Pesan Rahbar

Home » » In Memoriam of Imam Khomeini Qs.

In Memoriam of Imam Khomeini Qs.

Written By Unknown on Saturday, 23 August 2014 | 02:08:00


IN MEMORIAM OF IMAM KHOMEINI QS


1. Hari Kautsar

Pada pertengahan tahun 1320 HS telah lahir di Iran seorang putera yang di kemudian hari dapat merubah perjalanan Negara Iran dan dunia Islam dengan revolusi Ilahiah yang dipimpinnya. Sejak awal revolusi yang dicetuskannya ia menghadapi berbagai kekuatan dunia dan musuh-musuh kebebasan dan kemerdekaan seluruh bangsa. Dengan berbagai cara mereka berusaha untuk menghancurkan revolusi tersebut. Tetapi –berkat karunia dan pertolongan Allah Swt– mereka tidak mampu menghadapi revolusi agung tersebut dan mengalami kegagalan total dalam upaya menimpakan kerusakan terhadap akidah dan pemikiran yang dibawa dan disebarkannya. Kala itu tidak seorang pun menduga bahwa dunia suatu saat akan mengenal putera yang baru saja lahir dengan nama Imam Khomeini Ra. Sebagaimana pula tidak terlintas pada benak seseorang -ketika ia memulai revolusinya- bahwa ia akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dunia tersebut dan akan membela dan memperjuangkan kemerdekaan Negaranya dan kemuliaan umat Islam serta senantiasa menghidupkan agama Ilahi pada era ketika nilai-nilai etika telah diinjak-injak.


2. Latar Belakang Sejarah

Tanggal 20 Jumadi Tsani (Hari “Kautsar”). Setelah putra-putra Rasulullah Saw satu demi satu meninggal dunia, kaum musyrik Quraisy merasa gembira dan mulai mengolok-olok Nabi sebagai Abtar, orang yang tidak memiliki keturunan. Tetapi Allah Swt berkehendak lain, Dia menghibur Rasul dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menganugerahimu Kautsar (kebaikan yang melimpah)… Sesungguhnya orang yang mengolok-olokmu itulah yang Abtar dan tidak memiliki keturunan”…(Qs. al-Kautsar:1-3)

Tanggal 20 Jumadi Tsani merupakan hari terbitnya fajar Kautsar Wilâyah dan Imâmah ke atas muka persada, penghulu wanita semesta alam Fathimah az-Zahra As lahir, seorang wanita yang nantinya akan menjadi pendamping setia pemimpin dan Imam pemegang panji abadi keadilan bagi manusia, ia adalah Ali bin Abi Thalib As. Fatimah adalah sosok suci yang akan menjadi ibu dari keturunan dan dzuriyah (generasi) yang saleh. Sebelas bintang muncul darinya, mereka adalah para Imam yang telah dan selalu menyinari jalan manusia. Setiap sisi dari kehidupan mereka sarat dengan hikmah Ilahiyah. Perdamaian, peperangan, munajat, diam, ilmu, kesabaran, dan kehidupan mereka yang dipenuhi oleh perjuangan, siksa dan selalu diakhiri oleh seteguk cawan syahadah serta diakhiri oleh ghaibnya Mahdi Ajf, semunya itu merupakan hikmah Ilahi yang mengindikasikan bahwa hamba-hamba Allah akan selalu ditolong dan dibantu di setiap tantangan dan zaman. Dan mengindikasikan bahwa para penyeru kebenaran dan mercu-suar hidayah akan senantiasa hadir untuk memainkan perannya dalam memberikan petunjuk bagi umat manusia dan menunjukkan pula bahwa dunia sedetikpun tidak akan pernah sunyi dari hujjah Allah Swt.

Seiring dimulainya keghaiban Imam Mahdi Ajf, pergulatan antara kebaikan dan keburukan terus berlanjut, dari generasi ke generasi, penguasa-penguasa zalim, budak dan abdi-abdi harta, pemuja tahta dan para perusak bermunculan di atas pentas hitam, sedang di sisi lain telah bangkit kaum beriman dan saleh di pentas penuh cahaya secara silih berganti untuk melanjutkan perlawanan dan pergulatan abadi di antara mereka.

Percikan cahaya wahyu telah menerangi segenap penjuru cakrawala dunia, setelah diyakini oleh hamba-hamba pilihan, Islam telah melewati batas teritorial di mana ia muncul dan dibesarkan, Islam telah merangkul umat di belahan Timur dunia, juga telah menembus lubuk hati penduduk Eropa di Barat, dan membentuk sebuah kebudayaan besar yang tiada bandingannya, sejarah telah menyaksikan perubahan besar dibidang ilmu, etika, budaya dan yang lain. Semua itu, kokoh berdiri di atas pondasi keimanan dan keyakinan. Saat fitrah suci manusia menerima risalah Rasulullah Muhammad al-Amin Saw secara mendalam dan menyeluruh, niscaya penguasa dan pemimpin zalim tidak akan mampu berdiri dan menghadang perkembangan risalah Ilahi ini, walau kekejaman dan kekejian apa pun yang akan mereka lakukan.

Barat telah diberangus oleh abad pertengahan (abad 14-16 M). Dengan berkedok serta bertamengkan salib, kaum Materialis telah memperdaya kaum lemah dan tertindas untuk menghalangi mereka memeluk agama Islam – agama yang telah dikabarkan oleh Nabi Isa As- supaya modal gereja itu tidak lenyap sia-sia, yang telah menyodorkan keyakinan kaku dan minus spiritualitas di abad pertengahan, serta dibentuknya lembaga taftisul aqaid (pengecekan aqidah, perbuatan Inkuisisi oleh pihak Gereja, red) yang telah mencoreng sejarah manusia.

Yang membingungkan dan sekaligus sangat disesalkan adalah saat mereka mulai menyadari dan bermaksud untuk mengenal agama pemungkas para nabi ini secara lebih jauh, ternyata api kemunafikan dan konflik berkobar disertai perpecahan yang telah melanda belahan bumi ini. Dan selama itu, terwujud beberapa faktor yang memunculkan sebuah tatanan dunia baru, perubahan di bidang sains dan industri di Eropa, dan mencuatnya pemerintahan dengan teknologi mutakhir. Perkembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan dan bidang baru – yang sangat berpengaruh bagi budaya Islam – telah menambah nuansa dan warna baru bagi penduduk primitif dan terbelakang Eropa.

Seharusnya para pemimpin negara-negara Islam memikirkan hal-hal yang dapat memperbaiki kondisi mereka dan bangsanya, namun realitas menunjukkan, bahwa mereka lebih mementingkan kenikmatan sejenak dan terlena dalam kelalaian dan keterbelakangan, dari pada harus bergegas untuk beraksi dan bergerak. Dampaknya, hari demi hari kekuatan dan pengaruh musuh-musuh Islam semakin bertambah, hingga tidak sedikit kawasan dan wilayah dunia Islam yang berada di bawah hegemoni bangsa-bangsa imperialis. Fenomena memilukan ini terus berlanjut bagi penguasa-penguasa kekuatan, harta dan kekufuran, serta interfensi kaum imperialis baik secara terbuka maupun terselubung dalam penentuan nasib dan pengambilan kebijakan negara-negara Islam berabad-abad lamanya.

Tak terkecuali di negeri Iran, hierarki dan kerajaan telah memimpin masyarakat, dan rakyat Iran yang mempunyai mental pejuang, telah menjawab kelembutan seruan tauhid dan risalah Rasul Saw dan mengangkat panji kebudayaan Islam. Tetapi kezaliman raja dan tipu daya imperialis telah membidik sasaran empuk dan jitu, yaitu upaya memecah belah dan konflik yang berkelanjutan. Terlebih, para musuh telah turun ke medan dengan sarana baru dengan dalih pembangunan dan perkembangan negara. Begitulah, hierarki pengkhianat Qajar[1] telah berkuasa di Iran, dengan berbagai hal hinggga membuat Inggris dan Rusia mengobok-obok wilayah Iran dan menciptakan kondisi yang sulit dan kritis. Kedutaan dari para penjajah tersebut secara terbuka menginterfensi segala hal, mencakup pemecatan dan pelantikan putra mahkota, para menteri dan para pemimpin angkatan bersenjata dan beberapa posisi lainnya yang sangat vital. Dalam periode kritis ini begitu luas tanah dan bumi negara Islam terlepas akibat kesepakatan-kesepakatan yang tidak wajar dan memalukan, di saat seluruh negara Islam mengeluh tentang ketidak-amanan, keadilan dan merebaknya kerusakan dan kebobrokan administratif.

Di sela-sela rentetan peristiwa tersebut, muncullah fatwa dari seorang ulama dan pejuang besar Ayatullah Uzma Syirazi dengan sebuah pergerakan yang dikenal dengan nama “gerakan tembakau”[2]. Tiupan angin reformasi yang dihembuskan oleh Sayid Jamaluddin Asad Abadi[3], juga bangkitnya para ulama di Iran dan di Najaf Asyraf atas penjajah Inggris, semua itu mengukuhkan posisi dan kedudukan ulama dan pengaruh lembaga-lembaga ulama dalam berbagai peristiwa. Hal itu membuat Inggris mulai memahami bahaya di depan mereka, yang akhirnya memaksa mereka untuk melakukan tipu daya dan konspirasi untuk membatasi ruang lingkup dan gerak ulama. Mereka juga menyebarkan sekularisme (separasi antara agama dan politik); akhirnya muncul masonisme dan masyarakat kebarat-baratan dengan busana peradaban yang senantiasa mengobarkan api peperangan yang menyala-nyala di antara bangsa Iran sendiri. Ini satu sisi, sedang di sisi lain, Raja Mudhaffarudin[4] telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat yang dipimpinnya. Akhirnya ia hanya meminta legitimasi dari dua bangsa imperialis Rusia (Uni Soviet) dan Inggris. Begitu juga bangsa dan negara-negara Islam yang lain hidup tak jauh berbeda dengan kondisi di Iran.


3. Imam Khomeini Ra; Dari Lahir Hingga Hijrah Ke Kota Qum

Pada kondisi semacam ini Imam Khomeini lahir, tepatnya 20 Jumadi Tsani 1320 H bertepatan dengan 24 September tahun 1902 M, di kota Khomein, sebuah kota provinsi Markazi. Imam lahir di rumah pencinta ilmu, ketaqwaan, perjuangan dan pengungsian, dan berasal dari keluarga yang mengalir darah az-Zahra As. Imam telah mewarisi watak dan perangai ayah dan kakeknya sebagai seorang pejuang dari generasi ke generasi guna memberikan petunjuk kepada manusia serta mewarisi semangatnya untuk melahap ilmu pengetahuan.

Almarhum Ayatullah Sayid Mustafa al-Musawi –-ayahnya- sezaman dengan Almarhum Ayatullah Uzma Mirza Syirazi. Selama beberapa tahun, ayahnya menuntut ilmu keislaman di kota Najaf, setelah sampai pada jenjang ijtihad, Imam kembali ke Iran dan menetap di kota Khomein. Di sana, ia menjadi pelindung dan pemandu masyarakat dalam masalah agama .

Belum genap 5 bulan, Ruhullah Khomeini kehilangan sang ayah yang telah meneguk cawan syahadah saat dalam perjalanan antara kota Khomein ke kota Arak oleh gerombolan perampok dan pengkhianat yang didukung oleh antek-antek kerajaan, sebagai balasan baginya dalam usaha mengungkap kebenaran dan kezaliman mereka. Pada saat itu keluarga Imam bertolak ke Teheran – Darul hukumah saat itu – untuk menuntut keadilan dan meminta balasan yang setimpal bagi pembunuh ayahnya.

Demikianlah Imam Khomeini Ra sejak remaja telah merasakan keras dan kejamnya ditinggal seorang ayah, sebagaimana Imam telah memahami arti dari sebuah syahadah.

Setelah syahidnya sang ayah, Imam menghabiskan masa kanak-kanaknya dipangkuan ibu kinasih, Sayidah Hajar, seorang putri cerdas dan bertaqwa, ia adalah cucu dari Almarhum Ayatullah Khunsari Ra – penulis buku Zubdatut Tasanif –Imam juga dibesarkan oleh tangan hangat bibinya, Sahibah Khanum, seorang wanita pemberani dan bertaqwa. Pada akhirnya Imam kehilangan hangatnya buaian lembut dua wanita besar tersebut saat berusia menginjak 15 tahun.

Semenjak usia remaja – dengan memanfaatkan kejeniusan yang Allah Swt berikan – Imam Khomeini Ra mempelajari berbagai disiplin ilmu yang populer di zaman itu juga ilmu-ilmu dasar yang biasa dipelajari di Hauzah Diniyah (seminary school) seperti sastra Arab, Logika, Fiqh dan Usul, di hadapan guru-guru dan ulama di daerahnya; seperti Mirza Mahmud, Almarhum Mirza Ridha Najafi al-Khomeini, Almarhum Syekh Ali Muhammad Burujerdi, Almarhum Syekh Muhammad Gulpaygani dan Almarhum Abbas Araki; namun sebelum belajar kepada mereka Imam belajar kepada kakak tertuanya Ayatullah Sayid Pasandideh.

Kemudian setelah itu –tahun 1289 HS (1919)- Imam pergi ke Arak untuk melanjutkan studinya di Hauzah setempat.


4. Hijrah Ke Qum: Studi Kajian Takmiliah Dan Mengajar Ilmu Islam

Tak lama setelah pindahnya Ayatullah Uzma Haji Syekh Abdul Karim Hairi Yazdi[5] ke kota Qum, Imam Khomeini bergabung dan hijrah ke sana, di bulan Rajab tahun 1340 HS, dengan cepat Imam melewati jenjang pelajaran takmili (komplementer) di Hauzah Ilmiah. Imam telah menamatkan buku al-Muthawwal (dalam ilmu Ma’âni dan Bayân) bersama gurunya Almarhum Mirza Muhammad Ali al-Adib Tehrani, juga menyempurnakan pelajaran sath/jenjang dari Almarhum Ayatullah Muhammad Taqi Khunsari, Almarhum Ayatullah Sayid Ali Yatsribi Kasyani. Imam juga menamatkan pelajaran Kharij Fiqh dan Usul di hadapan pendiri Hauzah Ilmiah Qum, Syaikh Abdul Karim Hairi Yazdi Ra.

Sensitifitas dan aktifitas yang melekat pada dirinya membuatnya tidak puas bergelut dengan ilmu bahasa dan Usul Fiqh, Imam kemudian menelaah dan mempelajari disiplin ilmu lain. Seiring dengan ketekunannya mempelajari Fiqh dan Usul dari para faqih dan mujtahid, dia juga belajar Matematika, Astronomi dan Filsafat di hadapan Almarhum Sayid Abi Hasan Rafi’i Qazwini. Setelah itu dia melanjutkan pelajarannya dengan bimbingan spiritual dan ‘irfân di tangan Almarhum Mirza Ali Akbar Hakimi Yazdi, dia juga mempelajari ilmu Arud dan Qawâfi (ilmu tentang sajak dan syair Arab), Filsafat Islam dan Filsafat Barat dari Syekh Muhammad Ridha Masjid Syekh Isfahani, belajar Akhlak dan ‘Irfân dari Ayatullah Mirza Jawad Maliki Tabrizi, kemudian ‘Irfân teoritis (nazari) dan praktis (‘amali) diperoleh dari Mirza Muhammad Ali Syah Abadi.

Setelah Ayatullah Hairi Yazdi wafat, Imam Khomeini Ra dan beberapa rekan mujtahid yang lain di Hauzah Ilmiah Qum, membujuk Ayatullah Burujerdi[6] untuk datang ke Qum dan memimpin Hauzah. Dalam periode ini Imam dikenal sebagai salah satu pengajar dan mujtahid dan sâhib nadzar (orang yang memiliki otoritas untuk menyampaikan pendapat, red) dalam bidang Fiqh, Usul, Filsafat, ‘Irfân dan Akhlak, sedang masalah kezuhudan, wara’, ibadah, dan ketaqwaannya merupakan hal yang sudah dikenal di kalangan umum atau khusus.

Perangai dan watak yang luhur ini merupakan hasil jerih payah perjuangannya selama bertahun-tahun serta latihan syar’i dan pengaruh norma-norma ‘irfân yang mengakar dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Dan metode politik yang muncul berasaskan keyakinan yang kokoh untuk menjaga Hauzah Ilmiah (seminary school) dan kepemimpinannya, serta keyakinan para ulama bahwa imam satu-satunya pelindung dan pemandu masyarakat dalam kondisi yang kritis dan genting, membuatnya semakin konsisten dalam mendalami ilmu, keutamaan, dan usaha dalam mengokohkan azas-azas Hauzah Qum yang baru seumur jagung. Oleh karena itu, kendati terdapat perbedaan dan polemik pemikiran, namun ia tetap mendukung marjaiyyah Ayatullah Hairi Yazdi kemudian Ayatullah Burujerdi Ra, bahkan setelah meninggalnya Ayatullah Burujerdi Ra. sekalipun telah banyak tanggapan dan dukungan dari murid-murid dan orang-orang terpandang serta dukungan masyarakat, supaya Imam menjadi salah satu marja’ taqlid tetapi Imam tetap konsisten dan tidak pernah berusaha mencari kedudukan dan kepemimpinan. Imam senantiasa menganjurkan para pecintanya untuk tidak mempersoalkan hal tersebut. Bahkan ia terus bersikeras untuk tetap berada dalam prinsipnya yang semula, bahkan sampai suatu saat masyarakat telah mengelu-elukannya, sebagai orang yang dicari selama ini untuk mewujudkan cita-cita. Dengan ketaqwaan, keilmuan dan kesadaran, ia tidak merubah hal tersebut sedikitpun juga, dan menerapkan ucapan yang sering diulanginya:”sesungguhnya aku menganggap diriku sebagai abdi dan penjaga Islam dan masyarakat.”

Imam adalah figur pemimpin agung yang puncaknya terjelma pada tanggal 12 Bahman 1357HS /1 Februari tahun 1978 saat kembali ke kampung halaman (Iran, Pen: setelah diasingkan oleh Syah) untuk menjumpai jutaan masyarakat dan bangsanya yang telah berkumpul dalam acara akbar penyambutan sepanjang sejarah atas kedatangannya. Saat salah seorang wartawan tanpa pendahuluan bertanya kepadanya: “Bagaimana perasaan Anda kembali ke negeri pertiwi dan melihat keagungan yang spektakuler semacam ini? Sang wartawan ternyata mendengar jawaban yang tidak dinanti dan dibayangkan sebelumnya, Imam hanya singkat menjawab:”Tidak ada”.

Wartawan itu membayangkan bahwa Imam Khomeini sama seperti pemimpin-pemimpin politik lain yang selalu berusaha mendapatkan posisi dan kekuasaan para pemimpin yang biasanya lupa diri saat melihat panorama semacam ini. Namun jawaban yang didengarnya menyadarkannya bahwa Imam adalah figur atau model lain, yang tak dapat disamakan dengan mereka.

Imam Khomeini Ra meyakini betul – sebagaimana sering ia tandaskan dalam berbagai kesempatan – bahwa tolok ukur langkah dan pergerkannya adalah ridha Allah Swt, dan hanya sebatas menjalankan kewajiban dan penunaian tanggung-jawab syar’i. Baginya sama saja antara penjara, pengasingan atau di atas puncak kekuatan dan keuasaan, selama masih di jalan Allah Swt. Sejak awal Imam Ra telah berpaling dan mengenyampingkan hal-hal duniawi dan menapaki jalan untuk mencapai fana’ kepada Allah Swt. Mungkin tafsiran terbaik dari jawabannya kepada wartawan tersebut adalah ungkapan Imam yang tertuang dalam bentuk gubahan sebuah syair:

Pergilah ke arah reruntuhan dan
Kucilkan segala makhluk
Tambatkan jiwa dan hatimu, tanggalkan yang lain,
Kepada suatu yang absolut dan mutlak

Imam Khomeini Ra dalam masa yang cukup panjang mengajar di Hauzah Qum, dia mengajarkan Fiqh, Usul, Filsafat, ‘Irfân dan Akhlak Islam, di Madrasah Faiziyah, di Masjid A’zam, Masjid Muhammadiyah, Madrasah Hajj Mulla Shadiq, Masjid Salmasi dan di tempat yang lain. Imam juga mengajarkan Fiqh dan ilmu-ilmu Ahlul Bait As – dalam jenjang yang tertinggi – di Hauzah Ilmiah Najaf Asyraf di Masjid Syekh Anshari Ra kurang lebih 14 tahun. Dan di sana – Najaf – untuk pertama kalinya, Imam menawarkan dasar dan azas-azas pemerintahan Islam melalui pelajaran yang disampaikan oleh beliau dengan tema Wilâyatul Faqih.

Menurut penukilan murid-muridnya, sesungguhnya pengajaran Imam merupakan pelajaran paling kuat dan paling populer saat itu, diceritakan bahwa murid-murid yang hadir dalam beberapa pelajarannya – dalam beberapa tahun masa mengajar di kota suci Qum – mencapai 1000 orang, termasuk di dalamnya puluhan mujtahid yang masyhur dan diakui saat itu, semuanya melahap pelajaran Fiqh dan Usul dari Imam. Berkah tetesan keluasan ilmunya muncul ratusan bahkan ribuan. Para ulama dan filsuf yang nantinya menjadi obor-obor di Hauzah Ilmiah, serta para mujtahid, faqih dan para arif tersohor yang sekarang sedikit jumlahnya dan dapat kita hitung dengan jari. Dan munculnya kader-kader dan pemikir besar seperti Ustadz Syahid Muthahari[7] dan Syahid Doktor Behesyti[8] mendapatkan kehormatan untuk mencicipi pelajaran-pelajaran yang disampaikan Imam. Dewasa ini, ulama prominen yang mengarahkan Revolusi Islam dan sistem Republik Islam dalam segala urusan publik dan kewargaan adalah orang-orang yang terdidik dalam madrasah politik dan fiqh Imam Khomeini.

Dengan memandang dimensi-dimensi karakteristik madrasah ilmu Imam Khomeini dalam ranah yang beragam, kita akan mengulasnya secara jeluk pada akhir-akhir buku ini dan sebagai konklusinya akan mengintrodusir bunga rampai karya Imam Khoemini secara global.


5. Imam Khomeini di Sanggar Jihad

Semangat juang dan jihad di jalan Allah Swt yang tumbuh bersemi pada diri Imam Khomeini Ra memiliki akar ideologi, pendidikan, lingkungan keluarga dan kemasyarakatan serta keadaan sosio-politik selama masa hidupnya. Perjuangannya dimulai sejak awal remaja yang kemudian secara perlahan mencapai kesempurnaan seiring dan sejalan dengan kematangan jiwa dan ilmunya disatu sisi dan keadaan sosial dan politik Iran serta masyarakat Islam di sisi lain. Pada tahun 1340 HS (1961) dan 1341 HS (1962) pertikaian antara Dewan Kota dan Dewan Propinsi memberikan kesempatan kepada Imam Khomeini untuk memimpin perlawanan ruhaniawan. Keadaan ini menyebabkan adanya pemberontakan seluruh kaum ruhaniawan dan rakyat Iran pada tanggal 15 Khurdad 1342 HS (5 Juni 1963).

Gerakan ini memiliki keistimewaan tersendiri yaitu dua kekhususan yang mewarnainya; kepemimpinan tunggal Imam dan corak pemikiran Islami yang dipakai dalam pergerakan itu serta adanya slogan-slogan dan tujuan-tujuan yang bercorak islami. Keadaan ini kemudian menandai sebuah lembaran baru dalam merintis perjuangan masyarakat dan bangsa Iran yang kemudian dikenal seluruh dunia dengan nama Revolusi Islam.

Imam Khomeini lahir pada saat negara Iran sedang mengalami masa-masa yang paling sulit dalam sejarahnya. Pergerakan so-called konstituante menjadi tidak berarti oleh kelicikan-kelicikan dan perlawanan-perlawanan antek-antek Inggris yang berada di Istana Qajar. Hal lain yang menjadi penyebab terjadinya keadaan ini adalah adanya pertikaian internal dan pengkhianatan kebanyakan kaum cendekiawan yang terpengaruh oleh kebudayaan Barat. Peran sentral kaum ruhaniawan dalam pergerakan ini tersingkirkan oleh trik-trik dan tipuan. Dan pada saat yang lain sebuah pemerintahan diktatoral berdiri. Sifat kesukuan Dinasti Qajar dan kelemahan serta ketidakcakapan para pemimpinnya telah menyebabkan tersebarnya kekacauan sosial dan kejatuhan ekonomi negara Iran. Pada situasi seperti ini para perampok dan tuan tanah dengan leluasa menciptakan kekacauan di tengah-tengah masyarakat sehingga tidak ada keamanan di dalamnya. Dalam keadaan seperti ini di kota-kota dan di desa-desa serta daerah-daerah lainnya, kaum ruhani menjadi satu-satunya tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dan pertolongan. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Imam Khomeini kecil yang telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kesyahidan ayahandanya tercinta ketika mempertahankan hak-haknya dan hak-hak masyarakat dalam melawan antek-antek pemerintah pada masa itu. Sejak dahulu keluarga Imam Khomeini sudah terbiasa dengan hijrah dan jihad.

Imam Khomeini menjelaskan kenangannya atas kejadian Perang Dunia I ketika ia berusia dua belas tahun. Imam berkata, “Aku mengingat kedua Perang Dunia itu (Perang Dunia I dan Perang Dunia II). Aku masih berusia belia. Namun ketika itu aku selalu pergi ke sekolah. Aku melihat serdadu-serdadu Uni Soviet berseliweran di tempat kami berada yaitu di kawasan Khomein, dan mereka menjadikan kami sebagai sasaran serangan pada Perang Dunia I.[9]

Di beberapa tempat , Imam menyebutkan sebagian nama kepala suku dan tuan-tuan tanah (yang dilindungi oleh pemerintah), yang telah merampas harta-harta rakyat dan mempreteli prinsip-prinsip yang dianutnya, dengan menceriterakannya sebagai berikut, “Aku telah bertempur semenjak masa kecilku. Bangsaku diserbu oleh Zulqi dan Rajabali. aku mempunyai senjata. Dan pada saat itu aku sedang menjalani masa-masa awal balighku, dan biasa mendatangi bunker-bunker. Para bandit itu hendak menyerang dan merampok kaumku. Kaumku membangun bunker di beberapa tempat di Khomein.[10]

Pada tempat yang lain, Imam Khomeini menambahkan kesaksiannya, “Aku sendiri juga mempunyai senjata, namun aku masih kecil kala itu; dengan usia belia ketika itu sekitar enam belas atau tujuh belas tahun, dan menganggap senjata sebagai sahabat dan aku juga mengalami proses belajar dan mengajar cara mengoperasikan sepucuk senjata…. aku pergi ke bunker-bunker militer, dan dengan para pemberontak yang ada, menyerang dan bermaksud mengambil alih bunker serta ingin berbuat apa saja, (kami menghadapinya). Keadaannya sangat kacau-balau, pemerintahan pusat tidak lagi mempunyai kekuatan…. suatu waktu mereka mengambil alih kawasan Khomein dan rakyat mengadakan perlawanan terhadap mereka,dan aku bagian dari mereka.[11]

Kudeta pada tanggal 3 Isfand 1299 HS (1920) yang dilakukan oleh Reza Khan, sesuai dengan catatan sejarah yang dapat diandalkan, dilindungi dan disusun oleh pemerintahan Inggris. Meskipun kudeta ini mengakhiri pemerintahan Qajar dan sedikit membatasi sistem abad pertengahan dari kepala-kepala suku dan tuan-tuan tanah yang bercerai-berai tetapi menumbuhkan sistem diktatorial yang dalam sistem itu seribu keluarga menguasai nasib bangsa yang tertindas dan keluarga Pahlevi menggantikan para kepala suku dan tuan tanah tersebut.

Dalam dua puluh tahun masa kekuasaannya, Reza Khan menguasai satu setengah dari seluruh lahan-lahan subur Iran dan memiliki surat-surat kepemilikan serta dokumen-dokumen atas (dengan menggunakan) namanya. Dia membentuk sebuah organisasi yang keberadaannya jauh lebih luas ketimbang kementerian-kementerian dalam negeri yang besar, yang digunakan untuk menjaga dan melindungi Keluarga Istana (Royal Court). Dengan cara seperti ini, dia menyusun Undang-undang Legislatif yang diluluskan oleh pemerintahan boneka untuk mengesahkan pemindahan tanah-tanah, bahkan tanah-tanah hibah kepada dirinya. Rekening-rekening yang berkenaan dengan harta kekayaan istana dan mutiara-mutiara serta kepemilikan perusahaan-perusahaan dan pusat-pusat perniagaan juga industri Reza Khan membentuk bagian utama dalam biografinya yang ditulis oleh kawan-kawan dan musuh-musuhnya. Kebijakan-kebijakan domestik Reza Khan dibangun atas tiga pilar: Militerisme yang keras; Perang melawan agama dan kaum ruhaniawan; serta Westernisasi. Ketiga kebijakan ini dijalankan dan dikukuhkan selama masa monarkinya. Dalam keadaan yang disebutkan di atas ruhaniawan Iran setelah terjadi peristiwa pergerakan konstitusi senantiasa didera dengan penyerangan-penyerangan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu dan agen-agen Inggris, di satu sisi, serta kebencian yang dilancarkan oleh para cendekiawan bayaran, di sisi lain, beraksi, untuk menjaga Islam dan diri mereka sendiri (kaum ruhaniawan).

Atas undangan ulama Qum, Ayatullah Haji Syekh Abdul Karim Khairi berhijrah dari Arak ke Qum. Imam Khomeini Ra dengan bakat luar biasa telah menyelesaikan kajian-kajian atau pelajaran-pelajaran pendahuluan di berbagai level pada Hauzah Ilmiah, berhijrah ke Qum dan turut aktif dalam mengukuhkan Hauzah yang baru didirikan di Qum. Tidak lama kemudian, ia dikenal sebagai seorang yang alim dan terkemuka dalam bidang ‘Irfân, Falsafah dan Usul Fiqh.

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa pada saat itu, menjaga kedudukan kaum ruhani dan para marja’ merupakan suatu keperluan mendesak untuk menentang dan menghalau kebijakan-kebijakan dan tujuan-tujuan anti-ruhaniawan yang dilancarkan oleh Reza Khan dan puteranya. Oleh karena itu, Imam Khomeini, meskipun berbeda pendapat dengan Ayatullah Khairi dan Ayatullah Hairi secara konsisten menjadi seorang pembela setia kedudukan marja’ selama kedua marja’ yang disebut di atas aktif menjalankan kewajibannya dan Imam berkhidmat kepada mereka.

Imam Khomeini mempunyai perhatian yang khusus dalam mengikuti perkembangan perkara politik dan kemasyarakatan. Setelah mengamankan kekuasaan monarkinya, Reza Khan, pada masa awal-awal pemerintahanya merencanakan untuk memulai menjalankan program ambisiusnya menghilangkan pengaruh-pengaruh kebudayaan Islam pada masyarakat Iran. Sebagai tambahan atas pencekalan terhadap kaum ruhani dengan mengeluarkan surat-surat edaran resmi, dia memerintahkan bahwa segala duka dan nestapa atas syahadah Imam Husain As harus dihentikan. Khutbah-khutbah agama dilarang, proses pembelajaran masalah-masalah keagamaan dan pengajaran Qur’an di sekolah-sekolah dilarang dan juga mengadakan pelarangan terhadap pelaksanaan salat berjamaah. Reza Khan juga membangun gagasan pendahuluan untuk melepaskan hijab kaum wanita Iran. Sebelum Reza Khan menelorkan maksudnya dan tujuan-tujuanya di hadapan publik, ulama yang berdedikasi yang menduduki strata pertama dalam masyarakat, dengan kesadaran, bangkit menunjukkan protes mereka. Pada tahun 1306 HS (1927), ulama berdedikasi asal Isfahan yang dipimpin oleh Ayatullah Hajj Âqâ-e Nurullah Isfahani, melancarkan protes dengan berhijrah ke Qum dan mencari perlindungan di sana. Gerakan ini diikuti oleh ulama dari berbagai kota. Pada hari ke-105 kepindahan ulama ke Qum (21 Syahriwar hingga 4 Dei 1306 HS) dan usaha pencarian perlindungan di Qum berakhir dengan sia-sia. Mereka dikembalikan ke kota mereka masing-masing atas perintah Reza Khan. Perdana Menteri, Mokhberol Saltaneh menerima dan menjalankan syarat-syarat yang diajukan oleh ulama yang mencari perlindungan dan suaka. Pada bulan Dei 1306 HS (Desember 1927), dengan syahidnya pemimpin perlawanan di tangan agen-agen Reza Khan, suaka politik berakhir.

Kejadian tersebut memberikan kesempatan bagi seorang pemuda yang berbakat dan mempunyai jiwa yang tertantang, pelajar hauzah, Ruhullah Khomeini, untuk lebih mengenal segala permasalahan yang berlaku dan model-model penentangan serta mekanisme perlawanan ulama melawan Reza Khan. Pada Nuwruz –tahun baru Iran- 1306 HS (Maret 1927), terjadi sebuah perjumpaan secara langsung antara Reza Khan dan Ayatullah Bafaqi di Qum. Pertemuan ini berakibat kepada pengepungan kota ini oleh kekuatan militer dan pemukulan oleh Syah terhadap Ayatullah Khomeini dan kemudian mengungsikannya ke kota Rey. Kejadian dan peristiwa serupa serta proses-proses yang berlangsung dalam Majelis pada saat itu – khususnya perjuangan yang diusung oleh ulama terkemuka dan mujahid, Ayatullah Sayid Hasan Mudarris, memberikan kesan yang luar biasa pada jiwa Imam.

Ketika Reza Khan, dalam rangka menghancurkan Hauzah Qum, mengeluarkan sebuah surat perintah yang menyerukan bahwa seluruh ulama harus mengikuti ujian administrasi kenegaraan, Imam Khomeini menyingkap tujuan-tujuan di balik perintah ini dan kemudian menentangnya. Imam memberikan peringatan kepada ulama-ulama yang berwawasan sempit yang berpandangan bahwa perintah Reza Khan tersebut merupakan sebuah langkah reformatif. Sayangnya, ulama Iran ketika itu, dengan gencarnya arus propaganda dari pemerintah, keadaan-keadaan baru dan gerakan-gerakan friktif dan perpecahan pasca konstitusi, terisolasi. Bahkan pelajaran dan pengajaran seperti ‘Irfân dan Filsafat – yang mencerahkan dan membangunkan kesadaran dan nalar, serta membahas masalah-masalah keseharian dan penderitaan- dipandang kuno dan ditolak oleh orang-orang yang mempunyai pikiran picik dan orang-orang malas serta ulama lancung (palsu). Keadaan-keadaan seperti ini membuat Imam berada di bawah tekanan untuk meliburkan pelajaran-pelajarannya tentang Filsafat, ‘Irfân dan Akhlak. Imam dipaksa untuk mengubah tempat dan mengajar secara sembunyi-sembunyi. Hasil dari upaya-upaya penggemblengan seperti ini menghasilkan pribadi-pribadi seperti Allamah Syahid Muthahhari.

Sebagai hasil dari resisitensi ulama dan rakyat Iran, Reza Khan menghadapi kekalahan sedemikian hebat sehingga ia terpaksa mundur, meskipun dengan upayanya untuk menghancurkan Islam secara total dengan berusaha untuk melepaskan hijab-hijab kaum wanita dan melarang seremonial-seremonial dan ritual-ritual keagamaan.

Setelah wafatnya Ayatullah al-Uzma Khairi pada tanggal 10 Bahman 1315 HS (10 Januari 1937), Hauzah Ilmiah Qum berada dalam bahaya Ulama yang berdedikasi mencoba untuk mencari jalan keluar supaya kejadian ini tidak terjadi. Selama delapan tahun Hauzah Ilmiah Qum diawasi oleh Sayid Muhammad Hujjat, Sayid Sadr bin Sadr dan Sayid Muhammad Taqi Khunsari ridwânullâh ‘alaihim (semoga keridaan Allah tercurah melimpah ke atas mereka). Dalam masa interim ini, khususnya setelah kejatuhan Reza Khan keadaan menjadi lebih baik untuk merealisasikan otoritas agama. Ayatullah al-Uzma Burujerdi merupakan ulama yang terkemuka dan memiliki pesona ilmiah yang tinggi dan layak untuk menggantikan Ayatullah al-Uzma Khairi serta menyelamatkan Hauzah Ilmiah. Usulan ini diikuti oleh murid-murid Ayatullah Khairi termasuk Imam Khomeini. Imam melakukan usaha keras untuk mengundang Ayatullah Burujerdi supaya hijrah ke Qum dan menerima tanggung jawab sebagai pimpinan Hauzah. Imam Khomeini -yang secara seksama mengamati keadaan politik masyarakat, dan mengamati keadaan hauzah-hauzah, memiliki informasi terkini dan sepenuhnya mendapat masukan informasi melalui mengkaji buku-buku sejarah kontemporer yang ada, majalah-majalah, berbagai surat kabar dan sering kali mengadakan perjalanan ke Qum dan Teheran[12] serta mengadakan kunjungan tetap kepada orang-orang besar seperti Ayatullah Mudarris- telah menyadari bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi keadaan semrawut yang terjadi setelah kekalahan pergerakan konstitusi –khususnya setelah Reza Khan naik ke tampuk kekuasaan– adalah dengan membangun kesadaran Hauzah-hauzah Ilmiah, dan sebelumnya menjaga keamanan dalam keberlangsungan hidup Hauzah-hauzah Ilmiah dan sekaligus hubungan maknawi antara rakyat dan kaum ruhaniawan. Selama hijrahnya Ayatullah Burujerdi ke Qum, Imam Khomeini, juga seorang yang terkenal dan sebagai pengajar handal di Hauzah Ilmiah, bekerja keras untuk membentengi kedudukan Ayatullah Burujerdi sebagai marja’, dan menurut murid-murid Imam Khomeini, kehadiran Imam dalam kuliah-kuliah Ayatullah Burujerdi dalam pelajaran Usul Fiqh adalah demi mewujudkan tujuan ini.

Dalam mencapai tujuan mulianya, pada tahun 1328 HS (1949 M), Imam Khomeini Ra, bekerja sama dengan Ayatullah Murtadha Khairi, mempersiapkan sebuah rencana untuk mengadakan reformasi penting atas struktur Hauzah dan mempersembahkannya kepada Ayatullah Burujerdi. Rencana itu mendapatkan sambutan serta dukungan dari murid-murid Imam dan para ulama Hauzah yang tercerahkan.

Ketika proposal itu hampir diterima dan Hauzah akan memainkan perannya sebagai sebuah organisasi ilmiah, mereka yang termasuk sebagai ulama-ulama gadungan -yang menyadari implementasi dari rencana itu akan membahayakan ketenangan hidup mereka, mulai menantang proposal ini. Penentangan ini mencapai puncaknya ketika Ayatullah Burujerdi, bertentangan dengan pandangannya semula dan kecenderungan pribadinya terhadap proposal itu, menunda pelaksanaan proposal tersebut. Ayatullah Zadeh Khairi terpaksa harus pindah ke Masyhad untuk beberapa waktu akibat penundaan ini. Kendati demikian, Imam Khomeini, meskipun keadaan tidak kondusif dan ketidakpuasannya dengan keputusan dan kejadian-kejadian yang sama, tetap terus maju dan berharap banyak terhadap pergerakan Hauzah.

Delapan tahun sebelum kejadian ini yaitu pada Syahriwar 1320 HS, selama meletusnya Perang Dunia II, Iran diduduki oleh pasukan-pasukan tentara sekutu. Diktator dengan dana raksasa selama dua puluh tahun, telah membekali pasukan tersebut untuk membantu menekan masyarakatnya sendiri dalam menghadapi invasi dan serangan tentara –sebagaimana yang diakui oleh anaknya sendiri, Muhammad Reza– kabur dari arena setelah melatih menembak dan sebelum menghadapi para agresor. Meskipun dengan segala bualannya, Reza Syah diturunkan dan diungsikan.[13] Kisah paradoksial dari duka nasional ihwal pendudukan negara dan merebaknya tempat-tempat hiburan atas kejatuhan seorang diktator yang aset-aset bergeraknya – dikumpulkan atas biaya jerih payah orang-orang miskin dan bertahun-tahun merampok sumber-sumber pendapatan negara– dihimpun, pada saat itu, hingga 680 juta rial[14] (Rp 680 juta), telah menyisakan banyak ibrah untuk dipelajari.

Pihak Kedutaan besar Inggris, dengan lampu hijau dari sekutu yang lain, Rusia, mengeluarkan surat keputusan atas nama Muhammad Reza Pahlevi untuk menggantikan ayahnya. Lembaran baru, yang dipenuhi dengan kerja keras dan kepayahan telah dimulai, selama 37 tahun, dengan ditandai oleh penjualan kemerdekaan dan perampasan kehormatan negara. Pada dua tahun pertama pemerintah Syah yang tidak stabil itu memiliki kesempatan untuk bernafas. Setiap orang dan kelompok mulai mengumumkan tujuan-tujuan dan motto-mottonya. Beberapa kelompok mengklaim sebagai nasionalisme, yang secara kebetulan, sejalan dengan pandangan monarki muda ini. Yang lainnya melakukan infiltrasi dalam agen-agen pemerintahan dan pemilihan anggota parlemen. Ulama-ulama pejuang seperti Ayatullah Mudarris yang keberadaannya dapat dijadikan sebagai pilar perjuangan rakyat, telah mencapai syahadahnya di tangan agen-agen Reza Khan pada tahun-tahun sebelum keadaan ini terjadi. Partai komunis dan partai-partai politik yang mempunyai hubungan, menyesuaikan sikap-sikap mereka sesuai dan sejalan dengan instruksi-instruksi yang disampaikan oleh Moskow dan sekitarnya.

Hauzah Ilmiah, seperti yang telah disebutkan, secara perlahan-lahan masuk ke dalam isolasi dengan penyerangan oleh Reza Khan dan tidak mampu untuk masuk secara sungguh-sungguh ke dalam wilayah tanggung-jawab sosial. Tentu saja, bahkan di bawah keadaan seperti ini, terdapat penantang teguh, seperti Nawab Safawi dan komrad-komradnya yang mempelajari untuk menemukan jalan masa depan untuk tantangan bersenjata dan untuk pelembagaan sebuah pemerintahan Islami.

Imam Khomeini, ketika menggambarkan peperangannya pada tahun-tahun pertama pencekikan yang dilakukan oleh Reza Khan, pada hari itu juga, mendendangkan syair sebagai berikut:

Dari kelaliman Reza Syah di manakah kita dapat berteriak.
Untuk siapa kita tangisi perbuatan setan ini.
Desah nafas yang tersisa, mereka berangus.
Kini, tidak ada desah nafas bagi kita untuk kita rengkuh.

Pada saat itu, Imam Khomeini memanfaatkan kesempatan yang berharga tersebut untuk menyusun dan menerbitkan buku, Kasyful Asrâr (Penyingkapan Rahasia-rahasia) pada tahun 1322 HS (1942) kemudian menyingkap kekejaman yang dilakukan selama dua puluh tahun oleh kekuasaan Pahlevi. Dalam membela Islam dan kaum ruhaniawan, Imam Khomeini menjawab keraguan dan skeptis mereka yang telah tersesat. Dan pada buku itu juga, ia memaparkan gagasan pemerintahan Islami dan kebutuhan pendiriannya. Pada tahun berikutnya, bulan Urdibehest tahun 1323 HS (1943), Imam Khomeini mengeluarkan deklarasi politiknya yang perdana. Di dalamnya, Imam mengajak para ulama Islam dan masyarakat Muslim untuk mengadakan perlawanan umum. Muatan dan komposisi dari deklarasi dan penyampaian-penyampaiannya ini secara jelas menunjukkan bahwa, Imam pada hari nestapa itu dan keadaan seluruh Hauzah, tidak memikirkan perlawanan yang segera. Namun, deklarasi ini diterbitkan sebagai sebuah upaya peringatan untuk membangunkan ruhaniawan-ruhaniawan muda.

Sebagaimana yang telah diramalkan, Imam tidak mendapatkan respon yang pantas atas ajakannya tersebut namun dapat menebarkan seberkas cahaya harapan kepada hati-hati pelajar Hauzah yang berkumpul di sekelilingnya dan pertemuan-pertemuan pelajarannya sebagai tempat bertemu (rendezvous) bagi jiwa dan hati yang intim. Setelah usaha-usaha terakhir ini, kedudukan politik dan pribadi Imam semakin tersohor. Kemudian, sekumpulan sahabat-sahabat yang bersimpati secara perlahan mulai terbentuk di antara murid-muridnya. Kebanyakan dari mereka yang kemudian mengorbankan jiwa mereka pada Perlawanan 15 Khurdad dan tidak menyerah dalam usaha-usaha yang dilakukan oleh Reza Khan selama masa pencekikan. Dan mereka yang selamat dari deraan dan penjara, memainkan peran mereka dalam posisi-posisi kunci dan dalam keadaan yang paling sulit setelah kemenangan Revolusi Islam. Gagasan mereformasi Hauzah didukung oleh lingkaran sahabat tadi, namun, atas alasan-alasan yang telah disebutkan, tidak mungkin di pastikan dalam keadaan seperti itu. Menurut beberapa dokumen dan buku-buku memoar yang tersedia, selama kepemimpinan Ayatullah Burujerdi, Imam Khomeini –terlepas dari kerja research-nya, kelas-kelas dan kuliah-kuliahnya dalam berbagai bidang keilmuan– mempersembahkan usahanya untuk mengadvokasikan kekuasaan marja’iyyat dan Hauzah-hauzah Ilmiah yang digunakan untuk menyampaikan informasi sosio-politik dan kemasyarakatan serta evaluasinya terhadap isu-isu harian, menyampaikan peringatan tepat pada waktunya tentang tujuan-tujuan rezim Syah dan untuk mencegah menyusupnya elemen-elemen yang lemah dan rapuh. Pada saat yang sama, Imam memelihara kontaknya dengan tokoh-tokoh politik yang memiliki popularitas di Teheran seperti tokoh ternama, Ayatullah Kasyani.

Lebih jauh, Imam Khomeini melalui jalan yang beragam misalnya mengadakan sharing pendapat pada Majlis Permusyawaratan Rakyat dan media-media massa pada waktu itu, Imam mencermati proses berlangsungnya perubahan-perubahan yang terjadi.

Ketika tersebar isu yang berhubungan dengan pembentukan sebuah Majelis Konstituante pada tahun 1328 HS (1949) untuk mengubah hukum konstitusional dan memberikan pertimbangan kepada Syah, diisukan bahwa Ayatullah al-Uzma Burujerdi memberikan perhatian dan dukungan kepada para petinggi pemerintahan. Imam Khomeini marah atas rumor ini dan memberikan peringatan kepada yang lainnya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan pribadi dan dengan menulis surat terbuka yang ditandatanganinya sendiri dengan beberapa marja’ dan ulama lainya yang dialamatkan kepada Ayatullah Burujerdi supaya memintanya untuk menjelaskan yang sebenarnya. Dalam sebuah statemennya, Ayatullah al-Uzma Burujerdi menyangkal adanya perhatian dan dukungan terhadap kasus ini. Pada saat yang bersamaan, Ayatullah Kasyani, mengeluarkan sebuah stetemen dari tempat pengungsiannya di London, yang menegaskan tentang keharusan untuk melawan keputusan baru Syah.

Ketika pemilihan ke-16 anggota parlemen, Ayatullah Kasyani terpilih sebagai seorang delegasi dari masyarakat Teheran. Aliansi dan kooperasi di antara sayap ulama penentang, Ayatullah Kasyani dan Front Nasional (Jebhe-ye Melli), memberikan dukungan besar terhadap pergerakan nasionalisasi minyak, yang menyebabkan kepada kerugian yang banyak pada pihak Syah.

Para Pembela Islam (Fadâ-iyân-e Islâm) yang mendapatkan sokongan dari Ayatullah Kasyani, membagi-bagikan beberapa pukulan, selama beberapa operasi-operasi yang tak diduga sebelumnya, kepada pemerintahan boneka. Dr. Mussadiq, pemimpin Front Nasional (Jebhe-ye Melli), memanfaatkan sokongan ini dan menjadi perdana menteri. Perlawanan pada tanggal 30 Tir 1331 HS (21 Agustus 1952), disusun di Teheran. Iran bergembira atas kemenangan nasionalisasi industri minyak yang telah lama diidam-idamkan. Namun, tidak lama setelah itu, perbedaan antara pembela Islam, Ayatullah Kasyani dan pemimpin-pemimpin Front Nasional, mencapai konfrontasi dan saling berhadap-hadapan antara yang satu dengan yang lainnya. Ayatullah Kasyani mendesakkan oposisinya untuk membayar kompensasi kepada Inggris atas industri minyak yang telah dinasionalisasikan. Ayatullah Kashani percaya bahwa Inggrislah yang harus membayar ganti rugi kepada Iran atas jarahan minyak dari mereka selama 50 tahun, bukan Iran. Sebelumnya dia telah mengingatkan Dr. Musaddiq dan bahkan mengancamnya tentang negosiasi dan kompromi yang dilakukannya dengan pihak Inggris.

Pada sisi yang lainnya, Ayatullah Kasyani juga sangat menentang penggantian Inggris oleh Amerika dan perusahaan-perusahaan Amerika dalam industri minyak dan area-area lain dalam bidang ekonomi. Sementara betapa banyak orang-orang yang menduduki pemerintahan Musaddiq secara terbuka dalam mendukung gagasan tersebut.

Berbagai bahaya dalam keikutsertaan elemen-elemen non-agamis dalam pergerakan dan memberikan kepercayaan kepada Partai Tudeh adalah termasuk salah satu poin-poin yang tidak disepakati. Karena dengan adanya otoritas perdana menteri dan pengaruh elemen-elemen yang disebutkan di atas telah menaikkan citra pemerintahan “rakyat” dan propaganda anti-agama juga semakin meningkat. Pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh partai Tudeh mencapai klimaksnya dan sayap agama dari pergerakan ini diisolasi. Amerika memanfaatkan situasi ini dengan baik dan melalui kudeta yang dilakukan pada tanggal 28 Murdad 1332 HS (19 Agustus 1953), menekan oposisi dan mengamankan kekuasaan Syah yang tidak tertantang.

Semua ini dapat disimpulkan dari pesan-pesan dan pidato-pidato Imam Khomeini yang disampaikan sebelumnya sehubungan dengan Pergerakan Nasional (Nehdat-e Melli), yang sejak semula, ia telah paham bahwa hal itu tidak akan berlangsung lama. Pergerakan Nasional meraih berbagai kemenangan yang gemilang dalam gerakan-gerakannya dalam menentang tujuan-tujuan kolonialisme. Namun, nasionalisasi industri minyak memiliki batasan laten waktu dan musim, dan dengan sendirinya tidak dapat menjamin keberlanjutan pergerakan dalam waktu yang panjang.

Gerakan sayap nasionalistik tidak bersandar sepenuhnya kepada motto-motto dan tujuan-tujuan sayap agama, yang didukung oleh masyarakat. Dengan tidak adanya kepemimpinan tunggal, adanya pengaruh dan penyusupan elemen-elemen musuh yang tidak baik, dan kurangnya tujuan-tujuan bersama dalam politik dan kebudayaan yang dapat menjamin dukungan umum seluruh masyarakat Muslim Iran dalam waktu yang lama, selain juga adanya intrik-intrik dari Amerika dan tekanan-tekanan lain dari pihak asing, juga terdapat kendala-kendala lain yang membuat keberlangsungan pergerakan ini tidak mungkin bisa diwujudkan, yang antara lain adalah Pergerakan Minyak Nasional (Nehdat-e Melli-e Naft), yang dalam skala yang lebih kecil, merupakan sebuah replika keadaan sosio-politik Pergerakan Konstituante (Nehdat-e Masyrutiyat), titik kelemahan dan kekuatan bernasib sama. Bahkan dalam sayap agama juga tidak terdapat persatuan pandangan dan tidak mendapat sokongan dari masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pembela Islam (Fadâiyân-e Islâm) dan usaha-usaha yang dilakukan oleh Ayatullah Kasyani –karena alasan-alasan tertentu– tidak didukung oleh Ayatullah Burujerdi yang kemudian menjadi Marja’ yang berkuasa. Sebagai tambahan, juga terdapat perbedaan pandangan yang semakin tajam.

Pada kondisi seperti ini, dukungan terbuka dari orang-orang seperti Ayatullah al-Uzma Khunsari di Qum, dan dukungan yang dilakukan secara implisit oleh orang-orang seperti Imam Khomeini, tidak dapat mempengaruhi perubahan dalam proses terwujudnya urusan ini.

Walhasil, sebelum masyarakat Iran dapat merasakan manisnya Pergerakan Minyak Nasional (Nehdat-e Melli-e Naft) pahitnya pengaruh-pengaruh pertikaian dan akibat-akibat peristiwa kelabu, dan akhirnya rasa kecewa dari kudeta 28 Murdad tumpah memenuhi langit-langit mulut. Pembela Islam (Fadâiyân-e Islâm) tidak diam dalam melawan mereka. Meskipun demikian, dua tahun kemudian (25 Aban 1334 HS atau 16 November 1955), dalam sebuah usaha pembunuhan yang gagal atas Husain ‘Ala, yang kemudian menjadi perdana menteri, mulai mengadakan kunjungan untuk menandatangani Pakta Baghdad (Baghdad Peymân/CENTO), mereka ditangkap dan pemimpin-pemimpin mereka setelah diadili secara rahasia dalam pengadilan militer, dikirim untuk dieksekusi oleh regu penembak pada bulan Dei 1334 HS (Desember 1955).

Usaha-usaha Imam Khomeini dan ulama-ulama lainnya tidak berhasil dalam mencegah hukuman mati ini. Peristiwa-peristiwa yang menyedihkan dan mengharu-biru ini mempengaruhi jiwa sensitif Imam Khomeini, akan tetapi peristiwa ini menjadi pengalaman berharga untuk perlawanan-perlawanan berikutnya.

Syah dan istananya kini merupakan pelayan utuh Amerika setelah kudeta, namun dalam kondisi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Pemerintahan Inggris menyerahkan kedudukannya kepada Amerika. Pembentukan Savak pada tahun 1336 HS (1958), pembredelan musuh-musuh, dan pencekikan yang meningkat, secara cepat menyediakan kondisi sosial yang menguntungkan untuk melakukan reformasi yang diadakan oleh Amerika. Selama dekade 1330-1340, Persekutuan-persekutuan Amerika memenuhi Teluk Persia dalam rangka mengambil alih posisi Inggris yang sebelumnya berkuasa. Perang dingin dan persaingan sengit antara Amerika dan Uni Soviet telah menambah sensitifitas kawasan Teluk Persia. Gedung Putih telah menjahit mata mereka pada sumber-sumber minyak Iran dan daerah-daerah sekelilingnya, serta memberikan pilihan kepada Iran atas negara-negara lainnya untuk menjadi petugas penjaga (gendarme) di Teluk Persia dan untuk melindungi kepentingan-kepentingan Barat. Amerika memiliki tujuan-tujuan lain dalam membangun jaringan dengan Syah dan menopang kekuasaannya. Konfrontasi negara-negara Islam dengan Israel tampaknya tidak dapat dihindari. Sifat bergantung Dinasti Pahlevi dan karakter Syah menghadirkan lahan yang mendukung dalam menciptakan friksi dalam dunia Islam. Minyak, juga memiliki peranan penting dalam petualangan ini. Dalam peperangan antara Israel dan negara-negara Muslim, serta adanya kekurangan energi akan menjadi tantangan yang menghadang dan menjadi sebab kekuatiran Barat. Pengembangan eksplorasi dan eksploitasi minyak di Iran dan stabilitas kekuasaan Rezim Syah akan dapat mengurangi krisis yang terjadi.

Tekstur sosial dan ekonomi agrikultural Iran merupakan kendala utama bagi Amerika untuk melakukan reformasi di Iran. Dalam keadaan seperti itu, Iran tidak memiliki Persiapan khusus untuk menyedot hasil minyak, yang peruntukannya utamanya adalah pengadaan peralatan militer Amerika dan konsumsi barang-barang Amerika.

Anggaran, rencana dan proyek-proyek untuk mengubah keadaan di Iran dilimpahkan kepada Senat dan DPR. Sesuai dengan pengakuan jujur yang kemudian dibuat oleh para pembesar rezim, dan disingkap dalam dokumen-dokumen spionase Amerika di Iran, isi dari anggaran tersebut dibuat di Amerika atau di kedutaan besarnya di Iran.

Perencanaan reformasi merupakan langkah eksperimental untuk menyiapkan lahan bagi persetujuan prinsip-prinsip yang disebut sebagai Revolusi Putih (Inqilâb-e Sefid) yang dilakukan oleh Syah. Langkah pertama yang dipilih ini merupakan sebuah langkah yang sudah diperhitungkan. Ladang reformasi dihadirkan dengan propaganda besar dan motto-motto seperti, “Perangi para tuan tanah, tuan-tuan feodal, pembagian tanah di antara para peladang dan naikkan produksi.”

Maksud oposisi di balik layar dari reformasi tanah dipandang sebagai dukungan besar terhadap para pemilik tanah dan orang-orang yang tertindas. Langkah baru Amerika dan Rezim Syah pada tahun 1340 HS bertepatan dengan dua kejadian yang menyedihkan. Pada tanggal 10 Farwardin 1340 HS, Ayatullah al-Uzma Burujerdi wafat. Khidmatnya yang begitu besar, sekaligus kepribadiannya yang ilmiah dan juga jabatannya sebagai seorang marja’ yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap agama, mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Kedudukan ini dengan sendirinya telah sekian lama menjadi batu-sandungan bagi terwujudnya tujuan-tujuan rezim Syah.

Ketiadaan Ayatullah Burujerdi dipandang sebagai kerugian yang tidak dapat dikompensasi. Pada bulan Isfand pada tahun yang sama, Ayatullah Kasyani, sang ulama pejuang, yang namanya pernah membuat badan Syah bergetar ketakutan, wafat. Setelah wafatnya Ayatullah Burujerdi, Imam Khomeini, seperti pada kesempatan sebelumnya dan pada saat menerima sambutan dari Hauzah dan rakyat, tidak mengambil sedikit pun langkah untuk menjadikan dirinya sebagai seorang marja’. Imam bahkan menolak untuk menerima saran-saran dan langkah-langkah para sahabatnya, padahal, fatwa-fatwanya tentang seluruh bagian dari kitab, Urwâtul Wutsqâ telah diselesaikan lima tahun sebelum wafatnya Ayatullah Burujerdi. Dalam tahun-tahun itu juga, Imam menulis syarah kitab Wasilatul Najat dalam bentuk tuntunan praktis (Risâlah-e ‘Amaliyah). Pandangan zuhud Imam Khomeini terhadap dunia, dan tidak bernilainya kedudukan-kedudukan tinggi dunia dapat dipahami dari karya-karya Akhlaknya yang sangat mendalam dan ‘‘Irfân yang terjelma dalam buku Empat Puluh Hadits dan Rahasia-rahasia dan Adab-adab Salat, yang telah lama ditulis sebelumnya.

Setelah wafatnya Ayatullah Burujerdi dan berakhirnya kedudukan marja’iyya-nya, rezim Syah dengan segala sikap ketergesa-gesaannya ingin melaksanakan reformasi yang dikehendaki dan disusun oleh Amerika dan memindahkan urusan marjaiyyat ke luar negeri.

Namun, rezim Syah ini melakukan kesalahan dalam kalkulasi politiknya. Anggaran yang berkaitan dengan wilayah kota dan dewan propinsi yang akan menghapus kandidat-kandidat dan syarat pemilihan para pemilih yang mensyaratkan: seorang muslim, bersumpah atas al-Qur’an dan seorang pria”, disetujui oleh kabinet yang dipimpin oleh Amir Asadullah Alam pada tanggal 16 Mehr 1341 HS (8 Oktober 1962). Hak kaum wanita untuk memilih merupakan sebuah kedok untuk menyingkap plot-plot yang lain. Penghapusan dan perubahan dari dua syarat pertama dimaksudkan untuk melegalisasi kehadiran elemen-elemen Bahai pada posisi kunci dalam pemerintahan. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu syarat dukungan Amerika terhadap Syah adalah dukungan Syah terhadap Israel dan mengharmoniskan hubungan antara Iran dan Israel. Penyusupan pengikut-pengikut kolonialisme yang berideologi Bahaisme ke dalam tiga kekuatan akan menjamin keadaan ini. Segera setelah penyiaran berita ini, Imam Khomeini disertai oleh ulama-ulama Qum dan Teheran, bertukar pandangan dan mulai memprotes draft RUU tersebut.

Peranan Imam dalam mendefinisikan tujuan asli rezim Syah dan menunjukkan peranan penting ulama dan Hauzah-hauzah sangat mujarab di bawah status-quo. Telegraf-telegraf dan surat-surat terbuka bernada protes, dikirim secara terbuka kepada Syah dan Perdana Menteri Asadullah ‘Alam, menggerakkan gelombang dukungan dalam berbagai strata masyarakat. Nada telegraf-telegraf Imam Khomeini kepada Syah dan Perdana Menterinya sangat tajam dan mengancam. Pada salah satu telegraf-telegraf itu berisikan: “Aku kembali menasehatimu untuk mentaati Allah dan mengikuti Konstitusi dan tidak melanggar perintah al-Qur’an dan fatwa-fatwa Ulama Nasional, jagalah kemuliaan kaum Muslimin, dan takutlah kepada melanggar hukum konstitusi. Jangan jatuhkan bangsamu dalam bahaya dengan sengaja dan tanpa alasan. Sebaliknya, Ulama tidak akan berhenti menyuarakan pandangan mereka tentangmu.”[15]

Pada mulanya, rezim Syah mulai ancamannya dan propaganda anti ulama. Dalam sebuah siaran radio, Perdana Menteri Asadullah ‘Alam mengumumkan, “Pemerintah tidak akan mengundurkan diri dari program reformasi yang tengah berlangsung!” Dengan adanya stetemen seperti ini, penentangan setiap hari semakin meningkat. Pasar-pasar di Teheran dan Qum dan di beberapa kota ditutup dan masyarakat berkumpul di masjid-masjid, untuk mendukung pergerakan ulama. Dalam jangka satu bulan setengah kemudian, pemerintah menarik selangkah mundur langkah-langkahnya itu, dengan mengirimkan tulisan dari Syah dan perdana menterinya, kemudian berusaha untuk memenuhi tuntutan ulama dan membenarkan mereka. Rezim Syah, dengan kesadaran penuh tentang ketidakfleksibelan pribadi Imam, secara sengaja tidak menulis surat kepadanya. Beberapa Ulama Hauzah berpikir bahwa sikap pemerintah adalah sebuah sikap yang meyakinkan dan menuntut untuk menghakhiri penentangan, akan tetapi Imam cenderung tidak menyerah. Hadrat Imam berpikir bahwa pemerintah harus secara terbuka dan resmi dalam membantah RUU Dewan Negara dan Propinsi dan mempublikasikan beritanya. Dalam sebuah statemen yang dikeluarkan untuk menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan oleh perserikatan pedagang dan peniaga Qum, Imam secara jelas menyingkap bahwa dengan menyetujui RUU ini, pemerintah bermaksud untuk membiarkan elemen-elemen Bahai dan spionase Israel masuk dalam pemerintahan Iran.

Imam menyatakan dengan tegas bahwa, “Kaum Muslimin tidak akan berdiam diri hingga bahaya-bahaya ini berlalu. Dan, seorang yang berdiam diri, mereka akan bertanggung-jawab di hadapan Allah Yang Maha Kuasa dan akan terkutuk pada kebinasaan di dunia ini.” Pada stetemennya ini pula, Imam Khomeini memberi peringatan kepada anggota-anggota Senat dan Majelis Syura ihwal pelulusan Rancangan Undang-undang ini, dan menulis, “Kaum Muslimin dan Ulama Islam hidup dan tetap akan bertahan. Mereka akan mematahkan tangan yang berkhianat kepada asas Islam dan yang melanggar keutamaan dan fadilah kaum Muslimin.”[16]

Akhirnya, rezim Syah menerima kekalahan dan secara resmi pada tanggal 7 Azar 1341 HS (28 November 1962), pemerintah membatalkan kesepakatan sebelumnya, dan memberikan kabar tersebut kepada ulama dan para marja’ di Teheran dan Qum. Pada sebuah pertemuan dengan Ulama Qum, Imam Khomeini kembali bersikeras pada posisinya dan tidak memandang cukup pembatalan Rancangan Undang-undang tersebut dan mengumumkan bahwa pergerakan akan berlanjut hingga kabar pembatalan Rancangan Undang-undang ini dipublikasikan di media massa. Pada hari berikutnya, kabar pembatalan Rancangan Undang-undang Dewan Propinsi muncul pada surat kabar nasional dan masyarakat merayakan kemenangan besar ini setelah pergerakan nasionalisasi industri minyak.

Imam Khomeini pada hari-hari kemenangan rakyat itu berkata: “Kekalahan lahir tidak begitu penting dan yang terpenting adalah kekalahan spritual. Seorang yang mempunyai hubungan dengan Allah Swt tidak akan pernah mengalami kekalahan. Kekalahan adalah bagi mereka yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan utama. Allah Swt tidak akan pernah dapat dikalahkan.

Selama dua bulan tertidur, ada beberapa malam yang di dalamnya aku hanya tidur selama dua jam…. Jika setan dari luar kembali mengancam negara, kita adalah apa yang ada pada diri kita dan pemerintah adalah apa yang ada pada pemerintah…. Memberikan nasihat adalah sebuah kewajiban. Dari Syah turun kepada tuan-tuan ini dan seterusnya hingga orang terakhir di negara ini; Ulama harus menasihati dan membimbing mereka seluruhnya.”[17]

Kemudian isu dewan negara dan propinsi merupakan kemenangan dan pengalaman berharga bagi bangsa Iran, khususnya dengan alasan bahwa sepanjang perjalanannya, mereka mengenal karakter khusus seorang pribadi yang patut menjadi seorang Pemimpin Umat Islam (Rahbar-e umat-e Islâm). Dengan adanya kekalahan yang diderita oleh rezim Syah dalam isu dewan-dewan yang telah disebutkan, tekanan Amerika untuk memberlakukan reformasi yang telah direncanakan tetap saja berlanjut. Pada bulan Januari 1962 ( Dei 1341 HS), Syah mempensiunkan enam prinsip reformasinya, dan mengusulkan sebuah referendum. Pada kesempatan ini juga, partai-partai nasionalis, menggunakan slogan, “Reformasi, Iya. Kediktatoran, Tidak.” (Ishlâhat, Âre, Diktatâr-e, Nah) memberikan kepada mereka lampu hijau. Partai komunis yang dengan menganalisa proses dialektika perubahan sistem feodal menjadi sistem industri yang berbasis pada kaum pemilik modal (kapitalis), bekerja sama dengan radio Moskow, menganggap prinsip-prinsip Revolusi Putih sebagai langkah maju. Sebagaimana orang-orang ini mengistilahkan perlawanan 15 Khurdad sebagai sebuah gerakan reaksioner, terkebelakang, dan mendukung sistem feodal.[18]

Pada kesempatan lain, Imam Khomeini kembali mengadakan pertemuan dengan para marja’ dan ulama Qum untuk mengkonsultasikan dan kemungkinan akan adanya sebuah perlawanan selanjutnya. Perlawanan tidak dikehendaki oleh mereka yang di dalam benaknya memandang marjaiyyat hanyalah sebagai sebuah medium yang secara diam-diam berhubungan dengan urusan-urusan biasa keagamaan masyarakat dan tidak memikul tanggung-jawab terhadap masalah-masalah komunitas Islam. Meskipun tujuan-tujuan di balik reformasi dan referendum nampak jelas bagi pribadi Imam dan konfrontasi merupakan keharusan yang tidak mungkin dapat dihindari, namun konsensus bersama pada pertemuan itu adalah untuk mendiskusikan masalah dengan Syah dan mencari tahu motif-motifnya. Mereka berdua masing-masing saling bertukar pesan melalui pengiriman delegasi-delegasi dalam berbagai tingkatan. Syah, pada pertemuannya dengan Ayatullah Kamalvand, telah mengancam bahwa reformasi harus diberlakukan walaupun dengan menumpahkan darah dan merusak masjid-masjid.[19]

Pada pertemuan berikutnya dengan Ulama Qum, Hadrat Imam meminta pemboikotan secara resmi terhadap referendum yang diusulkan oleh Syah, tetapi orang-orang konservatif yang hadir dalam pertemuan itu beranggapan bahwa peperangan pada keadaan ini adalah bagaikan pistol air yang berhadapan dengan mesiu dan tidak akan menmberikan manfaat sedikit pun! Akhirnya, desakan Imam bahwa ulama dan marâji’ menyatakan dengan terbuka penentangan mereka terhadap referendum dan secara tegas memboikot untuk ikut serta di dalamnya, disetujui. Hadrat Imam mengeluarkan sebuah deklarasi pada tanggal 2 Bahman 1341 HS (22 Januari 1963).[20] Pasar di Teheran ditutup dan anggota polisi menyerang setiap perkumpulan yang diadakan oleh masyarakat.

Pada awal-awal diberlakukannya referendum itu, penentangan masyarakat mencapai klimaksnya. Syah dengan terpaksa mengadakan kunjungan ke Qum pada tanggal 4 Bahman untuk mengurangi rentang penentangan ini. Jauh sebelumnya, Imam Khomeini telah menentang adanya usulan untuk mengadakan pertemuan antara Syah dan kaum Ruhani. Imam bahkan memboikot keluarnya orang-orang dari rumah-rumah dan madrasah-madrasah mereka pada hari kedatangan Syah di Qum. Pengaruh dari pemboikotan ini sedemikian hebat sehingga tidak hanya ruhani dan masyarakat saja yang tidak menjemput kedatangan Syah tiba di Qum, namun juga penjaga amanah dan pengawas Haram Hadrat Ma’sumah, yang dipandang memiliki kedudukan pemerintahan tertinggi di kota ini. Sikap yang ditunjukkan oleh pengawas tersebut harus dibayar dengan kehilangan kedudukannya. Syah dalam pidatonya di hadapan para agen rezimnya yang menyertainya dari Teheran ketika dia datang ke Qum menyampaikan kemarahannya dengan ungkapan-ungkapan yang sangat tidak senonoh kepada ruhaniyat dan rakyat. Dua hari berselang, referendum yang melanggar aturan itu dan yang tidak mendapatkan dukungan kecuali oleh para agen rezim, diberlakukan. Namun sayang tidak satu orang pun yang menghadirinya kecuali antek-antek rezim. Media massa rezim Syah, secara berulang-ulang melalui telegraf menyampaikan ucapan selamat kepada Amerika dan para petinggi pemerintahan Eropa. Ucapan selamat ini adalah upaya rezim untuk menutupi kehinaan akibat tidak dari berpartisipasinya rakyat dalam referendum. Namun, Imam Khomeini, melalui ceramah-ceramah dan statemennya, tetap saja menyingkap kebenaran kisah tersebut. Salah satu statemennya yang terkenal sebagai “Manifesto Sembilan Tanda Tangan” (A’lameye-e Nuh-e imdâ).[21] Manifesto ini tajam dan sangat rasional. Sembari menghitung tindakan-tindakan illegal Syah dan pemerintahan bonekanya, manifesto yang menggambarkan kemunduran industri agrikultur dan kejatuhan kemerdekaan negara sekaligus menunjukkan korupsi dan prostitusi sebagai hasil konklusif “Reformasi Kerajaan” (Ishlâhat-e Syahaneh).

Dengan usulan Imam Khomeini, festival tradisional Nuruz (tahun baru) 1342 diboikot sebagai sebuah bentuk protes kepada aksi-aksi rezim. Dalam manifesto yang disebutkan, yang juga menyingkap terjalinnya Syah dengan tujuan-tujuan Amerika dan Israel, Imam menunjukkan Revolusi Putih Syah sebagai “Revolusi Hitam.” Imam mengumumkannya dalam manifestonya, “Aku melihat jalan keluar untuk menjatuhkan pemerintahan despotik ini dengan tuduhan melanggar prinsip-prinsip Islam dan Konstitusi. Dan sebuah pemerintahan yang didedikasikan kepada hukum-hukum Islam dan memperhatikan bangsa Iran sebagai gantinya. Allahumma Sesungguhnya aku telah menjalankan tugasku, Demi Allah, Aku telah menyampaikan pesan Mu– dan jika aku selamat, dengan kehendak-Nya, Aku akan menjalankan tugas-tugasku selanjutnya.”[22]

Di sisi lain, Syah telah meyakinkan petinggi Amerika di Washington ihwal kesiapan masyarakat Iran untuk melaksanakan reformasi yang dirancang oleh Amerika dan menamainya dengan “Revolusi Putih.” Perlawanan ulama pada reformasi-reformasi merupakan beban yang sangat berat yang harus dipikul di pundak Syah dan membuat dia memulai propaganda yang tersebar di berbagai negeri menentang ruhani dan pribadi Imam Khomeini. Syah telah memutuskan untuk menekan perlawanan. Pada tanggal 2 Farwardin 1342 HS (22 Maret 1963) yang bertepatan dengan syahadahnya Imam Ja’far Sadiq As –antek-antek bersenjata rezim, menyamar sebagai masyarakat sipil, membubarkan sebuah perhimpunan pelajar agama di Madrasah Faiziyah. Kekuatan polisi yang bersenjata lengkap, tumpah dan mulai menghajar dan membantai para pelajar agama (talabeh). Pada saat yang sama, Madrasah Talebiyeh di Tabriz diserang oleh antek-antek pemerintah. Di tengah-tengah kejadian-kejadian ini, rumah Imam Khomeini setiap harinya menerima amarah rakyat yang membludak dan kekuatan revolusioner yang berkumpul di tempat itu untuk menyampaikan simpati dan dukungan mereka kepada ulama, dan mengamati tanda-tanda kejahatan yang diperbuat oleh rezim, datang ke Qum.

Pada perhimpunan rakyat di masjid-masjid, Imam Khomeini, tanpa memperdulikan pribadi Syah, menyebutnya sebagai dalang sesungguhnya atas tindak kejahatan yang terjadi. Imam menamai Syah sebagai seorang sekutu Israel.

Dalam sebuah ceramah yang disampaikan pada tanggal 1 April 1963 (12 Farwardin 1342 HS), Imam Khomeini menyampaikan pidato yang ditujukan kepada ulama di Qum, Najaf, dan di berbagai tempat lain, atas diamnya mereka dalam menghadapi kejahatan rezim yang tengah berlangsung dengan mengritik dan berkata, “Hari ini, diam berarti kerjasama dengan tiran.”[23]

Pada hari berikutnya, 13 Farwardin 1342 HS (2 April 1963), Imam mempublikasikan statemennya yang terkenal, diberi judul: “Menjadi orang kerajaan berarti menjadi seorang penjarah.” Dalam statemennya ini, yang merupakan pengumuman politik Imam yang paling mendadak, rezim Syah diseret ke pengadilan dan pada akhirnya ditekankan bahwa dalam keadaan seperti ini taqiyyah dilarang dan menyatakan kebenaran adalah wajib apapun yang akan terjadi-. Pada statemen inilah Imam, mengalamatkannya kepada Syah dan antek-anteknya, telah menulis, “Aku kini telah mempersiapkan hatiku untuk dibayonet oleh antek-antekmu namun aku tidak bersedia menerima ancamanmu, aku juga tidak akan tunduk kepada kezalimanmu.”[24]

Imam Khomeini telah memilih jalannya dengan penuh sadar. Di belakangnya adalah pengalaman politiknya yang pahit dan manis dalam perjuangan. Sedangkan di hadapannya terhampar kejadian-kejadian yang mengerikan dan sebuah jalan yang penuh dengan resiko.

Namun, dia tidak tunduk kepada masa lalu dan juga tidak menyerah kepada masa depan. Imam sadar akan tugas keagamaannya (taklif) dan slogannya adalah “Tunaikan tugasmu, apapun yang terjadi.” Dalam logika Imam arti kekalahan dan kemenangan adalah lain dari dari apa yang biasanya didefinisikan oleh politikus-politikus profesional.

Banyak kata-kata terkenal dari sosok para pejuang dan politikus yang memasuki arena perjuangan –apapun motif atau alasannya– lalu memandang peran, dan pribadi mereka dalam membentuk jalan perjuangannya. Bertentangan dengan sosok-sosok seperti itu, Imam Khomeini memasuki peran kepemimpinan Revolusi Islam pada tahun 1342 HS (1963), sementara pada tahun sebelumnya dia telah menyelesaikan tingkatan-tingkatan purifikasi ego, jihad akbar, pencapaian ketinggian akhlak dan ilmu sejati pada level yang tertinggi. Imam dipandang sebagai terdepan dalam pembangunan batin manusia, terdepan dalam jihad batin atas jihad lahir. Dalam hubunganya dengan masalah ini, Imam berkata, “Belajar ilmu yang beragam, bahkan ilmu tauhid, tidak berarti apa-apa melainkan hanyalah akan menjadi sebuah hijab dan tidak akan menuntun kepada kebenaran kecuali jika berhubungan dengan tazkiyatun nafs (purifikasi jiwa).” Kata-kata keras Imam dalam statemennya yang bertanggal 13 Farwardin 1342 HS dan dalam statemen yang similiar –yang melimpah dalam karya-karyanya– tidak hanya dalam bidang politik, didesain untuk mengeluarkan musuh dari panggung. Sebaliknya, karya-karya tersebut adalah kenyataan yang melahirkan kedalaman kepribadian yang memandang dunia sebagai tempat tajaliyyat Tuhan (tempat penampakan Tuhan). Imam tidak memiliki permusuhan dengan Syah, Saddam, Carter, Reagan dan yang lainnya yang ia hadapi selama masa perjuangannya. Imam juga tidak mempunyai musuh pribadi dan juga tidak mempunyai rasa dendam. Dalam benak Imam Khomeini reformasi masyarakat adalah membebaskan manusia dari dominasi antek-antek Syaitan, mengembalikan manusia kepada identitas fitri aslinya yaitu Ilahi dan mempunyai rasa kasih sayang. Dari sudut pandang inilah Imam memandang perjuangannya. Imam meyakini prinsip-prinsip ini dalam dirinya dan mengamalkannya sebelum mengajak orang lain untuk melakukannya. Rahasia kesuksesan Imam Khomeini harus ditemukan dalam perjalanan panjangnya melawan ego (nafs) dan pencapaian ma’rifat syuhudi-nya. Tidak mungkin kita memahami tujuan dan motif perjuangan politik Imam Khomeini tanpa memikirkan tingkatan-tingkatan kepribadian ruhiyah, maknawi, dan ilmu nya.

Dunia telah memiliki pejuang-pejuang revolusioner yang tersohor di seantero jagad, tetapi apa yang membuat prestasi dan membedakan revolusi Imam Khomeini dan menjalinkannya dengan gerakan-gerakan para nabi (anbiya) Ilahi adalah kenyataan pribadi yang mengusung Revolusi Islam pada abad ke-20.

Kenyataan ini sesuai dengan pengakuan seluruh orang-orang yang dekat dengannya, selama masa hidupnya Imam Khomeini tidak pernah sekali pun meninggalkan salat malamnya walaupun hanya satu malam saja dan juga tidak pernah meninggalkan munajat hariannya, apatah lagi kewajiban-kewajiban agamanya.

Imam adalah seorang pria yang memotong perekaman terhadap interview terakhirnya ketika ia menjalani hari-hari akhir kehidupannya di Neauphle-le Château, Paris -sebelum meninggalkan Perancis untuk menuju ke Iran-, dengan ratusan wartawan dan fotografer yang datang dari seluruh penjuru dunia, Imam meninggalkan mereka untuk menunaikan salat, padahal ketika itu wawancara baru dimulai, karena pada waktu itu adalah waktu untuk menunaikan salat.

Rahasia menakjubkan dari pesan-pesan Imam Khomeini dan ucapan-ucapannya tentang jiwa pada ceramah-ceramahnya, hingga pada batas pengorbanan hidup. Kejernihan pikirannya dan kemurnian kebenaran serta ketakwaannya.

Salah satu corak tentang kekhususan garis kebijakan politiknya pada setiap perjuangan, mengadopsi kedudukan yang jelas dan tetap, dan kebulatan tekadnya dalam menindak-lanjuti tujuan-tujuan, sebagaimana yang telah diakui oleh kawan-kawan dan lawan-lawannya, adalah di antara fitur keagungan pergerakan Imam Khomeini. Pengkajian statemen yang dilontarkan Imam dan sikap politiknya selama seluruh masa perjuangannya melawan Syah dan Amerika serta perbandingannya dengan kondisi-kondisi jiwa, politik, parta-partai, dan kelompok-kelompok, dengan jelas menunjukkan adanya perbedaan prestasi Imam Khomeini dan loyalitasnya terhadap tujuan-tujuan serta dalam melanjutkan resolusi gerkannnya, dengan yang lainnya.

Dokumen-dokumen dan catatan-catatan sejarah menjadi saksi ihwal bagaimana awal-awal perjuangan pada 1340-1342 HS, kelompok-kelompok dan pribadi-pribadi religius dan politis memasuki medan pertempuran, bahkan dalam beberapa perkara mereka menduduki bagian yang termasuk merupakan kawasan yang paling bahaya, akan tetapi, mereka mundur ketika berkonfrotasi pertama kalinya dengan rezim Syah. Beberapa di antaranya memilih untuk mengisolasikan diri mereka dan diam untuk beberapa lama; hal ini berlangsung hingga hari-hari ketika perjuangan kembali mencapai puncaknya pada tahun 1357 HS dan Revolusi Islam meraih kemenangan. Dan beberapa yang lainnya, bergerak dengan cepat untuk mengambil jarak dari garis kepemimpinan; alih-alih untuk berperang melawan kolonial, mereka bahkan mencampuri kebijakan politik Amerika dan menentang eksistensi sistem monarki dan rezim Syah yang digunakan sebagai alat-alat dominasi asing, mereka sibuk dengan diri mereka sendiri dengan slogan-slogan seperti “Pemilihan-Bebas” dan “Pelaksanaan Konstitusi Monarki”. Bukan rahasia bagi mereka yang sadar dan mengetahui isu-isu sejarah kontemporer Iran pada masa itu, menyuarakan slogan-slogan yang tidak dapat menghasilkan sesuatu, melainkan penyimpangan dari alur perjuangan rakyat dalam menentang antek-antek yang sesungguhnya. Atas alasan ini, Savak Syah (agen rahasia) dengan kelihaiannya mengambil manfaat untuk mendukung keadaan dan kecenderungan ini. Dan, di tengah-tengah semua ini, hanya Imam Khomeini dan sahabat-sahabatnya yang percaya kepada Imam dan jalannya, yang tidak pernah mundur dan tidak pernah menyerah terhadap keadaan mereka sepanjang masa perjuangannya. Meskipun terhimpit kesulitan-kesulitan, masing-masing dapat menjadi sebuah pembenaran untuk merubah posisi dan memilih untuk bersikap diam, mereka bersiteguh pada tujuan-tujuan tersebut dan berkorban sebagaimana yang mereka umumkan pada awal-awal perjuangan. Keteguhan dan ketegaran seperti ini tidak akan mungkin dapat terwujud kecuali beriman kepada prinsip dan kebenaran, jauh dari tuntutan-tuntutan sosio-politik pada hari itu.

Tahun 1342 HS diawali dengan sebuah boikot acara Nuruzz (tahun baru Syamsiah) dan diwarnai dengan darah dari orang-orang tertindas di Madrasah Faiziyah. Syah bersikeras untuk melaksanakan reformasi yang telah dicanangkan oleh Amerika sedangkan Imam Khomeini bersikeras untuk mencerahkan dan menggoyang masyarakat supaya bangkit untuk melawan intervensi Amerika dan pengkhianatan yang dilakukan oleh Syah. Pada tanggal 14 Farwardin 1342 HS, Ayatullah al-Uzma al-Hakim, melalui telegraf yang ia kirim dari Najaf, yang dialamatkan kepada ulama dan para marja’, meminta supaya mereka mengemas barang dan berhijrah ke Najaf. Usulan ini dibuat untuk melindungi kelangsungan hidup para ulama dan mengamankan Hauzah Ilmiah. Rezim Syah, dengan mengambil tindakan tertentu, menunjukkan kemarahannya terhadap dukungan Ulama Najaf dan Karbala serta dukungan dari Ayatullah Hakim atas perjuangan Ulama Iran. Rezim Syah, dalam rangka menciptakan ketakutan dan mencegah tanggapan ulama terhadap telegraf Ayatullah Hakim, mengirim pasukan ke Qum. Dan pada saat yang tidak berbeda mengutus delegasi pergi ke kediaman para marja’ taklid untuk memberitahukan ancaman dari Syah. Imam Khomeini menolak untuk menerima delegasi ini. Selang beberapa waktu kemudian, Imam Khomeini dalam ceramahnya (12 Urdibehsyt 1342 HS), menanggapi isi telegraf tersebut dan dengan menyebut Syah sebagai “mardak” orang kecil (sebutan ini pada masyarakat Iran merupakan sebutan paling kasar, pejoratif. Imam hanya sekali ini saja berkata-kata kasar kepada seseorang semasa hidupnya, penj.), Imam berkata: “Mardak (orang kecil) ini mengutus kepala polisinya, seorang kepala pemerintah yang pendengki, pendendam dan penjahat ini, ke kediaman para ulama. Aku tidak memberi jalan kepada mereka untuk masuk, oh… seandainya aku beri kesempatan kepada mereka pasti akan aku hajar mulutnya; Mereka mengirim antek-anteknya ke kediaman para ulama untuk menasihati mereka bahwa Yang Mulia (Syah) telah berkata: “Jika kalian berkata urusan ini dan urusan itu, rumah kalian akan diledakkan kemudian akan jatuh menimpa kepala kalian. Kami akan membunuh kalian dan merampas kehormatan wanita-wanita kalian.”

Yang Mulia Imam Khomeini mengabaikan ancaman ini, dan menjawab telegraf dari Ayatullah Hakim yang menekankan bahwa hijrah ulama secara kolektif untuk meninggalkan Hauzah Ilmiah dalam keadaan kosong dan tak-terurus, tidaklah akan membawa kepada kemaslahatan. Dalam salah sebagian jawaban telegrafnya, Imam menulis, “Kami Insya Allah akan menjalankan tugas Ilahi kami dan meraih salah satu dari dua hal yang baik: Entah kami mendera tangan-tangan yang mengkhianati Islam dan al-Qur’an, atau kami akan bergabung dengan Sang Pencipta. Sesungguhnya, Aku tidak melihat kematian kecuali kebahagiaan. Dan hidup bersama para penindas tidak lain adalah kehinaan.”[25]

Dalam sebuah pesan yang bertanggal 22 April 1963 (12 Urdebehesyt 1342 HS), pada acara 40 hari tragedi kehancuran Madrasah Faiziyyah, Imam Khomeini menekankan bahwa ulama dan rakyat Iran harus bergandeng-tangan, bekerja sama dengan para pemimpin Muslim dan negara-negara Arab untuk menghadapi, melawan dan mengutuk perjanjian antara Syah dan Israel.[26] Lalu dari permulaan perjuangannya, Imam mendemonstrasikan bahwa pergerakan Islam di Iran tidak terlepas dari kepentingan umat Islam. Bahkan, perjuangannya merupakan gerakan reformatif pada seluruh dunia Islam dan tidak hanya terbatas di negara Iran saja. Dalam sebuah surat kepada ulama, Yang Mulia, Imam menulis, “Bahaya Israel bagi Islam dan Iran adalah sangat dekat. Kesepakatan dengan Israel melawan pemerintahan-pemerintahan Islam entah akan berakhir atau akan segera dimulai… dengan sikap diam, dan penarikan diri akan menyebabkan kita kehilangan segalanya. Islam mempunyai hak atas kita, demikian pula Nabi Muhammad Saw juga mempunyai hak atas kita. Pada masa menghadapi dekadensi ini, Ulama Muslim dan mereka yang terikat dengan agama kudus ini harus menunaikan tugas mereka. Aku telah memutuskan untuk tidak berhenti hingga aku dapat membuat sistem korup ini berakhir…”[27]

Catatan Kaki:
[1] Dinasti Qajar memerintah Iran kurang lebih satu setengah abad, dimulai sejak tahun 1193-1344 HS (1779-1925 M). Selama kepemimpinan mereka, Iran ditinggal oleh pesatnya peradaban dunia dalam berbagai bidang; sosial, budaya dan politik. Sebagaimana kesepakatan-kesepakatan irrasional yang diikat mereka dengan bangsa-bangsa super power saat itu, telah mempermalukan dan mencoreng lembaran sejarah Iran. Secara umum, dapat dikatakan bahwa era Qajar adalah era awal masuknya pengaruh barat di Iran.
[2] Gerakan Tembakau adalah sebuah pergerakan yang terjadi di Iran pada tahun 1308-1309 HS/1891 M gerakan yang memprotes permit/kongsi produksi tembakau Iran kepada salah satu perusahaan Inggris, itu merupakan perlawanan pertama Iran modern, yang di akhiri dengan kesuksesan. Kaum pemerotes dapat mewujudkan apa yang mereka harapkan yaitu pembatalan kongsi tersebut. Fatwa Ayatullah Mirza Muhammad Hasan Syirazi tentang pengharaman mengkonsumsi tembakau memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengkonsolidasi persatuan para ulama dan umat serta mengokohkan kekuatan dan kesolidan mereka dalam melanjutkan perlawanan mereka. Dan hasil dari perlawanan yang berkesinambungan tersebut memaksa Nasiruddin Syah untuk membatalkan kesepakatannya dengan perusahaan Inggris.
[3] Sayid Jamaluddin Asad Abadi atau yang lebih dikenal dengan Afgani (1254-1314 H), merupakan salah satu ulama yang paling menonjol dan bersinar pada paruh kedua dari abad ke-19 Masehi. Ia dikenal dengan buah pikir yang brilian, kesadaran dan pengamatannya yang tajam dalam bidang politik, sosial dan filsafat. Seorang figur penentang kekuasaan sistem demokrasi di negara-negara timur dan sosok pemersatu umat Islam. Ia juga mendirikan “Ittihad Islâmi” dan menceburkan diri dalam pertikaian sengit melawan politik imperealis Inggris dan kediktatoran kerajaan Utsmaniyah. Dan untuk mewujudkan tujuan dan cita-citanya beliau berpindah-pindah dari negara satu ke negara yang lain.
Di Paris, Afgani menerbitkan sebuah surat kabar bernama “al-Urwatul Wutsqa” yang merupakan mimbar dan corongnya dalam menentang penjajahan Inggris di timur. Ia juga memiliki aktifitas politik di Kairo, Istanbul, India dan Afganistan yang sangat berpengaruh bagi masyarakat. Afgani bertolak ke London setelah diasingkan oleh Raja Nasiruddin untuk kedua kalinya pada tahun 1306 H. Di sana, ia menerbitkan sebuah surat kabar bernama “Dhiyaul Khafiqain” dalam dua bahasa; Inggris dan Arab, hanya saja ia terusir kembali dan terpaksa keluar dari Eropa dan pergi ke Istambul. Di sana atas hasutan dan provokasi pemerintah Iran akhirnya Afgani ditangkap lalu dijebloskan ke dalam penjara sampai meninggal pada tahun 1314 H.
[4]. Mudhafaruddin Qajari: adalah raja ke lima dari Dinasti Qajar. Dia memerintah Iran selama 11 tahun. Ketidaklayakannya dalam memimpin terpaksa harus dibayar dengan mahal oleh bangsanya. Berkali-kali dia melancong ke Eropa yang memaksanya untuk meminjam sebanyak dua kali kepada Uni soviet sebagai “ongkos” tour dan tamasyanya di Eropa. Akhirnya, akibat dari pinjaman tersebut dia menyerahkan urusan bea cukai jalur utara Iran dan memberikan izin kepada Rusia untuk mengambil ikan di lautan Khazar. Ia juga menyerahkan urusan bea cukai jalur selatan negaranya kepada Inggris, setelah pinjaman yang didapatkan dari mereka. Hal tersebut jelas membuat Iran pailit dan berekor kepada munculnya pergerakan Dasturiyah yang memaksanya – akibat tekanan dari kalangan pendukung kebebasan di tahun 1906 M / 1324 H – mengeluarkan keputusan untuk merubah sistem kerajaan diktatoris menjadi sistem kerajan masyruthah. Dan setelah dia menanda tangani surat keputusan tersebut yang dikeluarkan oleh Majlis Permusyawaratan Nasional, dia pun meninggal dunia pada tahun itu pula.
[5] Ayatullah Hairi Yazdi (1276-1355 HS) merupakan salah satu faqih besar dan marja’ agung Syi’ah di abad 14 hijriyah. Setelah menamatkan pelajaran-pelajaran dasar, ia pergi ke dua kota; Najaf dan Samarra’ di Irak. Di sana berguru kepada ulama-ulama masyhur. Ia kembali ke kota Arak tahun 1332 HS untuk mengajar di Hauzah setempat. Dan pada tahun 1340 HS pergi ke kota Qum dan menetap di sana sebagai sebuah bentuk kecintaannya kepada para ulama, yang pada akhirnya mendirikan sebuah Hauzah Ilmiah di sana. Telah banyak para ulama yang meminum keluasan dan kedalaman ilmunya, yang pada puncaknya adalah Imam Khomeini Ra sendiri.
[6] Ayatullah Sayid Husain Ali Taba’tabai Burujerdi Ra, di kota Burujurd tahun 1292 HS, setelah dia menamatkan pelajaran dasar ilmu di Hauzah setempat, ia pindah ke kota Isfahan untuk melanjutkan pelajaran di Hauzah sana seperti Fiqh dan Usul, kemudian ia pergi ke Najaf tahun 1319 HS dan di sana selama 8 tahun belajar dan mengajar. Imam kembali pada tahun 1328 HS kemudian ke kota Masyhad dan akhirnya pergi ke kota Qum untuk menetap di sana. Setelah wafatnya Sayid Abul Hasan Isfahani, Ayatullah Burujerdi menjadi marja’ agung. Ia wafat pada tahun 1380 HS dalam usia 90 tahunan. Ia meninggalkan beberapa karangan dan karya dalam Filsafat, Logika, Fiqh, Usul dan ilmu Rijal.
[7] . Syahid Muthahhari, seorang ruhani pejuang terkemuka yang memberikan jasa yang melimpah untuk membangkitkan generasi muda yang revolusioner di kampus dan di majelis. Meskipun bertahun telah berlalu semenjak syahadahnya, tulisan-tulisannya masih segar membawakan ide-ide segar yang membimbing kaum muda yang berdedikasi. Pada tahun 1357 HS, pada puncak perlawanan masyarakat Iran terhadap rezim Syah, Professor Muthahhari ditunjuk oleh Imam Khomeini, Pemimpin Agung Revolusi, sebagai Presiden Dewan Revolusi Islami. Filosof Muslim dan cendekia peneliti (alim muhaqqiq), dibunuh pada Urdibehesyt 1358 HS/April 1979, ditangan antek-antek asing, dan mereguk cawan syahadah.
[8] . Syahid Dr. Muhammad Husain Behesyti terhitung sebagai seorang ruhani pejuang dan sosok politisi-ilmuwan Revolusi Islam. Sentuhan manajerialnya dalam mengorganisir kekuatan revolusioner dalam kerangka sebuah organisasi yang bernama “Hizb Jumhuri Islami” (Partai Republik Islam) berperan sangat efektif dalam menetralisir plot-plot musuh selama beberapa bulan pertama kemenangan Revolusi. Syahid Behesyti merupakan orang pertama yang ditunjuk sebagai Ketua Mahkamah Agung oleh Imam Khomeini untuk merubah masalah peradilan di dalam negeri. Sosok politisi ulung ini, mencapai syahadah tatkala terjadi peledakan bom pada markas Hizb Jumhuri Islami pada bulan Syahriwar 1360 HS/September 1981, bersama dengan sejumlah besar petinggi Republik Islam Iran. Peristiwa ini didalangi oleh MKO (Mujahidin Khalq Organisation) yang menyusupkan orang ke dalam sekretariat partai tersebut. Syahid Behesyti meninggalkan banyak karya-karya tulis dan telah banyak diterbitkan.
[9] . Sahifeh-ye Nur, jilid 12, h. 136
[10] . Idem., jil. 10, h. 163
[11] . Idem, jil. 16, h. 92
[12]. Imam Khomeini Ra dalam pidato-pidatonya menyinggung bahwa ia melihat dari dekat sebagian sidang-sidang Majelis Syura Melli (semacam MPR, penj) pada masa Reza Khan dan mengetahui proses berlangsungnya bagaimana front-front politik pada masa itu dan penentangan dari Mujahid Besar Ayatullah Mudarris terhadap Reza Khan pada sidang Majelis.
[13] . Ma’muriyat barâye Watânam hal. 88 & 89. Syarkat-e Sahami Kitabha-e Jibiy, cet. Ke-3, 1350 HS
[14] . Kautsar… Syarh Waqâye-‘e Inqilâb-e Islâmi, jilid 3, h. 69
[15] . Diwân-e Imâm Khomeini, Cet. Ke-3, Bag. Dhamiyih
[16] . Sahifeh-ye Nur, jilid 1, h. 15
[17] . Idem, h. 33
[18] . Idem., h. 16
[19] . Radio Moskow pada malam 16 Khurdad, perlawanan rakyat dan umat Islam pada tanggal 15 Khurdad, memberikan komentarnya sebagai berikut, “Unsur-unsur reaksioner Iran yang kecewa dengan reformasi-reformasi di negara ini khususnya reformasi lahan pertanian (islâhat-e irda) serta terhadap penambahan gaji sosial dan penyebaran kebebasan wanita Iran, mereka tidak melihat kecendrungan terhadap masalah ini. Hari ini di Teheran, Qum dan Masyhad mengadakan demonstrasi-demonstrasi di jalanan. Kekacauan tercipta dikarenakan oleh ulah beberapa orang yang bermaksud menentang reformasi pemerintahan Iran yang dapat dilaksanakan dan atau program-program yang tersedia di tangan mereka. Para pemimpin dan penggerak utama gerakan ini adalah sebagian dari para pemimpin religius dan unsur-unsur reaksioner. Mereka membakar pasar-pasar, menyerang dan menjarah beberapa toko, Merusak mobil-mobil dan bus-bus dan menyerang beberapa kantor pemerintahan. Surat kabar Izuwastia, surat kabar pemerintahan Soviet pada tanggal 17 Khurdad 1342 HS (7 Juni 1963) menulis, “…di kota-kota seperti Teheran, Masyhad, Qum dan Rei dengan pancingan beberapa orang ruhaniawan reaksioner Muslimin tercipta kekacauan dan huru-hara.”
Pencari huru-hara menggunakan dana pemerintah semenjak hari-hari suram yang sudah dirancang untuk berperang melawan reformasi dan beberapa pemuda yang puritan dan terbelakang merusak beberapa toko dan mobil.
Pada majalah Asr-e Jadid (Era Baru) yang beredar di negara (eks) Soviet juga menulis, “Khomeini dan para pendukungnya yang Mukmin bangkit melawan pemerintah dan menuntut persamaan hak wanita dan pada hasil propaganda mereka yang buta karena sikap fanatik tumpah-ruah ke jalan dan menciptakan kekacauan dan huru hara.” Sesuai dengan nukilan dari, Barrasi wa Tahlili az Nehdat Imâm Khomeini, jilid 1, h. 515).
[20] . Idem., h. 223
[21] . Sahifeh-ye Nur, jil. 1, h. 39
[22] . Dalam lembaran manifesto ini, terdapat beberapa nama yang membubuhkan tanda tangan mereka, antara lain: Murtada Husaini Langarudi, Ahmad Husaini Tehrani, Muhammad Husain Tababa’i, Muhammad Musa Yazdi, Muhammad Rida Musawi Gulpaigani, Sayid Kazim Syariatmadari, Ruhullah Musawi Khomeini, Hasyim Amuli, Murtada Hairi. Keseluruhan teks manifesto ini disertai dengan penjelasan ihwal bagaimana kesepakatan ulama untuk menandatangani manifesto tersebut pada kitab Barrasi wa Tahlili Nehdat Imâm Khomeini, jilid 1, h. 294-302.
[23] . Sahifah-e Nur, jil. 1, h. 27
[24] . (Kautsar, Syarh Waqâye’ –e Inqilâb-e Islâmi), jil. 1, h. 67
[25] . Sahifah-ye Nur, jilid 1, h. 39
[26] . Tulisan telegraf dan penjelasan peristiwa lihat dalam kitab Barrasi-e wa Tahlili-e az Nehdhat-e Imam Khomeini, jilid 1, h. 398-405
[27] . Sahifeh-ye Nur, jilid 1, h. 46


6. Partai-partai dan Kelompok-kelompok Politik (semenjak Perlawanan 15 Khurdad hingga Kemenangan Revolusi Islam)

Pergerakan utama politik dan perjuangan rakyat Iran setelah Perlawanan 15 Khurdad, yang berakhir hingga kemenangan Revolusi, adalah orang-orang non-partisan, ruhani yang mendorong diri mereka sendiri, yang meyakini jalan Imam.

Mereka menyelenggarakan perjuangan dengan menggunakan basis keagaaman mereka di antaranya massa, dan melalui hubungan yang mereka jalin dengan masyarakat dari strata yang berbeda –baik di kota maupun di daerah pedesaan; mereka mengusung perjuangan. Sesuai dengan model dan bentuk yang dianjurkan oleh Imam pada setiap interval. Ada pelarangan untuk berceramah di atas mimbar, pengasingan yang diadakan kembali ke daerah terpencil, keseringan pemenjaraan, diikuti dengan deraan dan siksaan dan syahadah di penjara-penjara Syah. Semua ini adalah nasib yang telah disambut oleh para ruhaniawan, pada tahun-tahun setelah Perlawanan 15 Khurdad, ketimbang menyerah dalam memenuhi tujuan-tujuan mereka.

Di sisi lain, setelah Perlawanan 15 Khurdad 1342, sejumlah masyarakat religius Teheran (utamanya adalah tokoh-tokoh agama dan bisnis), yang meyakini imamah, membentuk sebuah grup yang bernama “Koalisi Masyarakat Islam” (Haeatha-e Mu’talefe-e Islami). Organisasi yang berbasis cabang militer ini bertindak sebagaimana yang dilakukan oleh Fadaiyân-e Islâm. Pembunuhan Perdana Menteri Hassan ‘Ali Mansur yang membuat pelulusan rancangan undang-undang kapitulasi dijalankan oleh koalisi masyarakat ini. Rezim Syah menangkap dan mengeksekusi beberapa tokoh penting koalisi masyarakat ini dan anggota-anggota lainnya kemudian dijebloskan ke penjara untuk masa yang lama. Keanggotaan dan kesetiaan terhadap masyarakat ini memainkan peranan yang efektif selama masa perjuangan dalam mencetak dan mendistribusikan pengumuman Imam Khomeini, dan dalam menyusun protes-protes pasar dan peniaga hingga pada akhir hayat rezim Syah. Mereka memiliki saham yang berharga dalam mengatur demonstrasi dan pemogokan. Partai Nasional Islam dibentuk oleh ruhani kampus dan strata lain, setelah Perlawanan 15 Khurdad dengan motif untuk melakukan pertempuran bersenjata melawan rezim, dan mulai mengumpulkan senjata dan menggembleng orang-orangnya. Bagaimanapun, setelah beberapa waktu, organisasi mereka diekspos oleh usaha Savak. Beberapa petinggi dari partai ini menyembunyikan diri mereka di gunung sebelah utara Teheran, namun dengan kepungan secara besar-besaran oleh kekuatan militer, akhirnya mereka ditangkap dan dipenjara.

Kelompok-kelompok politik yang organisasinya berdiri hingga tahun-tahun sebelum 1342 HS antara lain adalah Partai Tudeh (Hizb-e Tudeh), Organisasi Front Nasional (Jebhe-e Melli), Pergerakan Pembebasan Iran (Nehdat-e Âzâdiy-e Irân).

Partai komunis Tudeh yang dikecam oleh opini publik karena pengkhianatannya sejak beberapa waktu sebelum Perlawanan 15 Khurdad, pada kenyataannya telah keluar dari panggung perjuangan melawan Syah.

Partai ini telah memindahkan organisasinya ke satu tempat di luar negeri, dan secara konstan terjerat oleh pertikaian internal partai sementara beberapa pimpinan partai, setelah ditangkap, digulung ke sisi Syah dan memajukan beberapa pos-pos tinggi dalam tubuh pemerintahan rezim Syah. Praktik Partai Tudeh bersifat langsung dan meniru kebijakan Moskow. Pada 25 tahun terakhir pemerintahan Syah, kebijakan Istana Kremlin adalah untuk memelihara hubungan dengan Syah dan mempertahankan keadaan ekonomi yang telah diraih. Kegiatan-kegiatan Partai Tudeh dalam periode ini terbatas pada pengeluaran stetemen-stetemen politik dan kepemilikannya stasiun radio di luar negeri. Kegiatan-kegiatan ini dimanfaatkan sebagai lapisan penekan oleh Moskow untuk memajukan tujuan-tujuan Uni Soviet. Front Nasional, meskipun kedudukan yang telah diraihnya dalam pergerakan nasionalisasi minyak setelah kudeta Syah 28 Murdad, diisolasi dan menghadapi perpecahan dan keretakan dalam internal organisasinya. Kegiatan-kegiatan propaganda di sana-sini dan pendukung Front Nasional, utamanya terbatas pada kelompok-kelompok pelajar di luar negeri. Pendukung religius dan kampus dari front ini, meskipun sikap para pemimpin mereka, memilih berada di samping perjuangan Imam.

Pergerakan Pembebasan Iran, yang mendapatkan dukungan dari orang-orang pejuang seperti Ayatullah Taleqani, menyokong Perlawanan 15 Khurdad. Basis Pergerakan Pembebasan hanya terbatas pada tokoh-tokoh agama dan cendekiawan di universitas dalam dan luar negeri. Serta tidak adanya organisasi politik yang memadai yang dapat memberikan kemampuan mengorganisir proses perjuangan dengan baik.

Organisasi Pejuang (mujahidin) Rakyat (kaum munafik, Majelis Khalq Organisation) terbentuk pada tahun 1344-1346 HS (1965-1967), dengan maksud melakukan pertempuran bersenjata melawan rezim Syah. Organisasi ini terjebak dalam eklektism; sistem falsafah yang menggunakan pemilihan dari berbagai sumber- karena pemahaman dangkal para pemimpinnya tentang Islam. Dan meskipun mereka mendeklarasikan diri mereka sebagai sebuah organsasi Islam, namun organisasi ini secara diam-diam mengajarkan anggotanya tentang ajaran Marksisme sebagai ilmu ekonomi.

Imam Khomeini menolak mengkonfirmasi organisasi ini, ketika penyimpangan ideologi organisasi ini tidak dipublikasikan, dan ketika delegasi organisasi ini pergi ke Najaf untuk meminta dukungan Imam, Imam Khomeini menyebutkan kembali penyimpangan konsep mereka dan mengulangi posisinya yang tidak mendukung organisasi ini.

Majelis Khalq Organisation (MKO, kaum munafik) merupakan organisasi yang dibentuk pada tahun 1350 oleh dua kelompok kecil komunis.[1] Organisasi ini mendeklarasikan konflik bersenjata sebagai kebijakannya. Pembentukan kelompok ini terjadi karena rasa rendah diri dan kekecewaan kaum komunis Iran yang muncul akibat dari keadaan Partai Tudeh dan pengkhianatannya pada satu sisi, dan tindakan-tindakan pioner ruhani dan tokoh-tokoh Muslim pada Perlawanan 15 Khurdad, di sisi lain.

Kedua organisasi ini meluangkan beberapa tahun pertama dalam menarik beberapa anggota dan mentraining mereka.[2] Selanjutnya, dengan mengadakan tindakan-tindakan yang terbatas dan terpencar-pencar, mereka diidentifikasi oleh Savak dan dengan penangkapan para pemimpin mereka, organisasi ini bubar. Kecuali beberapa anggota yang bertanggung jawab atas organisasi ini diekseskusi, yang lainnya menulis surat penyesalan dan membaktikan diri mereka untuk bekerja sama dengan Syah dan mereka selamat. Kendati Savak, dari interview televisinya yang menghinakan dengan anggota grup ini agak sukses dalam mengacaukan opini publik tentang pejuang sebenarnya, namun interview ini dan pengakuan yang mengejutkan menunjukkan, penyimpangan moral dan agama serta pembunuhan orang-orang mereka sendiri dalam organisasi ini. Sementara di dalam penjara, beberapa elemen menjadi mata-mata demi kepentingan Savak. Korban-korban dari tindakan spionase ini adalah tahanan-tahanan politik yang percaya kepada gerakan Imam.

Selain Kelompok Koalisi Islam dan Partai Nasional Islam, terdapat kelompok-kelompok pejuang muslim lainnya yang memilih untuk berkontak senjata dalam menyokong gerakan Imam. Di antara kelompok yang dapat disebutkan ini adalah Kelompok Septempartite (Tujuh)[3] yang kemudian menjadi sebuah organisasi persatuan dengan nama Organisasi Mujahidin Revolusi Islam (Sâzemân-e Mujâhidin-e Inqilâbi-e Islâm), dan Kelompok Ruhani Berjuang, Syahid Sayid ‘Ali Andarzga.

Pada tahun-tahun berikutnya setelah Perlawanan 15 Khurdad, kelompok lain yang bernama Komunitas Hujjatiyah (Anjuman-e Hujjatiyah) yang catatan tanggal pendiriannya pada tahun-tahun sebelumnya, juga aktif. Aktivitas kelompok ini berkisar pada oposisi intelektual melawan Bahaisme di Iran. Kendati di permukaan tujuan kelompok ini berbenturan dengan maksud-maksud rezim Syah yang mendukung kaum Bahais, namun, tidak demikian adanya dalam tindakan, karena karakter organisasi Komunitas Hujjatiyah dan para pemimpinnya menuntut, sebagai sebuah pra-syarat, tidak ada campur tangan dari Savak dalam bidang politik.[4] Sikap ini tentu saja menciptakan iklim yang kondusif bagi rezim, karena banyak kekuatan yang penuh semangat dari sisi religius tercampakkan dari arena perjuangan karena korupsi, yaitu boneka monarki, dan menjadi sibuk dengan perilaku-perilaku yang kontra efektif. Atas alasan ini, untuk menghancurkan dari dalam, Syah memasukkan orang-orangnya ke organisasi ini, Savak. Dengan demikian Komunitas Hujjatiyah melebar aktivitasnya, tanpa ada masalah dari Savak, dan bahkan dalam beberapa kasus, didukung oleh Savak. Imam Khomeini, mengetahui siasat jahat ini, dan dengan tegas ia memutuskan hubungan dengan mereka. Karena sikap tegas Imam, golongan yang kontra Imam (Savak) keluar dari komunitas Hujjatiyah dan yang pro dengan Imam dan mendukung Revolusi bergabung dengan pergerakan Imam.

Komunitas Hujjatiyah menindaklanjuti oposisinya dengan Bahaisme dengan jalan pendidikan dan training, sementara pada saat itu, baik di Iran atau di luar negeri, Bahaisme telah dikenal sebagai sebuah partai politik yang berafiliasi dengan Israel dan di bawah lindungan Zionis yang bermukim di Amerika dan secara natural, tantangan utama mereka harus dikerjakan melalui cara yang sama.

Pada tahun berikutnya, 1348 HS, rangkaian pelajaran dan kuliah yang diberikan oleh orang-orang seperti: Ayatullah Mutahhari, Dr. Mufattih, Dr. Bahonar, Âqâ-e Bazargan dan Dr. Syariati telah menyita perhatian banyak tokoh intelektual dan agama serta tokoh universitas Islam pada pusat-pusat agama Teheran seperti: Masjid Quba, Masjid Hidayat, Pusat Tauhid dan khususnya Husainiyyah Irsyad. Ayatullah Mutahhari, sebagai seorang filosof dan faqih yang menonjol -yang selama beberapa tahun menerima pelajaran dan instruksi dari Imam Khomeini dan setelah hijrah ke Teheran, belajar kepada Allamah Tabataba’i- mempersembahkan usahanya dalam menjelaskan usul aqidah Islam, dalam bahasa terkini, dan mencerahkan generasi muda tentang penyimpangan-penyimpangan sekolah-sekolah eklektik dan ateistik. Usaha Dr. Mufattih dan Dr. Bahonar, sebagai figur ruhani dan kampus berada bersama dalam satu garis. Setelah syahadah Ayatullah Mutahhari, seluruh karyanya –tanpa kecuali- berdaya-guna, dan khidmatnya yang lama dan bernilai sangat dipuji oleh Imam Khomeini.

Daya tarik karya-karya Dr. Ali Syariati pada waktu itu, terlepas dari gaya bahasanya dalam menulis dan mendiksi, dalam kenyataannya dia adalah seorang intelektual yang memandang dan menghadirkan agama, sejarah, dan sosial-religius masyarakat Iran, secara kritis dan radikal.

Di kalangan generasi muda Iran merasakan kehilangan pembahasan-pembahasan semacam ini pada masa-masa itu.

Sebuah kajian imparsial yang baru-baru ini diterbitkan dalam bentuk dokumen, surat-surat, dan adu-argumentasi antara Dr. Syariati dan Savak,[5] membuktikan bahwa Savak mengetahui karya-karya Dr. Syariati telah mencegah berkembangnya kaum kiri (leftits), kecenderungan komunistik di antara generasi muda. Savak membayangkan kuliahnya, serangan yang bertubi-tubi kepada ruhani tradisional Iran, menyediakan lahan untuk menebarkan pertikaian di hadapan elemen-elemen agama. Savak tidak dapat mengendalikan kegiatan Dr. Syariati ini selama beberapa tahun. Bagaimanapun, pada tahun 1352 HS (1973), Savak Syah dipaksa untuk menutup Husainiyyah Irsyad dan menangkap Dr. Syariati.

Surat-surat dan karya Ayatullah Mutahhari menjelaskan sebab-sebab pengunduran dirinya dari kegiatan-kegiatan Husainiyyah Irsyad, dia berpendapat bahwa revolusi-revolusi sosio-kultural harus berdasarkan kepada dan diikuti oleh pemikiran agama yang murni dan esensialitas Wahyu Ilahi.

Dengan demikian, Ayatullah Mutahhari meyakini bahwa, setiap karya novel dan intepretasi revolusioner isu-isu agama yang tidak bersandar kepada usul (fondasi) yang dimaksud dan kurang ahli dalam kemahiran dan pemahaman intelektual, akan berusia pendek.

Dan semua ini, lama kelamaan, akan membuka jalan bagi eklektisme (sebuah sistem filsafat yang berupaya mengadopsi unsur-unsur yang ada pada model Barat, dan menggunakan selera dalam memilih apa yang cocok dengan seleranya, penj), dan sinkretisme antara teks-teks agama dengan pandangan-pandangan disharmoni dan non-inspirasional, menyerah kepada masuknya filsafat Barat dan pandangan-pandangan sosiologi.

Setelah kemenangan Revolusi, elemen-elemen kardinal, berpretensi membela Dr. Syariati, bertahan berhadapan dengan ruhani dan kepemimpinan Revolusi. Namun, pada sisi lain, banyak orang yang telah condong kepada isu-isu politik Islam yang dimainkan oleh sebagian di antara pembela Revolusi Islam, sebuah truism (kebenaran) yang tidak dapat dinafikan, tanpa memandang bagaiaman karya-karya mereka diintepretasikan atau dinilai. Dalam memandang alasan-alasan yang disebutkan di atas, penilaian berbeda telah dibuat oleh peran dan kepribadian Dr. Syariati. Beberapa orang melihatnya, dalam tataran praktis, sebagai pelayan tujuan-tujuan kultural rezim. Sebagian lainnya memandang dia sebagai seorang pemikir revolusioner muslim dan percaya, berdasarkan kepada tulisan-tulisannya, bahwa Dr. Syariati sendiri telah mengumumkan keharusan untuk mengedit kembali tulisan-tulisannya, dan menghapus atau menghilangkan stetemen-stetemen dan intepretasi-intepretasi keliru dan dangkal. Bagaimanapun, sikap Imam Khoemini dalam urusan ini sangat arif, dan hal ini berlangsung hingga wafatnya.

Yang Mulia, Imam Khoemini, dalam pidato-pidato dan pesan-pesannya ketika itu, membela peran historis ruhani Syi’ah, mendukung ulama dan ruhaniawan, dan telah menanggapi keraguan-keraguan yang telah muncul.

Dalam suratnya kepada asosiasi pelajar di luar negeri, Imam Khomeini telah berulang-kali memperingatkan akan kedangkalan, ketidakmahiran dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan terhadap Islam. Sementara itu, Imam menyatakan apresiasinya dan pujiannya kepada cendekiawan muslim yang tercerahkan dan mengingatkan mereka terhadap ruhani gadungan dan pengikut ultra-tradisional. Imam memandang isu-isu yang menggiring kepada pertikaian dan faksionalisme, dengan nama apa saja, sebagai faktor mengganggu Revolusi.

Catatan Kaki:
[1] . Kelompok Jazni dan Ahmadiyah.
[2] . Beberapa dari anggota Organisasi Mujahidin yang terbentuk pada akhir tahun 1348 HS yaitu 4 tahun setelah terbentuknya secara resmi organisasi itu, hanya terdiri dari 50 orang, Tahlili bar Sâzemân-e Mujâhidin-e Khalq Irân, h. 36
[3] . Umat-e Wâhid, Tauhid-e badar, Tauhid-e Saf, Falah, Mansurun, muwahhidin, silahkan rujuk Târikhceh Guruha-e tasykil dahandeh-e Sâzemân Mujahidin Inqilâb-e Islâmi.
[4] . Dar Syenâkhteh Hizb-e Qâ’idin-e Zamân, terbitan Danisy-e Islami, Qum
[5] . Barrasi-ye wa Tahlili az Nehdat-e Imâm Khomeini, jilid. 3.


CINTA KEPADA KHOMEINI.
CINTA KEPADA SEGALA KEINDAHAN.

7. Keyakinan, Tujuan dan Harapan Imam Khomeini

Kini kita memasuki pembahasan peristiwa-peristiwa historis sisi kehidupan Imam Khomeini Sekalipun penulis sadar menggambarkan sosok dan figur agung tidak akan mencapai kesempurnaan, namun dengan melihat seluruh dimensi-dimensi spiritual, intelektual yang terkomulasi dalam gerakan dan aktivitasnya serta tujuan dan cita-citanya secara sederhana dapat ditangkap pesan utamanya.

Adalah jelas bahwa pembentukan gambar yang jelas dan sempurna tentang prinsip-prinsip keyakinan Imam Khomeini dan tujuan-tujuannya tidak mudah terlaksana tanpa mempelajari berbagai karyanya dan pembicaraannya serta mengamati sikap praktisnya secara teliti, yang hal ini di luar kemampuan buku ini.

Imam Khomeini adalah seorang muslim yang bermazhab Syiah dan sangat yakin terhadap persatuan umat Islam -tanpa peduli akan keragaman aliran dan madzhab mereka- di hadapan kaum penjajah dan musuh-musuh Islam.

Ajakan untuk menggalang persatuan mendapat perhatian khusus dalam pernyataan-pernyataan dan berbagai pidatonya. Imam tidak mengizinkan adanya gerakan apa pun yang menyebabkan timbulnya perpecahan di tengah-tengah barisan muslimin yang melapangkan jalan bagi para kolonial untuk mewujudkan hegemoni mereka. Imam telah menjelaskan -melalui fatwa khusus dan dukungannya terhadap pengumuman Pekan Persatuan muslimin yang diadakan bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Saw yang mulia dan penyampaian berbagai pernyataan yang terus-menerus- cara-cara praktis untuk merealisasikan persatuan antara Syi`ah dan Ahli Sunnah. Bahkan Imam bersikeras untuk “memerangi” setiap hal yang menyebabkan perpecahan dan perdebatan yang menjurus kepada permusuhan (jidal) antara Syi`ah dan Ahli Sunnah selama masa kepemimpinannya.

Imam meyakini bahwa iman kepada Allah Swt Yang Maha Esa dan keyakinan terhadap Risâlah Nabi Terakhir Saw dan iman kepada al-Qur-an yang mulia sebagai kitab petunjuk yang abadi dan keyakinan terhadap hal-hal yang mendasar dalam agama dan berbagai syiarnya serta hukum-hukumnya seperti salat, puasa, zakat, haji dan jihad, semua itu dapat dijadikan barometer praktis yang tetap untuk mendekatkan semua madzhab Islam dan menyatukan barisan-barisannya dalam menghadapi kaum musyrik dan musuh-musuh agama.

Kebangkitan reformasi yang dibangun oleh Imam Khomeini dan berbagai pernyataannya tidak terbatas pada masyarakat Iran dan masyarakat Islam lainnya. Sebab, Imam yakin bahwa fitrah manusia yang dimiliki oleh semua manusia diciptakan berdasarkan kecenderungan kepada prinsip tauhid, kebaikan, hakikat dan keadilan. Seandainya pengetahuan manusia secara umum mampu menguasai nafsu ammarah maka setan pun dapat dilemahkan. Konsekuensi logisnya masyarakat akan menuju kejalan Allah Swt dan mencapai kehidupan yang adil dan damai.

Berdasarkan hal ini, Imam Khomeini mengajak -dalam sebagian besar pernyataan- kaum tertindas dan bangsa-bangsa yang masih tertawan di negara-negara dunia ketiga untuk melakukan intifadah melawan kaum mustakbirin -negara-negara besar penjajah-. Pada hari-hari pertama kemenangan revolusi, Imam dengan tegas melontarkan gagasan pembentukan partai kaum tertindas dunia, bahkan ia membela gagasan ini. Pada masa kepemimpinannya, untuk pertama kalinya konfrensi internasional pertama yang diikuti berbagai gerakan pembebasan dilangsungkan di Iran.

Imam Khomeini berulangkali menegaskan bahwa revolusi Islam hanya memerangi dan memusuhi sikap para pemegang kekuasaan Amerika dan Barat serta Uni Soviet (eks), bukan rakyat dari negara-negara tersebut yang pada hakikatnya mereka pun menjadi korban penjajahan yang baru.

Slogan Imam Khomeini ialah memerangi orang yang zalim dan membela hak orang yang dizalimi. Imam mengatakan: “Kami tidak akan melakukan kezaliman dan kami tidak akan membiarkan orang lain dizalimi.”

Barangkali sangat tepat bila penulis menukil dasar-dasar keyakinan Imam Khomeini sebagaimana yang ia nyatakan sendiri saat menjawab pernyataan salah seorang reporter majalah Time, Inggris, dimana Imam menyatakan: “Sesungguhnya keyakinanku dan keyakinan semua kaum muslim tercakup dalam masalah-masalah yang disampaikan oleh al-Qur-an al-Karim dan yang dijelaskan oleh Nabi Islam Saw dan para Imam As pembawa kebenaran setelahnya.

Dasar dan prinsip semua keyakinan itu -yang dianggap sebagai keyakinan kami yang paling tinggi dan penting- adalah prinsip tauhid. Berdasarkan keyakinan ini maka kami percaya bahwa Pencipta alam dan semua keberadaan serta manusia adalah Allah Swt yang Maha Tahu terhadap segala hakikat dan Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Pemilik segala sesuatu. Prinsip ini mengajarkan kepada kami bahwa manusia hanya tunduk di hadapan Allah, dan ia tidak tunduk kepada manusia kecuali bila ketundukan terhadapnya merupakan kelanjutan dari ketundukan kepada Allah Swt. Berdasarkan hal ini maka tak seorang pun berhak untuk memaksa orang lain untuk tunduk kepadanya. Dari prinsip keyakinan ini kami belajar prinsip kebebasan manusia. Dan seorang pun tidak berhak untuk merampas hak kebebasan orang lain, masyarakat dan bangsa lain. Atau membuat undang-undang yang mengatur perilaku dan hubungan antar manusia berdasarkan kadar kesadaran dan pengetahuannya yang terbatas atau berdasarkan keinginan pribadi. Berdasarkan prinsip ini, maka kami meyakini bahwa pembuatan undang-undang untuk mengembangkan kehidupan adalah termasuk kekhususan Allah Swt, sebagaimana hukum-hukum wujud dan penciptaan termasuk kekhususan-Nya.

Kebahagiaan manusia dan kesempurnaannya terletak pada ketaatannya kepada undang-undang Ilahi. Kemerosotan dan kejatuhan yang dialami oleh manusia karena mereka menjual kebebasan dan menyerahkan diri kepada segelintir orang. Oleh karena itu, manusia harus melawan belenggu ini dan memerangi orang yang mengajaknya tunduk dan menyerah. Dan hendaklah ia berusaha untuk membebaskan diri dan masyarakatnya, hingga semua menjadi hamba Allah Swt.. Dari prinsip ini kami meyakini adanya persamaan di antara semua manusia di hadapan Allah Swt. Dia adalah Sang Pencipta dan semua adalah hamba-hamba-Nya. Pada dasarnya semua manusia sama, yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah takwa Oleh karena itu, kita harus melawan segala bentuk peniadaan persamaan sosial dan penguatan perbedaan-perbedaan palsu yang nihil atas masyarakat.”

Imam Khomeini mengatakan: “Yang menjadi ukuran dan timbangan dalam Islam adalah ridha Allah Swt, bukan ridha manusia. kita membandingkan individu dengan kebenaran, bukan sebaliknya. Dan yang menjadi pertimbangan adalah kebenaran”.

Imam meyakini bahwa fitrah manusia diciptakan untuk mencintai kesempurnaan mutlak yang hanya terdapat pada Dzat Allah Swt. Dia adalah sumber semua kesempurnaan dan kekuasaan. Imam Khomeini seringkali mengingatkan kepada para pengikutnya dengan ucapannya: “Dunia adalah bukti keberadaan-Nya. Maka janganlah kalian bermaksiat di tengah keberadaan-Nya. “Janganlah kalian takut kepada selain Allah, dan janganlah kalian menggantungkan harapan kalian kepada selain-Nya.”

Imam Khomeini memandang bahwa tujuan diutusannya para nabi adalah untuk membimbing manusia menuju pengenalan kepada Allah Swt, berusaha mewujudkan potensi kesempurnaan manusia, menghilangkan berbagai kegelapan dan memperbaiki masyarakat serta menciptakan keadilan.

Imam berkata: “Sesungguhnya diutusnya para Nabi bertujuan untuk menyelamatkan moral manusia dari prilaku hewani, menghancurkan berbagai kegelapan dan menggantikannya dengan cahaya.” Imam berpesan: “Tiada cahaya selain Allah dan selain-Nya adalah kegelapan.”

Imam Khomeini melihat bahwa Islam adalah penutup semua agama Ilahi. Ia merupakan keyakinan dan akidah yang paling tinggi dan sempurna. Dalam hal ini, Imam menegaskan: “Islam berada pada puncak peradaban. Sistem hukum dalam Islam merupakan sistem paling sempurna dan lengkap dibandingkan dengan sistem hukum yang lain.” Ia juga menegaskan: “Di dalam Islam hanya terdapat satu undang-undang yaitu undang-undang Ilahi.”

Imam memandang bahwa Islam adalah agama ibadah dan politik. Selanjunya ia mengatakan: “Islam adalah peletak dasar-dasar peradaban besar di dunia.”

Imam menghimbau para pengikutnya dengan pernyataan: “Berhati-hatilah jangan sampai kalian mencampuradukkan antara al-Qur’an suci dan agama Islam yang menyeru kepada pembebasan, dengan akidah yang menyimpang produk pemikiran manusia.” Imam juga menyatakan: “Sesungguhnya problema utama kaum muslimin adalah mereka “mencampakkan” al-Qur-an al-Karim dan berteduh di bawah panji orang lain.” Ia juga menegaskan: “Sesungguhnya Syi`ah selalu menjadi target serangan para kolonial yang pengecut.” Imam berulangkali menegaskan bahwa: “Tujuan terakhir yang kami inginkan adalah Islam.”

Imam Khomeini memandang bahwa Revolusi Islam merupakan refleksi dari revolusi Husain[1] yang kekal yang terjadi pada hari Asyura (sepuluh Muharram) untuk menyelamatkan agama dari cengkeraman para penjahat yang zalim. Imam meyakini bahwa “Islam tidak datang untuk satu bangsa, tidak pula untuk bangsa yang lain, ia tidak membedakan antara bangsa Turki, Persia, Arab, dan Ajam. Tetapi Islam hadir untuk semua manusia. Islam tidak memandang ras, warna kulit dan bahasa, semua adalah saudara yang sama. Kemuliaan hanya dilihat dari sisi ketakwaan, sedang perbedaan ditinjau dari sisi akhlak yang utama dan amal saleh.”

Imam Khomeini melihat bahwa kesyahidan di jalan Allah Swt sebagai kemuliaan yang abadi dan kebanggaan bagi para waliullah yang merupakan kunci kebahagiaan dan simbol kemenangan. Imam memandang kecenderungan kepada kesyahidan berangkat dari cinta kepada Allah Swt. Berkenaan dengan nilai kesyahidan dan hakikatnya, ia menyatakan: “Betapa lalainya para penyembah dunia dan masyarakat yang mencari nilai kesyahidan didalam lembaran-lembaran sejarah, dan mereka menggambarkannya dalam lantunan syair dan puisi. Mereka menggunakan daya khayal dan buku rasional untuk mengungkapnya, padahal tidak mudah untuk menyelesaikan teka-teki kecuali dengan cinta.”

Dengan logika ini, Imam Khomeini berkata: “Aku katakan kepada kalian wahai saudara-saudara yang beriman: Ketika kita mati di tangan Amerika atau Uni Soviet yang jahat dan sirna dari keberadaan, lalu kita bertemu dengan Allah Swt dalam keadaan berlumuran darah dan dengan kepala tegak, ini lebih baik daripada kita hidup dalam kemewahan di bawah bendera pasukan merah Timur dan pasukan hitam Barat.”

Imam Khomeini adalah seorang filosof Ilahi dan arif rabbani, juga seorang faqih dan marja` bagi masyarakat, dan pada saat yang sama ia adalah pemimpin Revolusi Islam dan pendiri Republik Islam Iran. Imam menguasai dasar-dasar filsafat Barat, baik yang berkenaan dengan orientasi masya’i (maktab filsafat Peripatetik) maupun isyraqi (maktab filsafat Iluminatif). Barangkali dapat dikatakan bahwa pemikiran filosofis Imam Khomeini cenderung kepada filsafat syuhudi dan isyrâqi dan dengan cara sinkretisme yang dilakukan oleh almarhum Mulla Shadra,[2] tentu terdapat perbedaan di sana-sini.

Imam Khomeini mengajar Filsafat tingkat tinggi selama lima belas tahun. Ia menganggap Filsafat sebagai jalan untuk mengenal tingkatan wujud dan maujudat (plural dari maujud), dari sini pandangan filosofinya terhadap hakikat wujud, kesatuann dan tingkatan-tingkatannya sangat berpengaruh dengan cita-rasa `‘Irfân-nya.

`‘Irfân Imam Khomeini berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis para Imam dan ajaran para waliullah dalam bingkai syariat Islam yang suci. Imam menentang keras praktek tasawuf negatif yang menyatakan bahwa agama dan akidah terbatas pada zikir dan mengajak manusia untuk mengabaikan pelaksanaan tanggung jawab politik dan sosial. Ia memandang bahwa pengenalan jiwa merupakan dasar ma’rifatullah. Pensucian jiwa dari akhlak buruk dan berusaha memperoleh berbagai keutamaan, merupakan syarat utama untuk mengenal al-Haq. Sebagaimana pencapaian makrifat hakiki dan maqam-maqam spiritual yang tinggi tidak akan terwujud tanpa melalui jalan yang telah dilewati oleh Anbiya dan para Imam di muka bumi.

Oleh karena itu, Imam Khomeini tidak mengizinkan berbagai riyadhah (latihan spiritual) yang keluar dari ruang lingkup syariat dan hukum-hukum Ilahi. Sebagaimana pula Imam membenci sikap sok suci dan riya’ dalam praktek `‘Irfân.

Imam Khomeini pun meyakini perlunya berwasilah kepada para mursyid (pembimbing spiritual) yang hakiki dan para ahli kasyaf yang memiliki karamah hakiki, bukan kepada mereka yang mengaku-ngaku memiliki maqam. Begitu juga seyogyanya menjalin hubungan dengan kepemimpinan agung (Ahlul Bait Nabi, penj.) yang merupakan bahtera keselamatan.

Semua jalan yang dicapai oleh manusia selain jalan ini terhitung sebagai kesesatan dalam kesesatan. Jiwa Imam yang terlatih dan ruhnya yang tinggi serta keberhasilannya melalui tahapan-tahapan praktis dari perjalanan spiritual dengan sendirinya merupakan bukti terbaik yang menunjukkan kebenaran metodenya.

Dalam perjalanan ini, Imam Khomeini mencapai suatu tingkatan dari maqam-maqam spiritual dan pengetahuan syuhudi. Imam telah mengalami kefanaan di dalam Allah, bahkan ia mengalami semacam “kegoncangan” (al-Ithirâb) seperti klaim al-Hallajin[3]: “Ana al-Haq” (aku adalah Kebenaran).

Imam Khomeini melihat hanya al-Haq sebagai cahaya dan semua yang selain-Nya adalah kegelapan. Kegelapan berarti ketiadaan cahaya. Ketiadaan tidak dianggap sebagai wujud, dan wujud adalah manifestasi dari al-Haq, dan tiada sesuatu selain-Nya.

Imam Khomeini -disamping mendalami Filsafat, `‘Irfân, Tafsir dan Akhlak serta Kalam (Teologi) Islam- adalah seorang mujtahid yang menonjol dalam bidang Fiqh dan Usul. Ia telah mengajar Fiqh dan Usul pada level tinggi lebih dari tiga puluh tahun. Di samping kitab-kitab Fiqh dan Usul yang ditulisnya, terdapat pula puluhan catatan ilmiah yang telah ditulis oleh murid-muridnya.

Salah satu ciri khas aliran fiqh Imam Khomeini ialah orisinalitas fiqh dan usul. Ia menghindari tercampurnya kesimpulan-kesimpulan Kalam, Filsafat dan `‘Irfân dengan hukum fiqh dalam tahapan istinbât hukum (inferensi hukum syari’i) .

Imam memandang bahwa gerakan fiqh dan usul termasuk tuntutan ijtihad, sedangkan faktor zaman dan tempat sangat berpengaruh dalam ijtihad. Ketidakpedulian terhadap keduanya menyebabkan kelemahan dalam memahami masalah-masalah kontemporer dan tidak dapat medmberikan jawaban-jawaban yang sesuai. Pada saat yang sama Imam meyakini bahwa gerakan fiqh bukan berarti merubah metodologi istinbât dan ijtihâd yang populer. Karena itu, ia menegaskan dalam pernyataannya kepada Hauzah Ilmiah tentang perlunya bersandar pada fiqh tradisional. Yaitu menjaga metodologi dan cara salafus saleh dalam istinbât hukum, dan ia menanggap pengabaian terhadap metode klasik sebagai penyakit dan bahaya yang besar yang pada akhirnya akan melapangkan jalan munculnya berbagai bid`ah.

Imam ingin mereformasi Hauzah Ilmiah dan mengembangkannya dalam ruang lingkup ini, dan ia terhitung sebagai penggagas utama dalam bidang ini. Imam telah membentangkan jalan di hadapan para mujtahid untuk mengubah wawasan pandangan mereka agar menjamah masalah-masalah aktual dan utama yang terjadi di masyarakat. Ia juga menetapkan pentingnya memperhatikan faktor zaman dan tempat dalam ijtihad.

Imam berkata: “pemerintahan dalam pandangan mujtahid yang hakiki merupakan Filsafat praktis Fiqh dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Pemeritahan merupakan terjemahan praktis Fiqh dalam hubungannya dengan semua aspek sosial, politik, militer dan budaya. Maka, Fiqh merupakan pandangan aktual dan sempurna untuk mengatur kehidupan manusia dari buaian sampai liang lahat.”

Berdasarkan pandangan ini, Imam Khomeini mengutarakan pendapatnya yang terwujud dalam “Pendirian pemerintahan Islam berdasarkan kepemimpinan seorang faqih (wilâyat al-faqih) di zaman keghaiban Imam Mahdi Ajf”, dan ia berjuang untuk mewujudkannya dalam beberapa tahun yang cukup lama. Meskipun pandangan wilâyat faqih secara umum (tanpa mempedulikan berbagai perbedaan pendapat dalam batasan-batasan wewenang wali faqih) dianggap sebagai hal yang menjadi kesepakatan para fuqaha Syi`ah, namun dimensi-dimensinya tidak dikaji secara luas dan tidak ada kesempatan untuk mengadakan penelitian praktis sebagai konsekuensi dari ketiadaan kondisi yang kondusif di masa yang lalu. Oleh karena itu, Imam Khomeini termasuk faqih pertama yang sukses -setelah beberapa abad- dalam membentuk pemerintahan agama yang berdiri berdasarkan kepemimpinan seorang mujtahid yang memenuhi syarat. Di antara syarat mujtahid adalah melawan hawa nafsu, mampu mengatur masyarakat, berani dan adil serta berpengetahuan dalam hukum-hukum Ilahi. Ia berkata: “Pemerintahan Islam adalah (perwujudan) kekuasaan hukum Ilahi atas manusia.”

Dalam keyakinan Imam Khomeini, pemerintahan Islam juga berbeda dengan berbagai sistem politik kontemporer dari sisi pembentukan dan sendi-sendinya. Dalam pandangan pemerintahan Islam, Anda menemukan legalitas suara “mayoritas” berdasarkan “kebenaran”, sesuai dengan itu, maka keharusan menjalankan kekuasaan tergantung kepada terpenuhinya syarat-syarat di antaranya ialah menerima pendapat umum yang terwujud dengan pemilihan langsung atau melalui pemilihan para pakar.

Berdasarkan hal tersebut maka sangat rasional bila hubungan antara pemimpin dan pemerintahan Islam di satu sisi dan masyarakat di sisi lain, sangat dalam dan berbasis keyakinan (aqidah) yang mengakar. Oleh karena itu, pemerintah yang didirikan oleh Imam Khomeini termasuk pemerintahan yang paling banyak mendapat dukungan rakyat. Dalam pemerintahan ini tanggung jawab masyarakat tidak selesai setelah pemilihan pemimpin dan pelaksanaan pemilu, namun partisipasi mereka dalam bidang pengaturan masyarakat Islam dan kontribusi dalam sistem Islam dilakukan dalam ruang lingkup pengamalan taklif. Menurut hemat Imam Khomeini, pemerintahan Islam harus menjalankan hubungan yang kuat dan kepercayaan timbal balik antara masyarakat dan pemimpin yang saleh. Oleh karena itu, ia berkata: “Bila seorang faqih melakukan tindak kezaliman dalam bentuk apa pun, maka kekuasaan akan jatuh darinya. Sesungguhnya pemimpin dan kepemimpinan bukanlah hal yang penting bagi seseorang dalam agama samawi dan Islam yang agung saat ia menjadi alat yang mendorong manusia menuju kesombongan dan bangga diri.”

Imam juga pernah menegaskan: “Lebih baik mereka menyebut saya sebagai pembantu masyarakat daripada menyebut saya sebagai pemimpin. Persoalannya adalah bukan masalah kepemimpinan, tetapi pengabdian. Islam telah mendorong kita untuk melakukan pengabdian. Saya adalah saudara dari anak-anak bangsa Iran dan saya menganggap diri saya sebagai pembantu dan tentara bagi mereka.” Dalam kesempatan lain, Imam berkata: “Hanya satu hal yang berkuasa dalam Islam, yaitu hukum. Pada masa Nabi Saw pun hukum merupakan penguasa dan Nabi Saw adalah pelaksana hukum.”

Imam Khomeini menyampaikan pernyataannya kepada pemerintahan yang hanya semata-mata memandang kekuasaan baginya dan bahwa ia lebih utama dari masyarakat: “Pemerintah adalah minoritas dan ia harus bekerja untuk mayoritas (rakyat). Mereka tampaknya tidak setuju bila dikatakan bahwa pemerintah harus mengabdi pada rakyat, bukan menjadi penguasa atasnya.” Dan pada kesempatan lain, Imam menegaskan: “Kesadaran masyarakat dan keikutsertaan mereka dalam aktivitas-aktivitas politik dan usaha untuk mengawasi dan menyelaraskan dengannya termasuk jaminan terbesar dalam menjaga keamanan di tengah-tengah masyarakat.”

Terdapat perbedaan yang mencolok antara pandangan ini dan pandangan yang melihat bahwa negara dan pemerintah akan kehilangan kredebilitas bila tidak menggunakan “kekuatan” sebagai sarana dan sistemnya. Maka dari sini, Anda mengetahui bahwa salah satu dasar terpenting dalam keamanan sosial terdapat dalam kemampuan ini. Imam Khomeini berkata: “Kekuatan apapun dan sehebat apapun akan terancam keruntuhan bila tidak mendapat dukungan penuh masyarakat.”

Sesungguhnya runtuhnya rezim Sosialis di satu sisi, dan kokohnya sistem Republik Islam Iran di sisi lain, meskipun berbagai permusuhan ditampakkan oleh berbagai kekuatan dunia terhadapnya, dan meskipun ia masuk dalam kancah peperangan selama delapan tahun, merupakan salah satu bukti yang kuat yang menunjukkan kebenaran teori Imam Khomeini.

Adalah jelas bahwa pandangan Imam Khomeini tentang pemerintah Islam dan peranan masyarakat di dalamnya sama sekali tidak berkaitan dengan nasionalisme dalam istilah yang populer di budaya politik dunia, bahkan ia sama sekali berlawanan dengannya.

Nasionalisme terkadang muncul sebagai suatu ideologi dan berakhir pada rezim yang memusuhi nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan. karena pandangan seperti ini, bila berbagai asumsi nasionalisme dikemukakan kepada suatu bangsa sebagai realitas yang harus dibela, maka berarti tidak adanya hakikat dan nilai-nilai yang tetap. Kemudian akan lahir berbagai hakikat dan nilai sebanyak jumlah bangsa dan batasan geografis dan politik yang berubah. Istilah semacam keadilan dan perdamaian serta kebebasan pun akan berbilang sebanyak jumlah bangsa dan selalu berubah-ubah.

Dalam keadaan seperti ini maka konsekuensi logisnya adalah bangsa yang memiliki kekuatan terbesar -dengan berbagai sarana- berhak untuk untuk menguasai bangsa-bangsa yang lebih lemah. Yang demikian itu karena nasionalisme yang ekstrem hanya memandang keunggulan ras, warna kulit, bahasa dan letak geografis serta historis. Sedangkan Imam Khomeini -berdasarkan pada bukti-bukti sejarah- meyakini bahwa sosialisasi nasionalisme dan pembentukan gerakan-gerakan yang mengajak pada nasionalisme Arab, Turki, Persia dan selainnya di dunia ketiga merupakan hasil kerja para penjajah dan usaha mereka dalam membagi-bagi berbagai negeri dan menimbulkan perpecahan.

Imam berkata: “Tujuan kekuatan besar dan agen-agennya di negeri-negeri Islam tampak dalam penebaran perpecahan di antara kaum muslimin dan memisahkan mereka dari sebagian yang lain atas nama bangsa Turki, bangsa Kurdi, bangsa Arab, bangsa Persia, bahkan menimbulkan permusuhan di antara mereka. Hal ini bertentangan dengan Islam dan al-Qur-an al Karim.” Oleh karena itu, Imam Khomeini menegaskan: “Kebangkitan kami adalah kebangkitan Islam, sebelum ia menjadi kebangkitan Iran.”

Imam Khomeini memandang bahwa stabilitas perdamaian yang haikiki di dunia bersamaan dengan eksistensi kekuatan-kekuatan besar yang zalim dan menerima eksistensinya dan hegemoninya hanya khayalan belaka. ia menyatakan: “Sesungguhnya keamanan dan perdamaian tergantung dengan ketiadaan kaum mustakbirin (negara-negara besar yang zalim). Selama mereka menguasai tanah-tanah ini maka kaum tertindas tidak akan mendapatkan warisan yang telah dijanjikan oleh Allah Swt.” ia juga menyatakan: “Itulah hari yang berkah. Yaitu hari ketika kekuasaan para perampas internasional lenyap dari bangsa kami dan seluruh bangsa yang tertindas. Dan bangsa-bangsa mampu mengembalikan hak mereka dalam menentukan masa depannya.” Lebih lanjut Imam menegaskan : Mungkin suatu waktu Amerika mampu mengalahkan kita, namun ia tidak akan pernah mampu menghancurkan revolusi kita. Oleh karena itu, saya sangat percaya kepada kemenangan kita. Sesungguhnya pemerintah Amerika tidak mengetahui makna kesyahidan.”

Berkenaan dengan keberadaan Israel, sang perampas, Imam Khomeini berkata: “Sesungguhnya Amerika yang telah menggangu stabilitas dunia. Dan anak angkatnya Zionisme internasional yang melakukan berbagai kejahatan lisan dan pena keluh untuk menuliskannya.

Dalam pandangan Islam dan kaum Muslim, Israel adalah agresor dan perampas, juga dalam pandangan ketentuan-ketentuan internasional. Saya menganggap pengakuan resmi terhadap keberadaan Israel merupakan tragedi besar bagi muslimin dan pukulan berat bagi negara-negara Islam.”

Pasca kemenangan revolusi Islam, Imam Khomeini mendeklarasikan bahwa Jum`at terakhir dari bulan Ramadhan yang berkah sebagai hari Quds internasional. Imam mengajak semua kaum muslimin untuk mengadakan demontrasi dan menyatakan solidaritas mereka terhadap kaum mujahidin Palestina pada hari itu setiap tahun, selama al-Quds berada di bawah cengkraman musuh Islam.

Imam Khomeini meyakini bahwa jalan satu-satunya untuk membebaskan Palestina dan melenyapkan Israel adalah keimanan kepada Allah Swt dan menjemput kesyahidan serta jihad bersenjata.

Berkenaan dengan sosialis, Imam Khomeini berkata: “Semenjak kemunculan sosialis, para pencetusnya termasuk mereka yang memiliki pemerintahan yang paling kejam dan paling bernafsu untuk berkuasa di dunia.”

Berkenaan dengan kemajuan Barat, Imam berkata: “Kami menerima kemajuan yang berhasil diwujudkan oleh Barat, namun kami pun menolak kerusakan moral Barat yang mereka juga menderita karena pengaruh-pengaruhnya yang destruktif. Pendidikan Barat bersifat melenyapkan manusia dari kemanusiaannya. Kami tidak menolak peradaban namun kami menolak kebiadaban. Dan kami menginginkan peradaban yang dibangun di atas kemuliaan dan kemanusiaan.”

Imam Khomeini berulangkali menegaskan peranan utama kebudayaan dan ia berkata: “Kebudayaan adalah logika kebahagiaan atau kesengsaraan bangsa manapun. Sesungguhnya yang membangun bangsa-bangsa adalah kebudayaan yang benar.” Imam juga menegaskan: “Sesungguhnya rasa kenyang hewani tidak menjadi tolok ukur, namun yang menjadi tolok ukur ialah kemuliaan manusia.” Dalam kesempatan lain Imam berkata: “Selama manusia bersikeras untuk meneruskan kehidupannya di bawah kehendak senjata maka ia tidak akan mampu menjadi manusia dan ia tidak dapat menggapai tujuan-tujuan insani.” Ia juga menyatakan: “Berusahalah kalian untuk menggunakan penjelasan dan pena dan letakkanlah senjata di sebelah. Medan yang sebenarnya adalah medan pertarungan dengan pena, ilmu dan pemikiran.”

Imam Khomeini memandang bahwa seni yang dikerahkan untuk mengabdi pada penjajah dan “seni untuk seni” adalah hal yang negatif dan kehilangan nilai. Ia mengatakan: “Seni dalam `Irfân islami merupakan manifestasi keadilan dan kemuliaan, serta penggambaran pahitnya kelaparan mereka yang dibenci oleh para pemilik kekuasaan dan kekayaan.”

Imam Khomeini adalah seorang ustazd teladan di bidang pengajaran dan pendidikan, baik di bidang teoritis maupun praktis. Ia telah berhasil dengan metode-metode pendidikannya dalam mendorong masyarakat ke arah persesuaian dengan kebangkitan agama yang besar, setelah mereka terseret oleh arus kejahatan keluarga Pahlevi yang berkhianat dan para agen pemikiran Barat, menuju budaya dan nilai-nilai yang rendah.

Dikisahkan bahwa pada peristiwa berdarah 15 Khurdad 1342 HS dan dalam kondisi sosial yang sulit tersebut, sebagian mereka berkata kepada Imam Khomeini: Dengan orang-orang seperti apa dan harapan apa yang anda impikan untuk mendirikan pemerintahan yang adil? Imam menunjuk ke arah buaian yang di situ ada anak kecil yang tidur. Dan yang cukup mengherankan, ternyata yang berperan penting dalam peristiwa revolusi setelah lima belas tahun dari sejarah kejadian tersebut adalah para murid dan para mahasiswa muslim Iran.

Imam meyakini bahwa pelatihan diri dan usaha keras dalam mendidik dari tuntutan hawa nafsu dan syetan dalam semua tahapan kehidupan termasuk hal yang perlu untuk mencapai kesempurnaan yang hakiki. Imam juga meyakini bahwa pendidikan harus dimulai sejak kanak-kanak, sampai tingkat menengah harus dibawah kontrol ibu. Oleh karena itu ia berkata: “Tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaan seorang ibu. Sesungguhnya madrasah pertama yang dimasuki oleh anak adalah pangkuan ibu.”

Imam Khomeini berkata kepada para pendidik masyarakat: “Perhatikanlah bahwa tahapan madrasah lebih penting dari tahapan universitas. Sebab, pertumbuhan akal anak-anak terbentuk saat itu. Sesungguhnya seorang guru dipercaya untuk memegang amanat yang berbeda dengan amanat yang lain, yaitu bahwa dia dititipi manusia. Sesungguhnya segala bentuk kebahagiaan dan kesengsaraan terdapat di sekolah-sekolah dan kuncinya berada di tangan guru.”

Imam Khomeini memandang bahwa pengajaran merupakan pekerjaan para nabi. Dan tanggung jawab terpenting yang berada di pundak guru ialah membimbing masyarakat menuju Allah Swt.

Imam Khomeini menamakan manusia sebagai “perasan semua wujud dunia”. Imam berkata: “Manusia adalah makhluk yang unik. Darinya dapat dibuat maujud Ilahi malakuti atau maujud jahannami syaitani.”

Imam juga berkata: “Dengan mendidik manusia maka dunia akan menjadi baik.” Sebagaimana ia menganggap bahwa pendidikan dan penyucian diri (tazkiyatun nafs) merupakan mukadimah dalam pengajaran. Imam memandang bahwa orang yang belajar, tanpa pensucian jiwa maka ia akan menjadi semacam alat yang mengabdi pada tujuan-tujuan syetan. Ia berkata: “Bila ilmu merasuk ke dalam hati yang keras dari sisi akhlak maka bahayanya lebih berat dari kebodohan.”

Salah satu keberhasilan terpenting yang terdapat dalam kebangkitan Imam Khomeini di Iran adalah usaha mengembalikan wanita dalam peranan aktifnya di bidang sosial. Kami berani mengatakan bahwa sepanjang sejarah Iran, wanita Iran belum pernah mencapai tingkatan kesadaran politik seperti ini, dan belum pernah ia berperan seperti sekarang dalam menentukan masa depan negeri. Dalam puncak intifâdah (perlawanan) menentang rezim Syah, wanita berada di sebelah pria, bahkan berada terdepan. Dan selama perang Irak yang dipaksakan, wanita-wanita Iran memainkan peranan yang tiada tandingannya dalam peperangan modern. Ini mereka lakukan melalui penyedian berbagai kebutuhan front dan memotivasi saudara-saudara mereka dan suami-suami mereka untuk ikut serta dalam membela Islam dan revolusi, bahkan mereka pun berpartisipasi secara langsung untuk menyediakan apa yang diperlukan oleh garis-garis front terdepan.

Sekarang juga, wanita dalam masyarakat Iran menjalankan peranannya sejajar dengan kaum pria dalam aktivitas-aktivitas sosial, pendidikan dan pengajaran, universitas, bidang-bidang kedokteran dan di kantor-kantor pemerintah dan pada seluruh aspek kehidupan.

Padahal, sebelum kemenangan revolusi Islam -sebagai konsekuensi dari lingkungan yang rusak yang diciptakan oleh rezim Syah- mereka terpaksa harus banyak di rumah, dan sejumlah gadis -khususnya yang tinggal di desa- tercegah untuk memperoleh pendidikan. Sedangkan mereka yang memperoleh kesempatan di kota-kota besar untuk memainkan perannya dalam berbagai aktivitas sosial, telah disibukkan untuk menghadapi serangan budaya yang rendah dalam situasi yang sangat rumit, untuk membela kemuliaan dan kehormatan mereka. Dan yang lain, terpaksa meninggalkan kerja dan sekolah karena hal itu.

Perubahan yang terjadi di masyarakat wanita Iran sangat berhutang pada pemikiran Imam Khomeini yang khusus dimana Imam sering memberikan pernyataan yang membela hak-hak wanita, misalnya: “Sesungguhnya kita menuntut agar wanita menduduki tempat kemanusiaannya yang tinggi, dan tidak menjadi permainan (boneka) di tangan kaum pria yang hina. Kita tidak mengizinkan –begitu juga Islam tidak setuju– jika wanita menjadi barang dagangan dan boneka di tangan kita. Islam mengajak untuk menjaga identitas wanita dan ingin membuatnya sebagai manusia yang signifikan dan bermanfaat dan Islam tidak mengizinkan wanita dijadikan “alat pemuas nafsu” di tangan kaum pria. Wanita bebas dalam masyarakat Islam dan dia tidak dihalangi masuk ke universitas dan bekerja di kantor-kantor yang dilarang adalah dekadensi moral ini dilarang bukan kepada wanita pun kepada pria. Sesungguhnya kebebasan ala Barat- yang berakibat pada jatuhnya para pemuda dan pemudi pada kesia-siaaan- ditolak oleh Islam dan akal sehat.”

Adapun dari sisi ekonomi, himbauan-himbauan Imam Khomeini dan sikap-sikapnya menegaskan secara umum tentang penerapan keadilan dan memberikan prioritas bagi hak-hak kaum yang tidak mampu dan lemah (mustad’afin) dalam masyarakat. Sebab, Imam menyebut pengabdian kepada orang-orang yang tidak mampu sebagai ibadah terbesar. Dan salah satu wasiat yang sering disampaikan Imam kepada para pejabat pemerintah Islam ialah memperhatikan urusan kaum fakir dan menjauhi perilaku orang-orang yang bergaya hidup mewah. Imam meyakini bahwa pemirintah dan para pejabat adalah pelayan masyarakat dan tidak layak bagi pelayan untuk menuntut fasilitas lebih dari apa yang diperoleh oleh tuannya. I

Imam berkata: “Sesungguhnya sehelai rambut dari salah seorang yang tinggal di gubuk-gubuk lebih mulia daripada semua istana dan para penghuninya. Sesungguhnya mereka yang ingin selalu bersama kami adalah mereka yang telah merasakan kefakiran dan ketidakmampuan. Pada saat pemerintah mencurahkan perhatiannya pada istana-istana yang megah maka marilah kita membacakan al-Fatihah kepada pemerintah sekaligus rakyatnya.”

Salah satu ciri khas Imam Khomeini yang menonjol ialah bahwa pembicaraannya selalu bersumber dari keyakinannya yang dalam terhadap apa yang dikatakan dan percaya terhadap apa yang dikatakan dan mengimplikasikan apa yang dikatakan. Sebab, gaya hidup Imam Khomeini sangat sederhana, bahkan ia berada dalam puncak kezuhudan, qanaah dan kesederhanaan. Dan hal ini tidak terbatas pada masa kepemimpinannya sebagai Marja’ Taqlid saja namun berlanjut pada masa pemerintahannya. Imam memandang bahwa seorang pemimpin harus hidup sederhana, sesederhana kehidupan anggota masyarakat yang paling tidak mampu, atau mungkin lebih sederhana dari itu. Imam bersikeras sepanjang usianya yang berkah untuk mempertahankan gaya hidup yang zuhud (sederhana). Meskipun banyak kenangan dan catatan yang ditulis dan dicetak tentang aspek kehidupan dalam hal ini, dan penyebutan hal tersebut memerlukan buku yang tebal, namun masih banyak dimensi-dimensi kesederhanaan kehidupannya yang sampai sekarang masih misteri (tidak diketahui).

Untuk menjelaskan kesederhanaan Imam Khomeini dan keyakinannya tentang perlunya kehati-hatian secara sempurna dalam menginfakkan baitul mal, maka cukuplah kami menyebutkan pasal 142 dari undang-undang -yang diusulkan sendiri oleh Imam- yang menetapkan bahwa mahkamah tinggi di negeri bertanggung jawab dalam membatasi dan meneliti segala kekayaan pemimpin dan para pejabat tinggi negara sebelum dan sesudah mereka memegang tanggung jawab (tugas negara) untuk mencatat setiap tambahan yang mungkin diperoleh dengan cara yang tidak benar.

Imam Khomeini berinisiatif untuk mendaftarkan semua kekayaannya yang sederhana pada tanggal 24 Dei 1359 HS (14 Januari 1981) dan ia menyerahkannya kepada mahkamah tinggi, dan langsung sepeninggalnya, anaknya -melalui surat yang disebarkan oleh koran-koran lokal- mahkamah tinggi untuk kembali mendata kekayaan Imam Khomeini sesuai dengan undang-undang.

Pada tanggal 11 Tir 1368 HS (2 Juli 1989), dari pendataan itu diumumkan bahwa kekayaan Imam Khomeini yang sedehana bukan hanya tetap seperti semula, bahkan sudah berkurang dari sebelumnya. Sebidang tanah yang diwarisinya dari ayahnya di Khumain, telah ia berikan kepada kaum fakir di daerahnya sehingga tanah ini keluar dari kepemilikannya. Dan harta-hartanya yang tidak bergerak (fixed assets) berupa rumah kuno yang dimilikinya di Qum, dan yang sejak tahun 1343 HS (1964) -tahun permulaan kebangkitan- berkhidmat untuk tujuan-tujuan kebangkitan dan sebagai sentral pertemuan para pelajar dan rakyat dan sampai sekarang kehilangan sifatnya untuk disebut sebagai tempat tinggal.

Sebagaimana disebutkan dalam pendataan itu -yang telah diselesaikan pencatatannya pada tahun 1368 (1981) dan diumumkan secara resmi sepeninggalnya- bahwa kekayaan Imam Khomeini mencakup benda-benda sebagai berikut: Beberapa kitab, sebagian alat-alat primer yang berada di rumahnya yang dikhususkan untuk istrinya, dua potong sajadah yang dipakai (imam telah mewasiatkan untuk memberikannya kepada kaum fakir sepeninggalnya). Pendataan itu juga membuktikan tidak adanya perabot pribadi dan tidak adanya harta pribadi. Dan bila ditemukan harta maka itu termasuk hak syar’i yang diberikan oleh kaum Muslim kepada Imam Khomeini untuk menginfakkannya pada tempat-tempat yang syar’i, dan harta tersebut tidak berhak diwarisi.

Apa yang diwariskan oleh lelaki ini -yang berusia mendekati sembilan puluh tahun dan hidup dalam keadaan dicintai oleh masyarakat- mencakup hal-hal berikut: Sepasang kaca mata, alat pemotong kuku, sisir, tasbih, mushaf, sajadah salat, sorban dan pakaiannya yang khusus, dan sekumpulan kitab dalam berbagai bidang ilmu agama.

Itulah kekayaan seseorang yang bukan hanya pemimpin suatu negeri yang kaya minyak yang penduduknya mencapai puluhan juta bahkan ia mampu merebut hati jutaan manusia dimana mereka berdiri dalam antrian panjang untuk secara sukarela menuju kesyahidan ketika ia mengeluarkan perintahnya untuk membentuk kekuatan-kekuatan mobilisasi untuk membela Islam. Dan mereka juga yang menulis surat atau berkumpul di sekitar rumah sakit yang di situ Imam terbaring dimana mereka menyatakan kesiapannya untuk mendermakan secara sukarela jantung mereka kepada Imam.

Sesungguhnya rahasia semua luapan cinta ini harus ditemui pada keimanan yang hakiki, zuhud, dan ketulusan.

Imam Khomeini meyakini tentang pentingnya manajeman kehidupannya dimana ia sangat disiplin dalam membagi waktunya. Imam beribadah, membaca al-Qur’an dan berdoa, serta belajar di jam-jam tertentu, baik di waktu siang maupun malam hari. Sebagaimana kebiasaan berjalan kaki dan sibuk dengan zikir dan tafakkur merupakan bagian dari kehidupan sehari-harinya. Agenda kerja imam jauh lebih banyak daripada para pemimpin politik, meskipun usianya mendekati sembilan puluh tahun. Imam seakan tidak pernah puas saat mengabdi kepada Allah Swt dan mengabdi kepada masyarakat Islam dan menyelesaikan problema-problemanya, meskipun di saat-saat yang sangat sulit. Di samping ia setiap hari sibuk melakukan kajian, ia pun mengikuti berita-berita dan laporan-laporan terpenting, baik di koran-koran dalam negeri maupun siaran-siaran asing yang menggunakan bahasa Persia. Imam mengikuti berita ini guna dapat mendeteksi media massa yang anti-revolusi dan berpikir bagaimana menghadapinya.

Padatnya aktivitas sehari-hari Imam Khomeini dan adanya berbagai acara pertemuan dengan para pejabat pemerintah Islam tidak mencegah Imam untuk menyempatkan hadir dan bertemu dengan rakyat biasa yang menjadi pendukung revolusi Islam. Sebanyak 3700 pertemuannya dengan rakyat telah dikumpulkan dalam buku yang bernama “mahzaru nur” dimana ini terjadi pada tahun-tahun yang menyertai kemenangan revolusi Islam. Ini menunjukkan betapa Imam memiliki ikatan yang kuat dengan masyarakat lapisan bawah. Setiap keputusan yang berkaitan dengan masa depan masyarakatnya, Imam Khomeini selalu mengutarakannya di hadapan masyarakat dengan penuh kejujuran. Sebab, ia memandang bahwa rakyat merupakan bagian yang penting dan mulia dalam mengenal kebenaran.

Imam Khomeini merupakan sosok yang berwibawa dan penyayang dan memiliki kekuatan kata-kata.

Pandangannya sangat mengundang daya tarik dan penuh dengan nuansa spiritual. Ketika rakyat duduk di hadapannya mereka secara spontan hanyut dalam magnet spiritualnya lalu tanpa tertahan air mata mereka pun bercucuran. Sesungguhnya rakyat Iran sangat benar saat mereka memanjatkan doa -setelah kemenangan revolusi- dengan penuh ketundukan di hadapan Allah Swt agar masa-masa usia mereka dipindahkan ke usia Imam. Bila dunia yang jauh dari spiritualitas telah jauh dari hal itu maka mereka -yang tumbuh bersama Imam- mengetahui secara praktis nilai waktu pada usia manusia mulia ini, dimana imam mewakafkan hidupnya untuk mengabdi kepada Allah Swt dan makhluk-Nya.

Meskipun dunia Barat dan media massanya telah berbuat kezaliman besar terhadap Imam Khomeini -dan sebelumnya terhadap keseluruhan manusia- dan mereka telah melancarkan serangan intensif melalui media massa yang sesat untuk menjatuhkan reputasi Imam dan revolusi Islamnya. Bahkan mereka tetap menjalankan ini meskipun Imam telah meninggal dunia. Hari ini puluhan siaran radio dan televisi mempunyai program yang isinya menentang revolusi Islam dan tujuan-tujuan Imam Khomeini dengan menggunakan bahasa Persia sepanjang siang-malam. Meskipun Amerika dan Eropa memberikan fasilitas besar kepada kelompok-kelompok anti-revolusi yang salah satunya adalah kelompok Mujahidin al-Khalq (munafikin) dan meskipun mereka setiap tahun mencetak puluhan buku dan ratusan artikel yang berusaha untuk memutarbalikkan fakta yang berhubungan dengan kebangkitan Imam Khomeini, namun kita yakin bahwa matahari kebenaran akan tetap bersinar dan akan menyingkirkan awan-awan kegelapan dan kesesatan.

Dunia Barat telah berhasil -yang menegakkan keberadaannya semenjak beberapa abad sampai sekarang dengan berusaha untuk mengukuhkan hegemoninya atas seluruh bangsa dan mengeksploitasi mereka serta menipu opini dunia internasional- mendeteksi bahaya yang mengancamnya. Kalau tidak maka orang merdeka mana yang mengikuti perjalanan hidup Imam Khomeini dan berbagai pernyataan lalu hatinya tidak tertarik untuk mengikuti jalannya dan tidak berusaha melawan sistem yang menguasai dunia ini?

Mengapa mereka mencegah penyebaran wasiat Imam Khomeini dan banyak dari peninggalannya dan berbagai pernyataannya yang lain di sebagian besar negara-negara Arab yang Muslim yang hidup di bawah kekuasaan pemerintahan boneka? Dan mereka menganggap hal itu sebagai kejahatan yang bertentangan dengan hukum? Mengapa terdapat keserasian dan kesatuan sikap di antara pemimpin berbagai negara untuk mencegah masuknya pemikiran-pemikiran Imam Khomeini? Bukankah ia membela kebenaran dan nilai-nilai yang karena kehilangannya masyarakat manusia mengalami penderitaan selama berabad-abad?

Sesungguhnya setiap orang yang mengenal kehidupan Imam Khomeini yang mulia dan mendengarkan berbagai seruannya dan mengenal pribadinya akan percaya penuh bahwa pelita yang dibawa oleh beliau tidak akan pernah padam dan meredup meskipun terdapat angin kencang dan badai yang mencoba menyimpangan kebenaran: “Dan Allah tetap akan menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.”[4]

Tahun-tahun dan berbagai peristiwa telah berlalu
Dan aku menunggu kelapangan pada medio Khurdad


8. Pembela Rasulullah dan Islam

Setelah berhentinya peperangan Irak-Iran, para pemimpin Barat mulai mengadakan serangan baru terhadap Islam yang revolusioner. Para politikus itu memahami bahwa -melalui perang-Iran-Irak dan pertempuran yang mereka jalani bersama Hizbullah Libanon dan melalui gerakan-gerakan Islam Palestina dan Jihad Islam di Afghanistan, serta melalui terbunuhnya Anwar Sadat di tangan kaum Muslim yang revolusioner pada tanggal 14 Mehr 1360 HS (4 Oktober 1981)- gerakan Islam telah tumbuh secara kuat dan mengakar hingga tidak mungkin dihancurkan dengan senjata atau dengan cara-cara militer. Oleh karena itu, mereka memilih untuk membuka front baru dimana pertarungan di dalamnya bersifat pertarungan spiritual, budaya dan ideologi. Dan karena perpecahan madzhab dan kelompok di tengah kaum Muslim tidak begitu mencuat akibat kesadaran Imam Khomeini dan para pejabat pemerintah Islam, maka mereka menyerang akar dan pondasi yang mengerakkan arus ini yang merupakan puncak keyakinan dan kesucian yang dengan mencintainya akan menimbulkan kesatuan tujuan dan sistem di antara berbagai kelompok gerakan-gerakan Islam. Maka penyebaran buku yang tak berharga “The Satanic Verses” (ayat-ayat setan) karya Salman Rusydi dan dukungan negara-negara Barat secara resmi merupakan permulaan masa baru dari serangan budaya.

Seandainya umat Islam tidak memberikan reaksi yang berarti terhadap penghinaan atas pribadi Rasul Saw yang mulia, niscaya benteng pertama pertahanan Islam telah dapat dikuasai oleh mereka. Dan mereka akan dapat melancarkan serangan berikutnya dengan berbagai cara atas dasar agama dan kesuciannya serta atas keyakinan terhadap hal-hal yang ghaib dan seluruh nilai-nilai luhur maknawi yang terdapat pada masyarakat Islam.

Esensi pemikiran agama dan esensi yang dapat menyatukan umat Islam itu terbentuk dari dasar dan kesucian tersebut. Sementara timbulnya keraguan atasnya dapat mengakibatkan sirnanya jati diri dunia Islam dan gerakannya, bahkan akan dapat melucuti berbagai kekuatan senjata dalam menghadapi serangan budaya dan ideologi Barat.

Didasari atas berbagai realita dan faktor di atas, maka pada tanggal 25 Bahman 1368 HS (14 Februari 1989) Imam Khomeini berhasil mencetuskan revolusi berikutnya. Dalam revolusi ini ia mengeluarkan sebuah keputusan singkat dengan mengumumkan kemurtadan Salman Rusydi dengan sanksi hukuman mati atasnya dan atas orang yang menyebarkan buku tersebut apabila ia mengetahui kandungan buku yang mengajak kepada kekufuran itu.

Kaum Muslimin bangkit dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi serangan Barat tanpa memandang madzhab, bahasa dan negara mereka yang berbeda-beda. Kasus tersebut menampilkan fenomena masyarakat Islam bahwa mereka adalah umat yang satu. Dan sesungguhnya kaum muslimin -meskipun terdapat ikhtilaf intern dan parsial di antara mereka- apabila mereka memiliki pemimpin yang jujur, maka mereka akan mampu memainkan peran aktif dalam upaya menghidupkan nilai-nilai agama bagi masa depan dunia. Sebagaimana Barat mempunyai gambaran yang keliru bahwa dengan menerima keputusan dikeluarkannya hukuman mati tersebut akan menjadikan Iran menyimpang jauh dari tujuan revolusi Islamnya.


Catatan Kaki:
[1]. Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ibunya adalah Fatimah az Zahra, belahan hati Rasul Saw yang mulia. Husain adalah Imam Syi`ah ketiga. Ia dilahirkan di Madinah Munawwarah pada tahun keempat Hijriah (625 M). Tumbuh dan besar di bawah didikan Rasulullah Saw dan pengasuhan ayahnya yang mulia. Imam Husain bangkit pada tahun 61 H menentang pemerintahan Yazid bin Muawiyah, meskipun pendukungnya sedikit sekali. Pertempuran antara para pendukungnya dan Yazid terjadi di suatu tanah yang bernama Karbala. Imam Husain terbunuh dalam perjuangan heroik ini berserta anak-anak dan para sahabatnya yang berjumlah tujuh puluh dua orang. Dan tentara Yazid membawa keluarganya sebagai tawanan ke Syam.
[2]. Shadrul Muta’allihin asy-Syirazi yang populer dengan sebutan Mulla Shadra yang meninggal tahun 1050 H dan yang mendirikan “Hikmah al-Muta`aliyyah“. Disebutkan bahwa kata Hikmah al-Muta`âliyyah juga dipakai oleh Ibn Sina dalam kitabnya “al-Isyârat“, namun madzhab Ibn Sina sama sekali tidak dikenal dengan nama Hikmah al Muta`âliyyah. Dan Shadrul Muta’allihin menamakan fisafatnya dengan sebutan Hikmah al Muta`âliyyah sehingga nama ini menjadi ciri khas filsafatnya.
Dari sisi metodologi, filsafat Mulla Shadra menyerupai madzhab Isyraqi (iluminatif), dalam pengertian bahwa ia meyakini penggunaan argumentasi (istidlâl) dan sekaligus penyingkapan dan peyaksiaan (al-kasyf wa asy syuhud); tetapi ia berbeda darinya dari sisi dasar-dasar (ushuliyyah) dan hasil-hasil (istintâjât). Dan disamping madzhab Mulla Shadra kembali menegaskan perbedaan-perbedaan antara madzhab Masya’i dan Isyraqi, maka berbagai persoalan tajam antara Filsafat dan `Irfan atau Filsafat dan ilmu Kalam telah benar-benar diselesaikan secara tuntas oleh Mulla Shadra. Dan perlu ditegaskan bahwa filsafat Mulla Shadra bukanlah filsafat “pungutan” (falsafah iltiqâthiyyah) atau (filsafat eklektisisme, ed.), namun ia merupakan sistem filsafat yang khusus, meskipun berbagai orientasi pemikiran Islam telah mempengaruhinya.
Mulla Shadra mampu menampung apa yang telah sampai padanya dari filsafat para pendahulu Yunani, khususnya yang berasal dari Plato dan Aristoteles, dan begitu juga iau mampu menampung peninggalan-peninggalan para filosof Islam seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Syaikh Isyraq. Dan apa yang ia tambahkan pada filsafat pada hakikatnya bersandar pada `Irfan-nya yang besar dan kekuatannya serta bimbingan batinnya. Kemudian ia meletakkan dasar-dasar baru dalam Filsafat yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang kuat dan tetap dari sisi argumentasi dan bukti (al-Burhan). Dan ia mampu menyusun persoalan-persoalan Filsafat dengan metode matematis dimana setiap masalah bersandar pada masalah yang lain lalu ia mengambil kesimpulan darinya. Dengan demikian, ia mengeluarkan Filsafat dari berbagai istidlâl (penalaran) yang beraneka ragam.
[3]. Husain bin Manshur yang terkenal dengan sebutan al-Hallaj. Ia termasuk ‘urafa abad ketiga Hijriah (meninggal tahun 309 H/922 M). Al-Hallaj ditangkap karena membawa berbagai keyakinan dan dipenjara selama beberapa tahun. Kemudian para ulama yang sezaman dengannya mengeluarkan fatwa untuk menggantungnya. Kemudian ia dicambuk sebanyak seribu cambukan,dan kakinya dipatahkan dan badannya dibakar dan abunya ditebarkan di sungai Dajlah. Dan salah satu tuduhan yang menonjol yang dialamatkan padanya yang sampai sekarang masih menjadi tanda tanya besar di banyak pikiran orang ialah bahwa ia—saat mengalami maqam al jadbah mengatakan: “Ana al-Haq.”
[4]. Qs. as-Shaf:8.

Tidak ke Barat
Tidak ke Timur


10. Deportasi Imam Khomeini dari Turki ke Irak

Pada tanggal 13 Oktober 1965 (13 Mehr 1343 HS) Yang Mulia Imam Khomeini, bersama putranya, Ayatullah Hajj Aqa-e Mustafa, dideportasi dari Turki ke negara pengasingan kedua, Irak. Penjelasan motif dan sebab-sebab pemindahan ini di luar dari kerja kecil ini (bukan ruang untuk membahasnya di sini). Bagaimanapun, motif dan alasan tersebut dapat disenarai secara umum sebagai berikut: Tekanan konstan komunitas religius dan Hauzah Ilmiah dalam dan luar negeri serta berbagai usaha dan demonstrasi oleh pelajar-pelajar muslim yang studi di luar negeri untuk kebebasan Imam; upaya rezim Syah untuk menunjukkan bahwa keadaan negara berjalan normal dan menunjukkan kekuasaan serta stabilitasnya; untuk memuaskan Amerika dan meraih dukungan lebih; keamanan dan psikologi pemerintahan Turki; meningkatnya tekanan internal dari komunitas religius Turki. Dan yang lebih penting dari semua ini adalah pikiran rezim Syah bahwa atmosfer yang tenang dan anti-konfrontasi yang ada di Hauzah Najaf serta keadaan rezim Hakim Baghdad sendiri; akan menjadi sebuah halangan besar untuk membatasi ruang-gerak dan aksi-aksi Imam Khomeini.

Setibanya di Baghdad, Imam Khomeini pergi berziarah ke Haram Imam Ma’sumin di Kazimain, Samarra’ dan Karbala. Seminggu berselang, Imam pindah ke kediamannya di Najaf. Sambutan meriah oleh rakyat di kota ini atas kedatangan Imam menunjukkan bahwa, -berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh rezim Syah-, pesan Imam Khomeini pada Perlawanan 15 Khurdad benar-benar telah menemukan pendukung di Najaf dan juga di seluruh Irak. Pembicaraan singkat Imam dengan representatif Presiden Irak (Abdul Salam Arif), dan penolakan Imam atas interview yang diusulkan radio dan TV membuktikan bahwa sejak semula Imam bukanlah seorang yang akan membuat kambing-hitam atas panggilan Ilahinya melawan rezim yang berkuasa di Baghdad dan Teheran. Cara ini tetap konsisiten ditempuh oleh Imam selama ia tinggal di Irak. Atas alasan ini, Imam Khomeini benar-benar seorang pemimpin politik dunia yang jarang dijumpai taranya, bahkan tingginya kesulitan dan tekanan politik, Imam tidak memasuki intrik-intrik atau kolusi-kolusi politik yang biasa, tetap konsisten dengan cita-cita dan prinsip-prinsipnya. Ketika pertikaian antara Iran dan Irak memuncak, hanya menunjukkan lampu hijau kecil (redup), merupakan kesempatan emas baginya, seluruh kemungkinan untuk memerangi Syah, tetapi tidak melakukan hal tersebut, Imam hanya berusaha dalam dua front sekaligus, dan pada beberapa tingkatan hingga mencapai batas demarkasi saling berhadap-hadapan melawan rezim Baghdad. Tak syak lagi, kalau bukan karena kecerdasan Imam, Revolusi Islam akan berakhir seperti pergerakan-pergerakan rakyat Iran lainnya, partai-partai dan front-front politik yang senantiasa kandas, dan pada akhirnya mengalami ketergantungan dan kekalahan.

Selama masa 13 tahun tinggalnya Imam Khomeini di Najaf, bermula dengan keadaan, tidak ada tekanan langsung dan pembatasan sekeras ketika berada di Iran dan Turki. Bagaimanapun, oposisi dan halangan-halangan serta cemoohan oleh musuh yang berada di hadapan mata dan bahkan ruhani gadungan dan orang-orang awam menyamar dalam jubah-jubah religius, demikian menyebarnya dan membahayakan sehingga Imam, kendati dengan kesabaran yang terkenal yang dimilikinya, beberapa kali, mengenang dan menyebutkan kegetiran keadaan yang dihadapi ketika itu. Namun demikian, tidak satu pun kekerasan dan kesulitan ini dapat menggoda Imam dari jalan yang telah dipilihnya dengan kesadaran. Imam tahu, sebelumnya, bahwa berbicara tentang perjuangan dan perlawanan dalam atmosfer seperti itu tidaklah memiliki faedah. Imam sadar harus memulainya dari titik yang sama seperti yang dilakukannya di Iran, termasuk Perhimpunan Qum (Majma’-e Qum) sebelum Perlawanan 15 Khurdad, yaitu, dengan reformasi gradual dan merubah situasi-situasi dan melatih sebuah generasi yang dapat memahami tujuan-tujuan dan pesan-pesannya.

Oleh karena itu, meski dengan segala kendala dan oposisi, Imam Khoemini memulai kuliahnya mengajar Fiqh di Masjid Syaikh Ansari Najaf pada bulan Aban 1344 HS (November 1965) dan melanjutkan kelas-kelas ini hingga hijrahnya ke Paris, Perancis.

Keteguhan asasi Imam Khomeini dalam bidang usul dan Fiqh serta kedalaman penguasaan ilmu-ilmu Islam sedemikian sehingga tidak beberapa lama, meskipun dengan segala rintangan, kelas-kelas Imam dikenal sebagai kelas yang paling menonjol di Hauzah Najaf, baik secara kuantitas atau pun kualitas.

Banyak pelajar agama dari Iran, Pakistan, Iraq, Afghanistan, India dan negara-negara Teluk Persia lainnya menghadiri kelas Imam Khomeini setiap hari. Pelajar-pelajar Hauzah Iran yang mencintai Imam Khomeini berkehendak melakukan hijrah massal ke Najaf, namun urung atas saran Imam, karena dianggap perlu untuk menjaga Hauzah Ilmiah Iran tetap berjalan aktif. Namun, banyak di antara mereka yang karena kagumnya terhadap Imam telah sampai ke Najaf, dan secara perlahan, sebuah pusat figur-figur revolusioner, yang meyakini jalan Imam, terbentuk di Najaf. Kelompok inilah yang menjalankan tanggung-jawab dalam menyampaikan pesan-pesan perjuangan Imam pada tahun-tahun yang mendebarkan dan mencekik tersebut.

Semenjak kedatangannya di Najaf Imam Khomeini tetap memelihara hubungan dengan para pejuang di Iran dengan mengirim surat-surat dan kurir-kurir, dan pada setiap kesempatan, meminta mereka untuk berjuang dan tetap teguh dalam mencapai tujuan-tujuan Perlawanan 15 Khurdad. Yang menakjubkan bahwa dalam banyak surat-surat terdapat indikasi-indikasi jelas yang berkisah tentang ledakan raksasa sosio-politik di Iran dan masyarakat ruhani Iran terpanggil, untuk bersiaga mengemban tugas menuntun masyarakat Iran pada masa yang akan datang. Prediksi-prediksi yang dibuat ketika, nampaknya, tidak ada alasan untuk dapat merubah keadaan karena rezim Syah lebih berkuasa dari pada masa sebelumnya, telah mematahkan setiap resistensi.

Periode paling buram pemerintahan Syah, bermula dengan masa pengasingan Imam Khomeini dan supresi keji terhadap lawan-lawan. Savak merupakan alat dan instrumen dari kekuasaan mutlak, sedemikian sehingga, walaupun hanya bertugas di daerah-daerah terjauh, akan mempekerjakan pegawai yang berpikiran picik dan harus dikonfirmasikan dengan Organisasi Keamanan (Savak). Pada masa ini, tidak ada yang tersisa lagi dari cabang-cabang konstitusional (trias politika, eksekutif, yudikatif dan legislatif, penj.) kecuali nama belaka. Syah pribadi, dengan beberapa pria dan wanita yang termasuk anggota istana memegang urusan negara di tangan mereka. Namun demikian, pengakuan Syah dalam bukunya yang terakhir, interviewnya dan tulisan-tulisan anggota keluarga Pahlevi, jenderal-jenderal, petinggi-petinggi rezim yang dipublikasikan setelah kejatuhan monarki di Iran dan dokumen-dokumen yang tersedia di kedutaan besar Amerika, seluruhnya membuat yakin bahwa Syah dan keluarga kerajaan hanyalah alat dan agen belaka, tanpa ada kehendak dari diri mereka sendiri. Dokumen-dokumen ini juga menyingkap kegiatan-kegiatan dan urusan-urusan keluarga kerajaan dan rezim, dan bahkan penunjukan anggota kabinet, jenderal-jenderal, dan penyusunan RUU legislasi yang sensitif diputuskan dan ditulis di kedutaan besar Amerika di Teheran dan terkadang di kedutaan besar Inggris. Di sini, kita hanya akan menunjukkan dua kasus dari pengakuan Syah. Dia menulis, “…Duta-duta besar Amerika dan Inggris berkata pada setiap pertemuan yang kami selenggarakan: “Kami akan menyokong Anda.” Selama musim gugur dan musim dingin pada tahun 1978-1979, mereka mendorongku untuk membangun atmosfer politik yang terbuka… Bilamana Aku menerima diplomat-diplomat Amerika atau wakil-wakilnya, mereka senantiasa menyarankan supaya aku tetap bertahan dan tegar, namun ketika aku meminta duta besar Amerika untuk melakukan hal tersebut, dia berkata bahwa dia tidak menerima instruksi seperti itu… Beberapa minggu sebelumnya, ketika aku menerima wakil baru dari CIA di Teheran, aku terkejut terhadap kebasian dan keusangan ucapannya. Untuk sementara, kita berbicara tentang atmosfer politik terbuka, dan aku menyaksikan senyuman di wajahnya… Di atas segalanya, mereka yang merupakan sekutu setia kami selama bertahun-tahun, menyimpan kejutan-kejutan lain untukku…”[1]

Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam buku ini, Syah berupaya menisbatkan kejatuhan rezimnya kepada faktor-faktor yang tidak real dan yang mengejutkan. Dia berkata bahwa Jenderal Rabi’i, angkatan udara Amerika, telah mengatakan kepada hakim-hakim sebelum tiba eksekusi baginya, “Jenderal Husyer melemparkan Syah keluar dari Iran ibarat melemparkan seekor tikus mati!”[2].

Meskipun perkataan seperti ini merupakan distorsi sejarah, dan bukti-bukti tentang hal ini telah tersedia dan lebih fasih dan jujur berkata-kata ketimbang semuanya, dalam bukunya,[3] Husyer mengakui bahwa dia datang ke Teheran tidak untuk membuang Syah keluar dari negeri Iran tetapi untuk menyelamatkan monarki yang berada dalam keadaan kritis dan menyusun kudeta. Namun dengan asumsi bahwa klaim seperti itu dapat diterima, Syah, berbeda dengan judul yang telah dia pilih untuk bukunya, sama sekali tidak memberikan sebuah jawaban kepada sejarah kecuali berkata dengan semua klaim-klaimnya dan kalimat-kalimat sebagai berikut: “Duhai Cyrus! Tidurlah!; Kami terjaga!”. Selama masa 37 tahun masa kekuasaannya, bagaimana Syah memperlakukan kemerdekaan negaranya sehingga Jenderal kelas dua Amerika, setelah beberapa hari bermukim di Teheran mampu melemparkannya keluar seperti seekor tikus mati?!!

Di atas segalanya, setelah supresi Perlawanan 15 Khurdad dan pengasingan Imam Khomeini, Syah tidak melihat lagi Imam sebagai halangan di hadapannya. Negara dalam keadaan sedemikian rupa sehingga Keluarga Kerajaan (Royal Court) memecat wanita dan melantik menteri-menteri kabinet, hakim-hakim dan wakil-wakil istana. Saudara perempuan Syah, Asyraf Pahlevi, yang memiliki skandal moral dan pemimpin penyelundupan narkotika direfleksikan bahkan pada koran-koran asing, telah digelari sebagai “orang yang serba tahu” dari Keluarga Kerajaan. Pelantikan putra seorang Bahai yang bernama Amir Abbas Howayda, yang memiliki kebiasaan memuji dengan cara merendah, “Persembahan kepada Yang Mulia”, dan yang memimpin kabinet selama 13 tahun, memberikan makna bahwa konstitusi kekuasaan dan “demokrasi” tidak wujud di negara ini meski dalam level yang terendah sekalipun.

Syah sedang mengendarai seekor kuda berderap menuju peradaban tinggi khayalannya; sebuah peradaban yang pilarnya berdasarkan budaya asing; promosi berlebihan penjarahan sumber-sumber daya negara oleh ratusan perusahaan-perusahaan Amerika dan Eropa, secara relatif kemerdekaan struktur agrikultur Iran; membuat kekuatan populasi produktif bergerak ke kota-kota suburban, pinggiran sebagai konsumer dan pekerja nganggur; pengembangan industri tidak berdaya guna, bergantung; penyediaan basis militer untuk menyadap dan melakukan tindakan spionase oleh pasukan Amerika di Iran dan daerah Teluk Persia atas biaya Iran.

Hanya dalam satu tahun (antara tahun 1976-1977), sebanyak 26,4 miliar Dollar pendapatan dari minyak dihabiskan hanya untuk mengimpor peralatan berat militer dari Amerika. Pada tahun 1980 saja, Syah telah memesan peralatan militer seharga 12 milyar Dollar dari Amerika[4], yang tujuan pertama dan utamanya, -menurut kebijakan Gedung Putih- untuk melindungi kepentingan Amerika di daerah sensitif Teluk Persia. Pengaturan dan penggunaan alat militer ini ditandatangani secara eksklusif oleh 60 ribu penasihat Amerika.

Pada puncak stabiltasnya, ketika dia merasa tidak ada tekanan asing atau masalah-masalah yang muncul, Syah memproduksi lebih dari 6 juta barel minyak per hari, sementara jumlah penduduk Iran pada saat itu tidak lebih dari 33 juta orang dan harga minyak –dengan dalih seperti adanya perang Arab-Israel, usaha Barat untuk membuat cadangan minyak yang lebih banyak lagi, memerangi kemungkinan adanya boikot minyak, dan semakin dekatnya persatuan produksi minyak negara-negara Islam –telah melebihi 30 Dollar per barel.

Namun, meskipun berada dalam keadaan produktif seperti ini, banyak jalan-jalan besar di kota-kota Iran yang kekurangan aspal dan sebagian besar negeri tidak memiliki listrik, perawatan kesehatan dan fasilitas sosial. Bahkan, pada saat puluhan, presiden, perdana menteri, dan kepala-kepala negara yang lain melakukan kunjungan ke Iran untuk menghadiri perayaan yang ke 2500 tahun pemerintahan monarki Iran, puluhan ribu warga kekuatan produktif Iran masa-masa lalu dan orang-orang yang menganggur telah menghuni perumahan-perumahan yang berupa gubuk-gubuk yang hampir ambruk dan mereka berkumpul di pinggiran kota (halaby abad) yang terletak di dekat bandar udara Teheran, dan tempat-tempat lain di bagian selatan, timur dan barat kota, dan di beberapa kota yang lainnya. Mereka hidup dalam keadaan miskin, lapar dan memprihatinkan.

Keberadaan pinggiran kota (halaby abad) yang dihadirkan merupakan tontonan yang kurang bagus sehingga sepanjang perayaan, rezim menyembunyikan mereka dari pandangan tamu-tamu asing dengan mengecat tembok-tembok sehingga tanda-tanda “peradaban agung” ini tidak terlihat! Pada saat perayaan, banyak tempat di bagian selatan dan barat Teheran masih kekurangan air minum dan setiap seratus keluarga harus mendapatkan air minum mereka dari satu kran air. Pada tahun 1355 HS (1976), angka buta huruf mencapai 52,9 % dari seluruh penduduk di atas usia 7 tahun ke atas.[5] Ketika Syah melarikan diri pada tahun 1357 HS (1978), 15 tahun telah berlalu semenjak pelaksanaan Revolusi Putih dan reformasi gaya Amerika. Selama masa ini, meskipun produks, penjualan minyak dan sumber-sumber daya alam lainnya serta adanya dukungan dari pemerintahan-pemerintahan asing, tidak dapat meloloskan Iran dari ketergantungan. Di samping itu, setiap hari, negara semakin tergantung kepada orang-orang asing pada sektor ekonomi, agrikultur, industri dan bersamaan dengan keadaan ini, keadaan ekonomi yang suram, kemiskinan merata, dan ketidaksemerataan meningkat. Secara politik, Syah telah mengembalikan Iran menjadi negara yang paling bergantung kepada Barat, khususnya kepada Amerika.

Selama masa pengasingan Imam Khomeini, meskipun dengan kesulitan-kesulitan yang tak-terbilang, ia tidak pernah berhenti dari perjuangannya dan menyalakan harapan kemenangan di dalam hati melalui pidato-pidato dan tulisan-tulisannya. Pada tanggal 27 Farwardin 1364 HS (16 April 1967), dalam sebuah pesan yang disampaikan kepada Hauzah-hauzah Ilmiah, Imam menulis, “Aku menjamin kalian, wahai tuan-tuan yang terhormat dan bangsa Iran, bahwa rezim yang berkuasa akan jatuh. Nenek moyang mereka telah mendapat tamparan oleh Islam… Mereka juga akan mendapatkan tamparan… Tegarlah; Jangan menyerah kepada penindasan; mereka akan berlalu, dan kalian akan tinggal. Pedang-pedang tumpul dan pinjaman ini akan disarungkan kembali.”[6] Pada hari ini, Imam Khomeini menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri, Amir Abbas Howayda. Dalam surat itu, Imam menyebutkan perbuatan-perbuatan zalim rezim dan mengingatkan Howayda ihwal perbuatan Syah terhadap pemerintahan Islam, dengan kalimat berikut ini, “Jangan buat pakta dengan Israel, bangsa ini adalah musuh Islam dan kaum Muslimin, bangsa ini yang telah membuat satu juta kaum Muslimin tanpa rumah. Jangan lukai perasaan kaum Muslimin. Jangan di buka lagi, tangan-tangan Israel dan agen-agen khianatnya ke dalam pasar-pasar kaum Muslimin. Jangan ancam keadaan ekonomi negara dengan menjualnya kepada Israel dan antek-anteknya. Jangan korbankan budaya karena angan-angan dan hawa nafsu…, Berhati-hatilah atas kemurkaan Tuhan; kemarahan bangsa…”.[7]

Syah tidak mengindahkan peringatan Imam. Meskipun negara-negara Muslim berada pada gerbang pertempuran dengan Israel, namun barang-barang Israel mendapatkan perlakuan yang istimewa dan spesial dari rezim Syah; serta memiliki pasar yang baik di Iran, dan aneka buah-buahan Israel dan makanan seperti telur dan ayam Israel secara melimpah dapat ditemukan di pasar-pasar Iran dengan harga yang lebih murah dari pada harga lokal.

Imam Khomeini dalam sebuah pesan yang bertanggal 17 Khurdad 1346 HS (7 Juni 1967), pada kesempatan hari ke-6 pertempuran antara Israel dan bangsa Arab, Imam Khomeini mengeluarkan sebuah fatwa revolusioner melarang setiap hubungan politik dan dagang dengan Israel dan pengkonsumsian barang-barang Israel oleh komunitas Islam.[8]

Fatwa ini merupakan pukulan telak pada perluasan hubungan antara Syah dan Israel. Ulama Iran dan pelajar-pelajar Hauzah dengan mengeluarkan pengumuman, menempatkan Syah di bawah tekanan. Rezim membalas fatwa Imam ini dengan menyerbu kediaman Imam di Qum, menjarah seluruh kitab-kitab dan dokumen-dokumennya, dan menyerang sekolah-sekolah Islam di Qum dan menyita karya-karya dan foto-foto Imam. Selama penyerbuan ini, putra Imam Khomeini, Hujjatul Islam Hajj Sayid Ahmad Khomeini, dan Hujjatul Islam Haji Syaikh Hasan Sana’i serta Almarhum Ayatullah Islami Turbati (wakil syar’i Imam Khomeini) ditangkap dan ditawan. Usaha mereka dan pendukung-pendukung revolusioner lainnya, telah membuat Savak frustasi sehingga berharap untuk memutuskan syahriah Imam (pembagian tunjangan dari Imam kepada para pelajar agama, penj) dan mencegah penyetoran uang-uang syar’i rakyat kepada para marja’ mereka. Beberapa waktu sebelum kejadian ini, Hujjatul Islam Haji Sayid Ahmad Khomeini, pergi ke Najaf untuk menerima pesan dan perintah Imam ihwal administrasi kegiatan-kegiatan di rumah Imam di Qum. Ketika kembali, pada awal tahun 1346 HS, beliau ditangkap di perbatasan Irak dan Iran oleh agen keamanan Syah dan untuk beberapa lama dipenjarakan di Qazal Qal’ah. Selama tahun-tahun tersebut, usaha utama Savak –menurut dokumen-dokumen Savak– adalah memutuskan hubungan Imam Khomeini dengan pengikutnya (muqallid) di Iran dan mencegah pembagian syahriah (gaji bulanan) Imam yang diperuntukkan bagi mereka. Sementara itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh wakil-wakil syar’i seperti Aqa-e Islami Turbati, Hajj Syaikh Muhammad Sadiq Teherani (Karbaschi) dan Ayatullah Pasandideh (saudara sulung Imam) yang, meskipun ada ancaman, penangkapan, pengasingan dari rezim terus berkesinambungan dan begitu juga aktifnya kegiatan keluarga Imam Khomeini di Qum –telah dikenal sebagai inti Perlawanan 15 Khurdad, dan dijalankan oleh putra Imam– merupakan kendala utama bagi rezim untuk memenuhi tujuan-tujuan mereka. Savak sedemikian sensitifnya akan hidupnya kembali nama Imam dan kenangan serta kegiatan keluarga Imam di Qum sehingga selama 4 tahun menempatkan polisi penjaga dan agen-agen keamanan sejak dini hari hingga beberapa jam setelah malam, untuk mengontrol kediaman keluarga Imam dan mencegah frekuensi kedatangan para pengikut Imam ke tempat tersebut. Namun pada tahun-tahun tersebut, para pendukung Imam berkumpul bersama pada saat tengah malam, setelah agen-agen meninggalkan posko mereka untuk mengerjakan urusan yang berkenaan dengan hubungan antara Imam dan rakyat. Pada saat inilah (Khurdad 1346 HS) niat rezim untuk memindahkan Imam dari Najaf ke India dibatalkan oleh penyingkapan dan usaha-usaha perjuangan internal dan eksternal kelompok-kelompok politik.

Dengan naiknya Partai Ba’ats ke tampuk kekuasaan di Irak (17 Juli 1967), dan kebencian Partai Ba’ats terhadap pergerakan Islam, merupakan kendala selanjutnya yang menghadang di hadapan Imam. Meski demikian, Yang Mulia tidak menghentikan perjuangannya. Tempat tinggal Imam di Najaf, reaksi dari dunia Islam terhadap perang Arab-Israel memberikan kesempatan kepada Imam Khomeini untuk bersikap dan mendiskusikan tujuan-tujuannya dalam skala yang lebih luas yang bermakna kehidupan kembali iman dan keyakinan, dalam sebuah area anti-agama, dan mengembalikan kemuliaan Islam, identitas dan persatuannya. Usaha ini tidak hanya terbatas pada perjuangannya melawan Syah di Iran.

Imam Khomeini dalam sebuah percakapannya dengan wakil Organisasi al-Fat’h Palestina pada tanggal 19 Mehr 1347 HS (9 Oktober 1968) menjelaskan pandangan-pandangannya tentang masalah dunia Islam dan jihad rakyat Palestina. Selama interview ini, Imam mengeluarkan sebuah fatwa tentang perlunya mengalokasikan dana zakat untuk membantu pejuang-pejuang Palestina.[9]

Pada awal tahun 1348, perbedaan antara rezim Syah dan Partai Ba’ats tentang sungai perbatasaan telah membawa kedua negara ini kepada pertikaian yang sengit. Rezim Irak mengusir penduduk Iran yang bermukim di Irak dalam keadaan yang memprihatinkan. Dalam situasi ini, Partai Ba’ats berusaha keras untuk memanfaatkan permusuhan Imam Khomeini terhadap rezim Iran. Di satu sisi, Syah mencari kesempatan dan alasan sekecil apapun guna menghadirkan gambar rekaan (yang telah didistorsi) untuk melemahkan pergerakan Imam.

Namun Imam bangkit dan melawan intrik yang berasal dari kedua belah pihak ini dengan sangat bijak. Ayatullah Hajj Aqa-e Mustafa Khomeini mengirimkan secara resmi pesan-pesan Imam yang berisi tentang penentangannya terhadap deportasi pelajar agama (ruhani) dan penduduk Iran lainnya serta menolak setiap kompromi antara Yang Mulia dan Partai Ba’ats di Baghdad, kepada Presiden Iraq, Hassan al-Bakr dan kepada yang lainnya yang hadir pada pertemuan tersebut.

Pada tanggal 30 Murdad 1348 HS, salah satu bagian dari bangunan Masjid al-Aqsa dibakar oleh ekstrimis Zionis. Syah, yang berada di bawah tekanan opini publik, mengusulkan untuk membayar biaya-biaya perbaikan lalu datang membantu Israel sehingga akan meredam amarah kaum Muslimin. Dalam sebuah pesan, Imam menyingkap kedustaan yang dilakukan oleh Syah, dan membuat proposal tandingan, “Tidak hingga bangsa Palestina dibebaskan, kaum Muslimin yang harus memperbaiki Masjid tersebut. Biarkan kejahatan Yahudi Israel terbongkar di hadapan kaum Muslimin dan menjadi sebab bagi pergerakan untuk membebaskan Palestina.”[10]

Selama empat tahun mengajar, usaha dan pencerahan Imam Khoemini telah sedikit merubah atmosfer Hauzah Ilmiah Najaf. Kini pada tahun 1348 HS, di samping pejuang-pejuang dalam negeri, terdapat banyak rakyat Irak, Libanon, dan negeri-negeri Islam lainnya, yang memandang pergerakan Imam Khomeini sebagai teladan dalam gerakan mereka.

Imam memulai rangkaian pelajaran ihwal pemerintahan Islam atau wilayatul faqih pada bulan Bahman 1348. Penerbitan kumpulan ikhtisar dari pelajaran-pelajaran ini dalam bentuk sebuah buku yang berjudul Wilâyat al-Faqih (pemerintahan Islam atau lebih tepatnya, pemerintahan yang dipimpin oleh para ulama dan fuqaha, penj), dibagikan di Iran, Irak dan Libanon, Dan pada musim haji dianggap sebagai sebuah sensasi segar untuk mengusung perjuangan. Dalam buku ini dilukiskan: outlook perjuangan dan tujuan-tujuan pergerakan, dasar-dasar fiqh, usul dan akal dari prinsip-prinsip pemerintahan Islam, serta dalil-dalil teoritis yang berkenaan dengan jalan dan model pemerintahan Islam, di presentasikan dan dibahas oleh pemimpin revolusi.

Pada bulan Urdibehesyt 1349 HS (April 1970), pers Amerika mengumumkan kedatangannya di Iran, dalam sebuah misi yang dipimpin oleh seorang kapitalis terkemuka Amerika, Rockfeller. Mereka tiba di Iran untuk mengkaji pengembalian hasil pendapatan minyak Iran ke Amerika yang terus meningkat semenjak tahun itu dan selanjutnya.

Dan menentukan model keikutsertaan perusahaan-perusahaan Amerika dalam suprah yang terbentang ini. Sejak beberapa bulan sebelumnya, Savak telah memberikan pengumuman kepada ruhaniawan, yang terkait dengan Imam Khomeini yaitu adanya pelarangan untuk berceramah di atas mimbar. Namun, orang-orang pendukung Imam merupakan ruhaniawan yang berdedikasi. Mereka merasa riang setelah mengkaji gagasan-gagasan Imam tentang pemerintahan Islam, mulai menampakkan penentangannya terhadap pelebaran lebih jauh pengaruh Amerika di dalam negeri. Ayatullah Sa’idi yang merupakan salah seorang pendukung fanatik Imam yang dalam peristiwa yang terjadi pada bulan Urdibehesyt 1349 HS (April 1970), ditangkap dan setelah 10 hari mengalami penyiksaan keji oleh Savak mencapai mencapai syahid di dalam penjara Qazal Qal’ah. Perjuangannya dipuji oleh Imam yang disampaikan dalam sebuah pesan, “Ayatullah Sa’idi bukan hanya seorang yang menderita siksaan di sudut penjara.” Pesan Imam juga menyingkapkan bahwa, “Kapitalis ahli dan raksasa Amerika telah menyerbu Iran”; bermaksud untuk mencekik bangsa ini dengan dalih investasi asing yang terbesar… Setiap kesepakatan yang dibuat dengan kapitalis Amerika atau kolonial-kolonial lainnya, adalah melawan kehendak bangsa Iran dan hukum-hukum Islam.”[11]

Catatan Kaki:
[1] . Pâsukh be Târikh, h. 362
[2] . Idem, h. 367
[3] . Makmuriyat dar Tehran, Kenangan Jenderal, Husyer
[4] . Nufudz-e Amrikâ dar Irân, bagian yang berhubungan dengan Pembelian Senjata, dengan mencuplik secara resmi dari statisik yang beredar. .
[5] . Iqtisâd-e Irân, Muasasah Muthala’at-e Pazuhisyha-e Barargani, h. 59
[6] . Barrasi-e wa Tahlili az Nehdhat-e Imam Khomeini, jil. 2, h. 214
[7] . Sahifeh-ye Nur, jil. 1, h. 132
[8] . Barrasi-e wa Tahlili az Nehdat-e Imâm Khomeini, jil. 2, h. 232
[9] . Sahifeh-ye Nur, jil. 1, h. 154
[10] . Barrasi-ye wa Tahlili az Nehdat-e Imâm Khomeini, jil. 2, h. 458 dengan menyuplik dari surat kabar Jumhuriyeh, cet. Baghdad, No. 588, tanggal 1/8/1348 HS (23 Oktober 1969)
[11] . Sahifeh-ye Nur, jilid 1, h. 154


11. Hijrah Imam Khomeini dari Irak ke Paris

Dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Iran dan Menteri Luar Negeri Irak di New York, sebuah keputusan diambil untuk mendeportasi Imam dari Irak. Pada tanggal 2 Mehr 1357 HS (24 September 1978) pasukan Irak mengepung kediaman Imam Khoemini di Najaf. Kabar pengepungan ini membuat berang kaum muslimin di Iran, Irak dan negara-negara lainnya. Dalam kunjungannya kepada Imam Khoemini, Kepala Keamanan Irak, mengisyaratkan bahwa jika Imam berhasrat untuk tinggal di Irak, maka Imam harus menghentikan perjuangan dan aktifitas politiknya. Imam menjawab dengan tegas bahwa, karena merasa bertanggung jawab kepada umat Islam, ia tidak ingin tinggal diam dan juga tidak mau berkompromi.[1]

Pada tanggal 12 Mehr, Imam Khomeini meninggalkan Najaf dan bertolak menuju perbatasan Kuwait. Pemerintahan Kuwait tidak membiarkan Imam masuk ke negeri itu atas isyarat dari rezim Iran. Sebelumnya, ada pembicaraan keberangkatan Imam menuju Libanon atau Suriah. Namun, setelah berkonsultasi dengan putranya (Hujjatul Islam Hajj Sayid Ahmad Khomeini), Imam memutuskan untuk berhijrah ke Paris[2] dan pada tanggal 14 Mehr, Imam tiba di Paris dan dua hari kemudian, ditempatkan di rumah seorang warga Iran, di Neauphle-le Châteay (sebuah daerah suburban di Paris). Petugas-petugas Palais de l’Elysée (istana kepresidenan Prancis) menyampaikan pandangan Presiden Perancis kepada Imam, bahwa Imam jangan terlibat dalam bidang politik. Reaksi dan jawaban keras Imam bahwa pembatasan seperti ini bertentangan dengan klaim Perancis tentang demokrasi, dan ia lebih memilih, terbang bolak-balik antara bandar udara, dari satu negara ke negara lainnya daripada menyerah untuk mewujudkan tujuannya.[3] Giscard d’Estaing, yang kemudian menjabat Presiden Perancis, menyampaikan dalam buku memoarnya bahwa dia telah mengeluarkan perintah agar Imam diusir dari Perancis, tetapi saat-saat terakhir diplomat utusan Syah, yang merupakan hari naas ketika itu, menasihatkan Giscard d’Estaing akan bahaya reaksi yang tak terkendali dan reaksi yang menyala-nyala, dan telah mengumumkan bahwa mereka berlepas diri dari reaksi tersebut, di Eropa dan di Iran.[4]

Selama empat bulan Imam Khomeini bermukim di Paris, Neauphle-le Châteay menjadi pusat pemberitaan terpenting dunia saat pada itu. Dalam berbagai interview dan kunjungannya menyatakan pandangan pemerintahan Islamnya, dan tujuan masa datang gerakannya kepada dunia. Lalu, sejumlah besar orang-orang di dunia menjadi akrab dengan pemikiran dan perlawanan Imam, dan dari tingkatan dan stasiun ini Imam memimpin pergerakan pada masa-masa paling kritis di Iran.[5]

Pemerintahan Syarif Imami tidak berlangsung lebih dari dua bulan. Syah melimpahkan kursi kepemimpinan kabinet kepada pemerintahan militer Azhari. Pembunuhan-pembunuhan diakselerasi, meskipun tindakan ini tidak mempengaruhi perlawanan rakyat. Syah putus asa, kemudian meminta kedutaan Amerika dan Inggris untuk mencarikan jalan keluar namun tidak satu pun dari rencana mereka yang berhasil.[6] Demonstrasi-demonstrasi yang diusung oleh jutaan manusia, yang disebut sebagai, “Referendum informal rakyat melawan Syah”, di adakan pada hari-hari Tâsua’ dan Âsyura (hari ke-9 dan 10 bulan Muharram), di Teheran dan kota-kota lainnya. Syaphuur Bakhtiar, seorang yang berkedudukan tinggi pada Front Nasional, merupakan serdadu terakhir Amerika yang diperkenalkan kepada monarki Syah.

Sejumlah empat pemimpin industri minyak negara dalam konferensi yang dilakukan di Guadalupe telah menyampaikan dukungan bersama mereka kepada Bakhtiar.[7]

Mengikuti dukungan ini, Jenderal Husyer, Wakil Komandan Nato mengadakan perjalanan ke Iran dalam sebuah misi rahasia selama dua bulan. Ia kemudian mengeluarkan pengakuannya, bahwa misinya adalah untuk mengamankan kekuatan militer guna menyokong Bakhtiar, mengorganisir pemerintahannya, menghentikan pemogokan-pemogokan dan menyiapkan kudeta untuk mengembalikan Syah ke singgasana kekuasaan –sesuai dengan apa yang berlaku pada tanggal 28 Murdad 1332.[8]

Namun, pesan-pesan Imam Khomeini ihwal keharusan untuk melanjutkan pertempuran, membuat seluruh rencana Husyer kandas di tengah jalan. Pada bulan Dey 1357 HS (Desember 1978), Imam Khomeini mendirikan Dewan Revolusioner.

Syah kabur meninggalkan negara pada tangal 26 Dey, dua hari setelah panggilan pertemuan Dewan Monarki dan meraih mosi kepercayaan dari kabinet Bakhtiar. Kabar kepergian Syah membuat gembira penduduk di Teheran, dan kemudian seluruh negeri tumpah-ruah ke jalan-jalan, berdendang lagu dan berdansa. Pertemuan regular Husyer dengan penasihat militer Amerika dan jenderal-jenderal militer Syah, tidak dapat menolong Bakhtiar untuk memberangus pemogokan dan menghentikan perlawanan rakyat.

Catatan kaki:
[1] . Silahkan merujuk kepada penjelasan tentang kejadian ini yang berasal dari lisan mulia Imam Khomeini sendiri dalam penjelasannya ketika Sang Imam mengadakan perbincangan dengan Kelompok Kuwaiti yang ada dalam kitab Kautsar, Syarh Waqâye’-e Inqilâb-e Islâmi, jilid. 1, h. 532
[2] . Penjelasan tentang bagaimana peristiwa Hijrahnya Imam Khomeini dari Najaf menuju ke daerah perbatasan yang ada di Kuwait, kembalinya ke Baghdad dan hijrahnya ke Paris serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perjalanan ini disampaikan oleh putra Imam Khomeini dalam kitab Kautsar, waqâye’-e Inqiâb-e Islâmi, jilid 1, h. 434
[3] . Idem.,
[4] .Qudrat wa Zendegi, Kenangan Presiden Perancis, penerjemah: Mahmu Thulu’i, h. 102
[5] . Silahkan rujuk pada kumpulan penjelasan, wawancara-wawancara dan pesan-pesan Imam Khomeini selama masa tinggalnya di Neauphle le Chateay, Perancis dalam kitab Sahifeh-ye Nur, jilid ke-3 dan ke-4.
[6] . Pâsukh beh Târikh, h. 350-364
[7] . Qudrat wa Zendegi (Konferensi Guadalupe), Kenangan Presiden Perancis, penerjemah: Thulu’i
[8] . Silahkan lihat, Ma’muriyat dar Tehrân (penugasan di Teheran), kenangan Jenderal Husyer.


12. Perlawanan 15 Khurdad (15 Juni)

Bulan Muharram yang bertepatan dengan bulan Khurdad 1342 HS telah tiba. Imam Khomeini memanfaatkan kesempatan ini untuk mengajak rakyat supaya bangkit melawan rezim diktator Syah. Pada hari Asyura (hari ke-10 bulan Muharram dan hari syahadah Imam Husain As) massa yang berjumlah sekitar seratus ribu orang, sambil menenteng foto-foto Imam, mengadakan demonstrasi sambil berjalan di hadapan Istana Marmar (kediaman Syah) dan untuk pertama kalinya di ibu kota, terdengar yel-yel, dan slogan “Ganyang Diktator!” –marg bar diktâtur-. Pada hari berikutnya, demonstrasi-demonstrasi diadakan di kampus, di pasar dan di depan kedutaan besar Inggris.

Pada petang hari Asyura 1383 H (13 Khurdad 1342 HS) atau bertepatan dengan bulan Juni 1963, Imam Khomeini menyampaikan pidato bersejarahnya di Madrasah Faiziyyah yang menandai dimulainya perlawanan 15 Khurdad. Bagian utama pidato Imam berkenaan dengan bahaya-bahaya monarki Pahlevi dan penyingkapan hubungan-hubungan rahasia antara Syah dan Israel. Dalam pidatonya, Imam Khomeini dengan lantang mengalamatkan kepada Syah, berkata, “Wahai Tuan! Aku nasihatkan kepada Anda. Wahai Tuan Syah! Wahai Yang Mulia Syah! Aku nasihatkan Anda untuk menghentikan aksi-aksi Anda. Tuan mereka membodohi Anda! Aku tidak ingin melihat rakyat berterima-kasih atas kepergian Anda jika rakyat suatu hari membuat Anda pergi. Jika sesuatu didiktekan kepada Anda untuk dibaca, pikirkanlah… terimalah nasihatku ini… Hubungan apakah yang terjalin antara Syah dan Israel yang membuat Savak (agen rahasia Syah) berkata, “Jangan berbicara tentang Israel…” Memangnya Syah itu orang Israel?[1]

Kata-kata Imam menghujam ibarat sebuah martil yang menimpa jiwa Syah dan menjatuhkan kekuatan serta ketakaburan bak Fir’aun itu, Syah mengeluarkan perintah untuk menghentikan gema perlawanan. Pertama, sejumlah besar sahabat-sahabat Imam ditahan pada petang hari 14 Khurdad dan pada jam 3 pagi tanggal 15 Khurdad, ratusan komandan yang dikirim dari Teheran diperintahkan untuk mengepung kediaman Imam Khomeini dan menangkapnya selagi Imam menunaikan salat malamnya. Mereka membawanya ke Teheran dengan cepat dan menyekapnya di Teheran, pertama di rumah tahanan di Officers Club, dan pada petang harinya mereka memindahkan Imam ke Penjara Qasr. Berita penangkapan Imam menyebar secara cepat di kota Qum dan daerah-daerah pinggiran Qum. Pria dan wanita dari desa-desa dan orang-orang yang berasal dari rumah-rumah mereka sendiri di kota bergerak menuju ke kediaman Imam. Mereka meneriakkan slogan utama, “Khomeini atau Mati!” suara-suara yang meneriakkan slogan ini dapat didengar dari setiap penjuru kota. Kemarahan rakyat sedemikian hebatnya sehingga polisi-polisi melarikan diri. Polisi-polisi ini kembali setelah bersenjatakan lengkap.

Pasukan bantuan dari garnisun (pasukan yang ditempatkan di dalam kota-penj) yang berada di sekeliling kota Qum di kirim ke kota Qum.

Ketika lautan manusia keluar dari Haram Hadrat Ma’sumah As Pasukan garnisun ini memberondong mereka dengan peluru-peluru yang bersenapan mesin. Bentrokan keras tetap saja terus berlangsung hingga beberapa saat. Banjir darah terjadi di jalan-jalan. Helikopter militer lepas landas dari Teheran dan menghancurkan penghalang suara (soundbarrier) di angkasa kota Qum untuk menciptakan ketakutan yang berlebihan. Perlawanan dikontrol dengan menggunakan kekuatan. Truk-truk militer dengan cepat membersihkan jalan-jalan dan gang-gang dari jenazah-jenazah syuhada yang terbantai dan orang-orang yang terluka, dan mengangkut mereka ke tempat-tempat yang tak dikenal. Pada petang hari itu, kota Qum dicekam oleh rasa takut karena peperangan yang terjadi.

Berita penangkapan pemimpin Revolusi telah sampai ke kota Teheran, Masyhad, Syiraz, dan kota-kota lain. Keadaan yang terjadi di Qum ini, terjadi pula di tempat-tempat lain. Rakyat Waramin dan kota-kota sekitarnya berjalan menuju Teheran. Kekuatan militer yang dilengkapi dengan kendaraan berlapis baja dan tank-tank, yang berupaya mencegah orang-orang yang berjalan menuju kota dan pada pertigaan jalan Waramin dan Teheran, berjibaku dengan mereka dan sebagian besar para pengunjuk rasa tewas. Kumpulan dari banyak orang berhimpun di sekitar pasar Teheran dan di pusat kota. Kemudian mereka bergerak dan berjalan menuju istana Syah serta menggemakan, “Khomeini atau Mati“. Dari bagian selatan kota, rakyat yang membanjir, berjalan menuju pusat kota yang dipimpin oleh Tayib Haj Rezai dan Hajj Ismail Rezai. Kedua orang yang berasal dari selatan kota dan yang masih muda ini kemudian ditangkap dan pada tanggal 11 Aban 1342 HS (1963), menjumpai regu penembak. Para pendukung mereka dibuang ke Bandar Abbas.

Orang terdekat Syah, Jenderal Husain Firdaus menulis dalam memoarnya tentang pengalaman dan pilihan kerja sama politik dengan Amerika dan agen keamanan untuk meredakan perlawanan. Sebuah catatan juga diberikan pada memoar itu ihwal kebingungan Syah, keluarga istananya, para jenderal militer serta anggota Savak. Diceritakan bahwa bagaimana Syah dan para jenderalnya dengan ngawur dan kalapnya mengeluarkan perintah untuk meredakan perlawanan.

Dalam menjelaskan parahnya keadaan, Jenderal Firdaus menulis, “Aku berkata kepada Owisyi, komandan Pasukan Pengawal Khusus, bahwa satu-satunya yang dapat diperbuat adalah persenjatai lasykar dengan segala sesuatu yang ada.”[2] Pada akhirnya, kekuatan militer dan polisi Syah, dengan menggunakan seluruh persenjataan yang mereka miliki, dan dengan menembak secara langsung pada rakyat, mampu menguasai keadaan.

Dalam buku memoarnya tentang hari itu, Perdana Menteri Asadullah Alam, menulis surat yang dialamatkan kepada Syah, “Jika kita mundur, kekacauan akan menyebar memenuhi seluruh penjuru Iran dan rezim kita akan menjumpai kejatuhan yang memalukan. Pada waktu itu, bahkan apabila aku memohon kepada Anda (Syah) untuk berkata bahwa jika aku diturunkan dari jabatanku, Anda dapat senantiasa menjaga diri Anda dengan menghukum dan mengeksekusiku sebagai perpetrator (pemicu) atas segala keadaan yang terjadi.“[3] Undang-undang tentang Negara dalam Keadaan Darurat diumumkan pada tanggal 15 Khurdad di Teheran dan Qum. Kendati demikian, demonstrasi yang melebar diadakan pada hari berikutnya, dan semuanya berakhir dengan pertumpahan darah.

Tanggal 15 Khurdad 1342 HS merupakan hari permulaan Revolusi Islam bangsa Iran. Setelah 19 hari masa pemenjaraan Imam di penjara Qasr, Imam dipindahkan ke sebuah penjara di Pangkalan Militer Esyrat Abad.

Dua hari setelah perlawanan 15 Khurdad, Syah menyebut revolusi rakyat sebagai kekacauan yang tak beradab, yang merupakan hasil dari persatuan dan agen-agen reaksioner merah-hitam dan mencoba untuk menghubung-hubungkannya dengan agen-agen luar negeri. Kepada orang-orang seperti Gamal Abdul Nasser.

Kedangkalan dari klaim Syah yang berulang-ulang itu tidak diketahui oleh siapa pun. Elemen-elemen sayap kiri dan kaum komunis tidak memiliki andil apa pun dalam perlawanan ini. Lebih dari itu, Partai Tudeh dan kaum komunis Iran menggunakan radio Moskow untuk mencatat perlawanan dalam tulisan-tulisan mereka dalam rangka menjustifikasi kedudukan mereka. Partai Komunis Soviet memandang perlawanan 15 Khurdad sebagai “gerakan reaksioner membabi-buta terhadap reformasi progressif Syah.”[4] Klaim dusta yang lain dari Syah tentang keterlibatan Mesir, kendati adanya upaya dan intrik Savak, klaimnya tidak dipercaya oleh siapa pun. integritas perlawanan 15 Khurdad sedemikian nampak sehingga tidak berpengaruh dengan label seperti itu.

Dengan penangkapan pemimpin pergerakan pada 15 Khurdad dan pembantaian secara biadab terhadap rakyat, pergerakan nampaknya tertindas. Dalam penjara, Imam Khomeini dengan berani menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para penyidik. Imam bahkan mendakwah mereka dan menganggap sistem peradilan tidak sah dan tidak memiliki kompetensi. Dalam kesendiriannya di penjara Esyrat Abad, Imam memanfaatkan waktunya untuk membaca. Imam mengkaji sejarah kontemporer, termasuk sejarah konstitusi Iran dan sebuah buku karangan Jawaharlal Nehru. Setelah penangkapan Imam, gelombang protes oleh ruhaniawan dan rakyat dalam berbagai strata memenuhi ibukota dan kemudian mereka menyampaikan tuntutannya untuk membebaskan pemimpinnya.

Beberapa ulama terkemuka dari propinsi-propinsi lain hijrah ke Teheran untuk menunjukkan ketidaksetujuannya. Kekhawatiran akan keselamatan pemimpin Revolusi dapat menggerakkan reaksi rakyat di seluruh penjuru Iran. Beberapa ulama yang hijrah di tangkap dalam sebuah serangan dan dipenjara selama beberapa lama.

Syah beranggapan bahwa peristiwa 15 Khurdad berbahaya bagi kedudukannya dan bagi jaminan-jaminan yang diberikan oleh Amerika. Dia mencoba untuk meremehkan peristiwa-peristiwa ini dan menganggap situasi ini sebagai situasi normal dan di bawah kendali.

Pada sisi lain, kemarahan rakyat akibat lamanya waktu Imam ditahan semakin hari semakin memuncak. Oleh karena itu, rezim pada tanggal 11 Murdad 1342 HS, terpaksa memindahkan Imam dari penjara ke sebuah rumah di Dawadiyah untuk dijaga di bawah penjagaan pasukan bersenjata. Mendengar berita pemindahan ini, rakyat Teheran segera mendatangi Dawadiyah. Beberapa saat kemudian, rakyat berdesak-desakan mengelilingi tempat Imam ditangkap dan rezim terpaksa membubarkan mereka dan pasukan militer disiagakan mengepung rumah tersebut. Pada petang hari tanggal 11 Murdad, surat kabar-surat kabar rezim Syah menerbitkan sebuah berita palsu bahwa antara para marja’ dan otoritas rezim, masing-masing telah sampai kepada sebuah kesepahaman. Tidak mungkin bagi Imam untuk mendengar berita bohong ini sehingga imam dapat mengingkarinya. Namun ulama, dengan mengeluarkan sebuah maklumat, mengingkari setiap kesepahaman antara mereka dan otoritas rezim. Di tengah semua ini, statemen Ayatullah Mara’syi Najafi yang tajam, menyingkap dan sangat berpengaruh. Setelah peristiwa ini terjadi, Imam dipindahkan ke sebuah rumah di kawasan Qeitariyeh, Teheran, dibawah penjagaan oleh agen-agen rezim, di mana ditempat pengepungan ini juga Imam tinggal hingga dibebaskan dan kembali ke Qum pada 18 Farwardin 1343 HS (7 April 1964).

Pada awal tahun 1343 HS (1964), rezim Syah, di bawah sebuah kesan bahwa kekasaran perlakuan mereka pada Perlawanan 15 Khurdad telah menjadi sebuah pelajaran bagi rakyat dan membungkam para pejuang, berusaha keras untuk menggambarkan kejadian tahun lalu (1342), sebagai sesuatu yang dilupakan. Pada petang hari tanggal 18 Farwardin 1343 HS, Imam Khomeini dibebaskan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.

Imam segera dibawa ke Qum. Mendengar berita pembebasan Imam, masyarakat Qum akhirnya senang. Pesta besar diadakan dengan meriah selama beberapa hari di Madrasah Faiziyah dan di tempat lain. Tiga hari setelah mendapatkan kebebasannya, betapapun, pidato Imam terbukti propaganda dan khayalan Syah tidak berdasar. Dalam pidatonya, Imam berkata, “Hari ini, perayaan tidak ada artinya. Sepanjang bangsa selamat, larut dalam nestapa atas 15 Khurdad.” Pemimpin Revolusi, dalam pidatonya, memaparkan sisi-sisi Perlawanan 15 Khurdad dan ketika menjawab pertanyaan adanya rumor tentang kesepahaman para marja’ dengan otoritas rezim, ia berkata, “Di dalam makalahnya yang terkemuka tertulis bahwa ada kesepahaman antara kaum ruhaniawan dan Revolusi Putih Syah dan rakyat, dan bangsa telah menyepakati hal tersebut! Revolusi yang mana…? Bangsa yang mana…? Khomeini tidak akan pernah sampai kepada kesepahaman walaupun harus digantung. Reformasi tidak dapat dilangsungkan di ujung bayonet.”[5]

Setelah Imam Khomeini meraih kembali kebebasannya, Savak berencana untuk mengurangi kekuatan para pejuang dengan menciptakan friksi antara ulama dan para marja‘. Menyadari plot ini, Imam Khomeini, dalam pidato bersejarahnya yang disampaikan di Masjid A’zam pada tanggal 26 Farwardin 1343 HS (15 April 1964), berkata, “Aku rela jika seseorang berbuat biadab terhadapku, menampar wajahku, menampar anak-anakku; Demi Allah, aku tidak berharap orang-orang akan bangkit dan membelaku. Aku tahu beberapa orang yang karena kedunguannya atau karena dengan kesengajaannya ingin menciptakan friksi dan perpecahan dalam perhimpunan (assembly) ini. Aku yang sekarang sedang duduk di sini akan mencium tangan para marja’ seluruhnya baik yang ada di Najaf, Masyhad, Teheran dan di mana pun mereka berada. Aku akan mencium tangan seluruh ulama Muslim. Tujuan kita lebih besar dari pada hal itu. Aku akan menyodorkan tangan persaudaraan kepada seluruh negara Islam, seluruh kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia, di Timur dan di Barat…”[6]

Dalam pidatonya ini, Imam Khomeini menentang hubungan rahasia antara Syah dan Israel. Imam berseru, “Wahai Segenap Rakyat! Wahai orang yang mengetahui! Sadarlah bahwa bangsa kami menentang perjanjian (pact) dengan Israel (yang berbuat demikian ini, penj) ini bukan termasuk rakyat kami dan juga bukan termasuk ruhaniawan kami. Agama kami menyerukan untuk tidak mengadakan kesepakatan dengan musuh-musuh Islam.”[7] Imam Khomeini menyebut Syah sebagai orang kecil (mardak); Imam dalam mengalamatkan pidatonya kepada Syah, berkata, “Janganlah berbuat salah! Bahkan jika Khomeini bersepakat dengan Anda, umat Muslimin tidak akan bersepakat dengan Anda! Janganlah berbuat salah. Kami berada dalam kubu pertahanan, yang sama sebagaimana sebelumnya. Kami menentang seluruh rancangan yang telah disepakati dan menentang Islam. Kami menentang seluruh bualan….Bangsa tercinta ini membenci Israel dan antek-anteknya dan membenci pemerintahan yang berkompromi dengan Israel.“[8]

Peringatan pertama Perlawanan 15 Khurdad pada tahun 1343 HS (1964), diadakan dengan sebuah, pengeluaran stetemen bersama oleh Imam Khomeini dan maraji’ lainnya dan stetemen terpisah dari Hauzah-hauzah Ilmiah. Hari itu disebut sebagai hari berkabung nasional. Pada bulan Tir 1343, pejuang besar, Ayatullah Taleqani dan Aqa-e Mahdi Bazargan, pemimpin Pergerakan Pembebasan Iran yang menyokong perlawanan 15 Khurdad, disidang oleh sebuah pengadilan militer dan dihukum penjara dalam jangka waktu yang lama. Imam Khomeini mengeluarkan sebuah statemen yang di dalamnya ia memberikan peringatan, “Para pemberi suara (pemilih) harus menantikan nasib yang buruk.” Imam juga mengusulkan pertemuan mingguan regular di antara kaum ruhani seluruh negeri untuk mengikuti tujuan-tujuan pergerakan dan menuntun perlawanan bangsa.


Catatan Kaki:
[1]. Idem, h. 44
[2] . Dhuhur-e wa Suqut-e Sultânat-e Pahlevi, jil. 1, h. 51
[3] . Gufteguhâ-e Man wa Syâh, Kenangan Yang Mulia Ayatullah Amir Asadullah Alam
[4] . Silahkan Anda lihat pada catatan-kaki 14 pada buku ini.
[5] . Kautsar, Syarh wa Qayi’e Inqilab-e Islami, jil. 1, h. 101
[6] . Idem, h. 112
[7] . Sahifeh-ye Nur, jil. 1, h. 83. Keterangan ini dibubuhi itanda tangan oleh: Ruhullah Musawi Khomeini, Muhammad Hadi Husaini Milani, Syahabudin Najafi Mar’asyi, Hasan Thabathabai Qumi.
[8] . Idem., jilid 1, h. 62

(Telaga-Hikmah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: