yang esensial (cinta diri sendiri), karena
seluruh kecenderungan yang dimiliki oleh manusia berasal dari akar
kecintaan esensial ini, dikarenakan dia mencintai dirinya sendiri maka
dia akan berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh jiwanya,
tapi apabila dia keliru menentukan, maka dia akan salah memposisikan apa
yang hakiki bagi dirinya, yaitu apabila manusia tidak mengenal jiwa,
kemampuan, potensi, dan kesempurnaan dirinya, maka dia akan keliru
meletakkan persoalan-persoalan non-hakiki dan keinginan-keinginan tak
penting pada posisi kebutuhan-kebutuhan esensial dan kesempurnaan
hakikinya. Dalam keadaan yang demikian maka seluruh kekuatan dan
usahanya dalam hidup, hanya dia untuk mencapai kesempurnaan tak hakiki
dan keinginan-keinginan kaburnya, dengan demikian ‘aku’ yang hakiki,
justru akan terkapar di bawah kaki ‘tubuh’ materi.
Akan
tetapi pengenalan yang benar terhadap jiwa, akan mampu mengubah arah
perjalanan hidup manusia kepada kesempurnaan hakiki, karena dengan
mengetahui dirinya dan mengetahui nilai jiwanya sendiri, berarti manusia
telah mengenal kesempurnaan hakikinya, dan kecintaan pada diri sendiri
tidak akan mengizinkannya melangkah di atas selain jalan yang menuju ke
arah kesempurnaannya. Dalam perjalanan inilah ‘tubuh’ akan mengorbankan
diri hingga mencapai kesempurnaan hakiki bagi jiwa, dan dia
akan memperoleh seluruh kesempurnaan yang akan melesakkannya hingga
lebih tinggi dari tingkatan para malaikat, dan akan menghalanginya dari
terperosok ke jurang yang lebih rendah dari tingkatan hewan. Hal ini
terjadi karena kecintaan diri yang benar akan menuntut pengaruh yang
benar pula, sedangkan kecintaan diri yang palsu akan memerosokkan
manusia pada keinginan-keinginan yang palsu pula.
Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah bahwa manusia yang telah
menemukan dirinya ini sama sekali tidak akan menjual aset umurnya untuk
komoditi yang tak kekal dan sesaat, karena dia menganggap bahwa diri
adalah abadi, sementara kehidupan yang abadi tidak membutuhkan aset yang
sesaat, melainkan harus sesuai dengan masa mendatang. Satu lagi,
manusia yang telah mengenal hakikat dirinya akan menemukan bahwa seluruh
umurnya dalam setiap detik kehidupannya harus mencapai hal yang kekal
dan permanen, persis sebagaimana seorang kapitalis yang membeli
barang-barang berharga dengan berapapun aset yang dia miliki, untuk
mendapatkan aset yang permanen, dan hal ini kontradiksi dengan orang
yang waktunya hilang sesaat demi sesaat dan tidak ada sesuatupun yang
dihasilkannya, dia telah kehilangan asetnya dan diapun tidak mampu
memperoleh yang abadi dan permanen. Dia tidak mendapatkan sedikitpun
keuntungan dari waktu yang telah terbuang.
Pada
dasarnya kesulitan-kesulitan dan benturan-benturan yang dimiliki oleh
manusia-manusia saat ini adalah karena mereka tidak mampu membedakan
antara diri hakiki dan diri tak hakiki, dan mereka telah memisahkan
antara aku yang sebenarnya dari tubuhnya, lalu menarik masing-masingnya
ke arah yang berbeda dari lintasan perjalanan yang seharusnya.
Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt dalam al-Quran, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri”, dimana
melupakan Tuhan akan meniscayakan pada lupa diri, yang konsekuensinya
berarti pengenalan diri akan meniscayakan pada pengenalan Tuhan.
Pada salah satu ayat-Nya yang lain, “Allah
berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka
kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. Pertanyaan yang muncul adalah, apa maksud dari “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”.
Sedangkan Tuhan tidak akan pernah lupa, karena kejahilan,
ketidaktahuan, dan lupa merupakan suatu persoalan yang mustahil
bagi-Nya. Jika demikian, apa yang ingin dikatakan oleh ayat ini? Masa
depan seperti apa yang hendak diungkapkannya? Dari wahyu tersebut bisa
disimpulkan bahwa orang yang mendengarkan dan mengamalkan apa yang
diperintahkan oleh Tuhan, dia akan memperoleh keinginan-keinginan
hakikinya dan dia akan menuangkannya ke kedalaman jiwanya untuk memenuhi
kehausan spiritualnya. Dari sini, seluruh
kecenderungan-kecenderungannya telah berubah dari potensi menjadi
aktual, yang akhirnya akan sampai pada bentuk malakuti yang suci dari
keterikatan alam materi.
Akan
tetapi ketiadaan perhatian pada perintah, hukum, dan ayat-ayat Ilahi
pada hakikatnya merupakan ketiadaan perhatian pada keinginan hakiki
manusia, dengan perbuatannya ini berarti dia telah meletakkan jiwa dalam
kotoran gelap alam materi, dan seluruh kecenderungan-kecenderungannya
telah dia hancurkan pada tingkatan potensi, dan dia akan terhalangi dari
pengaruh-pengaruh malakuti amal dan perbuatan-perbuatannya yang Ilahi,
dan hal ini akan tampak jelas pada hari kiamat kelak. Dari sinilah
kemudian Allah swt berfirman, “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”,
yaitu dilupakannya manusia pada hari kiamat, bertolak dari amal dan
perbuatannya di dunia dan apa yang telah dipersiapkan oleh Tuhan untuk
mengembangkan kecenderungan-kecenderungan, baginya hal ini merupakan
sesuatu yang tidak bisa dia peroleh.
Poin penting berikut harus diperhatikan bahwa balasan pada hari kiamat
yang bertolak dan merupakan hasil dari amal dan perbuatan setiap manusia
di dunia merupakan majemuk perbuatan yang telah bergabung dalam diri
seseorang yang kemudian akan membentuk wujud ukhrawinya, dan ini
berlawanan dengan balasan dan pahala yang ditentukan di dunia. Di dunia,
untuk perbuatan yang berbeda akan mendapatkan balasan yang telah
ditentukan dalam bentuk yang berbeda pula. Misalnya, untuk pelanggaran
mengemudi, akan dikenai hukuman denda, dan untuk peminum minuman keras
akan dikenai hukuman siksaan dan …, akan tetapi di akhirat, setiap
manusia akan dibangkitkan dengan hakikat perbuatannya. Dalam salah satu
ayat-Nya, berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu)
itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah
kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”, yaitu
orang yang memukul anak yatim dengan kezaliman dan telah menyebabkan
air matanya jatuh bercucuran, sebelum dia melanjutkan perbuatan dan
ancamannya, beliung telah memangkas jenggotnya dan hakikat perbuatannya –
yang kini telah tersimpan di dalam jiwanya – akan tampak baginya di
hari kiamat kelak.
Sekarang,
ketika kiamat dan masa tertampaknya perbuatan manusia dan hari
penampakan masih tersembunyi dan tidak kita ketahui, orang-orang yang
melupakan ayat-ayat Ilahi pun, pada hari kiamat akan berhadapan dengan
hakikat perbuatannya yaitu dia akan dilupakan, “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”,
dan dia tidak akan layak mendapatkan perhatian sedikitpun. Pada hari
ketika rahmat Tuhan tercurah pada seluruh alam, dia akan terhalangi dari
rahmat-Nya. Orang yang tidak mengenal dirinya, dia akan menyangka telah
hidup beruntung dan berbahagia ketika memiliki kendaraan, makanan, dan
minuman yang paling baik, kekayaan dunia yang berlimpah, hidup di istana
besar nan mewah dan mendapatkan seluruh penghormatan. Akan tetapi ini
semua tak lebih dari sekedar sebuah khayalan, dia tidak mengetahui bahwa
dia telah hidup di alam yang bukan alam insaniyah. Orang yang membatasi
seluruh perhatiannya pada keinginan-keinginan hewani, dan lalai
terhadap jiwanya, dan tidak bernafas di dalam udara insaniyah, dia akan
mati dengan keadaan sebagaimana dia hidup di dunia ini.
Mengenal Indera Batin Manusia
Sebagaimana manusia dalam lahiriahnya memiliki potensi yang beragam,
seperti mata, telinga, hati, indera perasa, pencium dan lain-lain, batin
juga memiliki potensi-potensi semacam ini yaitu memiliki indera
penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya. Sebagaimana tubuh
materi memiliki mata dan telinga, jiwa juga memiliki penglihatan dan
pendengaran, dan sebagaimana halnya jantung materi berdetak di dalam
dada jasmani manusia lalu menyempurnakan kehidupannya, jiwa juga
memiliki jantung yang memiliki kehidupan, dimana kebanyakan dari ibadah
akan menyebabkan hidupnya hati ini, dan kebalikannya kebanyakan dari
dosa akan mematikan dan memusnahkannya, dan begitu banyak hadits yang
menyiratkan tentang aksi dan reaksi jantung batin ini. Sebagai contoh,
pada sebuah hadits dikatakan bahwa zikir “Ya hayyu ya qayyum, ya man la ilaha illa anta”
akan menghidupkan hati. Demikian juga terdapat dalam hadits bahwa hidup
berdampingan dengan penyembah dunia akan mematikan hati. Orang yang
tidak mengetahui secara benar tentang potensi yang dimiliki oleh
eksistensi ini, akan berhadapan dengan potensi-potensi yang mentah dan
tak matang, dan sebagaimana kanak-kanak yang tidak pernah memperhatikan
adanya bahaya dan manfaat, setiap langkah yang dia lakukan dalam
kehidupan senantiasa akan semakin mendekatkannya kepada bahaya dan
semakin menjauhkannya dari manfaat. Seperti orang yang dilahirkan dan
hidup sendirian di tengah hutan, dan tidak mengetahui sedikitpun
informasi tentang potensi-potensi yang dimilikinya, keadaan ini jelas
akan menyebabkan stagnasi perkembangan pada potensi-potensi yang
dimilikinya, baik potensi yang tersembunyi ataupun yang tampak. Bahkan
hingga sampai pada tingkatan dia tidak mengetahui apa yang bisa
diperbuat oleh lidah yang ada di mulutnya. Tidak ada sedikitpun gambaran
dalam benaknya bahwa dengan lidah, dia akan mampu menyampaikan
maksudnya kepada selainnya. Dia juga tidak mengetahui bahwa dengan
matanya dia akan mampu melihat hal-hal yang indah dan mempesona, dengan
telinganya dia akan mampu mendengar suara-suara yang merdu. Olah karena
itu, pada sepanjang hidupnya, dia akan bisu, buta, tuli dan tidak mampu
memanfaatkan perangkat-perangkat yang diletakkan dalam kewenangannya.
Apa yang terdapat dalam kedalaman batin manusia pun demikian juga.
Ketika manusia tidak mengenal penglihatan, pendengaran, dan hati nurani,
maka dia tidak akan memberikan perhatian padanya, dengan demikian
potensi-potensi ini tidak akan bisa berkhidmat secara maksimal
kepadanya, hasilnya, batinnya akan menjadi buta, bisu, dan tuli.
Apabila
mata dan telinga yang dimiliki oleh jiwa manusia tidak pernah melihat
dan mendengar hakikat sedikitpun, dan hatinya tidak pernah berada dalam
ketenangan dan tidak pernah menemukan sandaran pada hakikat tinggi
makrifat, maka mata dan telinga manusia ini akan tetap buta dan tuli di
dunia ini, sebagaimana orang hutan yang tetap dalam keadan bisu dan tuli
karena dia tidak pernah bercakap dengan selainnya dan tidak pernah pula
mendengar suara dari selainnya. Orang inipun di akhirat kelak akan
dibangkitkan dalam keadaan bisu dan tuli, dan al-Quran dengan seluruh
perhatiannya mengajak manusia untuk menguatkan mata dan telinga batin
ini.
Pada salah satu ayat-Nya, Allah swt berfirman, “Sesungguhnya
telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; barang siapa melihat
(kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang
siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali
kepadanya”.
Dan pada ayat lain berfirman, “Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang
buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”,yaitu
mata hati dan jiwanya telah buta sehingga ruh tidak mempunyai kekuatan
untuk melihat hakikat. Hakikat makrifat tidak senantiasa bisa disaksikan
dengan mata lahiriah, untuk memahaminya mata batin harus dalam keadaan
terbuka untuk menerima dan memahami.
Pada ayat yang lain, Allah swt berfirman, “Dan
barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang
benar)”
Apabila kita telisik ayat di atas, apa sebenarnya maksud dari ibarat
ini? Apakah maksudnya adalah bahwa setiap orang yang tidak mendapatkan
karunia untuk melihat dunia dengan matanya, di akhirat pun tidak akan
melihat apa-apa? Jika demikian, maka seharusnya Abi Bashir yang buta,
murid terbaik Imam Shadiq as, juga akan dibangkitkan di akhirat dalam
keadaan buta? Tentu saja tidak, makna ayat tidaklah mengisyaratkan bahwa
setiap orang yang di dunia ini tidak bisa menyaksikan benda-benda
materi di sekitarnya dengan matanya, di akhiratpun akan menghadapi hal
yang serupa. Yang benar adalah bahwa setiap orang yang mata hati dan
jiwanya tidak terbuka dan pemahaman serta pandangannya tidak melebihi
tingkatan lahiriah bendawi, maka dia sama sekali tidak akan mampu
membaca huruf-huruf dan rahasia eksistensi dan tidak memiliki pandangan
yang mengandung ibrah terhadap dunia.
Ringkasnya,
apabila seseorang tidak menemukan hubungan dengan batin alam, berarti
dia buta, dan buta semacam ini akan mewujud di akhirat kelak, karena
kiamat adalah “Hari ketika seluruh rahasia-rahasia tersingkap “.
Oleh karena itu, manusia harus hidup sedemikian rupa sehingga seluruh
amal, perbuatan, dan tujuannya adalah untuk membuka mata dan telinga
batin dan menemukan pandangan hakiki. Manusia harus mengarungi
kehidupannya di bawah naungan wilayah Ilahi dan bimbingan Ahlulbait as
sehingga akan terdapat perbedaan antara hari kelahiran dan kematiannya,
yaitu apabila seseorang terlahir ke dunia dalam keadaan mata dan telinga
yang tertutup, maka dia akan meninggalkan dunia dengan mata dan telinga
yang terbuka sehingga akan dibangkitkan di alam akhirat dalam keadaan
melihat. Tentunya usaha dan upaya dalam wilayah ini membutuhkan kerja
yang ekstra, dan Allah swt akan mempermudah keberhasilannya hamba-Nya
yang berusaha untuk melakukah hal ini. Dari sini, Allah swt dalam
al-Quran berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya “.
Dalam
hubungannya dengan bahasan kita, terdapat sebuah cerita yang dinukilkan
dari Ayatullah Behjat, yang akan kami ceritakan untuk Anda secara
ringkas. Di Masyhad, terdapat seorang lelaki buta yang hafal seluruh
al-Quran. Keahlian orang ini adalah ketika seseorang meletakkan al-Quran
di tangannya dan misalnya meminta kepadanya untuk menemukan ayat “Maka Apakah Kami akan berhenti menurunkan Al Quran kepadamu, karena kamu adalah kaum yang melampaui batas?”,
maka dia akan segera mengambil Quran itu dan menunjukkan ayat
sebagaimana yang dimaksud. Kadangkala sebagian orang yang ada disana
dengan bergurau mengatakan bahwa engkau tidak menemukan ayat yang
diinginkannya dan dia menjawab, berarti kalianlah yang buta.
Apakah ayat, “Dan
barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang
benar)”
berkaitan dengan orang semacam ini, ataukah berkaitan dengan seseorang
yang memiliki dua mata indah yang menghiasi wajahnya, akan tetapi dia
hanya menggunakannya untuk melihat kehidupan lahiriah dan mata hatinya
tidak berhubungan dengan batin dan hakikat alam?
Pada surah Thahaa, Allah swt berfirman, “Dan
barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau
menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulunya aku adalah
seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang
kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu melupakannya, maka begitu (pula) pada
hari ini kamupun dilupakan”.
Orang yang pada hari kiamat dibangkitkan dalam keadaan buta akan mengatakan, “… padahal dahulunya aku adalah seorang yang melihat”,
jelas, orang ini menyangka bahwa dirinya melihat dan dia mengkhayal
bahwa yang dimaksud dengan penglihatan hanyalah bahwa manusia mampu
menyaksikan benda-benda materi dalam batasan tertentu, sedangkan
sebenarnya tidaklah demikian. Orang semacam ini sama sekali tidak
mengetahui makna hakiki dari melihat dan bashirah, dia tidak
memahami bahwa pada hakikatnya di dunia ini terdapat dua kebutaan,
pertama tidak memiliki penglihatan fisikal, dan kedua tidak memiliki
penglihatan jiwa.
Allah swt pada ayat yang lain dari al-Quran berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dila’nat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”.
Memperhatikan
subyek ini, meniscayakan kepada kita untuk tidak melihat al-Quran hanya
dari makna leksikalnya, melainkan al-Quran merupakan penjelas dari
hakikat alam, al-Quran merupakan wujud kalimat dari eksistensi hakiki
dan merupakan penerjemah realitas eksternal. Ketika al-Quran berfirman, “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup”, pada hakikatnya ayat ini menghikayatkan bagaimana eksistensi eksternal itu. Dan ketika berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dila’nat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”, inipun merupakan pembuka sebuah rangkaian aksi dan reaksi yang terjadi pada mekanisme orang-orang tertentu.
Dalam surah al-Mukmin, berfirman, “Dan
tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak
(sama pula) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan
orang-orang yang durhaka”.
Pada awal ayat berfirman bahwa ‘buta’ dan ‘melihat’ tidaklah sama,
kemudian melanjutkan, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh, berbeda dengan orang-orang yang durhaka. Pada dasarnya, ayat ini
meletakkan kebutaan secara berhadapan dengan iman dan amal shaleh,
sedangkan para pendosa dan pelaku perbuatan-perbuatan yang tercela
dianggap sebagai orang-orang yang tidak memiliki ‘mata’. Maksudnya
adalah bahwa iman dan amal shaleh adalah penerang yang akan menajamkan
penglihatan sedangkan dosa dan maksiat akan menggelapkan dan membutakan
penglihatan.
Pada surah al-Baqarah, Allah berfirman, “Mereka itu tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itulah) mereka tidak mengerti”, sedangkan pada surah an-Naml, berfirman, “Dan
kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-orang buta
dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorangpun)
mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu
mereka berserah diri”, kemudian pada surah Fusshilat, berfirman, ” … dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka terdapat sumbatan, dan kedua mata mereka buta … “
Ayat-ayat
di atas, seluruhnya menyiratkan poin berikut bahwa manusia selain
memiliki potensi lahiriah dan inderawi, mereka juga memiliki potensi
batin dan spiritual. Letak poin tersebut di sini bahwa kemanusiaan
manusia dan kebahagiaannya bergantung hingga sejauh mana dia menemukan
pengenalan terhadap potensi-potensi internal jiwanya dan sejauh mana dia
mampu memenuhi kebutuhan hakiki batinnya. Dia harus meletakkan
potensi-potensi ini dalam wilayah perhatiannya lalu mempersiapkan segala
sesuatu yang bermanfaat dan menjadi nutrisi bagi batin, dan tidak
menghalangi tumbuhnya potensi internal, membimbingnya ke arah yang benar
untuk mencapai kesempurnaan hakikinya, sedangkan merendahkan mereka
akan menyebabkan kerusakan dan turunnya derajat kemanusiaan, yang hal
ini akan berlanjut pada kebutaan dan ketulian yang sama sekali tidak
bisa diterima dan tidak pernah diinginkan oleh setiap manusia, dan
keadaan seperti ini hanya akan mengantarkan pada kesedihan mendalam dan
penyesalan yang tak berguna.
Allah berfirman, “Setiap
kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan
dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu
mendustakannya”.
Sebuah Kenangan.
Penulis teringat suatu peristiwa yang terjadi di salah satu perguruan
tinggi. Salah satu dari anggota komisi ilmiah yang ada di universitas
ini mengatakan, ketika kami menganalisa manusia secara cermat, kami
menemukan bahwa struktur dan mekanisme tubuh manusia memberikan jawaban
sempurna terhadap seluruh pertanyaan kami, yakni melakukan analisa dan
telaah terhadap aksi dan reaksi yang terjadi di dalam tubuh, menjadi
jelas bagi kami faktor-faktor penyebab munculnya seluruh aktivitas,
prilaku, kecenderungan-kecenderungan, instink, dan keadaan lain yang
dimiliki oleh manusia. Melalui penelitian ini, kami mampu memahami
kenapa manusia bisa marah, bisa menumpahkan kasih sayangnya kepada
orang-orang yang dicintainya, bisa gembira, dan bisa bersedih. Bagaimana
dia bisa menjadi orang yang jahil atau berilmu, bisa berfikir, dan
memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Dan dari
sini kamipun mengetahui apa aksi dan reaksi yang bisa diterima di dalam
otak setelah manusia memiliki pengetahuan. Ringkasnya, struktur tubuh
dan mekanisme alami tubuh manusia, berada dalam kedudukan yang mampu
memberikan jawaban untuk seluruh pertanyan-pertanyaan tersebut. Oleh
karena itu, tidak diperlukan lagi pembuktian terhadap adanya satu wujud
non-materi bernama ruh dan jiwa untuk manusia.
Ketika melihat orang ini yang memiliki pengenalan salah mengenai
manusia, tak ada cara lain kecuali harus membuka pembahasan dan saya
berkata, “Tuan, apakah benar bahwa seluruh hakikat manusia bisa
diketahui hanya dengan mengajukan beberapa pertanyaan saja? Apakah
seluruh pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan akan muncul dari manusia
hanya terbatas pada beberapa pertanyaan Anda tersebut? Dan tidak ada
pertanyaan yang lainnya? Bisa jadi terdapat pertanyaan yang jawabannya
tidak bisa kita temukan dari mekanisme natural tubuh manusia. Selain
itu, apa yang Anda nyatakan telah Anda temukan dari mekanisme tubuh,
apakah benar-benar merupakan jawaban dari pertanyaan Anda ataukah hanya
merupakan premis dan pendahuluan untuk sebuah jawaban, dan Anda
menyangka bahwa Anda telah menemukan jawabannya. Sekarang saya juga
mempunyai beberapa pertanyaan dan hendaklah Anda menjawabnya dengan
metode analisa aksi-reaksi atas struktur tubuh manusia sebagaimana yang
telah Anda pergunakan.
Pertanyaan pertama,
seluruh manusia yang teis dan ateis akan menganggap dirinya sebagai
manusia yang ideal dan besar karena merasa mempunyai keseimbangan dalam
mengontrol kecenderungan-kecenderungan tubuh, keinginan-keinginan jiwa
dan syahwat hewaninya, sementara pada sisi lain terdapat pendosa-pendosa
dan penyembah hawa nafsu pada semua tempat. Apabila manusia hanyalah
ibarat sebuah badan, maka baginya tidak ada kesempurnaan yang lebih
tinggi selain memberikan jawaban positif pada seluruh kecenderungan dan
syahwatnya. Jika manusia tidak memiliki dimensi lain selain dimensi
materi dan hewaninya, lalu kenapa fitrah seluruh manusia memberi
kesaksian bahwa dengan semakin tidak memperhatikan kecenderungan dan
syahwat miliknya, dia akan semakin sempurna? Sementara apabila manusia
hanya menyimpulkan dirinya dalam tubuh materi dengan seluruh
kecenderungannya, berarti manusia yang sempurna dan beruntung adalah
mereka yang lebih memperhatikan keinginan-keinginannya tersebut lalu
menjaga dan memenuhi tuntutannya hingga batasan yang memungkinkan.
Semakin ia bisa memuaskan keinginan hawa nafsunya, seharusnya dia
menjadi manusia yang semakin sempurna dan semakin berhasil. Dengan
demikian, tidak ada lagi hukuman dan denda untuk pelaku setiap
pengkhianatan dan kejahatan, karena dengan melakukan hal tersebut
niscaya seorang manusia telah sempurna dan ideal secara mutlak. Sama
sekali tidak akan menghindari tuntutan syahwat dan kecenderungan tubuh,
karena hal ini akan membahayakannya dan tak menyempurnakannya. Dengan
demikian, apabila terdapat orang yang tidak melakukan dosa dan tidak
memuaskan keinginan alaminya sebaliknya dia akan mengontrol dirinya
dalam hal-hal tersebut, dia malah akan menjadi orang yang tak sempurna,
lemah, dan tak memiliki kekuatan. Akan tetapi kita lihat, tidak ada
satupun manusia yang meyakini celoteh batil ini, bahkan mereka
mengatakan bahwa manusia yang sempurna dan berhasil adalah manusia yang
mempunyai kemampuan menyeimbangkan seluruh kecenderungannya dan mampu
melawan keinginan hawa nafsunya. Jadi, manusia memiliki hakikat yang
lebih tinggi dari tingkatan hewani.
Pertanyaan kedua,
kita menyaksikan bahwa begitu manusia melewati usianya yang ke 35, dia
akan memiliki mekanisme berfikir dan kontemplasi yang semakin mendalam
dan semakin sempurna, padahal dari sini hingga selanjutnya tubuhnya
setahap demi setahap akan semakin melemah. Dengan ibarat yang lain,
rasionalitasnya akan semakin kuat dan pemahamannya akan semakin cermat,
akan tetapi tubuh dan mekanisme sel-sel tubuhnya akan semakin mengarah
pada kerapuhan dan kelemahan. Sebagai contoh, semakin lanjut usia
seorang filosof, maka perkataan yang diucapkannya akan semakin matang
dan mendalam. Di sini akan muncul persoalan berikut, apabila hakikat
manusia hanya berupa tubuh ini, dengan semakin melemahnya tubuh, berarti
pikiran dan kecerdasannya pun akan semakin melemah dan semakin banyak
melakukan kesalahan pula, sementara yang terjadi adalah kebalikannya,
ilmuwan dan cendekiawan yang jenius dan cerdas, pada usia separoh
bayanya tidak bisa lagi dibandingkan dengan masa mudanya, pada usia ini
dia telah muncul sebagai orang yang mampu menuangkan ilmu-ilmunya dengan
pengetahuan lebih luas dan pemikiran yang lebih mendalam, dan menjadi
orang yang semakin diyakini pendapat, gagasan, konsep, dan pemikirannya.
Pertanyaan ketiga,
kita melihat pelajar-pelajar pada tingkat sekolah dasar akan
mempelajari persoalan-persoalan matematik yang sederhana. Misalnya,
mempelajari bahwa 2×2 = 4, tahun demi tahun terlewati, dan subyek ini
tetap ada secara permanen pada diri mereka dan tidak terjadi sedikitpun
perubahan, apabila tujuh puluh tahun kemudian ditanyakan dua kali dua
berapa hasilnya, maka mereka akan mengatakan jawabannya dengan cepat.
Akan tetapi dari sisi lain, kita mengetahui bahwa tubuh pada setiap
tujuh tahun akan mengalami perubahan secara total bahkan unsur-unsur
pertama yang terdapat pada sel-sel otak pun akan mengalami perubahan.
Apabila manusia hanya didefinisikan sebagai mekanisme tubuh natural dan
sel-sel material, dengan berlalunya masa dan dengan terjadinya perubahan
pada setiap sel-sel yang dimilikinya, maka pasti segala ingatan dan
kenangan-kenangannya pun akan mengalami perubahan pula, lalu kenapa yang
terjadi tidaklah demikian? Begitu banyak kenangan kanak-kanak dan
pengetahuan-pengetahuan awal yang tetap melekat erat hingga akhir hayat
seorang manusia.
Jadi,
bisa terjelaskan dengan baik bahwa manusia memiliki dimensi non-materi
dan metafisika yang akan menjaga seluruh bentuk ilmu, pengetahuan, dan
kenangan yang ada di dalam benaknya, sedemikian hingga tidak ditemukan
sedikitpun cacat dan kelemahan pada mereka, meskipun terjadi
perubahan-perubahan pada sel-sel tubuh. Bahkan kadangkala kita melihat
bahwa peristiwa atau kenangan yang telah terlupakan akan kembali
teringat dengan mengutarakan konteks-konteks tertentu, hal ini akan
menjelaskan dengan baik bahwa sebenarnya persoalan-persoalan yang telah
terlupakan tetap terjaga dalam lembaran jiwa manusia dan tidak mengalami
sedikitpun perubahan.
Wejangan Alamah Thabathabai
Ketika seseorang bertanya tentang tahapan-tahapan makrifat dan
perjalanan spiritual, Alamah Thabathabai ra mengungkapkan tiga pesan
pentingnya, yaitu musyarathah, muraqabah dan muhasabah.
Berkata, pada awal hari kita harus mempersiapkan diri sedemikian rupa
supaya senantiasa mampu menjaga diri dari khayalan-khayalan nafsu dan
bisikan setan, lalu mensyaratkan diri misalnya hari ini aku harus
berusaha sedemikian rupa menjaga diriku supaya tidak melakukan hal-hal
yang melawan keridhaan dan perintah-Nya dan harus bertekad untuk tidak
melakukan perbuatan-perbuatan aib dan tercela, dan setelah keputusan
awal ini, pada awal hari kita harus memegang kuat-kuat apa yang telah
kita syaratkan untuk diri kita sendiri selama sehari penuh hingga mampu
menyelesaikannya dengan baik. Alamah melanjutkan, yang kedua adalah muraqabah,
yakni perbuatan yang senantiasa terjadi antara dua pihak secara timbal
balik, yaitu Tuhan akan menjagamu dan kamupun harus menjaga perintah-Nya
dan melakukan segala sesuatu sesuai kehendak dan keridhaan-Nya. Setelah
melewati kedua tahapan ini, kini sampai pada tahapan ketiga yaitu muhasabah,
dengan makna bahwa pada saat-saat terakhir disetiap hari kita mencoba
memikirkan kembali segala gerak dan perbuatan yang telah kita lakukan
sepanjang hari, memperhatikan sesaat demi sesaat yang telah terlalui,
bertanya, dan melihat pada diri sendiri, apa yang telah dihasilkannya
hari ini dengan hilangnya aset penting dari tangannya. Pada tahapan ini,
dengan ketelitian dan kecermatan penuh dia harus memperhatikan
aktivitas, kedatangan, kepergian, duduk, makan, percakapan, tulisan, dan
ringkasnya seluruh gerak dan perbuatan yang telah dia lakukan, lalu
memisahkan yang baik dari yang buruk. Setiap kali menemukan perbuatan
tak pantas, beristighfar dan memohon ampunan dari-Nya, dan bertekad
untuk mengubahnya, dan setiap kali melihat keberhasilan senantiasa
mengucapkan syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.
Alamah berkata, orang yang melalui hidupnya dengan cara seperti ini,
dia akan bertemu dengan berbagai kesempurnaan yang keberhasilannya
jarang ditemukan, dan ketinggian ruhani dan spiritualnya tidak bisa
dibandingkan dengan seluruh manusia biasa yang tidak melakukan
penghitungan dan hisab atas segala amalan dan prilaku hariannya pada
setiap malam hari.
Hubungan Makrifat Diri dan Makrifat Kesempurnaan
Setiap benda secara khusus memiliki kesempurnaannya sendiri. Untuk
membedakan kesempurnaan setiap benda maka kita harus mengenal dan
mengetahui hakikat benda tersebut. Demikian juga untuk mengetahui
kesempurnaan manusia, harus pula dilakukan melalui pengenalan dan
makrifat diri manusia secara utuh dan komprehensif. Seseorang bisa
menyatakan dirinya mampu mengetahui setiap titik kulminasi dan
kesempurnaan manusia dengan baik, ketika dia memiliki makrifat
menyeluruh, benar, dan mendetail tentang manusia.
Jadi, mengenal manusia
secara hakiki berarti mengenal kesempurnaannya secara hakiki pula.
Selama manusia belum mengenal dirinya dengan benar berarti dalam
menentukan kesempurnaan dirinya pun akan mengalami kesalahan, dan
kadangkala dia akan menempatkan ketaksempurnaan dan kekurangan pada
posisi kesempurnaan dan kebahagiaan. Orang yang tidak mengenal dirinya,
dia tidak akan mengetahui apa-apa tentang kesempurnaannya. Mereka yang
sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di luar jasmaninya dan
menganggap segala yang berada di bawah kekuasaan
kecenderungan-kecenderungan alami dan keinginan syahwatnya sebagai suatu
kesempurnaan, maka sebenarnya dia tidak berhasil, dan akibatnya, dia
tak lebih dari seekor binatang yang berbulu halus dan memakan
rumput-rumputan berkualitas unggul. Orang semacam ini tak lain adalah
mereka yang tidak mengenal dirinya dan memilih mengenal selain jiwanya
serta meletakkan kecenderungan materi pada tempat dimana seharusnya dia
meletakkan keinginan jiwa hakikinya. Oleh karena itu, manusia yang lalai
terhadap jiwanya, sama sekali tidak akan pernah menggapai kesempurnaan
dan kebahagiaan.
Alienasi Manusia Modern
Manusia pada masa modern ini telah kehilangan jati dirinya. Dia telah
meletakkan dirinya pada wilayah yang tak bisa tergapai dan hakikat
dirinya tetap tersembunyi di balik tirai kejahilan dan kebodohan.
Dikarenakan manusia tidak mengenal dirinya sendiri, maka dia melakukan
kesalahan dalam menentukan kesempurnaan hakiki. Mereka hanya mengenal
dirinya sebatas tubuh kasar dan menyangka bahwa seluruh kebahagiaannya
terletak pada semakin banyaknya dia memperhatikan tubuh dan memenuhi
keinginan-keinginan rendah tubuh.
Dengan
alasan inilah, banyak yang mendefinisikan kebahagiaan dan kesempurnaan
manusia sebagai, tidur yang baik, pola dan menu makanan yang baik,
tempat piknik yang sesuai, rumah besar, mobil indah, dan pernik-pernik
kehidupan materi lainnya, dimana untuk menggapai ide-idenya ini manusia
tidak akan segan-segan untuk mencampakkan kasih sayang, toleransi,
rasionalitas dan menggantikannya dengan kekerasan, dan tanpa
mempertimbangkan baik atau buruknya segala perbuatan yang dilakukannya,
dia telah membuat jurang yang terjal dan berbahaya bagi jasmani dan
jiwanya sendiri, dan sesuatu yang mempunyai nilai penting baginya
hanyalah realitas materi yang manfaat.
Sebagai
misal, pada zaman perang Irak-Iran, terlihat orang-orang yang bukan
warga negara Irak telah menjadi pilot yang disewa oleh Irak. Mereka
membombarder kota-kota Iran dengan imbalan uang yang tak terkira
banyaknya. Sekarang, jika orang semacam ini membuat istana, membeli
mobil, dan vila dengan uang yang dihasilkannya, apakah dia bisa
dikatakan sebagai manusia yang berbahagia dan telah sampai pada
kesempurnaan? Apakah dia bisa dikatakan sebagai orang yang berhasil dan
sukses?
Ya, bisa jadi orang yang tidak mengenal manusia dan kesempurnaannya,
menganggap persoalan-persoalan tak berharga seperti ini sebagai sebuah
kesempurnaan, dan dia sama sekali tidak akan bertanya kepada pemilik
segala kemewahan ini tentang sumber dan asal seluruh harta dan kekayaan
yang telah dia hasilkan. Akan tetapi orang yang mengenal hakikat manusia
dan kesempurnaannya, dia hanya akan menganggap harta benda dan materi
sebagai sebuah kekayaan yang berharga dan bermanfaat ketika
mengantarkannya kepada kemuliaan dan kebahagian hakiki dan sesuai dengan
martabat suci manusia.
Kelezatan Manusia
Ibnu Sina dalam kitab Isyarat wa Tanbihat, mendeskripsikan kelezatan manusia dalam satu pembagian universal, yaitu syahwat, amarah, imajinasi, dan rasio.
Kelezatan
syahwat adalah kelezatan tertentu yang dirasakan oleh salah satu organ
tubuh manusia. Sebagai contoh, lidah merasakan manis dan langit-langit
mulut akan menikmati kelezatannya. Kelezatan adalah sebuah perolehan dan
pencapaian. Kelezatan perolehan ini, kadangkala dihasilkan oleh organ
lidah yang melakukan aksi dan reaksinya pada permukaan lahiriah lidah
sehingga kemudian manusia memahami rasa tertentu, akan tetapi kadangkala
pula rasa tertentu ini dirasakan oleh manusia tanpa perantara organ
materi lidah, melainkan dia mampu merasakan kelezatan tanpa berhubungan
dan bersentuhan sama sekali dengan indera perasa. Sebagai contoh, ketika
dalam tidurnya manusia bermimpi meminum sirup yang sangat lezat,
sebenarnya dia telah merasakan kelezatan ini tanpa menggunakan organ
perasa lidah.
Kelezatan-kelezatan
syahwat muncul dari selera-selera rendah yang bukan hanya tidak penting
bagi manusia, bahkan mungkin akan bisa menjadi penghalang dan
pengganggu bagi gerak menyempurnanya. Sebagaimana seseorang yang
melakukan aktivitas makan, tidur, dan memenuhi syahwat hewaninya secara
terus menerus, akan membuatnya tetap berada pada sumbu hewani secara
permanen.
Kelezatan
kedua yang berhubungan dengan potensi amarah manusia. Sebagaimana kita
ketahui, balas dendam dan kemenangan pada pihak tertentu atau
tertimpanya musibah yang menyedihkan bagi musuhnya akan menimbulkan
semacam ketenangan dan perasaan lezat bagi pelakunya. Memuaskan potensi
amarah ini begitu menariknya sehingga kadangkala mengalahkan kelezatan
syahwat dan tak jarang manusia akan mengesampingkan kelezatan syahwatnya
dengan alasan untuk memperoleh kelezatan amarah ini, dan bisa jadi
bahkan dia akan rela mengorbankan nyawanya dan bergerak hingga ke ambang
kematian untuk melampiaskan balas dendam dan kemarahannya.
Kelezatan
ketiga yang terkait dengan imajinasi dan khayal adalah yang sebagaimana
kelezatan-kelezatan yang mengantarkan orang pada lahirnya sifat-sifat
sombong, angkuh, merasa tersohor, memegang kepemimpinan, kekuasaan, dan
egois, yang keseluruhannya ini merupakan kelezatan-kelezatan yang sama
sekali tidak berhubungan dan tidak bersentuhan langsung dengan tubuh
manusia, melainkan berhubungan dengan gairah dan gejolak batin. Dan
kelezatan ini jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan
kelezatan-kelezatan alamiah tubuh. Dan untuk mendapatkan kelezatan
imajinasi ini sering kali terlihat sebagian individu menutup diri dari
seluruh kelezatan tabiat dan alami. Misalnya untuk memperoleh kekuasaan,
seseorang bisa menutup mata dari makan, minum, dan pemenuhan
syahwat-syahwat yang lainnya.
Bagian
keempat dari kelezatan ialah kelezatan akal atau rasio. Kelezatan ini
sebagaimana kecerdasan, memiliki begitu banyak tingkatan dan derajat.
Dimulai dari memanfaatkan ilmu, manisnya melakukan ibadah, jihad, hingga
pada mengorbankan jiwa. Dalam keadaan seperti ini, dengan meninggalkan
begitu banyak kelezatan dan kecintaan yang lainnya, manusia akan
bergerak ke arah Tuhan dan fana dalam penghambaan pada Sang Pencipta
alam, lalu dia akan menemukan esensi wujudnya sebagai manifestasi Ilahi
dan apa yang diperoleh dari kesempurnaan di dalam dirinya ataupun diluar
dirinya semuanya berhubungan dengan kesempurnaan wujud Tuhan.
Tingkatan Kelezatan
Antara satu kelezatan dengan kelezatan yang lainnya terdapat perbedaan
dan tingkatan. Dan ukuran perbedaan masing-masing setara dengan
perbedaan substansinya, yaitu perbedaan kelezatan akal dengan kelezatan
inderawi terletak pada ukuran kedekatan diri kepada Tuhan ketika
mengecap kelezatan itu. Esensi kelezatan hanya bisa dipahami melalui
hakikat jiwa, tentunya aksi dan reaksi yang terdapat dalam anggota tubuh
merupakan perantara untuk memindahkan kelezatan tersebut kepada jiwa.
Sebagai contoh, apabila kita merasakan manisnya gula di langit-langit
mulut lalu kita menyukainya, maka gula yang memiliki rasa manis
merupakan perantara awal dan lidah merupakan perantara kedua untuk
memahami kelezatan lahiriah tersebut.
Kelezatan-kelezatan manusia dan untuk memperoleh nya harus dilakukan
dengan memanfaatkan beberapa perantara dimana masing-masingnya akan
bertindak dengan cepat, namun kesibukan jiwa dan perhatian manusia pada
dimensi yang lain akan menyebabkan jiwa manusia tidak mampu menggapai
kelezatan tanpa melalui perantara. Oleh karena itu, terdapat perantara
dan penghalang supaya pesan terkirim ke otak dan akan terjadi aksi dan
reaksi yang beragam supaya kelezatan bisa diraih secara maksimal dan
sempurna. Perantara-perantara ini akan melemahkan pencapaian kelezatan
dan semakin banyak perantara maka akan terdapat hijab dan penghalang
perolehan kelezatan yang semakin besar pula, dan sebaliknya apabila
perantara semakin berkurang, maka perolehan kelezatan akan yang lebih
jelas dan berkualitas. Meskipun tanpa perantara pun sebagian dari
kualitas-kualitas tersebut akan bisa ditemukan dan pencapaian kelezatan
ini akan menjadi lebih jernih, sebagaimana seseorang yang berada pada
alam mimpi, ketika dia meminum sirup atau memakan sesuatu, maka
kelezatan yang diperolehnya terasa lebih tinggi dari kelezatan ketika
dia makan dan minum sesuatu dalam keadaan sadar, dan baginya perolehan
kelezatan tanpa perantara materi jauh lebih kuat dan lebih memikat.
Kelezatan Khayal dalam Pandangan Ibnu Sina
Abu Ali Sina dalam kitab Isyarat wa Tanbihat
dalam pembahasannya tentang kelezatan khayal manusia, menganggap
kelezatan ini sebagai sebuah pengaruh dari munculnya keinginan, harapan,
dan permintaan hawa nafsu manusia, dengan makna bahwa dalam anggapan
manusia ini begitu banyak ide dan harapan yang menurutnya berharga, lalu
dia menyangka apabila harapan tersebut terwujud di alam luar, maka dia
akan mendapatkan begitu banyak kebahagiaan, kesuksesan dan kesempurnaan.
Sebagai contoh, seseorang yang menginginkan jabatan, kekuasaan,
kehormatan, dan kepribadian yang tinggi, apabila suatu hari harapannya
terwujud, maka kelezatan yang dihasilkan oleh kekuasaan dan jabatan
tersebut merupakan kelezatan khayalan.
Manusia
ini telah terikat dan tertarik pada sesuatu yang tidak benar-benar dia
miliki secara hakiki, dengan makna apabila suatu hari kepribadian
khayalan tersebut terambil darinya, maka dia akan kembali menjadi
individu yang sebelumnya, yang secara pasti telah melewati umurnya tanpa
menemukan sedikitpun perkembangan signifikan dalam umur yang telah
terlewati tersebut. Dia tak lain adalah orang yang terkena musibah dan
malapetaka besar, karena seluruh kekuasaan dan jabatan itu tidak akan
memberikan kesempurnaan hakiki dalam dirinya. Hal ini merupakan
kebalikan dari kelezatan akal yang akan kami bahas setelah ini.
Akan
tetapi kelezatan-kelezatan inderawi, sebagaimana makan, tidur,
memuaskan instink alami, apabila pelampiasan ini hanya bertujuan untuk
hidup dan bahkan tujuan hidup untuk makan dan minum serta tak ada tujuan
lain selain memuaskan keinginan alami, manusia ini meskipun akan
menemukan manfaat-manfaat alami tubuh, akan tetapi harus diketahui bahwa
kelezatan-kelezatan tersebut merupakan kelezatan-kelezatan hewani yang
memiliki tingkatan lebih rendah. Manusia seperti ini tidak akan pernah
mengeluarkan kepalanya dari tubuh hewaninya dan tidak memiliki informasi
sedikitpun tentang alam insani, dia tetap tinggal dalam batasan
kehewanannya, dan seluruh jerih payahnya hanya berada pada
batasan-batasan hewan tersebut.
Manusia
semacam ini telah meletakkan dirinya untuk berhidmat pada tingkatan
hewani dan melupakan atau mengesampingkan tingkatan insaninya sendiri.
Jalan yang dia pilih ini sama sekali tidak akan pernah mengantarkan
seluruh potensi insaninya untuk menjadi sesuatu yang aktual dan
menyempurna, dan pada hari kiamat kelak dia tidak akan dibangkitkan
sebagai manusia. Sekarang pertanyaan yang masih tertinggal adalah bahwa
apakah kesempurnaan manusia itu? Dalam jawabannya bisa dikatakan bahwa
satu-satunya kesempurnaan yang layak bagi manusia adalah sampainya dia
pada kelezatan akal dan rasio.
Meskipun
telah dikatakan bahwa kelezatan-kelezatan akal memiliki tingkatan dan
derajat yang beragam, paling tingginya kedudukan rasionalitas dan bahkan
di atas rasionalitas, tak lain adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu
Sina, “Kesempurnaan mutlak manusia adalah kesempurnaan akal dan
rasionalitas, yaitu cahaya Tuhan memancar ke dalam dirinya dan dia tetap
berada dalam kesempurnaan yang mulia dan agung seiring dengan
menetapnya pancaran suci Tuhan.”
Tujuan
tinggi manusia adalah menggapai penegasan Ilahi dan pancaran taufik-Nya
dan melangkahkan kakinya pada tingkatan tinggi ini, jika hal ini
dicapai berarti ia telah meraih seluruh keberhasilan manusia dan tidak
ada satupun martabat atau kedudukan yang sesuai dan lebih tinggi
baginya.
Pada
tingkatan ketuhanan ini, manusia akan menghadapkan wajahnya ke arah tak
terbatas dan sesaat demi sesaat dari umurnya merupakan gerakan menuju
kesempurnaan.
Pada
ufuk tak terbatas ini, seluruh kekuatan dan potensi manusia secara
bersamaan akan menuju ke satu arah yang lebih baik dari khayal dan
imajinasi. Ini merupakan tujuan tinggi insani dimana mata harus tertutup
dari selain-Nya dan hati tak tertambat pada selain-Nya.
Analisa Batasan Kelezatan Inderawi.
Pada pembahasan terdahulu telah kami katakan bahwa kelezatan-kelezatan
manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Filosof besar Ibnu Sina
pada bab kedelapan kitab Isyarat wa Tanbihat menyinggung khayal
dan imajinasi menjadi lima tingkatan dimana kelezatan-kelezatan ini
berada di atas kelezatan inderawi. Dan kebanyakan masyarakat
meninggalkan kelezatan-kelezatan inderawi karena adanya tarikan-tarikan
kelezatan-kelezatan di atas kelezatan inderawi. Dengan hal ini dia
hendak membuktikan bahwa kelezatan-kelezatan inderawi memiliki batasan
dan bukan kelezatan yang terbaik. Ibnu Sina dalam hal ini menuliskan,
“Kalangan awam menganggap bahwa paling tingginya tingkatan kelezatan tak
lain adalah kelezatan inderawi, seperti makan, tidur, marah, dan
syahwat, sedangkan kelezatan-kelezatan non-inderawi merupakan
kelezatan-kelezatan yang rendah.”
Kemudian Ibnu Sina menyanggah pernyataan di atas dengan menyebutkan contoh-contoh berikut:
1. Kadangkala
sebagian dari individu-individu ini yang hingga batasan tertentu
memiliki kemampuan analisa yang benar dan berkata kepada mereka,
bukanlah kalian menganggap bahwa kelezatan-kelezatan inderawi yang
paling baik adalah kelezatan-kelezatan seksual, makanan, dan sepertinya?
Lalu kenapa kadangkala kita melihat pada sebagian individu yang untuk
sampai pada satu kelezatan khayal dia bisa mengesampingkan
kelezatan-kelezatan inderawi semacam ini? Misalnya seseorang yang tengah
asyik bermain catur, kadangkala keasyikannya telah membuatnya tak sadar
bahwa dia telah mengesampingkan makanan dan minuman-minuman lezat yang
telah dihidangkan untuknya, dan dia tetap asyik bermain dengan
khayalannya sendiri hingga berjam-jam lamanya.
2. Demikian
juga, bisa jadi media untuk memperoleh sebagian dari
kelezatan-kelezatan inderawi seperti makanan dan menikah tersedia di
hadapan orang yang menginginkan “kesucian” dan kekuasaan, akan tetapi
demi menjaga kebesaran dan keuntungannya, dia akan menjauhi
kelezatan-kelezatan inderawi tersebut. Baginya menjaga kedudukan dan
keuntungan terasa lebih lezat dan lebih sesuai dari pada meraih
kelezatan-kelezatan inderawi.
3. Kadangkala
bagi seseorang yang berjiwa pemurah, ketika tiba masa untuk memberi,
dia akan lebih memilih kelezatan memberi atas kelezatan sifat hewani,
dan dia mendahulukan pihak lain dari dirinya sendiri dalam merasakan
kenikmatan. Oleh karena itulah dia bergegas untuk memberi. Jadi, jelas
bahwa kelezatan memberi baginya terasa lebih tinggi dari
kelezatan-kelezatan inderawi dan keinginan-keinginan hewani.
4. Demikian
juga manusia yang berjiwa besar dan mulia, di akan memilih lapar dan
haus untuk menjaga harga dirinya, dan pada medan perang, ketika
terdengar ajakan untuk menyerang dia akan menganggap ketakutan terhadap
kematian dan kebinasaan mendadak merupakan sebuah persoalan yang sangat
sepele.
5. Bisa
jadi pula, untuk sebagian pasukan perang, karena penghargaan dan pujian
telah memberikan kelezatan dan kenikmatan yang tak terkira, hal ini
telah menyebabkan mereka menyambut hal-hal yang berbahaya tanpa pikir
panjang dan mereka akan segera menyerang ke arah musuh. Mereka
mendahulukan kelezatan kebanggaan setelah mati dari pada kehidupan yang
rendah.
Contoh-contoh
di atas, menunjukkan bahwa kelezatan-kelezatan inderawi bukan merupakan
hal yang paling ideal bagi manusia, karena kadangkala manusia
menggunakan kelezatan-kelezatan inderawi tersebut sebagai alat untuk
mencapai kelezatan-kelezatan yang lebih tinggi.
Oleh
karena itu, apa yang ada di dalam benak masyarakat umum tentang
kelebihan kelezatan inderawi merupakan persoalan hakiki manusia yang
tidak mereka ketahui, dan mereka hanya menyarikan manusia dalam
mekanisme natural dan alam materi saja. Ibnu Sina juga menisbahkan
pernyataan yang serupa dalam anggapan keliru masyarakat umum, yaitu
metode tafakkur semacam ini beranjak dari khayalan rendah, karena apa
yang menguasai mekanisme berpikir masyarakat umum adalah khayalan bukan
rasionalitas. Sebagaimana khayalan juga menguasai dunia hewan. Hanya
saja, perbedaan yang jelas antara manusia yang terletak pada tingkatan
ini dengan hewan adalah manusia memiliki potensi untuk mencapai
kesempurnaan dan mereka bisa bergerak ke arah kesempurnaan insani,
meskipun selama mereka belum berada pada perjalanan insani dan
kesempurnaan insani, hanya khayalanlah yang akan menguasainya, mereka
tidak akan mendapat manfaat dari akal teoritis dan kelezatan akal.
Kodrat khayalan manusia ini adalah mereka memegang dan mengatur
persoalan-persoalan dunia, duduk, bangkit, melakukan transaksi dan lain
sebagainya. Dan ringkasnya, manusia ini tak lebih hanya sebagai pemuas
potensi-potensi inderawinya. Oleh karena itu, kelezatan inderawi bukan
saja tidak lebih kuat dan lebih tinggi dari kelezatan-kelezatan yang
lain, bahkan kelezatan ini merupakan kelezatan yang paling rendah jika
dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan lainnya.
Sebenarnya
jika manusia yang mampu melesak dari mekanisme inderawi dan khayalan,
melihat dirinya terpenjara dalam kerangka tubuh, maka sebenarnya harus
diketahui bahwa tidak saja dia telah dicengkeram oleh kekuatan hewani
dan setani dimana cakar dan giginya telah memasuki jantung dan meresap
ke dalam jiwanya, bahkan hawa nafsunya pun telah mengikat erat tangan,
kaki, mata dan telinganya. Dalam keadaan ini, maka dia harus secepatnya
menyelamatkan diri dari perangkap yang melingkupinya dengan cara semakin
mendekatkan diri kepada para wali-wali Ilahi dan memberikan perhatian
yang penuh pada dirinya sendiri, lalu melepaskan diri dari penjara tubuh
untuk terbang ke arah alam insani.
Perubahan dan Kesempurnaan
Insan berada pada lintasan yang terletak di antara dua kutub positif
dan negatif. Menghadap ke satu arah artinya membelakangi arah lainnya.
Mendekati salah satu kutub akan berarti menjauhi kutub yang lainnya.
Dengan perkataan lain, semakin dia mendekati alam tabiat dan jasmani
maka sejauh itu pulalah dia telah menjauhi alam spiritual dan Ilahi,
persis dengan tolok ukur tersebut, mensucikan diri dari pengaruh alam
materi, akan senantiasa diiringi dengan kebersihan ruh, pertumbuhan, dan
kesempurnaan spiritual. Menjadi jelas bahwa berkumpulnya dua kutub
positif dan negatif adalah mustahil, hal ini sama dengan kemustahilan
berkumpulnya dunia dan akhirat secara bersamaan.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah swt berfirman, “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.”
Sebelum ini kami telah mengatakan bahwa seiring dengan semakin jauh
dari satu kutub akan diikuti dengan semakin dekatnya ke kutub yang
berlawanan. Tentang masalah ini, saya teringat dengan cerita yang biasa
dikatakan oleh sebagian ulama besar kepada murid-muridnya. Suatu hari
aku kehilangan sebuah cincin, dan aku menghabiskan beberapa waktu untuk
mencarinya. Persis pada saat aku tengah mengkonsentrasikan diriku untuk
pekerjaan ini, tiba-tiba muncul pikiran dalam benakku, kenapa aku bisa
sedemikian mencintai sesuatu sehingga waktuku terbuang sia-sia untuk
itu, sedangkan hal ini tidak layak bagiku. Jadi, aku menghentikan
pencarian cincin itu sejak saat itu juga. Lalu aku berwudhu dan
menyibukkan diri dengan belajar di perpustakaan.
Hari itu aku merasakan adanya cahaya dalam diriku, aku mampu
menyelesaikan sebuah tema ilmiah dengan sangat cepat dan pada waktu yang
singkat aku telah mampu mempelajari dan menyelesaikan begitu banyak
problem dan tema yang ada di dalam kitab dan jadilah aku mengetahui
bahwa dengan meletakkan urusan dunia dan menggantikannya dengan
memusatkan perhatian pada pelajaran, Tuhan telah memberikan taufik
padaku, dimana dalam waktu yang demikian singkat aku telah berhasil
mengambil manfaat terpenting dari sebuah ilmu.
Sebuah Catatan.
Apabila
mereka menganggap dunia sebagai sebuah hal yang negatif, di saat itulah
ketika dunia dianggap sebagai satu-satunya tujuan, hal ini akan
menyebabkan jauhnya diri dari Tuhan dan seluruh kesempurnaan manusia,
dan menjadi penghambat bagi perkembangan serta kesempurnaan spiritual
manusia, akan tetapi apabila dunia yang sama dimanfaatkan dengan cara
yang benar dan pemanfaatannya kita letakkan dalam garis perkembangan dan
kesempurnaan manusia, bukan saja dunia ini tidak negatif, bahkan dunia
bisa menjadi media pertumbuhan dan faktor dasar bagi gerak manusia
menuju tujuan penciptaan manusia yaitu Tuhan.
Metode Memanfaatkan Kelezatan
Apabila telah dikatakan bahwa manusia memiliki kelezatan-kelezatan
inderawi, instink, dan khayal, sekarang harus dikatakan bahwa larut
dalam kelezatan-kelezatan ini akan menjadi penghalang untuk sampai
kepada kesempurnaan manusia dan kelezatan akal. Kami harus pula
mengingatkan tentang poin berikut bahwa memanfaatkan setiap
kelezatan-kelezatan ini, bukan berarti akan menghalangi perkembangan dan
kesempurnaan manusia, melainkan mencukupkan diri di dalamnya yang akan
menghalangi manusia untuk mencapai kesempurnaan yang seharusnya layak
dia peroleh. Jadi manusia bisa mengambil manfaat dari seluruh
kelezatan-kelezatan ini, dan pada saat yang sama dia harus melangkah
pada lintasan kelezatan yang benar yaitu kelezatan akal dan kesempurnaan
manusia.
Tentunya
hal ini akan terjadi ketika seluruh potensinya, baik yang berbentuk
amarah, syahwat, dan khayalan berada di bawah kontrol dan pengawasan
dari potensi akal, yaitu pada saat manusia sampai pada tingkatan akal,
seluruh potensinya dia kerahkan untuk berjalan ke arah kesempurnaan
manusia, potensi yang sama yang sebelum ini menghalangi jalannya,
setelah ini dan selanjutnya akan menyediakan media bagi pertumbuhan
menyempurnanya dan akan mendorong munculnya gerakan yang lebih baik
baginya. Perjalanan kesempurnaan semacam ini, bukan saja tidak menjadi
penghalang, bahkan akan mendorong dan membimbing manusia menuju jalan
kesempurnaan. Sebagai contoh, Rasulullah saww menjalani kehidupannya di
antara para penduduk dengan membentuk kehidupan berkeluarga, beliau juga
melakukkan perdagangan dan bersosialisasi dengan masyarakat, sedemikan
sehingga keluhuran akhlak dan budi pekerti beliau menjadi pembicaraan
dalam al-Quran, “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Beliau selain memanfaatkan karunia alam natural ini juga mengarahkan pandangannya pada titik kulminasi kesempurnaan manusia.
Ketika seluruh potensi manusia berada di bawah kekuasaan akal, dengan
kepemimpinan akal ini, semua potensi ini akan berubah menjadi
bentuk-bentuk yang aktual, akal juga akan merubah perjalanan dan tujuan
kehidupan, dan seluruh persoalan besar dan kecil akan terwarnai dengan
pandangan Ilahi.
Ibnu Sina pada bab ke sembilan kitab Isyarat,
mengatakan bahwa orang arif dalam kehidupannya memiliki kedudukan dan
derajat tersendiri, dimana hal ini hanya terjadi pada kalangan mereka
dan orang lain tidak akan bisa memahami kedudukan dan derajat tersebut.
Mereka seakan mengenakan pakaian ruh dan tinggal di alam materi, mereka
terlepas dari seluruh pengaruh alam materi dan terlepas dari seluruh
aturan pemerintahan tubuh serta bergerak ke arah alam kudus. Seseorang
yang tidak mengetahui derajat semacam ini akan mengingkarinya dan mereka
yang mengetahuinya akan mengangapnya sebagai sebuah persoalan yang
besar dan agung.
Untuk
untuk sampai pada kesempurnaan dan kelezatan-kelezatan akal, manusia
harus meletakkan potensi dan kelezatan-kelezatan yang berderajat rendah
dalam bimbingan dan riyadhah. Langkah pertama dalah melatih
khayal, amarah, dan syahwat, lalu perlahan-lahan menarik mereka di bawah
pemerintahan akal dan mengalihkan perhatiannya dari dunia yang menipu
ini untuk menuju ke arah alam Ilahi. Dalam keadaan ini, akan terjadi
keseimbangan antara potensi instink, amarah, syahwat, dan khayal dimana
tidak ada satupun dari mereka yang bertentangan dan mengganggu
perjalanan akal. Nantinya, potensi-potensi tersebut bukan saja tidak
akan mengganggu akal dan menghalangi manusia untuk sampai pada
kesempurnaannya, bahkan karena telah merupakan sahabat yang seia sekata,
mereka akan senantiasa menyertai akal dan sebagaimana kendaraan mereka
akan menuruti kemauan akal.
Di
sinilah kemudian akan muncul pancaran suci Ilahi pada diri orang ini,
dimana amarah, syahwat, dan khayalannya telah berhasil dia gunakan untuk
menuju ke jalan kesempurnaan insani dan pemerintahan Ilahi. Allah
mencintai hamba-Nya yang ikhlas, yaitu yang meletakkan amarah dan
syahwatnya dalam mekanisme akal. Kita mengetahui bahwa kodrat khayal
manusia mempunyai lingkup yang sangat luas dari kodrat badan dan materi
dimana kodrat ini tak akan pernah memiliki kemampuan untuk mewujudkan
pengetahuan-pengetahuan khayal tersebut ke alam eksternal.
Perbuatan Manusia
Manusia
dalam setiap amal dan perbuatan ikhtiari membutuhkan
pendahuluan-pendahuluan dimana selama mukadimah-mukadimah ini atau salah
satu dari mukadimah-mukadimah ini ditinggalkan, maka perbuatan dan
prilaku tersebut tidak akan bisa terlaksana.
1. Tingkatan
pertama adalah tingkatan dzat, dimana seseorang dalam tingkatan ini
mencakup seluruh tingkatan yang ada. Tingkatan tersebut seluruhnya
tercakup dalam dzat manusia. Seperti seorang ilmuwan yang memiliki
keahlian dalam berbagai cabang ilmu, ketika tengah sibuk bercakap dengan
anaknya dengan nada kekanak-kanakan, dia akan berbicara sesuai dengan
tingkat pemahaman anaknya dengan bahasa kekanak-kanaknya tersebut. Dalam
tingkatan ini, tidak ada satupun dari kesempurnaan ilmunya yang
tertampakkan, yaitu meskipun dia mengetahui tentang filsafat, fisika,
dan perbintangan dia tidak akan memperhatikan hal-hal tersebut.
2. Setelah
itu, perhatian dzat kepada kesempurnaan. Dalam tingkatan ini, manusia
memiliki perhatian umum kepada kesempurnaan. Sebagai contoh, ilmuwan ini
memperhatikan dirinya sebagai seorang yang berilmu, akan tetapi dia
tidak memperhatikan keilmuannya secara mendetail.
3. Tingkatan
ketiga, perhatian yang mendetail kepada kesempurnaan. Sebagai contoh,
ilmuwan ini memperhatikan dirinya yang sebagai seorang insinyur,
filosof, atau ahli hukum.
4. Dalam
tingkatan keempat, perhatiannya kepada kesempurnaan tertentu. Contoh,
perhatian khusus ilmuwan ini kepada ilmu matematikanya dan tingkatan
pengetahuannya terhadap ilmu matematika.
5. Tingkatan
kelima, ilmuwan ini memusatkan konsentrasinya dalam masalah-masalah
khusus, misalnya selain dia memperhatikan ilmu matematikanya dia juga
memperhatikan pembahasan aljabar secara khusus.
6. Tingkatan
keenam, adalah tingkatan dimana misalnya selain dia memperhatikan ilmu
aljabar, dia juga memberikan perhatiannya tentang masalah persamaan atau
equivalen.
7. Tingkatan
ketujuh, adalah memberikan perhatian kepada masalah khusus dari
persamaan, seperti memperhatikan bahwa equivalen dari 2×10 = 5×4.
8. Tingkatan
kedelapan yaitu pengungkapan tentang manfaat dan kerugian suatu
masalah. Dalam tingkatan ini, seseorang akan berpikir tentang apakah
masalah ini perlu diungkapkan, ataukah tidak ada kebaikan untuk
mengatakannya dan sementara harus berdiam diri.
9. Pada tingkatan kesembilan, memilih untuk mengungkapkan, yaitu seseorang memastikan bahwa mengungkapkan masalah akan lebih baik.
10. Tingkatan kesepuluh, keinginan untuk menyampaikan atau mengungkapkan.
11. Tingkatan kesebelas, kehendak kuat untuk mengungkapkan.
12. Tingkatan
keduabelas, memberikan perintah kepada seluruh indera, yaitu memberikan
perintah kepada tangan untuk menulis atau memberi perintah kepada lidah
untuk berkata.
13. Tingkatan ketigabelas, terwujudnya perbuatan nyata, misalnya menggerakkan tangan untuk menulis di atas kertas.
Poin
yang penting untuk diperhatikan di sini adalah, tidak ada satupun dari
perbuatan manusia yang akan terwujud tanpa melewati tingkatan-tingkatan
tersebut, meskipun misalnya mereka mampu melewati tahapan itu dengan
proses yang sangat cepat. Mungkin Anda tidak percaya, seorang pelari
yang mampu berlari dengan sangat cepat dan dalam setiap detiknya mampu
berlari dalam beberapa langkah, dalam setiap langkahnya dia telah
melewati ketigabelas tingkatan di atas, dan apabila pada salah satu
langkahnya dia tidak melakukan salah satu dari pendahuluan-pendahuluan
tersebut, maka pelari tersebut akan segera menghentikan langkahnya.
Apabila kita misalkan dia mengalami keraguan dalam sesaat dan tidak
mengetahui langkah selanjutnya mempunyai manfaat ataukah tidak, pasti
dia tidak akan mengambil langkah selanjutnya.
Dalam
seluruh perbuatan ikhtiari, setelah memilih dan melakukan, di dalam
jiwa manusia akan mengalami aksi dan reaksi semacam ini. Pada amal dan
perbuatan yang terpuji, sejak mulai berfikir hingga saat mengamalkan, di
dalam jiwa manusia akan muncul gerakan menanjak dari mekanisme alam
materi ke arah alam malakuti insani, manusia pada tingkatan amal ini
hingga batas keikhlasannya, akan semakin mendekati alam malakut dan
inilah makna ayat yang berfirman, “Barang
siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya, kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang
saleh”,
sebagaimana yang terjadi dalam perbuatan dan amalan yang tercela, yaitu
sejak berfikir hingga saat dia menyentuhkan tangannya untuk melakukan
perbuatan yang tercela, di dalam dirinya terdapat badai buruk yang akan
menggoncangkan pikirannya ke kanan dan ke kiri hingga dia melakukan
perbuatan-perbuatan tercela.
Apabila
di dalam diri manusia terdapat suatu keyakinan dan pandangan yang
keliru dan sesat, maka akan jatuh ke jurang yang terendah dan akan
terwarnai dengan perbuatan-perbuatan yang aib dan tercela, dia akan
tetap tinggal pada derajat terendah ini hingga dia meluruskan
keyakinannya. Namun ketika hanya melakukan yang perbuatan buruk dan
tercela yang tidak disebabkan oleh suatu kepercayaan sesat, maka dalam
batasan prilaku tercela itu, akan menjauhkannya dari darajat insani.[]
Korelasi Perbuatan dan Struktur Jiwa.
Ibnu
Sina dalam penjelasannya tentang pengaruh perbuatan dalam jiwa dan ruh
manusia, mengatakan, “Seluruh perbuatan yang dilakukan oleh manusia
merupakan serangkaian aksi dan kualitas yang bergabung dengan jiwa
manusia, karena ruh dan jiwa manusia “berada” di sisi badan dan pengaruh
gerakan dan perbuatan lahiriah badan terhadapa jiwa merupakan sebuah
persoalan yang pasti. Sekarang, apabila aksi dan kualitas prilaku
tersebut telah terserap di dalam jiwa manusia, maka jiwa setelah
berpisah dengan badan, tetap memiliki karakteristik dan sifatnya semula
persis seperti ketika dia masih berada bersama badan. Akan tetapi
karakteristik dan sifat dari perbuatan-perbuatan buruk badan yang telah
menjadi bagian dari ruh, akan muncul sebagaimana sebuah penyakit parah
yang terjadi sebagai pengaruh dari kelalaian jiwa dalam mengatur badan,
yang hal ini kemudian menyebabkannya terkena siksaan, terazab dengan api
barzakh yang panasnya melebihi api jasmani.”
Jadi,
setiap perbuatan dan prilaku yang dilakukan oleh manusia akan
memberikan pengaruh pada jiwa dan ruhnya, yang kemudian secara bertahap
hal ini akan memberi bentuk dan karakteristik pada jiwa tersebut. Pada
persoalan ini kami akan menukilkan sebuah misal yang telah terbukti
secara ilmiah.
Untuk
pertama kalinya seorang anak yang terlibat dalam kasus pencurian
kecil-kecilan, dengan secara sembunyi-sembunyi dan sangat hati-hati dia
telah mengambil sejumlah uang dari dompet seseorang. Apabila kita amati
tingkah laku anak ini dengan seksama, maka kita akan menemukan wajah,
tingkah dan gerakan-gerakan tidak wajar yang menghikayahkan gejolak yang
terjadi di dalam jiwanya. Akan tetapi, apabila dia melakukan hal ini
untuk kedua kalinya, gejolak jiwa yang semula tetap senantiasa ada, akan
tetapi dengan kualitas yang lebih rendah, tidak separah pada kejadian
pertama. Demikian seterusnya, apabila dia secara terus menerus
mengulangi perbuatannya, secara bertahap perbuatan mencuri sudah
merupakan hal yang biasa baginya, dia akan melakukannya tanpa sedikitpun
memiliki rasa takut ataupun gelisah. Semakin banyak dia melakukan aksi
pencurian, yang berarti akan semakin menambah keahliannya dalam bidang
ini, dia akan mendapatkan hasil yang semakin banyak pula, lama-kelamaan
perbuatannya akan mengarahkannya pada perampokan bank dan pembunuhan,
sedemikian sehingga ketika tidak berhasil melakukan pembunuhan dia akan
merasa gelisah dan gagal. Sekarang yang harus diperhatikan, “pencabut
nyawa” ini yang tidak lain adalah si anak yang ketika mencuri beberapa
ratus rupiah diliputi dengan ketakutan dan gejolak jiwa yang luar biasa,
tetapi sekarang, dia telah berubah menjadi sosok yang mampu membunuh
dan merenggut nyawa orang lain dengan perasaan yang sangat tenang.
Perubahan
yang sangat ajaib ini, merupakan sebuah hasil dari perbuatan dosa,
maksiat, dan pelanggaran-pelanggaran moral yang dia lakukan secara
berulang-ulang.
Jadi,
amal dan perbuatan manusia, secara bertahap dan alami akan memberikan
bentuk kepribadian baginya. Sebenarnya, setiap manusia akan membentuk
dirinya dengan amal dan perbuatannya. Dalam salab satu hadits, Imam
Shadiq as bersabda, di dalam hati setiap mukmin terdapat sebuah titik
putih yang secara bertahap karena pengaruh amal dan perbuatannya, akan
berubah menjadi gelap dan menghitam. Ketika warna hitam telah melingkupi
dirinya, maka manusia tersebut akan menjadi bagian dari ayat, “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang Amat berat”.
Perbuatan
dan prilaku harian memberikan refleksi-refleksi yang khas bagi jiwa
manusia dan memakaikan “baju” pada jiwa yang tak lain adalah badan barzakh
bagi manusia, yaitu dengan amal dan perbuatan, manusia akan membentuk
badan barzakhnya. Manusia ketika terlahir ke dunia, sama sekali tidak
memiliki peran dalam membentuk fakultas diri dan juga cantik atau
buruknya, dan Sang Maha Pencipta telah mensketsa semua ini untuknya.
Jadi, manusia terlahir ke dunia tanpa memiliki interfensi dan campur
tangan serta pengawasan mengenai bentuk dirinya. Akan tetapi, ketika
hendak meninggalkan dunia, dia memiliki bentuk dan wajah yang terbentuk
karena campur tangannya dan bisa dikatakan bahwa bentuk tersebut
merupakan hasil dari perbuatan dan prilaku manusia di dunia. Ghibah,
mencela, berbohong, dan memandang non-mahram, akan meninggalkan warna
hitam di dalam kalbu manusia dan menghilangkan cahaya dan sinar kalbu
tersebut. Secara bertahap, dikarenakan pengaruh berkumpulnya
perbuatan-perbuatan tersebut, akan muncul figure dan bentuk pada jiwa,
dan akan menciptakan manusia dalam bentuk yang sesuai dengan akhlak dan
tingkah laku yang telah dihasilkannya. Imam Khomeini ra beberapa kali
mengutarakan masalah ini dalam kitabnya Cehel Hadist dimana
beliau mengisyarahkan bahwa amal dan perbuatan manusia akan memberikan
bentuk pada diri manusia, dan orang-orang yang memiliki mata barzakh
mampu melihat begitu banyak wajah-wajah dan bentuk-bentuk barzakh
manusia.
Dalam
sebuah hadits dinukilkan, seorang sahabat Imam ketika berada di Mekkah
berkata kepada Imam Sajjad as, “Betapa banyaknya para haji”, Imam as
mengoreksi perkataan tersebut dan bersabda, “Betapa banyak orang yang
melakukan ibadah haji tapi betapa sedikitnya haji”. Pada poin inilah Allah swt berfirman, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Tentunya
satu-satunya jalan untuk tidak terjebak oleh tipuan setan ini adalah
kembali ke jalan yang benar dan menemukan jalan serta kebiasaan hidup
dengan melakukan hubungan dan komunikasi tiada putus dengan Sang Maha
Pencipta, dan inilah satu-satunya jalan yang mampu membersihkan hati
yang telah berkarat dan gelap lalu menghiasinya dengan kesucian
penghambaan kepada Sang Tuhan.
Kehidupan
manusia, sebagaimana kualitas kematian manusia (hidup pasca mati)
merupakan sebuah jalan yang sangat sensitif. Apabila manusia berbahagia
dan beruntung dalam kehidupannya, maka dia juga akan bahagia dan
beruntung pasca kematiannya. Sebagian manusia akan meninggal dalam
keadaan insani, akan tetapi tak jarang yang meninggalkan dunia ini
dengan keadaan layaknya seekor hewan. Dengan alasan inilah, Para Imam
Ahlulbait memerintahkan memilih bentuk kematian yang baik dan bahagia.
Mula
Sadra mengatakan bahwa, “Manusia adalah substansi-substansi yang
berbeda dan mandiri”, yakni setiap amal dan prilaku yang dilakukan oleh
manusia akan membentuk hakikat dirinya. Tak satupun manusia memiliki
kualitas yang sama dalam setiap prilaku dan perbuatannya, oleh karena
itu tidak satupun manusia memiliki hakikat wujud yang sama dan
sederajat.
Jika
akhir seluruh perbuatan manusia sedemikian sensitifnya dan senantiasa
beriringan dengan bahaya besar seperti ini, berarti membutuhkan
kehati-hatianyang sangat cermat, dan selayaknyalah kita tidak melepaskan
diri kita lalu mengorbankan diri kita pada hal-hal yang kabur,
kehidupan yang kosong, penuh khayalan, tipuan, penampakan lahiriah dan
jahil terhadap hakikat eksistensi alam. Poin yang penting untuk
mendapatkan perhatian adalah bahwa hendaklah manusia mengetahui hakikat
dirinya. Di manakah tempat ia berada? Bagaimanakah melaksanakan
kewajiban secara benar?
Kesempurnaan Tertinggi.
Ibnu
Sina mendefinisikan kesempurnaan manusia sebagai berikut, “Seorang arif
yang berpengetahuan dan telah sampai pada tingkatan kesucian, ketika
dia telah terlepas dari pengaruh materi yang dihasilkan karena
berdampingan dengan badan dan telah berhasil menjauhkan diri dari
keterikatannya, dia akan berjalan dengan ikhlas dan suci ke arah alam
qudus dan akan bersuluk bersama dengan kecintaan abadi pada tingkatan
tertinggi kesempurnaan, dan akan merasakan kelezatan-kelezatan yang
lebih tinggi dari seluruh kelezatan, sebagaimana yang telah kami
singgung pada pembahasan sebelumnya. Jangan menyangka bahwa
kelezatan-kelezatan semacam ini tidak akan mungkin dirasakan di alam
materi dan kita akan tetap tidak mampu memilikinya hingga jiwa tetap
berada di tubuh, ketahuilah bahwa mereka yang telah sampai pada alam
suci non-materi, alam akal, dan telah menyaksikan alam jabarut telah
menyaksikan jamaliyah Ilahi dan mengecap tingkatan tertinggi kelezatan
tersebut, karena meskipun mereka masih terkait dengan badan dan jasmani
akan tetapi hati mereka tidak disibukkan oleh usuran dunia dan tidak
terpengaruh oleh, penyaksian-penyaksian jamaliyah alam qudus tersebut
telah membuat mereka menolehkan muka dari segala sesuatu”.
Imam
Husein as pada hari Asyura, setelah mengucapkan kata perpisahan dengan
para perempuan Ahlulbait dan anak-anak, langsung menuju ke medan perang
seakan tidak pernah melihat peristiwa sebelumnya dan seakan telinganya
tidak mendengar jeritan dan teriakan para perempuan dan anak-anak, hal
ini karena beliau adalah seorang sosok yang mempunyai hubungan erat
dengan alam malakuti dan telah tenggelam dalam kecintaan alam jabarut
sehingga seakan telah lalai dari segala sesuatu selain Allah.
Almarhum
Ayatullah Bahauddin menukilkan dengan berkata, ketika Imam Khomeni ra
datang ke kota Qom beliau mendatangi rumahku. Di sana beliau berkata,
Aku merasakan segala sesuatu berada di telapak tanganku dan aku berada
digenggaman kodrat Ilahi. Lalu Ayatullah Bahauddin menambahkan bahwa
kami juga melihat gerak dan diamnya sosok agung ini seluruhnya Ilahi dan
apa yang beliau katakan adalah benar.
Ya,
apabila cahaya dari malakut alam memancar kepada wali Allah, maka dalam
sesaat api akan melahap keterikatan dunia dan membakar seluruh
akar-akar pengaruh dunia serta akan mengubah selera manusia terhadap
lahiriah-lahiriah dunia menjadi pahit dan akan mengarahkannya keharibaan
Ilahi. Tentunya mereka juga memanfaatkan aspek-aspek duniawi akan
tetapi bukan karena kebergantungannya padanya, melainkan karena dunia
merupakan media gerak ke arah yang yang lebih tinggi dan seluruh
dimensi-dimensi dunia ini harus kita manfaatkan untuk mencapai tujuan
yang lebih suci dan tinggi.
Keburukan dalam Kehidupan Manusia
Pada masalah ini ada beberapa hal yang perlu dibahas, yaitu:
Pertama, apakah keburukan terdapat di alam?
Kedua, apabila keburukan terdapat di alam, bagaimana hal ini bisa terpancar dari Allah yang merupakan Sumber Kebaikan?
Ketiga, apabila terdapat keburukan di alam, lalu apakah perannya dalam mekanisme kehidupan manusia?
Pembahasan
pertama, keburukan mutlak sama sekali tidak terdapat di alam, melainkan
apa yang bisa dikenali dan disebutkan sebagai keburukan adalah
peristiwa yang merupakan kemestian alami dari dunia materi ini, realitas
di alam ini saling berbenturan dimana kadangkala keberadaan yang satu
menuntut ketiadaan yang lainnya, meskipun keberadaan keduanya akan
membawa ribuan pengaruh yang bermanfaat, dan mungkin bisa dikatakan
bahwa dengan ketiadaan keduanya akan begitu banyak kerugian yang akan
dirasakan oleh manusia.
Sebagai
contoh, api meskipun kadangkala mampu melahap rumah dan fasilitas hidup
lainnya, akan tetapi kita mengetahui bahwa kehidupan manusia tidak akan
bisa bertahan tanpa adanya api, karena api merupakan kebutuhan
prinsipil dalam kehidupan manusia. Jadi, kita tidak bisa mengatakan api
sebagai sesuatu yang buruk secara mutlak, meskipun banyak
kejadian-kejadian yang menghikayatkan bahwa api mampu melahap dan
membakar bahkan kadangkala lebih dari satu kota dalam satu waktu
sekaligus. Demikian pula halnya dengan air, tanah, angin, dan …, bisa
jadi merupakan sumber peristiwa-peristiwa yang mengerikan, akan tetapi
tidak satupun dari realitas alam ini yang buruk mutlak.
Penjelasan
kedua, dengan melihat penjelasan pertama maka jawaban untuk persoalan
kedua akan menjadi jelas. Tuhan mewujudkan api, tanah, air, dan
sumber-sumber alam lainnya tidak lain sebagai rahmat dan kemuliaan-Nya,
sedemikian hingga apabila unsur-unsur alam tersebut tidak tercipta, maka
realitas yang bernama alam dunia tidak akan pernah terwujud secara
eksternal.
Penjelasan
ketiga, Allah swt telah menciptakan alam dunia ini sedemikian rupa
dimana dasar penciptaannya terletak pada adanya saling benturan dan
pertempuran. Dunia ini begitu sempit dan kecil, dan Allah menciptakan
dunia ini sebagai kehidupan yang sulit bagi manusia untuk memberikan
pemahaman kepadanya bahwa dunia ini bukanlah tempat kehidupan abadi,
sebagaimana sabda Amirul Mukminin Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah,
“Sesungguhnya Aku menciptakanmu untuk akhirat bukan untuk dunia”
Sesungguhnya
manusialah yang harus belajar dari adanya konflik-konflik, dan
memerangi seluruh kesulitan dan berdiri tegak dalam menghadapi
benturan-benturan yang menghadangnya, harus senantiasa tinggal pada
batas garis yang lurus dan membentuk dirinya dengan usaha untuk tetap
bertahan. Tidak seharusnya dia menyerah pada gelombang badai yang
menyerang dari dalam dan dari luar manusia, dan pertahanan laksana
gunung agung dalam kepribadian manusialah yang seharusnya menampar
gelombang tersebut untuk mengembalikannya pada kedudukannya semua dan
dia semantiasa tegak dan berdiri di atas kakinya dan menambah kekuatan
dan keagungannya.
Dia
harus bersyukur dan memuji Allah swt yang telah memberikan taufik-Nya
dengan segala kelebihan-kelebihannya dan mengetahui kedudukannya dan
tidak menyerah pada gelombang yang hangar bingar yang menampakkan diri
pada permukaan eksternal dalam mekanisme keberadaannya, melainkan dia
mengetahui kedalaman samudra yang sangat tenang dan menyerahkan
ketenangan hatinya kepadanya dan dia akan mengubah dirinya menjadi lebih
agung dari samudera dan lebih kokoh dari gunung-gunung, bahkan tinggi
dari langit-langit. Dan konflik-konflik inilah yang akan membuat dan
membentuk manusia semakin kuat dan memiliki peran sebagai pembentuk yang
abadi.
Konklusi Makrifat Jiwa
Dalam
mekanisme penciptaan, setiap maujud senantiasa berhadapan dengan
hidayah dan petunjuk yang beragam dimana kelanjutannya adalah gerak
menuju ke arah tujuan dan maksud yang telah tertentu. Gerak dan petunjuk
ini, begitu cermatnya sehingga setiap ilmuwan yang mempunyai
spesialisasi dalam sebuah bidang khusus, dengan pandangannya yang cermat
terhadap tema-tema spesialisasinya akan mampu menganalisa garis
geraknya, dan dia akan mengamatinya dengan sangat teliti dari tahapan
awal hingga tujuan terakhir, kemudian akan menyimpulkan dengan baik
bahwa hidayah takwini Ilahi, melingkupi setiap detik dari
langkah-langkahnya dan memenuhi seluruh partikel-partikel wujudnya.
Tiga
masalah penting, gerak, hidayah, dan spesifikasi telah ditentukan untuk
seluruh maujud dan makhluk-makhluk dunia penciptaan. Almarhum Alamah
Thabathabai
sepakat bahwa setiap gerak dari yang kecil hingga yang sangat besar
dari mekanisme eksistensi, apabila diperhadapkan dengan titik tujuannya
seakan telah terdapat garis yang terlukis disana, dan setiap manusia
yang berfikir, mampu mengantisipasi dari permulaan setiap maujud hingga
batas garis akhirnya. Sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya,
Allah swt telah menciptakan mekanisme mendetail ini dalam bentuk kecil
maupun besar, dan hidayah itu sendiri bertanggung jawab terhadap
lingkaran wujud. Al-Quran dalam penjelasannya mengenai masalah ini
berfirman, “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” dan juga berfirman, “Musa
berkata: “Tuhan Kami ialah (tuhan) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk”, dan
Dia juga menciptakan paling baiknya bentuk, lalu Dia memberikan hidayah
kepada seluruhnya dalam garis yang teratur. Ustadz Allamah Thabathabai
dalam tafsir Al-Mizan, menjabarkan tema yang sama di bawah ayat
tersebut dengan mengatakan bahwa dunia penciptaan merupakan paling
baiknya mekanisme dan berada dalam kepengaturan Ilahi, tidak ada
sesuatupun yang akan terwujud tanpa adanya tujuan dan maksud dan setiap
gerak akan berjalan ke arah kesempurnaan dengan perhitungan yang khusus,
sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran, “Tidaklah mungkin bagi
matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang,
dan masing-masing beredar pada garis edarnya”.
Ya,
ini merupakan kaidah yang berlaku di antara seluruh eksistensi dan
manusia pun tidak terkecualikan dari kaidah agung ini, bahkan bisa
dikatakan bahwa mekanisme struktur manusia memiliki kelebihan yang
menakjubkan dimana hal ini telah disusun dan dibentuk untuk bergerak ke
derajat dan tujuan tertinggi, sebuah tujuan yang tak ada satu eksistensi
yang mampu bergerak ke arahnya kecuali eksistensi manusia yang luar
biasa ini.
Banyak
hadits dan ayat-ayat yang memperkenalkan bahwa tujuan dan maksud
penciptaan manusia berada pada tingkatan paling tinggi dan paling
menakjubkan dari segala keberadaan, sebuah tujuan yang sesuai dengan
kualitas penciptaan manusia. Pada hari penciptaannya, malaikat
diperintahkan untuk bersujud kepadanya, seakan para malaikat pada
permulaannya hanya memperhatikan dimensi kemateriannya, mereka melihat
manusia tidak layak untuk diciptakan, oleh karena itu mereka berkata
kepada Allah, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?”. Mereka tidak memperhatikan dimensi malakuti manusia yang “Dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh”, dan
mereka tidak mengetahui bahwa manusia adalah sebuah eksistensi yang
dalam penciptaannya terdapat interfensi dari alam materi hingga alam
malakut, dari asfalus-safilin hingga a’la ‘aliyyin dan aspek malakutinya bersumber dari ruh Ilahi.
Manusia
merupakan percampuran dari seluruh hakikat alam yang berlainan, mulai
dari tahapan materi pertama hingga derajat tertinggi malakuti berbaur di
dalam dirinya, yaitu dia berjalan dari materi pertama hingga tingkatan
tumbuhan, dan dari alam hewan hingga kesempurnaan insani, semuanya
menyatu dalam wujudnya dan dia mengetahui seluruh informasi alam. Sementara eksistensi-eksistensi lain tidaklah demikian.
Dengan
alasan inilah, sehingga manusia mampu menjadi pengajar para malaikat
dan kita melihat bahwa al-Quran menjelaskan tentang kelemahan malaikat
serta pengakuan mereka terhadap ketidaktahuan mereka, dan para malaikat
mengatakan, “Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”,
dengan demikian mereka berkewajiban bersujud di hadapan manusia, dan
malaikat yang menemukan kebersatuan dengan jiwa manusia mendapatkan ilmu
pengetahuan dan kesempurnaan yang begitu banyak. Manusia yang berada
dalam tingkatan pertumbuhannya pun melakukan hubungannya dengan malaikat
non-materi dan bisa jadi malah akan bisa melampauinya.
Meskipun
manusia memiliki kedudukan tinggi dan agung, akan tetapi perjalanan
geraknya tidak pernah tanpa penghalang, para setan duduk manis untuk
menggoda manusia dan mendorongnya ke arah jurang yang terjal. Dia
berusaha dengan usaha penuh untuk menghancurkan dan menggagalkan
manusia. Oleh karena itu, manusia dalam sepanjang kehidupannya, berada
dalam sebuah medan perlawanan yang riil, dan tentunya dalam pergumulan
dan perlawanan inilah akan tersedia media bagi pertumbuhan manusia,
karena jika hanya ada gerak satu arah dan tidak ada gerak ke arah yang
berlawanan serta perjalanan yang bertentangan, maka pertumbuhan dan
kesempurnaan tidak akan pernah terwujud. Dengan alasan inilah sehingga
Tuhan senantiasa mengingatkan kepada manusia dari makar dan tipuan musuh
dan penggoda manusia ini, dan menyarankan kepada mereka untuk
memusatkan kekuatan dan konsentrasinya dalam geraknya menuju mekanisme
alam malakuti dan alam suci Ilahi. Hindarkan diri
kalian dari pengaruh materialisme. Jangan jual diri kalian dengan
kelezatan-kelezatan inderawi. Letakkan seluruh fakultas dan
kecenderungan kalian untuk mencapai kesempurnaan, dan dalam perjalanan
ini jangan sekali-sekali berhenti pada satu derajat.
Allah Swt mendorong manusia untuk melintasi perjalanan ini dan memberi janji-janji yang agung kepada mereka, dan berfirman, “Dan
tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui”.
Pada ayat yang lain Alllah Swt berfirman, “Tak
seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah
dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”.
Jika
sebagian dari kelezatan-kelezatan batin, lebih penting dan lebih
diprioritaskan dari syahwat, perut, dan seluruh instink, maka yakin
bahwa kelezatan-kelezatan malakuti pasti tidak akan bisa dikomparasikan
dengan kelezatan-kelezatan material. Para psikolog modern pun membahas
sebagian dari masalah ini dan mengatakan bahwa antara
kelezatan-kelezatan jasmani dan jiwa terdapat perbedaan yang sangat
tajam. Di antaranya adalah bahwa kelezatan-kelezatan jasmani, berkaitan
dengan anggota-anggota badan tertentu, misalnya berhubungan dengan
penglihatan, pendengaran atau penciuman, akan tetapi kelezatan-kelezatan
ruh tidak seperti ini, kelezatan jenis ini lebih bersifat mencakup dan
meliputi seluruh wujud manusia. Seperti kelezatan seorang ilmuwan
setelah menemukan masalah-masalah ilmiah.
Selain
itu, kelezatan jasmani, membutuhkan penggerak dari luar, seperti
pemandangan yang indah, suara yang merdu, dan …, akan tetapi kelezatan
ruh, muncul dari persepsi internal manusia, seperti pemahaman masalah
ilmiah atau perasaan menang. Yang lainnya adalah, kelezatan-kelezatan
inderawi seperti perasa, pendengaran, dan penglihatan tidak akan
bertahan lama dan akan cepat mengalami kerusakan, akan tetapi kelezatan
ruh bertahan lama. Sebagaimana sakit-sakit jasmani yang bisa
disembuhkan, akan tetapi penyakit ruh tidak dengan mudah bisa
disembuhkan. Sebagaimana dikatakan bahwa luka yang disebabkan oleh lidah
lebih dalam dari luka yang disebabkan oleh pedang.
Jadi,
menjadi jelas bahwa selain kelezatan-kelezatan jasmani, terdapat
kelezatan-kelezatan lain yang lebih kuat, yang tak lain adalah
kelezatan-kelezatan ruh dan jiwa. Sekarang bisa diketahui bahwa apabila
kelezatan-kelezatan akal ini dimanfaatkan, maka hasilnya sama sekali
tidak bisa dikomparasikan dengan kelezatan-kelezatan jasmani dan
khayalan. Adalah sama sekali tidak benar pernyataan para materialistis
yang mengatakan bahwa orang yang tidak terpenuhi kebutuhan makan, tidur,
dan instinknya maka dia adalah orang yang malang dan tidak beruntung.
Apakah kelezatan maknawi, spiritual, dan Ilahi yang dimiliki oleh para
malaikat bisa dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan rendah binatang?
Apakah persepsi dari tingkatan syuhud, sifat, dan asma Tuhan bisa
diperhadapkan dengan rasa segenggam gula, sepotong roti, atau
pemandangan yang indah? Tidak sama sekali. Karena perbedaan keduanya
terletak dari tingkatan hewan hingga manusia sempurna yang lebih
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari para malaikat. Apabila seseorang
kebingungan dalam batasan ini, maka dia telah keluar dari fitrah insani.
Pada dasarnya harus dikatakan bahwa perbedaan antara kelezatan yang
satu dengan yang lainnya tergantung pada kelebihan yang dimiliki oleh
masing-masing. Kelezatan yang dihasilkan dari mengunyah segenggam gula
atau sepotong makanan yang lezat, sama sekali tidak bisa dibandingkan
dengan kelezatan yang dihasilkan dari penemuan atas sebuah
masalah-masalah ilmiah atau penyaksian malakuti, syuhud, atau interaksi
dengan asma dan sifat-sifat Ilahi.
Oleh
karena itu, manusia sempurna yang telah terbimbing, terhidayahi dan
bergerak secara lurus dan istiqomah, tidak lain sebagaimana yang telah
diisyarahkan oleh Ibnu Sina dalam bab ke delapan kitab Isyarat,
yang mengatakan, “Kesempurnaan mutlak manusia terletak pada pancaran
manifestasi suci Tuhan di dalam dirinya dan dia tetap dalam kesempurnaan
kemuliaan dan kelezatan Ilahi dengan kebersamaan Tuhan”.
Catatan Penutup:
Ilmu
dan pengetahuan yang tanpa diiringi dengan pengamalan atasnya tidak
akan terlalu bermanfaat bagi manusia. Manusia yang menyimpan banyak ilmu
dan telah menjadi sebuah perpustakaan luas yang menyimpan ratusan ilmu
dan pengetahuan, apabila seluruh ilmu itu belum menyatu dengan hakikat
manusia, maka ratusan ilmu itu tidak akan mampu menjaga manusia dari
kesalahan dan kekeliruan. Pemilik ilmu-ilmu ini tak ubahnya seperti
masyarakat awam, kepribadiannya bukan kepribadian orang yang berilmu,
karena ilmu-ilmu itu tidak menyatu dengan jiwanya, ilmu-ilmu itu hanya
merupakan kumpulan formulasi yang tersimpan dan terkumpul di dalam benak
dan ingatannya.
Ketika
seorang alim memanfaatkan ilmunya dan menjadikan ilmu itu sebagai
makanan wujudnya sehingga menyatu dengan hakikat jiwanya, maka
sesungguhnya ia telah membentuk dirinya sebagai pribadi yang berilmu.
Maka seluruh gerak dan diam orang semacam ini menunjukkan pada
keilmuannya, dan makan, tidur, berjalan, bercakap, dan seluruh
perilakunya, berbeda dengan orang awam. Hakikat wujudnya adalah ilmu,
sebagaimana yang dikatakan oleh para filosof, “Jiwa manusia telah
menyatu dan meliputi seluruh indera lahiriah dan indera batiniah yang
dimilikinya, jiwanya telah mencakup alam akal, alam khayal, dan alam
materi dan mampu mengontrol seluruh kecenderungan-kecenderungan
wujudnya. Sekarang karena ia telah menjadi menusia hakiki, maka
kelezatan akal tidak hanya dirasakan pada wilayah indera tertentu,
tetapi kelezatan akal ini telah meliputi seluruh wujudnya. Dengan
demikian, wujud manusia ini telah menyatu dengan ilmu, akal, dan seluruh
kesempurnaan. Pada tahapan ini, sosok manusia sempurna ini akan
terlindung dari segala keburukan dunia ini dan tidak akan terjebak
dengan kemewahan dan tipu dayanya. Dia menjalani kehidupannya dengan
tenang, bahagia, dan tidak merasakan sedikitpun kekhawatiran.
Ibnu Sina dalam kitab Isyarat
mengatakan, “Jiwanya telah disibukkan dengan alam suci malakuti dan
seakan-akan ia tidak berada di alam materi lagi dan pengaruh-pengaruh
duniawi telah menghilang darinya”. Kemudian ibnu Sina melanjutkan, “Dia
memiliki wajah yang riang, lapang, dan senantiasa tersenyum, karena
hatinya telah tertambat pada Tuhan dan dia melihat segala sesuatu
sebagai manifestasi Tuhan”. Tentu saja apa yang dikatakan oleh filosof
agung ini merupakan sebuah hikayat yang berhubungan dengan alam
non-materi dan mustahil terkait dengan alam materi ini. Apa yang mungkin
dicapai di alam materi ini, hanyalah gambaran-gambaran dari hakikat,
makrifat-makrifat, dan realitas-realitas alam tinggi non-materi yang
didapat dari manusia yang telah melakukan perjalanan spiritual (seir
suluk). Mereka yang telah memilih alam materi sebagai tempat tinggalnya
dan tidak terlepas dari pengaruhnya, tidak akan mampu melihat
manifestasi dan tajalii Tuhan di balik benda-benda yang ada di alam ini.
Penyaksian manifestasi Ilahi ini menuntut kesucian jiwa dari segala
pengaruh materi. Realitas Suci tak berhingga itu hanya dapat “ditampung”
dalam hati mukmin yang telah disucikan dari segala realitas wujud
selain Wajah Suci Tuhan.
D. Pengenalan Manusia Perspektif Islam
Mukadimah
Para
filosof Islam menyepakati bahwa manusa merupakan hasil penciptaan yang
paling sempurna. Dia memiliki seluruh kesempurnaan dan seluruh tahapan
maujud. Yaitu di dalam maujud ini ditemukan seluruh kesempurnaan dari
alam unsur hingga alam non-materi (mujarrad) dan dengan ibarat lain,
substansi manusia merupakan cermin dan gambaran dari seluruh tahapan
eksistensi. Dia juga memiliki seluruh kesempurnaan alam natural,
sebagaimana bisa dikatakan:
1. Seluruh unsur-unsur yang merupakan pembentuk seluruh substansi maujud beraktifitas di dalam badan manusia;
2. Contoh
yang terdapat di dalam mekanisme alam natural dari yang bersifat
empiris, terbagi, dan terkomposisi, aktif di dalam tubuh manusia;
3. Manusia
memiliki seluruh kesempurnaan botani. Yaitu apa yang terdapat di dalam
mekanisme botani seperti berkembang, tumbuh, penyerapan, dan pencernaan
nutrisi, di dalam wujud manusia muncul dalam bentuk yang lebih sempurna
dan lebih mendetail. Para ilmuwan alam Islam mengatakan bahwa tumbuhan
memiliki rangkaian fakultas khusus dalam dirinya, yang seluruhnya adalah
sebagai berikut: 1. Fakultas tumbuh, 2. Fakultas mencerna, 3. Fakultas
menarik, 4. Fakultas menolak, dan 5. Fakultas penyerapan. Dalam fakultas
penyerapan terdapat empat fakultas lainnya, yaitu: a. alat pencernaan,
b. liver, c. kapiler, d. organ tubuh. Setelah mengalami proses
pencernaan di dalam alat pencernaan, makanan akan muncul dalam bentuk
dimana melalui enzim (kelenjar yang terdapat pada alat pencernaan) yang
bisa dicerna dan setelah menyerahkannya kepada liver dan akan merubahnya
menjadi darah, pada tahapan ketiga akan mengalir ke dalam kapiler, dan
pada tahapan keempat akan berbentuk dalam nutrisi untuk perbaikan di
dalam perangkat organ. Fakultas lain, 6. Fakultas kawin yang merupakan
pembentuk nutfah, 7. Perangkat berkembang biak, 8. Perangkat pembentuk.
Fakultas Hewani
Manusia
juga memiliki kesempurnaan hewani. Fakultas-fakultas hewani ini yang
terdapat pada seluruh tahapan wujud hewan secara sempurna juga ada dalam
diri manusia. Fakultas-fakultas tersebut antara lain: 1. ruh bukhari (berbentuk seperti uap), 2. ruh nafsani (psychic spirit), 3. ruh tabiat (natural soul), dan 4. ruh hewani (animal spirit).
Fakultas Insani
Secara
umum manusia mempunyai dua fakultas, yaitu fakultas eksternal dan
internal. Lalu fakultas eksternal dibagi lagi menjadi lima bagian:
penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman, dan peraba. Tentunya para
psikolog kontemporer menambahkan indera keenam dan indera tersebut
adalah indera yang bertanggung jawab terhadap perbandingan ukuran.
Sementara fakultas internal manusia antara lain:
- Indera musytarak (common sense),
indera ini bisa diibaratkan sebagaimana kolam kecil dimana
sungai-sungai kecil mengalir ke arahnya dan seluruh air berkumpul di
dalam kolam kecil tersebut, yaitu seluruh bentuk-bentuk yang
ditransmisikan ke otak oleh panca indera di atas berkumpul di
indera pusat ini;
- Fakultas khayal (representative faculty),
fakultas ini merupakan penyimpan seluruh bentuk-bentuk dan gudang
seluruh gambaran. Salah satu keistimewaan dari indera khayal ini
adalah hanya memahami bentuk-bentuk partikular saja;
- Fakultas estimasi (wahm, estimative faculty) , yang mempersepsikan makna-makna partikular, seperti makna persahabatan, permusuhan, dan lain sebagainya;
- Fakultas hafalan (faculty of memory),
fakultas ini yang mengarsipkan dan merekam seluruh bentuk-bentuk
dan makna-makna partikular dan setelah berlangsungnya waktu,
fakultas ini mampu menghadirkan kembali bentuk-bentuk dan makna-makna
tersebut;
- Fakultas imajinasi (mutakhayyilah, imagingal faculty),
fakultas ini mampu mengkomposisikan atau memisahkan makna-makna
dan bentuk-bentuk yang berbeda, dan dari pemisahan serta
pengkomposisian tersebut akan memunculkan begitu banyak realitas lain;
- Fakultas akal dan rasio (faculty intellectual), fakultas ini yang mempersepsikan makna-makna universal;
- Fakultas berpikir (mufakkirah, faculty of thought),
dengan fakultas ini bentuk-bentuk rasionalitas menjadi realitas
yang empirik dan memiliki kemampuan membentuk argumentasi dan
burhan untuk persoalan-persoalan yang tak jelas.
Manusia dalam Al-Quran
Al-Quran secara tegas mengisyaratkan terhadap dua dimensi manusia yaitu dimensi materi (Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah) dan dimensi non-materi (dan Aku tiupkan di dalamnya dari ruh-Ku), setelah itu untuk dimensi non-materi di dalam al-Quran diletakkan beberapa tingkatan dan derajat. Tingkatan pertama, “Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur”.
Ini tak lain adalah tingkatan fakultas murni yang dalam lembaran wujud
manusia belum sampai pada tahapan aktual, dan tidak ada sesuatupun yang
dia ketahui. Akan tetapi untuk manusia ini, telah diletakkan fakultas
yang tiada akhir yang mampu bergerak ke arah tak terbatas sehingga
menjadi khalifah Tuhan di atas muka bumi. Berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” Dari dari hal ini, di antara seluruh ciptaan alam, Tuhan memberikan kemulian khusus dan kedudukan yang istimewa, berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam …” Demikianlah
al-Quran menganggap bahwa struktur wujud manusia merupakan struktur
yang terbaik dari seluruh struktur ciptaan-Nya, dan Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Tuhan senantiasa memberitahukan tentang kemuliaan dan ketinggian
manusia atas seluruh makhluk, dan hendaklah manusia mengetahui bahwa
terdapat nilai yang sangat berharga dalam dirinya, dimana dunia dan
seluruh isinya tidak ada harganya sama sekali buatnya. Tuhan memberikan
kerendahan derajad kepada orang-orang yang hanya menumpahkan
perhatiannya kepada dunia ini, kepada Nabi-Nya Allah berfirman, “Maka
berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan
Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi”.
Poin
yang menarik di sini adalah bahwa sebenarnya dunia tidaklah kecil dan
tak berharga, melainkan manusia telah sampai pada batasan kemuliaan
kesuciannya sehingga menurut pandangan Tuhan, seluruhnya adalah untuk
manusia dan tidak ada sesuatupun yang layak menduduki ketinggian nilai
manusia dan menusia tak layak menjual dirinya kepada selain-Nya.
Mengenai hal ini Allah berfirman, “Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan)
langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu”.
Dalam al-Quran, jiwa manusia merupakan dimensi permanen dan abadi yang
setelah hancurnya badan di dalam kubur masih tetap hidup dan akan
melewati kehidupan barzakhnya, “Dan di hadapan mereka ada barzakh, sampai pada hari mereka dibangkitkan”, dan pada ayat lainnya berfirman, “Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati;
bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki”.
Dalam al-Quran difirmankan bahwa hari ketika seluruh manusia
dibangkitkan, pada masing-masing mereka akan diperintahkan untuk
membacakan lembaran jiwanya sendiri, Allah berfirman, “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”.
Tuhan juga meletakkan manusia sebagai sebuah hakikat yang abadi dan
berfirman bahwa manusia setelah hari perhitungan akan menjalani
kehidupan abadinya. Di dalam al-Quran terdapat ayat yang berbunyi, “Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang
mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran) mereka
itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Demikian juga, mengenai orang-orang yang berbuat baik, Allah berfirman, “Mereka tidak mendengar sedikitpun suara api neraka, dan mereka kekal dalam menikmati apa yang diingini oleh mereka”. Al-Quran pun meletakkan tingkatan dan derajat untuk jiwa non-materi manusia, tingkatan pertamanya adalah jiwa ammarah
yang terkadang jiwa berbuat baik dan buruk, kekuatan ini akan menjadi
aktual dan bertindak untuk memenuhi keinginannya dan apapun yang
diinginkannya dia akan berusaha untuk ke arahnya. Kadangkala manusia
terjerumus ke dalam keinginan palsu dan senantiasa mengikuti apa yang
menjadi keinginannya dan memalingkan diri hal-hal yang tak tersirat.
Oleh karena itu, al-Quran menukilkan perkataan Nabi Yusuf as yang
mengatakan, “Sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku”.
Apabila
manusia menempatkan dirinya pada wilayah penyembahan Tuhan, maka
perintah Tuhan akan meliputi dan menapasi realitas kehidupannya dan jiwa
manusia akan tersinari dengan iman yang bergerak secara rasional dan
dalam naungan Ilahi. Pada tahapan ini, jiwa manusia berada pada derajat
jiwa lawwamah yang dengannya ia dapat melihat kejelekan dan
keburukan dengan jelas, dan apabila manusia terjerumus dalam dosa pada
tingkatan ini, maka dia akan sangat terhina dan tersiksa karena
menentang hukum fitrahnya.
Al-Quran sedemikian memperhatikan tingkatan jiwa lawwamah ini sehingga bersumpah, “Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” yaitu bahwa jiwa lawwamah
telah diletakkan di sisi hari kiamat dan terdapat dua sumpah di
dalamnya. Tentunya terdapat kesesuaian yang sangat antara hari kiamat
dengan jiwa lawwamah.
Salah satu karakteristik dari jiwa lawwamah
adalah penentuannya terhadap baik dan buruk dimana Tuhan mengilhami
nafsu ini supaya mengetahui tolok ukur dari keburukan, kebaikan, dan
keindahan prilaku. Masalah ini merupakan hal paling rumit dalam
persoalan filsafat akhlak khususnya di kalangan teolog dan pemikir
barat.
Setelah tahapan ini, manusia kan sampai pada jiwa mutmainnah
(tenang) yang merupakan paling tingginya kedudukan jiwa dimana para
manusia sempurna berjalan ke arah ini. Berkaitan dengan jiwa suci dan
mulia ini, dalam al-Quran Allah Swt berfirman, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
Mereka ini adalah orang-orang yang dalam seluruh kehidupannya, tidak
melihat adanya sedikitpun kerugian. Apapun yang terjadi atau akan
terjadi dan segala takdir yang telah tertulis seluruhnya berada di bawah
pengaturan Sang Hakim yang tidak menginginkan sesuatupun selain
kebaikan, mashlahat dan nikmat. Jiwa mutmainnah memahami dan
mengetahui bahwa seluruh keteraturan dan mekanisme alam berada di bawah
lingkup Tuhan dimana tidak ada sebutirpun yang akan berpindah dari
tempatnya kecuali dengan iradah dan kehendak-Nya. Dari sinilah, sehingga
para pesuluk senantiasa ridha dan bahagia dengan takdir-Nya.[]