Manusia
adalah maujud menyempurna, bukan maujud statis yang tak berkembang dan
permanen. Oleh sebab itu manusia tidak seperti malaikat, iblis, kuda,
sapi, kambing, tumbuhan dan batu, dimana maujud-maujud tersebut sudah
ditetapkan esensialitasnya, maksudnya esensialitas mereka tertutup dan
tidak menerima perubahan. Berbeda dengan manusia yang merupakan maujud
beresensialitas terbuka, yakni menusia dapat menentukan esensialitas
akhirnya sesuai dengan ikhtiyarnya, apakah ia menjadi manusia malaikat
ataukah ia menjadi manusia iblis, ataukah ia menjadi manusia hewan
pemangsa sesamanya.
Kelebihan Manusia atas Hewan
Makhluk
manusia dari segi esensilitas lebih dekat dengan hewan-hewan
(kuda,sapi,kambing,kucing,tikus,dll) sebab dari segi quiditas, manusia
itu adalah hewan yang natiq (berlogika), artinya manusia dari dimensi kegenusan (jins)
sama dengan hewan-hewan lainnya yakni genus hewan. Masalahnya sekarang
apa yang membuat manusia berbeda dengan hewan lainnya dari segi
aktualisasi esensialitas?
Hewan
dalam prilaku dan perbuatannya senantiasa berasaskan atas instink,
mereka tidak dibimbing dan diarahkan oleh akal dan pengetahuan. Dalam
arti hewan hanya mewarisi apa yang sudah Tuhan tetapkan pada kehidupan
species mereka yang pertama, tidak terdapat perkembangan menuju pada
kesempurnaan, baik secara vertikal maupun secara horizontal. Kita lihat
misalnya cara hidup masyarakat semut, meskipun cara hidup bermasyarakat
hewan tersebut adalah paling kompleks di antara hewan-hewan, tetapi cara
hidup bermasyarakat semut tersebut tidak mengalami perubahan dan
perkembangan. Atau kita lihat cara membuat rumah lebah, atau cara hidup
hewan-hewan di hutan, atau anjing dan kucing yang banyak dipelihara dan
dekat dengan manusia, meskipun kedua jenis hewan yang terakhir ini
mengalami perkembangan akibat pelatihan yang diberikan manusia, tetapi
hal itu hanya sifatnya kecil, dan dibanding apa yang diraih manusia dan
apa yang berkembang pada manusia, maka hal itu tidak memiliki arti sama
sekali.
Namun
manusia yang juga pada dasarnya tergolong jenis hewan (hewan yang
berlogika) sebagian dari perbuatan dan tingkah lakunya berasaskan
instink (gharizah) dan tabiat, sebab itu dalam konteks ini
manusia tidak jauh berbeda dengan hewan-hewan lainnya, seperti
kecenderungan kawin, makan dan minum, melindungi diri dan menyayangi
anak-anaknya. Adapun kelebihan esensi manusia dari esensi hewan-hewan
lainnya adalah akal dan pikiran yang Tuhan berikan padanya. Dengan akal
dan pikirannya, manusia dapat mengontrol instink dan tabiatnya,
mengarahkan instink dan tabiatnya pada perilaku dan perbuatan khusus
demi kebaikan dan kesempurnaannya. Bahkan lebih jauh, dengan akalnya
manusia mampu menyingkap rahasia-rahasia semesta, serta dapat menguak
tabir-tabir hakikat eksistensi. Oleh karena itu jika manusia tidak
menggunakan akal dan pikiran yang ada padanya dan hanya mengikuti
instink dan kecenderungan tabiatnya, dalam kondisi ini manusia tidak
berbeda dari hewan, bahkan manusia dari segi nilai dan esensi lebih
rendah dari hewan. Al-Quran dalam hal ini menyebutkan: “Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda dan kekuasaan Allah),
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu laksana binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. al-‘Araf [7]:179).
Sekarang
jelas bagi kita adanya perbedaan asasi antara manusia dengan
hewan-hewan lainnya, yakni manusia untuk mencapai kehidupan insaniah
yang ideal, dia tidak boleh hanya membatasi dirinya dengan mengikuti
instink tabiatnya, tapi lebih dari itu potensi akal yang ada padanya
harus digunakan dengan sungguh-sungguh, manusia harus dengan segala
pilihan yang ada dan kebebasan yang ada mengambil pilihan dan ikhtiar
yang tepat dalam mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan kemanusiaannya,
sebab itu apabila manusia tidak melakukan hal demikian, maka ia akan
hidup sia-sia di dunia seperti hewan-hewan lainnya (terlebih lagi di
akhirat ia akan mendapatkan kesengsaraan abadi), dan manusia seperti ini
menurut Al-Quran adalah paling buruknya binatang melata: “Sesungguhnya
binatang yang seburuk-buruknya pada sisi Allah adalah orang-orang yang
pekak dan tuli (tidak mau mendengar dan memahami kebenaran), mereka
adalah orang-orang yang tidak berakal (menggunakan akal) (QS. al-Anfal [8]:22).
Kebutuhan Manusia atas Ideologi (way of life)
Dengan
mengetahui adanya perbedaan prinsipil antara kehidupan manusia dan
kehidupan hewan-hewan lainnya dimana manusia mempunyai kehidupan ideal
yang bergantung dengan penggunaan akal pikiran secara benar, maka
menjadi jelaslah bahwa manusia membutuhkan satu sistem aturan hidup yang
berdasarkan “Wajib dan Tidak Wajib”, “Harus dan Tidak Harus”.
Harus
dan tidak harus ini kadang bersifat partikuler dan berkenan dengan
masalah khusus dan kadang universal berbentuk hukum-hukum yang meliputi
seluruh manusia. Istilah harus dan tidak harus yang terakhir ini yang
menentukan dasar prilaku dan prinsip perbuatan manusia yang disebut
dengan ideologi (Amuzesy Aqaid, jil. 1, Ayatullah Misbah Yazdi, hal.12).
Sebagai contoh perkataan: “Tuhan wajib disembah”, perkataan ini
bermakna kewajiban menyembah Tuhan adalah tugas semua manusia, bersifat
universal dan menyeluruh, maka ini disebut dengan ideologi. Berbeda
misalnya jika kita berkata: ” Seluruh kemampuan yang ada harus
dikerahkan dijalan perjuangan Islam”, untuk konteks yang kedua ini
wilayahnya lebih sempit dan obyeknya lebih khusus, sebab itu disebut
sebagai strategi bukan ideologi.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, manusia untuk mencapai derajat kemanusiaan membutuhkan suatu perangkat hukum dan way of life yang
bersesuaian dengan potensi rasio dan logikanya yang dapat mengarahkan
mereka pada pencapaian kehidupan ideal kemanusiaan. Oleh sebab itu jika
manusia keluar dari rel akal dan rasio serta hanya mengikuti instink
tabiat hewani, “penciptaan mereka yang merupakan sebaik-baik penciptaan akan jatuh dalam kondisi (sedeminter) serendah-rendahnya.” (QS. at-Tin: 5-6).
Kebutuhan Manusia atas Pandangan Dunia
Di
atas sudah kita bahas kebutuhan manusia atas idiologi, sekarang dengan
memperhatikan hal tersebut dapat disimpulkan manusia niscaya juga
membutuhkan pandangan dunia, sebab suatu idiologi khusus harus bersandar
pada suatu pandangan dunia khusus, sebagaimana hukum-hukum akal praktis
harus bersandar pada hukum-hukum akal teoritis yang kokoh (Idiologi Tatbiqi,
Ayatullah Misbah Yazdi, Penerbit: Muassasah Dar Rohe Hak wa Ushule Din,
hal.5). Misalnya hukum akal praktis: “Tuhan wajib disembah”, hukum
tersebut harus berdasarkan pada hukum akal teoritis : “Tuhan ada dan
Tuhan adalah pencipta manusia dan maujud-maujud lainnya”. Selama hal
tersebut belum dibuktikan dengan akal teoritis, maka peran akal praktis
dalam hal ini tidak punya arti. Kesimpulan: Manusia baru dapat memiliki
idiologi yang benar ketika dia sebelumnya memiliki pandangan dunia yang
benar .
Tema dan Masalah Pandangan Dunia
Pertama
harus kita ketahui bahwa tidak semua masalah-masalah pandangan dunia
memiliki kedudukan yang sama. Dan kita dapat membahas masalah-masalah
tersebut sesuai dengan tingkat nilai dan urgensinya, atau masalah yang
mana didahulukan dan yang mana diakhirkan. Misalnya masalah surga dan
neraka dan dimensi kebagaimanaan keduanya, atau masalah
malaikat-malaikat beserta pembagian tugas-tugas mereka, dan atau hatta
setan dan iblis, semua masalah-masalah tersebut mempunyai kedudukan
dalam pandangan dunia Islam, tetapi jika dibanding dengan makrifat pada
Tuhan, makrifat pada ma’ad, dan makrifat pada nabi, ketiga
masalah terakhir ini memiliki kedudukan dan nilai yang lebih tinggi
dari masalah-masalah tersebut.
Dalam
bahasan ini kita hanya membahas masalah pandangan dunia yang sangat
penting dan paling tinggi nilainya yang memiliki hubungan langsung
dengan idiologi. Masalah-masalah tersebut berhubungan dengan pengetahuan
manusia akan hakikat eksistensi, hakikat manusia itu sendiri, dan
hakikat cara dan jalan kesempurnaan serta kebahagiaan.
Pengetahuan Ihwal Hakikat Eksistensi
Dalam
alam eksistensi terdapat maujud-maujud dan fenomena-fenomena yang
sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Kita juga manusia adalah
bagian dari totalitas alam eksistensi ini. Sementara itu sangat banyak
hal yang sebelumnya kita sangka mempunyai wujud dan memberi efek
terhadap wujud lainnya, tetapi kemudian kita ketahui jika hal itu
hanyalah bohong dan tidak punya realitas diluar, misalnya konsepsi
tentang kebetulan dan keberuntungan. Sebaliknya juga betapa banyak orang
tidak meyakini keberadaan akan sesuatu dan menyangka hal itu hanyalah
imajinasi kosong dan bohong, tetapi hal itu kemudian terbukti memiliki
realitas dan memberi pengaruh terhadap yang lainnya, misalnya ruh dan
iblis.
Dari
sisi ini manusia yang mempunyai fitrah rasa ingin tahu dan pencarian,
harus membedakan maujud-maujud hakiki dari maujud-maujud imajinasi demi
untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan kesempurnaan serta
kebahagiaan yang ada tidak keluar dari lingkaran eksistensi itu
sendiri, bahkan hal ini bergantung dan berhubungan langsung dengan
alam eksistensi. Dalam makna lain menusia menginginkan kebahagiaan dan
kesempurnaan, dan manusia tidak ragu bahwa hal tersebut bisa didapati
diantara keberadaan-keberadaan yang hakiki. Masalahnya adalah manusia
harus mengetahui batasan-batasan eksistensi sejauh mana dan sampai
dimana? Apakah batasannya hanya meliputi materi dan dunia materi ini
saja? Ataukah diluar dunia materi ini terdapat maujud-maujud lain? Dan
jika terdapat meujud-maujud lain diluar dunia materi ini, mana
diantaranya yang lebih prinsip dan lebih asas, dan bagaimana hubungan
antara alam materi ini dengan alam non materi ? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut timbul dalam diri manusia untuk mengetahui dan mengenal alam
diluar dirinya, dan pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dalam
rangka mencapai ilmu dan pengetahuan yang benar dan yakin terhadap alam
eksistensi yang memiliki pengaruh pada pencapaian kesempurnaan dan
kebahagiaan hakiki manusia, sebab hanya dengan pengetahuan benar dan
yakin sajalah yang mampu membawa manusia pada tujuan yang benar dan
hakiki.
Dari
uraian di atas dapat diketahui betapa bernilai dan pentingnya
pengetahuan terhadap wujud dalam masalah pandangan dunia, dan perlu
diketahui bahwa memecahkan masalah wujud ini yang akan membawa kita pada
pengetahuan akan wujud Tuhan dan tauhid nantinya.
Pengetahuan tentang manusia
Tak
bisa dipungkiri semua manusia menginginkan kebahagiaan dan keabadian,
dan sebaliknya manusia membenci kesengsaraan dan kemusnahan. Masalahnya
adalah apakah kebahagiaan itu hanya ada dan tersedia di dunia? Bukankah
kita menyaksikan kesenangan dunia ini bercampur dengan kesedihan? Dan
bukankah manusia akan mati dan jasadnya akan hancur? Yakni dunia ini
bukan tempat keabadian dan kebahagiaan hakiki bagi manusia. Lantas
adakah alam lain untuk meraih itu semua? Jika ada dimensi yang mana dari
bagian manusia yang dapat bersamanya dan merasakannya?
Dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut maka dibutuhkan jawaban dan kajian yang
dalam tentang diri manusia, dimensi-dimensi yang menyusun diri manusia.
Siapakah aku? Apakah aku ini terbatas atas susunan materi saja, ataukah
ada hal lain yang menyusun aku yang bukan materi? Yang jelas untuk
mendapatkan jalan ke alam yang tidak fana tersebut tidak mungkin dengan
jasad ini, sebab sebagaimana kita saksikan jasad ini hancur dan fana.
Oleh karena itu dibutuhkan dimensi lain dari diri ini untuk menuju ke
alam sana . Dari sini muncul pertanyaan lain apakah benar manusia
tersusun dari ruh dan jasad? Dan apakah ruh itu? Serta benarkah bahwa
jika manusia ingin meraih kebahagiaan hakiki tidak cukup hanya
menfasilitasi kebutuhan-kebutuhan fisik yang materi ini, tetapi
kebutuhan-kebutuhan maknawi juga sangat dibutuhkan, bahkan kebutuhan
maknawi ini lebih prinsip dibanding kebutuhan fisik, sebab inilah yang
akan menjadi bekal pada perjalanan manusia ke alam abadi?
Pertanyaan-pertanyaan ini, dan pertanyaan semisalnya yang berhubungan
dengan hakikat manusia mempunyai arti yang sangat penting dan bernilai
dalam masalah pandangan dunia, dan memecahkan pertanyaan-pertanyaan
tersebut sangat darurat untuk suatu pandangan dunia, sebab ini nantinya
akan berakhir pada masalah Maad (Eskatologi) yang merupakan salah satu
yang sangat asas dalam pandangan dunia agama.
Pengetahuan Tentang Jalan
Pertanyaan
lain yang berhubungan dengan fitrah manusia yang menginginkan
kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki adalah jalan apa yang dapat
menyampaikan manusia pada kesempurnaan dan kebahagiaan tersebut? Dan
system serta aturan-aturan kehidupan yang bagaimana yang benar yang pada
akhirnya menyampaikan manusia pada tujuan hakikinya?
Pertanyaan-pertanyaan ini juga sama dengan pertanyaan-pertanyaan
sebelumnya memiliki nilai dan arti yang sangat penting untuk dijawab,
dengan syarat masalah yang kedua dari pandangan dunia sudah dibuktikan
keberadaan dan kebenarannya. Yakni kebahagiaan hakiki dan abadi manusia
dapat terjadi di alam lain dan dunia ini hanya sarana mendapatkan bekal
untuk alam tersebut. Oleh sebab itu di dunia ini dibutuhkan suatu system
dan jadwal kehidupan yang benar yang mampu mengarahkan dan memberi
petunjuk manusia selama manusia hidup di dunia ini. Disinilah menjadi
jelas kebutuhan dan kedaruratan masalah pengetahuan tentang jalan
sebagai salah satu masalah yang fundamen dalam suatu pandangan dunia.
Pembahasan
masalah pengetahuan tentang jalan ini juga memiliki arti penting
sebagai penghubung antara mabda dan maad manusia (dari mana dan hendak
kemana manusia). Yakni berkenan sejauh mana Tuhan pencipta memberikan
hidayah dan bimbingan pada manusia dalam mendapatkan kesempurnaan dan
kebahagiaan. Dari pembahasan ini juga dapat ditentukan apakah manusia
untuk mencapai tujuannya membutuhkan system dan undang-undang dari Tuhan
atau cukup manusia sendiri yang membuatnya? Dan dari memecahkan masalah
pengetahuan tentang jalan inilah yang akan menghubungkan rantai
pandangan dunia dan idiologi, sebab dari masalah ini membawa kita pada
kebutuhan terhadap Rasul Tuhan dan Nabi Tuhan yang membawa system dan
undang-undang yang berisi apa yang harus dan tidak harus manusia lakukan
dalam kehidupan di alam dunia ini.
Jalan Nubuwwah
Nubuwwah (kenabian) adalah pemberian dan karunia Ilahi kepada hamba-Nya yang telah mencapai insan kamil secara akal nazari (teoritis) dan akal amali (praktis) (Mabda wa Ma’ad, Ayatullah Jawadi Amuli, penerbit az-Zahra hal.258).
Dan tugas dari seorang Nabi memberi petunjuk pada manusia kejalan Ilahi
dengan mengangkat mereka dari alam kegelapan dan kebodohan kepada jalan
cahaya dan akal makrifat.
Dalam
kitab-kitab kalam dan filsafat islam senantiasa dimuat argument-argumen
kedarurian kenabian dalam bentuk rumusan argument yang bermacam-macam,
yang pada intinya membuktikan keniscayaan adanya nabi yang diutus Tuhan
untuk membimbing ummat manusia dalam meraih kesempurnaan hakikat
insaniahnya.
Tidak
diragukan bahwa fitrah manusia mencintai keteraturan dan keharmonisan.
Tapi manusia disamping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk
masyarakat yang didalamnya tersusun individu-individu lainnya. Dan
dalam masyarakat ini terdapat bermacam-macam perbedaan kecenderungan,
kebutuhan, dan kepentingan diantara anggota-anggotanya, yang mana
perbedaan tersebut dapat menjadi penyebab ketidak teraturan didalam
system masyarakat. Untuk terciptanya keteraturan dan keharmonisan dalam
masyarakat, sebagaimana masyarakat membutuhkan individu-individu sebagai
bangunan fisiknya, ia juga membutuhkan undang-undang sebagai perekat
dan bentuk bagi bangunan tersebut, bahkan ia juga membutuhkan pembuat
undang-undang yang merumuskan bentuk aturan yang paling tepat untuk
masyarakat. Sebab undang-undang yang tepat bagi manusia adalah
undang-undang yang memenuhi seluruh dimensi kebutuhan dan kepentingannya
secara sempurna dalam menjaga keharmonisan wujud individunya dan wujud
masyarakatnya, maka undang-undang tersebut haruslah dibuat oleh wujud
yang mengetahui seluruh aspek dan dimensi kebutuhan serta kepentingan
manusia.
Singkat kata harus datang dari pencipta manusia yang mengetahui
seluk beluk hakikat dan esensialitas manusia, dan yang terjaga dari
kesalahan keberpihakan pada salah satu anggota individu atau golongan
masyarakat. Sebab jika manusia yang membuat undang-undang untuk seluruh
manusia, maka selain mereka tidak mengetahui hakikat dan esensialitas
manusia secara sempurna, mereka juga tidak terjaga dari kesalahan
keberpihakan pada salah satu kepentingan atau kebutuhan yang terdapat
pada masyarakat manusia, sehingga natijahnya mereka tidak akan pernah
dapat melahirkan aturan yang berlaku adil bagi seluruh masyarakat
manusia. Oleh sebab itu undang-undang harus datang dari Tuhan dalam
bentuk wahyu Tuhan, dan wahyu tersebut harus ada yang menerimanya yang
secara hakikat mempunyai kesinkhiyatan (kesesuaian) dengan wahyu Tuhan
tersebut, dan itu adalah Nabi dan Rasul Tuhan (manusia sempurna pilihan)
yang diutusNya untuk membimbing dan menyampaikan manusia dalam meraih
kesempurnaan wujud individunya dan kesempurnaan wujud masyarakatnya (
yakni terciptanya keteraturan, keharmonisan, dan keadilan dalam
masyarakat).
Ustad
Ayatullah Jawad Amuli dalam kitab “Intizaare Basyar az Din” dalam
menguraikan pembuktian kedarurian (keniscayaan) turunnya wahyu Tuhan dan
pengutusan Nabi untuk menyampaikan manusia pada kesempurnaan hakiki dan
kebahagiaan hakiki menyebutkannya dalam bentuk kaidah logis sebagai
berikut:
- Pencipta manusia adalah Tuhan yang maha ‘alim dan maha hakim, dimana manusia diciptakan-Nya untuk tujuan tinggi dan mulia.
- Manusia adalah suatu hakikat yang abadi dan ia harus bergerak di jalan “Shirat Mustaqim” menuju keabadian, sehingga dengan jalan ini ia dapat menjamin kebahagiaan abadinya, dan jika di jalan ini ia melakukan kesalahan (memilih jalan yang salah), maka ia terpaksa mendapatkan penderitaan dan tidak mendapatkan bahagian dari kebahagiaan abadi.
- Manusia adalah makhluk Tuhan yang maha ‘alim dan maha hakim, dan hanya Tuhan yang mengetahui secara sempurna hakikat manusia dan dimensi-dimensi eksistensinya serta kebutuhan-kebutuhannya, dan kecuali Dia tidak ada yang mengetahui hakikat manusia, kebutuhan-kebutuhan dan penantian-penantian riil manusia.
- Sebab hanya Tuhan yang mengetahui hakikat manusia dan dimensi-dimensi eksistensinya serta kebutuhan-kebutuhannya, dan tidak ada satupun maujud kecuali Dia yang sanggup memenuhi penantian-penantian manusia, dan jikapun ia ingin dalam jalan ini merealisasikannya, sebab ia tidak “maksum” (terpelihara dari kesalahan), maka ia pasti jatuh pada kesalahan, dan dengan menyediakan medan-medan kejatuhan manusia, menjadi sebab ia tak dapat bahagian (kebahagiaan) secara abadi, dan kejatuhan serta tidak dapat bahagian (kebahagiaan) secara abadi bagi manusia tidak sesuai dengan inayah dan hikmah Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan sendiri yang menyusun program hidayah manusia dengan mengutus pembawa wahyu yang ma’shum supaya kitab suci tersebut berada dalam ikhtiyar manusia, dan manusia dengan menjalankan program Ilahi tersebut dapat terjaga dari bentuk kealpaan, kelupaan dan kesalahan hidup, sehingga ia dapat sampai pada kebahagiaan hakiki dan tujuan akhir yakni pertemuan dengan Tuhan dalam kondisi pertemuan dengan-Nya dalam kebahagiaan abadi. (Intizaar Basyar az Din, Ayatullah Jawady Amuly, Penerbit: Markazenasyr israa, hal.25-26)
Dari
uraian dan argument di atas maka jelaslah bahwa manusia dalam meraih
kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki, tidak terlepas dari makrifat iman,
amal dan perbuatan yang benar (amal shaleh), sebab terdapat hubungan
antara makrifat iman dan amal perbuatan manusia dalam kehidupannya
dengan kebahagiaan abadinya.
Oleh sebab itu manusia yang benar cara
hidupnya, yang ingin mencapai kesempurnaan insaniahnya dan kebahagiaan
hakikinya adalah manusia yang mengikuti program Ilahi dengan perantaraan
kitab suci-Nya , sunnah dan sirah Nabi-Nya, yang semaunya itu diajarkan
dan dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya, serta Nabi dan
Rasul-Nya terakhir Muhammad saaw. Firman Allah Swt : “Sebagaimana
Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu
al-kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui” (QS. al-Baqarah [2]: 151), “Dia-lah (Allah) yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan nyata” (QS. al-Jum’ah :2)
Menukil dari kitab “Tajalli A’azam” disebutkan
bahwa Shainuddin Ali Turkah (Ibnu Turkah, seorang ‘arif sufi) berkata:
“Dalam sair suluk shuri (badan materi) dan maknawi, setiap Nabi a.s
dinisbahkan pada kaumnya adalah pembimbing dan penunjuk jalan bagi
pesuluk dan thaliban (pencari hakikat), tetapi Rasul Saw dikarenakan beliau “Jam’iyyat” (terhimpun seluruh sifat dan asma Tuhan secara sempurna dan harmoni) dan “Khatamiyyat” (Nabi dan Rasul penutup dan terakhir), maka beliau adalah pemimpin dan pembimbing mutlak, tidak terkhususkan untuk satu kaum: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya” (QS.
as-Saba :28), dan beliau ditinjau dari segi sebagai tujuan akhir dalam
system eksistensi, maka beliau adalah tingkatan dan urutan pertama:
“Sekiranya bukan karena kamu (Muhammad Saw), niscaya tidaklah Aku
ciptakan “aflak”(jamaknya falak)” (hadits), dan ditinjau dari
segi lahir (badan materi) maka ia adalah Nabi Pamungkas, yakni sesudah
abi-nabi lain (Laa Nabiy Ba’di) (Tajalli A’azam, Sayyid Ali Thaba-thabai, Penerbit: Matbu’ate Dini, hal.32).
Rasul
Muhammad Saw adalah pemimpin seluruh kafilah suluk dan penapak qalbu,
seluruh qalbu dan jiwa semuanya dalam adab-adab merealisasikan syariat,
thariqat, dan hakikat mengikuti ia (Nabi Muhammad saaw).
Sebab syariat,
thariqat, dan hakikat secara asalah (asas dan prinsip) adalah
terkhususkan bagi dia, sebagaimana dia bersabda: “Syariat adalah
ucapan-ucapanku, dan thariqat adalah keadaan-keadaanku, serta hakikat
adalah kondisiku” (Ibid hal.33).
Dan untuk meninjau betapa sempurna dan tingginya kedudukan beliau
disisi Tuhan, bisa kita telaah lewat ketinggian tingkatan mikrajnya ,
yakni maqam “Jam’ul jam’i”, dimana maqam ini adalah puncak
tingkatan kemanusiaan yang tidak ada satupun nabi dan rasul mendapat
jalan sampai pada maqam tersebut.
Dan tingkatan ini adalah akhir
kenaikan insan yang tidak ada lagi diatasnya dan diakhirnya. Tingkatan
tersebut juga disebut “Maqam Mahmud”, yang mana merupakan mikraj
maknawi dan wusul hakiki, yang juga perjalanan maqam “Au Adnaa”, firman Allah SWT:
“Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu
bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau
lebih dekat (lagi)” (QS. an-Najm : 7-9).
Manusia
dalam konteks mencapai kesempurnaan hakiki keinsanan, supaya tidak
terjebak pada eksprimen hidup yang memerlukan waktu sangat lama dan
pengorbanan kesalahan yang sangat besar (yang mana kesalahan ini
hasilnya adalah kesengsaraan abadi di alam akhirat), maka sesuai akal,
wahyu, dan irfan, niscaya dan daruri mengikuti jalan para Nabi dan Rasul
Tuhan a.s yang merupakan manusia sempurna pilihan Allah Swt. Oleh sebab
itu Tuhan, demi menyampaikan manusia pada kesempurnaannya, maka
hikmah Tuhan memberikan program hidayah lewat perantara Nabi dan
Rasul-Nya Saw, dan ini adalah “luthf” (karunia) Tuhan bagi seluruh manusia.[]
Post a Comment
mohon gunakan email