Pesan Rahbar

Home » , , , » Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Iluminasionis

Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Iluminasionis

Written By Unknown on Saturday, 23 August 2014 | 00:27:00


  
       Syihabuddin Abul Fatuh Yahya bin Habsy bin Amirak Suhrawardi adalah pendiri aliran filsafat Islam Hikmatul Isyraq (Iluminasionis). Dia dilahirkan di Suhrawad pada tahun 549 H.
            Beberapa tahun kemudian dia pergi ke kota Maraghih dan belajar filsafat dan ushul fiqih pada seorang ulama bernama Majduddin Jily. Setelah itu dia berangkat ke kota Ishfahan dan belajar kitab al-bashair (kitab ilmu logika) pada Zahîruddin Farsi.
            Suhrawardi banyak melakukan perjalanan dan bertemu dengan para tokoh-tokoh dan guru-guru terkenal pada setiap kota yang dilalui. Perjalanannya yang terakhir di kota Halb dan Dimasyq (Suria), di kota ini dia mendapatkan kehormatan oleh raja Zâhir Syah. Akan tetapi, penghormatan yang berlebihan dari raja ini membuat iri dan hasad para ulama fiqih Sunni. Dan dengan alasan yang dibuat-buat, para ulama itu mendesak Shalahuddin Ayyubi untuk menghukum mati Syaikh Iysraq. Akhirnya, dia mati syahid pada tahun 587 H ketika dia berusia 37 tahun di kota Halb.
            Sebagian memandang Suhrawardi sebagai seorang ulama yang memiliki karamah-karamah dan sebagian lain mengklaimnya sebagai kafir dan musyrik. Dikatakan bahwa alasan utama kesyahidan dia adalah karena dialognya tentang “akhir kenabian”. Para peneliti kontemporer berkeyakinan bahwa “wilayah” sebagai pokok akidah Suhrawardi dan menurut dia walaupun kenabian telah berakhir, namun “wilayah (kepemimpinan hakiki pasca Nabi)”, yang sebagaimana diyakini oleh Syiah, terus dan tetap berlanjut.
            Berikut ini akan kami paparkan beberapa pokok-pokok pikiran Syaikh Isyraq tentang masalah-masalah ketuhanan dan alam: 

Cahaya dan Hakikatnya.

            Syaikh Isyraq dalam pembahasan ini beranggapan bahwa cahaya itu merupakan suatu hakikat yang gamblang, badihi, dan aksiomatik (tidak memerlukan defenisi). Dia menyatakan bahwa apabila terdapat sesuatu di alam eksistensi ini yang tidak membutuhkan penjelasan dan defenisi, maka kami katakan bahwa sesuatu itu adalah cahaya, karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas kecuali cahaya itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang setara dengan cahaya yang tidak memerlukan keterangan, penjelasan, dan defenisi. Dan yang kami maksud dengan ‘sesuatu tidak memerlukan defenisi’ di sini adalah suatu yang dalam zat dan kesempurnaannya tidak bergantung dan tidak bersandar pada sesuatu yang lain.[1]
1. Cahaya dan Kegelapan 
            Pada pembahasan ini Syaikh Isyraq membagi maujud-maujud alam ke dalam sembilan kategori lalu menempatkannya dalam dua kategori umum yaitu, cahaya dan kegelapan, kemudian dari setiap dua kategori ini terbagi lagi ke dalam substansi dan aksiden. Dia menyatakan bahwa segala sesuatu dalam zatnya sendiri terdapat cahaya atau dalam zatnya sendiri tidak terdapat cahaya. Oleh karena itu, maujud-maujud alam terbagi dua, yaitu maujud-maujud bercahaya dan maujud-maujud gelap. Maujud-maujud bercahaya ini terbagi dua lagi, yaitu maujud yang keberadaannya bergantung kepada yang lain disebut dengan cahaya tak murni atau cahaya aksidental dan maujud yang eksistensinya tidak bergantung kepada yang lain disebut cahaya murni atau cahaya substansial.
            Sedangkan maujud-maujud gelap terbagi dua, yaitu maujud yang eksistensinya tidak memerlukan wadah disebut dengan substansi gelap (benda, barzakh) dan maujud yang eksistensinya bergantung kepada maujud-maujud lain disebut dengan aksiden-aksiden gelap. Perlu diperhatikan di sini bahwa yang kami maksud dengan barzakh adalah benda (jism) itu sendiri yang didefenisikan sebagai substansi yang dapat ditunjuk dan memiliki arah. Atau dikatakan bahwa benda adalah ‘substansi gelap’ atau barzakh yang hakikatnya tidak lain adalah kegelapan itu sendiri. Argumentasi atas kesamaan benda dengan kegelapan adalah bahwa secara praktis kita dapat melihat bahwa apabila cahaya tidak terpancar atas benda itu, maka ia akan senantiasa berada dalam kegelapan.
            Di sini mungkin akan lahir dua kritikan dan sanggahan, pertama, apabila benda itu kita samakan dengan kegelapan, maka sirnanya cahaya dari sesuatu yang memungkinkan terpancarnya cahaya darinya adalah tidak sesuai dengan asumsi itu, dan kedua adalah sebagian benda senantiasa bercahaya, seperti matahari. Lantas bagaimana kita bisa menempatkan benda-benda seperti ini ke dalam kategori kegelapan?
            Untuk menjawab pertanyaan pertama, perlu kami tekankan bahwa kegelapan bukan merupakan sesuatu yang bersifat temporal, namun kegelapan adalah ketidakmutlakan cahaya. Ketiadaan cahaya bukanlah jenis ketiadaan yang bersyarat dengan kemungkinan keberadaannya. Oleh karena itu, jika seluruh alam kita asumsikan kosong atau benda halus (yang tak memiliki kemungkinan bercahaya) dan karena kosong (tiada) atau benda halus ini tidak memiliki cahaya maka menjadi gelap dan tidak memiliki kemungkinan untuk memancarkan cahaya. Konklusinya, segala sesuatu yang tidak memiliki cahaya adalah gelap, dan karena barzakh (benda) kehilangan cahayanya maka dalam kegelapannya tidak memerlukan sesuatu yang lain. Maka dari itu, semua benda adalah sama dengan substansi-substansi gelap.
            Sementara untuk menjawab kritikan kedua perlu memperhatikan poin ini, benda-benda yang terus bercahaya seperti matahari, berbeda dengan benda-benda lain menurut kualitas kegelapan zatnya, satu-satunya perbedaan matahari dengan benda-benda lain adalah bahwa cahaya pada matahari bersifat tetap sedangkan cahaya pada benda-benda lain bersifat tidak tetap dan temporal. Ketetapan atau ketemporalan cahaya-cahaya ini sama sekali tidak berhubungan dengan zat benda-benda tersebut, oleh karena itu cahaya pada setiap benda-benda tersebut (yaitu benda yang senantiasa bercahaya dan benda yang terkadang bercahaya) tidak terpancar dari hakikat zatnya, akan tetapi cahaya tersebut bersifat aksidental atau menempel pada zatnya. Kesimpulannya, hakikat benda-benda tersebut adalah substansi gelap itu sendiri. Dengan demikian, setiap benda secara hakiki ialah substansi gelap.[2]   

2. Pencipta Cahaya-Cahaya

            Syaikh Isyraq menyusun alam eksistensi itu ke dalam empat bagian, yaitu cahaya murni, cahaya tak murni, substansi gelap (benda), dan aksiden-aksiden gelap. Dia juga berusaha menunjukkan bahwa tiga bagian dari empat bagian tersebut wujud dan keberadaannya bergantung pada salah satu dari empat bagian, tiga bagian itu adalah cahaya tak murni, substansi gelap, dan aksiden-aksiden gelap. Ketiga bagian ini memerlukan cahaya murni. Pertama-tama Syaikh Isyraq berupaya menetapkan tentang kebutuhan hakiki cahaya tak murni, kemudian menunjukkan bahwa kebutuhan cahaya tak murni bukan kepada aksiden-aksiden gelap dan bukan kepada substansi gelap, melainkan kepada cahaya murni. Oleh karena itu, pencipta dan pengada cahaya-cahaya tak murni tidak lain adalah cahaya murni. Dalam hal ini, Syaikh Isyraq menjelaskan bahwa cahaya tak murni yang terindera secara lahiriah merupakan suatu hakikat yang yang bergantung dan butuh terhadap sesuatu yang lain, keberadaan cahaya tak murni ini bergantung kepada substansi gelap (benda, barzakh). Namun maujud yang bergantung ini (cahaya tak murni) bukan akibat dari substansi gelap, karena: pertama, apabila cahaya tak murni sebagai akibat dari benda, maka ia harus senantiasa bersama dengan benda di manapun ia berada, sementara terdapat benda-benda akan tetapi tidak mempunyai cahaya tak murni atau sebaliknya. Kedua, tidak satupun sebab bisa memiliki akibat yang lebih sempurna darinya, karena cahaya tak  murni lebih sempurna dari pada benda, maka dari itu cahaya tak murni tidak bisa merupakan akibat dari benda. Oleh karena itu, sebab pengada dan pencipta cahaya tak murni yang terdapat dalam benda ialah bukanlah benda itu sendiri.
            Aksiden-aksiden gelap juga tidak dapat dipandang sebagai sebab dan pencipta cahaya tak murni, karena: pertama, sebagian besar dari aksiden-aksiden gelap seperti bentuk dan warna merupakan akibat dari cahaya tak murni. Walaupun cahaya tak murni juga tergolong aksiden, namun sebagian aksiden-aksiden itu diwujudkan oleh cahaya tak murni. Kedua, aksiden-aksiden gelap ini adalah tersembunyi, tidak nampak, dan tidak terindera oleh mata, lantas bagaimana dapat menjadi sebab bagi keberadaan cahaya tak murni. Oleh karena itu, harus ada sebab bagi cahaya tak murni yang memberikan cahaya bagi benda-benda tersebut yang bukan dari substansi gelap atau barzakh. Jadi sebab cahaya tak murni adalah bukan benda dan juga bukan aksiden-aksiden gelap.

3. Kebutuhan Benda kepada Cahaya Substansial (Murni).

            Semua benda atau barzakh bersama dengan kumpulan dari aksiden-aksiden gelap seperti bentuk dan warna, dan semua benda-benda memiliki ukuran-ukuran tertentu; walaupun ukuran-ukuran ini secara hakiki tidak berada di luar zat benda-benda, atau dengan kata lain (menurut filsafat Iluminasi) ukuran itu tidak lain adalah benda itu sendiri, namun yang pasti, ukuran-ukuran ini berbeda pada seluruh benda dan setiap benda memiliki ukuran masing-masing. Aksiden-aksiden yang menyebabkan perbedaan pada benda-benda adalah bukan akibat dari benda-benda tersebut, karena kalau demikian maka segala benda memiliki aksiden-aksiden yang sama, yakni karena zat semua benda adalah sama maka segala aksiden yang merupakan akibat dari semua benda itu harus sama dan identik di semua tempat. Kesimpulannya bahwa semua benda mesti memiliki bentuk dan warna yang sama, sementara secara faktual tidaklah demikian. Dengan demikian, ukuran-ukuran ini adalah bukan akibat dari zat benda dan pasti adalah akibat dari suatu sebab yang bukan bersumber dari jenis benda-benda.  
            Yang pasti bahwa semua aksiden itu membutuhkan sebab. Kita telah ketahui bahwa keberadaan semua aksiden memerlukan benda dan juga eksistensi semua benda adalah bergantung pada aksiden-aksiden, yakni kebutuhan semua benda pada aksiden dari sisi bahwa tanpa aksiden mustahil terwujudnya keragaman dan kejamakan benda. Namun kesaling-butuhan antara aksiden dan benda ini adalah bermakna kemestian non-esensial dan hal ini tidak berarti bahwa satu sama lain merupakan sebab hakiki. Dari sisi lain bisa dikatakan bahwa kalau benda merupakan sebab hakiki aksiden dan aksiden sebab hakiki benda, maka akan terjadi lingkaran setan (daur) yakni keberadaan benda bergantung pada aksiden dan eksistensi aksiden bergantung pada benda dan ini berarti bahwa sebelum benda itu tercipta ia harus mewujudkan aksiden yang akan menghadirkannya dan begitu pula sebaliknya, realitas ini adalah mustahil terjadi karena tak satupun akibat tidak bisa menjadi sebab bagi kehadiran dirinya sendiri. Dan karena seluruh benda dan aksiden adalah zat-zat yang secara esensial bergantung pada yang lain, dengan demikian semuanya memerlukan suatu sebab hakiki yang bukan benda, bukan cahaya tak murni, dan juga bukan aksiden kegelapan. Sebab hakiki itu tidak adalah cahaya murni.[3]

4. Ketidakterinderaan Cahaya Substansial

            Syaikh Isyraq pada bagian ini menekankan bahwa cahaya murni tidak dapat diindera secara lahiriah. Dia menjelaskan bahwa setiap cahaya yang dapat diindera adalah cahaya tak murni, oleh karena itu jika ada cahaya murni, maka ia pasti tidak bisa terindera, tidak bisa ditunjuk, tak memiliki arah, dan tak memerlukan benda.[4]

5. Cahaya Substansial merupakan Cahaya Linafsihi

            Secara lahiriah Syaikh Isyraq mengemukakan bahwa cahaya linafsihi yakni cahaya untuk dirinya sendiri dan tidak bergantung kepada selainnya, cahaya seperti ini adalah cahaya murni. Dia menjelaskan bahwa cahaya tak murni adalah bukan cahaya bagi dirinya sendiri, karena eksistensi dan keberadaannya tidak mandiri, melainkan bergantung dan butuh kepada yang lain (benda), dengan demikian, cahaya seperti ini adalah cahaya bagi realitas yang lain dan bukan untuk dirinya sendiri (cahaya lighairihi). Oleh karena itu, cahaya murni adalah cahaya linafsihi atau cahaya bagi dirinya sendiri, dan setiap cahaya linafsihi merupakan cahaya yang murni.[5]

6. Cahaya Substansial ialah Mengetahui Zatnya Sendiri

            Syaikh Isyraq beranggapan bahwa seluruh maujud yang mengetahui zatnya sendiri adalah cahaya murni, yakni sekalipun maujud tersebut adalah binatang, kalau ia mengetahui dirinya sendiri maka niscaya merupakan cahaya murni. Lebih lanjut dia berkata bahwa setiap maujud yang sadar,mengetahui, dan tak lupa dengan wujudnya sendiri adalah bukan substansi gelap dan benda, karena zatnya bagi dirinya sendiri adalah cahaya, dan begitu pula  ia juga bukan cahaya tak murni karena tidak memahami dirinya sendiri dan cahayanya tidak bagi dirinya sendiri, dan juga bukan aksiden gelap. Dengan demikian, maujud itu adalah cahaya murni.
            Syaikh Isyraq memaparkan masalah ini secara lebih luas dan menyatakan bahwa kesadaran dan pengetahuan wujud mandiri atas zatnya sendiri adalah bersifat hudhuri dan bukan hushuli (lewat gambaran pikiran), karena:
a. Pengetahuan atas zat sendiri yang berasal dari gambaran pikiran yang jika dibandingkan dengan subyek bukanlah subyek itu sendiri, gambaran pikiran atas zat sendiri senantiasa berada di luar zat subyek. Secara hakiki, karena yang dipahami adalah gambaran zat sendiri, konsekuensinya bahwa pengetahuan atas zatnya sendiri dan pengetahuan terhadap gambaran atas zat sendiri adalah sama, hal ini adalah mustahil. Perkara ini berbeda ketika memahami sesuatu yang berada di luar subyek dimana gambaran sesuatu itu dalam pikiran dan zatnya senantiasa berada diluar zat subyek.
b. Apabila pengetahuan atas zat sendiri diperoleh dari gambaran pikiran, dan subyek tidak mengetahui bahwa gambaran itu adalah gambaran zatnya sendiri, maka pada dasarnya ia tidak mengetahui dirinya sendiri. Dan kalau ia memahami bahwa gambaran itu terkait dengan zatnya sendiri, maka ia mengetahui dirinya sendiri sebelum gambaran tentang dirinya sendiri.   
c. Dalam bentuk apapun tidak dapat dibayangkan bahwa zat sendiri itu dapat diketahui dengan perantaraan sesuatu (gambaran) yang bersifat tambahan pada zat. Karena gambaran itu apabila dikaitkan dengan zat merupakan sejenis sifat, dan kalau sifat tambahan ini kita posisikan berhubungan dengan zat itu sendiri, maka secara hakiki zat itu sendiri dipahami sebelum sifat itu. Dengan demikian, ilmu dan pengetahuan kita terhadap zat kita sendiri bukan dicapai dengan sifat tambahan tersebut.    
            Kesadaran dan pengetahuan atas zat itu sendiri tidak dicapai dengan gambaran pikiran atau sifat tambahan atas zat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap zat itu sendiri tidak memerlukan sesuatu yang lain di luar zat itu sendiri, karena zat kita hadir “disamping” kita, maka dari itu zat kita sendiri dipahami tanpa perantara dan mustahil kita lupa pada diri kita kecuali dengan zat kita sendiri.
            Segala sesuatu yang dilupakan, seperti hati, otak, jantung, limpa, organ-organ lain, benda-benda, dan aksiden kegelapan ialah bukan hakikat zat yang diketahui dan dipahami secara hudhuri. Jadi yang kita ketahui dari zat kita sendiri bukanlah organ-organ dan benda-benda kita, karena kalau demikian, mustahil kita melupakan, karena tidak mungkin kita melupakan wujud dan zat kita sendiri.[6]

7. Kaidah Cahaya

            Apabila ingin diketahui tentang kaidah cahaya eksistensi, maka pahamilah bahwa cahaya adalah jelas dan terang dalam hakikat zatnya dan secara esensial menyebabkan terang dan jelasnya yang lain, karena kejelasan dan keterangan bagi cahaya bersifat esensial, dengan demikian cahaya itu lebih terang dan lebih jelas dari segala sesuatu yang keterangan dan kejelasannya bersifat non-esensial. Kehadiran cahaya-cahaya tak murni juga bukanlah bersifat tambahan atas zatnya, yakni cahaya-cahaya ini secara esensial tidak tersebunyi dan tidak nampak, bahkan terangnya dan kehadirannya ialah bersifat esensial. Dan juga bukan berarti bahwa kemestian cahaya adalah kejelasan, keterangan, dan kehadiran itu sendiri, karena apabila demikian, konsekuensinya cahaya secara esensial adalah bukan cahaya yang dalam kehadirannya bergantung kepada yang lain, akan tetapi cahaya dengan sendirinya adalah jelas, terang, dan hadir serta dalam kebercahayaannya merupakan kejelasan, keterangan, dan kehadiran itu sendiri.
            Adalah suatu anggapan yang salah kalau kita pandang bahwa cahaya matahari itu sebagai sesuatu yang dihadirkan. cahaya ialah kehadiran itu sendiri. Jika semua masyarakat menjadi tiada, maka kebercahayaannya cahaya tidak akan menjadi sirna dan punah.
            Dengan penjelasan lain, kita jangan memandang bahwa zat dan hakikat kita adalah sesuatu yang diikuti oleh kehadiran, yakni pada tingkatan zat tidak terdapat kehadiran dan tersembunyi. Akan tetapi, zat dan hakikat kita adalah kehadiran dan kebercahayaan itu sendiri, karena kata ‘keberadaan’ adalah predikat yang terdapat dalam pikiran, kata ‘hakikat’ dan ‘kuiditas’ juga tergolong majasi, dan begitu pula kata ‘ketidakhadiran’ merupakan perkara negasi. Semuanya ini tidak bisa menjadi hakikat dan kuiditas zat kita. Oleh karena itu, hakikat kita tak lain adalah kehadiran. Dengan demikian setiap maujud yang memahami zatnya sendiri ialah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah hadir bagi zatnya sendiri.

8. Pembagian dan Sifat-Sifat Cahaya

            Cahaya terbagi dua, pertama adalah yang dalam zatnya sendiri dan untuk zatnya sendiri merupakan cahaya, dan kedua ialah yang dalam zatnya sendiri adalah cahaya, namun bukan untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa cahaya tak murni bergantung kepada yang lain, maka dari itu bagi dirinya sendiri adalah bukan cahaya, walaupun dalam zatnya sendiri adalah cahaya karena keberadaannya bersandar kepada yang lain. Sementara substansi gelap atau benda yang tidak memiliki kehadiran dalam zatnya sendiri dan juga tak memiliki kehadiran bagi dirinya sendiri.
Kehidupan hakiki tidak lain adalah sesuatu yang memiliki kehadiran bagi dirinya sendiri. Secara hakiki, suatu maujud disebut hidup apabila memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aktivitas. Tentang pengetahuan cahaya atas zatnya sendiri telah kami bahas. Aktivitas cahaya juga bukan hal yang diragukan, karena cahaya secara esensial memberikan pancaran realitas. Oleh karena itu, setiap cahaya murni adalah hidup dan setiap yang hidup merupakan cahaya murni. Benda gelap atau setiap realitas kegelapan lainnya apabila mampu mengetahui zatnya sendiri, maka dalam zatnya adalah cahaya dan bukan benda gelap lagi.
            Kalau benda dan realitas gelap lain mengharuskan kehidupan dan pengetahuan, maka semua benda niscaya hidup dan berilmu, sementara tidaklah demikian. Apabila kehidupan dan pengetahuan benda merupakan akibat dari aksiden-aksiden yang melekat pada benda, maka akan muncul masalah bahwa bagaimana mungkin aksiden itu bisa memberikan pengetahuan sementara ia sendiri tak memiliki pengetahuan. Tanpa diragukan bahwa aksiden bukan ilmu dan tidak hadir untuk benda, karena benda secara esensial adalah gelap dan bagaimana mungkin bisa mengetahui sesuatu yang lain? Sesuatu yang memahami realitas-realitas lain pada hakikatnya ia sebelumnya memahami dirinya sendiri, karena tanpa mengetahui dirinya sendiri, mustahil ia dapat mengetahui maujud-maujud lain.
            Karena benda dan aksiden-aksiden tidak mengetahui dirinya sendiri maka keduanya juga tidak memiliki pengetahuan atas yang lain. Dengan dasar ini, berkumpulnya benda dan aksiden juga tidak akan menghasilkan pengetahuan atas zatnya sendiri. Karena wujud aksiden ialah bergantung kepada yang lain, maka kebersamaannya dengan benda tidak akan mewujudkan suatu realitas yang secara hakiki tak membutuhkan maujud lain, bahkan yang tak bergantung adalah benda tersebut. Dengan demikian, jika salah satu dari benda atau aksiden diasumsikan memiliki pengetahuan, maka yang sangat mungkin memiliki pengetahuan adalah benda itu karena memiliki kemandirian esensial dibandingkan aksiden. Benda dan aksiden adalah dua realitas dan bukan satu realitas, dan telah dipahami bahwa barzakh atau benda tidak mengetahui zatnya sendiri.  
            Lebih lanjut Syaikh Isyraq ingin menekankan bahwa sifat-sifat cahaya, yakni memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri hanya, khusus dimiliki oleh cahaya murni. Dia mengungkapkan bahwa mungkin terdapat sesuatu (A) yang menjadi penyebab kehadiran dan pengetahuan bagi sesuatu yang lain (B), seperti cahaya tak murni merupakan perantara kehadiran bagi sesuatu yang lain. Namun kemestian sesuatu (A) bagi kehadiran dan pengetahuan sesuatu yang lain (B) bukanlah berarti bahwa sesuatu itu (A) merupakan penyebab kehadiran dan pengetahuan bagi dirinya sendiri, karena ketika sesuatu itu menghadirkan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu harus merupakan maujud yang berilmu secara mandiri supaya bisa mengetahui dan memahami sesuatu.
Berdasarkan pendahuluan di atas mesti diketahui bahwa tidak satupun faktor yang mampu mengubah sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan atas diri sendiri menjadi suatu hakikat yang memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, karena zatnya sendiri lebih “dekat” dari dirinya sendiri, dengan sifat ini, berarti bahwa ia tidak mengetahui dirinya sendiri dan ketidakberilmuan atas dirinya merupakan suatu sifat yang esensial, dengan demikian tidak satupun faktor yang dapat menjadikan ia menjadi realitas yang berilmu dan berpengetahuan terhadapat dirinya sendiri. Apakah mungkin sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya kemudian karena faktor eksternal bisa berpengetahuan? Walhasil, sebelum berilmu mengharuskan pengetahuan diri sendiri dan karena benda tidak mengetahui zatnya sendiri maka mustahil memiliki pengetahuan atas dirinya dan yang lainnya dengan perantaraan sesuatu yang lain diluar zat benda itu sendiri.
            Dengan ungkapan lain, apabila diasumsikan terdapat faktor eksternal yang menyebabkan sesuatu yang tidak mengetahui dirinya sendiri menjadi mengetahui dirinya sendiri, maka faktor ini tidak lain adalah cahaya tak murni. Dalam hal ini, setiap benda yang dicahayai oleh cahaya tak murni, niscaya menjadikan benda itu akan yang mengetahui dirinya sendiri dan menjadi hidup, sementara hal ini tidaklah demikian. Setiap karakteristik yang ada pada cahaya tak murni, tetap saja ia tidak bisa mengubah benda menjadi maujud yang mengetahui dan memahami dirinya sendiri.[7]

9. Kemustahilan Suatu Benda Mencipta Benda-Benda Lain

            Dalam masalah ini Syaikh Isyraq menetapkan secara argumentatif bahwa benda bukan pencipta hakiki dan sebab bagi keberadaan benda lain. Dia menyatakan bahwa jiwa dan akal manusia merupakan cahaya murni, namun dengan sifat ini manusia tidak bisa mencipta dan mewujudkan suatu benda dari alam “ketiadaan” ke alam keberadaan. Dengan demikian, apabila cahaya murni yang hidup dan sangat aktif tidak bisa menghadirkan suatu benda, maka benda yang tak hidup mustahil melakukan hal itu.[8]
Nur al-Anwar[9] dan Sifat-Sifatnya
1. Perbedaan Cahaya-Cahaya Substansial
            Syaikh Isyraq beranggapan bahwa perbedaan cahaya-cahaya murni (akal-akal) bersifat gradasional (bertingkat-tingkat). Dia menjelaskan bahwa semua cahaya-cahaya murni dari sisi zat dan hakikatnya adalah satu dan perbedaannya hanya dari aspek kesempurnaan, kekurangan, aksiden-aksiden, dan hal-hal yang ada di luar zat, karena kalau perbedaan cahaya-cahaya terletak pada zat, maka setiap zat dari cahaya-cahaya itu harus tersusun dari genus dan diferensia; yakni setiap zat cahaya-cahaya itu memiliki dua bagian yaitu aksiden-aksiden gelap dan substansi gelap (benda), dua bagian itu bukanlah cahaya ditambah cahaya. Dalam kondisi ini, bagaimana mungkin gabungan dari dua bagian tersebut secara esensial bisa membentuk cahaya? Apabila salah satu dari dua bagian itu adalah cahaya dan bagian lain adalah bukan cahaya, maka yang bukan cahaya itu mustahil dapat ikut campur dalam perwujudan cahaya, karena yang bukan cahaya pada hakikatnya bukan merupakan sumber cahaya, dan yang merupakan cahaya tidak lain adalah bagian yang lain. Dengan demikian gabungan dari dua bagian tersebut tidak bermanfaat. 
            Cahaya-cahaya murni tidak terdapat perbedaan pada zat dan hakikatnya, jika tidak demikian maka setiap cahaya semestinya mempunyai dua bagian, yaitu cahaya dan bukan cahaya. Yang bukan cahaya ini merupakan aksiden pada cahaya atau sebaliknya, cahaya mengaksiden pada yang bukan cahaya atau kedua bagian itu merupakan substansi yang mandiri. Pada asumsi pertama, tidak akan melahirkan cahaya, karena aksiden hanya akan ada setelah keberadaan sesuatu yang aksiden menempel padanya dan karena aksiden berada di luar zat maka mustahil sebagai penyebab hakikat dan zat yang berbeda. Pada asumsi kedua, cahaya ini adalah bukan cahaya murni, akan tetapi cahaya tak murni yang mengaksiden pada substansi gelap. Asumsi ini adalah batal karena yang kita asumsikan pada bagian itu adalah cahaya murni dan mustahil bagian itu merupakan cahaya murni dan sekaligus juga merupakan cahaya tak murni. Sementara pada asumsi ketiga, tak satupun dari bagian-bagian itu saling beraksiden dan berpengaruh satu sama lain dan bahwa keduanya diasumsikan sebagai substansi maka pasti tak memiliki “wadah” yang sama. Dan Karena bagian-bagain itu bukan benda yang bersambungan satu sama lain, dengan dasar inilah tak satupun memiliki kebergantungan satu sama lain dan tidak bisa menjadi lahan bagi keberadaan sesuatu yang lain. Oleh karena itu, cahaya-cahaya murni tak memiliki perbedaan dari zat dan hakikat.
            Lebih lanjut Suhrawardi menuturkan bahwa kita mengetahui bahwa hakikat kita adalah cahaya murni dan karena itu kita memiliki pengetahuan atas diri sendiri, karena cahaya-cahaya murni tak memiliki perbedaan dari dimensi zat dan hakikat, dengan demikian semua cahaya murni semestinya memiliki pengetahuan atas diri sendiri, karena setiap hukum yang berlaku pada satu individu pasti juga berlaku pada individu-individu lain yang memiliki kesamaan hakikat. Hal ini juga merupakan dalil atas realitas itu.[10]

2. Pengada Semua Benda adalah Realitas yang Berilmu

            Suhrawardi pada persoalan ini menjelaskan sifat keberilmuan sebab pengada bagi benda-benda. Dia menyatakan bahwa karena yang memberikan cahaya dan mengadakan semua benda adalah cahaya murni, maka dari itu pemberi cahaya dan wujud merupakan suatu maujud yang hidup dan memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, karena ia adalah cahaya mandiri dan tidak bergantung.[11]

3. Pembuktian Cahaya di atas Cahaya (Nur al-Anwar)

            Syaikh Isyraq membuktikan bahwa apabila cahaya murni itu bergantung pada realitas yang lain maka kebutuhannya bukan pada substasni gelap atau benda tak hidup, karena benda tak hidup tidak bisa menjadi sebab bagi keberadaan sesuatu (cahaya murni) yang lebih sempurna dan lebih tinggi dari semua aspek. Dan juga aksiden kegelapan bukan sumber eksistensi cahaya murni. Maka dari itu, kebutuhan dan kebergantungan cahaya murni niscaya pada cahaya murni yang lain. Karena tasalsul atau mata rantai yang tak terbatas pada keberadaan maujud-maujud adalah mustahil terjadi, dengan demikian mata rantai keberadaan cahaya-cahaya murni ini harus berakhir. Semua benda, aksiden kegelapan, cahaya tak murni, dan cahaya murni harus bergantung pada satu cahaya yang tidak ada lagi cahaya setelahnya, cahaya ini disebut cahaya di atas cahaya (Nur al-Anwar) yang Maha Meliputi, Pemberi Wujud, Maha Suci, Maha Agung, Maha Menguasai, dan Maha Kaya.[12]

4. Ketunggalan Nur al-Anwar

            Syaikh Isyraq dengan berpijak pada cahaya dan kegelapan, kemestian kesamaan dan perbedaan sesuatu, dan kebutuhan pada faktor pengada dan pencipta, menetapkan ketunggalan nur al-anwar. Dia menjabarkan bahwa keberadaan dua cahaya murni yang tak bergantung adalah mustahil, karena kedua cahaya ini dari sisi zat dan hakikat tidak terdapat perbedaan (sebagaimana penjelasan di atas). Kesamaan hakikat mustahil menjadi penyebab perbedaan individu-individu (baca: cahaya-cahaya) yang ada. Begitu pula kemestian esensial dari kesamaan zat dan hakikat tidak akan dapat mewujudkan perbedaan, dikarenakan kedua cahaya itu memiliki kesamaan pada zat dan hakikat, maka kemestian esensial kedua zat juga adalah sama. Perbedaan ini juga mustahil terwujud dengan aksiden-aksiden yang melekat pada zat, tak peduli apakah aksiden-aksiden itu cahaya-cahaya tak murni atau benda-benda, sementara tidak ada lagi maujud-maujud yang lebih tinggi dari cahaya murni yang bisa menghadirkan aksiden-aksiden tersebut. Adalah mustahil kalau kita asumsikan bahwa kedua cahaya murni itu mengadakan dirinya sendirinya atau satu sama lain saling mewujudkan, karena kemestian hal ini ialah kedua cahaya murni itu tanpa adanya faktor pengada telah mengada dan memiliki perbedaan, hal ini mustahil.
            Oleh karena itu, cahaya murni yang tak bergantung ini pasti tunggal dan tak berangkap. Cahaya murni ini tidak lain adalah Nur al-Anwar yang seluruh cahaya bergantung dan butuh padanya serta dengan kepenciptaannya terwujudlah segala maujud. Begitu pula, tidak ada yang serupa dan identik dengan Dia dan Dia berpengaruh dan berkuasa atas segala hal, tidak satupun maujud yang berkuasa dan berpengaruh atas-Nya, dan tidak ada yang dapat menandingi-Nya, karena semua kodrat, kekuasaan, dan kesempurnaan berasal dari-Nya. Akibat (ma’lul) tak pernah seimbang dengan sebab.[13]

5. Kemustahilan Ketiadaan Nur al-Anwar

            Suhrawardi menegaskan bahwa Nur al-Anwar mustahil tiada, karena kalau ketiadaan-Nya bersifat mungkin, maka keberadaan-Nya pun bersifat mungkin. Jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya Dia memerlukan Pengada yang akan mewujudkan-Nya. Walhasil Dia adalah maujud yang secara esensial bergantung dan membutuhkan maujud lain yang secara mutlak dan esensial tak bergantung yang disebut dengan Nur al-Anwar. Bagaimanapun rangkaian sebab dan akibat (kausalitas) harus berakhir pada Sebab Hakiki dan Pertama.
            Suatu maujud tak akan pernah mengharuskan secara esensial ketiadaan dirinya sendiri, kalau demikian halnya, maka dari awal ia tidak akan pernah ada. Nur al-Anwar ialah tak berangkap (basith) dan keberadaan zat-Nya tidak berhubungan dengan syarat-syarat, segala sesuatu bergantung selain diri-Nya dan segala sesuatu butuh pada-Nya. Maka dari itu, karena Dia tak bersyarat dan tak memiliki lawan yang bisa memusnahkan-Nya, Dia terus ada dan abadi.[14]

6. Kemanunggalan Sifat Nur al-Anwar dengan Zat-Nya

            Pada bagian ini pembahasan berkenaan dengan kesatuan sifat Nur al-Anwar dengan zat-Nya. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa tidak satupun sifat yang bercahaya atau gelap menempel pada zat Nur al-Anwar. Dan juga tidak satupun sifat dari sifat-sifat-Nya yang hubungannya dengan zat-Nya bersifat mungkin, bahkan hubungan semua sifat-Nya dengan zat-Nya bersifat mesti dan niscaya. Berikut ini akan diutarakan beberapa dalil dan argumentasi:
a. Apabila Nur al-Anwar memiliki aksiden-aksiden gelap maka mesti terdapat pada zat-Nya sisi kegelapan yang dihadirkan oleh aksiden-aksiden tersebut. Dalam kondisi ini, Nur al-Anwar terangkap dari dua dimensi kegelapan dan cahaya, dan akhirnya Dia bukan cahaya murni lagi. Sementara dipahami bahwa Dia ialah cahaya murni. Jika diasumsikan Nur al-Anwar memiliki suatu sifat cahaya yang tidak menyatu dengan zat-Nya, maka wadah sifat itu harus memiliki cahaya yang lebih terang yang kemudian menerangi zat Nur al-Anwar. Karena tidak ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih terang dari Nur al-Anwar yang ia itu sebagai faktor yang mewujudkan sifat cahaya lain, kesimpulannya sifat cahaya lain lebih terang dari Nur al-Anwar yang sebagai akibat-Nya sendiri dan hal ini ialah mustahil.   
b. Senantiasa pemberi cahaya lebih terang dari penerima cahaya, karena ia merupakan sumber cahaya ini. Oleh karena itu, apabila Nur al-Anwar sendiri mewujudkan suatu sifat lain pada zat-Nya, maka zat dengan sifat lain itu lebih terang dan bercahaya dari zat Nur al-Anwar itu sendiri, dan hal ini adalah juga mustahil terjadi.
 c. Apabila Nur al-Anwar menciptakan suatu sifat lain dalam zat-Nya sendiri, maka zat-Nya yang sebagai pelaku adalah juga penerima atau Dia sebagai pemberi dan juga sebagai penerima. Dari satu sisi, pemberi dan pelaku berbeda dengan penerima, karena dalam hal itu semestinya setiap pemberi ialah juga penerima sesuatu dan setiap penerima juga adalah pemberi, sementara tidaklah demikian. Dengan demikian, Nur al-Anwar harus memiliki dua dimensi yang satu dimensi memberikan dan dimensi lain menerima. Karena mata rantai yang tak berhingga itu adalah mustahil terjadi, pada akhirnya akan berujung kepada zat Nur al-Anwar dan kesimpulannya, zat Dia menjadi terangkap dari dua dimensi yaitu dimensi yang memberi dan yang menerima.        
d. Dua dimensi tersebut adalah bukan cahaya tak bergantung, pada pembahasan yang lalu telah ditetapkan tentang kemustahilan keberadaan dua cahaya yang sama-sama tak bergantung. Dan juga dari dua dimensi itu tidak bisa diasumsikan bahwa satu dimensi tak bergantung dan dimensi lain bergantung, karena kalau cahaya bergantung bersandar pada cahaya tak bergantung akan lahir masalah sebagaimana pada poin (c). Apabila cahaya bergantung tidak bersandar pada cahaya tak bergantung, maka tidak terdapat dua dimensi, sementara diasumsikan zat-Nya memiliki dua dimensi dan hal ini adalah batal karena terjadi kontradiksi. Begitu pula dari dua dimensi tersebut tidak dapat diasumsikan bahwa satu dimensi sebagai cahaya dan dimensi lain adalah aksiden gelap, karena akan terdapat dimensi gelap pada zat Nur al-Anwar. Juga mustahil diasumsikan satu dimensi ialah benda dan dimensi lain ialah cahaya murni, karena dengan kondisi ini, tak akan terjadi kebergantungan satu sama lain dan tak akan berhubungan dengan zat Nur al-Anwar.
             Dengan penjelasan di atas menjadi jelaslah bahwa Nur al-Anwar tak memiliki sifat yang terpisah dari zat-Nya yang kemudian menempel padanya dan lebih terang dari zat-Nya sendiri. Karena kembalinya ilmu segala sesuatu kepada zatnya, dengan makna bahwa zatnya bagi dirinya sendiri adalah jelas dan terang. Dan hal ini tidak lain ialah cahaya murni yang kehadirannya tak bergantung kepada yang lain. Dengan demikian, kehidupan dan pengetahuan Nur al-Anwar yang merupakan cahaya murni adalah menyatu dengan zat-Nya sendiri, dan bukan terpisah dari zat-Nya.[15]
Urutan Penciptaan
1. Satu Akibat (Ma’lul) hanya Terpancar dari Satu Sebab (‘Illah)

            Syaikh Isyraq, sebagaimana filosof Peripatetik, menerima dan menetapkan suatu rumusan masyhur yang disebut dengan kaidah al-wahid. Dia menyatakan bahwa mustahil terpancar dari Nur al-Anwar satu cahaya dan satu non-cahaya (substansi gelap dan aksiden-aksiden gelap), karena:
a. Aspek kemestian cahaya berbeda dengan kemestian kegelapan. Kalau keduanya (cahaya dan kegelapan) terpancar dari-Nya, maka zat Nur al-Anwar terangkap dari dua aspek itu. Sebagaimana kita ketahui tentang kemustahilan kerangkapan zat-Nya. Maka dari itu, terpancarnya kegelapan dari Nur al-Anwar adalah mustahil terjadi.
b. Cahaya dari sisi kecahayaannya, apabila memiliki akibat, maka akibat itu tidak lain adalah cahaya itu sendiri. Adalah juga mustahil terpancar secara langsung dua cahaya sekaligus dari zat Nur al-Anwar (Sebab Pertama), karena dua cahaya ini adalah dua hakikat dan dua kemestian yang berbeda. Jika dua cahaya terpancar secara bersamaan dari-Nya, maka mengharuskan pada zat-Nya dua aspek dan dua dimensi. Dan keberadaan dua dimensi pada zat-Nya akan meniscayakan kerangkapan pada zat-Nya, dan hal ini adalah batil.
Dengan dasar perbedaan dua akibat yang terpancar dari Nur al-Anwar, semestinya di antara keduanya terdapat sisi kesamaan dan sisi perbedaan, dan Nur al-Anwar seharusnya mewujudkan dua sisi itu dalam wujud-Nya. Konsekuensi dari hal ini adalah pada zat-Nya terdapat dua sisi, keadaan ini adalah suatu kemustahilan.[16]

2. Pancaran Pertama

            Suhrawardi menetapkan akal atau cahaya substansial (murni) sebagai pancaran pertama yang terwujud dari Sebab Pertama. Dalam hal ini, dia sepaham dengan maktab Peripatetik, namun dalam pembuktian ide dan konsep ini, ia memilih metode dan jalan yang khas. Dalam kelanjutan pembahasan, dia mengkaji perbedaan antara pancaran pertama dengan Nur al-Anwar dan pengertian pancaran maujud. Ini tidak dilakukan oleh filosof agung Ibnu Sina.
            Syaikh Isyraq dalam masalah ini menjelaskan bahwa apabila pencaran pertama dari Nur al-Anwar itu diasumsikan sebagai satu kegelapan, berdasarkan kemestian kejamakan dimensi pada zat-Nya, maka mustahil pancaran pertama itu ialah cahaya. Akan tetapi yang kita saksikan keberadaan fenomena cahaya-cahaya murni dan tak murni di alam eksistensi ini, maka dari itu, pancaran pertama adalah bukan kegelapan. Karena jika demikian yang terjadi, maka yang ada hanyalah kegelapan itu dan tidak menyisakan ruang bagi eksistensi cahaya-cahaya dan kegelapan-kegelapan lain, karena berpijak pada kaidah al-wahid, mustahil sekaligus terpancar cahaya dan kegelapan, dan juga kegelapan tidak bisa mewujudkan cahaya dan kegelapan lain. Dengan demikian akibat Nur al-Anwar hanyalah terbatas pada kegelapan itu, dan asumsi ini ialah batal karena bertolak belakang secara nyata dengan realitas yang ada di alam.
            Dari dimensi bahwa Nur al-Anwar bukan sumber kejamakan, maka dari itu adalah mustahil terpancar dari-Nya satu maujud gelap, substansi gelap, dan aksiden-aksiden gelap dan begitu pula tidak mungkin terjadi dua cahaya murni terpancar langsung dari-Nya. Asumsi yang tertinggal hanyalah bahwa realitas yang pertama kali terpancar dari Nur al-Anwar adalah satu cahaya murni.
Apa perbedaan pancaran pertama ini dengan Nur al-Anwar? Tidak diragukan bahwa perbedaan keduanya mesti bukan pada aksiden-aksiden kegelapan, karena mustahil terpancar kegelapan bersama dengan cahaya dari Nur al-Anwar (karena kemustahilan kerangkapan zat-Nya dari dua dimensi). Disamping itu, dengan dalil Syaikh Isyraq telah menetapkan bahwa hakikat cahaya-cahaya murni adalah tidak berbeda. Oleh karena itu, perbedaan pancaran pertama dengan Nur al-Anwar ialah pada gradasi kesempurnaan. Sebagaimana di alam materi, pemberi cahaya lebih terang dan lebih sempurna dari penerima cahaya, realitas dan kenyataan ini juga terjadi pada cahaya-cahaya murni.
            Supaya substansi permasalahan ini menjadi lebih jelas, perlu memperhatikan bahwa perbedaan yang terjadi pada cahaya-cahaya tak murni karena perbedaan kesempurnaan pemberi cahayanya masing-masing, walaupun penerima cahaya-cahaya itu adalah satu, seperti cahaya lampu dan cahaya matahari yang menerangi satu tembok, atau cahaya matahari secara langsung menerangi bumi atau cahaya matahari yang membias pada cermin. Adalah jelas bahwa cahaya langsung matahari lebih sempurna dari cahaya yang terbias dari cermin atau dari cahaya lampu. Asal perbedaan ini tidak lain adalah perbedaan kesempurnaan pemberi-pemberi cahaya dan perbedaan tingkat kelemahan penerima-penerima cahaya.
Begitu pula terkadang pelaku dan sumber cahaya adalah satu, namun perbedaan yang ada pada cahaya-cahaya karena faktor perbedaan derajat kesempurnaan dan tingkat kelemahan pada wadah-wadah cahaya. Karena cahaya murni tidak memiliki wadah, maka dari itu selain Nur al-Anwar, dia niscaya sempurna. Kesempurnaan cahaya murni bergantung pada kesempurnaan Nur al-Anwar, namun kesempurnaan Nur al-Anwar adalah karena tidak memiliki suatu sebab apapun, bahkan Ia adalah cahaya murni yang tidak memiliki sedikitpun kebutuhan dan kekurangan.   
Pancaran pertama dari Nur al-Anwar ialah satu cahaya murni yang zatnya bergantung secara esensial dan hanya tercukupkan dengan-Nya. Perwujudan cahaya murni ini oleh Nur al-Anwar tak bermakna bahwa sesuatu itu terpisah dari-Nya, karena berpisah dan bersatu merupakan sifat-sifat benda, sementara Nur al-Anwar tidak memiliki sifat dan karakteristik benda. Begitu pula penciptaan ini tidak berarti perpindahan sesuatu dari Nur al-Anwar, karena aksiden tidak menerima perpindahan dan zat-Nya tidak mempunyai aksiden-aksiden. Realitas ini bisa kita misalkan dengan pancaran cahaya matahari dimana pancaran cahaya ini berhubungan dengan matahari, tetapi pancaran cahaya ini bukan sesuatu yang berpisah dan berpidah dari matahari. Pemisalan ini mirip dengan kenyataan cahaya-cahaya tak murni dan murni, bukan aksiden yang berpindah atau suatu benda yang berpisah atau terlepas dari benda lain.[17]

3. Proses Penciptaan

            Penjelasan Suhrawardi tentang masalah ini tak jauh berbeda dengan uraian-uraian Ibnu Sina. Dia memaparkan bahwa pancaran pertama dari-Nya juga tidak memiliki dimensi-dimensi keragaman, karena asumsi keberadaan keragaman pada pancaran pertama akan meniscayakan keberadaan keragaman pada zat-Nya, dan ini adalah mustahil. Maka dari itu, kalau hanya satu benda gelap yang terwujud dari cahaya pertama dan bukan suatu cahaya lain, maka pada titik itu juga proses keberadaan dan penciptaan akan terhenti, karena benda mustahil mewujudkan benda lain atau cahaya lain.
            Apabila dari cahaya pertama terwujud cahaya A, dari cahaya A terpancar cahaya B, dan begitu seterusnya, maka mustahil akan tercipta benda. Cahaya-cahaya ini, dari aspek kecahayaan, mustahil terwujud benda darinya. Oleh karena itu, semestinya dari pancaran pertama itu juga tercipta satu cahaya murni dan satu benda, karena pancaran pertama ini memiliki aspek-aspek yang beragam, seperti kebergantungan esensial, kecukupan wujudnya dengan perantaraan Sebabnya sendiri, berpikir atas kekurangan dirinya sendiri dimana merupakan aksiden-aksiden kegelapannya, “memandang” Nur al-Anwar dan memandang zatnya sendiri, karena tidak ada hijab antara dia dengan Nur al-Anwar, dikarenakan hijab ialah sifat-sifat benda. Nur al-Anwar beserta cahaya-cahaya murni lain tidak bisa terperangkap dan terbatasi oleh sisi-sisi dan dimensi-dimensinya.
            Dengan demikian, pancaran pertama yang “memandang” Nur al-Anwar mendapatkan dan mengetahui dirinya dalam kegelapan, karena cahaya sempurna meliputi cahaya tak sempurna, maka ketika “memandang” keagungan Nur al-Anwar tampaklah kegelapan dan kebutuhan zatnya, realitas ini sebagai persiapan bagi kehadiran bayangan dari zatnya dan bayangan ini tak lain adalah alam materi.
            Dan juga pancaran pertama dari sisi kecukupan wujudnya dengan perantaraan Nur al-Anwar dan “memandang” jalaliyah-Nya, ia mampu mencipta cahaya murni lain. Walhasil, benda merupakan bayangan pancaran pertama dan cahaya murni lainnya merupakan pancaran cahayanya. Bayangannya sebagai konsekuensi kegelapan kebutuhan dan kebergantungan esensialnya; maksud kegelapan di sini ialah sesuatu yang tak memiliki cahaya dalam zatnya sendiri.[18]

4. Perwujudan Keragaman dan Kejamakan

            Mengenai kehadiran kejamakan di alam ini, dia menjelaskan bahwa ketika di antara cahaya-cahaya tidak terdapat hijab, cahaya bawah akan “memandang” (musyahadah) cahaya atas dan cahaya atas akan memancarkan (isyraq) cahayanya pada cahaya bawah. Maka dari itu, Nur al-Anwar akan memancarkan cahaya-Nya hanya pada cahaya yang terdekat dengan-Nya (cahaya pertama).
            Kalau ada sanggahan atas perjelasan tersebut dan dikatakan bahwa pada kondisi itu, Nur al-Anwar menerima kejamakan, karena dari satu sisi Dia mewujudkan pancaran pertama dan pada sisi yang lain, Dia memancarkan cahaya pada pancaran pertama.
            Jawaban atas sanggahan itu, kami katakan bahwa mustahil dua realitas secara langsung terwujud dari Nur al-Anwar. Namun di sini tidaklah demikian, karena hanya wujud pancaran pertama adalah akibat zat-Nya, sementara pancaran cahaya-Nya merupakan upaya perwujudan cinta kepada Nur al-Anwar pada zat pancaran pertama dimana tiada hijab di antara keduanya. Jadi dalam hal ini, terdapat banyak dimensi-dimensi, penerima-penerima cahaya, dan syarat-syarat yang berbeda. Berdasarkan perbedaan keadaan penerima-penerima dan kejamakan maujud dan syarat-syarat, satu wujud bisa menjadi sebab bagi semua fenomena yang berbeda.[19]
5. “Pemberian” Nur al-Anwar              
            Dalam persoalan ini, Suhrawardi ingin menegaskan bahwa Dia tidak mencari tujuan-tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, hal ini ia sebut sebagai “pemberian Tuhan”. Ia, sebagaimana Ibnu Sina, menamakan penciptaan itu sebagai “pemberian Tuhan”. Lebih lanjut ia memaparkan bahwa “pemberian” merupakan sesuatu yang layak untuk memberi. Seseorang yang berbuat sesuatu supaya dia dipuji oleh yang lain dan memberi balasan adalah pemberi manfaat. Oleh karena itu, tidak sesuatu yang paling dan Maha Pemberi kecuali suatu zat yang hakikatnya adalah cahaya, hakikat seperti ini lebih layak dari semuanya untuk memberikan pancaran dan rahmat.
            Raja hakiki adalah segala sesuatu bergantung pada zat-Nya, dan zat-Nya tidak memerlukan kepada sesuatu yang lain. Raja hakiki ini tidak lain adalah Nur al-Anwar.[20]

6. Kaidah Pancaran (Isyraq).

            Suhrawardi dalam menjelaskan penciptaan menggunakan dua unsur seperti isyraq (pancaran) dan musyahadah (“memandang”). Pada kesempatan ini, dia memaparkan perbedaan di antara kedua unsur tersebut. Dia menyatakan bahwa mata manusia mempunyai pandangan (musyahadah) yang dapat melihat matahari dan juga memiliki isyraq dimana cahaya matahari menyinarinya. Isyraq dan musyahadah berbeda satu sama lain, karena isyraq atas mata pada tempat dimana mata itu diletakkan, yakni di bumi; dalam keadaan dimana musyahadah matahari berlangsung pada jarak yang sangat jauh dari, yakni dilangit, karena matahari pada tempat yang dapat dilihat. (Musyahadah ke langit dan isyraq ke bumi) Musyahadah dan isyraq ini akan semakin kuat bila hubungannya semakin bercahaya dan semakin dekat, misalnya apabila dalam kornea mata adalah bercahaya atau kalau matahari semakin dekat dengan kornea mata, maka musyahadah dan isyraq ini akan memiliki intensitas kuat.[21]

7. Hubungan antara Cahaya Tinggi dan Cahaya Rendah

            Di sela-sela penjelasan hubungan cahaya-cahaya, Suhrawardi juga memaparkan pengertian kelezatan dan dia lantas menuturkan tentang Nur al-Anwar dengan berpijak pada kelezatan ini.
            Dia menyatakan bahwa cahaya rendah tidak meliputi cahaya tinggi, karena cahaya atas menguasainya, namun cahaya rendah bisa melihat cahaya tinggi. Ketika jumlah cahaya semakin banyak, setiap cahaya tinggi akan menguasai cahaya rendah dan cahaya rendah akan mencintai cahaya tinggi. Maka dari itu, Nur al-Anwar menguasai seluruh keberadaan dan segala sesuatu itu hanya akan mencintai-Nya, karena hanya yang Dia mempunyai kesempurnaan Hakiki, Dia paling indah, kehadiran-Nya bagi diri-Nya sendiri, dan kehadiran-Nya paling sempurna dan paling kuat.
            Perlu diketahui bahwa tingkat kesempurnaan kelezatan dan intensitasnya sangat berbanding lurus dengan derajat pencapaian kesempurnaan dan pengetahuan, semakin sempurna pengetahuan dan kehadiran maka semakin sempurna pula kelezatan. Karena tidak ada sesuatu yang lebih sempurna dan lebih indah dari Nur al-Anwar dan tidak ada sesuatu yang dapat menandingi kehadiran Dia bagi diri-Nya sendiri dan bagi sesuatu yang lain, maka dengan ini, tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya dalam memberikan kelezatan bagi diri-Nya sendiri dan bagi maujud-maujud yang lain.
            Dia mencintai zat-Nya sendiri dan obyek yang dicintai oleh maujud-maujud lain. Setiap cahaya tak sempurna pasti mencintai cahaya yang lebih sempurna. Sebagaimana kehadiran Nur al-Anwar atas diri-Nya sendiri adalah menyatu dengan zat-Nya, kelezatan dan kecintaan-Nya pun kepada wujud-Nya sendiri adalah menyatu dengan zat-Nya. Begitu pula, kebercahayaan Dia tidak dapat dibandingkan dengan kebercayaan yang lain, cinta dan kelezatan Dia pun tidak bisa dibandingkan dengan cinta dan kelezatan maujud lain. Dengan demikian, keseluruhan keberadaan dan fenomena eksistensi berjalan di atas alur kecintaan dan kekuasaan.[22]

8. Perwujudan Cahaya-Cahaya dan Benda-Benda

            Syaikh Isyraq menyatakan bahwa dari pancaran (cahaya) pertama akan terwujud cahaya kedua dan dari cahaya kedua ini muncul cahaya ketiga, cahaya ketiga melahirkan cahaya keempat, dan demikianlah seterusnya hingga batasan yang tidak diketahui.
            Kemudian setiap dari cahaya-cahaya tersebut menyaksikan (musyahadah) Nur al-Anwar dan menjadi sekaligus sebagai obyek pancaran-Nya. Cahaya-cahaya tinggi akan memantulkan pancaran-Nya kepada cahaya yang lain. Setiap cahaya tinggi memancarkan cahayanya kepada cahaya rendah dan cahaya rendah ini menerima pancaran itu dengan perantaraan ataupun tidak, misalnya cahaya kedua menerima dua kali pancaran Nur al-Anwar, yaitu pancaran pertama diterima olehnya tanpa perantara dan pancaran kedua dengan perantaraan cahaya pertama. Kaidah ini juga berlaku pada cahaya ketiga dan cahaya-cahaya lain. Cahaya ketiga menerima pancaran sebanyak empat kali, yaitu dua kali dari cahaya yang berada di atasnya, satu dari Nur al-Anwar secara langsung, dan satu lagi dari cahaya pertama dengan tanpa perantara. Cahaya keempat menerima pancaran sejumlah delapan kali, yaitu empat pancaran dari cahaya ketiga, dua pancaran dari cahaya kedua, dan masing-masing menerima satu pancaran dari cahaya pertama dan Nur al-Anwar secara langsung. Demikianlah, pancaran-pancaran ini akan terus bertambah secara signifikan hingga mencapai jumlah yang tak terbatas, karena cahaya-cahaya murni ini bukanlah benda-benda yang bisa terhijab dari Nur al-Anwar. Disamping pancaran-pancaran tersebut, setiap cahaya rendah akan menyaksikan cahaya tinggi dan Nur al-Anwar, dan sebagaimana yang telah kami katakan bahwa musyahadah berbeda dengan isyraq. Pancaran-pancaran Nur al-Anwar ini akan terus berlanjut hingga mengandung unsur-unsur kejamakan, dengan demikian musyahadah-musyahadah dan isyraq-isyraq juga secara berurutan akan menerima unsur kejamakan.
            Perlu diketahui bahwa pancaran-pancaran material, pada satu benda berpijak pada kuantitas sumber pancaran, akan mengalami suatu peningkatan intensitas. Terkadang pada satu tempat terdapat beberapa cahaya-cahaya dimana perbedaan dan jumlah cahaya-cahaya itu tidak dapat diketahui kecuali dari perbedaan dan jumlah sumber-sumber cahaya tersebut, seperti pancaran beberapa lampu pada satu dinding dimana apabila penghalang diletakkan dihadapan salah satu pancaran dari lampu-lampu itu, maka cahaya tidak terpancar dari lampu itu dan akan melahirkan bayangan, namun cahaya akan tetap terpancar pada lampu-lampu lain. Peningkatan intensitas pancaran ini berhubungan dengan kuantitas, bukan satu pancaran akan mengalami peningkatan intensitas dengan beberapa sumber atau dari gabungan unsur-unsur berbeda akan melahirkan pancaran-pancaran satu cahaya baru.
            Terkadang terkumpul pancaran-pancaran yang banyak pada satu tempat, hal ini sama dengan kehadiran kehendak-kehendak yang berbeda terkait dengan beberapa obyek yang bersumber dari satu tempat, akan tetapi benda tidak akan mengetahui kejamakan dan keragaman ini. Hal ini akan berbeda kalau wadah pancaran-pancaran ini adalah suatu maujud yang hidup dan berilmu, niscaya dia akan memahami dan mengetahui jumlah pancaran-pancaran dan peningkatan intensitas pancaran dari setiap sumber.
            Oleh karena itu, cahaya-cahaya tinggi dalam jumlah banyak akan terwujud dengan perantaraan satu sama lain yang eksistensi mereka berpijak pada kuantitas musyahadah dan jumlah pancaran-pancaran. Dan berdasarkan gabungan aspek-aspek dan hubungan-hubungan dengan cahaya-cahaya tinggi ini, akan terwujud cahaya-cahaya lain, seperti gabungan aspek kekuasaan dengan cahaya-cahaya tinggi akan melahirkan beberapa cahaya, atau gabungan dimensi cinta dengan cahaya-cahaya tinggi juga mewujudkan beberapa cahaya lain, demikianlah penggabungan ini seterusnya.
            Dengan gabungan semua pancaran-pancaran, khususnya pancaran-pancaran cahaya yang lemah dan rendah, dengan dimensi kekurangan mereka akan mewujudkan langit dzawabet, kemudian berdasarkan penggabungan sebagian dari pancaran-pancaran ini dengan sebagian yang lain akan melahirkan bentuk-bentuk yang sesuai dengan dzawabet. Cahaya-cahaya pencipta dan pengatur ini, yakni arbâbul anwa’ (pengatur-pengatur spesies), merupakan akibat dari sisi ketidakbutuhan, cinta, dan kekuasaan cahaya-cahaya yang bersama dengan kesesuaian menakjubkan dari pancaran-pancaran kuat, sempurna, dan faktor-faktor lain. Arbâbul anwa’  tersebut mewujudkan, mengatur, dan berhubungan dengan semua spesies benda langit dan seluruh materi yang berada di bawah langit dzawabet. Mengenai eksistensi arbâbul anwa’ ini akan dibuktikan nantinya dengan menggunakan kaidah imkan asyraf.[23]

9. Ilmu Tuhan Berdasarkan Kaidah Isyraq

            Berkaitan dengan masalah ini Suhrawardi menjelaskan bahwa syarat penglihatan, sebagaimana pandangan Peripatetik, bukanlah menggambarkan sesuatu dalam mata atau cahaya yang keluar dari mata, menurut para teolog, tetapi sebagaimana mata dan sesuatu yang berada dihadapan kita adalah bukan hijab yang menghalangi aktivitas mata. Oleh karena itu, Nur al-Anwar adalah swa-berilmu, karena tidak ada hijab antara Dia dengan segala sesuatu, dengan ini, segala sesuatu itu menjadi jelas, nyata, dan diketahui oleh-Nya. Dengan demikian, mengetahui dan melihat bagi-Nya adalah satu. Kebercahayaan-Nya adalah kodrat-Nya itu sendiri, karena cahaya secara esensial merupakan pemberi rahmat dan sangat aktif.
            Lebih lanjut Syaikh Isyraq memaparkan pandangannya sendiri tentang ilmu Tuhan terhadap maujud-maujud. Dia menyatakan bahwa konsep dan perspektif yang benar dalam ilmu Tuhan adalah yang bersandar pada kaidah isyraq, yaitu:
a. Ilmu Tuhan terhadap zat-Nya sendiri, yakni zat-Nya bagi dirinya sendiri adalah gamblang, atau adalah cahaya bagi dirinya sendiri. 
b. Ilmu Tuhan terhadap maujud-maujud alam, yakni semua maujud alam ialah hadir dan nyata dihadapan Dia dan bagi-Nya. Kehadiran maujud-maujud bisa bermakna bahwa eksistensi eksternal mereka sendiri adalah hadir dihadapan Tuhan atau dapat berarti bahwa gambaran wujud mereka dalam alam pikiran maujud-maujud akal adalah hadir dihadapan Tuhan. Oleh karena itu, ilmu Tuhan adalah tergolong ke dalam kategori “hubungan”. Dan ketiadaan hijab yang merupakan perkara negasi dalam kaitannya dengan Tuhan adalah senantiasa berarti, karena tidak ada sesuatu yang terhijab dari-Nya.
            Alasan dan argumentasi Suhrawardi atas pandangan di atas tentang proses penglihatan adalah bahwa perbuatan melihat adalah hasil hubungan sesuatu dengan mata, tanpa hijab. Oleh karena itu, hubungan Tuhan dengan segala maujud adalah penglihatan Dia itu sendiri. Ialah jelas bahwa kejamakan hubungan-hubungan ini tidak bertolak belakang dengan kesatuan wujud dan zat-Nya.[24]

10. Kaidah Imkan Asyraf

            Suhrawardi dalam menetapkan arbabul anwa’ berpijak pada kaidah imkan asyraf, dia menjelaskan bahwa salah satu dari kaidah isyraq adalah bahwa kalau dari satu spesies yang aktual terwujud satu individu yang rendah, maka seharusnya terwujud sebelumnya individu yang lebih tinggi dari spesies itu, karena Nur al-Anwar yang tak berangkap dan tak memiliki satupun bentuk kejamakan, setiap kali Dia telah mewujudkan individu yang rendah dan gelap tersebut, maka mustahil Dia menciptakan lagi setelahnya individu yang lebih tinggi darinya, karena kemustahilan terpancarnya maujud-maujud yang banyak secara bersamaan dan sekaligus dari wujud tunggal.
            Dengan berpijak pada mukadimah di atas, Syaikh Isyraq  menetapkan keberadaan cahaya murni pengatur (jiwa) pada diri manusia. Cahaya pengatur yakni suatu cahaya yang tidak sama sekali bergantung dengan materi, cahaya pengatur spesies yang bersifat universal ini seharusnya lebih tinggi dari cahaya pengatur (jiwa manusia), dengan demikian cahaya pengatur spesies ini harus telah terwujud sebelum keberadaan cahaya pengatur (jiwa manusia). Maka dari itu, keberadaan cahaya pengatur spesies dan cahaya pengatur (jiwa manusia) itu mesti diterima, karena maujud-maujud seperti ini secara esensial terwujud dan berada di luar alam materi. Oleh karena itu, tidak ada satupun hambatan dan halangan bagi perwujudan individu yang paling sempurna dari spesies itu.
            Jangan salah dipahami bahwa rabb al-nu’ (pengatur spesies) manusia, misalnya, merupakan ruh dari badan manusia ini, karena maujud yang lebih tinggi (pengatur spesies) tidak mungkin terlahir pasca keberadaan maujud yang lebih rendah (badan manusia). Dan jangan dianggap bahwa arbabul anwa’ adalah maujud berangkap, akan tetapi hakikat-hakikat mereka itu merupakan cahaya tunggal, walaupun individu-individu material mereka senantiasa berangkap. Karena tidak kemestian bahwa individu-individunya harus identik secara keseluruhan dengan pengatur-pengatur spesiesnya. Dengan demikian, arbabul anwa’ merupakan maujud-maujud eksternal dan hakiki yang memiliki individu-individu. Apabila dikatakan bahwa manusia universal (pengatur spesies manusia) berada di alam non-materi, maka ke-universal- an dalam hal ini bukanlah makna yang hanya terdapat dalam pikiran. Manusia universal itu benar-benar ada dan terwujud di alam eksternal non-materi yang mengatur semua manusia (sebagai inidividu-individunya) di alam materi ini.[25]

11. Perwujudan Basith dari Murakkab

            Suhrawardi menjelaskan bahwa dari cahaya tinggi bersama dengan pancaran-pancarannya mewujudkan maujud lain yang tidak identik dengan dirinya. Dari cahaya-cahaya tinggi terpancar sesuatu yang pancaran-pancaran cahaya-cahaya tinggi ini sebagai bagian dari sebab bagi akibat-akibatnya. Oleh karena itu, dari kumpulan bagian-bagian yang merupakan sebab (A) akan terwujud akibat (B) yang basith (tunggal), kemudian akibat (B) ini yang telah menerima pancaran-pancaran sebab (A) itu dan juga akan menerima pancaran-pancaran yang banyak dari sumber-sumber lain. Dengan demikian, kumpulan baru suatu akibat (C) akan terwujud yang berbeda dengan akibat (B) dari sebab yang lalu (A). Perbedaan arbabul anwa’ dan cahaya-cahaya substansial lainnya dimulai dari sini. Dari kumpulan beberapa sesuatu akan terwujud suatu akibat yang tidak terlahir dari satu per satu dari kumpulan tersebut. Dengan demikian, mungkin terjadi suatu akibat basith (tunggal) terwujud dari sebab yang murakkab (berangkap).[26]
Perbuatan Nur al-Anwar dan Cahaya-Cahaya lain
1. Keazalian Perbuatan Nur al-Anwar          

            Syaikh dalam masalah ini memaparkan tentang ke-qadim-an alam. Ia menekankan bahwa dari Nur al-Anwar dan cahaya-cahaya tinggi tidak mungkin terwujud fenomena-fenomena hadits[27], kecuali sebagaimana yang akan kami jelaskan; yakni perwujudan realitas-realitas yang hadits mustahil bersumber dari cahaya-cahaya murni, kecuali fenomena-fenomena tersebut hadir karena pengaruh yang berasal dari gerak-gerak dan perubahan-perubahan, karena kalau wujud akibat (alam) hanya bergantung pada sesuatu sebab (Tuhan) maka ketika Tuhan berada alam juga pasti berwujud. Kalau antara alam dan Tuhan terdapat “jarak”, pasti terdapat faktor lain,yakni keberadaan akibat sepenuhnya tidak bergantung pada wujud sebab.
            Oleh karena itu, segala sesuatu selain Nur al-Anwar adalah akibat dari Nur al-Anwar dan keberadaan akibat tidak bergantung kepada selain-Nya. Hal ini berbeda dengan kehadiran perbuatan-perbuatan kita yang juga bersandar kepada selain diri kita, seperti faktor waktu dan ketiadaan halangan dan syarat. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh dalam perbuatan-perbuatan kita. Akan tetapi, dalam penciptaan Tuhan tidak memerlukan waktu, karena waktu itu sendiri merupakan akibat dan ciptaan Nur al-Anwar.
            Asy’ariyah beranggapan bahwa keberadaan Nur al-Anwar dengan segala sifat-sifat adalah qadim dan tetap, dengan demikian wujud akibat-Nya (alam) juga bersifat tetap dan qadim, karena keberadaan alam hanya bergantung kepada wujud Tuhan. Dan juga perlu diperhatikan bahwa dalam “ketiadaan mutlak” tidak terdapat asumsi tentang perubahan. Kalaupun dapat diasumsikan padanya suatu perubahan, maka keberadaan perubahan itu sendiri adalah fenomena hadits yang mesti membutuhkan sebab. Oleh karena itu, wujud bayangan-bayangan dan pancaran-pancaran Nur al-Anwar dan cahaya-cahaya tinggi adalah senantiasa berada. Keabadian ini, tak akan bertolak belakang dengan sifat suatu akibat, sebagaimana ketika matahari masih ada pancaran sinarnya pun masih tetap ada. Namun pancaran ini bergantung pada matahari, bukan sebaliknya.[28]

2. Kuiditas adalah yang Tercipta dan bukan Wujud

            Suhrawardi pada poin ini menjelaskan beberapa persoalan tentang sebab-akibat dan penciptaan. Dia menjabarkan bahwa:
a. Karena “wujud” merupakan makna majasi yang diciptakan oleh manusia dalam pikiran, maka realitas yang tercipta dari sebab tidak lain adalah kuiditas (huwiyah, hakikat sesuatu) itu sendiri.
b. Tak satupun dari maujud ciptaan, baik dalam awal kehadirannya maupun dalam keabadiannya, yang tak bergantung pada sebabnya; jika tidak demikian, maka konsekuensinya maujud yang merupakan realitas yang dicipta (mumkin al-wujûd), tiba-tiba (tanpa sebab) secara esensial berubah menjadi realitas yang mencipta (Wâjib al-Wujûd). Perubahan tiba-tiba dan tanpa sebab ini adalah batal.
c. Pada fenomena yang baru tercipta adalah sangat mungkin akan mengalami kepunahan walaupun sebab pengadanya abadi. Dari sisi bahwa dia adalah sebuah fenomena, disamping bergantung pada sebab pengada juga butuh pada faktor-faktor tidak tetap lainnya.
d. Adalah mungkin terjadi bahwa ‘sebab keabadian’ suatu fenomena ialah berbeda dengan ‘sebab pengadanya’, seperti sebuah patung yang ‘sebab keberadaannya’ ialah seorang seniman, namun ‘sebab keawetan (keabadian) nya’ ialah keringnya bahan-bahan patung itu. Terkadang sebab pengada adalah sama dengan sebab keabadian, seperti suatu wadah yang bentuknya bersandar pada kapasitas air, keabadian wadah di sini juga bergantung pada bentuk tersebut.
e. Nur al-Anwar merupakan sebab bagi perwujudan dan keabadian semua maujud alam. Cahaya-cahaya tinggi dan substansial juga sebagai sebab-sebab perwujudan dan keabadian maujud alam.
f. Karena benda-benda langit dalam kondisi yang terus berubah, hubungan mereka tidak pernah terputus dengan cahaya-cahaya pengaturnya dan terus di bawah pengaturan dan kekuasaannya.[29]

Konklusi Pokok-Pokok Filsafat Hikmatul Isyraq    

            Di bawah ini akan kami simpulkan beberapa substansi pemikiran Suhrawardi dalam pembahasan ketuhanan dan ontologi, antara lain: 
1. Eksistensi dan keberadaan memiliki tingkatan dan gradasi;
2. Hakikat eksistensi adalah cahaya, dan cahaya-cahaya ini bergradasi dan berderajat;
3. Puncak cahaya-cahaya tersebut adalah Nur al-Anwar yang secara esensial adalah kaya, tidak bergantung, Pengada Mutlak, dan Pecinta zat-Nya dan Pecinta semua maujud selain-Nya, serta segala sesuatu di bawah kekuasaan-Nya;
4. Cahaya terdekat dan paling identik (cahaya pertama yang terpancar dari-Nya) dengan Nur al-Anwar ialah apa yang disebut dengan Bahman;
5. Hanya satu cahaya yang secara langsung dan tanpa perantara terpancar dari Nur al-Anwar;
6. Cahaya-cahaya pada tingkatan berikutnya bersifat vertikal dan horisontal;
7. Setelah penyempurnaan tingkatan cahaya, akan berpindah pada perwujudan alam materi dan benda (barzakh);
8. Alam-alam eksistensi antara lain: alam akal dan cahaya-cahaya substansial (murni), alam mitsal, alam barzakh (benda), dan alam jiwa manusia yang dapat meliputi ketiga alam tersebut;
9. Setiap cahaya tinggi berkuasa atas cahaya rendah dan cahaya rendah mencintai cahaya tinggi, dan dapat dikatakan:
a. Tuhan (Nur al-Anwar) adalah Pecinta zat-Nya sendiri dan obyek yang dicintai, karena kesempurnaan adalah hadir bagi diri-Nya dan Dia merupakan cahaya yang paling sempurna dan paling indah;
b. Segala sesuatu mencintai Nur al-Anwar dan Dia merupakan puncak segala tujuan;
c. Sistem alam eksistensi diatur berdasarkan kecintaan dan kekuasaan;
d. Selain Nur al-Anwar, kecintaan setiap cahaya kepada zat-nya sendiri berpijak pada kecintaannya kepada cahaya tinggi dan Nur al-Anwar;
e. Apabila cinta dan kecintaan tiada, maka tidak akan pernah ada segala fenomena, realitas-realitas, dan maujud-maujud;
10. Pancaran (isyraq) cahaya dengan metode manifestasi dan tajalli, yakni:
a. Manifestasi Dia tidak memiliki batasan;
b. Manifestasi ini bukan bermakna bahwa sesuatu terpisah dari-Nya, karena kebersatuan dan keberpisahan adalah sifat-sifat benda;
c. Manifestasi bukan berarti perpindahan sesuatu dari Nur al-Anwar;
d. Pancaran wujud Tuhan berarti tajalli, manifestasi, dan kehadiran wajah Tuhan;
11. Antara cahaya dan pengetahuan (pencerapan) memiliki hubungan secara langsung, yakni:
a. Setiap maujud yang mengetahui zat-nya sendiri adalah cahaya substansial (murni);
b. Setiap maujud yang memahami zat-nya sendiri, pengetahuan atas zat ini ialah ilmu hudhuri, yakni zatnya tersingkap bagi dirinya sendiri;
c. Tolok ukur ilmu maujud terkait dengan zat-nya sendiri ialah kehadiran bagi zatnya, bukan kenon-materian zat dari benda (Peripatetik);
d. Jika sesuatu tersingkap bagi sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu harus hadir bagi dirinya supaya dia mengetahui yang lain itu e. Tak satupun maujud bisa memahamkan dan menghadirkan maujud (A) bagi maujud (A) itu sendiri, karena setiap sesuatu, apabila dia hadir bagi dirinya sendiri, maka berarti secara esensial dia adalah hadir, memahami, dan mengetahui dirinya sendiri.
12. Sebagaimana pada maujud-maujud yang tercipta (mumkin al-wujud) bisa digambarkan bahwa salah satu tertinggi (asyraf) dari maujud yang lain, apabila ada maujud yang terendah (akhas), maka semestinya ada maujud yang tertinggi (asyraf) darinya yang merupakan sebabnya, dari kaidah (imakan asyraf) ini dapat ditetapkan dan dibuktikan arbabul anwa’ atau mutsul aflathuni (pengatur spesies-spesies).[]
             

 
[1] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal 275.
[2] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal 277.
[3] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 279.
[4] . Ibid, hal. 282.
[5] . Ibid, hal. 282.
[6] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 288.
[7] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 291.
[8] . Ibid.
[9] . Dalam istilah filsafat disebut dengan Wâjib al-Wujûd (Wujud Wajib, Tuhan).
[10] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 293.
[11] . Ibid.
[12] . Ibid, hal. 294.
[13]. Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 295.
[14] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 296.
[15] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 299.
[16] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 305.
[17] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 309.
[18] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 319.
[19] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 324.
[20] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 325.
[21] . Ibid, hal. 326.
[22] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 330.
[23]. Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 344.
[24] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 346.
[25] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 352.
[26] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 366.
[27] . Hadits, yang merupakan lawan dari qadim, dalam pengertian leksikalnya disebut dengan sesuatu yang baru. Sedangkan qadim adalah sesuatu yang lama dan lalu. Namun dalam istilah filsafat, hadits dimaknakan sebagai sesuatu yang diawali dengan ketiadaan wujudnya, yakni pernah tiada dan pada waktu atau tingkatan tertentu akan mengada. sementara qadim adalah sesuatu yang tidak diawali dengan ketiadaan wujudnya. Hadits atau huduts, sebagaimana qadim atau qidam, ini terdapat beberapa bagian, misalnya huduts dan qidam dahri, huduts dan qidam dzati (esensial), huduts dan qidam zamani (waktu).
[28] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 376.
[29] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 399.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: