Pesan Rahbar

Home » , , » Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Shadrian

Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Shadrian

Written By Unknown on Saturday, 23 August 2014 | 01:28:00


Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak  yang tak terlihat (baca: wujud Tuhan).
Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam. 
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.
Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini, merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini menyebabkan perkara-perkara tentang ke-Tuhan-an terpaparkan jauh dari hakikat kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya. 
Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul serta yang dicerap secara benar oleh filosof-filosof Ilahi; Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.
1. Perspektif Teologis Mulla Sadra 
Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud lain. 
Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi persepsi yang benar tentang Tuhan sebagai suatu wujud yang memiliki cakupan perwujudan hakiki atas semua realitas wujud-wujud (baca: wujud kontingen atau makhluk), Dia meliputi segala sesuatu, wujud secara hakiki hanya milik-Nya dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli-Nya.
Gambaran Mulla Sadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini beserta argumen shiddiqinnya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban ilmu Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis dalam dunia Islam. Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan wahyu sebagai teks suci Tuhan dan semua aliran pemikiran filsafat dan teologi. 
Dalam mazhab pemikiran Mulla Sadra, wujud makhluk, jika dibandingkan dengan wujud Tuhan bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut sebagai bayangan, citra dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tak menampakkan dirinya sendiri tapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah sesuatu wujud mandiri   dimana dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan terbayangkan, tetapi dia adalah citra dan tajalli Tuhan itu sendiri. Dalam aliran filsafat, secara umum dikatakan bahwa wujud terbagi atas dua yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk, dengan perbedaan bahwa wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya (swa-wujud), tak terbatas, azali dan abadi, dan sementara wujud makhluk bergantung kepada-Nya, terbatas dan baru tercipta (hadits). Cara penjabaran seperti ini, juga digunakan oleh Mulla Sadra di awal pembahasannya tentang wujud, tapi secara perlahan-lahan dan sistimatis – setelah kajiannya tentang prinsip kausalitas, wujud hubungan, kebergantungan hakiki wujud kuiditas dan kehakikian wujud – dia kemudian mewarnai kajian-kajian filosofisnya dengan warna yang berbeda dari filsafat umum dan mengubah pandangannya secara ekstrim tentang hubungan Tuhan dan selain-Nya.  
Konstruksi argumen Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan konstruksi yang dibangun oleh Ibnu Sina Dan Al-Farabi. Dalam pemikiran Al-Farabi, wujud “awal” dan “esa” adalah Wâjib al-Wujud. Oleh karena itu, Dia tak membutuhkan yang lain dalam perwujudan dan keabadian-Nya. Dia adalah Sebab Pertama untuk semua realitas wujud, Dia sempurna, tak bergantung, abadi, bukan materi dan tak mengalami perubahan. Tuhan juga secara esensial memiliki ilmu dan mengetahui segala realitas yang terjadi di alam. Tak satupun yang menyamai dan menyerupai-Nya. 
Al-Farabi untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat, membagi secara rasional wujud-wujud kontingen ke dalam dua bagian yaitu wujud dan kuiditas, dan kuiditas itu dibagi lagi menjadi sepuluh kategori dari substansi dan aksiden. Pembagian ini, berefek pada terpecahkannya banyak masalah yang prinsipil dalam filsafat Islam, dan karya ini kita tidak saksikan dalam filsafat Yunani. Pengaruh universal dari pemikiran Al-Farabi tersebut adalah munculnya pengertian baru dalam konsep hakikat dan hubungan sebab-akibat. Sebagaimana Al-Farabi berkata, “hakikat adalah Tuhan”, dan makna lain tentang wujud dalam tulisan-tulisannya berpijak pada makna tersebut. Ketika dia menyatakan bahwa “hakikat” itu adalah kesesuaian ilmu dengan ” realitas sesuatu”, maka pandangannya adalah bahwa segala realitas yang berwujud di alam secara hakiki hadir dalam ilmu Tuhan dan apa yang ada di sisi Tuhan termanifestasikan dalam batasan-batasannya. 
Tuhan yang diyakini Al-Farabi sebagai seorang muslim sama dengan Tuhan digambarkannya sebagai seorang filosof, Tuhan  sebagai “Sebab Tertinggi” untuk semua realitas eksistensi, “Sebab” seperti itu sama dengan konsep “Tunggal”nya Plato atau “Akal Ilahi“nya Aristoteles. Selain itu, dia juga menganggap Tuhan sebagai Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas. Dalam hal ini, pandangan dia tak sama dengan Plato dan Aristoteles, karena Plato berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berdasarkan “alam ide” (‘âlam mutsul, mundus imaginalis)[1], dan berlainan pula dengan Aristoteles yang memperkenalkan Tuhan sebagai “Tujuan Akhir” alam dan segala realitas wujud. Dalam pandangan Plato, Tuhan tidak mewujudkan makhluk dari “alam ketiadaan”. Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan bukan Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas. 
Kaum muslimin secara umum mempersepsikan Tuhan sebagai: “Sesuatu yang mencipta alam ini”, mereka memperkenalkan Tuhan sebagai Pencipta dan terkadang juga sebagai Pengatur dan Yang disembah. Filosof Islam, dengan memperhatikan fenomena lahirnya persepsi tentang Tuhan yang bersumber dari perbuatan-Nya dan realitas prilaku makhluk-Nya yang terjadi di tengah masyarakat teisme, berusaha mengaplikasikan satu istilah yang terbias langsung dari wujud suci Tuhan dan mewakili persepsi secara universal tentang-Nya, istilah ini tanpa mesti berasal dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan makhluk-Nya, istilah yang digunakan para filosof tersebut adalah Wâjib al-Wujud (Wujud Wajib) yang berarti bahwa sesuatu yang niscaya berwujud dan mustahil tiada. Dari sini, menjadi jelaslah bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Tuhan para Nabi dan Rasul secara aktual, tetapi Tuhan mereka bukanlah Tuhan yang hanya sebagai Pencipta, Tuhan mereka adalah Tuhan yang jika berkehendak Dia bisa mencipta, Tuhan dengan kriteria seperti ini meniscayakan Maha Kaya, sempurna, tak terbatas dan tak bergantung kepada yang lain. 
Al-Farabi dan Ibnu Sina yang merumuskan perbedaan metafisik antara kuiditas dan wujud ke dalam filsafat Islam, menjadikan filsafat ini berbeda secara mendasar dengan kontruksi filsafat Aristoteles. Al-Farabi menegaskan bahwa “keberwujudan” merupakan keniscayaan dari hakikat wujud dan kuiditas sebagai sesuatu yang “tercipta” tak memiliki wujud hakiki dan hanya sebagai bayangan wujud. Persepsi kuiditas – yang bersifat universal itu dan bisa terterapkan pada individu-individu yang berbeda – mustahil terwujud dan mengaktual secara hakiki. 
Oleh karena itu, tolok ukur “keberwujudan” mustahil didapatkan dari kuiditas-kuiditas yang digandengkan bersama, bahkan kuiditas yang nampak di alam luar tersebut secara esensial mustahil terterapkan pada individu yang lain, satu kuiditas secara esensial hanya terterapkan bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, hanya wujud yang secara esensial terwujud (tercipta) dan setiap kuiditas partikular yang tercipta itu karena “berpijak” kepada wujud. Tanpa “keberpijakan” ini kuiditas mustahil tercipta.  
Gagasan besar Al-Farabi ini tercatat dalam sejarah filsafat karena secara prinsipil mengubah substansi kajian-kajian filsafat dan cara pandang kaum filosof. Sebelum lahirnya gagasan ini, kajian filsafat dalam mengenal hakikat realitas wujud didasarkan pada pengenalan kuiditas, kuiditas sebagai tema sentral dan penting dalam observasi filsafat. Sekarang ini, para filosof menjadikan wujud sebagai prinsip dasar dalam menggali dan mengenal hakikat realitas. Semua pengkajian filsafat diawali pembahasan wujud dan ontologi. 
Berdasarkan gagasan tersebut, jelaslah bahwa terdapat perbedaan yang substansial antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Islam, karena alam dalam pemikiran Aristoteles bersifat abadi dan azali, Tuhan tidak menciptakan alam kita ini. Alam dalam ide-nya adalah suatu alam yang berwujud secara aktual dan mustahil menjadi tiada. 
Argumentasi Al-Farabi dalam menegaskan wujud Tuhan dikatakan argumen imkan dan wujud, burhan ini berpijak pada perbedaan antara wujud (wajib) dan wujud kontingen (mumkin). Dalam argumen tersebut, secara mendasar dan hakiki mengakui adanya realitas wujud-wujud kontingen (mumkin) dan kemudian, berdasarkan watak kebergantungan wujud-wujud kontingen secara esensial, maka terbuktilah “wujud wajib” atau Wâjib al-Wujud. Lebih lanjut dia berkata bahwa segala sesuatu yang berpisah antara wujud dan kuiditasnya, maka dia mustahil menjadi wujud yang mandiri, karenanya dia pasti memperoleh wujudnya dari yang lain, mata rantai “pemberi wujud” ini harus berujung pada “Pemberi Wujud” yang hakiki dimana wujud-Nya menyatu dengan “kuiditas” dan tak ada lagi pemisahan antara keduanya. Kuiditas adalah wujud-Nya sendiri. Argumentasi Al-Farabi tentang penegasan eksistensi Tuhan, disamping menegaskan keniscayaan dan keaktualitasan murni wujud Tuhan juga membuktikan bahwa Tuhan sebagai Sebab Hakiki perwujudan semua makhluk dari “alam ketiadaan” atau hâdits[2] (lawan dari qadim, azali). 
Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari argumentasi Al-Farabi di atas adalah alam, dalam semua realitas wujudnya, secara esensial bergantung kepada Tuhan dan jika Tuhan sedetik saja tak “memancarkan” wujud kepadanya maka alam niscaya tiada. Jadi, wujud kontingen (mumkin) “sebelum” dan “sesudah” penciptaan secara mutlak butuh kepada Tuhan. Alam ini dalam huduts dan “keabadian” wujudnya bergantung kepada Tuhan. 
Ibnu Sina menyebut salah satu argumennya dengan nama burhan shiddiqin, ini secara terperinci dimuat dalam kitabnya yang bernama al-Isyarat wa al- Tanbihat[3]. Penamaan argumen ini dengan nama shiddiqin karena berlatar pada keagungan dan kekuatannya dalam penegasan dan pembuktian wujud Tuhan. Ibnu Sina, dalam argumentasinya, berusaha memaparkan secara rasional penegasan wujud Tuhan tanpa menggunakan perantaraan wujud kontingen dan makhluk. Oleh karena itu, dia mengagungkan burhan ini atas argumen lainnya. Bentuk penguraian filosofis yang dilakukannya itu, tak dilakukan oleh para filosof sebelumnya. Dia pantas bangga dan terharu atas anugrah Tuhan padanya. Burhan ini, diterima oleh banyak filosof dan teolog setelahnya, dan mereka bahkan menjabarkan burhan tersebut dalam tulisan-tulisan mereka dan terkadang hanya mencukupkan argumen itu dalam pembuktian wujud-Nya. Ini juga merupakan bukti nyata keagungan dan kekuatan burhan tersebut. 
Setelah Ibnu Sina, burhan tersebut muncul dalam bentuk yang beraneka ragam dan dalam mazhab filsafat Mulla Sadra, dengan perantaraan filosof Mulla Hadi Sabzewari hingga Allamah Thabathabai, burhan ini termanifestasikan dalam suatu konstruksi yang semakin efektif dan efisien dalam penegasan eksistensi Tuhan. 
Tak ada keraguan bahwa burhan shiddiqin ini bukan merupakan warisan dari filsafat Yunani, dia sebagai karya otentik filosof muslim dan sekaligus kebanggaan bersejarah dari evolusi rasionalitas filsafat Islam. Tak bisa dibayangkan, kalau filosof seperti Plato dan Aristoteles memiliki gagasan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri lantas mengkonstruksi bentuk burhan seperti itu. Berbeda dengan filosof agung Ibnu Sina yang menggagas bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri dan mustahil realitas selain-Nya memiliki esensi tersebut. Burhan ini secara langsung, tanpa perantara realitas selain-Nya, menegaskan wujud Tuhan, ini tidak sebagaimana kaum teolog membuktikan Tuhan dari sisi ke-huduts-an makhluk dan juga tidak seperti Aristoteles menetapkan Tuhan dari dimensi gerak alam. 
Burhan shiddiqin versi Ibnu Sina ini, berpijak pada prinsip kehakikian realitas wujud yang merupakan lawan dari penolakan mutlak atas kehakikian eksistensi. Setelah kita yakin pada kehakikian wujud eksternal, maka kita lanjut pada pembagian logis bahwa eksistensi eksternal itu hanya terbagi ke dalam dua bagian yaitu Wujud Wajib atau wujud kontingen, kemudian kita letakkan kebutuhan esensial wujud kontingen kepada sebab pengada itu sebagai alur utama argumen, dengan bersandar pada kemustahilan daur dan tasalsul, disimpulkan bahwa wujud kontingen mutlak bergantung pada Wujud Wajib. Yang harus diperhatikan dalam burhan tersebut adalah tak ada keharusan menerima realitas wujud kontingen, karena kalaupun wujud kontingen itu tiada maka yang ada “alam luar” niscaya Wujud Wajib, jadi jangan dipahami bahwa wujud kontingen itu sebagai perantara dalam argumentasi tersebut. Karena yang bisa kita saksikan di luar adalah wujud kontingen, maka burhan berawal darinya, tapi kalau kita bisa “saksikan” secara langsung dan hudhuri maka wujud Tuhan otomatis terbukti dengan sendirinya. Dia adalah swa-bukti sebagaimana Dia juga swa-ada.
Ibnu Sina, dalam pasal keempat kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat setelah menjelaskan burhan ini dalam menegaskan wujud Tuhan dan burhan-burhan lain yang bersandar pada silogisme burhan tersebut dalam membuktikan keesaan dan sifat-sifat Tuhan, berkata, “Saksikanlah bagaimana argumen kami tentang penegasan Wujud Pertama dan ketunggalan-Nya yang tak membutuhkan selain wujud itu sendiri dan bagaimana penjabaran kami tak lagi berpijak pada perbuatan-Nya dan makhluk. Walaupun semuanya itu adalah dalil atas keberadaan-Nya, tetapi metode tersebut (burhan shiddiqin) lebih kuat dan lebih sempurna karena pijakannya pada realitas wujud itu sendiri, kesimpulannya adalah kesaksian atas Wujud Wajib dan kesaksian bahwa wujud-Nya terletak sebelum realitas wujud-wujud lainnya. Kandungan burhan tersebut sesuai dengan ayat al-Quran yang berbunyi, “Segera akan tampak tanda-tanda kami di alam dan jiwa-jiwa mereka hingga menjadi jelaslah kebenaran bagi mereka”. Saya berkata, “kandungan ayat ini untuk kaum tertentu”. Dan setelah itu Tuhan berfirman, “Apakah tak cukup dengan Tuhanmu bahwa sesungguhnya Dia saksi atas segala sesuatu”. Saya berkata, “kandungan ayat ini untuk shiddiqin dimana mereka menjadikan wujud Tuhan itu sendiri sebagai saksi atas-Nya dan bukan segala realitas wujud bersaksi atas wujud Tuhan, Dialah saksi atas segala realitas bukan sebaliknya.” .
Nampak dalam argumentasi Ibnu Sina di atas bahwa burhan tersebut mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang pasti tentang eksistensi Tuhan tanpa menggunakan makhluk sebagai perantara dan murni menggunakan perhitungan rasionalitas dalam penegasan-Nya. Negasi wujud Tuhan merupakan hal yang tak terbayangkan, karena Ibnu Sina dan sebagaian filosof muslim berpandangan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Kaum ateis yang tak mampu secara rasional menegaskan wujud Tuhan pada akhirnya hanya berpikir tentang kemungkinan ketiadaan-Nya dan menolak eksistensi-Nya.   
Dengan burhan tersebut, Ibnu Sina membuka bab baru tentang pembuktian wujud Tuhan dalam filsafat Islam dan sekaligus membuka peluang munculnya teori yang mendasar dalam pembahasan tentang Tuhan dalam teologi Kristen setelah Thomas Aquinas. Ibnu Sina dalam burhan tersebut menggunakan satu cara yang disebut dengan “kemestian rasionalitas”  menetapkan wujud Tuhan  dan juga tentang ilmu Tuhan yang mendahului dan meliputi segala realitas, burhan itu juga menegaskan bahwa semua realitas alam secara esensial bersifat mungkin berwujud dan karena wujud Tuhan dia bersifat mesti berwujud. 
Dari sudut pandang metafisika, gagasan inti Ibnu Sina itu adalah mencoba menyempurnakan pendapat Aristoteles yang mendasarkan bahwa setiap realitas wujud terbentuk dari dua bagian yaitu materi (al-mâdda) dan forma (as-shurah). Ibnu Sina yakin bahwa mustahil terwujudnya realitas luar hanya didasarkan oleh salah satu dari materi dan forma. Dalam kitabnya asy-Syifa[4] dia juga menganalisa hubungan antara materi dan forma, yang akhirnya berkesimpulan bahwa materi dan forma berhubungan dan bergantung kepada akal fa’âl (active intellect)[5]. 
Lebih lanjut dia berkata bahwa wujud gabungan (composite existence) tak terwujud hanya dengan perantaraan materi dan forma, tetapi harus dipengaruhi juga oleh “sesuatu yang lain”. Dia berkata, “Segala sesuatu yang tunggal (tak bercampur) berwujud, maka wujudnya terambil dari sesuatu yang lain dan secara esensial “meminta”  ketiadaan. Bukan cuma wujud tunggal itu, yang hanya materi atau hanya forma, yang “meminta” ketiadaan, tetapi keseluruhan wujud sesuatu (yaitu gabungan materi dan forma)”. Walaupun di beberapa tempat Ibnu Sina membahas bahwa materi sebagai “sumber” kejamakan forma atau kuiditas, tetapi dia tak menyatakan bahwa materi dan forma merupakan sumber terwujudnya sebuah realitas eksternal. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan satu-satunya sumber lahirnya segala realitas wujud di alam. 
Rumusan burhan dan argumen Mulla Sadra dalam penegasan wujud Tuhan berbeda dengan burhan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mulla Sadra juga mengkritik burhan milik Ibnu Sina dan menganggapnya bahwa burhan tersebut tak tergolong sebagai burhan shiddiqin[6]. Menurut Mulla Sadra, walaupun dalam burhan tersebut tak meletakkan wujud makhluk sebagai perantara, tetapi sebagaimana para teolog dan ilmuwan alam, menggunakan kebergantungan (imkan) yang merupakan watak asli kuiditas sebagai perantara dalam burhan tersebut. 
Mulla Sadra yang berbeda dengan Ibnu Sina, ketika mengkaji perbedaan antara Tuhan dan realitas alam dan kemudian menyebut Tuhan sebagai Wujud Wajib (necessary existence) dan selain-Nya sebagai wujud mumkin (contingent existence), maksud dari “Wujud Wajib” adalah wujud murni atau tak berangkap (bercampur) dimana memiliki intensitas wujud yang tak terbatas, dan maksud dari wujud mumkin adalah “wujud” hubungan atau bergantung dimana dalam “perwujudan” dan kesempurnaan “wujud”nya bergantung secara mutlak kepada Wujud Wajib[7]. 
Mulla Sadra, dalam burhannya, pertama-tama menegaskan hakikat wujud (baca: Wujud Wajib) dan setelah itu, membuktikan wujud kontingen. Dengan demikian Wujud Wajib sebagai perantara untuk membuktikan wujud kontingen, dalam pandangannya wujud kontingen itu bukan wujud kedua setelah Wujud Wajib tapi merupakan manifestasi, citra dan tajalli Wujud Wajib. Jadi, “wujud” kontingen tidak berada dalam satu tingkatan dengan Wujud Wajib, tapi Dia meliputi “wujud” kontingen secara hakiki. 
Dalam burhan shiddiqin Mulla Sadra hanya berbicara tentang wujud hakiki dan wujud eksternal, dan perbedaan antara wujud-wujud eksternal tersebut pada dataran intensitasnya yang bersifat berjenjang dan bertingkat; sementara dalam burhannya Ibnu Sina berangkat dari persepsi wujud dimana wujud dibagi atas dua bagian yaitu Wujud Wajib dan wujud kontingen, wujud kontingen terbentuk dari wujud dan kuiditas sementara Wujud Wajib adalah murni wujud dan suci dari kuiditas. 
Secara umum, diantara para filosof muslim dalam penegasan wujud Tuhan, terdapat dua aliran pemikiran: 
Pertama, aliran pemikiran semisal Ibnu Sina; 
Kedua, aliran pemikiran seperti Mulla Sadra.  
Aliran pemikiran Ibnu sina, langkah pertama burhan mereka adalah membagi dua wujud eksternal tersebut menjadi Wujud Wajib dan wujud kontingen, dan langkah kedua argumen ini adalah menetapkan bahwa wujud kontingen mustahil terwujud, dengan berpijak pada kemustahilan daur dan tasalsul, tanpa Wujud Wajib. 
Dalam aliran pemikiran Mulla Sadra, sistimatika burhannya pertama-tama dimulai dari penegasan tentang realitas wujud eksternal dan pengkajian atas kehakikian kuiditas atau wujud. Dia mengecam kaum yang ragu atas realitas eksistensi, langkah yang dilakukan oleh filosof eksistensialis ini yang kemudian membedakannya dengan kelompok Sophis.  
Dalam pahamannya, realitas wujud eksternal itu hanya satu yang hakiki dan lainnya bersifat majasi. Langkah berikutnya, dia menegaskan bahwa yang hakiki itu adalah wujud dan kuiditas bersifat majasi. Langkah ketiga adalah menetapkan bahwa hakikat wujud hanya satu dan tak lebih, kejamakan dan pluralitas hanya terpancar pada dataran manifestasi wujud. Langkah keempat, hakikat wujud yang bersifat hakiki dan tunggal adalah Wujud Wajib dan bukan milik “wujud” kontingen; karena kalau milik “wujud” kontingen maka dia harus bergantung kepada selainnya, sementara tiada yang lain selain hakikat wujud dimana hakikat wujud itu bergantung kepadanya. 
Dengan demikian, hakikat wujud identik dan setara dengan Wujud Wajib yang mustahil meniada. Di sisi lain, kita melihat bahwa realitas alam senantiasa mengalami perubahan dan akan punah, maka dari itu kita menghukumi bahwa realitas alam ini bukan hakikat wujud, tapi bayangan dan citra wujud. 
Mulla Sadra dalam kitab Masyâ’ir juga meletakkan hakikat wujud tersebut sebagai inti argumentasinya dan bukan persepsi wujud. Dalam uraiannya dia berkata, “Tuhan memiliki intensitas wujud tak terbatas dan keterbatasan itu adalah kemestian dari manifestasi-Nya”[8]. Dari alur pemikiran ini, terlontar pertanyaan bahwa kenapa Wujud Wajib senantiasa menjadi Wujud Wajib dan mengapa Sebab Pertama terus menjadi Sebab Pertama, jawabannya adalah karena hakikat wujud itu merupakan satu-satunya hakikat untuk realitas alam, hakikat wujud secara esensial adalah ketakbergantungan kepada yang lain, keniscayaan itu sendiri, awal dan akhir itu sendiri, dan sebab dan sumber segala keberadaan. Jadi, pertanyaan tentang-Nya yang zat-Nya merupakan Sebab Pertama itu sendiri, sama sekali tak berdasar. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran Mulla Sadra, pertanyaan yang muncul dalam benak kita tak semestinya berbentuk, “kenapa Sebab Pertama terus sebagai Sebab Pertama”? tetapi berbunyi, “kenapa sesuatu yang bukan sebagai sebab pertama adalah akibat dan tak sempurna, dan akibat itu senantiasa terbatas, hadir terbelakang dan bergantung”? Jawabannya,karena kesempurnaan, keaktualan, ketakbergantungan dan ketakterbatasan merupakan konsekuensi dari hakikat wujud tersebut, sedangkan manifestasi dan tajalli konsekuensinya adalah kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan, semuanya sifat ini identik dengan ke-akibat-an. 
2. Gagasan Tentang Tuhan 
Berdasarkan alur pemikiran di atas, gagasan Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada persepsi tentang “keniscayaan wujud” dan menurut mereka juga memperkenalkan Tuhan tak cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an dan tolok ukur ketakbutuhan dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan mereka perbedaan antara Wujud Wajib dan wujud kontingen adalah bahwa wujud kontingen terangkap dan tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wujud Wajib merupakan wujud murni dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri berada pada tingkatan esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya, maka zat-Nya pada tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti butuh pada wujud tersebut. Mulla Sadra berpendapat bahwa ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan  tak cukup dengan menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi Tuhan dan wujud. Dalam pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud murni dan basith bukan dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan, teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi[9] merupakan maujud hakiki dan bukan maujud majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah kehakikian dan ketakbutuhan kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang esensi Tuhan harus mengikut sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut. 
Dalam sistem metafisika hikmah muta’aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujud), wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia harus bergantug kepada Wujud Mutlak. 
Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud-Nya tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya realitas lain. 
Dengan demikian, simplisitas (al-besâthat) memiliki pengertian yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana mustahil menegasikan salah satu kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga dzat-Nya menyatu secara hakiki dengan sifat-Nya. 
Perbedaan Tuhan dan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk, kekuatan-Nya dan kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan perbedaan yang saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat “mencakupi” dan “meliputi”. Dengan ungkapan lain, segala wujud-wujud selain-Nya merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi cahaya dzat dan sifat-Nya dan bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan berpisah secara hakiki dari wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra, pemahaman tauhid seperti itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimiliki oleh para monoteis sejati dari ‘urafa dan hukama muta’aliyah. 
3. Kesatuan Wujud 
Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang bersifat bilangan matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari filsafat Islam yang tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori cemerlang itu tak lepas dari pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin ajaran suci Islam dan kajian kontemplatif filsafat Islam.  Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai azas yang paling mendasar dalam hikmah muta’aliyah dan juga dasar pijakan pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra. 
Gagasan tersebut kita tidak temukan dalam pemikiran filosof Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Para filosof yang memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas menamakan kesatuan itu sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf (irfan) kesatuan itu disebut al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini berarti bahwa Tuhan merupakan wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya. 
Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan. Dia adalah Yang Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua setelah-Nya. Bilangan merupakan kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan kuantitas terpisah (kam al-munfashil) dari aksiden, dan aksiden termasuk dalam kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (non materi) tak termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud  mereka bersifat substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas.  
Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata tak dapat melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata, “Para filosof muta’allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan  mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi oleh intensitas pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna “meliputi” dan “mencakupi” realitas wujud-Nya.”[10] 
4. Keazalian dan Keabadian Tuhan
Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud tunggal yang hakiki (wahid hakiki) mesti memiliki dua sifat dasar, yang pertama adalah harus azali. Yang dimaksud dengan azali adalah sesuatu yang tak pernah tiada dan tak ada sesuatu yang lain mendahuluinya. Ruang dan dan waktu tak berpengaruh atas sesuatu yang azali. Sifat yang kedua adalah zatnya berpijak pada esensinya sendiri yakni wujud dan sifatnya tidak bersandar pada realitas lain, dia tak dicipta oleh wujud yang lain dan juga tak ada satu realitaspun yang dapat membinasakannya. 
Zat Tuhan hadir lebih dahulu atas waktu, atas segala keberadaan dan atas segala permulaan, konsep ini merupakan salah satu pemikiran yang cermat dan jitu dalam filsafat Ilahi, dan pengertian keazalian Tuhan bukan hanya bermakna bahwa Dia senantiasa berada bahkan keazalian Tuhan diatas ke-senantiasa-an keberadaan tersebut, karena ke-senantiasa-an itu mengharuskan adanya waktu sementara Tuhan, disamping bersama dengan segala realitas waktu, juga mendahului segala sesuatu termasuk waktu itu sendiri. Inilah pengertian yang benar tentang keazalian Tuhan. Tuhan adalah wujud murni dan semata-mata aktual serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Wujud-Nya tersembunyi dihadapan panca indera kita, tapi secara riil Dia adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan paling bercahaya, bahkan Dia adalah cahaya itu sendiri. Kesempurnaan Tuhan justru terletak diantara lahir dan batin atau jelas dan tersembunyi. 
Berdasar pada kenyataan di atas, Mulla Sadra menarik kesimpulan bahwa al-Wahid al-Hakiki adalah suatu wujud yang tak butuh kepada sebab dan berpijak pada zat-Nya sendiri, disamping itu dia juga menetapkan simplisitas wujud-Nya (al-besâthat), ke-esa-an, ke-tunggal-an dan kesucian wujud-Nya dari segala bentuk kebercampuran, kejamakan, perubahan dan gerak serta keserupaan-Nya dengan makhluk-makhluk. Tuhan disebut Wâjib al-Wujud dari sisi bahwa wujud-Nya berdiri sendiri dan mutlak yakni memiliki kemandirian esensi dan zat serta tak butuh kepada wujud yang lain, Dia adalah Maha Kaya dalam semua dimensi dan aspek, oleh karena itu Dia mesti azali dan abadi.  
Di sini Al-Al Farabi juga beranggapan tentang Tuhan bahwa disamping Dia Yang Pertama juga Yang Terakhir; Pelaku dan juga Puncak Tujuan, Pelaku dan Puncak Tujuan ini memiliki kesatuan yang sempurna yakni Dia Pelaku mutlak dan juga Tujuan mutlak. Secara hakiki, tak ada perbedaan antara azali dan abadi jika dihubungkan dengan wujud Tuhan, karena keabadian Dia adalah keazalian-Nya itu sendiri begitu pula sebaliknya, Tuhan sejak dahulu berada dan juga sekarang berada serta tak sesuatupun bersama-Nya; berdasarkan ini, Mulla Sadra menyebut Tuhan sebagai Wujud Mutlak. 
Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa keazalian dan keabadian Tuhan bisa juga dipahami dengan makna bahwa Tuhan adalah suatu wujud di atas ruang dan waktu. Makna ini bukan berarti bahwa Tuhan itu, dari dimensi waktu, kita pahami sebagai sesuatu yang tak berawal dan juga tak berakhir. Dia secara mutlak keluar dari ruang dan waktu, Dia tidak diliputi oleh ruang dan waktu, karena kemarin dan hari ini masuk dalam kategori waktu. Dia tidak di dalam waktu dan tidak dalam suatu ruang, Dia juga tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tak satupun realitas yang meliputi dan mencakup-Nya, bahkan Dia yang meliputi segala realitas dan semua realitas itu di bawah pengaruh dan cakupan-Nya serta tak ada yang lepas dari kekuasaan-Nya. Tak bisa kita katakan bahwa Tuhan itu pernah tiada kemudian terwujud (hâdits) atau setelah Dia berada pada waktu tertentu akan menjadi binasa dan punah (fana). 
Secara berurut, akan tertegaskan sifat lain untuk Wâjib al-Wujud yaitu tak satupun wujud atau realitas materi yang dapat menjadi Tuhan; karena wujud-wujud materi adalah sesuatu yang pernah tiada dan lantas terwujud kemudian (hâdits), begitu pula realitas wujud-wujud materi tak bisa kita katakan bahwa mereka itu senantiasa ada atau mustahil menjadi tiada. 
Dalam doktrin-doktrin suci agama, keabadian dan keazalian Tuhan memiliki tiga pengertian, pertama adalah bahwa Tuhan itu abadi dalam waktu dan tak berakhir, yang kedua adalah Dia tak berwaktu, dan yang ketiga adalah Dia memiliki segala kesempurnaan wujud. Tapi dalam doktrin suci Islam, Tuhan diperkenalkan sebagai wujud yang suci dari segala bentuk kefakiran dan kebutuhan, sifat ini meniscayakan bahwa Tuhan tidak dalam ruang dan waktu; karena suatu realitas wujud yang berada dalam ruang pasti membutuhkan dan memerlukan ruang dan tempat, begitupula suatu wujud yang berada dalam waktu mesti memerlukan syarat-syarat tertentu agar dapat tetap berada dalam waktu.  
5. Nama dan Sifat Tuhan 
Tak satupun dari makhluk dalam semua aspek yang serupa dengan Tuhan. Pada sisi lain, setiap sifat dari sifat-sifat yang kita kenal adalah sifat makhluk dan bukan sifat Khâlik. Kalau Dia itu kita sifatkan dengan sifat-sifat yang kita ketahui tersebut, maka kita meletakkan makhluk serupa dan setara dengan Tuhan dalam sifat-sifat itu. Maka dari itu, kita harus memilih jalan agar kita tak terjebak dalam penafian makrifat tentang sifat Tuhan dan juga menghindar dari penyerupaan makhluk dengan Tuhan. 
Kelihatannya jalan yang logis dalam pengenalan manusia tentang sifat-sifat Tuhan adalah beranggapan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuannya menjelajahi secara rasional ketakterbatasan sifat-sifat Tuhan. Jadi bukan berarti bahwa akan manusia secara mutlak tak mampu mengenal beberapa sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Sebagaian aliran teologis beranggapan bahwa akal manusia tak bisa menetapkan sifat-sifat Tuhan secara mendetail dan menegaskan batasan-batasan sifat-Nya. Walaupun aliran ini, kenyataannya tak menolak beberapa pengetahuan dan pengenalan kepada sifat Tuhan yang perlu dan urgen bagi manusia, ini berarti bahwa mereka tak memberikan batasan antara kemampuan pengenalan akal manusia dan “urgensi kebutuhan pengetahuan manusia terhadap Tuhan”. Maka jelaslah bahwa, dalam keadaan ketidakmampuan akal manusia mencapai secara sempurna pengetahuan hakiki tentang Tuhan, manusia sangat urgen memiliki pengetahuan tentang Tuhan walaupun sedikit dimana pengetahuan “yang sedikit” itu bukan hanya tak “dilarang” atau akal tak mampu menjangkaunya bahkan sangat perlu dan mesti bagi manusia dalam meraih keyakinan tentang-Nya. Pengetahuan “yang sedikit” tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam semua bentuk peribadatan manusia kepada-Nya, tanpa pengetahuan itu mustahil manusia merasakan kelezatan dalam mengingat dan berzikir kepada-Nya. 
Manusia dapat mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat yang menggambarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya dan hal itu tidak menunjukkan kekurangan dan keterbatasan-Nya. Memang benar bahwa Tuhan tak serupa dengan makhluk-makhluk dan begitu juga sebaliknya semua makhluk tak sama dengan Tuhan dalam semua dimensi. Tapi penafian keserupaan dan kesamaan (al-tasybih) tersebut bukan berarti menegaskan perlawanan dan pertentangan makhluk dengan Tuhan. Bentuk pensucian (al-tanzih) seperti tersebut di atas dapat dikatakan dalam suatu ungkapan, “Apa saja yang ada pada makhluk berbeda dengan apa yang ada pada Khalik”. Perbedan tersebut bukanlah bentuk perlawanan dan pertentangan, makhluk bukanlah lawan dari Tuhan, makhluk adalah pancaran, ayat, bayangan, citra, tajalli dan manifestasi Tuhan. Kalau konsekuensi dari pensucian Tuhan tersebut adalah bahwa setiap makna yang sesuai dengan makhluk pasti tidak bersesuaian dengan Tuhan, lantas bagaimana dengan pengertian dan makna “keberadaan, eksistensi” dan “kesatuan” yang terterapkan dan teraplikasikan pada Tuhan dan makhluk? Jelaslah bahwa pemikiran tersebut bukan hanya meniadakan Tuhan dari sifat-sifat bahkan memustahilkan akal manusia mencapai pengeahuan dan makrifat tentang ketuhanan dimana hal ini berujung kepada pengingkaran dan penolakan eksistensi Tuhan. 
Mulla Sadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan, juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin dimana burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan Tuhan. Ketika dalam hikmah muta’aliyah ditegaskan bahwa kehakikian (al-ashâlah) itu milik wujud dan zat Tuhan adalah murni wujud yang tak memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik wujud dan kesempurnaan wujud secara mutlak dan sempurna terdapat pada wujud dan zat Tuhan. Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan secara riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu menunjukkan keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari penafian dan ketiadaan kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni wujud niscaya secara mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan tak sesuai dengan kesucian wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat yang tersaksikan tersebut berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan maka secara pasti harus dinafikan dari zat suci Tuhan dan penegasan secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud dan sifat-Nya. Eksistensi Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat dan jauh dari semua bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil dibatasi dan diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan tentang realitas wujud Tuhan. 
Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari sifat-sifat Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari sifat-sifat tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan kuiditas tak ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah kesempurnaan wujud. Tuhan Maha Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat tapi tidak dengan perantaraan mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan telinga, Tuhan Maha Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia meliputi segala sesuatu tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan semua realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala sesuatu tapi tak berjarak. 
Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud Tuhan adalah wujud yang paling sempurna, dari sisi ini, Dia berada di atas dari semua penginderaan kita. Penginderaan kita yang terbatas ini mustahil menjangkau suatu realitas wujud yang tak terbatas. Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu membuat heran dan kagum akal manusia. Manusia yang merupakan wujud yang terbatas dan berkekurangan bagaimana mungkin bisa meraih dan meliputi sesuatu yang wujudnya tak terbatas dan kesempurnaannya tak berujung. Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra Tuhan yang memiliki wujud yang maha sempurna dan di atas ruang dan waktu mustahil berada dalam jangkauan indera dan akal manusia. 
Lebih lanjut, Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan Tuhan adalah merupakan tujuan filsafat dan manusia berkewajiban mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan kemampuan dan “keluasan wujudnya” masing-masing serta berusaha mengikuti segala perbuatan Tuhan dan meneladani sunnah-Nya dalam semua dimensi. Mulla Sadra memustahilkan pengetahuan sempurna atas wujud Tuhan sebagaimana ada-Nya, pengetahuan manusia tentang Tuhan diperoleh dari jenis pengenalan rasionalitas yang berangkat dari analisa-analisa tajam dan teliti atas persepsi-persepsi yang ada. 
Mulla Sadra menegaskan masalah sifat-sifat Tuhan dalam usaha dan jalur rasionalitas. Dia tidak sama dengan golongan orang-orang yang menyandarkan dan menisbahkan sifat dan perbuatan makhluk kepada Tuhan, dan diapun tidak sejalan dengan golongan orang-orang yang menafikan segala bentuk pengenalan manusia atas zat dan sifat-sifat Tuhan. Mulla Sadra, pada saat yang sama mengakui kemustahilan pengetahuan hakikat zat Tuhan juga menegaskan bahwa pengenalan Tuhan diperoleh lewat pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat Tuhan. 
Berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat agung Tuhan, Mulla Sadra berkeyakinan bahwa setiap nama – yang menceritakan hubungan Tuhan dan makhluk – bisa disandarkan dan dilekatkan kepada Tuhan, dan nama-nama tersebut bukanlah sesuatu yang berada di luar dari zat Tuhan. Dalam perspektif Mulla Sadra, satu-satunya jalan mencapai hakikat wujud Tuhan adalah dengan ma’rifat syuhudi dimana sesuai dengan potensi wujud masing-masing manusia, ma’rifat ini bukan pengetahuan tentang nama dan sifat Tuhan. 
Mulla Sadra, tidak sama dengan kaum Asy’ariah yang memandang sifat-sifat Tuhan tersebut berada di luar dari zat Tuhan dan pada saat yang sama sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang tak tercipta, dan dia juga tak sepaham dengan kelompok Mu’tazilah yang menafikan sifat-sifat Tuhan dan penisbahan sifat-sifat itu kepada Tuhan bersifat majasi. Mulla Sadra mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat tetapi bukan sifat yang berada di luar dari zat-Nya, sifat dan zat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, perbedaan sifat dan zat-Nya hanya pada dataran persepsi (al-mafhum) bukan pada dimensi contoh luar (extensi, al-mishdaq), berbeda dalam persepsi dan satu dalam extensi. Menurutnya, akal ketika memahami satu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan wujud Tuhan seperti ilmu dan kekuatan maka secara langsung diapun menegaskan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mesti dimiliki oleh Tuhan, karena wujud Tuhan merupakan suatu realitas yang basith dan satu kesatuan mutlak, segala kesempurnaan tak terbatas dimiliki-Nya dan tak satupun bentuk kesempurnaan yang dapat dinafikan dari wujud-Nya. 
Mulla Sadra dalam kitab Asfar secara mendetail membahas tentang asma dan sifat Tuhan serta sekaligus menetapkan suatu sifat untuk Tuhan. Dia berkata, “Karena Tuhan merupakan wujud mutlak dan secara esensi Wâjib al-Wujud maka tersucikan dari segala bentuk kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu Dia adalah kebaikan dan kehidupan mutlak dan wujud seperti ini merupakan kesatuan antara subyek, obyek dan ilmu. Dalam gagasannya, Tuhan mengetahui semua makhluk. Ilmu-Nya tentang zat-Nya menyatu dengan zat-Nya dan ilmu kepada makhluk-Nya adalah ilmu huduri yang juga menyatu dengan zat-Nya. Mulla Sadra berbeda dengan Aristoteles yang memungkiri ilmu Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan mengetahui segala realitas makhluk secara partikularitas, Dia mengatur segala maujud serta ilmu dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu. Tak satupun keluar dari pengetahuan-Nya dan segala sesuatu yang ada di alam diatur dan diarahkan dalam sebaik dan sesempurnanya sistem. 
Ilmu Tuhan dalam masalah-masalah yang bersifat partikular tidak sama dengan ilmu kita terhadap masalah tersebut. Ilmu-Nya tentangnya tidak berasal dari masalah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh waktu dan zaman, jika demikian maka Dia harus berjarak dengannya dan berpengaruh pada-Nya, sementara hal in merupakan sesuatu yang mustahil. Ilmu Tuhan tidak berubah seiring perubahan yang terjadi pada wujud-wujud partikular, ilmunya tidak hadir secara aksiden dalam zat-Nya hingga Dia mesti “menunggu”. 
6. Sifat-Sifat Perbuatan Tuhan dan Masalah Penciptaan  
Tak diragukan lagi bahwa seluruh alam dan segala kejadian yang terjadi di dalamnya, dari sisi wujud dan eksistensinya, memiliki hubungan dengan Tuhan, semuanya itu adalah perbuatan dan pancaran dari-Nya, pancaran dari sifat-sifat seperti, sifat Rahmat, Rahim, Rezki, Keagungan, Kekayaan, Kemuliaan, dan lain sebagainya. Tuhan disifatkan dengan suatu sifat yang terambil dari tingkatan perbuatan itu sendiri, sifat ini disebut dengan sifat perbuatan dan lebih rendah dari sifat zat. Kehendak (iradah), Kemurahan dan Kebaikan (ihsan) Tuhan adalah wujud eksternal itu sendiri (baca: alam dengan segala realitasnya) dimana terwujud dengan penciptaan Tuhan dengan perantaraan nama Murid, Karim dan Muhsin. Penciptaan Tuhan tiada lain adalah realitas alam itu sendiri secara menyeluruh dan wujud-wujud partikular merupakan manifestasi langsung dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. 
Makhluk-makhluk dengan wujudnya yang beraneka ragam dan sifatnya yang bermacam-macam mengisyaratkan kepada kita bahwa realitas itu merupakan tanda kesempurnaan zat dan sifat Tuhan, yakni realitas ini bersumber dari suatu perbuatan pada tingkatan zat Tuhan. Secara lahiriah, perbuatan Ilahi itu memiliki banyak perbedaan tapi pada hakikatnya semua kembali kepada satu perbuatan umum yang disebut dengan penciptaan. Yang dimaksud dengan penciptaan bukan berarti bahwa ada “bahan baku” atau “materi awal” sebelumnya dimana Tuhan menggunakan “bahan baku” tersebut sebagai bahan dasar dalam penciptaan, karena jika demikian maka wujud Tuhan tidaklah azali bila dibandingkan dengan “materi awal” tersebut dan juga wujud-Nya menjadi terbatas dan keterbatasan wujud-Nya ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak yang dimiliki-Nya. Disamping itu, dari sisi perbuatan, Tuhan akan butuh kepada “materi awal” tersebut, dan kebutuhan Tuhan ini bertentangan Maha Kaya dan kesempurnaan mutlak-Nya. Iradah dan kehendak Tuhan adalah perbuatan dan penciptaan itu sendiri, karena segala bentuk pikiran, gambaran,khayalan, gerak dan kondisi serta faktor internal dan eksternal tidaklah sesuai dengan zat Tuhan. Tuhan mencipta tidak dari sesuatu. 
Dalam filsafat Ilahi, kehendak Tuhan berhubungan dengan satu sistem keteraturan sempurna dimana memiliki kemaslahatan dan tujuan tertentu, kemaslahatan ini tidaklah membatasi kehendak Tuhan tersebut. Mulla sadra dalam hal ini menekankan bahwa sifat kebaikan harus dihubungkan kepada kekuatan dan ilmu Tuhan secara mutlak, ketika Tuhan dikatakan sebagai sumber segala kebaikan yakni perbuatan Tuhan dan eksistensi-Nya merupakan syarat dasar kebaikan dan paling tingginya kesempurnaan wujud dalam tatanan sempurna kewujudan. 
Oleh karena itu, Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah dan tujuan universal, gagasan ini tidaklah bertentangan dengan kekuatan mutlak Tuhan. Segala perbuatan Ilahi memiliki kesesuaian dan keharmonisan satu sama lainnya. Menurut Mulla Sadra, Tuhan, disamping memiliki ilmu dan kekuatan mutlak juga sebagai Yang Maha Bijaksana (Hakim). 
Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan bukan hanya sebagai Pencipta (Khalik), bahkan juga sebagai Hakim yang memiliki kemurahan, keadilan dan sumber segala kebaikan dan rahmat. Biasanya kebaikan dan kecintaan digunakan sebagai dua sifat dari sifat-sifat Tuhan. Sumber kebaikan Tuhan adalah kecintaan dan rahmat-Nya, semua sifat-sifat ini digunakan dalam satu makna; tetapi yang terpenting diantara mereka adalah cinta dan mahabbah Tuhan. Menurutnya, Tuhan itu kesempurnaan, cinta dan kebaikan mutlak dimana pada satu sisi semua kebaikan berasal dari-Nya dan pada sisi lain kecintaan-Nya meliputi segala realitas wujud dan makhluk. Tak ada keburukan mutlak yang merupakan lawan dari kebaikan mutlak di dalam tatanan alam ini, yang ada hanyalah keburukan aksidental yang bersifat nisbi, “keburukan” ini sebenarnya merupakan kebaikan pada tingkatan yang rendah, karena jika keburukan mutlak itu secara hakiki berwujud, maka bertentangan dengan wujud, ilmu dan hikmah Ilahi yang tak terbatas. Sebagaimana wujud itu hakiki dan bergradasi, kebaikan dan kesempurnaan mutlak adalah wujud itu sendiri, maka kebaikan dan kesempurnaan juga bergradasi dan berjenjang. Karena tatanan segala realitas alam bersumber dari ilmu, kekuatan dan kecintaan kepada kesempurnaan dan kebaikan, maka segala realitas alam tersebut senantiasa berwujud dalam kondisi yang paling sempurna. Tak ada lagi tatanan dan sistem yang lebih sempurna dari tatanan yang universal ini, apa yang ada ini adalah yang terbaik dan paling sempurna, karena kalau ada yang terbaik yang tak tercipta oleh Tuhan, maka ilmu, kekuatan dan kesempurnaan-Nya pasti terbatas. 
Mulla Sadra menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Pelaku atau Sebab hakiki di alam. Alam dalam pandangannya memiliki kesatuan dan keharmonisan serta mempunyai hubungan kausalitas antara tingkatan-tingkatan wujud. Gagasannya tentang ketunggalan Pelaku alam tak bertentangan dengan konsep keniscayaan sebab-akibat yang digagas oleh para filosof lain. 
7. Awal Dan Akhir Penciptaan Alam 
Masalah yang senantiasa menjadi pokok perhatian para pemikir dan filosof adalah hubungan antara Tuhan dan alam. Tuhan, dalam pandangan Mulla Sadra, adalah suatu wujud yang non materi (al-mujarrad), lantas bagaimana hubungan Dia dengan alam yang bersifat materi ini? Bagaimana bisa alam materi tercipta atau terpancar dari suatu realitas yang non materi? Apakah penciptaan alam “sezaman” dengan ke-qadim-an Tuhan? 
Mulla Sadra berpegang pada konsep “manifestasi” dalam menetapkan bentuk hubungan antara satu dan jamak, antara kesatuan dan kejamakan. Dalam pandangannya, Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud mutlak yang merupakan sumber segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang luas maka terpancar dari-Nya suatu wujud yang oleh filofof disebut dengan akal pertama, akal pertama ini memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud Tuhan, perbedaannya dengan Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama berada satu tingkatan di bawah Tuhan. 
Alam yang bersentuhan langsung dengan kita adalah alam materi, alam ini bersifat hâdits zamani[11] yakni wujudnya didahului oleh “ketiadaan” dan ketiadaannya didahului oleh wujud. Alam materi ini dipengaruhi oleh ruang, waktu dan gerak. Perubahan adalah substansi alam materi. Dengan semua karakteristik ini, alam materi tak lepas dari peliputan dan pencakupan Tuhan, awal dan akhir alam materi berhubungan dengan Tuhan. 
Alam lain yang telah dibuktikan dan ditegaskan keberadaannya adalah alam non materi. Alam ini memiliki sifat konstan (tetap), tak bergerak, tak reaktif, tak berubah, tak berwaktu, dan tak berpotensi. Alam ini tetap memiliki sifat butuh dan bergantung kepada Tuhan sebagaimana alam materi, karena walaupun alam non materi tersebut memiliki memiliki banyak “persamaan dan keserupaan” dengan Tuhan tapi dari sisi wujudnya tetap memiliki keterbatasan. Kekhususan lain yang dimiliki oleh alam ini adalah setiap kesempurnaan yang secara mungkin dimilikinya niscaya ada padanya dan dia tak lagi menyempurna karena tak satupun sifatnya yang bersifat potensi. Semua manifestasi Tuhan secara sempurna diserapnya, hal ini seperti sebuah cermin yang menyerap dan memantulkan secara sempurna obyek yang berada dihadapannya. 
Tuhan “bertajalli dan bermanifestasi” pertama kali di alam non materi tersebut, alam ini akan menyerap tajalli Tuhan itu dan secara sempurna memantulkannya secara bergradasi ke alam mitsal[12] lantas ke alam materi yang merupakan alam yang terendah. Tuhan tak lansung menciptkan alam materi ini, tapi Dia mencipta alam non materi dimana konsekuensi alam ini melahirkan alam-alam lain secara bergradasi hingga ke alam materi. 
Demikianlah sepintas pembahasan tentang wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan yang diramu dari gagasan-gagasan seorang filosof Ilahi yang agung, Mulla Sadra, pendiri Hikmah Muta’aliyah. Pembahasan ini sangatlah ringkas dan tidak semua gagasannya dituangkan secara sempurna dalam makalah ini karena keterbatasan penulis sendiri, makalah ini hanyalah secara global memperkenalkan konsep dan gagasan dari seorang filosf muslim yang terkenal dengan teori-teori transendentalnya tentang ke-Tuhan-an dan kami berharap suatu waktu, secara terperinci dan sistimatis, akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya.[]      



[1] . Alam ide Plato adalah suatu bentuk yang non materi dan juga hakikat persepsi akal. Alam ini bersifat, azali, konstan dan mandiri. Jadi, setiap realitas memiliki “bentuk non materi”nya di alam Ilahi, “bentuk non materi” itu dinamakan mutsul. Karena mutsui ini dikonsepsi pertama kali oleh Plato, maka kemudian para filosof menamakan mutsul Aflatun atau mutsul Plato, yang kita terjemahkan dengan alam ide Plato..

[2] . Istilah ini telah kami jelaskan secara terperinci dalam makalah kami yang berjudul “Tuhan dalam filsafat”.
[3] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal. 18-27. Dan dalam kitab an-Najâh, hal. 66.
[4] . Ibnu Sina, asy-Syifa, makalah kedua, pasal keempat.
[5] . Para filosof peripatetik beranggapan bahwa di alam eksistensi ini terdapat sepuluh akal yang berjenjang dan bertingkat. Akal yang paling rendah tingkatannya disebut dengan akal fa’âl, akal ini disamping berfungsi untuk mengaktualkan segala potensi yang dimiliki oleh jiwa-jiwa juga berfungsi “mencipta” jiwa-jiwa dan akal-akal partikular (akal yang terdapat dalam diri manusia) di alam semesta ini. 
[6] . Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, hal. 15 dan 16.
[7] . Mulla Sadra, al-Asfar, jilid  6, bab penegasan tauhid.
[8] . Mulla Sadra, al-Masyâ’ir, hal. 69.
[9] . Maujud yang akan ditegaskan dan dibuktikan hakikat keberadaannya, misalnya dalam pengasumsian bahwa Tuhan itu berada kemudian dengan pendekatan dalil-dalil filosofis terbukti bahwa Tuhan benar-benar berwujud secara hakiki. 
[10] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 115.
[11] . Adalah baru tercipta dalam waktu, alam ini pernah tiada – dalam waktu – dan sekarang baru tercipta dan hadir  – juga dalam waktu -, jadi alam materi ini diliputi oleh waktu, bahkan waktu merupakan salah satu faktor hakiki terwujudnya alam, waktu adalah salah satu faktor pembangun alam. 
[12] . Alam yang berada di antara alam akal dan alam materi.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: