Pesan Rahbar

Home » , , , , , , » Seorang ulama sunni irak berbicara tentang syiah di irak... Menghadapi isis

Seorang ulama sunni irak berbicara tentang syiah di irak... Menghadapi isis

Written By Unknown on Saturday, 23 August 2014 | 00:57:00

Ulama Syiah Membela Penduduk Sunni Iraq 



ISIS, ‘Proyek’ Anti-Akal Sehat.

Oleh: M. Syukur Hasbi.

BERDASARKAN berbagai informasi yang diterima, sebagian orang melihat maraknya pemberitaan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) sebagai upaya pengalihan isu perang Palestina dengan zionis Israel atau pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia. Ada juga yang melihat gerakan ini lebih kepada konflik antarmazhab yang berkembang di Irak, yaitu mazhab Sunni dan Syiah.

Alangkah baiknya bila semua tema-tema tersebut harus dibicarakan pada tempatnya masing-masing. Tentu saja kita bukan menafikan derita masyarakat Palestina hingga kini jumlah syuhada hampir mecapai 2.000 jiwa dan korban luka-luka sudah melebihi 8.000 orang. Musuh rakyat Palestina sudah jelas, yaitu zionis Israel selaku pencuri tanah air Palestina.

Tapi yang memiriskan hati adalah musuh Islam yang mengatasnamakan Islam tapi menyembelih, menembak, membunuh umat Islam sendiri dan agama-agama lainnya di bawah takbir “Allahu Akbar” atau di bawah bendera hitam “Laa Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah”. Mereka melakukannya dengan bangga karena menilai sebagai satu-satunya jalan untuk memurnikan agama atau kembali masa-masa kejayaan Islam. Tidak hanya itu, mereka juga menghancurkan tempat-tempat suci umat Islam seperti kuburan para nabi dan aulia karena ditafsirkannya sebagai perbuatan syirik. Menangkap para wanita untuk dijual sebagai budak di pasar khusus, membunuh ulama atau siapa saja yang bertentangan dengan tafsir mereka tentang agama.

Ini adalah kekejaman dan kekejian kemanusiaan paling memilukan pada abad modern sekarang ini yang terjadi di kawasan Timur Tengah, terutama di negara Suriah dan Irak. Karena itu, kami melihat penting untuk membahas persoalan ini agar umat muslim mendapat tambahan informasi sebagai benteng diri dalam menghadapi kebringasan kelompok ini. Gerakan berbahaya ini harus dipahami oleh umat Islam agar masyarakat Aceh khususnya dan masyarakat Indonesia dan para muslimin lainnya, tidak masuk dalam perangkapnya.

Untuk melihat lebih jauh, masalah ini bisa ditinjau dari dua sisi: Pertama, soal kepentingan Amerika Serikat (AS) dan Eropa untuk melanggengkan keberadaan zionis Israel sebagai sekutu utama mereka di Timur Tengah, dan; Kedua, masalah tafsir ajaran Islam yang kaku, sehingga Islam yang dipahaminya sajalah yang benar, sementara cara pemahaman lain dianggap salah, sesat, kafir dan harus dibunuh. Mereka inilah yang lebih dikenal sebagai kelompok takfiri, karena mengkafirkan siapa saja yang berseberangan dengan pemahamannya.

 Tujuan utama AS .
Bukan rahasia lagi, tujuan utama politik AS di Timur Tengah adalah untuk menguasai minyak, menjaga pasar agar senjatanya terjual dan menjaga agar zionis Israel tetap hidup langgeng tanpa hambatan dan gangguan. Amerika meyakini bahwa satu-satunya ‘penyakit’ yang mengganggu politiknya di Timur Tengah untuk keberlangsungan hidup Israel adalah Republik Islam Iran. Karenanya Amerika berusaha sekuat tenaga dengan bermacam cara untuk menghilangkan ‘penyakit’ ini di jazirah Arab.

Mereka awalnya berusaha menghilangkan penyakit itu secara militer dengan cara menguasai negara-negara tetangga Iran seperti agresinya di Irak dan Afghanistan selaku dua negara yang berbatasan dengan Iran. Namun usaha yang telah menghilangkan ribuan nyawa rakyat Irak dan Afghanistan ini tidak berhasil untuk menyerang Republik Islam Iran dengan cara-cara militer.

Kini, selain ditambah dengan sanksi-sanksi dan embargo internasional karena tuduhan menciptakan bom nuklir, AS mulai berpikir untuk menghancurkan negara-negara pendukung Iran atau negara yang didukung oleh Iran. Itulah negara-negara anti-Israel yang bertetangga dengan Israel, yaitu pemerintahan Suriah, gerakan Hizbullah di Libanon dan gerakan-gerakan perlawanan di Palestina.

Terlepas dari kelompok yang dididik dan dipersenjatai oleh AS, masalah kedua adalah persoalan tafsir ajaran agama Islam oleh kelompok-kelompok Islam yang kaku. Ini merupakan penyakit lama dalam dunia pemikiran Islam. Pemikiran ini mulai bahaya nyata ketika beralih dari hanya pemikiran kepada gerakan bersenjata. Mereka itulah kelompok-kelompok bersenjata takfiri yang mengkafirkan siapa saja yang berseberangan dengan pemahamannya tentang Islam. Tidak hanya mengkafirkan, mereka juga menyembelih, menembak dan membunuh manusia dengan cara-cara biadab yang jauh dari ajaran murni Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin).

ISIS atau dalam media-media bahasa Arab lebih dikenal dengan sebutan DAIS (Daulah Islamiyah Iraq wa Syam) merupakan satu kelompok yang lebih muncul ke permukaan dari puluhan kelompok-kelompok bersenjata yang masuk ke Suriah untuk menggulingkan Presiden Bashar Assad. Orang-orang dalam kelompok ini datang ke Suriah melalui Turki dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Sebagian besar umat muslim yang datang kesana karena dimotivasi oleh fatwa “ulama-ulama” tertentu yang menyerukan jihad di Suriah. Fatwa-fatwa ini berseliweran di media-media internet dan beberapa televisi berbahasa Arab. Sehingga dengannya ribuan muslim lebih dari 80 negara datang ke Suriah untuk `berjihad’. Berikutnya gerakan ini mendapat sambutan dari kelompok-kelompok takfiri bersenjata di Irak yang didukung dengan teritorial dua negara yang berbatasan langsung. Anehnya, tidak satu pun ada fatwa jihad ke Palestina yang terzalimi sejak puluhan tahun.

Memang sebagian orang lugu yang terlibat dalam kelompok ISIS atau yang bersepahaman dengan kelompok itu bisa jadi diiming-imingi dengan tujuan baik. Misalnya, ingin mendirikan Islam yang ‘murni’, seperti yang dipahaminya berdasarkan fatwa-fatwa, mendirikan khilafah atau propaganda media informasi yang ditelan mentah-mentah tanpa benteng agama dan akal yang kokoh. Salah satunya adalah propaganda fitnah media yang menyebutkan bahwa presiden Suriah Bashar Assad bekerja sama dengan Iran yang berpaham Syiah untuk membunuh ribuan orang muslim Sunni di Suriah. Informasi itu ditelan mentah-mentah, sehingga banyak orang tergerak untuk berjihad.

Bila membaca media-media berbahasa Arab, jelas bahwa konflik yang tejadi di Irak maupun Suriah selama ini, tidak ada kaitan sama sekali dengan mazhab. Sayangnya, media-media kita banyak mengambil berita dari media-media barat yang berkemungkinan memperuncing suasana. Di Irak sendiri, penduduknya yang mayoritas bermazhab Sunni dan Syiah, selama puluhan hidup damai secara berdampingan, termasuk dengan agama-agama minoritas seperti Masihi dan Idzidiyah. Ketika kelompok ISIS telah menguasai beberapa wilayah mayoritas Sunni, Masihi dan Izidiyah, para marjak taklid selaku ulama terbesar Syiah di Irak mengeluarkan fatwa untuk berjihad melawan kelompok ini. Seruan jihad yang sama juga dikeluarkan oleh ulama-ulama Sunni Irak untuk membela tanah air dari rongrongan kelompok ISIS ini.

Letak kuburan para Nabi yang dihancurkan, para ulama yang dibunuh justru di wilayah-wilayah yang mayoritas Sunni, termasuk di Suriah seperti pembunuhan keji ulama besar Dr Mohammad Said Ramadhan Al Bhuti dalam serangan bom bunuh diri di Masjid Iman di Mazraa, Damaskus. Yang menjadi korban kekejaman mereka bukan hanya Syiah, tapi juga Sunni, maupun agama-agama minoritas seperti Masihi dan Izidiyah. Jadi, salah besar kalau ada yang berkesimpulan konflik tersebut merupakan konflik antara Sunni dan Syiah.

 Kembali ke jalan Akal.
Kita patut berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia karena bergerak cepat meredam gerakan ini, sehingga bisa dilakukan antisipasi dengan cepat. Nama ISIS bisa saja hilang di dunia ini atau berganti baju dengan mana-nama lainnya. Namun cara pandang agama yang kaku (kekerasan) bisa saja merasuki pemikiran muslimin di berbagai belahan dunia, termasuk masyarakat Aceh dan Indonesia. Karenanya perlu dilakukan antisipasi dengan bermacam cara dan berkelanjutan.

Satu solusi yang menjanjikan adalah kembali ke jalan akal sehat. Akal merupakan hujjah batin yang diberikan Allah kepada manusia, selain hujjan lahir seperti diutusnya para Nabi dan diturunkan kitab suci. Dengan akal inilah manusia mampu menilai sesuatu itu benar dan salah, atau baik dan buruk. Dengannya jugalah mampu berargumentasi dengan dalil-dalil yang kokoh, tanpa mengikuti kemasyhuran, riwayat-riwayat lemah, termasuk berbagai informasi yang diterima.

Akal sehat ini bisa dijadikan timbangan berpikir benar dan dimiliki oleh semua manusia. Sehingga dengannya kita memiliki benteng berpikir kuat yang tidak bisa digoyahkan oleh fatwa, ajaran, pemahaman dan informasi-informasi yang lemah. Karena hakekat sebuah informasi ini bisa mengandung benar dan salah, maka seseorang bisa jadi menyimpulkan sesuatu dengan salah atau benar berdasarkan informasi tersebut. Di sinilah banyak orang beragama, orang awam dan lugu yang menjadi korban, karena menghukumi atau menyimpulkan sesuatu itu berdasarkan informasi-informasi yang salah.

 ==============================

ISIS Gerakan ‘Lintas Kepentingan’

Oleh: Aryos Nivada
MENCERMATI isu gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), yang kini dilaporkan mulai merambat ke Indonesia termasuk Aceh, memunculkan bermacam persepsi. Gerakan ini menjadi “demam”, istilah Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad di artikel berjudul “Memahami Demam ISIS di Indonesia” (Serambi, 11/8/2014). Bahkan dunia internasional mengklaimnya sebagai gerakan terorisme.

Gerakan ini telah menjadi fenomenal, terbukti searching ISIS di Google pada saat penulis menggarap artikel ini telah mencapai 23 juta lebih. Bahkan, tiap detik naik terus naik, termasuk jika dikualifikasikan dengan ISIS yang mulai menjalar ke Aceh, yang diperoleh lebih dari 1 juta data. Di sinilah menarik menganalisis isu ISIS dalam konteks lintas kepentingan di internasional, nasional, dan Aceh.

Popularitas isu terorisme secara global mulai menurun dratis digantikan oleh isu ISIS ini. Apalagi ketika namanya diubah menjadi khalifah Islam dan di Indonesia dikait-kaitkan secara sadar atau tidak dengan perjuangan DI/TII. Bahwa ISIS kelihatannya digunakan menaikkan kembali popularitas war against terrorism (perang melawan terorisme) yang dilancarkan oleh mantan Presiden AS, George W Bush. Realitas ini terungkap dari pernyataan Edward Snowden, mantan intelijen AS, yang menyebutkan bahwa ISIS merupakan organisasi bentukan intelijen dari tiga negara, AS, Israel dan Inggris. (republika.co.id, 1/8/2014).
Logika pendekatan rational choice mentafsirkan kebutuhan sumber daya alam (SDA), akan memicu mereka untuk melakukan ekspansi di negara-negara penghasil bahan-bahan yang mereka perlukan. Sebagaimana kita ketahui negara-negara yang memiliki sumber migas yang besar seperti Irak, Afghanistan, dan Libya telah menjadi mangsa ekspansi kepentingan negara super power tersebut. Isu terorisme hanya menjadi alasan untuk pelaksanaan politik ekspansi itu.

Sebelum istilah terorisme timbul kita melihat bagaimana Inggris, Amerika, dan Prancis mengancam menyerang Arab Saudi ketika dulu negara-negara anggota OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) menyatakan boikot terhadap negara-negara pendukung Israel. Desain atau skenario penyerangan tersebut tidak berlaku bagi Indonesia, karena ladang minyak dan gas bumi telah dimiliki sahamnya oleh negara super power, seperti Amerika, Prancis, Inggris, dan lain-lain.

 Agenda bersama.
Selain itu peluang besar dimanfaatkan gerakan terorisme, salah satunya melalui gerakan ISIS menjadi agenda bersama dalam ASEAN Community maupun kerja sama regional lainnya. Logika lainnya ketika eksistensi keberadan terorisme semakin kuat, maka berbagai negara akan sukarela membantu dana untuk menumpas gerakan terorisme tersebut. Semakin menguatkan, manakala kebutuhan sumber daya alam semakin dibutuhkan di masa mendatang sehingga memerlukan investasi (investation natural resource).

Tindakan perebutan kepentingan sumber daya alam terkait geopolitik imperialisme negara kuat itu, sejalan dengan pemikiran Michael (The New Geopolitics, 2003, vol. 55) yang membenarkan hadirnya modus baru dari kesepakatan negara kuat mengusai negara lain dengan memainkan isu terorisme. Cara-cara baru itu menghalalkan ekspansionisme negara lain yang belum tentu kuat gerakan terorismennya.

Tetapi dalam konteks isu gerakan ISIS di Indonesia dari lintas informasi, penyebarannya tidak begitu masif. Lemahnya penyebaran ideologi ISIS, karena masyarakat Indonesia tidak bisa menerima ideologi yang beraliran ekstremis yang mengikuti ideologi garis keras Al-Qaidah dan mematuhi prinsip-prinsip jihad global. Karakter masyarakat Indonesia memiliki kultur ideologi Islam yang tidak mempraktekan cara-cara ekstremis dalam memperjuangkan penyebaran nilai-nilai ke-Islaman.

Penolakan masyarakat Indonesia terhadap ISIS, menurut Komaruddin Hidayat --mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-- ideologi kelompok milisi ISIS dianggap sebagai pandangan yang sangat tidak realistis sehingga tidak menarik bagi kaum muslim moderat di Indonesia (nationalgeographic.co.id, 2/7/2014).
Bagi pribadi penulis pembentukan negara Islam sangat berhubungan dengan kultur gerakan keislaman dan sejarah kepemerintahan yang terbangun di negara tersebut. Semakin kuat pondasi keduanya semakin mudah mengkonsolidasikan dukungan dan merealisasikan negara Islam.

Bagi Indonesia isu dan gerakan ISIS sangat diuntungkan dari segi setting issue. Di saat dinamika internal Indonesia dihadapi persoalan Pilpres dan kenaikan BBM (bahan bakar minyak), misalnya, munculnya isu dan gerakan ISIS itu mampu menenggelamkan isu internal Indonesia. Lebih jauh lagi keuntungan bagi aktor atau pihak tertentu untuk mengambil dana terorisme dari negara maju yang menjadikan agenda pemberantasan terorisme.

Di sisi lain patut disikapi keuntungan (kepentingan) positif Indonesia dengan gerakan ISIS mampu membangun jiwa nasionalisme keindonesiaan. Efek positif lainnya yaitu memperkuat kembali pemahaman ideologi Pancasila yang sejak era reformasi terasa kian memudar.

 Dipengaruhi aktor lama.
Keberadaan gerakan ISIS di Aceh mudah masuk karena dipengaruhi aktor lama. Jika pendekatan psychology of actor digunakan, maka tergambarkan aktor yang tidak mendapatkan akses ekonomi dan politik memanfaatkan peluang gerakan ISIS. Secara teritorial kewilayahan, posisi Aceh cukup strategis bagi masuknya paham atau gerakan ISIS, karena berdekatan dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Tapi hasil penginputan informasi negara jajaran ASEAN tersebut tidak marak dan mengakar penyebaran ISIS. Berarti gerakan ISIS di Aceh muncul dari aktor lokal Aceh sendiri.

Banyak hal keanehan ISIS di Aceh, di antaranya: Pertama, tindak tunduk terhadap struktur hirarki komando yang terkesan lepas dari struktur ISIS Indonesia; Kedua, tidak berani terbuka dalam proses perekrutan anggota baru, berbeda dengan ISIS bentukan provinsi lain, dan; Ketiga, seharusnya substansi perjuangan dan cara perjuangan tidak jauh berbeda dengan ISIS di Irak dan Syria. Memunculkan keanehan ketika pendekatan berbeda diterapkan di Aceh.

Oleh karena itu, hendaknya jangan sampai pandangan publik menilai kehadiran ISIS di Aceh dimanfaatkan, sekaligus justifikasi kuat untuk menerapkan operasi pemberantasan. Dalam hal ini, peran intelijen hendaknya lebih dioptimalkan sebagai bagian dari early warning systems. Jangan sampai isu dan gerakan ISIS dimanfaatkan menjadi alat propaganda oleh pihak tertentu untuk mengambil keuntungan finansial. Partisipasi masyarakat harus proaktif mengawasi di lingkungan masing-masing terhadap penyebaran paham gerakan ISIS di Aceh.

* Aryos Nivada, Penulis Buku “Wajah Politik dan Keamanan Aceh”, tinggal di Banda Aceh. Email: aryos@acehinstitute.org
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: