Pesan Rahbar

Home » , , , , » Manusia dan Filsafat Penciptaan

Manusia dan Filsafat Penciptaan

Written By Unknown on Saturday, 23 August 2014 | 03:07:00


Mukaddimah.

Permasalahan yang berhubungan dengan filsafat kehidupan dan tujuan penciptaan bukanlah hal baru bagi manusia, dan di sepanjang sejarah pada setiap masyarakat terdapat banyak individu mengkaji tema ini, hal ini nampak dari perspektif dan amal perbuatan mereka yang beragam. Jawaban yang memuaskan atas persoalan ini banyak dijumpai dibeberapa karya para filosof dan pemikir lainnya. Usaha cemerlang dari para filosof Yunani, pemikir Romawi dan para teolog dari mazhab-mazhab yang besar tentang penafsiran atas kehidupan hakiki manusia, ini juga merupakan dalil yang jelas untuk menetapkan bahwa persoalan tersebut telah direnungkan secara mendalam. Berdasarkan realitas ini, permasalahan tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan dalam konteks sejarah sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri. Meskipun belum terdapat pembahasan tersendiri secara mendetail yang berhubungan dengan filsafat dan tujuan penciptaan pada tiga abad terakhir, dan pada masa kini hal tersebut telah dijadikan tema mandiri dan dikaji secara mendetail dan hangat.
          
Kehangatan pembahasan tema ini pada zaman moderen karena tidak tercapainya harapan kemanusian yang diamanatkan kepada ilmu dan teknologi, walaupun apa yang telah dicapai sekarang ini berada kurang kebih pada puncak kesempurnaan material, teknologi dan informasi, tetapi peradaban manusia dari dimensi psikologi dan spiritual mengalami kemunduran yang luar biasa dimana belum pernah diprediksi oleh manusia sendiri. Kezaliman, ketidakadilan dan penderitaan umat manusia yang terjadi pada masa kini jauh lebih buruk dan menakutkan dari apa yang terjadi pada masa lampau, manusia lebih rendah daripada binatang dan lebih licik dari iblis.  
          
Kita mengetahui bahwa untuk membahas setiap pokok masalah langkah pertama yang diambil adalah meneliti dan mengkaji secara tepat substansi dan latar belakang munculnya tema permasalahan dari semua aspek dan dimensi. Begitu banyak kritikan dan sanggahan atas pembahasan yang berhubungan dengan fenomena-fenomena alam keberadaan karena dipengaruhi oleh faktor ketiadaan pengamatan dan pengkajian yang tepat atas latar belakang permasalahan.
          
Oleh karena itu, untuk mengenal dan mengungkap rahasia filsafat penciptaan dan tujuan hakiki kehidupan manusia maka yang pertama harus dilakukan adalah mengkaji faktor-faktor dan motivasi-motivasi yang menyebabkan manusia lebih terdorong untuk memperhatikan dimensi filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.
          
Dalam hal ini, adalah suatu kekeliruan apabila kita memandang bahwa solusi dari setiap masalah-masalah yang berkaitan dengan esensi manusia sama dengan kita menarik suatu garis lurus untuk menghubungkan antara titik awal dan titik akhir. Yang terbaik adalah memaparkan hal-hal yang substansial dan esensial kemudian mencari solusinya yang tepat. Di bawah ini akan kami jabarkan secara terperinci berbagai latar belakang dan alasan-alasan manusia untuk mesti berpaling dan merenungkan kembali filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.
1. Kehidupan Dunia yang Trasient
          
Mayoritas manusia ketika memandang aspek ketaklanggengan (transient), ketidakabadian, dan keterbatasan kehidupan di dunia ini lantas melahirkan pertanyaan-pertanyaan tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan. Semua  kebahagiaan, kenikmatan, dan kebaikan di dunia ini mesti mengalami kefanaan, kehancuran, dan kepunahan. Tak satupun dari perkara dan realitas kehidupan yang abadi dan langgeng. Inilah sebuah kenyataan yang tak satu pun manusia mengingkarinya. Di lubuk hatinya yang terdalam ia bertanya: Apakah tujuan dan arah kehidupan? Apakah hakikat penciptaan alam yang tak abadi ini? Apakah makna dan nilai-nilai kehidupan di dunia ini? Apakah substansi dan esensi kehidupan material ini? Apakah yang diinginkan dari kehidupan seperti ini? Apakah masa kanak-kanak harus berakhir dengan masa remaja? Apakah masa remaja mesti berujung pada masa dewasa dan masa tua? Bukankah setelah semua penderitaan, kesedihan, dan kemalangan yang di alami manusia di dunia ini berakhir niscaya beralih pada kebahagiaan, kegembiraan, dan keberuntungan manusia? Bagaimana dengan segelintir manusia yang selama hidupnya senantiasa mengalami penderitaan dan kezaliman?
          
Pada dasarnya manusia senantiasa merindukan kesempurnaan, kebaikan, dan kebahagiaan hakiki, apabila ia telah mendapatkan apa yang dicita-citakan, maka mustahil ia menanyakan dan merenungkan kembali hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hidup, filsafat penciptaan, dan tujuan kehidupan.

2. Misteri Kematian
          
Kehidupan setiap manusia, baik yang dijalani dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan atau dilalui dengan segala penderitaan, kemalangan, dan kezaliman harus berujung dan berakhir dengan realitas kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri dan mustahil ditolak oleh semua manusia bahkan oleh setiap makhluk. Seluruh manusia jujur berkata bahwa satu-satunya kenyataan dalam catatan kehidupan mereka adalah kematian.
          
Ketika manusia melihat kehidupannya sendiri, ia mendapatkan kehidupannya yang harus berujung pada gerbang kematian. Ia lantas merenung bahwa mengapa kehidupan dunia ini tercipta dan setelah menjalaninya untuk beberapa waktu lamanya dalam kubangan lumpur penderitaan mesti berakhir pada kematian? Kenapa tidak dari awalnya kehidupan alam materi ini dibentuk secara abadi dan berkepanjangan? Apakah permainan kehidupan ini yang ujungnya adalah kematian mempunyai arah dan tujuan? Apakah substansi dan esensi kehidupan?
          
Begitu banyak manusia yang dapat kita saksikan bagaimana dalam kehidupannya bersikap acuh tak acuh terhadap hakikat dan tujuan penciptaan, tetapi ketika mendengar atau menyaksikan langsung kematian salah satu dari keluarga yang dicintainya maka ia seketika tersentak dan kemudian larut merenungan kembali tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan manusia di dunia ini.

3. Kegagalan dalam Cita-Cita   
          
Pengaruh yang cukup besar dalam upaya mengalihkan manusia untuk kembali merenungkan tentang tujuan hakiki kehidupan dunia adalah ketika manusia menghadapi beragam kegagalan dan putus asa dalam menggapai cita-cita dan keinginan duniawi.
          
Dalam menjalani kehidupan di alam fana ini manusia diharuskan merancang cita-citanya yang relatif itu dan kemudian berupaya untuk mencapainya dengan segala kemampuan yang ada padanya. Tetapi sangat disayangkan, manusia yang semestinya menjadikan cita-cita yang relatif itu sebagai perantara meraih tujuan hakiki dan filsafat kehidupan, hanya akan berpaling kepada cita-cita hakiki ketika mulai terjebak dan tersudut di pojok kehidupan, putus asa, dan tak mampu lagi berbuat yang terbaik bagi kehidupan duniawinya.
          
Point yang perlu juga diperhatikan di sini berhubungan dengan perenungan kembali persoalan hakikat dan filsafat penciptaan adalah ketinggian cita-cita seseorang. Sebagai contoh, seorang musafir yang menentukan tujuan perjalanannya pada wilayah tertentu dalam waktu yang terbatas. Ketika ia tidak dapat mencapai tujuan perjalanannya itu terkadang ia merenung sejenak mengenai arti kehidupan dan tujuan manusia dihamparan kehidupan alam materi ini. Tapi manusia seperti ini, ketika waktu berlalu dan mendapatkan lagi sebuah keinginan baru yang menggantikan cita-citanya yang dulu, maka ia kembali lupa dan tidak menghiraukan lagi tujuan hakikinya yang dulu ia tetapkan. Hal ini berbeda dengan seorang kaya dan berilmu yang mematok cita-cita duniawi setinggi langit dan kemudian berupaya di sepanjang umurnya dengan mengerahkan segala potensi yang dimilikinya dalam mencapai cita-citanya tersebut. Apabila telah bertahun-tahun lamanya berusaha namun apa yang dicita-citakannya sama sekali tak kunjung tercapai, ia malah semakin bangkrut dan akhirnya putus asa. Dalam keputus-asaannya, ia menggugat peran kekayaan dan keilmuannya yang tidak dapat menafsirkan secara benar dan bisa mengantarkan kehidupannya kepada apa-apa yang dicita-citakan, di saat seperti ini, terkadang akan mengarahkan pikiran-jernih dan menggoyah kesadaran batinnya untuk kembali merenungkan tujuan hakiki kehidupan dan filsafat penciptaan.

4. Kondisi Kehidupan Sosial yang Tak Menguntungkan
          
Keadaan kehidupan masyarakat yang sarat dengan problem dan masalah yang sulit mencari solusi dan pemecahannya merupakan salah satu faktor yang dapat membuat manusia kembali merenungkan makna kehidupan dan tujuan penciptaannya.

Seorang miskin yang jauh dari kenikmatan kehidupan duniawi, kehidupannya dijalani dengan segala penderitaan, usaha keras dan banting tulang dari pagi hingga malam hari terus mencari sesuap nasi dan memenuhi segala kebutuhan primernya, orang seperti ini yang hanya mendapatkan penderitaan dan kemalangan hidup niscaya akan merenungkan kembali makna dan arti kehidupan. Mengapa kita mesti hadir di dunia ini sehingga harus menjalani kehidupan dengan penuh penderitaan dan kemalangan?

Sudah tentu ada diantara orang-orang yang tidak mendapatkan hak-haknya, tidak berhasil, dan tidak rela dengan keadaan hidupnya di dunia ini pasti akan melontarkan perkataan tentang arah dan tujuan kehidupan duniawi. Tapi kalau diperhatikan sejenak, begitu banyak orang-orang seperti ini bila meraih apa yang dikehendakinya di dunia ini kemungkinan besar tidak memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan makna dan tujuan penciptaan, karena mereka sesungguhnya hanya menginginkan perubahan kondisi kehidupan duniawinya dan lantas menempatkan secara salah pertanyaan tentang tujuan hidup.

5. Pertanyaan Hakiki tentang Filsafat Penciptaan

Hal-hal yang dikemukakan di atas belumlah menyentuh jawaban hakiki dari permasalahan tujuan kehidupan dan filsafat penciptaan, mereka yang mencari jawaban itu pada dasarnya hanyalah bersifat aksidental karena penderitaan hidup senantiasa meliputi diri mereka. Tapi bagi mereka yang tidak lagi dipengaruhi oleh watak kehidupan material dan bahkan menguasai seluruh sendi kehidupan duniawi, memandang kehidupan dunia ini dan segala realitas keberadaan niscaya akan mendapatkan jawaban hakiki atas pertanyaan tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan tersebut.

Memandang kehidupan dunia ini secara hakiki, hanya bisa dirahi ketika manusia lepas dari pengaruh emosional dan kejiwaan yang menimpa kehidupan dunianya dan melihatnya dengan jiwa yang suci dan perenungan rasional, dengan demikian ia akan mencapai masalah yang hakiki mengenai tujuan penciptaan dan jawaban atasnya.

Sesungguhnya jawaban atas masalah tersebut ada dalam jiwa setiap manusia, tujuan dan filsafat penciptaan tidak terletak di dalam kehidupan material dan fenomena-fenomena lahiriah seperti makan, minum, dan tidur serta kecenderungan-kecenderungan alami lainnya.

Apabila manusia telah puas dengan kehidupan material dan duniawi ini, maka ia tak lagi mengejar pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana kita datang? Kenapa kita lahir di dunia ini? Dan hendak kemana kita pergi? Atau paling tidak jawaban dari pertanyaan ini tidak ditafsirkan dan diarahkan kepada kehidupan duniawi dan material.

Para pengikut filsafat nihilisme juga melakukan suatu kesalahan besar, karena mereka memandang bahwa kehidupan hakiki hanyalah kehidupan dunia-material. Oleh karena itu, segala hal, termasuk tujuan dan filsafat penciptaan didasarkan dan ditafsirkan berdasarkan watak kehidupan duniawi. Mereka menolak tujuan lain selain ini.

Pandangan yang berlawanan dengan perspektif di atas adalah bahwa kehidupan dunia-material bukanlah tujuan akhir dan hakiki, mereka beranggapan bahwa alam itu tidak terbatas pada alam materi saja melainkan terdapat juga alam akal dan mitsal (barzakh)[1]. Alam-alam ini, walaupun mempunyai tujuan-tujuan sementara, tetapi secara universal memiliki tujuan akhir dan hakiki. Adalah suatu kesalahan apabila kita memandang bahwa kumpulan dari tujuan-tujuan setiap alam itu merupakan tujuan esensial dan hakiki. Tujuan hakiki tak lain adalah tujuan akhir seluruh penciptaan dan realitas kehidupan.
 
Manusia dan Filsafat Penciptaan
          
Manusia sangat memerlukan pemahaman tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan, karena dengannya ia berbuat dan berprilaku di dunia ini. Namun sebagian pemikir yang semestinya menfokuskan pikiran-pikirannya untuk mengarahkan dan membantu umat manusia meraih tujuannya malah menjadi batu penghalang bagi kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki manusia. Seringkali kita mendengar sebagian intelektual menyatakan bahwa dengan keberadaan krisis-krisis yang meliputi dunia sekarang ini tidak seharusnya waktu kita dihabiskan untuk menggali dan mengetahui filsafat penciptaan, manusia mestinya  memusatkan segenap pemikirannya dalam bidang ekonomi dan sosial untuk mencari solusi yang terbaik bagi permasalahan kehidupan ini.
          
Para pendukung gagasan ini lalai atas suatu hakikat bahwa jika manusia tidak mengenal substansi filsafat penciptaannya sendiri, maka sangat banyak problematika yang mustahil dapat terpecahkan. Selain dari itu, manusia dipaksa oleh hati nuraninya sendiri untuk memahami tujuan penciptaan dan filsafat kehidupannya, karena tanpa itu ia tidak dapat menjani kehidupan di alam ini secara sempurna dan bahagia.
          
Kita mengetahui bahwa apabila manusia tidak memahami filsafat penciptaannya, maka mustahil ia memiliki suatu ideologi. Walaupun tidak semua ideologi bisa digolongkan sebagai filsafat penciptaan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan dua premis di bawah ini manusia seharusnya mengetahui dan menghayati filsafat penciptaan:
1. Manusia niscaya memiliki ideologi dalam kehidupannya.
2. Tidak semua ideologi yang identik dengan filsafat penciptaan.

Untuk memahami lebih jauh permasalahan ini, di bawah ini akan
dijelaskan beberapa hal, antara lain:

1. Pengertian Ideologi
          
Ideologi adalah segala hal yang diposisikan sebagai pusat kecenderungan, landasan segala prilaku, dan tujuan semua perbuatan manusia serta dapat memberikan solusi dan pemecahan terhadap apa yang berhubungan dengan tealitas kehidupan manusia.
          
Kecenderungan kepada ideologi terdapat dalam diri manusia, dan pada kesempatan ini tidak dibahas bahwa apakah kecenderungan ini merupakan kecenderungan esensial atau aksidental? Dalam hal ini, hanya diisyaratkan bahwa kecenderungan ideologis hanya ditemukan dalam diri manusia dan binatang karena tidak memiliki kehendak dan pengetahuan tidak mempunyai kecenderungan seperti ini.
          
Ideologi adalah landasan gerak dan perbuatan manusia, dengan ungkapan lain ideologi merupakan bentuk pilihan dan puncak tujuan manusia. Setiap manusia akan menjalin komunikasi dan hubungan sosial kemasyarakatan berdasarkan landasan ideologi yang dianutnya. Kecenderungan kepada ideologi dari dimensi ini merupakan hal yang penting karena manusia akan berusaha dan terus bersabar atas segala penderitaan dan kesulitan yang dihadapinya untuk sampai pada tujuan dan cita-cita ideologisnya. Bahkan manusia rela mengorbankan jiwa dan harta bendanya untuk membumikan kecenderungan ideologisnya.
          
Salah kekhususan ideologi adalah bahwa manusia, sadar atau tak sadar, membandingkan segala fenomena dan perkara dengannya dan bahkan menjadikannya sebagai tolok ukur dalam menimbang dan mengkaji nilai-nilai yang berhubungan dengan realitas kehidupannya. Sebagai contoh, seseorang yang meletakkan ilmu sebagai nilai penting kehidupannya, maka manusia yang paling berharga adalah manusia yang paling banyak ilmu dan pengetahuannya, dalam hal ini tidak dibedakan bahwa ilmunya bermanfaat bagi kemanusiaan atau tidak. Atau seseorang yang menempatkan pelayanan terhadap orang lain sebagai ideologinya, dengan demikian ia akan menilai orang lain sesuai dengan kualitas pelayanannya kepada manusia, manusia yang paling terhormat dan berharga dalam pandangannya adalah orang yang khidmatnya pada manusia paling banyak dan berkualitas.

2. Urgensi Ideologi dalam Kehidupan Individu dan Masyarakat
          
Dalam pembahasan tentang ideologi, juga dikaji bahwa apakah keberadaan idealitas memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia ataukah tidak? Apakah manusia dapat menjalani kehidupannya tanpa menganut suatu ideologi? Apakah suatu ideologi hanya bermanfaat bagi kehidupan individual ataukah juga berfaedah untuk kehidupan bermasyarakat? Apakah faktor internal dan eksternal yang mendasari kemestiaan manusia untuk menganut suatu ideologi tertentu?
          
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa urgensi ideologi dalam kehidupan memiliki dua pengertian, yaitu bisa dipahami sebagai sebab yang memotivasi manusia untuk memiliki suatu ideologi dan juga bisa dijabarkan sebagai akibat dari kehidupan yang bertujuan. Contohnya, ketika kita menyatakan bahwa suatu kehidupan mustahil memiliki nilai tanpa keberadaan ideologi (urgensi ini digolongkan sebagai sebab dan dalil atas kemestian ideologi dalam kehidupan), atau dikatakan bahwa apabila seseorang memiliki ideologi dalam kehidupannya, maka pasti kehidupannya bermakna dan bertujuan serta tidak bisa terjebak dalam nihilisme pemikiran dan perbuatan, dengan demikian ia mendapatkan nilai-nilai baru yang lebih tinggi dan lebih sempurna daripada nilai-nilai yang dijalaninya secara rutinitas, seperti makan, tidur, dan pakaian.

a. Nilai Kehidupan Hanya dengan Ideologi
          
Kehidupan manusia tanpa ideologi akan kehilangan makna dan nilai. Mayoritas umat manusia yang terperangkap dalam nihilisme dan menganggap bahwa hidup ini tidak mempunyai tujuan karena mereka belum mendapatkan suatu penjelasan rasional dari tujuan kehidupan.
          
Seorang yang tidak memiliki ideologi yang rasional ia pasti akan merasakan beban yang sangat berat dalam menjalani kehidupan ini. Manusia yang tidak mempunyai tujuan dalam kehidupannya seperti seorang yang akan tenggelam di tengah gelombang laut yang besar dan telah putus asa dengan keselamatannya. Sebuah ideologi dapat memberikan harapan kepada manusia dan dengan harapan manusia bisa mendapatkan motivasi dalam kehidupan. Dengan demikian ia bisa menjalani kehidupan ini dengan pandangan dunia yang baru sehingga tak terjebak lagi dengan kenikmatan-kenikmatan lahiriah dan bahkan penderitaan yang dialaminya dipandang sebagai bentuk pelatihan bagi kesempurnaan dan kemapanan dirinya sendiri. Ia memandang hidup ini dengan perspektif positif, semua perkara yang terjadi di dunia ini diterima sebagai suatu kemestian hidup yang mengandung hikmah untuk kebaikan dan kesempurnaan manusia itu sendiri. Dengan ideologi manusia dapat berkhidmat lebih besar kepada kemanusiaan.
          
Hanya dengan ideologi manusia memperoleh nilai-nilai yang lebih tinggi dari sekedar makan, tidur, pakaian dan bersenang-senang.
Hanya dengan ideologi manusia dapat meyakini bahwa kehidupan ini bukan kumpulan dari pengulangan-pengulangan yang mengantarkan manusia kepada kekosongan, ketiadaan, kefanaan, dan nihilisme. Dan hanya dengan ideologi detik-detik kehidupan manusia menjadi bernilai dan dapat memanfaatkan secara benar kesempatan hidupnya di dunia.

Kita banyak menyaksikan orang-orang yang dengan kesabaran yang tinggi menjalani kehidupannya yang serba sulit dan penuh penderitaan yang jika kita analisa, maka kita akan dapatkan bahwa landasan dan napas segala perbuatan baik, pikiran positif, dan apresiasi yang tinggi terhadap kehidupan ini tidak lain adalah tujuan dan ideologi itu sendiri. Berbeda dengan sekelompok manusia yang tidak mempunyai tujuan dan ideologi, ketika ia berhadapan dengan persoalan dan penderitaan hidup yang sekalipun kecil ia akan cepat putus asa dan tidak bersabar, terkadang bunuh diri merupakan jalan keluar yang praktis baginya.

b. Cinta Kesempurnaan Memaksa Manusia Berideologi
          
Kecenderungan kepada kesempurnaan adalah salah satu faktor internal yang memotivasi manusia berideologi. Setiap manusia cinta kepada kesempurnaan dan senantiasa berupaya untuk mengantarkan dirinya kepada kesempurnaan dengan segenap kemampuannya. Asa dan harapan manusia pada keadaan hidup yang lebih baik merupakan bukti nyata kecenderungan manusia pada kesempurnaan. Keinginan dan kecenderungan ini merupakan sesuatu yang esensial dalam diri manusia, kecenderungan ini mustahil dipisahkan dari wujud manusia.
          
Segala upaya manusia disepanjang hidupnya disamping karena kecintaan kepada dirinya sendiri juga dimotivasi oleh kecenderungan esensialnya kepada kesempurnaan dan kebahagiaan. Sebagai contoh, seorang siswa yang belajar di sekolah dasar ingin cepat menyelesaikan pelajarannya dan melanjutkan sekolahnya ketingkat yang lebih tinggi hingga ke universitas, kecenderungannya belajar yang lebih tinggi ini tiada lain karena keinginannya untuk menyempurna dalam keilmuan. Atau seorang pedagang yang sangat giat dalam usaha perdagangan, ia berusaha sedemikian rupa agar bisa memperbaiki kondisi kehidupnya menjadi lebih baik, lebih makmur, dan lebih sempurna dari sisi materi.
          
Perlu ditekankan di sini bahwa pertama, setiap individu manusia mempunyai kecenderungan pada kesempurnaan yang berbeda, seperti kesempurnaan yang diinginkan oleh pedagang akan berbeda dengan kesempurnaan yang dikehendaki oleh seorang siswa atau intelektual. Dalam hal ini, memang sangat bergantung kepada pengajaran dan pendidikan, pandangan dunia, lingkungan sosial, dan tingkat keilmuan, kecerdasan dan spiritual. Kedua, terdapat beberapa faktor dan sebab sebagai penghalang manusia dalam mencapai kesempurnaan, seperti seorang mahasiswa yang ingin melanjutkan kuliah kejenjang doctoral, tapi karena kendala keuangan akhirnya ia tak bisa meraih cita-citanya.
          
Kecenderungan kepada kesempurnaan memaksa manusia untuk menentukan suatu bentuk kesempurnaan, kesempurnaan ini tidak lain adalah ideologi seseorang yang dengannya ia menjalani kehidupan dan senantiasa berupaya mencapai kesempurnaan yang dikehendakinya. Setiap individu masing-masing memiliki ideologi, terkadang ideologi seseorang adalah kekayaan materi, kekuasaan, ilmu, kecintaan, dan pelayanan kepada sesama manusia. Tak diragukan bahwa pemihakan seseorang terhadap suatu ideologi tertentu dikarenakan manusia ingin mengantarkan dirinya kepada kesempurnaan. Dari sinilah sehingga kita katakan bahwa kecenderungan manusia kepada kesempurnaan mendorong dan memotivasinya untuk memilih salah satu ideologi.

c. Ideologi, Unsur Motivator Manusia
          
 Ideologi sebagai faktor penggerak seluruh potensi yang dimiliki manusia. Manusia mempunyai bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang tak terbatas dan untuk mengaktualkan potensi-potensi tersebut membutuhkan sebuah penggerak. Penggerak ini memberikan motivasi dan kekuatan inspirasi sedemikian kepada manusia sehingga seluruh potensinya menjadi aktual dan wujudnya menjadi sempurna.
          
Begitu banyak manusia karena mengadopsi suatu ideologi yang keliru pada akhirnya mengalami kegagalan dalam menjalani kehidupan dan umurnya menjadi sia-sia yang selayaknya ia manfaatkan untuk mengaktualkan potensi-potensinya dan menyempurnakan wujudnya. Orang-orang seperti ini apabila menemukan suatu ideologi yang benar maka mereka tidak mungkin mengalami kegagalan dan terjebak dalam rutinitas kehidupan tanpa makna. Sebagai contoh, apabila seseorang meletakkan ilmu sebagai idealitasnya, walaupun idealitas ilmu tidak luput dari kekurangan, maka idealitasnya ini cukup menggerakkan ia untuk berjalan mengaktualkan potensi keilmuannya sehingga menjadi seorang ilmuwan yang sempurna. Lantas bagaimana dengan manusia yang menemukan idealitas hidup hakiki (baca: filsafat penciptaan) dan menjadikannya sebagai pola kehidupan dalam mengarahkan segenap kemampuannya di jalan aktualisasi potensi dan penyempurnaan diri.
          
Konklusinya, pilihan ideologi bisa mengaktualkan potensi-potensi yang merupakan bahan dasar bagi kesempurnaan wujud manusia.

d. Ideologi, Tolok Ukur Kesempurnaan
          
Kehidupan manusia berdasarkan mekanisme internal wujudnya sendiri mengarah kepada kesempurnaan. Dalam esensi kehidupan ada gerak dan proses, gerakan ini mengarah kepada kesempurnaan.
          
Apabila manusia memiliki ideologi dan tujuan hidup yang benar dan rasional, maka kehidupan manusia niscaya akan sampai pada arah dan tujuan hakiki. Pemihakan manusia terhadap ideologi yang benar akan memudahkan manusia menentukan mana jalan hidup yang benar karena ideologi sebagai tolok ukur dan petunjuk kebenaran. Disamping itu, ideologi juga menunjukkan tujuan dan jalan hidup yang sempurna.
          
Ideologi bagi manusia sebagai alat banding yang bisa digunakan untuk menyingkap rahasia diri sendiri dan mengkaji ulang jalan hidup yang sementara dijalani. Dengan ideologi kita dapat menentukan titik kekeliruan dan kelemahan jalan hidup manusia, atau menentukan sisi kesalahan implementasi, aplikasi, titik kegagalan, titik kesempurnaan, faktor penyebab kegagalan dan keberhasilan, aspek positif perbuatan dan aspek negatif prilaku, dan kesempurnaan tujuan hidup manusia.
          
Dalam banyangan ideologi manusia mampu mengetahui dimensi kekurangan-kekurangannya serta bagaimana menyempurnakannya.

 e. Ideologi Merupakan Pengontrol Jiwa 
          
Salah satu fenomena penting yang terdapat dalam jiwa manusia adalah kecenderungan mengambil keuntungan dan manfaat. Berpijak pada kecenderungan ini, manusia senantiasa mencari keuntungan dan manfaat bagi dirinya sendiri dan terkadang untuk mewujudkan realitas kecenderungan itu tak segan-segan merampas hak-hak orang lain dan dengan serakahnya mengambil harta orang lain tanpa perasaan malu.
          
Kecenderungan manusia ini yang hadir dalam bentuk dan sifat yang beraneka ragam, menjadi titik perhatian dan bahan pembicaraan kaum psikolog dan mereka menamakan fenomena kejiwaan tersebut dengan istilah yang beragam. Freud, psikolog barat terkenal, menamai fenomena itu dengan “aku” atau “ia” dan beranggapan bahwa “aku” ini berpijak pada kenikmatan dan kesenangan, ini berarti bahwa apa saja yang menyebabkan terwujudnya kesenangan dan kenikmatan untuk manusia maka akan membangkitkan kecenderungan egonya kemudian menarik “aku” ke arah kesenangan tersebut. Psikolog lain menyebut fenomena itu dengan “saya ingin” dan berkeyakinan bahwa keinginan-keinginan atau “saya ingin”manusia mempunyai daya tarik yang tidak terbatas. Dalam Islam fenomena ini disebut dengan “menyembah diri”.
          
Seluruh hukum, undang, dan peraturan tentang hak-hak dan kewajiban manusia yang tercipta dilatar belakangi untuk mengontrol dan mengatur keinginan-keinginan jiwa yang tak berhingga itu supaya terwujud hubungan sosial kemasyarakatan yang adil dan beradab.
          
Untuk mengatur kecenderungan manusia yang tak terbatas ini, sebagian menyatakan bahwa dengan perantaraan ilmu kecenderungan itu dapat terkontrol, yang lain beranggapan bahwa dengan etika dan akhlak hal tersebut bisa dikendalikan, dan sebagian berkesimpulan bahwa kecenderungan dan keinginan itu harus dimatikan karena tidak ada metode lagi yang efektif dapat mengendalikan dan mengaturnya.
          
Etika, karena pada satu sisi tidak ada jaminan berlaku pada jiwa secara efektif dan sisi yang lain, etika itu sendiri hanyalah peraturan dan hukum yang berada di luar jiwa karena itu tidak mempunyai daya kontrol yang tetap dan esensial pada kecenderungan jiwa manusia. Hal ini juga berlaku pada hukum-hukum sosial, dimana hukum seperti ini tidak langsung berhubungan dengan substansi dan esensi jiwa.
          
Ideologi dalam hal ini merupakan jalan efektif dan fundamental untuk mengendalikan dan mengatur kecenderungan jiwa manusia, karena sesuai dengan akal dan tidak mengabaikan hukum etika dan undang-undang sosial kemasyarakatan. Ideologi menarik manusia ke dalam dirinya sendiri sehingga bisa melihat hakikatnya yang terdalam, dengan demikian manusia dapat memandang sisi-sisi kehidupannya yang substansial dan meletakkannya pada dimensi yang lebih primer serta mendahulukannya di atas kecenderungan jiwa yang negatif. Hal ini menyebabkan kecenderungan jiwa yang tak terbatas bisa dikontrol.
          
Berpihak pada ideologi hakiki menyebabkan manusia mengenal kedudukan dirinya yang sentral di alam eksistensial ini, pengenalan ini membuat manusia tidak mengarahkan lagi kekuatan pikiran dan jiwa demi melayani kecenderungan dan keinginannya yang tak terbatas itu. Dengan ideologi hakiki manusia dapat lepas dari pengaruh hawa nafsu dan suci dari keinginan jiwa yang negatif sehingga dapat memusatkan pikiran demi menggali dan memahami lebih banyak ideloginya sendiri.
          
Kemampuan dan daya kendali atas kecenderungan jiwa yang tak terbatas hanya dimiliki oleh suatu ideologi yang hakiki, bukan semua ideologi yang dianut secara faktual oleh manusia. Misalnya, seseorang yang meletakkan kekayaan, kekuasaan, atau ketenaran sebagai suatu ideologinya, maka hal ini bukan hanya dengan ideologi itu ia tidak bisa mengontrol dan mengendalikan hawa nafsunya bahkan semakin dengan ideologi itu hawa nafsunya semakin berkembang dan aktif.

f. Ideologi, Mewujudkan Keseimbangan Sosial
         
 Membicarakan keseimbangan – apalagi keseimbangan sosial – akan mengarahkan pikiran kita pada keseimbangan ekonomi, karena kita sering menggunakan tolok ukur keseimbangan suatu masyarakat berdasarkan nilai perdagangan, nilai produksi, ekspor, dan impor. Jadi ketika ideologi diketengahkan sebagai faktor yang dapat menciptakan suatu keseimbangan sosial sebagian orang tidak mempercayainya.
          
Dalam hal ini, bukan kita memungkiri keseimbangan ekonomi suatu masyarakat, karena tidak satupun manusia berakal meragukan kemestian memperhatikan masalah-masalah ekonomi suatu negara. Substansi pembicaraan kita di sini adalah keseimbangan ekonomi dan masalah-masalah ekonomi suatu masyarakat adalah alat dan bukanlah tujuan. Peradaban dan budaya suatu masyarakat dikatakan tinggi dan cemerlang ketika memiliki ideologi. Yakni setiap individu masyarakat berusaha mengarahkan masyarakatnya demi mencapai tujuan ideologi yang menjadi panutan mereka. Masyarakat yang tanpa ideologi akan kehilangan nilai karena mereka tak mengetahui apa keingingan hakiki mereka dan kemana mereka akan pergi. Peradaban masyarakat ini, cepat atau lambat akan mengalami kejatuhan dan kehancuran. Begitu banyak peradaban yang secara lahiriah sangat maju, tapi kalau dilihat secara internal sedang mengalami benturan dan ketidakharmonisan serta secara perlahan-lahan dan berevolusi menuju kehancuran, hal ini karena ideologi yang benar tidak bisa teraplikasi pada seluruh segmen masyarakat, mereka tidak mengetahui keinginan hakiki dan juga tidak memahami tujuan hidup yang mesti mereka capai.
          
Gerak suatu masyarakat menuju kesempurnaan bersandar pada ideologi. Sangat disayangkan sebagian besar sosiolog dalam kajiannya terhadap kondisi sosial masyarakat tidak memperhatikan dimensi yang mendasar ini bahwa sejauh mana ideologi berperan dan mesti dianut oleh masyarakat. Kaum sosiolog ini hanyalah berusaha menyelesaikan permasalahan masyarakat secara permukaan dan bahkan menjadikan kecenderungan alami masyarakat itu sebagai tolok ukur yang prinsipil, mereka memandang bahwa paham sosialisme sebagai way of live bagi kemajuan infrastruktur dan suprastruktur suatu masyarakat. Sosiolog tidak menyelami hakikat eksistensial manusia kemudian menawarkan obat penyembuh bagi segala penyakit kronis yang diderita manusia.

g. Ideologi dan Kedudukan Manusia di Alam Semesta
          
Pengetahuan manusia akan kedudukannya di alam eksistensial ini merupakan suatu perkara yang paling urgen dan prinsipil. Manusia senantiasa ingin mengetahui apa posisi dan kedudukannya di alam semesta ini, dari mana mereka datang, kemana mereka akan pergi, kenapa hidup di dunia ini, dan mengapa mesti meninggalkan dunia ini. Jawaban dari soal-soal ini merupakan kebutuhan substansial manusia.
          
Untuk memahami semua perkara di atas, manusia memerlukan pandangan dunia dan ideologi yang benar. Tidak semua ideologi yang berserakan di dunia ini mampu memberikan solusi yang fundamental atas keseluruhan persoalan yang dihadapi manusia, dengan demikian selayaknya manusia bersungguh-sungguh mengkaji ideologi-ideologi yang ada ini dan memilih salah satu di antaranya yang paling rasional, komprehensif, aplikatif, proporsional, dan esensial bagi wujudnya.

h. Ideologi dan Persatuan Bangsa-Bangsa
          
Tak diragukan bahwa penderitaan dan kemalangan akan meliputi dunia ini apabila tidak terwujud persatuan di antara bangsa-bangsa. Persatuan ini, bukan hanya dibutuhkan di antara bangsa-bangsa yang ada, tapi juga diperlukan di antara individu-individu dalam masyarakat atau di antara individu-individu dalam suatu kelompok. Tan-persatuan ini mustahil semua persoalan hidup dapat diselesaikan, karena tanpa perwujudan persatuan setiap individu akan melakukan kecenderungan dan keinginan jiwanya tanpa memperhatikan apakah kecenderungan mereka ini tidak membuat penderitaan dan kezaliman bagi orang lain.
          
Permasalahan di sini adalah bagaimana mewujudkan persatuan di antara individu-individu dan bangsa-bangsa? Sebagian menyatakan bahwa tanah, darah, bahasa, dan suku merupakan faktor-faktor pemersatu manusia. Faktor-faktor ini tidaklah benar, dan alasan yang kuat menolak unsur-unsur ini tidak lain adalah pengalaman manusia itu sendiri yang terjadi pada setiap zaman. Kelompok masyarakat yang hidup dalam lingkungan bahasa, suku, tempat, dan kebangsaan yang sama tak mampu menyambung tali persatuan hakiki di antara mereka, dan bahkan kita menyaksikan sendiri bagaimana bangsa-bangsa yang memiliki bahasa yang sama saling berperang dan menjajah satu sama lain. Dengan demikian, satu-satunya faktor yang dapat menyatukan individu-individu, suku-suku, dan bangsa-bangsa adalah ideologi.
          
 Individu-individu masyarakat yang meyakini ideologi yang hakiki pasti mengarah kepada kesempurnaan, karena ideologi ini disamping melahirkan persatuan juga terwujud keharmonisan dan kerja sama.
          
Berdasarkan perspektif di atas, ideologi mampu menggantikan faktor suku, bahasa dan kebangsaan, karena ideologi mempengaruhi substansi kejiwaan setiap individu-individu lantas menarik mereka ke arah persatuan. Tapi ideologi sangatlah tidak efektif dan tidak aplikatif dengan fenomena-fenomena yang bersifat lahiriah belaka dimana tidak berhubungan dengan hal-hal yang esensial dan fenomena internal dari kejiwaan manusia.

3. Ideologi-Ideologi Manusia Sepanjang Sejarah
          
Manusia tidak bisa melanjutkan kehidupannya tanpa tujuan dan ideologi. Di sepanjang sejarah manusia menganut ideologi-ideologi dan dengan perantaraannya manusia menafsirkan sisi kehidupannya. Ideologi-ideologi penting yang dianut manusia sepanjang sejarah yaitu ilmu, kekayaan, kekuasaan, ketenaran, cinta, keindahan, dan hedonis.      
          
 Di bawah ini kita akan meneliti dan mengkaji ideologi-ideologi di atas agar bisa menetapkan bahwa ideologi-ideologi tersebut tidak bisa menjawab pertanyaan hakiki manusia tentang tujuan hidup manusia dan juga tidak mampu menempatkan manusia pada kedudukan yang sebenarnya dalam samudra kehidupan di alam yang tak berhingga ini.

a. Ilmu dan Pengetahuan
          
Sebagian manusia meletakkan ilmu sebagai tujuan hidupnya, dan ketika mereka mengkaji suatu permasalahan ilmu atau filsafat mereka larut pada pengkajian itu semata dan tidak menimbang bahwa apakah penemuan ilmu dapat digunakan sebagai faktor meningkatkan kesempurnaan dan kualitas hidup manusia. Menurut Mereka observasi semata dibidang keilmuan dan tidak peduli tentang manfaat ilmu itu bagi kehidupan manusia adalah tujuan sempurna hidup. Dan mereka menyangka bahwa jika dari pagi hingga malam larut dalam penelitian hingga menambah kualitas dan kuantitas ilmu, maka hal ini cukup mengantarkan pada puncak kesempurnaan tanpa mesti memikirkan sejauh mana aplikasinya bagi kemaslahatan hidup manusia di alam ini.
          
 Seorang filosof seperti Bertrand Russel berusaha menetapkan bahwa ilmu dan pengetahuan mengobati semua penyakit kemanusiaan dan mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan, ilmu sebagai tujuan hakiki kehidupan manusia dan puncak kebahagiaannya.
          
Apabila di samping mencari dan menyempurnakan ilmu manusia juga prihatin pada kemajuan masyarakat dan mencari pemecahan bagi kesempurnaannya, maka ia tidak dikategorikan sebagai orang yang meletakkan ilmu sebagai tujuan mutlak kehidupan. Tapi kalau usaha manusia hanya ingin menambahkan pengetahuannya atau tujuannya  agar karya ilmiahnya tetap abadi tanpa pernah memikirkan solusi bagi penderitaan yang dialami manusia, orang seperti ini terperangkap dalam penyakit “ketenaran” dan menjadikan ilmu sebagai alat meraih kemasyhuran bukan sebagai tujuan hidupnya. Berkaitan dengan  ideologi hakiki, dikatakan bahwa ilmu dan pengetahuan bukanlah tujuan tapi merupakan jalan, petunjuk prilaku, dan alat untuk memilah dan memilih yang terbaik dan tersempurna dari realitas kehidupan. Walaupun manusia mempunyai ilmu yang dengan perantaraannya ia dapat menyelesaikan segala problematika alam dan manusia, tetapi apabila ia tidak menyempurnakan dirinya sendiri dengan ilmu yang dimilikinya, maka ia tidak lain adalah seperti eksiklopedia berjalan.

b. Harta dan Kekayaan
          
Mayoritas manusia menjadikan kekayaan sebagai ideologinya dan berusaha dengan segenap kemampuan untuk menggapainya, dan sebagian di antaranya bukan hanya mengambil hak-hak manusia lain bahkan ia rela mengorbankan jiwa sendiri untuk mencapai tujuannya.
          
 Kebergantungan yang kuat kepada harta dan kekayaan material akan menyebabkan menguatnya kecenderungan negatif dari jiwa yang nantinya akan menjadi penghalang bagi manusia untuk mendapatkan ideologi yang hakiki. Apabila kekayaan material hanya sekedar wasilah dan bukan tujuan hidup kita, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Tapi kalau hal itu adalah tujuan hakiki, maka ia akan sangat bahaya.
         
Sangat disayangkan sebagian besar manusia tidak mengetahui bahwa kekayaan material bisa menjadi aspek positif yakni sebagai alat untuk mencapai tujuan hakiki manusia dan juga dapat menjadi aspek negatif yaitu diposisikan sebagai ideologi, dan keinginan mereka bukan hanya sebagai ideologi individu bahkan sebagai ideologi masyarakat.
          
Salah satu dalil yang menegaskan bahwa kekayaan material tak dapat ditempatkan sebagai ideologi manusia adalah bahwa keinginan yang berlebihan kepada kekayaan material membuat manusia lalai terhadap kecenderungan positif dan keinginan hakiki jiwa manusia. Kecintaan kepada harta benda menjadikan struktur jiwa dan pikiran manusia tidak lagi sehat sedemikian sehingga yang terdapat hanyalah bagaimana menambah dan memperbanyak harta dan kekayaan saja.
          
Apabila kekayaan material bisa dipandang sebagai suatu ideologi maka tidak kemestian bagi orang-orang kaya untuk menginginkan hal-hal lain dalam kehidupannya selain materi, karena kalau orang-orang kaya merasa bahwa terdapat dimensi-dimensi lain dari kehidupan ini selain dari dimensi material dan kenikmatan jasmaniah, maka niscaya ia tidak tinggal diam dan berusaha mencapai dimensi-dimensi tersebut sebagai contoh disamping ia mempunyai kekayaan material melimpah ia juga berusaha meraih ilmu, ketenaran, dan kekuasaan.[]


[1] . Alam yang terletak di antara alam akal (alam tertinggi) dan alam materi (alam terendah).

Wujud Bernama Manusia.

Pengenalan Jiwa.
Mukadimah.

Salah satu persoalan yang penting dan urgen untuk mencapai kesempurnaan akhir dan tujuan penciptaan adalah makrifat dan pengenalan jiwa. Manusia yang tidak mengenal dirinya dapat dipastikan akan salah dalam menentukan kesempurnaan insaninya, dan hal ini akan menyebabkannya menjalani kehidupan di dalam lorong-lorong gelap kejahilan. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap jiwa dan diri sendiri merupakan prinsip yang paling mendasar untuk kebahagiaan dan keberuntungan manusia.

Urgensi Pengenalan Diri dalam Al-Quran
          
Allah Swt dalam surah al-Maidah, berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk, hanya kepada Allah kamu semuanya kembali, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.[1]
          Ayat di atas menyinggung beberapa poin penting berikut:
  1. Allah Swt berfirman, apabila kamu telah mendapat petunjuk, maka kamu berada di jalan yang benar dan terbimbing;
  2. Dalam keadaan ini, kesesatan orang-orang di sekitar kalian yang tersesat tidak akan membahayakan kalian;
  3. Kehidupan manusia ibarat menempuh suatu jarak perjalanan di sepanjang hidup, karena kesesatan dan hidayah ada pada setiap perjalanan, maka bisa dikatakan orang yang mengenal jiwanya di tengah perjalanan, berarti ia telah memperoleh hidayah tanpa harus mengalami kesesatan. Dalam keadaan ini, tersesatnya sebagian dari teman seperjalanan tak akan mampu mengalihkan perhatiannya, karena ia telah menemukan tujuan, mengenal arah perjalanan, mengetahui akhir perjalanannya, dan yakin akan memperoleh hasil dari tujuan hidupnya. Dan ibarat ini tak lain adalah perjalanan jiwa, dimana al-Quran menyinggung hal tersebut dengan firman-Nya, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”[2] Dan yang dimaksud dari menempuh perjalanan di sini adalah tak lain merupakan perjalanan mengenal jiwa manusia, dan perjalanan semacam ini merupakan jalan terdekat untuk sampai pada Tuhan, sebuah perjalanan yang memiliki paling sedikit kesalahan.
Akan tetapi perjalanan horisontal merupakan lintasan lain yang bisa digunakan untuk sampai pada tujuan dan kesempurnaan manusia, dimana hal ini merupakan perjalanan ilmu pada alam kosmos dan mikrokosmos, dan ayat di atas, menyinggung kedua perjalanan tersebut. 

Jadi, jelaslah bahwa perjalanan jiwa pada hakikatnya merupakan gerak manusia pada lintasan wujud dirinya yang terjadi dari awal dan akan berlanjut hingga akhir hayat, yaitu manusia yang melangsungkan kehidupannya di dunia natural tidak seharusnya tertawan oleh karakteristik materi dan seumur hidup mengecimpungkan dirinya dalam dunia materi, melainkan dia harus melangkah dalam lintasannya sendiri untuk mengenal dan menemukan bumi dan tempat tinggal yang hakiki bagi wujud nya.
 
‘Alaikum anfusikum[3]
          
Pada ayat di atas dikatakan “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan (‘alaikum anfusikum) pada diri mereka sendiri …”, maksud dari ‘alaikum anfusikum tersebut, antara lain:
1. Jangan sekali-sekali melepaskan diri kalian sendiri, kenalilah jiwa kalian, karena kesulitan untuk mengenal mutiara berharga ini setara dengan kesulitan untuk mengenal-Nya, dan adanya keniscayaan antara pengenalan jiwa dan pengenalan Tuhan merupakan bukti dari pentingnya persoalan ini;
2. Berhati-hatilah kalian terhadap diri kalian sendiri, supaya kalian mampu menjalankan kewajiban Ilahi yang seharusnya dan tidak melakukan dosa. Melalui Nabi-Nya, Allah Swt telah menjelaskan metode untuk menjaga diri dari jiwa, dan Allah juga telah menentukan seluruh persoalan, manfaat, dan kerugian manusia serta kewajiban-kewajiban praktisnya. Selain manusia harus mengamalkan aturan-aturan langit dan program-program Ilahi yang telah ditentukan, dia juga harus menjaga diri dari bahaya-bahaya dan kerugian-kerugian jiwa, dan karena merupakan penjaga yang cerdik dan cermat, seluruh aktivitas jiwa sesaat demi sesaat harus senantiasa berada di bawah pengawasan untuk kemudian mengarahkannya pada program-program Ilahi dengan sepenuh keyakinan.
3. Karena jiwa merupakan salah satu dari eksistensi yang ajaib, rumit, dan misterius, bahkan paling rumitnya eksistensi yang ada di alam, maka arahkan jiwa tersebut pada kebesaran, keagungan, dan untuk mengenal Penciptanya.

Urgensi Pengenalan Jiwa dalam Hadits
Imam Ali As bersabda, “Manusia yang tidak mengetahui jiwanya sendiri, dia akan dilepaskan”[4], yaitu baginya tidak ada perbedaan antara hidayah atau kesesatan. “Seseorang yang tak mengenal dirinya, maka perbuatannya akan mengarah pada kerusakan”.[5] “Aku heran kepada orang yang sibuk mencari sesuatu yang hilang darinya, akan tetapi ketika dia kehilangan dirinya, dia tidak mencarinya dan tidak berusaha untuk menemukan dirinya kembali”.[6] “Barang siapa tidak mengenal dirinya, dia akan lebih jahil untuk mengenal selainnya”.[7] “Siapa yang tidak mengenal dirinya, berarti dia telah jauh dari jalan keselamatan dan dia akan sesat dan bodoh”.[8] “Paling lemahnya orang, adalah mereka yang menghalangi dirinya untuk memperbaiki diri”.[9] “Barang siapa mengenal dirinya, dia akan lebih mengetahui keadaan selainnya”.[10] “Barang siapa mengenal seluruh hakikat dirinya, maka dia telah memperoleh paling tingginya makrifat dan pengetahuan”.[11] “Siapa yang mengenal dirinya, akan berhadapan dengan Keindahan Sumber Keajaiban”.[12] “Arif adalah orang yang mengenal dirinya, membebaskan jiwanya dari ikatan waswas setan dan nafsu amarah, menyingkirkan segala sesuatu yang akan menjauhkannya dari Tuhan dan akan membersihkan segala sesuatu yang menyebabkan kehancurannya”.[13] 

Jadi seseorang yang tidak mengenal jiwa, maka dia tidak akan berhasil membersihkan dan menyempurnakan jiwanya, karena pengenalan jiwa berarti mengenal kesempurnaan sekaligus mengetahui segala rintangan dan hambatan dalam pencapaian kesempurnaan, begitu pula, dengan ini ia dapat mengenal segala keburukan bagi jiwa. Tentunya, pengenalan jiwa juga bermakna pengetahuan terhadap hakikat jiwa, kedudukan, dan hal-hal yang menyebabkan kebahagiaan dan kemalangannya. Dan mengenal jiwa membuat manusia larut dalam kenikmatan akal dan spiritual dan tidak lagi mengikuti kecenderungan hawa nafsu, bisikan setan, dan penghambaan kepada selain Tuhan.

Imam Ali bersabda, “Kebodohan yang terbesar adalah kejahilan manusia terhadap persoalan-persoalan jiwanya”.[14] “Paling baiknya pengetahuan adalah mengenal diri, barang siapa mengenal dirinya berarti dia mengetahui, dan siapa yang tidak mengenal dirinya akan berjalan ke arah kesesatan”.[15] “Bagaimana seseorang yang jahil terhadap dirinya bisa mengenal Tuhannya?”.[16] “Barang siapa mampu meliputi seluruh ilmu tentang jiwanya, maka dia akan sampai pada pengenalan dan makrifat Tuhan”.[17]

Harus diingatkan bahwa makrifat jiwa dan perjalanan jiwa, merupakan perjalanan yang sangat sulit, dengan alasan inilah mengenai riwayat di atas sebagian ulama mengatakan, sebagaimana makrifat Tuhan adalah sangat sulit, makrifat jiwa pun demikian juga, dan kesulitan serta kerumitan jalan inilah yang telah menyebabkan hanya sedikit orang yang mampu berjalan di atasnya.

Akan tetapi makna lain yang bisa disimpulkan dari riwayat ini adalah adanya kemestian antara pengenalan jiwa dan pengenalan Tuhan.

Lebih lanjut Imam bersabda, “Pengenalan jiwa merupakan pengenalan yang paling bermanfaat”.[18]

Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, tanda-tanda Ilahi, bisa disaksikan pada dua perjalanan, baik perjalanan kosmos maupun mikrokosmos, akan tetapi perjalanan yang paling baik dan bermanfaat adalah perjalanan mikrokosmos atau perjalanan jiwa. Ketika menyaksikan penciptaan alam tanpa batas yang begitu mengagumkan, manusia tidak saja mampu untuk tidak melupakan dirinya, bahkan dia juga bisa semakin memahami keajaiban dan kemisteriusan dunia yang ada di dalam dirinya. Hal inilah yang lebih baik bagi manusia, yaitu mengenal jiwa dan kapabilitasnya, bukan mengenal dunia luar dengan sebaik-baiknya akan tetapi jahil terhadap apa yang ada di dalam dirinya.

“Puncak dari seluruh makrifat adalah makrifat jiwa”[19], yaitu pada hakikatnya apabila seseorang mampu mengenal dirinya, maka dia telah sampai pada puncak dari berbagai makrifat.

“Seseorang yang tidak mengenal dirinya, bagaimana dia bisa mengenal selainnya?”[20] “Dalam pengetahuan, cukuplah bagi manusia untuk mengenal dirinya, dan dalam kejahilan cukup baginya untuk tidak mengenali dan jahil terhadap dirinya.”[21] “Barang siapa mengenal dirinya, berarti dia telah bersifat spiritual.”[22] Dalam keadaan ini, ia tidak lagi sebagaimana manusia pada umumnya.

Kadangkala manusia tersungkur sangat jauh ke bawah hingga jiwanya menduduki predikat, jiwa materi. Ketika jiwa terpenjara di dalam kungkungan tabiat dan kecenderungan tubuh, dan makan, tidur, syahwat, dan amarah telah mendominasi dirinya, maka secara bertahap, jiwa yang tadinya non-materi akan berubah menjadi materi, dan sebaliknya, ketika seseorang memperhatikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwanya dengan cara yang benar, dan dia berusaha untuk menggapai derajat malakutinya, di sini tubuh akan menemukan keadaan yang bersifat spiritual, yaitu seakan tubuh telah meruhani dan secara sempurna berada di bawah kekuasaan jiwa. Dengan alasan inilah sehingga kadangkala sebagian individu terlihat mampu menunjukkan perbuatan-perbuatan yang ajaib, seperti kematian ikhtiari, lapar dalam waktu lama, dan lain sebagainya. Meskipun bisa jadi ilmu saat ini, seperti ilmu kedokteran tidak bisa menerima hal-hal semacam itu, akan tetapi harus diketahui bahwa subyek yang dibahas dalam ilmu kedokteran adalah tubuh manusia bukan jiwa manusia.

Jadi sekali lagi, orang yang menemukan makrifat jiwa akan bisa berubah menjadi realitas spiritual, dimana pada hakikatnya mekanisme materi tidak lagi mendominasinya.

Setelah tingkatan tersebut, terdapat tingkatan yang lebih tinggi dari non-materi dan pembebasan jiwa (tajarrud) dimana manusia akan menjadi manifestasi dari asma, sifat, dan nama agung Tuhan, sebagaimana Imam as bersabda, “Nahnu asma-ullahu al husna (Kami adalah asma-asma Tuhan)”. Tentang tajarrud ada tiga makna:
  1. Pembebasan jiwa dari alam materi;
  2. Pembebasan jiwa dari keterikatan atas manusia lain;
  3. Pembebasan dari segala sesuatu dengan ikhlas pada-Nya.
“Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan melawan kecenderungan buruk jiwanya, dan siapa yang tidak mengenal jiwanya, dia akan memujinya dan merasa puas dengannya”.[23] 

Dari sini bisa diketahui dengan jelas, apa yang akan terjadi pada manusia apabila dia jahil terhadap dirinya, dan bagaimana dia bisa menjual komoditi yang paling agung dan paling berharga dalam alam penciptaan ini dengan harga yang paling murah?

Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah, bersabda, “Merupakan perdagangan yang merugikan jika kalian meletakkan harga pada diri kalian lalu menjualnya.”[24] 

 Suatu hari Pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Ali Khamenei dan Imam Khomeini ra berkata, “Seandainya kunci dunia ini diberikan kepada manusia, hal ini masih merupakan perkara yang sangat kecil baginya”. Menukilkan sebuah misal untuk hal ini akan lebih menjelaskan pernyataan tersebut. Misalnya pada sebuah perpustakaan telah ditemukan sebuah kitab sangat langka dengan nilainya yang tiada banding dan penulisnya yang handal menduduki peringkat dunia yang hidup pada masa lalu. Bisa jadi seorang peneliti yang memiliki spesialisasi dalam bidang tersebut sampai rela menjual rumahnya untuk membeli kitab tersebut, lalu setelah kitab berada di tangannya, dia akan menjaga dan menyimpannya seakan-akan merupakan benda yang teramat sangat berharga. Akan tetapi orang yang sama sekali tidak mengetahui tentang nilainya, bisa jadi dia malah akan merobek kitab tersebut selembar demi selembar lalu menggunakannya untuk membungkus cabe dan garam yang ada di warungnya. Jadi pengetahuan terhadap diri, merupakan pendahuluan untuk memperbaiki diri dan untuk menghiasi mutiara jiwanya, lalu menggunakannya untuk bergerak hingga ke puncak makrifat, sedangkan kejahilan dan ketidaktahuan terhadap diri akan menjadi penyebab kemusnahan dan tersia-sianya jiwa.

Keburukan Lupa Diri.
          
Sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya, mengenal diri merupakan persoalan yang sangat penting, dan manusia harus mengetahui tentang siapa ‘aku’, karena jika dia tidak memperoleh pengenalan semacam ini, maka pasti terjadi kesalahan dalam menentukan apa-apa yang hakiki dan apa-apa yang non-hakiki, dia akan menyangka sesuatu yang hakiki sebagai non-hakiki, lalu meletakkan yang hakiki di tempat non-hakiki dan sebaliknya, yaitu dia melupakan dirinya yang hakiki, dan menganggap non-jiwa sebagai hakikat dirinya. Dengan demikian, dia telah melakukan perbuatan berdasarkan keyakinan yang tidak benar ini, dan hal ini sama artinya dengan membuat kehancuran bagi dirinya sendiri.
          
Suatu ketika, terdapat orang yang memiliki modal besar. Dengan uang tersebut dia mempunyai rencana akan membangun sebuah gedung yang kokoh, megah, dan sangat indah di atas tanah yang sangat luas. Beberapa waktu lamanya dia membanting tulang dan berjerih payah mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk membangun gedung impiannya tersebut, hingga setelah beberapa waktu lamanya akhirnya selesai jualah apa yang dia inginkan. Karena sekian waktu tenaganya telah terkuras untuk membangun gedung itu, maka bersamaan dengan selesainya pembangunan gedung dan habisnya modal, kondisi dan stamina tubuhnya pun menurun. Dalam hal ini, dalam satu waktu sekaligus dia telah kehilangan dua hal, yaitu modal dan stamina tubuh. Dalam kelemahannya, dia menyaksikan gedung megah yang berdiri di hadapannya dengan perasaan puas dan bangga, akan tetapi tiba-tiba dia tersadar bahwa dia telah membangun gedung tersebut di atas tanah milik tetangga, sedangkan di atas tanahnya sendiri kosong dari bangunan. Apa yang terjadi? Seluruh yang dia lakukan, modal yang dia gunakan, waktu yang dia habiskan, semuanya telah hilang dengan sia-sia.
          
Kadangkala sebagian manusia bekerja dan berusaha siang- malam selama bertahun-tahun, akan tetapi tidak pernah merasakan ketenangan meskipun sedetik. Ketika ditanyakan tentang semua alasan usahanya ini, menjadi jelas bahwa seluruh jerih payahnya tersebut adalah untuk mendapatkan beberapa helai permadani, mobil, sebuah rumah, dan uang. Jelaslah bahwa di sini mereka menganggap yang non-hakiki sebagai realitas yang hakiki, yang seharusnya mereka berkhidmat kepada “jiwa hakiki”, yang terjadi malah mereka berkhidmat secara total kepada “tubuh non-hakiki”. Ketika tiba saat perpisahan antara jiwa dan tubuh, mereka baru sadar bahwa usaha dan jerih payah yang mereka lakukan selama ini hanyalah untuk memenuhi kepentingan tubuhnya, sedangkan diri dan jiwanya yang hakiki tidak mengalami kemajuan sedikitpun dan tetap berada pada usia kanak-kanak, hal seperti ini merupakan stagnasi ruh yang sangat mengerikan. Dikarenakan seseorang tidak mengenal diri dan jiwanya secara hakiki, seluruh jerih payah dan pengkhidmatannya hanya dia berikan untuk menggapai keinginan-keinginan tubuh materi yang bakal punah.

 Pengaruh Makrifat Jiwa

Ketika jiwa manusia telah sampai pada tingkatan non-materi murni dan kebergantungannya pada apa yang ditampakkan oleh dunia telah berkurang, secara bertahap dia akan keluar dari penjara tubuh dan tidak lagi melihat adanya benturan-benturan yang menghalangi tubuhnya. Dalam keadaan seperti ini – sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya – tubuh akan berada dibawah kewenangan jiwa dan seakan tubuh pun telah berubah menjadi jiwa, kemudian keajaiban-keajaiban dan kemuliaan-kemuliaan yang mengherankan akan muncul darinya, sedemikian hingga dia mampu memisahkan ruh dari jiwa dengan kemauannya sendiri, kematian seperti ini biasa disebut kematian ikhtiari yang sering terjadi pada diri para wali Tuhan. Salah satunya adalah kejadian menarik yang dinukilkan dari Ogho Sayyed Muhammad Darceh-i.[25] Telah ditanyakan kepada beliau mengenai kebenarn riwayat, “Imam Ridha as memerintahkan untuk melukis gambar singa pada sebuah tirai, lalu singa tersebut hidup dan setelah memangsa orang tak beradab yang berada di dekatnya, dia kembali lagi ke tempatnya semula”. Ogho Sayyed dalam jawabannya mengatakan, “Perbuatan itu bisa pula muncul dari aku yang hanya sebagai budak beliau. Ketahuilah bahwa kodrat semacam ini berkaitan dengan jiwa yang telah menyempurna dan telah terbebas dari penghalang-penghalang materi dan telah memiliki kedudukan di tempat yang tinggi”.

Hal yang serupa diceritakan juga oleh Mahyuddin,  dia berkata, “Dahulu aku mempunyai seorang guru bernama Abu Madain yang memiliki jabatan tinggi dalam kemiliteran, dan dia bisa melakukan berbagai pekerjaan, akan tetapi dia sama sekali tidak pernah memperhatikan kepentingan dirinya, kehidupan pribadinya senantiasa berada dalam keadaan yang susah dan kurang, keadaan beliau telah sedemikian susahnya hingga sebagian para pembesar mengatakan, kenapa kamu tidak berusaha untuk memperbaiki keadaanmu? Akan tetapi lelaki agung tersebut berkata, bahwa seluruh persoalan hidupnya telah dia serahkan kepada Allah”.

Alamah Thabathabai, pada setiap malam Kamis dan malam Jumat senantiasa mengadakan pertemuan dengan para sahabat dan murid-muridnya secara bergilir dari rumah satu ke rumah lainnya, suatu kali seluruh peserta majelis sepakat untuk mengadakan pertemuan di rumah salah satu pelajar, akan tetapi rumah pelajar tersebut begitu jauh dan gelap, sedangkan saat itu usia Alamah Thabathabai sendiri telah lanjut, sehingga untuk berjalan di tempat yang gelap akan sangat menyusahkkan beliau. Melihat hal demikian, para murid memberikan saran kepada beliau, lebih baik pertemuan kali ini diadakan saja di rumah beliau, akan tetapi dalam jawabannya, beliau berkata, “Ketika berjalan di siang hari, mataharilah yang menjaga kita sehingga kita tidak terjatuh, dan sekarang dalam kegelapan, karena matahari dan cahaya tidak menjaga kita lagi, apakah maka kita akan terjatuh ke tanah?”
         
Hal-hal di atas merupakan contoh dari kemuliaan dan kemampuan jiwa dalam menguasai tubuh, adanya pengaruh dominan untuk melakukan perintah-perintah Ilahi, telah memunculkan hal-hal yang mengagumkan dalam wujud hamba-hamba yang taqwa ini. Pelatihan, ketaatan, dan penghambaan kepada Tuhan, secara bertahap akan mengantarkan jiwa untuk sampai ke arah dan tingkatan tersebut, dimana kemudian jiwa menemukan kodrat yang seharusnya, dan menguasai tubuh secara baik, dan kedekatannya kepada Tuhan, akan menyebabkan kemuliaan-kemuliaan Tuhan menurun kepadanya.
          
Karena karakter manusia adalah mencari keuntungan, maka dia akan berusaha untuk menggapai apa yang dikenalnya sebagai persoalan yang sesuai untuk dirinya. Tentunya kecenderungan untuk mencari keuntungan ini memiliki akar kecintaan yang esensial (cinta diri sendiri), karena seluruh kecenderungan yang dimiliki oleh manusia berasal dari akar kecintaan esensial ini, dikarenakan dia mencintai dirinya sendiri maka dia akan berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh jiwanya, tapi apabila dia keliru menentukan, maka dia akan salah memposisikan apa yang hakiki bagi dirinya, yaitu apabila manusia tidak mengenal jiwa, kemampuan, potensi, dan kesempurnaan dirinya, maka dia akan keliru meletakkan persoalan-persoalan non-hakiki dan keinginan-keinginan tak penting pada posisi kebutuhan-kebutuhan esensial dan kesempurnaan hakikinya. Dalam keadaan yang demikian maka seluruh kekuatan dan usahanya dalam hidup, hanya dia untuk mencapai kesempurnaan tak hakiki dan keinginan-keinginan kaburnya, dengan demikian ‘aku’ yang hakiki, justru akan terkapar di bawah kaki ‘tubuh’ materi.

Akan tetapi pengenalan yang benar terhadap jiwa, akan mampu mengubah arah perjalanan hidup manusia kepada kesempurnaan hakiki, karena dengan mengetahui dirinya dan mengetahui nilai jiwanya sendiri, berarti manusia telah mengenal kesempurnaan hakikinya, dan kecintaan pada diri sendiri tidak akan mengizinkannya melangkah di atas selain jalan yang menuju ke arah kesempurnaannya. Dalam perjalanan inilah ‘tubuh’ akan mengorbankan diri hingga mencapai kesempurnaan hakiki bagi jiwa, dan dia akan memperoleh seluruh kesempurnaan yang akan melesakkannya hingga lebih tinggi dari tingkatan para malaikat, dan akan menghalanginya dari terperosok ke jurang yang lebih rendah dari tingkatan hewan. Hal ini terjadi karena kecintaan diri yang benar akan menuntut pengaruh yang benar pula, sedangkan kecintaan diri yang palsu akan memerosokkan manusia pada keinginan-keinginan yang palsu pula.
          
Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah bahwa manusia yang telah menemukan dirinya ini sama sekali tidak akan menjual aset umurnya untuk komoditi yang tak kekal dan sesaat, karena dia menganggap bahwa diri adalah abadi, sementara kehidupan yang abadi tidak membutuhkan aset yang sesaat, melainkan harus sesuai dengan masa mendatang. Satu lagi, manusia yang telah mengenal hakikat dirinya akan menemukan bahwa seluruh umurnya dalam setiap detik kehidupannya harus mencapai hal yang kekal dan permanen, persis sebagaimana seorang kapitalis yang membeli barang-barang berharga dengan berapapun aset yang dia miliki, untuk mendapatkan aset yang permanen, dan hal ini kontradiksi dengan orang yang waktunya hilang sesaat demi sesaat dan tidak ada sesuatupun yang dihasilkannya, dia telah kehilangan asetnya dan diapun tidak mampu memperoleh yang abadi dan permanen. Dia tidak mendapatkan sedikitpun keuntungan dari waktu yang telah terbuang.

Pada dasarnya kesulitan-kesulitan dan benturan-benturan yang dimiliki oleh manusia-manusia saat ini adalah karena mereka tidak mampu membedakan antara diri hakiki dan diri tak hakiki, dan mereka telah memisahkan antara aku yang sebenarnya dari tubuhnya, lalu menarik masing-masingnya ke arah yang berbeda dari lintasan perjalanan yang seharusnya.
          
Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt dalam al-Quran, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri”,[26] dimana melupakan Tuhan akan meniscayakan pada lupa diri, yang konsekuensinya berarti pengenalan diri akan meniscayakan pada pengenalan Tuhan.
          
Pada salah satu ayat-Nya yang lain, “Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”.[27] Pertanyaan yang muncul adalah, apa maksud dari “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. Sedangkan Tuhan tidak akan pernah lupa, karena kejahilan, ketidaktahuan, dan lupa merupakan suatu persoalan yang mustahil bagi-Nya. Jika demikian, apa yang ingin dikatakan oleh ayat ini? Masa depan seperti apa yang hendak diungkapkannya? Dari wahyu tersebut bisa disimpulkan bahwa orang yang mendengarkan dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Tuhan, dia akan memperoleh keinginan-keinginan hakikinya dan dia akan menuangkannya ke kedalaman jiwanya untuk memenuhi kehausan spiritualnya. Dari sini, seluruh kecenderungan-kecenderungannya telah berubah dari potensi menjadi aktual, yang akhirnya akan sampai pada bentuk malakuti yang suci dari keterikatan alam materi.

Akan tetapi ketiadaan perhatian pada perintah, hukum, dan ayat-ayat Ilahi pada hakikatnya merupakan ketiadaan perhatian pada keinginan hakiki manusia, dengan perbuatannya ini berarti dia telah meletakkan jiwa dalam kotoran gelap alam materi, dan seluruh kecenderungan-kecenderungannya telah dia hancurkan pada tingkatan potensi, dan dia akan terhalangi dari pengaruh-pengaruh malakuti amal dan perbuatan-perbuatannya yang Ilahi, dan hal ini akan tampak jelas pada hari kiamat kelak. Dari sinilah kemudian Allah swt berfirman, “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”, yaitu dilupakannya manusia pada hari kiamat, bertolak dari amal dan perbuatannya di dunia dan apa yang telah dipersiapkan oleh Tuhan untuk mengembangkan kecenderungan-kecenderungan, baginya hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dia peroleh.
          
Poin penting berikut harus diperhatikan bahwa balasan pada hari kiamat yang bertolak dan merupakan hasil dari amal dan perbuatan setiap manusia di dunia merupakan majemuk perbuatan yang telah bergabung dalam diri seseorang yang kemudian akan membentuk wujud ukhrawinya, dan ini berlawanan dengan balasan dan pahala yang ditentukan di dunia. Di dunia, untuk perbuatan yang berbeda akan mendapatkan balasan yang telah ditentukan dalam bentuk yang berbeda pula. Misalnya, untuk pelanggaran mengemudi, akan dikenai hukuman denda, dan untuk peminum minuman keras akan dikenai hukuman siksaan dan …, akan tetapi di akhirat, setiap manusia akan dibangkitkan dengan hakikat perbuatannya. Dalam salah satu ayat-Nya, berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”[28], yaitu orang yang memukul anak yatim dengan kezaliman dan telah menyebabkan air matanya jatuh bercucuran, sebelum dia melanjutkan perbuatan dan ancamannya, beliung telah memangkas jenggotnya dan hakikat perbuatannya – yang kini telah tersimpan di dalam jiwanya – akan tampak baginya di hari kiamat kelak.

Sekarang, ketika kiamat dan masa tertampaknya perbuatan manusia dan hari penampakan masih tersembunyi dan tidak kita ketahui, orang-orang yang melupakan ayat-ayat Ilahi pun, pada hari kiamat akan berhadapan dengan hakikat perbuatannya yaitu dia akan dilupakan, “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”, dan dia tidak akan layak mendapatkan perhatian sedikitpun. Pada hari ketika rahmat Tuhan tercurah pada seluruh alam, dia akan terhalangi dari rahmat-Nya. Orang yang tidak mengenal dirinya, dia akan menyangka telah hidup beruntung dan berbahagia ketika memiliki kendaraan, makanan, dan minuman yang paling baik, kekayaan dunia yang berlimpah, hidup di istana besar nan mewah dan mendapatkan seluruh penghormatan. Akan tetapi ini semua tak lebih dari sekedar sebuah khayalan, dia tidak mengetahui bahwa dia telah hidup di alam yang bukan alam insaniyah. Orang yang membatasi seluruh perhatiannya pada keinginan-keinginan hewani, dan lalai terhadap jiwanya, dan tidak bernafas di dalam udara insaniyah, dia akan mati dengan keadaan sebagaimana dia hidup di dunia ini.

Mengenal Indera Batin Manusia
          
 Sebagaimana manusia dalam lahiriahnya memiliki potensi yang beragam, seperti mata, telinga, hati, indera perasa, pencium dan lain-lain, batin juga memiliki potensi-potensi semacam ini yaitu memiliki indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya. Sebagaimana tubuh materi memiliki mata dan telinga, jiwa juga memiliki penglihatan dan pendengaran, dan sebagaimana halnya jantung materi berdetak di dalam dada jasmani manusia lalu menyempurnakan kehidupannya, jiwa juga memiliki jantung yang memiliki kehidupan, dimana kebanyakan dari ibadah akan menyebabkan hidupnya hati ini, dan kebalikannya kebanyakan dari dosa akan mematikan dan memusnahkannya, dan begitu banyak hadits yang menyiratkan tentang aksi dan reaksi jantung batin ini. Sebagai contoh, pada sebuah hadits dikatakan bahwa zikir “Ya hayyu ya qayyum, ya man la ilaha illa anta” akan menghidupkan hati. Demikian juga terdapat dalam hadits bahwa hidup berdampingan dengan penyembah dunia akan mematikan hati. Orang yang tidak mengetahui secara benar tentang potensi yang dimiliki oleh eksistensi ini, akan berhadapan dengan potensi-potensi yang mentah dan tak matang, dan sebagaimana kanak-kanak yang tidak pernah memperhatikan adanya bahaya dan manfaat, setiap langkah yang dia lakukan dalam kehidupan senantiasa akan semakin mendekatkannya kepada bahaya dan semakin menjauhkannya dari manfaat. Seperti orang yang dilahirkan dan hidup sendirian di tengah hutan, dan tidak mengetahui sedikitpun informasi tentang potensi-potensi yang dimilikinya, keadaan ini jelas akan menyebabkan stagnasi perkembangan pada potensi-potensi yang dimilikinya, baik potensi yang tersembunyi ataupun yang tampak. Bahkan hingga sampai pada tingkatan dia tidak mengetahui apa yang bisa diperbuat oleh lidah yang ada di mulutnya. Tidak ada sedikitpun gambaran dalam benaknya bahwa dengan lidah, dia akan mampu menyampaikan maksudnya kepada selainnya. Dia juga tidak mengetahui bahwa dengan matanya dia akan mampu melihat hal-hal yang indah dan mempesona, dengan telinganya dia akan mampu mendengar suara-suara yang merdu. Olah karena itu, pada sepanjang hidupnya, dia akan bisu, buta, tuli dan tidak mampu memanfaatkan perangkat-perangkat yang diletakkan dalam kewenangannya. Apa yang terdapat dalam kedalaman batin manusia pun demikian juga. Ketika manusia tidak mengenal penglihatan, pendengaran, dan hati nurani, maka dia tidak akan memberikan perhatian padanya, dengan demikian potensi-potensi ini tidak akan bisa berkhidmat secara maksimal kepadanya, hasilnya, batinnya akan menjadi buta, bisu, dan tuli.

Apabila mata dan telinga yang dimiliki oleh jiwa manusia tidak pernah melihat dan mendengar hakikat sedikitpun, dan hatinya tidak pernah berada dalam ketenangan dan tidak pernah menemukan sandaran pada hakikat tinggi makrifat, maka mata dan telinga manusia ini akan tetap buta dan tuli di dunia ini, sebagaimana orang hutan yang tetap dalam keadan bisu dan tuli karena dia tidak pernah bercakap dengan selainnya dan tidak pernah pula mendengar suara dari selainnya. Orang inipun di akhirat kelak akan dibangkitkan dalam keadaan bisu dan tuli, dan al-Quran dengan seluruh perhatiannya mengajak manusia untuk menguatkan mata dan telinga batin ini.

Pada salah satu ayat-Nya, Allah swt berfirman, “Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya”. [29]

Dan pada ayat lain berfirman, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”,[30]yaitu mata hati dan jiwanya telah buta sehingga ruh tidak mempunyai kekuatan untuk melihat hakikat. Hakikat makrifat tidak senantiasa bisa disaksikan dengan mata lahiriah, untuk memahaminya mata batin harus dalam keadaan terbuka untuk menerima dan memahami.

Pada ayat yang lain, Allah swt berfirman, “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”[31] Apabila kita telisik ayat di atas, apa sebenarnya maksud dari ibarat ini? Apakah maksudnya adalah bahwa setiap orang yang tidak mendapatkan karunia untuk melihat dunia dengan matanya, di akhirat pun tidak akan melihat apa-apa? Jika demikian, maka seharusnya Abi Bashir yang buta, murid terbaik Imam Shadiq as, juga akan dibangkitkan di akhirat dalam keadaan buta? Tentu saja tidak, makna ayat tidaklah mengisyaratkan bahwa setiap orang yang di dunia ini tidak bisa menyaksikan benda-benda materi di sekitarnya dengan matanya, di akhiratpun akan menghadapi hal yang serupa. Yang benar adalah bahwa setiap orang yang mata hati dan jiwanya tidak terbuka dan pemahaman serta pandangannya tidak melebihi tingkatan lahiriah bendawi, maka dia sama sekali tidak akan mampu membaca huruf-huruf dan rahasia eksistensi dan tidak memiliki pandangan yang mengandung ibrah terhadap dunia.

Ringkasnya, apabila seseorang tidak menemukan hubungan dengan batin alam, berarti dia buta, dan buta semacam ini akan mewujud di akhirat kelak, karena kiamat adalah “Hari ketika seluruh rahasia-rahasia tersingkap “. Oleh karena itu, manusia harus hidup sedemikian rupa sehingga seluruh amal, perbuatan, dan tujuannya adalah untuk membuka mata dan telinga batin dan menemukan pandangan hakiki. Manusia harus mengarungi kehidupannya di bawah naungan wilayah Ilahi dan bimbingan Ahlulbait as sehingga akan terdapat perbedaan antara hari kelahiran dan kematiannya, yaitu apabila seseorang terlahir ke dunia dalam keadaan mata dan telinga yang tertutup, maka dia akan meninggalkan dunia dengan mata dan telinga yang terbuka sehingga akan dibangkitkan di alam akhirat dalam keadaan melihat. Tentunya usaha dan upaya dalam wilayah ini membutuhkan kerja yang ekstra, dan Allah swt akan mempermudah keberhasilannya hamba-Nya yang berusaha untuk melakukah hal ini. Dari sini, Allah swt dalam al-Quran berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya “.[32]

Dalam hubungannya dengan bahasan kita, terdapat sebuah cerita yang dinukilkan dari Ayatullah Behjat, yang akan kami ceritakan untuk Anda secara ringkas. Di Masyhad, terdapat seorang lelaki buta yang hafal seluruh al-Quran. Keahlian orang ini adalah ketika seseorang meletakkan al-Quran di tangannya dan misalnya meminta kepadanya untuk menemukan ayat “Maka Apakah Kami akan berhenti menurunkan Al Quran kepadamu, karena kamu adalah kaum yang melampaui batas?”[33], maka dia akan segera mengambil Quran itu dan menunjukkan ayat sebagaimana yang dimaksud. Kadangkala sebagian orang yang ada disana dengan bergurau mengatakan bahwa engkau tidak menemukan ayat yang diinginkannya dan dia menjawab, berarti kalianlah yang buta.

Apakah ayat, “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”[34] berkaitan dengan orang semacam ini, ataukah berkaitan dengan seseorang yang memiliki dua mata indah yang menghiasi wajahnya, akan tetapi dia hanya menggunakannya untuk melihat kehidupan lahiriah dan mata hatinya tidak berhubungan dengan batin dan hakikat alam?

Pada surah Thahaa, Allah swt berfirman, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulunya aku adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu melupakannya, maka begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”[35].

Orang yang pada hari kiamat dibangkitkan dalam keadaan buta akan mengatakan, “… padahal dahulunya aku adalah seorang yang melihat”, jelas, orang ini menyangka bahwa dirinya melihat dan dia mengkhayal bahwa yang dimaksud dengan penglihatan hanyalah bahwa manusia mampu menyaksikan benda-benda materi dalam batasan tertentu, sedangkan sebenarnya tidaklah demikian. Orang semacam ini sama sekali tidak mengetahui makna hakiki dari melihat dan bashirah, dia tidak memahami bahwa pada hakikatnya di dunia ini terdapat dua kebutaan, pertama tidak memiliki penglihatan fisikal, dan kedua tidak memiliki penglihatan jiwa.

Allah swt pada ayat yang lain dari al-Quran berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dila’nat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”[36].

Memperhatikan subyek ini, meniscayakan kepada kita untuk tidak melihat al-Quran hanya dari makna leksikalnya, melainkan al-Quran merupakan penjelas dari hakikat alam, al-Quran merupakan wujud kalimat dari eksistensi hakiki dan merupakan penerjemah realitas eksternal. Ketika al-Quran berfirman, “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup”[37], pada hakikatnya ayat ini menghikayatkan bagaimana eksistensi eksternal itu. Dan ketika berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dila’nat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”, inipun merupakan pembuka sebuah rangkaian aksi dan reaksi yang terjadi pada mekanisme orang-orang tertentu.

Dalam surah al-Mukmin, berfirman, “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (sama pula) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka”[38]. Pada awal ayat berfirman bahwa ‘buta’ dan ‘melihat’ tidaklah sama, kemudian melanjutkan, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, berbeda dengan orang-orang yang durhaka. Pada dasarnya, ayat ini meletakkan kebutaan secara berhadapan dengan iman dan amal shaleh, sedangkan para pendosa dan pelaku perbuatan-perbuatan yang tercela dianggap sebagai orang-orang yang tidak memiliki ‘mata’. Maksudnya adalah bahwa iman dan amal shaleh adalah penerang yang akan menajamkan penglihatan sedangkan dosa dan maksiat akan menggelapkan dan membutakan penglihatan.  

Pada surah al-Baqarah, Allah berfirman, “Mereka itu tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itulah) mereka tidak mengerti”[39], sedangkan pada surah an-Naml, berfirman, “Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorangpun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri”[40], kemudian pada surah Fusshilat, berfirman, ” … dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka terdapat sumbatan, dan kedua mata mereka buta … “[41]

Ayat-ayat di atas, seluruhnya menyiratkan poin berikut bahwa manusia selain memiliki potensi lahiriah dan inderawi, mereka juga memiliki potensi batin dan spiritual. Letak poin tersebut di sini bahwa kemanusiaan manusia dan kebahagiaannya bergantung hingga sejauh mana dia menemukan pengenalan terhadap potensi-potensi internal jiwanya dan sejauh mana dia mampu memenuhi kebutuhan hakiki batinnya. Dia harus meletakkan potensi-potensi ini dalam wilayah perhatiannya lalu mempersiapkan segala sesuatu yang bermanfaat dan menjadi nutrisi bagi batin, dan tidak menghalangi tumbuhnya potensi internal, membimbingnya ke arah yang benar untuk mencapai kesempurnaan hakikinya, sedangkan merendahkan mereka akan menyebabkan kerusakan dan turunnya derajat kemanusiaan, yang hal ini akan berlanjut pada kebutaan dan ketulian yang sama sekali tidak bisa diterima dan tidak pernah diinginkan oleh setiap manusia, dan keadaan seperti ini hanya akan mengantarkan pada kesedihan mendalam dan penyesalan yang tak berguna.

Allah berfirman, “Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya”[42].


[1] . Qs. Al-Maidah: 105.
[2] . Qs. Fushilat: 53.
[3] . Bagi kalian adalah jiwa-jiwa kalian sendiri.
[4] . Ghurar wa Durar, cetakan Yayasan A’lami Beirut, jilid 2, hal. 159.
[5] . Ibid.
[6] . Ibid, hal. 36.
[7] . Ibid, 8624.
[8] . Ibid, 2936.
[9] . Ibid, hal. 198.
[10] . Ghurar wa Durar Omadi.
[11] . Ibid.
[12] . Ibid.
[13] . Ibid.
[14] . Imam Ali as, Ghurar wa Durar, hal 36.
[15] . Ibid.
[16] . Ibid.
[17] . Ibid.
[18] . Ghurar wa Durar.
[19] . Ibid.
[20] . Ibid.
[21] . Ibid.
[22] . Ibid.
[23] . Ghurar wa Durar Omadi.
[24] . Nahjul Balaghah, khutbah 22.
[25] . Ayatullah Sayyed Muhammad Darceh-i adalah saudara laki-laki dan murid Almarhum Sayyed Muhammad Baqir Darceh-i, ustadz dan guru Ayatullah Burujerdi ra di Isfahan.
[26] . Qs. Al-Hasyr: 19.
[27] . Qs. Thahaa: 126.
[28] . Qs. Yunus: 23.
[29] . Qs. Al-An’am:104.
[30] . Qs. Hajj: 46.
[31] . Qs. Al-Israa: 72
[32] . Qs. Thalaaq: 2.
[33] . Qs. Az-Zukhruf:5.
[34] . Qs. Al-Israa: 72.
[35] . Qs. Thahaa: 124-126.
[36] . Qs. Muhammad: 23.
[37] . Qs. Anbiyaa: 30.
[38] . Qs. Al-Mukmin: 58.
[39] . Qs. Al-Baqarah: 171.
[40] . Qs. an-Naml 81.
[41] . Qs. Fushilat: 44.
[42] . Qs. As-Sajdah: 20.

Sebuah Kenangan.
          
Penulis teringat suatu peristiwa yang terjadi di salah satu perguruan tinggi. Salah satu dari anggota komisi ilmiah yang ada di universitas ini mengatakan, ketika kami menganalisa manusia secara cermat, kami menemukan bahwa struktur dan mekanisme tubuh manusia memberikan jawaban sempurna terhadap seluruh pertanyaan kami, yakni melakukan analisa dan telaah terhadap aksi dan reaksi yang terjadi di dalam tubuh, menjadi jelas bagi kami faktor-faktor penyebab munculnya seluruh aktivitas, prilaku, kecenderungan-kecenderungan, instink, dan keadaan lain yang dimiliki oleh manusia. Melalui penelitian ini, kami mampu memahami kenapa manusia bisa marah, bisa menumpahkan kasih sayangnya kepada orang-orang yang dicintainya, bisa gembira, dan bisa bersedih. Bagaimana dia bisa menjadi orang yang jahil atau berilmu, bisa berfikir, dan memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Dan dari sini kamipun mengetahui apa aksi dan reaksi yang bisa diterima di dalam otak setelah manusia memiliki pengetahuan. Ringkasnya, struktur tubuh dan mekanisme alami tubuh manusia, berada dalam kedudukan yang mampu memberikan jawaban untuk seluruh pertanyan-pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, tidak diperlukan lagi pembuktian terhadap adanya satu wujud non-materi bernama ruh dan jiwa untuk manusia.
          
Ketika melihat orang ini yang memiliki pengenalan salah mengenai manusia, tak ada cara lain kecuali harus membuka pembahasan dan saya berkata, “Tuan, apakah benar bahwa seluruh hakikat manusia bisa diketahui hanya dengan mengajukan beberapa pertanyaan saja? Apakah seluruh pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan akan muncul dari manusia hanya terbatas pada beberapa pertanyaan Anda tersebut? Dan tidak ada pertanyaan yang lainnya? Bisa jadi terdapat pertanyaan yang jawabannya tidak bisa kita temukan dari mekanisme natural tubuh manusia. Selain itu, apa yang Anda nyatakan telah Anda temukan dari mekanisme tubuh, apakah benar-benar merupakan jawaban dari pertanyaan Anda ataukah hanya merupakan premis dan pendahuluan untuk sebuah jawaban, dan Anda menyangka bahwa Anda telah menemukan jawabannya. Sekarang saya juga mempunyai beberapa pertanyaan dan hendaklah Anda menjawabnya dengan metode analisa aksi-reaksi atas struktur tubuh manusia sebagaimana yang telah Anda pergunakan.

Pertanyaan pertama, seluruh manusia yang teis dan ateis akan menganggap dirinya sebagai manusia yang ideal dan besar karena merasa mempunyai keseimbangan dalam mengontrol kecenderungan-kecenderungan tubuh, keinginan-keinginan jiwa dan syahwat hewaninya, sementara pada sisi lain terdapat pendosa-pendosa dan penyembah hawa nafsu pada semua tempat. Apabila manusia hanyalah ibarat sebuah badan, maka baginya tidak ada kesempurnaan yang lebih tinggi selain memberikan jawaban positif pada seluruh kecenderungan dan syahwatnya. Jika manusia tidak memiliki dimensi lain selain dimensi materi dan hewaninya, lalu kenapa fitrah seluruh manusia memberi kesaksian bahwa dengan semakin tidak memperhatikan kecenderungan dan syahwat miliknya, dia akan semakin sempurna? Sementara apabila manusia hanya menyimpulkan dirinya dalam tubuh materi dengan seluruh kecenderungannya, berarti manusia yang sempurna dan beruntung adalah mereka yang lebih memperhatikan keinginan-keinginannya tersebut lalu menjaga dan memenuhi tuntutannya hingga batasan yang memungkinkan. Semakin ia bisa memuaskan keinginan hawa nafsunya, seharusnya dia menjadi manusia yang semakin sempurna dan semakin berhasil. Dengan demikian, tidak ada lagi hukuman dan denda untuk pelaku setiap pengkhianatan dan kejahatan, karena dengan melakukan hal tersebut niscaya seorang manusia telah sempurna dan ideal secara mutlak. Sama sekali tidak akan menghindari tuntutan syahwat dan kecenderungan tubuh, karena hal ini akan membahayakannya dan tak menyempurnakannya. Dengan demikian, apabila terdapat orang yang tidak melakukan dosa dan tidak memuaskan keinginan alaminya sebaliknya dia akan mengontrol dirinya dalam hal-hal tersebut, dia malah akan menjadi orang yang tak sempurna, lemah, dan tak memiliki kekuatan. Akan tetapi kita lihat, tidak ada satupun manusia yang meyakini celoteh batil ini, bahkan mereka mengatakan bahwa manusia yang sempurna dan berhasil adalah manusia yang mempunyai kemampuan menyeimbangkan seluruh kecenderungannya dan mampu melawan keinginan hawa nafsunya. Jadi, manusia memiliki hakikat yang lebih tinggi dari tingkatan hewani.

Pertanyaan kedua, kita menyaksikan bahwa begitu manusia melewati usianya yang ke 35, dia akan memiliki mekanisme berfikir dan kontemplasi yang semakin mendalam dan semakin sempurna, padahal dari sini hingga selanjutnya tubuhnya setahap demi setahap akan semakin melemah. Dengan ibarat yang lain, rasionalitasnya akan semakin kuat dan pemahamannya akan semakin cermat, akan tetapi tubuh dan mekanisme sel-sel tubuhnya akan semakin mengarah pada kerapuhan dan kelemahan. Sebagai contoh, semakin lanjut usia seorang filosof, maka perkataan yang diucapkannya akan semakin matang dan mendalam. Di sini akan muncul persoalan berikut, apabila hakikat manusia hanya berupa tubuh ini, dengan semakin melemahnya tubuh, berarti pikiran dan kecerdasannya pun akan semakin melemah dan semakin banyak melakukan kesalahan pula, sementara yang terjadi adalah kebalikannya, ilmuwan dan cendekiawan yang jenius dan cerdas, pada usia separoh bayanya tidak bisa lagi dibandingkan dengan masa mudanya, pada usia ini dia telah muncul sebagai orang yang mampu menuangkan ilmu-ilmunya dengan pengetahuan lebih luas dan pemikiran yang lebih mendalam, dan menjadi orang yang semakin diyakini pendapat, gagasan, konsep, dan pemikirannya.

Pertanyaan ketiga, kita melihat pelajar-pelajar pada tingkat sekolah dasar akan mempelajari persoalan-persoalan matematik yang sederhana. Misalnya,  mempelajari bahwa 2×2 = 4, tahun demi tahun terlewati, dan subyek ini tetap ada secara permanen pada diri mereka dan tidak terjadi sedikitpun perubahan, apabila tujuh puluh tahun kemudian ditanyakan dua kali dua berapa hasilnya, maka mereka akan mengatakan jawabannya dengan cepat. Akan tetapi dari sisi lain, kita mengetahui bahwa tubuh pada setiap tujuh tahun akan mengalami perubahan secara total bahkan unsur-unsur pertama yang terdapat pada sel-sel otak pun akan mengalami perubahan. Apabila manusia hanya didefinisikan sebagai mekanisme tubuh natural dan sel-sel material, dengan berlalunya masa dan dengan terjadinya perubahan pada setiap sel-sel yang dimilikinya, maka pasti segala ingatan dan kenangan-kenangannya pun akan mengalami perubahan pula, lalu kenapa yang terjadi tidaklah demikian? Begitu banyak kenangan kanak-kanak dan pengetahuan-pengetahuan awal yang tetap melekat erat hingga akhir hayat seorang manusia.

Jadi, bisa terjelaskan dengan baik bahwa manusia memiliki dimensi non-materi dan metafisika yang akan menjaga seluruh bentuk ilmu, pengetahuan, dan kenangan yang ada di dalam benaknya, sedemikian hingga tidak ditemukan sedikitpun cacat dan kelemahan pada mereka, meskipun terjadi perubahan-perubahan pada sel-sel tubuh. Bahkan kadangkala kita melihat bahwa peristiwa atau kenangan yang telah terlupakan akan kembali teringat dengan mengutarakan konteks-konteks tertentu, hal ini akan menjelaskan dengan baik bahwa sebenarnya persoalan-persoalan yang telah terlupakan tetap terjaga dalam lembaran jiwa manusia dan tidak mengalami sedikitpun perubahan.

Wejangan Alamah Thabathabai
          
Ketika seseorang bertanya tentang tahapan-tahapan makrifat dan perjalanan spiritual, Alamah Thabathabai ra mengungkapkan tiga pesan pentingnya, yaitu musyarathah[1], muraqabah[2] dan muhasabah[3]. Berkata, pada awal hari kita harus mempersiapkan diri sedemikian rupa supaya senantiasa mampu menjaga diri dari khayalan-khayalan nafsu dan bisikan setan, lalu mensyaratkan diri misalnya hari ini aku harus berusaha sedemikian rupa menjaga diriku supaya tidak melakukan hal-hal yang melawan keridhaan dan perintah-Nya dan harus bertekad untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan aib dan tercela, dan setelah keputusan awal ini, pada awal hari kita harus memegang kuat-kuat apa yang telah kita syaratkan untuk diri kita sendiri selama sehari penuh hingga mampu menyelesaikannya dengan baik. Alamah melanjutkan, yang kedua adalah muraqabah, yakni perbuatan yang senantiasa terjadi antara dua pihak secara timbal balik, yaitu Tuhan akan menjagamu dan kamupun harus menjaga perintah-Nya dan melakukan segala sesuatu sesuai kehendak dan keridhaan-Nya. Setelah melewati kedua tahapan ini, kini sampai pada tahapan ketiga yaitu muhasabah, dengan makna bahwa pada saat-saat terakhir disetiap hari kita mencoba memikirkan kembali segala gerak dan perbuatan yang telah kita lakukan sepanjang hari, memperhatikan sesaat demi sesaat yang telah terlalui, bertanya, dan melihat pada diri sendiri, apa yang telah dihasilkannya hari ini dengan hilangnya aset penting dari tangannya. Pada tahapan ini, dengan ketelitian dan kecermatan penuh dia harus memperhatikan aktivitas, kedatangan, kepergian, duduk, makan, percakapan, tulisan, dan ringkasnya seluruh gerak dan perbuatan yang telah dia lakukan, lalu memisahkan yang baik dari yang buruk. Setiap kali menemukan perbuatan tak pantas, beristighfar dan memohon ampunan dari-Nya, dan bertekad untuk mengubahnya, dan setiap kali melihat keberhasilan senantiasa mengucapkan syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.
          
Alamah berkata, orang yang melalui hidupnya dengan cara seperti ini, dia akan bertemu dengan berbagai kesempurnaan yang keberhasilannya jarang ditemukan, dan ketinggian ruhani dan spiritualnya tidak bisa dibandingkan dengan seluruh manusia biasa yang tidak melakukan penghitungan dan hisab atas segala amalan dan prilaku hariannya pada setiap malam hari.

Hubungan Makrifat Diri dan Makrifat Kesempurnaan
          
 Setiap benda secara khusus memiliki kesempurnaannya sendiri. Untuk membedakan kesempurnaan setiap benda maka kita harus mengenal dan mengetahui hakikat benda tersebut. Demikian juga untuk mengetahui kesempurnaan manusia, harus pula dilakukan melalui pengenalan dan makrifat diri manusia secara utuh dan komprehensif. Seseorang bisa menyatakan dirinya mampu mengetahui setiap titik kulminasi dan kesempurnaan manusia dengan baik, ketika dia memiliki makrifat menyeluruh, benar, dan mendetail tentang manusia. 

Jadi, mengenal manusia secara hakiki berarti mengenal kesempurnaannya secara hakiki pula. Selama manusia belum mengenal dirinya dengan benar berarti dalam menentukan kesempurnaan dirinya pun akan mengalami kesalahan, dan kadangkala dia akan menempatkan ketaksempurnaan dan kekurangan pada posisi kesempurnaan dan kebahagiaan. Orang yang tidak mengenal dirinya, dia tidak akan mengetahui apa-apa tentang kesempurnaannya. Mereka yang sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di luar jasmaninya dan menganggap segala yang berada di bawah kekuasaan kecenderungan-kecenderungan alami dan keinginan syahwatnya sebagai suatu kesempurnaan, maka sebenarnya dia tidak berhasil, dan akibatnya, dia tak lebih dari seekor binatang yang berbulu halus dan memakan rumput-rumputan berkualitas unggul. Orang semacam ini tak lain adalah mereka yang tidak mengenal dirinya dan memilih mengenal selain jiwanya serta meletakkan kecenderungan materi pada tempat dimana seharusnya dia meletakkan keinginan jiwa hakikinya. Oleh karena itu, manusia yang lalai terhadap jiwanya, sama sekali tidak akan pernah menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan.

Alienasi Manusia Modern
          
Manusia pada masa modern ini telah kehilangan jati dirinya. Dia telah meletakkan dirinya pada wilayah yang tak bisa tergapai dan hakikat dirinya tetap tersembunyi di balik tirai kejahilan dan kebodohan. Dikarenakan manusia tidak mengenal dirinya sendiri, maka dia melakukan kesalahan dalam menentukan kesempurnaan hakiki. Mereka hanya mengenal dirinya sebatas tubuh kasar dan menyangka bahwa seluruh kebahagiaannya terletak pada semakin banyaknya dia memperhatikan tubuh dan memenuhi keinginan-keinginan rendah tubuh.

Dengan alasan inilah, banyak yang mendefinisikan kebahagiaan dan kesempurnaan manusia sebagai, tidur yang baik, pola dan menu makanan yang baik, tempat piknik yang sesuai, rumah besar, mobil indah, dan pernik-pernik kehidupan materi lainnya, dimana untuk menggapai ide-idenya ini manusia tidak akan segan-segan untuk mencampakkan kasih sayang, toleransi, rasionalitas dan menggantikannya dengan kekerasan, dan tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya segala perbuatan yang dilakukannya, dia telah membuat jurang yang terjal dan berbahaya bagi jasmani dan jiwanya sendiri, dan sesuatu yang mempunyai nilai penting baginya hanyalah realitas materi yang manfaat.

Sebagai misal, pada zaman perang Irak-Iran, terlihat orang-orang yang bukan warga negara Irak telah menjadi pilot yang disewa oleh Irak. Mereka membombarder kota-kota Iran dengan imbalan uang yang tak terkira banyaknya. Sekarang, jika orang semacam ini membuat istana, membeli mobil, dan vila dengan uang yang dihasilkannya, apakah dia bisa dikatakan sebagai manusia yang berbahagia dan telah sampai pada kesempurnaan? Apakah dia bisa dikatakan sebagai orang yang berhasil dan sukses?
          
Ya, bisa jadi orang yang tidak mengenal manusia dan kesempurnaannya, menganggap persoalan-persoalan tak berharga seperti ini sebagai sebuah kesempurnaan, dan dia sama sekali tidak akan bertanya kepada pemilik segala kemewahan ini tentang sumber dan asal seluruh harta dan kekayaan yang telah dia hasilkan. Akan tetapi orang yang mengenal hakikat manusia dan kesempurnaannya, dia hanya akan menganggap harta benda dan materi sebagai sebuah kekayaan yang berharga dan bermanfaat ketika mengantarkannya kepada kemuliaan dan kebahagian hakiki dan sesuai dengan martabat suci manusia.

Kelezatan Manusia
          
Ibnu Sina dalam kitab Isyarat wa Tanbihat, mendeskripsikan kelezatan manusia dalam satu pembagian universal, yaitu syahwat, amarah, imajinasi, dan rasio.

Kelezatan syahwat adalah kelezatan tertentu yang dirasakan oleh salah satu organ tubuh manusia. Sebagai contoh, lidah merasakan manis dan langit-langit mulut akan menikmati kelezatannya. Kelezatan adalah sebuah perolehan dan pencapaian. Kelezatan perolehan ini, kadangkala dihasilkan oleh organ lidah yang melakukan aksi dan reaksinya pada permukaan lahiriah lidah sehingga kemudian manusia memahami rasa tertentu, akan tetapi kadangkala pula rasa tertentu ini dirasakan oleh manusia tanpa perantara organ materi lidah, melainkan dia mampu merasakan kelezatan tanpa berhubungan dan bersentuhan sama sekali dengan indera perasa. Sebagai contoh, ketika dalam tidurnya manusia bermimpi meminum sirup yang sangat lezat, sebenarnya dia telah merasakan kelezatan ini tanpa menggunakan organ perasa lidah.

Kelezatan-kelezatan syahwat muncul dari selera-selera rendah yang bukan hanya tidak penting bagi manusia, bahkan mungkin akan bisa menjadi penghalang dan pengganggu bagi gerak menyempurnanya. Sebagaimana seseorang yang melakukan aktivitas makan, tidur, dan memenuhi syahwat hewaninya secara terus menerus, akan membuatnya tetap berada pada sumbu hewani secara permanen.

Kelezatan kedua yang berhubungan dengan potensi amarah manusia. Sebagaimana kita ketahui, balas dendam dan kemenangan pada pihak tertentu atau tertimpanya musibah yang menyedihkan bagi musuhnya akan menimbulkan semacam ketenangan dan perasaan lezat bagi pelakunya. Memuaskan potensi amarah ini begitu menariknya sehingga kadangkala mengalahkan kelezatan syahwat dan tak jarang manusia akan mengesampingkan kelezatan syahwatnya dengan alasan untuk memperoleh kelezatan amarah ini, dan bisa jadi bahkan dia akan rela mengorbankan nyawanya dan bergerak hingga ke ambang kematian untuk melampiaskan balas dendam dan kemarahannya.

Kelezatan ketiga yang terkait dengan imajinasi dan khayal adalah yang sebagaimana kelezatan-kelezatan yang mengantarkan orang pada lahirnya sifat-sifat sombong, angkuh, merasa tersohor, memegang kepemimpinan, kekuasaan, dan egois, yang keseluruhannya ini merupakan kelezatan-kelezatan yang sama sekali tidak berhubungan dan tidak bersentuhan langsung dengan tubuh manusia, melainkan berhubungan dengan gairah dan gejolak batin. Dan kelezatan ini jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan alamiah tubuh. Dan untuk mendapatkan kelezatan imajinasi ini sering kali terlihat sebagian individu menutup diri dari seluruh kelezatan tabiat dan alami. Misalnya untuk memperoleh kekuasaan, seseorang bisa menutup mata dari makan, minum, dan pemenuhan syahwat-syahwat yang lainnya.

Bagian keempat dari kelezatan ialah kelezatan akal atau rasio. Kelezatan ini sebagaimana kecerdasan, memiliki begitu banyak tingkatan dan derajat. Dimulai dari memanfaatkan ilmu, manisnya melakukan ibadah, jihad, hingga pada mengorbankan jiwa. Dalam keadaan seperti ini, dengan meninggalkan begitu banyak kelezatan dan kecintaan yang lainnya, manusia akan bergerak ke arah Tuhan dan fana dalam penghambaan pada Sang Pencipta alam, lalu dia akan menemukan esensi wujudnya sebagai manifestasi Ilahi dan apa yang diperoleh dari kesempurnaan di dalam dirinya ataupun diluar dirinya semuanya berhubungan dengan kesempurnaan wujud Tuhan.

Tingkatan Kelezatan
          
Antara satu kelezatan dengan kelezatan yang lainnya terdapat perbedaan dan tingkatan. Dan ukuran perbedaan masing-masing setara dengan perbedaan substansinya, yaitu perbedaan kelezatan akal dengan kelezatan inderawi terletak pada ukuran kedekatan diri kepada Tuhan ketika mengecap kelezatan itu. Esensi kelezatan hanya bisa dipahami melalui hakikat jiwa, tentunya aksi dan reaksi yang terdapat dalam anggota tubuh merupakan perantara untuk memindahkan kelezatan tersebut kepada jiwa. Sebagai contoh, apabila kita merasakan manisnya gula di langit-langit mulut lalu kita menyukainya, maka gula yang memiliki rasa manis merupakan perantara awal dan lidah merupakan perantara kedua untuk memahami kelezatan lahiriah tersebut.
          
Kelezatan-kelezatan manusia dan untuk memperoleh nya harus dilakukan dengan memanfaatkan beberapa perantara dimana masing-masingnya akan bertindak dengan cepat, namun kesibukan jiwa dan perhatian manusia pada dimensi yang lain akan menyebabkan jiwa manusia tidak mampu menggapai kelezatan tanpa melalui perantara. Oleh karena itu, terdapat perantara dan penghalang supaya pesan terkirim ke otak dan akan terjadi aksi dan reaksi yang beragam supaya kelezatan bisa diraih secara maksimal dan sempurna. Perantara-perantara ini akan melemahkan pencapaian kelezatan dan semakin banyak perantara maka akan terdapat hijab dan penghalang perolehan kelezatan yang semakin besar pula, dan sebaliknya apabila perantara semakin berkurang, maka perolehan kelezatan akan yang lebih jelas dan berkualitas. Meskipun tanpa perantara pun sebagian dari kualitas-kualitas tersebut akan bisa ditemukan dan pencapaian kelezatan ini akan menjadi lebih jernih, sebagaimana seseorang yang berada pada alam mimpi, ketika dia meminum sirup atau memakan sesuatu, maka kelezatan yang diperolehnya terasa lebih tinggi dari kelezatan ketika dia makan dan minum sesuatu dalam keadaan sadar, dan baginya perolehan kelezatan tanpa perantara materi jauh lebih kuat dan lebih memikat.

Kelezatan Khayal dalam Pandangan Ibnu Sina
          
Abu Ali Sina dalam kitab Isyarat wa Tanbihat[4] dalam pembahasannya tentang kelezatan khayal manusia, menganggap kelezatan ini sebagai sebuah pengaruh dari munculnya keinginan, harapan, dan permintaan hawa nafsu manusia, dengan makna bahwa dalam anggapan manusia ini begitu banyak ide dan harapan yang menurutnya berharga, lalu dia menyangka apabila harapan tersebut terwujud di alam luar, maka dia akan mendapatkan begitu banyak kebahagiaan, kesuksesan dan kesempurnaan. Sebagai contoh, seseorang yang menginginkan jabatan, kekuasaan, kehormatan, dan kepribadian yang tinggi, apabila suatu hari harapannya terwujud, maka kelezatan yang dihasilkan oleh kekuasaan dan jabatan tersebut merupakan kelezatan khayalan.

Manusia ini telah terikat dan tertarik pada sesuatu yang tidak benar-benar dia miliki secara hakiki, dengan makna apabila suatu hari kepribadian khayalan tersebut terambil darinya, maka dia akan kembali menjadi individu yang sebelumnya, yang secara pasti telah melewati umurnya tanpa menemukan sedikitpun perkembangan signifikan dalam umur yang telah terlewati tersebut. Dia tak lain adalah orang yang terkena musibah dan malapetaka besar, karena seluruh kekuasaan dan jabatan itu tidak akan memberikan kesempurnaan hakiki dalam dirinya. Hal ini merupakan kebalikan dari kelezatan akal yang akan kami bahas setelah ini.

Akan tetapi kelezatan-kelezatan inderawi, sebagaimana makan, tidur, memuaskan instink alami, apabila pelampiasan ini hanya bertujuan untuk hidup dan bahkan tujuan hidup untuk makan dan minum serta tak ada tujuan lain selain memuaskan keinginan alami, manusia ini meskipun akan menemukan manfaat-manfaat alami tubuh, akan tetapi harus diketahui bahwa kelezatan-kelezatan tersebut merupakan kelezatan-kelezatan hewani yang memiliki tingkatan lebih rendah. Manusia seperti ini tidak akan pernah mengeluarkan kepalanya dari tubuh hewaninya dan tidak memiliki informasi sedikitpun tentang alam insani, dia tetap tinggal dalam batasan kehewanannya, dan seluruh jerih payahnya hanya berada pada batasan-batasan hewan tersebut.

Manusia semacam ini telah meletakkan dirinya untuk berhidmat pada tingkatan hewani dan melupakan atau mengesampingkan tingkatan insaninya sendiri. Jalan yang dia pilih ini sama sekali tidak akan pernah mengantarkan seluruh potensi insaninya untuk menjadi sesuatu yang aktual dan menyempurna, dan pada hari kiamat kelak dia tidak akan dibangkitkan sebagai manusia. Sekarang pertanyaan yang masih tertinggal adalah bahwa apakah kesempurnaan manusia itu? Dalam jawabannya bisa dikatakan bahwa satu-satunya kesempurnaan yang layak bagi manusia adalah sampainya dia pada kelezatan akal dan rasio.

Meskipun telah dikatakan bahwa kelezatan-kelezatan akal memiliki tingkatan dan derajat yang beragam, paling tingginya kedudukan rasionalitas dan bahkan di atas rasionalitas, tak lain adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Sina, “Kesempurnaan mutlak manusia adalah kesempurnaan akal dan rasionalitas, yaitu cahaya Tuhan memancar ke dalam dirinya dan dia tetap berada dalam kesempurnaan yang mulia dan agung seiring dengan menetapnya pancaran suci Tuhan.”[5]

Tujuan tinggi manusia adalah menggapai penegasan Ilahi dan pancaran taufik-Nya dan melangkahkan kakinya pada tingkatan tinggi ini, jika hal ini dicapai berarti ia telah meraih seluruh keberhasilan manusia dan tidak ada satupun martabat atau kedudukan yang sesuai dan lebih tinggi baginya.

Pada tingkatan ketuhanan ini, manusia akan menghadapkan wajahnya ke arah tak terbatas dan sesaat demi sesaat dari umurnya merupakan gerakan menuju kesempurnaan.

Pada ufuk tak terbatas ini, seluruh kekuatan dan potensi manusia secara bersamaan akan menuju ke satu arah yang lebih baik dari khayal dan imajinasi. Ini merupakan tujuan tinggi insani dimana mata harus tertutup dari selain-Nya dan hati tak tertambat pada selain-Nya.

Analisa Batasan Kelezatan Inderawi.
          
Pada pembahasan terdahulu telah kami katakan bahwa kelezatan-kelezatan manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Filosof besar Ibnu Sina pada bab kedelapan kitab Isyarat wa Tanbihat menyinggung khayal dan imajinasi menjadi lima tingkatan dimana kelezatan-kelezatan ini berada di atas kelezatan inderawi. Dan kebanyakan masyarakat meninggalkan kelezatan-kelezatan inderawi karena adanya tarikan-tarikan kelezatan-kelezatan di atas kelezatan inderawi. Dengan hal ini dia hendak membuktikan bahwa kelezatan-kelezatan inderawi memiliki batasan dan bukan kelezatan yang terbaik. Ibnu Sina dalam hal ini menuliskan, “Kalangan awam menganggap bahwa paling tingginya tingkatan kelezatan tak lain adalah kelezatan inderawi, seperti makan, tidur, marah, dan syahwat, sedangkan kelezatan-kelezatan non-inderawi merupakan kelezatan-kelezatan yang rendah.”[6]
          
Kemudian Ibnu Sina menyanggah pernyataan di atas dengan menyebutkan contoh-contoh berikut: 
1.  Kadangkala sebagian dari individu-individu ini yang hingga batasan tertentu memiliki kemampuan analisa yang benar dan berkata kepada mereka, bukanlah kalian menganggap bahwa kelezatan-kelezatan inderawi yang paling baik adalah kelezatan-kelezatan seksual, makanan, dan sepertinya? Lalu kenapa kadangkala kita melihat pada sebagian individu yang untuk sampai pada satu kelezatan khayal dia bisa mengesampingkan kelezatan-kelezatan inderawi semacam ini? Misalnya seseorang yang tengah asyik bermain catur, kadangkala keasyikannya telah membuatnya tak sadar bahwa dia telah mengesampingkan makanan dan minuman-minuman lezat yang telah dihidangkan untuknya, dan dia tetap asyik bermain dengan khayalannya sendiri hingga berjam-jam lamanya.
2. Demikian juga, bisa jadi media untuk memperoleh sebagian dari kelezatan-kelezatan inderawi seperti makanan dan menikah tersedia di hadapan orang yang menginginkan “kesucian” dan kekuasaan, akan tetapi demi menjaga kebesaran dan keuntungannya, dia akan menjauhi kelezatan-kelezatan inderawi tersebut. Baginya menjaga kedudukan dan keuntungan terasa lebih lezat dan lebih sesuai dari pada meraih kelezatan-kelezatan inderawi.
3. Kadangkala bagi seseorang yang berjiwa pemurah, ketika tiba masa untuk memberi, dia akan lebih memilih kelezatan memberi atas kelezatan sifat hewani, dan dia mendahulukan pihak lain dari dirinya sendiri dalam merasakan kenikmatan. Oleh karena itulah dia bergegas untuk memberi. Jadi, jelas bahwa kelezatan memberi baginya terasa lebih tinggi dari kelezatan-kelezatan inderawi dan keinginan-keinginan hewani.
4. Demikian juga manusia yang berjiwa besar dan mulia, di akan memilih lapar dan haus untuk menjaga harga dirinya, dan pada medan perang, ketika terdengar ajakan untuk menyerang dia akan menganggap ketakutan terhadap kematian dan kebinasaan mendadak merupakan sebuah persoalan yang sangat sepele.
5. Bisa jadi pula, untuk sebagian pasukan perang, karena penghargaan dan pujian telah memberikan kelezatan dan kenikmatan yang tak terkira, hal ini telah menyebabkan mereka menyambut hal-hal yang berbahaya tanpa pikir panjang dan mereka akan segera menyerang ke arah musuh. Mereka mendahulukan kelezatan kebanggaan setelah mati dari pada kehidupan yang rendah.

Contoh-contoh di atas, menunjukkan bahwa kelezatan-kelezatan inderawi bukan merupakan hal yang paling ideal bagi manusia, karena kadangkala manusia menggunakan kelezatan-kelezatan inderawi tersebut sebagai alat untuk mencapai kelezatan-kelezatan yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, apa yang ada di dalam benak masyarakat umum tentang kelebihan kelezatan inderawi merupakan persoalan hakiki manusia yang tidak mereka ketahui, dan mereka hanya menyarikan manusia dalam mekanisme natural dan alam materi saja. Ibnu Sina juga menisbahkan pernyataan yang serupa dalam anggapan keliru masyarakat umum, yaitu metode tafakkur semacam ini beranjak dari khayalan rendah, karena apa yang menguasai mekanisme berpikir masyarakat umum adalah khayalan bukan rasionalitas. Sebagaimana khayalan juga menguasai dunia hewan. Hanya saja, perbedaan yang jelas antara manusia yang terletak pada tingkatan ini dengan hewan adalah manusia memiliki potensi untuk mencapai kesempurnaan dan mereka bisa bergerak ke arah kesempurnaan insani, meskipun selama mereka belum berada pada perjalanan insani dan kesempurnaan insani, hanya khayalanlah yang akan menguasainya, mereka tidak akan mendapat manfaat dari akal teoritis dan kelezatan akal. Kodrat khayalan manusia ini adalah mereka memegang dan mengatur persoalan-persoalan dunia, duduk, bangkit, melakukan transaksi dan lain sebagainya. Dan ringkasnya, manusia ini tak lebih hanya sebagai pemuas potensi-potensi inderawinya. Oleh karena itu, kelezatan inderawi bukan saja tidak lebih kuat dan lebih tinggi dari kelezatan-kelezatan yang lain, bahkan kelezatan ini merupakan kelezatan yang paling rendah jika dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan lainnya.

Sebenarnya jika manusia yang mampu melesak dari mekanisme inderawi dan khayalan, melihat dirinya terpenjara dalam kerangka tubuh, maka sebenarnya harus diketahui bahwa tidak saja dia telah dicengkeram oleh kekuatan hewani dan setani dimana cakar dan giginya telah memasuki jantung dan meresap ke dalam jiwanya, bahkan hawa nafsunya pun telah mengikat erat tangan, kaki, mata dan telinganya. Dalam keadaan ini, maka dia harus secepatnya menyelamatkan diri dari perangkap yang melingkupinya dengan cara semakin mendekatkan diri kepada para wali-wali Ilahi dan memberikan perhatian yang penuh pada dirinya sendiri, lalu melepaskan diri dari penjara tubuh untuk terbang ke arah alam insani. 

Perubahan dan Kesempurnaan
         
 Insan berada pada lintasan yang terletak di antara dua kutub positif dan negatif. Menghadap ke satu arah artinya membelakangi arah lainnya. Mendekati salah satu kutub akan berarti menjauhi kutub yang lainnya. Dengan perkataan lain, semakin dia mendekati alam tabiat dan jasmani maka sejauh itu pulalah dia telah menjauhi alam spiritual dan Ilahi, persis dengan tolok ukur tersebut, mensucikan diri dari pengaruh alam materi, akan senantiasa diiringi dengan kebersihan ruh, pertumbuhan, dan kesempurnaan spiritual. Menjadi jelas bahwa berkumpulnya dua kutub positif dan negatif adalah mustahil, hal ini sama dengan kemustahilan berkumpulnya dunia dan akhirat secara bersamaan.
          
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah swt berfirman, “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.”[7]
          
Sebelum ini kami telah mengatakan bahwa seiring dengan semakin jauh dari satu kutub akan diikuti dengan semakin dekatnya ke kutub yang berlawanan. Tentang masalah ini, saya teringat dengan cerita yang biasa dikatakan oleh sebagian ulama besar kepada murid-muridnya. Suatu hari aku kehilangan sebuah cincin, dan aku menghabiskan beberapa waktu untuk mencarinya. Persis pada saat aku tengah mengkonsentrasikan diriku untuk pekerjaan ini, tiba-tiba muncul pikiran dalam benakku, kenapa aku bisa sedemikian mencintai sesuatu sehingga waktuku terbuang sia-sia untuk itu, sedangkan hal ini tidak layak bagiku. Jadi, aku menghentikan pencarian cincin itu sejak saat itu juga. Lalu aku berwudhu dan menyibukkan diri dengan belajar di perpustakaan.
          
Hari itu aku merasakan adanya cahaya dalam diriku, aku mampu menyelesaikan sebuah tema ilmiah dengan sangat cepat dan pada waktu yang singkat aku telah mampu mempelajari dan menyelesaikan begitu banyak problem dan tema yang ada di dalam kitab dan jadilah aku mengetahui bahwa dengan meletakkan urusan dunia dan menggantikannya dengan memusatkan perhatian pada pelajaran, Tuhan telah memberikan taufik padaku, dimana dalam waktu yang demikian singkat aku telah berhasil mengambil manfaat terpenting dari sebuah ilmu.

Sebuah Catatan.

Apabila mereka menganggap dunia sebagai sebuah hal yang negatif, di saat itulah ketika dunia dianggap sebagai satu-satunya tujuan, hal ini akan menyebabkan jauhnya diri dari Tuhan dan seluruh kesempurnaan manusia, dan menjadi penghambat bagi perkembangan serta kesempurnaan spiritual manusia, akan tetapi apabila dunia yang sama dimanfaatkan dengan cara yang benar dan pemanfaatannya kita letakkan dalam garis perkembangan dan kesempurnaan manusia, bukan saja dunia ini tidak negatif, bahkan dunia bisa menjadi media pertumbuhan dan faktor dasar bagi gerak manusia menuju tujuan penciptaan manusia yaitu Tuhan.

Metode Memanfaatkan Kelezatan
          
Apabila telah dikatakan bahwa manusia memiliki kelezatan-kelezatan inderawi, instink, dan khayal, sekarang harus dikatakan bahwa larut dalam kelezatan-kelezatan ini akan menjadi penghalang untuk sampai kepada kesempurnaan manusia dan kelezatan akal. Kami harus pula mengingatkan tentang poin berikut bahwa memanfaatkan setiap kelezatan-kelezatan ini, bukan berarti akan menghalangi perkembangan dan kesempurnaan manusia, melainkan mencukupkan diri di dalamnya yang akan menghalangi manusia untuk mencapai kesempurnaan yang seharusnya layak dia peroleh. Jadi manusia bisa mengambil manfaat dari seluruh kelezatan-kelezatan ini, dan pada saat yang sama dia harus melangkah pada lintasan kelezatan yang benar yaitu kelezatan akal dan kesempurnaan manusia.

Tentunya hal ini akan terjadi ketika seluruh potensinya, baik yang berbentuk amarah, syahwat, dan khayalan berada di bawah kontrol dan pengawasan dari potensi akal, yaitu pada saat manusia sampai pada tingkatan akal, seluruh potensinya dia kerahkan untuk berjalan ke arah kesempurnaan manusia, potensi yang sama yang sebelum ini menghalangi jalannya, setelah ini dan selanjutnya akan menyediakan media bagi pertumbuhan menyempurnanya dan akan mendorong munculnya gerakan yang lebih baik baginya. Perjalanan kesempurnaan semacam ini, bukan saja tidak menjadi penghalang, bahkan akan mendorong dan membimbing manusia menuju jalan kesempurnaan. Sebagai contoh, Rasulullah saww menjalani kehidupannya di antara para penduduk dengan membentuk kehidupan berkeluarga, beliau juga melakukkan perdagangan dan bersosialisasi dengan masyarakat, sedemikan sehingga keluhuran akhlak dan budi pekerti beliau menjadi pembicaraan dalam al-Quran, “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”[8]. Beliau selain memanfaatkan karunia alam natural ini juga mengarahkan pandangannya pada titik kulminasi kesempurnaan manusia.
          
Ketika seluruh potensi manusia berada di bawah kekuasaan akal, dengan kepemimpinan akal ini, semua potensi ini akan berubah menjadi bentuk-bentuk yang aktual, akal juga akan merubah perjalanan dan tujuan kehidupan, dan seluruh persoalan besar dan kecil akan terwarnai dengan pandangan Ilahi.
          
Ibnu Sina pada bab ke sembilan kitab Isyarat, mengatakan bahwa orang arif dalam kehidupannya memiliki kedudukan dan derajat tersendiri, dimana hal ini hanya terjadi pada kalangan mereka dan orang lain tidak akan bisa memahami kedudukan dan derajat tersebut. Mereka seakan mengenakan pakaian ruh dan tinggal di alam materi, mereka terlepas dari seluruh pengaruh alam materi dan terlepas dari seluruh aturan pemerintahan tubuh serta bergerak ke arah alam kudus. Seseorang yang tidak mengetahui derajat semacam ini akan mengingkarinya dan mereka yang mengetahuinya akan mengangapnya sebagai sebuah persoalan yang besar dan agung.

Untuk untuk sampai pada kesempurnaan dan kelezatan-kelezatan akal, manusia harus meletakkan potensi dan kelezatan-kelezatan yang berderajat rendah dalam bimbingan dan riyadhah. Langkah pertama dalah melatih khayal, amarah, dan syahwat, lalu perlahan-lahan menarik mereka di bawah pemerintahan akal dan mengalihkan perhatiannya dari dunia yang menipu ini untuk menuju ke arah alam Ilahi. Dalam keadaan ini, akan terjadi keseimbangan antara potensi instink, amarah, syahwat, dan khayal dimana tidak ada satupun dari mereka yang bertentangan dan mengganggu perjalanan akal. Nantinya, potensi-potensi tersebut bukan saja tidak akan mengganggu akal dan menghalangi manusia untuk sampai pada kesempurnaannya, bahkan karena telah merupakan sahabat yang seia sekata, mereka akan senantiasa menyertai akal dan sebagaimana kendaraan mereka akan menuruti kemauan akal.

Di sinilah kemudian akan muncul pancaran suci Ilahi pada diri orang ini, dimana amarah, syahwat, dan khayalannya telah berhasil dia gunakan untuk menuju ke jalan kesempurnaan insani dan pemerintahan Ilahi. Allah mencintai hamba-Nya yang ikhlas, yaitu yang meletakkan amarah dan syahwatnya dalam mekanisme akal. Kita mengetahui bahwa kodrat khayal manusia mempunyai lingkup yang sangat luas dari kodrat badan dan materi dimana kodrat ini tak akan pernah memiliki kemampuan untuk mewujudkan pengetahuan-pengetahuan khayal tersebut ke alam eksternal.

Perbuatan Manusia

Manusia dalam setiap amal dan perbuatan ikhtiari membutuhkan pendahuluan-pendahuluan dimana selama mukadimah-mukadimah ini atau salah satu dari mukadimah-mukadimah ini ditinggalkan, maka perbuatan dan prilaku tersebut tidak akan bisa terlaksana. 
1. Tingkatan pertama adalah tingkatan dzat, dimana seseorang dalam tingkatan ini mencakup seluruh tingkatan yang ada. Tingkatan tersebut seluruhnya tercakup dalam dzat manusia. Seperti seorang ilmuwan yang memiliki keahlian dalam berbagai cabang ilmu, ketika tengah sibuk bercakap dengan anaknya dengan nada kekanak-kanakan, dia akan berbicara sesuai dengan tingkat pemahaman anaknya dengan bahasa kekanak-kanaknya tersebut. Dalam tingkatan ini, tidak ada satupun dari kesempurnaan ilmunya yang tertampakkan, yaitu meskipun dia mengetahui tentang filsafat, fisika, dan perbintangan dia tidak akan memperhatikan hal-hal tersebut.
2. Setelah itu, perhatian dzat kepada kesempurnaan. Dalam tingkatan ini, manusia memiliki perhatian umum kepada kesempurnaan. Sebagai contoh, ilmuwan ini memperhatikan dirinya sebagai seorang yang berilmu, akan tetapi dia tidak memperhatikan keilmuannya secara mendetail.
3. Tingkatan ketiga, perhatian yang mendetail kepada kesempurnaan. Sebagai contoh, ilmuwan ini memperhatikan dirinya yang sebagai seorang insinyur, filosof, atau ahli hukum.
4. Dalam tingkatan keempat, perhatiannya kepada kesempurnaan tertentu. Contoh, perhatian khusus ilmuwan ini kepada ilmu matematikanya dan tingkatan pengetahuannya terhadap ilmu matematika.
5. Tingkatan kelima, ilmuwan ini memusatkan konsentrasinya dalam masalah-masalah khusus, misalnya selain dia memperhatikan ilmu matematikanya dia juga memperhatikan pembahasan aljabar secara khusus.
6. Tingkatan keenam, adalah tingkatan dimana misalnya selain dia memperhatikan ilmu aljabar, dia juga memberikan perhatiannya tentang masalah persamaan atau equivalen.
7. Tingkatan ketujuh, adalah memberikan perhatian kepada masalah khusus dari persamaan, seperti memperhatikan bahwa equivalen dari 2×10 = 5×4.
8. Tingkatan kedelapan yaitu pengungkapan tentang manfaat dan kerugian suatu masalah. Dalam tingkatan ini, seseorang akan berpikir tentang apakah masalah ini perlu diungkapkan, ataukah tidak ada kebaikan untuk mengatakannya dan sementara harus berdiam diri.
9. Pada tingkatan kesembilan, memilih untuk mengungkapkan, yaitu seseorang memastikan bahwa mengungkapkan masalah akan lebih baik.
10. Tingkatan kesepuluh, keinginan untuk menyampaikan atau mengungkapkan.
11. Tingkatan kesebelas, kehendak kuat untuk mengungkapkan.
12. Tingkatan keduabelas, memberikan perintah kepada seluruh indera, yaitu memberikan perintah kepada tangan untuk menulis atau memberi perintah kepada lidah untuk berkata.
13. Tingkatan ketigabelas, terwujudnya perbuatan nyata, misalnya menggerakkan tangan untuk menulis di atas kertas.

Poin yang penting untuk diperhatikan di sini adalah, tidak ada satupun dari perbuatan manusia yang akan terwujud tanpa melewati tingkatan-tingkatan tersebut, meskipun misalnya mereka mampu melewati tahapan itu dengan proses yang sangat cepat. Mungkin Anda tidak percaya, seorang pelari yang mampu berlari dengan sangat cepat dan dalam setiap detiknya mampu berlari dalam beberapa langkah, dalam setiap langkahnya dia telah melewati ketigabelas tingkatan di atas, dan apabila pada salah satu langkahnya dia tidak melakukan salah satu dari pendahuluan-pendahuluan tersebut, maka pelari tersebut akan segera menghentikan langkahnya. Apabila kita misalkan dia mengalami keraguan dalam sesaat dan tidak mengetahui langkah selanjutnya mempunyai manfaat ataukah tidak, pasti dia tidak akan mengambil langkah selanjutnya.

Dalam seluruh perbuatan ikhtiari, setelah memilih dan melakukan, di dalam jiwa manusia akan mengalami aksi dan reaksi semacam ini. Pada amal dan perbuatan yang terpuji, sejak mulai berfikir hingga saat mengamalkan, di dalam jiwa manusia akan muncul gerakan menanjak dari mekanisme alam materi ke arah alam malakuti insani, manusia pada tingkatan amal ini hingga batas keikhlasannya, akan semakin mendekati alam malakut dan inilah makna ayat yang berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya, kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh”[9], sebagaimana yang terjadi dalam perbuatan dan amalan yang tercela, yaitu sejak berfikir hingga saat dia menyentuhkan tangannya untuk melakukan perbuatan yang tercela, di dalam dirinya terdapat badai buruk yang akan menggoncangkan pikirannya ke kanan dan ke kiri hingga dia melakukan perbuatan-perbuatan tercela.

Apabila di dalam diri manusia terdapat suatu keyakinan dan pandangan yang keliru dan sesat, maka akan jatuh ke jurang yang terendah dan akan terwarnai dengan perbuatan-perbuatan yang aib dan tercela, dia akan tetap tinggal pada derajat terendah ini hingga dia meluruskan keyakinannya. Namun ketika hanya melakukan yang perbuatan buruk dan tercela yang tidak disebabkan oleh suatu kepercayaan sesat, maka dalam batasan prilaku tercela itu, akan menjauhkannya dari darajat insani.[]


[1] . Yakni mensyaratkan diri atas amal dan perbuatan tertentu.
[2] . Yakni amal yang disyaratkan untuk dikerjakan secara rutin dan istiqomah dikontrol secara terus menerus dari sisi kuantitas dan kualitasnya.
[3] . Yakni senantiasa menghisab diri setiap hari sebelum tidur atas segala perbuatan yang dikerjakan sepanjang hari.
[4] . Rujuk, Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, poin ke delapan, hal. 346.
[5] . Al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 345.
[6] . Syarh al-Isyarat, jilid ketiga, hal. 334-335.
[7] . Qs. Al-A’la: 16.
[8]  .Qs. Al-Qalam: 4.
[9] . Qs. Al-Fathir: 10.

Korelasi Perbuatan dan Struktur Jiwa.

Ibnu Sina dalam penjelasannya tentang pengaruh perbuatan dalam jiwa dan ruh manusia, mengatakan, “Seluruh perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan serangkaian aksi dan kualitas yang bergabung dengan jiwa manusia, karena ruh dan jiwa manusia “berada” di sisi badan dan pengaruh gerakan dan perbuatan lahiriah badan terhadapa jiwa merupakan sebuah persoalan yang pasti. Sekarang, apabila aksi dan kualitas prilaku tersebut telah terserap di dalam jiwa manusia, maka jiwa setelah berpisah dengan badan, tetap memiliki karakteristik dan sifatnya semula persis seperti ketika dia masih berada bersama badan. Akan tetapi karakteristik dan sifat dari perbuatan-perbuatan buruk badan yang telah menjadi bagian dari ruh, akan muncul sebagaimana sebuah penyakit parah yang terjadi sebagai pengaruh dari kelalaian jiwa dalam mengatur badan, yang hal ini kemudian menyebabkannya terkena siksaan, terazab dengan api barzakh yang panasnya melebihi api jasmani.”[1]
 
Jadi, setiap perbuatan dan prilaku yang dilakukan oleh manusia akan memberikan pengaruh pada jiwa dan ruhnya, yang kemudian secara bertahap hal ini akan memberi bentuk dan karakteristik pada jiwa tersebut. Pada persoalan ini kami akan menukilkan sebuah misal yang telah terbukti secara ilmiah.

Untuk pertama kalinya seorang anak yang terlibat dalam kasus pencurian kecil-kecilan, dengan secara sembunyi-sembunyi dan sangat hati-hati dia telah mengambil sejumlah uang dari dompet seseorang. Apabila kita amati tingkah laku anak ini dengan seksama, maka kita akan menemukan wajah, tingkah dan gerakan-gerakan tidak wajar yang menghikayahkan gejolak yang terjadi di dalam jiwanya. Akan tetapi, apabila dia melakukan hal ini untuk kedua kalinya, gejolak jiwa yang semula tetap senantiasa ada, akan tetapi dengan kualitas yang lebih rendah, tidak separah pada kejadian pertama. Demikian seterusnya, apabila dia secara terus menerus mengulangi perbuatannya, secara bertahap perbuatan mencuri sudah merupakan hal yang biasa baginya, dia akan melakukannya tanpa sedikitpun memiliki rasa takut ataupun gelisah. Semakin banyak dia melakukan aksi pencurian, yang berarti akan semakin menambah keahliannya dalam bidang ini, dia akan mendapatkan hasil yang semakin banyak pula, lama-kelamaan perbuatannya akan mengarahkannya pada perampokan bank dan pembunuhan, sedemikian sehingga ketika tidak berhasil melakukan pembunuhan dia akan merasa gelisah dan gagal. Sekarang yang harus diperhatikan, “pencabut nyawa” ini yang tidak lain adalah si anak yang ketika mencuri beberapa ratus rupiah diliputi dengan ketakutan dan gejolak jiwa yang luar biasa, tetapi sekarang, dia telah berubah menjadi sosok yang mampu membunuh dan merenggut nyawa orang lain dengan perasaan yang sangat tenang.

Perubahan yang sangat ajaib ini, merupakan sebuah hasil dari perbuatan dosa, maksiat, dan pelanggaran-pelanggaran moral yang dia lakukan secara berulang-ulang.

Jadi, amal dan perbuatan manusia, secara bertahap dan alami akan memberikan bentuk kepribadian baginya. Sebenarnya, setiap manusia akan membentuk dirinya dengan amal dan perbuatannya. Dalam salab satu hadits, Imam Shadiq as bersabda, di dalam hati setiap mukmin terdapat sebuah titik putih yang secara bertahap karena pengaruh amal dan perbuatannya, akan berubah menjadi gelap dan menghitam. Ketika warna hitam telah melingkupi dirinya, maka manusia tersebut akan menjadi bagian dari ayat, “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang Amat berat”.[2]

Perbuatan dan prilaku harian memberikan refleksi-refleksi yang khas bagi jiwa manusia dan memakaikan “baju” pada jiwa yang tak lain adalah badan barzakh bagi manusia, yaitu dengan amal dan perbuatan, manusia akan membentuk badan barzakhnya. Manusia ketika terlahir ke dunia, sama sekali tidak memiliki peran dalam membentuk fakultas diri dan juga cantik atau buruknya, dan Sang Maha Pencipta telah mensketsa semua ini untuknya. Jadi, manusia terlahir ke dunia tanpa memiliki interfensi dan campur tangan serta pengawasan mengenai bentuk dirinya. Akan tetapi, ketika hendak meninggalkan dunia, dia memiliki bentuk dan wajah yang terbentuk karena campur tangannya dan bisa dikatakan bahwa bentuk tersebut merupakan hasil dari perbuatan dan prilaku manusia di dunia. Ghibah, mencela, berbohong, dan memandang non-mahram, akan meninggalkan warna hitam di dalam kalbu manusia dan menghilangkan cahaya dan sinar kalbu tersebut. Secara bertahap, dikarenakan pengaruh berkumpulnya perbuatan-perbuatan tersebut, akan muncul figure dan bentuk pada jiwa, dan akan menciptakan manusia dalam bentuk yang sesuai dengan akhlak dan tingkah laku yang telah dihasilkannya. Imam Khomeini ra beberapa kali mengutarakan masalah ini dalam kitabnya Cehel Hadist dimana beliau mengisyarahkan bahwa amal dan perbuatan manusia akan memberikan bentuk pada diri manusia, dan orang-orang yang memiliki mata barzakh mampu melihat begitu banyak wajah-wajah dan bentuk-bentuk barzakh manusia.

Dalam sebuah hadits dinukilkan, seorang sahabat Imam ketika berada di Mekkah berkata kepada Imam Sajjad as, “Betapa banyaknya para haji”, Imam as mengoreksi perkataan tersebut dan bersabda, “Betapa banyak orang yang melakukan ibadah haji tapi betapa sedikitnya haji”[3]. Pada poin inilah Allah swt berfirman, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”[4]. Tentunya satu-satunya jalan untuk tidak terjebak oleh tipuan setan ini adalah kembali ke jalan yang benar dan menemukan jalan serta kebiasaan hidup dengan melakukan hubungan dan komunikasi tiada putus dengan Sang Maha Pencipta, dan inilah satu-satunya jalan yang mampu membersihkan hati yang telah berkarat dan gelap lalu menghiasinya dengan kesucian penghambaan kepada Sang Tuhan.

Kehidupan manusia, sebagaimana kualitas kematian manusia (hidup pasca mati) merupakan sebuah jalan yang sangat sensitif. Apabila manusia berbahagia dan beruntung dalam kehidupannya, maka dia juga akan bahagia dan beruntung pasca kematiannya. Sebagian manusia akan meninggal dalam keadaan insani, akan tetapi tak jarang yang meninggalkan dunia ini dengan keadaan layaknya seekor hewan. Dengan alasan inilah, Para Imam Ahlulbait memerintahkan memilih bentuk kematian yang baik dan bahagia.

Mula Sadra mengatakan bahwa, “Manusia adalah substansi-substansi yang berbeda dan mandiri”, yakni setiap amal dan prilaku yang dilakukan oleh manusia akan membentuk hakikat dirinya. Tak satupun manusia memiliki kualitas yang sama dalam setiap prilaku dan perbuatannya, oleh karena itu tidak satupun manusia memiliki hakikat wujud yang sama dan sederajat.

Jika akhir seluruh perbuatan manusia sedemikian sensitifnya dan senantiasa beriringan dengan bahaya besar seperti ini, berarti membutuhkan kehati-hatianyang sangat cermat, dan selayaknyalah kita tidak melepaskan diri kita lalu mengorbankan diri kita pada hal-hal yang kabur, kehidupan yang kosong, penuh khayalan, tipuan, penampakan lahiriah dan jahil terhadap hakikat eksistensi alam. Poin yang penting untuk mendapatkan perhatian adalah bahwa hendaklah manusia mengetahui hakikat dirinya. Di manakah tempat ia berada? Bagaimanakah melaksanakan kewajiban secara benar?

Kesempurnaan Tertinggi.

Ibnu Sina mendefinisikan kesempurnaan manusia sebagai berikut, “Seorang arif yang berpengetahuan dan telah sampai pada tingkatan kesucian, ketika dia telah terlepas dari pengaruh materi yang dihasilkan karena berdampingan dengan badan dan telah berhasil menjauhkan diri dari keterikatannya, dia akan berjalan dengan ikhlas dan suci ke arah alam qudus dan akan bersuluk bersama dengan kecintaan abadi pada tingkatan tertinggi kesempurnaan, dan akan merasakan kelezatan-kelezatan yang lebih tinggi dari seluruh kelezatan, sebagaimana yang telah kami singgung pada pembahasan sebelumnya. Jangan menyangka bahwa kelezatan-kelezatan semacam ini tidak akan mungkin dirasakan di alam materi dan kita akan tetap tidak mampu memilikinya hingga jiwa tetap berada di tubuh, ketahuilah bahwa mereka yang telah sampai pada alam suci non-materi, alam akal, dan telah menyaksikan alam jabarut telah menyaksikan jamaliyah Ilahi dan mengecap tingkatan tertinggi kelezatan tersebut, karena meskipun mereka masih terkait dengan badan dan jasmani akan tetapi hati mereka tidak disibukkan oleh usuran dunia dan tidak terpengaruh oleh, penyaksian-penyaksian jamaliyah alam qudus tersebut telah membuat mereka menolehkan muka dari segala sesuatu”.[5]

Imam Husein as pada hari Asyura, setelah mengucapkan kata perpisahan dengan para perempuan Ahlulbait dan anak-anak, langsung menuju ke medan perang seakan tidak pernah melihat peristiwa sebelumnya dan seakan telinganya tidak mendengar jeritan dan teriakan para perempuan dan anak-anak, hal ini karena beliau adalah seorang sosok yang mempunyai hubungan erat dengan alam malakuti dan telah tenggelam dalam kecintaan alam jabarut sehingga seakan telah lalai dari segala sesuatu selain Allah.

Almarhum Ayatullah Bahauddin menukilkan dengan berkata, ketika Imam Khomeni ra datang ke kota Qom beliau mendatangi rumahku. Di sana beliau berkata, Aku merasakan segala sesuatu berada di telapak tanganku dan aku berada digenggaman kodrat Ilahi. Lalu Ayatullah Bahauddin menambahkan bahwa kami juga melihat gerak dan diamnya sosok agung ini seluruhnya Ilahi dan apa yang beliau katakan adalah benar.

Ya, apabila cahaya dari malakut alam memancar kepada wali Allah, maka dalam sesaat api akan melahap keterikatan dunia dan membakar seluruh akar-akar pengaruh dunia serta akan mengubah selera manusia terhadap lahiriah-lahiriah dunia menjadi pahit dan akan mengarahkannya keharibaan Ilahi. Tentunya mereka juga memanfaatkan aspek-aspek duniawi akan tetapi bukan karena kebergantungannya padanya, melainkan karena dunia merupakan media gerak ke arah yang yang lebih tinggi dan seluruh dimensi-dimensi dunia ini harus kita manfaatkan untuk mencapai tujuan yang lebih suci dan tinggi.

Keburukan dalam Kehidupan Manusia
 
Pada masalah ini ada beberapa hal yang perlu dibahas, yaitu:
Pertama, apakah keburukan terdapat di alam?
Kedua, apabila keburukan terdapat di alam, bagaimana hal ini bisa terpancar dari Allah yang merupakan Sumber Kebaikan?
Ketiga, apabila terdapat keburukan di alam, lalu apakah perannya dalam mekanisme kehidupan manusia?

Pembahasan pertama, keburukan mutlak sama sekali tidak terdapat di alam, melainkan apa yang bisa dikenali dan disebutkan sebagai keburukan adalah peristiwa yang merupakan kemestian alami dari dunia materi ini, realitas di alam ini saling berbenturan dimana kadangkala keberadaan yang satu menuntut ketiadaan yang lainnya, meskipun keberadaan keduanya akan membawa ribuan pengaruh yang bermanfaat, dan mungkin bisa dikatakan bahwa dengan ketiadaan keduanya akan begitu banyak kerugian yang akan dirasakan oleh manusia.

Sebagai contoh, api meskipun kadangkala mampu melahap rumah dan fasilitas hidup lainnya, akan tetapi kita mengetahui bahwa kehidupan manusia tidak akan bisa bertahan tanpa adanya api, karena api merupakan kebutuhan prinsipil dalam kehidupan manusia. Jadi, kita tidak bisa mengatakan api sebagai sesuatu yang buruk secara mutlak, meskipun banyak kejadian-kejadian yang menghikayatkan bahwa api mampu melahap dan membakar bahkan kadangkala lebih dari satu kota dalam satu waktu sekaligus. Demikian pula halnya dengan air, tanah, angin, dan …, bisa jadi merupakan sumber peristiwa-peristiwa yang mengerikan, akan tetapi tidak satupun dari realitas alam ini yang buruk mutlak.

Penjelasan kedua, dengan melihat penjelasan pertama maka jawaban untuk persoalan kedua akan menjadi jelas. Tuhan mewujudkan api, tanah, air, dan sumber-sumber alam lainnya tidak lain sebagai rahmat dan kemuliaan-Nya, sedemikian hingga apabila unsur-unsur alam tersebut tidak tercipta, maka realitas yang bernama alam dunia tidak akan pernah terwujud secara eksternal.

Penjelasan ketiga, Allah swt telah menciptakan alam dunia ini sedemikian rupa dimana dasar penciptaannya terletak pada adanya saling benturan dan pertempuran. Dunia ini begitu sempit dan kecil, dan Allah menciptakan dunia ini sebagai kehidupan yang sulit bagi manusia untuk memberikan pemahaman kepadanya bahwa dunia ini bukanlah tempat kehidupan abadi, sebagaimana sabda Amirul Mukminin Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah, “Sesungguhnya Aku menciptakanmu untuk akhirat bukan untuk dunia”

Sesungguhnya manusialah yang harus belajar dari adanya konflik-konflik, dan memerangi seluruh kesulitan dan berdiri tegak dalam menghadapi benturan-benturan yang menghadangnya, harus senantiasa tinggal pada batas garis yang lurus dan membentuk dirinya dengan usaha untuk tetap bertahan. Tidak seharusnya dia menyerah pada gelombang badai yang menyerang dari dalam dan dari luar manusia, dan pertahanan laksana gunung agung dalam kepribadian manusialah yang seharusnya menampar gelombang tersebut untuk mengembalikannya pada kedudukannya semua dan dia semantiasa tegak dan berdiri di atas kakinya dan menambah kekuatan dan keagungannya.

Dia harus bersyukur dan memuji Allah swt yang telah memberikan taufik-Nya dengan segala kelebihan-kelebihannya dan mengetahui kedudukannya dan tidak menyerah pada gelombang yang hangar bingar yang menampakkan diri pada permukaan eksternal dalam mekanisme keberadaannya, melainkan dia mengetahui kedalaman samudra yang sangat tenang dan menyerahkan ketenangan hatinya kepadanya dan dia akan mengubah dirinya menjadi lebih agung dari samudera dan lebih kokoh dari gunung-gunung, bahkan tinggi dari langit-langit. Dan konflik-konflik inilah yang akan membuat dan membentuk manusia semakin kuat dan memiliki peran sebagai pembentuk yang abadi.

Konklusi Makrifat Jiwa
 
Dalam mekanisme penciptaan, setiap maujud senantiasa berhadapan dengan hidayah dan petunjuk yang beragam dimana kelanjutannya adalah gerak menuju ke arah tujuan dan maksud yang telah tertentu. Gerak dan petunjuk ini, begitu cermatnya sehingga setiap ilmuwan yang mempunyai spesialisasi dalam sebuah bidang khusus, dengan pandangannya yang cermat terhadap tema-tema spesialisasinya akan mampu menganalisa garis geraknya, dan dia akan mengamatinya dengan sangat teliti dari tahapan awal hingga tujuan terakhir, kemudian akan menyimpulkan dengan baik bahwa hidayah takwini Ilahi, melingkupi setiap detik dari langkah-langkahnya dan memenuhi seluruh partikel-partikel wujudnya.
 
Tiga masalah penting, gerak, hidayah, dan spesifikasi telah ditentukan untuk seluruh maujud dan makhluk-makhluk dunia penciptaan. Almarhum Alamah Thabathabai[6] sepakat bahwa setiap gerak dari yang kecil hingga yang sangat besar dari mekanisme eksistensi, apabila diperhadapkan dengan titik tujuannya seakan telah terdapat garis yang terlukis disana, dan setiap manusia yang berfikir, mampu mengantisipasi dari permulaan setiap maujud hingga batas garis akhirnya. Sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, Allah swt telah menciptakan mekanisme mendetail ini dalam bentuk kecil maupun besar, dan hidayah itu sendiri bertanggung jawab terhadap lingkaran wujud. Al-Quran dalam penjelasannya mengenai masalah ini berfirman, “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”[7] dan juga berfirman, “Musa berkata: “Tuhan Kami ialah (tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk”[8], dan Dia juga menciptakan paling baiknya bentuk, lalu Dia memberikan hidayah kepada seluruhnya dalam garis yang teratur. Ustadz Allamah Thabathabai dalam tafsir Al-Mizan, menjabarkan tema yang sama di bawah ayat tersebut dengan mengatakan bahwa dunia penciptaan merupakan paling baiknya mekanisme dan berada dalam kepengaturan Ilahi, tidak ada sesuatupun yang akan terwujud tanpa adanya tujuan dan maksud dan setiap gerak akan berjalan ke arah kesempurnaan dengan perhitungan yang khusus, sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran, “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya”.[9]
 
Ya, ini merupakan kaidah yang berlaku di antara seluruh eksistensi dan manusia pun tidak terkecualikan dari kaidah agung ini, bahkan bisa dikatakan bahwa mekanisme struktur manusia memiliki kelebihan yang menakjubkan dimana hal ini telah disusun dan dibentuk untuk bergerak ke derajat dan tujuan tertinggi, sebuah tujuan yang tak ada satu eksistensi yang mampu bergerak ke arahnya kecuali eksistensi manusia yang luar biasa ini.
 
Banyak hadits dan ayat-ayat yang memperkenalkan bahwa tujuan dan maksud penciptaan manusia berada pada tingkatan paling tinggi dan paling menakjubkan dari segala keberadaan, sebuah tujuan yang sesuai dengan kualitas penciptaan manusia. Pada hari penciptaannya, malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya, seakan para malaikat pada permulaannya hanya memperhatikan dimensi kemateriannya, mereka melihat manusia tidak layak untuk diciptakan, oleh karena itu mereka berkata kepada Allah, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”[10]. Mereka tidak memperhatikan dimensi malakuti manusia yang “Dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh”, dan mereka tidak mengetahui bahwa manusia adalah sebuah eksistensi yang dalam penciptaannya terdapat interfensi dari alam materi hingga alam malakut, dari asfalus-safilin hingga a’la ‘aliyyin dan aspek malakutinya bersumber dari ruh Ilahi.
 
Manusia merupakan percampuran dari seluruh hakikat alam yang berlainan, mulai dari tahapan materi pertama hingga derajat tertinggi malakuti berbaur di dalam dirinya, yaitu dia berjalan dari materi pertama hingga tingkatan tumbuhan, dan dari alam hewan hingga kesempurnaan insani, semuanya menyatu dalam wujudnya dan dia mengetahui seluruh informasi alam. Sementara eksistensi-eksistensi lain tidaklah demikian.
 
Dengan alasan inilah, sehingga manusia mampu menjadi pengajar para malaikat dan kita melihat bahwa al-Quran menjelaskan tentang kelemahan malaikat serta pengakuan mereka terhadap ketidaktahuan mereka, dan para malaikat mengatakan, “Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”[11], dengan demikian mereka berkewajiban bersujud di hadapan manusia, dan malaikat yang menemukan kebersatuan dengan jiwa manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dan kesempurnaan yang begitu banyak. Manusia yang berada dalam tingkatan pertumbuhannya pun melakukan hubungannya dengan malaikat non-materi dan bisa jadi malah akan bisa melampauinya.
 
Meskipun manusia memiliki kedudukan tinggi dan agung, akan tetapi perjalanan geraknya tidak pernah tanpa penghalang, para setan duduk manis untuk menggoda manusia dan mendorongnya ke arah jurang yang terjal. Dia berusaha dengan usaha penuh untuk menghancurkan dan menggagalkan manusia. Oleh karena itu, manusia dalam sepanjang kehidupannya, berada dalam sebuah medan perlawanan yang riil, dan tentunya dalam pergumulan dan perlawanan inilah akan tersedia media bagi pertumbuhan manusia, karena jika hanya ada gerak satu arah dan tidak ada gerak ke arah yang berlawanan serta perjalanan yang bertentangan, maka pertumbuhan dan kesempurnaan tidak akan pernah terwujud. Dengan alasan inilah sehingga Tuhan senantiasa mengingatkan kepada manusia dari makar dan tipuan musuh dan penggoda manusia ini, dan menyarankan kepada mereka untuk memusatkan kekuatan dan konsentrasinya dalam geraknya menuju mekanisme alam malakuti dan alam suci Ilahi. Hindarkan diri kalian dari pengaruh materialisme. Jangan jual diri kalian dengan kelezatan-kelezatan inderawi. Letakkan seluruh fakultas dan kecenderungan kalian untuk mencapai kesempurnaan, dan dalam perjalanan ini jangan sekali-sekali berhenti pada satu derajat.
 
Allah Swt mendorong manusia untuk melintasi perjalanan ini dan memberi janji-janji yang agung kepada mereka, dan berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”[12].
Pada ayat yang lain Alllah Swt berfirman, “Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”[13].
 
Jika sebagian dari kelezatan-kelezatan batin, lebih penting dan lebih diprioritaskan dari syahwat, perut, dan seluruh instink, maka yakin bahwa kelezatan-kelezatan malakuti pasti tidak akan bisa dikomparasikan dengan kelezatan-kelezatan material. Para psikolog modern pun membahas sebagian dari masalah ini dan mengatakan bahwa antara kelezatan-kelezatan jasmani dan jiwa terdapat perbedaan yang sangat tajam. Di antaranya adalah bahwa kelezatan-kelezatan jasmani, berkaitan dengan anggota-anggota badan tertentu, misalnya berhubungan dengan penglihatan, pendengaran atau penciuman, akan tetapi kelezatan-kelezatan ruh tidak seperti ini, kelezatan jenis ini lebih bersifat mencakup dan meliputi seluruh wujud manusia. Seperti kelezatan seorang ilmuwan setelah menemukan masalah-masalah ilmiah.
 
Selain itu, kelezatan jasmani, membutuhkan penggerak dari luar, seperti pemandangan yang indah, suara yang merdu, dan …, akan tetapi kelezatan ruh, muncul dari persepsi internal manusia, seperti pemahaman masalah ilmiah atau perasaan menang. Yang lainnya adalah, kelezatan-kelezatan inderawi seperti perasa, pendengaran, dan penglihatan tidak akan bertahan lama dan akan cepat mengalami kerusakan, akan tetapi kelezatan ruh bertahan lama. Sebagaimana sakit-sakit jasmani yang bisa disembuhkan, akan tetapi penyakit ruh tidak dengan mudah bisa disembuhkan. Sebagaimana dikatakan bahwa luka yang disebabkan oleh lidah lebih dalam dari luka yang disebabkan oleh pedang.
 
Jadi, menjadi jelas bahwa selain kelezatan-kelezatan jasmani, terdapat kelezatan-kelezatan lain yang lebih kuat, yang tak lain adalah kelezatan-kelezatan ruh dan jiwa. Sekarang bisa diketahui bahwa apabila kelezatan-kelezatan akal ini dimanfaatkan, maka hasilnya sama sekali tidak bisa dikomparasikan dengan kelezatan-kelezatan jasmani dan khayalan. Adalah sama sekali tidak benar pernyataan para materialistis yang mengatakan bahwa orang yang tidak terpenuhi kebutuhan makan, tidur, dan instinknya maka dia adalah orang yang malang dan tidak beruntung. Apakah kelezatan maknawi, spiritual, dan Ilahi yang dimiliki oleh para malaikat bisa dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan rendah binatang? Apakah persepsi dari tingkatan syuhud, sifat, dan asma Tuhan bisa diperhadapkan dengan rasa segenggam gula, sepotong roti, atau pemandangan yang indah? Tidak sama sekali. Karena perbedaan keduanya terletak dari tingkatan hewan hingga manusia sempurna yang lebih mempunyai kedudukan lebih tinggi dari para malaikat. Apabila seseorang kebingungan dalam batasan ini, maka dia telah keluar dari fitrah insani. Pada dasarnya harus dikatakan bahwa perbedaan antara kelezatan yang satu dengan yang lainnya tergantung pada kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing. Kelezatan yang dihasilkan dari mengunyah segenggam gula atau sepotong makanan yang lezat, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kelezatan yang dihasilkan dari penemuan atas sebuah masalah-masalah ilmiah atau penyaksian malakuti, syuhud, atau interaksi dengan asma dan sifat-sifat Ilahi. 

Oleh karena itu, manusia sempurna yang telah terbimbing, terhidayahi dan bergerak secara lurus dan istiqomah, tidak lain sebagaimana yang telah diisyarahkan oleh Ibnu Sina dalam bab ke delapan kitab Isyarat, yang mengatakan, “Kesempurnaan mutlak manusia terletak pada pancaran manifestasi suci Tuhan di dalam dirinya dan dia tetap dalam kesempurnaan kemuliaan dan kelezatan Ilahi dengan kebersamaan Tuhan”.[14]

Catatan Penutup:
 
Ilmu dan pengetahuan yang tanpa diiringi dengan pengamalan atasnya tidak akan terlalu bermanfaat bagi manusia. Manusia yang menyimpan banyak ilmu dan telah menjadi sebuah perpustakaan luas yang menyimpan ratusan ilmu dan pengetahuan, apabila seluruh ilmu itu belum menyatu dengan hakikat manusia, maka ratusan ilmu itu tidak akan mampu menjaga manusia dari kesalahan dan kekeliruan. Pemilik ilmu-ilmu ini tak ubahnya seperti masyarakat awam, kepribadiannya bukan kepribadian orang yang berilmu, karena ilmu-ilmu itu tidak menyatu dengan jiwanya, ilmu-ilmu itu hanya merupakan kumpulan formulasi yang tersimpan dan terkumpul di dalam benak dan ingatannya.
 
Ketika seorang alim memanfaatkan ilmunya dan menjadikan ilmu itu sebagai makanan wujudnya sehingga menyatu dengan hakikat jiwanya, maka sesungguhnya ia telah membentuk dirinya sebagai pribadi yang berilmu. Maka seluruh gerak dan diam orang semacam ini menunjukkan pada keilmuannya, dan makan, tidur, berjalan, bercakap, dan seluruh perilakunya, berbeda dengan orang awam. Hakikat wujudnya adalah ilmu, sebagaimana yang dikatakan oleh para filosof, “Jiwa manusia telah menyatu dan meliputi seluruh indera lahiriah dan indera batiniah yang dimilikinya, jiwanya telah mencakup alam akal, alam khayal, dan alam materi dan mampu mengontrol seluruh kecenderungan-kecenderungan wujudnya. Sekarang karena ia telah menjadi menusia hakiki, maka kelezatan akal tidak hanya dirasakan pada wilayah indera tertentu, tetapi kelezatan akal ini telah meliputi seluruh wujudnya. Dengan demikian, wujud manusia ini telah menyatu dengan ilmu, akal, dan seluruh kesempurnaan. Pada tahapan ini, sosok manusia sempurna ini akan terlindung dari segala keburukan dunia ini dan tidak akan terjebak dengan kemewahan dan tipu dayanya. Dia menjalani kehidupannya dengan tenang, bahagia, dan tidak merasakan sedikitpun kekhawatiran.

Ibnu Sina dalam kitab Isyarat mengatakan, “Jiwanya telah disibukkan dengan alam suci malakuti dan seakan-akan ia tidak berada di alam materi lagi dan pengaruh-pengaruh duniawi telah menghilang darinya”. Kemudian ibnu Sina melanjutkan, “Dia memiliki wajah yang riang, lapang, dan senantiasa tersenyum, karena hatinya telah tertambat pada Tuhan dan dia melihat segala sesuatu sebagai manifestasi Tuhan”. Tentu saja apa yang dikatakan oleh filosof agung ini merupakan sebuah hikayat yang berhubungan dengan alam non-materi dan mustahil terkait dengan alam materi ini. Apa yang mungkin dicapai di alam materi ini, hanyalah gambaran-gambaran dari hakikat, makrifat-makrifat, dan realitas-realitas alam tinggi non-materi yang didapat dari manusia yang telah melakukan perjalanan spiritual (seir suluk). Mereka yang telah memilih alam materi sebagai tempat tinggalnya dan tidak terlepas dari pengaruhnya, tidak akan mampu melihat manifestasi dan tajalii Tuhan di balik benda-benda yang ada di alam ini. Penyaksian manifestasi Ilahi ini menuntut kesucian jiwa dari segala pengaruh materi. Realitas Suci tak berhingga itu hanya dapat “ditampung” dalam hati mukmin yang telah disucikan dari segala realitas wujud selain Wajah Suci Tuhan.

D. Pengenalan Manusia Perspektif Islam

Mukadimah
Para filosof Islam menyepakati bahwa manusa merupakan hasil penciptaan yang paling sempurna. Dia memiliki seluruh kesempurnaan dan seluruh tahapan maujud. Yaitu di dalam maujud ini ditemukan seluruh kesempurnaan dari alam unsur hingga alam non-materi (mujarrad) dan dengan ibarat lain, substansi manusia merupakan cermin dan gambaran dari seluruh tahapan eksistensi. Dia juga memiliki seluruh kesempurnaan alam natural, sebagaimana bisa dikatakan:
1. Seluruh unsur-unsur yang merupakan pembentuk seluruh substansi maujud beraktifitas di dalam badan manusia;
2. Contoh yang terdapat di dalam mekanisme alam natural dari yang bersifat empiris, terbagi, dan terkomposisi, aktif di dalam tubuh manusia;
3. Manusia memiliki seluruh kesempurnaan botani. Yaitu apa yang terdapat di dalam mekanisme botani seperti berkembang, tumbuh, penyerapan, dan pencernaan nutrisi, di dalam wujud manusia muncul dalam bentuk yang lebih sempurna dan lebih mendetail. Para ilmuwan alam Islam mengatakan bahwa tumbuhan memiliki rangkaian fakultas khusus dalam dirinya, yang seluruhnya adalah sebagai berikut: 1. Fakultas tumbuh, 2. Fakultas mencerna, 3. Fakultas menarik, 4. Fakultas menolak, dan 5. Fakultas penyerapan. Dalam fakultas penyerapan terdapat empat fakultas lainnya, yaitu: a. alat pencernaan, b. liver, c. kapiler, d. organ tubuh. Setelah mengalami proses pencernaan di dalam alat pencernaan, makanan akan muncul dalam bentuk dimana melalui enzim (kelenjar yang terdapat pada alat pencernaan) yang bisa dicerna dan setelah menyerahkannya kepada liver dan akan merubahnya menjadi darah, pada tahapan ketiga akan mengalir ke dalam kapiler, dan pada tahapan keempat akan berbentuk dalam nutrisi untuk perbaikan di dalam perangkat organ. Fakultas lain, 6. Fakultas kawin yang merupakan pembentuk nutfah, 7. Perangkat berkembang biak, 8. Perangkat pembentuk.

Fakultas Hewani

Manusia juga memiliki kesempurnaan hewani. Fakultas-fakultas hewani ini yang terdapat pada seluruh tahapan wujud hewan secara sempurna juga ada dalam diri manusia. Fakultas-fakultas tersebut antara lain: 1. ruh bukhari (berbentuk seperti uap), 2. ruh nafsani (psychic spirit), 3. ruh tabiat (natural soul), dan 4. ruh hewani (animal spirit).

Fakultas Insani

Secara umum manusia mempunyai dua fakultas, yaitu fakultas eksternal dan internal. Lalu fakultas eksternal dibagi lagi menjadi lima bagian: penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman, dan peraba. Tentunya para psikolog kontemporer menambahkan indera keenam dan indera tersebut adalah indera yang bertanggung jawab terhadap perbandingan ukuran. Sementara fakultas internal manusia antara lain:
  1. Indera musytarak (common sense), indera ini bisa diibaratkan sebagaimana kolam kecil dimana sungai-sungai kecil mengalir ke arahnya dan seluruh air berkumpul di dalam kolam kecil tersebut, yaitu seluruh bentuk-bentuk yang ditransmisikan ke otak oleh panca indera di atas berkumpul di indera pusat ini;
  2. Fakultas khayal (representative faculty), fakultas ini merupakan penyimpan seluruh bentuk-bentuk dan gudang seluruh gambaran. Salah satu keistimewaan dari indera khayal ini adalah hanya memahami bentuk-bentuk partikular saja;
  3. Fakultas estimasi (wahm, estimative faculty) , yang mempersepsikan makna-makna partikular, seperti makna persahabatan, permusuhan, dan lain sebagainya;
  4. Fakultas hafalan (faculty of memory), fakultas ini yang mengarsipkan dan merekam seluruh bentuk-bentuk dan makna-makna partikular dan setelah berlangsungnya waktu, fakultas ini mampu menghadirkan kembali bentuk-bentuk dan makna-makna tersebut;
  5. Fakultas imajinasi (mutakhayyilah, imagingal faculty), fakultas ini mampu mengkomposisikan atau memisahkan makna-makna dan bentuk-bentuk yang berbeda, dan dari pemisahan serta pengkomposisian tersebut akan memunculkan begitu banyak realitas lain;
  6. Fakultas akal dan rasio (faculty intellectual), fakultas ini yang mempersepsikan makna-makna universal;
  7. Fakultas berpikir (mufakkirah, faculty of thought), dengan fakultas ini bentuk-bentuk rasionalitas menjadi realitas yang empirik dan memiliki kemampuan membentuk argumentasi dan burhan untuk persoalan-persoalan yang tak jelas.
Manusia dalam Al-Quran

Al-Quran secara tegas mengisyaratkan terhadap dua dimensi manusia yaitu dimensi materi (Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah) dan dimensi non-materi (dan Aku tiupkan di dalamnya dari ruh-Ku), setelah itu untuk dimensi non-materi di dalam al-Quran diletakkan beberapa tingkatan dan derajat. Tingkatan pertama, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”[15]. Ini tak lain adalah tingkatan fakultas murni yang dalam lembaran wujud manusia belum sampai pada tahapan aktual, dan tidak ada sesuatupun yang dia ketahui. Akan tetapi untuk manusia ini, telah diletakkan fakultas yang tiada akhir yang mampu bergerak ke arah tak terbatas sehingga menjadi khalifah Tuhan di atas muka bumi. Berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”[16] Dari dari hal ini, di antara seluruh ciptaan alam, Tuhan memberikan kemulian khusus dan kedudukan yang istimewa, berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam …”[17] Demikianlah al-Quran menganggap bahwa struktur wujud manusia merupakan struktur yang terbaik dari seluruh struktur ciptaan-Nya, dan Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.[18] Tuhan senantiasa memberitahukan tentang kemuliaan dan ketinggian manusia atas seluruh makhluk, dan hendaklah manusia mengetahui bahwa terdapat nilai yang sangat berharga dalam dirinya, dimana dunia dan seluruh isinya tidak ada harganya sama sekali buatnya. Tuhan memberikan kerendahan derajad kepada orang-orang yang hanya menumpahkan perhatiannya kepada dunia ini, kepada Nabi-Nya Allah berfirman, “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi”[19].
 
Poin yang menarik di sini adalah bahwa sebenarnya dunia tidaklah kecil dan tak berharga, melainkan manusia telah sampai pada batasan kemuliaan kesuciannya sehingga menurut pandangan Tuhan, seluruhnya adalah untuk manusia dan tidak ada sesuatupun yang layak menduduki ketinggian nilai manusia dan menusia tak layak menjual dirinya kepada selain-Nya. Mengenai hal ini Allah berfirman, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”[20]. Dalam al-Quran, jiwa manusia merupakan dimensi permanen dan abadi yang setelah hancurnya badan di dalam kubur masih tetap hidup dan akan melewati kehidupan barzakhnya, “Dan di hadapan mereka ada barzakh, sampai pada hari mereka dibangkitkan”[21], dan pada ayat lainnya berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki”[22]. Dalam al-Quran difirmankan bahwa hari ketika seluruh manusia dibangkitkan, pada masing-masing mereka akan diperintahkan untuk membacakan lembaran jiwanya sendiri, Allah berfirman, “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”[23]. 

Tuhan juga meletakkan manusia sebagai sebuah hakikat yang abadi dan berfirman bahwa manusia setelah hari perhitungan akan menjalani kehidupan abadinya. Di dalam al-Quran terdapat ayat yang berbunyi, “Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran) mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”[24].
Demikian juga, mengenai orang-orang yang berbuat baik, Allah berfirman, “Mereka tidak mendengar sedikitpun suara api neraka, dan mereka kekal dalam menikmati apa yang diingini oleh mereka”[25]. Al-Quran pun meletakkan tingkatan dan derajat untuk jiwa non-materi manusia, tingkatan pertamanya adalah jiwa ammarah yang terkadang jiwa berbuat baik dan buruk, kekuatan ini akan menjadi aktual dan bertindak untuk memenuhi keinginannya dan apapun yang diinginkannya dia akan berusaha untuk ke arahnya. Kadangkala manusia terjerumus ke dalam keinginan palsu dan senantiasa mengikuti apa yang menjadi keinginannya dan memalingkan diri hal-hal yang tak tersirat. Oleh karena itu, al-Quran menukilkan perkataan Nabi Yusuf as yang mengatakan, “Sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku”[26].  

Apabila manusia menempatkan dirinya pada wilayah penyembahan Tuhan, maka perintah Tuhan akan meliputi dan menapasi realitas kehidupannya dan jiwa manusia akan tersinari dengan iman yang bergerak secara rasional dan dalam naungan Ilahi. Pada tahapan ini, jiwa manusia berada pada derajat jiwa lawwamah yang dengannya ia dapat melihat kejelekan dan keburukan dengan jelas, dan apabila manusia terjerumus dalam dosa pada tingkatan ini, maka dia akan sangat terhina dan tersiksa karena menentang hukum fitrahnya.
 
Al-Quran sedemikian memperhatikan tingkatan jiwa lawwamah ini sehingga bersumpah, “Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”[27] yaitu bahwa jiwa lawwamah telah diletakkan di sisi hari kiamat dan terdapat dua sumpah di dalamnya. Tentunya terdapat kesesuaian yang sangat antara hari kiamat dengan jiwa lawwamah.
 
Salah satu karakteristik dari jiwa lawwamah adalah penentuannya terhadap baik dan buruk dimana Tuhan mengilhami nafsu ini supaya mengetahui tolok ukur dari keburukan, kebaikan, dan keindahan prilaku. Masalah ini merupakan hal paling rumit dalam persoalan filsafat akhlak khususnya di kalangan teolog dan pemikir barat.
Setelah tahapan ini, manusia kan sampai pada jiwa mutmainnah (tenang) yang merupakan paling tingginya kedudukan jiwa dimana para manusia sempurna berjalan ke arah ini. Berkaitan dengan jiwa suci dan mulia ini, dalam al-Quran Allah Swt berfirman, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”[28]. Mereka ini adalah orang-orang yang dalam seluruh kehidupannya, tidak melihat adanya sedikitpun kerugian. Apapun yang terjadi atau akan terjadi dan segala takdir yang telah tertulis seluruhnya berada di bawah pengaturan Sang Hakim yang tidak menginginkan sesuatupun selain kebaikan, mashlahat dan nikmat. Jiwa mutmainnah memahami dan mengetahui bahwa seluruh keteraturan dan mekanisme alam berada di bawah lingkup Tuhan dimana tidak ada sebutirpun yang akan berpindah dari tempatnya kecuali dengan iradah dan kehendak-Nya. Dari sinilah, sehingga para pesuluk senantiasa ridha dan bahagia dengan takdir-Nya.[]



[1] . Syarh Isyarat wa Tanbihat, Khawjah Nashiruddin Thusi, bab delapan, hal. 350.
[2] . Qs. Al-Baqarah:7.
[3] . Ikhtishash Syeikh al-Mufid, hal. 313; Mustadrak al-Wasail, jilid 1, hal. 157.
[4] . Qs. Al-Mudatsir: 38.
[5] . Syarh al-Isyarat wa at-Tanbihat, Khawjah Nashiruddin Thusi, jilid 3, hal. 353.
[6] . Rujuklah: Al-Mizan, jilid 14, hal. 166-167.
[7] . Qs. Al-A’la: 3.
[8] . Qs. Thahaa: 50.
[9] . Qs. Yasiin: 40.
[10] . Qs. Al-Baqarah: 30.
[11] . Qs. Al-Baqarah: 32.
[12] . Qs. Al-Ankabut: 64.
[13] . Qs. As-Sajdah: 17.
[14] . Syarh al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 345.
[15] . Qs. An-Nahl: 78.
[16] . Qs. Al-Baqarah: 30.
[17] . Qs. Al-Israa: 70
[18] . Qs. At-Tiin: 4.
[19] . Qs. An-Najm: 29.
[20] . Qs. Al-Baqarah: 29.
[21] . Qs. Al-Mukminuun: 100.
[22] . Qs. Ali-Imran: 169.
[23] . Qs. Al-Israa: 14.
[24] . Qs. Al-Baqarah: 257.
[25] . Qs. Anbiyaa: 102.
[26] . Qs. Yusuf: 53.
[27] . Qs. Al-Qiyamah: 1-2.
[28] . Qs. Al-Fajr: 27-28.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: