Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ilmu. Show all posts
Showing posts with label ilmu. Show all posts

Separuh Ilmu Menurut Rasulullah Saw


Rasulullah saw bersabda:

حُسنُ السُّؤالِ نِصفُ العِلمِ.

“Pertanyaan yang baik (tepat) adalah separuh dari ilmu.”
Kasyf Al-Ghummah, jil. 1, hal. 575.

Pasti kamu sering melihat teman-teman yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tak berguna. Perbuatan seperti itu tidak bermanfaat untuk diri mereka dan juga orang lain.
Tapi ada sebagian anak yang bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bagus, dan pertanyaan seperti itu berguna bagi mereka dan juga orang lain.

Thomas Alva Edison dengan menemukan listrik ia telah memberikan kontribusi terbaik kepada umat manusia; milyaran manusia memanfaatkan temuan tersebut. Akan tetapi seorang ruhani yang hanya membaca al-Qur’an di salah satu sudut masjid dan belajar Fikih ata






Terkadang orang-orang di luar berkata, misalnya, Thomas Alva Edison dengan menemukan listrik ia telah memberkan kontribusi terbaik dan terbesar kepada umat manusia; milyaran manusia memanfaatkan temuan tersebut. Akan tetapi seorang ruhani hanya dengan membaca al-Qur'an di salah satu sudut masjid dan belajar fikih atau filsafat atau menyampaikan pelajaran tafsir, apa pengaruhnya bagi masyarakat? Atau mereka berkata, seorang ruhani hanya duduk, menyampaikan pelajaran dan paling maksimal menulis sebuah risalah Fikih. Kontribusi apa yang telah ia lakukan untuk masyarakat? Namun lihatlah seorang pastor alangkah besarnya sumbangsih yang mereka lakukan untuk umat manusia. Alangkah banyaknya orang-orang sakit memperoleh kesembuhan dan masih banyak tindakan kemanusiaan lainnya. Kira-kira jawaban apa yang harus diberikan dalam menghadapi ucapan-ucapan seperti ini?

Jawaban Global:
Dalam klasifikasi ilmu, dari sudut pandang kedudukan dan tingkatan, tingkatan pertama adalah ilmu-ilmu Ilahi. Ilmu-ilmu Ilahi adalah ilmu-ilmu yang marak dipelajari di seminari-seminari dan hauzah-hauzah ilmiah. Kemudian setelah itu, giliran ilmu-ilmu lainnya.

Menurut hemat kami, pekerjaan-pekerjaan kaum ruhaniawan, dosen-dosen, guru-guru dan cendekiawan ilmu-ilmu humaniora tentu lebih tinggi kontribusinya (keilmuan) dari kontribusi yang hanya berdimensi material (meski pekerjaan mereka juga tetap mengandung nilai); karena kebutuhan-kebutuhan mental, psikologikal dan spiritual manusia lebih prioritas daripada kebutuhan-kebutuhan material.

Pekerjaan kaum ruhaniawan adalah mengerangka dan membangun dimensi mental dan spiritual manusia dan masyarakat. Apabila sebuah komunitas mengalami kemajuan yang sangat pesat dari sudut pandang material, namun pada sisi moral dan spiritual berada pada derajat sedimenter dan rendah, tentu sangat tidak berharga. Dan boleh jadi produk-produk material yang mereka ciptakan alih-alih mendatangkan manfaat malah menimbulkan bencana bagi masyarakat. Karena itu, jenis perkerjaan para alim dan cendekiawan tentu berbeda satu sama lain. Dan kita harus secara proporsional menilai mereka berdasarkan jenis pekerjaannya masing-masing.

Jawaban Detil:
Kebutuhan-kebutuhan manusia terdiri dari dua jenis, kebutuhan material dan kebutuhan spiritual. Setiap orang atau kelompok dengan memperhatikan kemampuan, minat dan bakatnnya, masing-masing memilih dua bidang kebutuhan ini. Dengan melakukan penelitian dan usaha dalam bidang tersebut mereka memberikan kontribusi kepada masyarakat.

Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa dalam klasifikasi ilmu, dari sudut pandang kedudukan dan tingkatan, tingkatan pertama adalah ilmu-ilmu Ilahi. Ilmu-ilmu Ilahi adalah ilmu-ilmu yang marak dipelajari di seminari-seminari dan hauzah-hauzah ilmiah. Kemudian setelah itu, giliran ilmu-ilmu lainnya.

Menurut hemat kami, pekerjaan-pekerjaan kaum ruhaniawan, dosen-dosen, guru-guru dan cendekiawan ilmu-ilmu humaniora tentu lebih tinggi kontribusinya (keilmuan) dari kontribusi yang hanya berdimensi material (meski pekerjaan mereka juga tetap mengandung nilai); karena kebutuhan-kebutuhan mental, psikologikal dan spiritual manusia lebih prioritas daripada kebutuhan-kebutuhan material.

Apabila sebuah komunitas mengalami kemajuan yang sangat pesat dari sudut pandang material, namun pada sisi moral dan spiritual berada pada derajat sedimenter dan rendah, tentu tidak akan ada nilai dan harganya. Dan boleh jadi produk-produk material yang mereka ciptakan alih-alih mendatangkan manfaat malah menimbulkan bencana bagi masyarakat. Karena itu, jenis perkerjaan para alim dan cendekiawan tentu berbeda satu sama lain. . Dan kita harus secara proporsional menilai mereka berdasarkan jenis pekerjaannya masing-masing.

Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa para nabi datang untuk mengobati pelbagai penyakit mental, moral dan spiritual masyarakat, "Nabi Saw adalah tabib yang berkelana yang telah menyiapkan obat-obatannya dan memanaskan peralatannya. Beliau menggunakannya bilamana timbul keperluan untuk menyembuhkan hati yang buta, telinga yang tuli, dan lidah yang kelu. Beliau menyelamatkan manusia dari kematian spiritual."[1]

Al-Qur'an dalam hal ini menyatakan, "Wa man ahyâha fakannama ahyânnâsa jami'ân." "Barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang maka seolah-olah ia telah menghidupkan seluruh manusia." (Qs. Al-Maidah [5]:32).

Yang dimaksud dengan "menghidupkan" (ahyâ) pada ayat ini bukanlah, "menghidupkan satu manusia hidup atau menghidupkan seorang manusia yang telah mati, melainkan yang dimaksud adalah menghidupkan dalam kebiasaan orang-orang berakal. Tatkala dokter mengobati sebuah penyakit atau menyelamatkan seseorang supaya tidak tenggelam atau melepaskan seorang tawanan dari tangan musuh, orang-orang berakal berkata bahwa ia telah menghidupkan seseorang (atau berkata memberikan hak hidup kepadanya).

Allah Swt juga dalam firman-Nya menggunakan ungkapan-ungkapan misalnya membimbing kepada kebenaran sebagai "ahyâ" (menghidupkan) dan menyatakan,"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia." (Qs. Al-An'am [6]:122)[2]

Apabila demikian adanya sebagaimanya yang telah mengemuka dalam pertanyaan maka dapat diambil kesimpulan bahwa ayah dan ibu yang mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan baik, para guru dan dosen juga yang sibuk dengan ilmu-ilmu humaniora tentu mereka tidak melakukan pekerjaan baik dan memberikan kontribusi berharga kepada masyarakat. Orang-orang yang melakukan kebaikan dan memberikan kontribusi berharga hanyalah orang-orang yang mempersembahkan sesuatu dari sisi material saja dan mengabaikan sisi-sisi lainnya. Tentu saja penilaian seperti ini tidak dapat dibenarkan.

Karena itu, pekerjaan kaum ruhaniawan harus ditinjau dan dianalisa dari sisi risalah dan tugas kaum ruhaniawan, tidak seperti penilaian sebagian orang, karena kalau demikian adanya, harus dikatakan (naudzubillah) bahwa para nabi Ilahi, para imam, para guru, arif besar juga tidak melakukan pekerjaan positif dan tidak memberikan kontribusi berharga kepada masyarakat; karena mereka hanya membenahi sisi moral dan spiritual masyarakat.

Referensi:
[1]. Nahj al-Balâghah, hal. 156, Fitnah Bani Umayyah.
[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, terjemahan Persia oleh Sayid Musawi Hamadani, jil. 5, hal. 317, Intisyarat Islami, Qum.

SUMBANGAN ILMUWAN ISLAM DALAM ILMU GEOGRAFI


ILMU geografi di dunia Islam mulai berkembang pada masa era kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Ketika itu,
Khalifah Harun Ar-Rasyid mendorong para sarjana Muslim menerjemahkan naskah-naskah kuno dari Yunani ke dalam bahasa Arab.

Diantara buku yang diterjemahkan adalah Alemagest dan Geographia. Kedua buku ini membahas tentang ilmu geografi. Dari sinilah kemudian banyak pelajar yang mempelajari ilmu tersebut sehingga dalam waktu yang tidak lama lahir para pakar geografi.

Ketertarikan kaum Muslimin terhadap geografi diawali dengan kegandrungannya kepada astronomi. Dari ilmu inilah kemudian membawa mereka menggeluti ilmu bumi. Peta yang dibuat bangsa Yunani dan Romawi menarik minat pelajar Muslim untuk mempelajarinya.

Bangsa Yunani adalah bangsa yang pertama dikenal secara aktif menjelajahi geografi. Beberapa tokoh Yunani yang berjasa mengeksplorasi geografi sebagai ilmu dan filosofi antara lain; Thales dari Miletus, Herodotus, Eratosthenes, Hipparchus, Aristotle, Dicaearchus dari Messana, Strabo, dan Ptolemy. Sedang bangsa Romawi turut memberi sumbangan pada pemetaan setelah mereka banyak menjelajahi negeri dan menambahkan teknik baru. Salah satu tekniknya adalah periplus, deskripsi pada pelabuhan, dan daratan sepanjang garis pantai yang bisa dilihat pelaut di lepas pantai.

Namun para sarjana Muslim tidak hanya menerjemahkan dan mempelajari karya-karya Yunani tetapi juga mengkombinasikannya dengan pengetahuan yang telah berkembang di pusat kebudayaan di Mesir, India, dan Persia.

Inilah yang membuat ilmu geografi di tangan kaum Muslimin maju pesat. Demikian pula ilmu-ilmu yang berhubungan dengan geografi seperti perpetaan dan kosmografi mengalami kemajuan yang besar. Dari sinilah kemudian muncul istilah mil untuk mengukur jarak. Sedangkan orang Yunani menggunakan istilah stadion.
Dalam hal ini seorang sarjana Barat seperti Gustave Le Bon dalam bukunya Arabs Civilization hal 468 mengatakan bahwa meski geografi sebagai ilmu pengetahuan dimulai sebelum Islam, namun kontribusi umat Islam sangatlah besar. “Meski kaum Muslimin belajar geografi kepada ilmuwan Yunani seperti Ptolemy, namun ilmu mereka melampaui guru mereka,” jelas Gustave.

Sederet geografer Muslim telah banyak memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu bumi. Al-Kindi diakui begitu berjasa sebagai geografer pertama yang memperkenalkan percobaan ke dalam ilmu bumi. Sedangkan, Al-Biruni didapuk sebagai ‘bapak geodesi’ yang banyak memberi kontribusi terhadap geografi dan juga geologi.

John J O’Connor dan Edmund F Robertson menuliskan pengakuannya terhadap kontribusi Al-Biruni dalam MacTutor History of Mathematics. Menurut mereka, ‘’Al-Biruni telah menyumbangkan kontribusi penting bagi pengembangan geografi dan geodesi. Dialah yang memperkenalkan teknik pengukuran bumi dan jaraknya dengan menggunakan triangulation.’’

Al-Biruni-lah yang menemukan radius bumi mencapai 6.339,6 km. Hingga abad ke-16 M, Barat belum mampu mengukur radius bumi seperti yang dilakukan Al-Biruni.Bapak sejarah sains, George Sarton, juga mengakui kontribusi sarjana Muslim dalam pengembangan geografi dan geologi.

‘’Kita menemukan dalam tulisannya metedo penelitian kimia, sebuah teori tentang pembentukan besi.’’
Salah satu kekhasan yang dikembangkan geografer Muslim adalah munculnya bio-geografi. Hal itu didorong oleh banyaknya orang Arab di era kekhalifahan yangtertarik untuk mendistribusi dan mengklasifikasi tanaman, binatang, dan evolusi kehidupan. Para sarjana Muslim mencoba menganalisis beragam jenis tanaman.

Dukungan Penguasa
Geliat mempelajari ilmu geografi semakin besar ketika Khalifah Al-Mam’un, penerus Harul Al-Rasyid memerintahkan para geografer Muslim untuk mengukur kembali jarak bumi. Untuk mendukung proyek tersebut, Al-Ma’mun juga membiayai semua perjalanan yang dilakukan dalam menjelajahi dunia.
Tentu saja dukungan ini mendapat sambutan yang luar biasa dari para sarjana islam. Apalagi mereka melakukan ekespedisi juga dalam rangka menyebarkan dakwah Islam.

Tak pelak umat Islam pun mulai mengarungi lautan dan menjelajah daratan untuk menyebarkan agama Allah Subhanahu Wata’ala. Seiring meluasnya ekspansi dan ekspedisi rute-rute perjalanan melalui darat dan laut pun mulai bertambah. Tak heran, jika sejak abad ke-8 M, kawasan Mediterania telah menjadi jalur utama umat Islam.

Atas upaya dan kerja keras para geografer Muslim, akhirnya apa yang diharapkan Al-Ma’mun bisa terwujud. Para sarjana Muslim mampu menghitung volume dan keliling bumi. Berbekal keberhasilan itu, Khalifah Al-Ma’mun memerintahkan untuk menciptakan peta bumi yang besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 geografer lainnya mampu membuat peta globe pertama pada tahun 830 M.

Khawarizmi juga berhasil menulis kitab geografi yang berjudul Surah Al- Ard (Morfologi Bumi) sebuah koreksi terhadap karya Ptolemaeus. Kitab itu menjadi landasan ilmiah bagi geografi Muslim tradisional.
Pada abad yang sama, Al-Kindi juga menulis sebuah buku bertajuk ‘Keterangan tentang Bumi yang Berpenghuni’.

Sejak saat itu, geografi pun berkembang pesat. Sejumlah geografer Muslim berhasil melakukan terobosan dan penemuan penting.

Di awal abad ke-10 M, secara khusus, Abu Zayd Al-Balkhi yang berasal dari Balkh mendirikan sekolah di kota Baghdadyang secara khusus mengkaji dan membuat peta bumi.

Di abad ke-11 M, seorang geografer termasyhur dari Spanyol, Abu Ubaid Al- Bakri berhasil menulis kitab di bidang geografi, yakni Mu’jam Al-Ista’jam (EksiklopediGeografi) dan Al-Masalik wa Al-Mamalik (Jalan dan Kerajaan).

Buku pertama berisi nama-nama tempat di Jazirah Arab. Sedangkan yang kedua berisi pemetaan geografis dunia Arab zaman dahulu.

Pada abad ke-12, geografer Muslim, Al-Idrisi berhasil membuat peta dunia. Al-Idrisi yang lahir pada tahun 1100 di Ceuta Spanyol itu juga menulis kitab geografi berjudul Kitab Nazhah Al- Muslak fi Ikhtira Al-Falak (Tempat Orang yang Rindu MenembusCakrawala). Kitab ini begitu berpengaruh sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Geographia Nubiensis.

Seabad kemudian, dua geografer Muslim yakni, Qutubuddin Asy-Syirazi (1236 M -1311 M) dan Yaqut Ar-Rumi (1179 M -1229 M) berhasil melakukan terobosan baru. Qutubuddin mampu membuat peta Laut Putih/Laut Tengah yang dihadiahkan kepada Raja Persia.

Sedangkan, Yaqut berhasil menulis enam jilid ensiklopedi bertajuk Mu’jam Al-Buldan (Ensiklopedi Negeri-negeri).


Penjelajah Muslim asal Maroko, Ibnu Battuta di abad ke-14 M memberi sumbangan dalam menemukan rute perjalanan baru. Hampir selama 30 tahun, Ibnu Battuta menjelajahi daratan dan mengarungi lautan untuk berkeliling dunia. Penjelajah Muslim lainnya yang mampu mengubah rute perjalanan laut adalah Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok. Dia melakukan ekspedisi sebanyak tujuh kali mulai daritahun 1405 hingga 1433 M.Dengan menguasai geografi, di era keemasan umat Islam mampu menggenggam dunia.

Tak pelak, Islam banyak memberi kontribusi bagi pengembangan geografi. Sumbangan dunia Islam meliputi pengetahuan klimatologi (termasuk angin munson), morfologi, proses geologi, sistem mata pencaharian, organisasi kemasyarakatann, mobilitas penduduk, serta koreksi akan kesalahan yang tertulis pada buku yang ditulis ptolomeus.

Karya-karya sarjana Muslim seperti Al-Biruni, Ibnu Sina, Ai Istakhiri, Al Idrisi, Ibn Khaldun dan Ibn Batuta telah menjadi dasar pemicu kembalinya perkembangan ilmu pengetahuan. Bukan hanya geografi namun juga dalam berbagai ilmu lain. Karena demikian besar jasanya dalam geografi dan Kartografi, Al-Idrisi diangkat diangkat sebagai penasihat dan pengajar di istana raja Sicilia, Roger II (1154), dan akhir-akhir ini namanya (Idrisi) diabadikan untuk nama perangkat lunak yang dikembangkan Universitas Clark di Worcester (Amerika Serikat) untuk alat bantu analsisis geografi, citra digital, kartografi, dan sistem informasi geografis.*


Klasifikasi Manusia Menurut Ilmu Dan Pengetahuan

Apakah yang dimaksudkan dari ilmu dan pengetahuan yang menjadi landasan dan dasar klasifikasi ini?
Dengan melihat pada klasifikasi: “عالم ربانی”, “متعلم علی سبیل نجاة” dan “همج رعاع” dapat diketahui bahwa yang dimaksud dari ilmu adalah suatu ilmu yang diungkapkan oleh Imam Shadiq as dalam riwayat ‘Unwan Bashri dengan “nur” (cahaya):
“Ilmu bukan dengan pembelajaran akan tetapi adalah cahaya yang jatuh di hati orang yang dikehendaki oleh Allah swt untuk memberinya petunjuk maka bila Anda menginginkan ilmu, tuntutlah hakekat penyembahan (penghambaan) dalam dirimu terlebih dahulu.” (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 225)
Setelah ‘Unwan bertanya tentang hakekat penyembahan atau penghambaan, Imam Shadiq as berkata:
Tiga hal: Hendaklah seorang hamba tidak melihat bagi dirinya terhadap apa yang telah diserahkan Allah sebagai kepemilikan, karena hamba tidak memiliki kepemilikan bagi diri sendiri, ia melihat harta sebagai harta Allah yang akan diletakkan sebagaimana yang Allah perintahkan, seorang hamba tidak mengatur untuk dirinya sendiri dan seluruh usahanya pada apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah swt.” (Ibid)
Sangat jelas bahwa hanya sekedar mengetahui ilmu-ilmu formal dan mengoleksi istilah-istilah saja tidak akan mengantarkan manusia ke tingkatan penghambaan atau penyembahan, kebahagiaan abadi dan kehidupan baik. Betapa banyak ilmuwan alam dan empiris dan bahkan penghafal istilah-istilah religius yang terhalang untuk mendapatkan hakekat ilmu.
Adapun penjelasan klasifikasi manusia kepada alim rabbani, artinya mereka telah mengenal Tuhan dengan sebenarnya dan mendidik manusia lain di jalan pengenalan Tuhan dan atau mereka berada di jalur pengenalan kepada Tuhan. Selain dua bentuk ini manusia keluar dari hakekat kemanusiaan, karena tujuan penciptaan adalah pengenalan Tuhan dan penghambaan kepada-Nya:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adh-Dhariyat [51]: 56).
Dalam penafsiran ayat suci di atas disebutkan demikian: “li ya’rifun” (untuk mengenal-Ku). (Ibnu Jum’ah Huwaizi, Tafsir Nur Ats-Tsaqalain, jilid 5, hal. 132).
Orang-orang yang bukan alim dan juga muta’allim(penuntut ilmu) akan pergi dengan setiap hembusan angin ke suatu arah tanpa tujuan dan akan menambatkan hati ke setiap lantunan melodi; mereka inilah yang tidak dapat memanfaatkan kemanusiaan mereka.
Dari sinilah dalam sebagian riwayat disebutkan klasifikasi dengan format bipartidebukan tripartide:
Dari Abi Abdillah as: “Manusia ada dua (kelompok): ’Alimdan muta’allimsementara manusia yang lain adalah si busuk dan orang-orang busuk berada di dalam neraka.” (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 187).
Berarti kelompok ketiga sama sekali tidak layak untuk diperhatikan, sehingga diletakkan sebuah bagian terpisah, meskipun mayoritas manusia berada dalam kelompok ini.
Menurut Syaikh Baha’i: Dua kelompok pertama disebutkan dengan kata tunggal (alim rabbani wa muta’allim ‘ala sabil najah) sementara kelompok ketiga berbentuk jamak (hamaj ra’aa’) memberikan isyarat kepada sebuah poin bahwa dua kelompok pertama lebih sedikit dan kelompok ketiga lebih banyak.” (Ibid, hal 190).
Adapun penjelasan masing-masing dari kelompok tersebut:
Kelompok pertama: عالم ربانی
Kata rabbanijuga disebutkan dalam al-Qur’an:

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi mereka (para nabi) berkata: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang mengenal dan menyembah Allah), karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 79).
ربانیdinisbatkan kepada ربsedangkan huruf alif dan nunditambahkan untuk mengindikasikan keagungan dan kebanyakan, sebagaimana seorang yang banyak لحیة(jenggot) disebut لحیانی; oleh karena itu, rabbaniadalah seorang yang hubungannya banyak dengan Tuhan dan penghambaan dan penyembahannya sangat banyak dan juga dikatakan rabbanibila seseorang memikul tanggung jawab pendidikan dengan pengaturan pada jalan penyembahan dan penghambaan kepada Allah swt. (Silahkan rujuk: Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma’ Al-Bayan, jilid 2, hal. 465; Jarullah Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, jilid 1, hal. 378).
Dalam mengartikan kata rabbani, Ibnu Atsir berkata:
“Dan dalam hadis Ali as “Manusia ada tiga kelompok: عالم ربانی…” (rabbani) dinisbatkan kepada “الرب” dengan tambahan alifdan nununtuk mubalaghah(menunjukkan arti lebih) dan dikatakan berasal dari “الرب” dengan arti “التربیة” (pendidikan) maksudnya mereka mendidik para penuntut ilmu dengan ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu asli. Dan rabbaniadalah alim yang menguasai (rasikh) dalam ilmu dan agama atau yang mencari ridha Allah swt dengan ilmunya dan juga dikatakan bahwa rabbaniadalah alim yang beramal dan mengajarkan (ilmunya).”
Kelompok Kedua: متعلم علی سبیل نجاة
Para pencari jalan kebahagiaan dan keselamatan: Para penuntut ilmu yang mencari ilmu pada jalan kebahagiaan dan keselamatan. سبیل نجاة(Jalan keselamatan dan kebahagiaan) adalah shirat mustaqim(Jalan yang lurus) di antara berbagai jalan bercabang dan menyeleweng:

Dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am [6]: 153).
Muta’allim ‘ala sabil najahadalah seseorang yang menyerahkan hatinya kepada panggilan malakut Amirul Mukminin as yang mengatakan:
Ke manakah kalian akan dibawa oleh berbagai aliran (menyeleweng), disesatkan oleh kegelapan-kegelapan dan ditupu oleh kebohongan-kebohongan? Dari manakah kalian akan didatangkan? Bagaimana kalian bisa lalai? …maka dengarkanlah rabbani(pendidik Ilahi) kalian.” (Nahjul Balaghah, Khutbah ke-108).
Kelompok Ketiga: همج رعاع
Kelompok ketiga, karena kehinaan, kerendahan dan terjatuh dari kemanusiaan diekspressikan dengan همج رعاع; artinya nyamuk-nyamuk kecil yang rendah, hina dan tiada bernilai. همجberdasarkan nukilan Jauhari adalah kata jamak dari همجة, dengan artian nyamuk kecil yang hinggap di muka dan mata binatang-binatang berkaki empat. (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 187).
Kriteria-kriteria lain kelompok ini beliau as jelaskan dalam empat kalimat:
اتباع کل نائق: Karena kedunguannya kelompok ini akan mengikuti setiap suara yan datang dari mana saja, tanpa meneliti kebenaran atau tidaknya; seperti sekumpulan kambing yang akan berjalan dengan melodi setiap penggembala dan menerima seruan setiap menyeru dengan tanpa merenung karena ketidaktetapan dalam akidah. (“النائق: Suara penggembala dengan kambingnya” (Biharul Anwar, jilid 1, hal 190).
یمیلون مع کل ریح: Mereka akan diombang-ambingkan gelombang dan angin prusak masyarakat, karena kegoyahan, ketiadaan kehendak dan kelemahan akidah, hari ini mereka membaiat, besok mengkhianatinya.
لم یستضیؤوا بنور العلم: Mereka tetap berada dalam kegelapan, kebodohan dan kedunguan dan mereka tidak beruasaha untuk keluar dari kegelapan kejahilan menuju ke suasana terang ilmu dan pengetahuan.
لم یلجؤوا الی رکن وثیق: Mereka tidak berteduh ke tempat perteduhan yang kokoh, artinya mereka tidak memiliki akidah yang kokoh dan kuat sehingga dapat menyelamatkan diri di hadapan serangan gelombang kejahilan, kerusakan dan kegelapan yang menakutkan.
c) Perbandingan Antara Ilmu Dan Harta
Imam Ali as dalam membandingkan antara ilmu dan kekayaan berkata: “Wahai Kumail! Ilmu lebih baik dari harta, karena: العلم یحرسک و انت تحرس المال (Ilmu akan menjagamu sedangkan kamu harus menjaga harta): Ilmu akan menjagamu dari bisikan-bisikan dan godaan-godaan setan sementara harta buakan hanya tidak menjagamu, akan tetapi engkau harus menjaga dan memelihanya. Permasalahan ini pun amat penting dan jelas bahwa hal-hal yang dapat menjaga manusia lebih baik baginya daripada ia harus menjaga hal-hal tersebut.
المال تنقصه النفقة و العلم یزکو علی الإنفاق (Harta menjadi berkurang bila dikeluarkan sedangkan ilmu akan bertambah bila disebarkan): Kekayaan dan kepemilikan akan berkurang dengan dikeluarkan dan diberikan kepada orang lain, sementara ilmu dan pengetahuan akan bertambah dengan penyebarannya atau karena penyebarannya akan bertambah.
Syaikh Baha’i ra berkata:
Kata علی dapat berartikan مع (bersama) sebagaimana yang mereka katakan dalam firman Allah swt:

Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia bersama kezaliman mereka.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 6).
Dan juga dapat berartikan sababiyah(sebab, karena, alasan) sebagaimana yang mereka katakan dalam firman Allah swt:

Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah karena petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185) (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 190).
و صنیع المال یزول بزواله (Dan akibat harta akan lenyap dengan kelenyapannya): Yang terkumpul dari harta dan kekayaan akan lenyap tanpa bekas dengan lenyapnya harta atau pemilik harta; misalnya pemilik harta yang meninggal dunia maka ia tidak lagi mengambil manfaat dari peninggalan dan dampak hartanya, atau seseorang yang karena kehilangan harta, kekayaan dan kepemilikan terpaksa menjual kepemilikannya dan memberikan kepada para penagihnya, maka ia tidak lagi dapat memanfaatkan hartanya, sementara itu hal-hal yang didapat dari ilmu dan pengetahuan akan langgeng, baik manusia itu masih ada di dunia atau telah tiada.
معرفة العلم دین یدان به، به یکسب الانسان الطاعة فی حیاته و جمیل الاحدوثة بعد وفاته (Mengetahui ilmu adalah keniscayaan yang harus diterima, dengannya manusia dapat meraih ketaatan dalam kehidupannya dan keindahan sebutan setelah kematiannya): Mengetahui ilmu pengetahuan (ibarat) suatu keyakinan yang harus diterima dan atau harus diberi imbalan. Melalui perantaraan ilmu dan pengetahuan agamalah manusia dapat memperoleh ketaatan, artinya seseorang yang memiliki pengetahuan agama akan dapat mentaati Allah swt dan tanpa pengetahuan ini, ketaatan tidak akan terwujud. (Syaikh Thusi ra meriwayatkan demikian: “Wahai Kumail! Penyertaan orang alim adalah keyakinan yang harus diterima atau diberikan balasan, akan memberikan ketaatan dalam kehidupannya dan keindahan sebutan setelah wafatnya.” (Amali, jilid 1, hal. 19)).
Dalam hal ini al-Qur’an memfirmankan:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
Karena ilmulah manusia meninggalkan nama baik dari dirinya.
Tidak satu pun dari keistimewaan-keistimewaan ini terdapat dalam harta dan kekayaan, artinya hal yang menyebabkan terbukanya jalan ketaatan kepada Allah swt dan yang menjadikan keharuman nama baik bagi manusia hanyalah ilmu dan pengetahuan agama bukan sekedar kepemilikan harta dan kekayaan.
العلم حاکم و المال محکوم علیه (Ilmu menjadi hakim dan harta yang dihakimi): Hal tersebut dengan anggapan bahwa setiap pemanfaatan yang benar dalam harta berdasar kepada ilmu dan pengetahuan, bahkan pembelanjaan harta dan pengeluaran dalam kehidupan sehari-hari juga harus sesuai dengan pengetahuan dan ilmu yang semestinya dan ilmu untuk mengatur kehidupan adalah salah satu di antara ilmu-ilmu yang tanpa menggunakannya kehidupan keseharian akan hancur; ilmu ini dalam riwayat diungkapkan dengan taqdir al-ma’isyah:
Dari Abi Ja’far as: Kesempurnaan dan totalitas kesempurnaan adalah memperdalam pengetahuan dalam agama, sabar atas musibah dan taqdir al-ma’isyah (pengaturan kehidupan).” (Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Ushul Kafi, jilid 1, hal. 32)
Ahli hadis Kasyani berkata: “التفقه فی الدین(Memperdalam ilmu dalam agama) adalah memperoleh bashirah (pengetahuan) dalam ilmu-ilmu agama, النائبةadalah musibah atau bencana dan تقدیر المعیشةadalah menyeimbangkannya sehinggga tidak condong ke dua pihak israfdan kekikiran, akan tetapi harus pertengahan di antara itu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt.” (Mulla Muhsen Faidh Kasyani, Al-Wafi, jilid 1, hal. 131)
 
d) Perbandingan Antara Ulama Dan Orang-orang Berharta[1]
Para pengumpul harta dalam kehidupan duniawi meskipun tampaknya hidup dan makan seperti binatang:
Dan mereka makan seperti makannya binatang.” (QS. Muhammad [47]: 12), 

akan tetapi pada hakekatnya adalah mati, karena mereka tidak memanfaatkan kehidupan thayyibahinsani disebabkan kelalaian dari sang Pencipta:
 
Mereka mati tidak hidup, dan mereka tidak mengetahui bilakah akan dibangkitkan.” (QS. An-Nahl [16]: 21)
Sementara itu, ulama Ilahi tetap hidup selama dunia masih ada meskipun badan mereka tidak lagi berada di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi mereka selalu akan diingat dengan karya dan peninggalan mereka selalu dan untuk selamanya.
Beberapa riwayat lain telah dinukil dari Amirul Mukminin Ali as seperti penjelasan yang lalu dalam hikmah ke-147 dalam pembandingan antara ilmu dan harta, di antaranya:
Imam Ali as berkata: “Ilmu lebih utama dari harta dengan 7 perkara:
Pertama: Ilmu adalah peninggalan para nabi sementara harta dan kekayaan adalah peninggalan para Fir’aun.
Kedua: Ilmu tidak akan berkurang dengan penyebaran dan pemberian, sedangkan harta akan berkurang dengan pembelanjaan.
Ketiga: Harta butuh pada penjaga, sedangkan ilmu menjaga pemiliknya.
Keempat: Ilmu akan masuk ke dalam kafan dan harta akan tertinggal (artinya buah ilmu juga tetap bermanfaat setelah mati).
Kelima: Harta sampai ke tangan orang mukmin dan juga ke tangan orang kafir, akan tetapi ilmu hanya akan didapat oleh orang mukmin saja.
Keenam: Seluruh manusia butuh kepada pemilik ilmu (orang alim dan rabbani) dalam urusan agama mereka, sementara mereka tidak memerlukan pemilik harta.
Ketujuh: Ilmu memberikan kekuatan dan kemampuan kepada seseorang untuk melewati shirath, sementara itu harta akan menghalanginya. (Artinya harta yang tidak dibelanjakan dalam jalan yang benar akan menghalangi kehidupan thayyibukhrawi dan pergi ke surga). (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 185).
Demikian juga telah dinukil dari Imam Ali as bahwa beliau berkata:
“Wahai manusia! Ketahuilah bahwa sesungguhnya kesempurnaan agama adalah menuntut ilmu dan mengamalkannya dan bahwa menuntut ilmu lebih wajib atas kalian daripada mencari harta. Bahwa harta itu akan dibagi-bagikan di antara kalian dan dijamin untuk kalian, Zat yang Maha adil akan membagikannya di antara kalian dan akan sampai kepada kalian, sedangkan ilmu akan dititipkan kepada kalian di sisi para pemiliknya, kalian telah diperintahkan untuk mencarinya dari mereka maka carilah. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya harta yang melimpah akan membahayakan agama dan mengeraskan hati, sementara limpahan ilmu dan amal dengannya menjadi maslahat (berguna) bagi agama dan sebab ke surga. Pembelanjaan mengurangi harta sementara ilmu akan bertambah bila dikeluarkan dan pengeluarannya adalah menyebarkannya kepada para penjaga dan perawinya.” (Ibnu Syu’bah Harrani, Tuhaf Al-‘Uqul, hal 199).
* Diterjemahkan oleh: Imam Ghozali dari buku berbahasa Persia: Ta’lim va Tarbiyat dar Nahjul Balagheh

[1]Perbandingan antara ulama dan orang-orang berharta juga adalah perbandingan antara ilmu dan harta.

Syi’ah Wal Kalam –Syi’ah Islam dan Ilmu Kalam


Oleh: Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr
Tentang Orang Pertama Yang Menulis dan Merumuskan Ilmu Kalam
Ketahuilah bawhasanya Isa ibn Raudhah adalah seorang tabi’in Syi’ah Imamiyah yang mengarang kirab tentang Imamah. Usia Isa cukup panjang hingga hidup di jaman khalifah Abbasiyah; Abu Ja’far Al-Mansur, bahkan ia menjadi orang kepercayaannya. Demikian ini lantaran ia adalah pembantu Bani Hasyim. Dan Isa-lah yang menyingkapkan wajah asli (politik) Al-Mansur dan membongkar jati diri, maksud dan sikapnya. Ahmad ibn Abu Thahir telah menyebutkan ciri-ciri kitab kalam Isa di dalam Ta’rikhul Baghdad. Menurut pengakuannya, Ahmad telah melihat kitab tersebut –sesuai dengan apa yang digambarkan oleh An-Najasyi. Kemudian, Abu Hasyim ibn Muhammad ibn Ali ibn Abu Thalib a.s. mengarang sebuah kitab di bidang ilmu Kalam. Bisa dikatakan bahwa ia seorang tokoh Syi’ah dan diakui sebagai peletak ilmu Kalam. Beberapa saat sebelum wafatnya, ia menyerahkan kitab-kitabnya kepada Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas –seorang tabi’in dari Abi Hasyim. Sejak itu kaum Syi’ah merujuk kepadanya, sebagaimana yang dicatat oleh Ibnu Qutaibah di dalam Al-Ma’arif. Tentunya, Isa ibn Raudhah dan Abu Hasyim sudah lebih dahulu menulis kitab mengenai ilmu Kalam dibandingkan dengan Abu Hudzaifah dan Washil ibn ‘Atha’; seorang imam mazhab Mu’tazilah yang diyakini oleh As-Suyuthi sebagai orang pertama yang mengarang di bidang ini.
Tentang Orang Pertama Dari Imamiyah Yang Berdebat Seputar Syiah
Abu Utsman Al-Jahidz mengatakan: “Orang pertama yang berdebat tentang mazhab Syi’ah adalah Al-Kumait ibn Zaid –seorang penyair tersohor. Ia membangun berbagai argumentasi. Sekiranya dia tidak melakukan itu, sungguh ulama tidak banyak mengenal berbagai macam argumentasi dan seluk-beluknya”. Saya katakan bahwa bahkan dalam hal ini, Abu Dzar Al-Ghifari ra. telah lebih dahulu melakukan. Yaitu tatkala ia tinggal di Damaskus selama beberapa waktu. Di sana ia menyerukan dakwahnya dan menyebarkan kesetiaan dan mazhabnya pada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan kepercayaan-kepercayaan Syi’ahnya. Lalu, terdapat sekelompok masyarakat dari dalam Syam yang menerima dakwahnya. Kemudian Abu Dzar keluar menuju Sharfand dan Mies –dua daerah di Jabal Amil (selatan Lebanon, pent) dan mengajak penduduknya kepada Syi’ah. Segera mereka pun menyambut ajakan tersebut. Bahkan di dalam kitab Amalul Amil disebutkan bahwa tatkala Abu Dzar bergerak menuju Syam lalu menetap di sana beberapa waktu, tak lama kemudian sekelompok masyarakat Syam memilih Syi’ah. Karena itu, Muawiyah mengusirnya dari kota itu ke Al-Qira, sampai akhirnya ia singgah di Jabal Amil. Lagi-lagi masyarakat di sana menerima ajakan Syi’ahnya dan mereka tetap sebagai orang-orang Syi’ah sampai sekarang ini.
Abul Faraj Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest megatakan: “Orang pertama yang melakukan perdebatan mengani mazhab Syi’ah Imamiyah ialah Ali ibn Ismail ibn Maitsam At-Tammar. Ia adalah seorang sahabat terhormat Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Di antara karya-karya Ali adalah Kitabul Imamah dan Kitabul Istihqoq”. Saya katakan bahwa sesungguhnya Isa ibn Raudhah –sebagaimana telah Anda Ketahui- jauh lebih dahulu daripada Ali, apalagi Al-Kumait di bandingkan dengannya. Karena, Ali hidup sejaman dengan Al-Hisyam ibn Al-Hakam. Ia tinggal di Baghdad. Di sana ia berdebat dengan Abu Hudzail dan Dhirar ibn Amr Adh-Dhobiy tentang masalah Imamah. Begitu pula, Ali berdebat dengan An-Nidzam sampai membungkamnya di berbagai kesempatan –sebagaimana yang dikisahkan oleh Al-Murtadha di dalam Al-Fushulul Mukhtarah.
Oleh karena, dapat dikatakan bahwa Ali ibn Ismail adalah salah seorang tokoh ilmu Kalam dari kaum Syi’ah, bukan orang pertama dari Syi’ah yang membahas persoalan Imamah. Sebab, terdapat beberapa sahabat seperti Abu Dzar dan sebelas kawannya, yaitu Khalid ibn Sa’id ibn Al-Ash, Salman Al-Farisi, Al-Miqdad ibn Al-Aswad Al-Kindi, Buraidah Al-Aslami, Ammar ibn Yasir, Ubai ibn Ka’ab, Khuzaimah ibn Tsabit, Abul Haitsam ibn At-Tihan, Sahal ibn Hanif dan Abu Ayyub Al-Anshari ra. Mereka itu telah mendahului Ali ibn Ismail dalam memperbincangkan permasalahan Imamah –sebagaimana yang termaktub di dalam hadis Al-Ihtijaj yang diriwayatkan di dalam kitab Al-Ihtijaj, karya At-Tabarsi.
Tentang Tokoh-tokoh Besar Ilmu Kalam Dari Syi’ah
Telah kami sebutkan nama-nama mereka dari generasi yang berbeda, seperti Kumail ibn Ziyad dari kota Kufah. Ia adalah murid terpandang Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. dalam berbagai ilmu. Sang guru telah mengabarkan akan kematian sang murid di tangan Hajjaj ibn Yusuf. Maka, pada tahun 83 H, Kumail dibunuh oleh Hajjaj di Kufah. Lalu, Sulaim ibn Qois Al-Hilali –seorang tabi’in yang senantiasa dikejar-kejar Hajjaj, namun tidak pernah tertangkap. Ia wafat di masa kekuasaan Hajjaj. Sebagaimana telah dipaparkan, Sulaim merupakan seorang sahabat khusus Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. Lalu, Al-Harits Al-A’war Al-Hamadani, pengarang kitab Al-Munadzarat fil Ushul (perdebatan-perdebatan seputar prinsip-prinsip agama), telah belajar penuh pada Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Ia wafat pada tahun 65 H. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya membawakan riwayat hidup Al-Harits sedcara memadai. Berikutnya adalah Jabir ibn Yazid ibn Al-Harits Al-Ja’fi Abu Abdillah Al-Kufi. Ia amat menguasai secara mendalam tema-tema ushuluddin maupun ilmu-ilmu agama lainnya. Jabir belajar pada Imam Muhammad al Baqir a.s. dan keluar sebagai salah satu murid unggul beliau.
Setelah mereka, muncullah generasi kedua dari tokoh ilmu Kalam. Di antara mereka adalah Qois Al-Mashir –salah seorang ulama terkemuka ilmu Kalam di jamannya, sehingga menjadi pertemuan para penuntut ilmu dari berbagai negeri. Qois belajar Kalam pada Imam Ali Zainal Abidin a.s. Dan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. telah memberikan kesaksian atas kecerdasan dan ketrampilannya di bidang ini. Beliau berkata: “Kamu dan Al-Ahwal itu dua orang yang cerdas dan tangkas”. Al-Ahwal adalah  Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Nu’man ibn Abi Thuraifah Al-Bajali Al-Ahwal. Ia mempunyai sebuah toko yang terletak di gudang barang-barang di Kufah, dan hanya menerima transaksi kontan. Maka itu, ia dicemooh dengan sebutan ‘setan gudang’. Al-Ahwal belajar pada Imam Ali Zainal Abidin a.s., dan menulis kitab If’al la Taf’al, kitab Al-Ihtijaj fi Imamati Amiril Mu’minin Alaihissalam, kitab Mujalasatun ma’al Imam Abi Hanifah wal Murjiah, kitab Al-Ma’rifah, dan kitab Ar-Rodd ‘alal Mu’tazilah.   
Selain mereka adalah Himran ibn A’yan, saudara Zurarah ibn A’yan. Ia belajar ilmu Kalam pada Imam Ali Zainal Abidin a.s. Lalu Hisyam ibn Salim, salah seorang guru besar Syi’ah dalam ilmu Kalam. Lalu Yunus ibn Ya’qub yang begitu cakap dalam Kalam. Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. berkata kepadanya: “Engkau berjalan di atas makhluk dengan Kalam hingga menemukan kebenaran”. Terakhir di sini adalah Fidhal ibn Al-Hasan ibn Fidhal Al-Kufi, seorang ahli Kalam yang tersohor. Ia tidak berdebat dengan dengan satu pun dari musuh-musuhnya kecuali mendesaknya hingga terdiam. Sayyid Al-Murtadha di dalam Al-Fushulul Mukhtarah menuturkan sebagian peredebatan Fidhal dengan lawan-lawannya. Alhasil, semua nama-nama yang saya sebutkan di atas tadi hidup di satu masa –dan mereka meninggal di pertengahan abad kedua.
Setelah mereka semua, muncul generasi ketiga Syi’ah dari tokoh ilmu Kalam. Di antara mereka adalah Hisyam ibn Al-Hakam. Tentangnya Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. mengungkapkan kebanggaan: “Inilah pembela kami dengan hatinya, lisannya dan tangannya”. Hisyam telah melakukan debat dengan segenap pemuka mazhab dan aliran, dan sanggup membungkam mereka. Ia mempunyai forum-forum debat dengan lawan-lawan ahli Kalamnya. Ia juga sempat menulis kitab mengenai ilmu Kalam. Namun, orang-orang tidak menyukainya lantaran iri pada ketajaman daya serang argumentasinya dan ketinggian derajat ilmunya, sehingga menjadi sasaran tuduhan, sinis dan citra buruk. Padahal, ia seorang yang bersih dan bebas dari segala keburukan yang ditujukan kepadanya. Dan saya telah mengurut karangan-karangannya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Hisyam wafat pada tahun 179 H.
Di antara mereka adalah As-Sakkak Muhamaad ibn Khalil Abu Ja’far Al-Baghdadi, sahabat Hisyam ibn Al-Hakam sekaligus muridnya, dimana Muhammad telah belajar banyak ilmu Kalam darinya. Ia mempunyai kitab mengenai ilmu ini, sebagaimana yang telah saya singgung di kitab Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Dan di antara mereka ialah Abu Malik Adh-Dhahhak Al-Hadhrami. Ia adalah tokoh utama di bidang Kalam, seorang ulama besar Syi’ah. Abu Malik hidup semasa Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. sampai menjumpai masa Imam Musa Al-Kadzim a.s. Di antara mereka dalah keluarga besar Naubakht. Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest mengatakan: “Keluarga Naubakht terkenal dengan keyakinan dan kesetiaan mereka pada keimamahan Ali Bin Abi Thalib dan (sebelas) keturunannya”. Dinyatakan pula di dalam Riyadhul ‘Ulama, bahwa keluarga Naubakht adalah sebuah kelompok yang dikenal sebagai para ahli kalam Syi’ah.   
Saya katakan bahwa Naubakht sendiri adalah seorang berkebangsaan Persia (Iran) yang dihormati berkat penguasaannya di bidang ilmu Al-Awail. Ia menjadi teman dekat khalifah Al-Manshur dari dinasti Abbasiyah lantaran kemampuannya membaca peredaran bintang-bintang. Namun, ketika persahabatannya dengan Al-Manshur melemah, segera posisinya digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Sahal ibn Naubakht. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Al-Fadhl, dan tampak maju begitu pesat dalam mencapai derajat ilmu dan jenjang keutamaan. Sebagian ulama Syi’ah mengatakan bahwa ia adalah seorang filosof, mutakallim dan sufi. Ia juga dikenal sebagai satu-satunya orang yang menguasai ilmu Al-Awail. Pada masanya, Al-Fadhl merupakan seorang intelektual termasyhur. Ia banyak menerjemahkan karya-karya para filosof Pahlevi (Iran Kuno) tentang filsafat Iluminisme dari bahasa Persia ke bahasa Arab. Ia mengarang kitab tentang berbagai macam filsafat. Ia juga mempunyai kitab di bidang filsafat dan  kitab yang amat tebal tentang Imamah. Ia juga mengarang kitab di berbagai cabang ilmu Nujum lantaran minat besar masyarakat pada ilmu tersebut pada jaman itu.
Al-Fadhl terhitung sebagai salah satu ulama besar di masa kekuasaan Ar-Rasyid Harun ibn Al-Mahdi –khalifah dinasti Abbasiyah. Ia bahkan menjadi kepala Perpustakaan besar ‘Al-Hikmah’ milik Ar-Rasyid. Ia mempunyai anak-anak yang juga ulama-ulama yang terhormat. Al-Quthafi di dalam kitab Akhbarul Hukama’ mengatakan: “Al-Fadhl ibn Naubakht Abu Sahal Al-Farisi disebut-sebut secara masyhur sebagai salah satu tokoh kaum mutakallim”. Nama Al-Fadhl banyak tercantum di dalam kitab-kitab Kalam. Dan Muhammad ibn Ishaq Nadim serta Abi Abdullah Al-Marzbani telah mengurai nasabnya secara rinci.
Di antara anak-anak Nuabakht yang  unggul di berbagai cabang ilmu ialah Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Ia menamatkan ilmu-ilmu aqli dan cabang-cabang ilmu Al-Awail pada ayahnya sendiri. Lalu ia menggantikan posisi sang ayah sebagai kepala perpustakaan Al-Hikmah milik Harun Ar-Rasyid. Ishaq mempunyai anak-anak yang alim dan pandai di bidang ilmu Kalam, seperti Abu Ishaq Ismail ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht, pengarang kitab Al-Yaqut fi Ilmil Kalam yang disyarahi oleh Allamah ibn Al-Muthahhar Al-Hilli. Di awal syarahnya, Allamah Al-Hilli mengatakan: “Inilah kitab karya guru besar terdahulu kita dan imam terbesar kita, Abu Ishaq ibn Naubakht. Di dalam Riyadhul ‘Ulama’ dikatakan: “Nama ibnu Naubakht terkadang dilekatkan pada Syeikh Ismail ibn Ishaq ibn Abu Ismail ibn Naubakht, seorang alim mutakallim yang terkenal, tokoh terdahulu Syi’ah Imamiyah, dan pengarang kitab Al-Yaqut fi Ilmil Kalam”. Di tempat dari kitab yang sama dinyatakan: “Ismail ibn Naubakht  yang hidup semasa dengan penyair Abu Nawas”.
Dua saudara Ismail bernama Ya’qub dan Ali ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Mereka berdua termasuk anak terhormat keluarga besar Nuabakht dan tokoh utama ilmu Kalam dan ilmu Nujum. Dari Ali lahir anak-anak yang ulama terpandang. Di antara mereka ialah Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Ia tergolong seorang mutakallim terkemuka dan disegani. Ibnu Nadim menyebut namanya di dalam daftar para mutakallim Syi’ah. An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah guru besar kaum mutakallim dari ulama Syi’ah kami di Baghdad, dan paling unggul dan terkemuka di antara keluarga besar Naubakht pada masa itu”. Ibnu Nadim mengatakan: “Abu Ja’far adalah salah seorang ulama terbesar Syi’ah, terhormat, dan alim mutakallim”.
Abu Ja’far mempunyai majlis ta’lim yang dihadiri oleh sekelompok dari kaum mutakallim. Dan ia adalah paman Al-Hasan ibn Musa Abu Muhammad An-Naubakhti –seorang mutakallim tersohor. Ibnu Nadim mengatakan: “Al Hasan adalah seorang mutakallim dan filosof”. Sementara An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah guru besar kami dan seorang mutakallim yang disegani pada masanya, yakni sebelum abad ketiga dan setelahnya”. Saya katakan di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, bahwa mereka semua mempunyai karangan-karangan di bidang ilmu Kalam dan filsafat ataupun bidang lainnya. Begitu pula kepandaian jumlah besar dari anak-anak keluarga besar Naubakht. Sejauh ini, belum ditemukan seorang pun yang mengarang sebegitu banyak kitab sebagaimana yang ditulis oleh keluarga besar Naubakht.
Di antara tokoh ilmu Kalam dari generasi ketiga tersebut ialah Abu Muhammad Al-Hijal. Al-Fadhl ibn Syadzan mengatakan: “Ia adalah seorang mutakallim dari ulama Syi’ah kami, berbicara indah dan fasih serta tangkas berdialog. Di antara mereka ialah Abdurrahman ibn Ahmad ibn Jabruweih Abu Muhammad Al-Askari. An-Najasyi mengatakan: “ia seorang mutakallim yang mempesona bahasanya, indah karyanya, terkenal dengan budi pekerti. Ia pernah berdebat Kalam dengan ‘Ibad ibn Sulaiman dan dengan para mutakkalim yang segenerasi dengannya. Di antara kitab-kitab Abdurrahman yang tersisa di tangan kita ialah Al-Kamil fil Imamah –sebuah kitab yang laik (indah)”. Di antara mereka ialah Muhammad ibn Abu Ishaq; seoang ahli kalam yang terhormat. Ibnu Baththah di dalam Al-Fehrest menyebutkan namanya berserta judul karangan-karangannya yang banyak. Saya katakan bahwa Muhammad adalah seorang ulama yang hidup di masa Imam Ali Ar- Ridha a.s. dan Khalifah Abbasiyah Al-Ma’mun. Dan Al-Barqi meriwayatkan hadis darinya.
Di antara mereka ialah Ibnu Mumallik Muhammad ibn Abdullah ibn Mumallik Al-Ishfahani Abu Abdillah –seorang yang mulia di antara ulama Syi’ah, tingga derajatnya. Ia pernah bermazhab Mu’tazilah, lalu kembali ke Syi’ah di tangan Abdurrahman ibn Ahmad ibn Jabruweih yang baru saja disinggung di atas tadi. Ibnu Mumallik mempunyai banyak karangan; saya telah menyebutkannya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Ia hidup semasa tokoh Kalam Mu’tazilah bernama Al-Jubaie, dan mengkritisi kitabnya. Di antara mereka ialah Ibnu Abu Dajah, yaitu Ibrahim ibn Sulaiman ibn Abu Dajah Abu Ishaq warga kota Bashrah. Ia merupakan salah satu tokoh terpandang di bidang Fiqih, Kalam, sastra Arab dan Syair. Al-Jahidz meriwayatkan hadis darinya dan membawakan ihwal kehidupannya di kitab-kitabnya. Di antara mereka ialah Syeikh Al-Fadhl ibn Syadzan dari negeri Naysyabur (Iran). Ia adalah seorang guru besar para mutakallim Syi’ah dan menguasai berbagai cabang ilmu. Al-Fadhl mengarang 180 kitab. Ia termasuk sabahat Imam Ali Ar- Ridha a.s. dan berumur panjang hingga meninggal di masa Imam Hasan Al-Askari a.s., yakni setelah kelahiran Imam Muhammad Al-Mahdi (semoga Allah swt. mempercepat  kehadirannya). Di antara mereka ialah Abul Hasan Ali ibn Washif, berpostur kecil. Ibnu Nadim menyebutkan namanya di dalam kelompok mutakallim Syi’ah Imamiyah dan mengenalkan sebuah kitab miliknya tentang Imamah. Berkata Ibnu Katsir di dalam Fawatul Wafiyyat: “Abul Hasan adalah seorang mutakallim yang pandai dan ulama besar Syi’ah”. Saya katakan bahwa ia telah belajar ilmu Kalam pada Abu Sahal Ismail ibn Ali ibn Naubakht. Dan ia termasuk di dalam generasi ulama dan tokoh sastra Arab, syair dan Kalam. Abul Hasan lahir di Baghdad, tinggal di dekat gerbang kota, mati syahid dibunuh dan mayatnya dibakar, sebagaimana dicatat di dalam Ma’alimul ‘Ulama’. Ibnu Khalkan di Al-Wafiyyat menuturkan bahwa penyair Arab, Al-Mutanabbi, pernah menghadiri majlis ta’lim Ali ibn Washif dan menulis dikte pelajarannya.
Di antara mereka ialah Al-Fadhl ibn Abdurrahman Al-Baghdadi; mutakallim yang pandai, penulis Al-Imamah; sebuah kitab besar dan menarik yang berada pada Abu Abdullah Al-Husein ibn Ubaidillah Al-Ghadhoiri. Dan di antara mereka ialah Ali ibn Ahmad ibn Ali Al-Khazzaz dari kota Rey (kota kecil di selatan Teheran-Iran, pent). Ia seorang mutakallim ternama dan mengarang kitab di bidang Kalam dan Fiqih. Salah satu kayranya berjudul Kifayatul Atsar fin Nushush alal Aimmatil Itsna ‘Asyar. Ali Al-Khazzaz dipanggil juga dengan nama Abul Qosim atau Abul Hasan. Ia hidup sejaman dengan Ibnu Babaweih Ash-Shoduq. Dan di dalam Kifayatul  Atsar fin Nushush alal Aimmatil Itsna ‘Asyar,  ia meriwayatkan dari Ash-Shaduq. Ali wafat di kota kelahirannya. Dan di antara mereka ialah Ibnu Qubbah Abu Ja’far Ar-Rozi Muhammad ibn Abdurrahman. Ibnu Nadim mengatakan bahwa ia termasuk mutakallim Syi’ah dan orang-orang pandai mereka. Ia juga mendata nama karya-karyanya. Begitu pula An-Najasyi dan selainnya dari ahli Rijal telah menyebutkan ihwal dirinya. Ibnu Qubbah berada pada tingkatan/generasi Syeikh Abu Abdillah Mufis dan Syeikh Ash-Shoduq ibn Babaweih.
Dan di antara mereka ialah Al-Busanjardi Muhammad ibn Bisyr Al-Hamduni dari keluarga Mahdun, dipanggil juga dengan nama Abul Hasan. Al-Busanjardi termasuk tokoh besar dari ulama Syi’ah dan di antara yang terbaik dalam ilmu Kalam. Ia juga telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah dengan berjalan kaki sebanyak 50 kali. Al-Busanjardi mempunyai karangan di bidang ilmu Kalam. Ia menjumpai Abu Ja’far Ibnu Qubbah dan Aul Qosim Al-Balkhi dan sekelompok dari generasi mereka. Salah satu kitabnya berjudul Al-Muqni’e fil Imamah. Dan di antara mereka ialah Ali ibn Ahmad Al-Kufi. Ibnu Nadim telah memasukkannya ke dalam keompok mutakallim terkemuka dan ulama yang disegani di kalangan Syi’ah Imamiyah. Ia juga menyebutkan sebuah kirab miliknya yang bernama Kitabul Aushiya’. Saya sendiri telah membawakan riwayat hidup Ali Al-Kufi berikut karangan-karangannya di berbagai bidang ilmu di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Ia wafat pada tahun 352 H.
Dan di antara mereka ialah Abdullah ibn Muhammad Al-Balwi, dari kabilah Balwi di Mesir. Dalam Al-Fehrest Ibnu Nadim, ia tercatat sebagai salah satu mutakallim Syi’ah. Ibnu Nadim juga menyebutkan karya-karyanya, dan mengtakan bahwa Al-Balwi dalah seorang ulama, ahli hukum  dan penceramah. Dan di antara mereka ilah Al-Ja’fari, yaitu Abdurrahman ibn Muhammad. Ia termasuk jajaran guru besar tokoh mutakallim ternama Syi’ah Imamiyah. Ibnu Nadim menyebutkan namanya di dalam kelompok mutakallim Syi’ah, juga melaporkan bahwa ia menulis dua kitab Al-Imamah dan Al-Fadhail. Generasi yang muncul setelah mereka di atas adalah nama-nama cemerlang di bidang Kalam. Di antara mereka ialah Abu Anshr Al-Farabi, filosof pertama yang di dunia Islam mencapai puncak derajat kengajaran. Dikatakan bahwa ia dalam hal ini membagi kursi ‘Guru Ilmu’ dengan Al-Muallimul Awwal; Aristoteles. Dan telah saya bawakan riwayat hidupnya yang mulia di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Masih di dalam kitab itu, saya juga menyebutkan judul karya-karyanya. Al-Farabi wafat pada tahun 339 H.
Di antara mereka ialah Abu Bisyr Ahmad ibn Ibrahim ibn Ahmad Al-Qummi. Ibnu Nadim telah menempatkannya di dalam kelompok mutakallim Syi’ah. Abu Bisyr juga termasuk orang yang menghimpunkan ilmu Fiqih dan ilmu Kalam dan mengarang kitab di dua bidang tersebut, semua itu dipelajarinya dari Al-Jaludi. Di antara karya-karyanya ialah kitab Mihanul Anbiya’ wal Aushiya’. Abu Bisyr Wafat pada tahun 350 H. Dan di antara mereka ialah Dzahir; seorang imam ilmu Kalam. Ibnu Nadim dan penulis katalogia tokoh dan ulama lainnya telah menyebutkan nama Dzahir di kelompok mutakallim Syi’ah. Mereka mengungkapkan sanjungan kepadanya. Padanya Syeikh Mufid berlajar. Dicatat pula bahwa Dzahir adalah seorang pembantu milik Abul Jaisy Al-Mudzaffar ibn Al-Khurasani. Ia hidup di abad ketiga. Dan di antara mereka ialah Ali ibn Washif; si tubuh kecil yang begitu masyhur di bidang Kalam. Kepiawaiannya di bidang tersebut menjadi buah bibir masyarakat. Ibnu Nadim menggolongkannya ke dalam jajaran tokoh Kalam Syi’ah. Ali juga terkenal sebagai salah seorang penyair ulung Ahlulbait a.s. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, riwayat hidupnya dipaparkan cukup rinci.
Dan di antara mereka ialah Abu Shoqr Al-Mushili, seorang ahli Kalam Syi’ah Imamiyah. Ia pernah berdebat dengan Ali bn Isa Ar-Rumani tatkala masuk Baghdad dan sanggup menaklukkannya. Guru besar Syi’ah, Ibnul Mu’allim, di dalam kitab Al-‘Uyun wal Mahasin menuturkan ihwal forum diskusi Abu Shaqr, dan ia sendiri sempat menghadiri forum terbut. Dan di antara mereka ialah guru besar Syi’ah dan penghidup syariat, Syekh Mufid Abu Abdillah Muhammad ibn Muhammad ibn An-Nu’mani, yang dikenal pula dengan nama Ibnul Mu’allim. Ibnu Nadim mengatakan: “Padanyalah puncak ketokohan kaum mutakallim Syi’ah berakhir, terdepan dalam ilmu kalam menurut mazhab ulama Syi’ah, memiliki kecerdasan yang luar biasa dan daya hafal yang kuat. Aku melihat dan menjumpainya. Kudapatkan dia seorang yang pandai”. Saya katakan bahwa Syeikh Mufid adalah imam ulama di jamannya di segenap ilmu keislaman. Ia hidup di antara tahun 338 H dan 409 H.
Dan di antara mrka adalah Abu Ya’la Al-Ja’fari Muahammad ibn Al-Asan ibn Hamzah, pengganti posisi Syeikh Mufid. Ia seorang mutakallim, faqih dan pengelola urusan hukum kedua mazhab; Syi’ah dan Sunni. Abu Ya’la wafat pda tahun 463 H. Dan di antara mereka ialah Abu Ali ibn Sina; guru utama filsafat kaum Masysya’ (Paripatetisme). Kepribadiannya dalam keunggulan ilmu lebih terkenal dari sekadar untuk disebutkan di sini. Al-Qodhi Al-Mar’asyi di dalam kitabnya yang berbahasa Parsi; Ath-Thabaqot, membawakan argumentasi yang begitu banyak atas kesyi’ahan imamiyah Ibn Sina. Sementara saya sendiri belum melakukan penelitian dalam hal ini. Namun perlu diakui bahwa ia lahir di atas fitrah Syi’ah, lantaran ayahnya adalah seorang Syi’ah Ismailiyah. Ibn Sina wafat pada tahun 428 H pada usianya yang ke-58.
Dan di antara mereka ialah Syeikh Abu Ali ibn Maskaweih. Ia asli warga Rey, hanya tinggal dan dimakamkan di  Isfahan. Ia mempelajari banyak bidang ilmu dan menjadi tokoh pada setiap bidang tersebut, bahkan mempunyai karangan tentang masing-masing bidang itu. Di Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah bawakan riwayat hidupnya dan data karya-karyanya. Ibn Maskaweih berteman dengan menteri Al-Mahlabi, lalu dengan ‘Adhududdaulah ibn Baweih, lalu Ibnul Amid, lalu dengan putranya. Mereka semua adalah Syi’ah. Banyak dari ulama peneliti yang memberikan kesaksian atas kesyi’ahan Ibn Maskaweih, seperti Mir Muhammad Baqir Ad-Damad, Al-Qodhi Al-Mar’asyi di dalam Tabaqot berbahasa Persia, dan Sayyid Al-Khunsari di dalam Ar-Raudhat. Tahun wafatnya jatuh pada 431, dan makamnya masyhur di sebuah kawasan Khaju di Ishfahan.
Dan di antara mereka ialah As-Syarif Al-Murtadha Alamul Huda. Ia mempunyai karya yang banyak di bidang ilmu Kalam yang menjadi pegangan dan rujuakan. Padanyalah ketokohan Syi’ah dalam agama berporos. Selain Al-Murtadha, belum ditemukan seorang pun yang memiliki wawasan ilmu, keluasan kajian di semua bidang ilmu keislaman. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, telah saya ketengahkan riwayat hidupnya yang cemerlang berikut nama karya-karyanya. Al-Murtadha dilahirkan pada Rajab 355 H, dan wafat pada Rabiul Awal 436 H. Dan salah satu pembantu beliau, yaitu Dzubay ibn ‘A’yan, adalah seorang pandai ahli kalam yang hebat. Dzubay mengarang kitab di bidang Kalam bernama ‘Uyunul Adillah dalam dua belas jilid; ukuran yang besar yang tidak ada kitab Kalam lain yang sebanding dengannya. Dan di antara mereka ialah Syeikh Allamah Abul Fath Al-Karajiki; guru besar kaum mutakallim dan menguasai filsafat berikut cabang-cabangnya, fiqih dan hadis. Ia menulis kitab-kitab besar dan kecil di semua bidang tersebut. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mendata semua karangan-karangannya. Dan di dalam kitab Bughyatul Wu’at fi Thabaqotul Masyayekhil Ijazat, saya meneliti semua nama guru-gurunya. Abul Fath Al-Karajiki wafat pada tahun 449 H.
Dan di antara mereka ialah Ibnul Farisi Muhammad ibn Ahmad ibn Ali An-Naysyaburi, seorang mutakallim terpandang, faqih, soleh dan ahli akhlak. Ia mati dibunuh oleh Abul Mahasin Abdurrazzaq, penguasa Naysyabur. Ibnul Farisi memiliki banyak karangan yang masyhur, di antaranya adalah Raudhatul Wa’idzin. Ia hidup semasa dengan Sayyid Al-Murtadha, dan belajar qiroah (bacaan Al-Qur’an) ayahnya; Ali Al-Murtadha. Generasi yang datang setelah mereka semua diawali oleh nama Syeikh Sa’id Ali ibn Sulaiman Al-Bahrani; teladan para filosof dan imam ulama. Ia menulis Al-Isyarat fil Kalam yang kemudian disyarahi oleh muridnya sendiri, yaitu Al-Muhaqqiq Ar-Rabbani Syeikh Maitsam Al-Bahrani sebagaimana yang akan datang penjelasan tentang dirinya. Syeikh Said Al-Bahrani juga menulis Risalatun fil Ilm yang disyarahi oleh Nashiruddin Ath-Thusi. Lalu, Sadiduddin ibn Azizah Salim ibn Mahfudz ibn Azizah Al-Hilli. Ia menjadi rujukan ilmu Kalam dan filsafat dan ilmu-ilmu Al-Awail. Beberapa murid terbaiknya ialah Al-Muhaqqiq Al-Hilli; penulis kitab Asy-Syarai’e, Sadiduddin ibn Al-Muthahhar dan sekelompok ulama besar. Sadiduddin Al-Hilli mengarang kitab Al-Minhaj fi Ilmil Kalam yang merupakan kitab rujukan dalam ilmu Kalam.
Lalu, Syeikh Kamaluddin Maitsam ibn Ali ibn Maitsam Al-Bahrani. Ia berada pada barisan terdepan di semua ilmu-ilmu keislaman, filsafat, Kalam, dan rahasia-rahasia irfan. Bahkan, para ulama berijma akan keunggulannya di bidang itu semua. Dan telah saya bawakan pengakuan ulama-ulama besar akan kedudukan ilmunya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di antara karya-karya Maitsam adalah kitab Al-Mi’raj As-Samawi dan Syarah Nahjul Balaghah dalam tiga jilid; masing-masing berukuran besar, sedang dan kecil. Di dalamnya ia melakukan kajian mendalam yang belum pernah dilakukan sepertinya dalam beberapa abad. Kajiannya itu sungguh membuktikan keunggulan Maitsam di berbagai cabang ilmu. Selain dua kitab itu, adalah Syarah Kitabul Isyarat karya gurunya; Al-Muhaqqiq Al-Bahrani yang baru saja diulas di atas tadi. Syarah itu ditulisnya berdasarkan kaidah-kaidah filsafat dan metode kaum filosof yang arif (sufi). Maitsam Al-Bahrani juga mengarang kitab Al-Qowa’id fil Ilmil Kalam yang dituntaskannya pada bulan Rabiul Awal 676 H, kitab Al-Barrul Khidham, Risalah fil Wahyu wal Ilham, Syarah Miah Kalimah (setarus kata mutiara Imam Ali ibn Abu Thalib a.s. yang dikumpulkan oleh Al-Jahidz), kitab An-Najat fil Qiyamah di Amril Imamah, kitab Istiqshaun Nadzar fi Imamatil Aimmatil Itsna ‘Asyar, dan Risalah fi Adabil Bahts. Maitsam Al-Bahrani wafat pada tahun 679 di desa Hilnan di propinsi Ma’khuz di Bahrain.
Lalu, Nashiruddin Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Ath-Thusi –guru besar para filosof dan mutakallimin, pembela agama dan umat. Riwayat hidupnya telah diuraikan secara rinci di dalam kitab saya, Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di kitab ini pula saya sebutkan karya-karyanya di bidang-bidang ilmu aqli dan naqli sesuai dengan mazhab Syi’ah Imamiyah. Sejumlah besar ulama telah muncul dari kuliahnya. Nashiruddin Ath-Thusi lahir pada tahun 597 H, dan wafat di Baghdad pada tahun 673 H. Makamnya terletak di halaman haram Imam Musa Al-Kadzim a.s. Salam sejahtera atas para peziarahnya! Lalu, Allamah Jamaluddin ibn Al-Muthahhar Al-Hilli; guru besar Syi’ah yang dikenal dengan gelar Ayatullah dan Allamah ‘alal Ithlaq. Sungguh gelar ini layak disandang olehnya. Allamah Al-Hilli laksana samudera ilmu, pembongkar setiap makna inti, guru di atas guru. Ia mengarang di berbagai bidang ilmu lebih dari 400 kitab. Dan saya telah menghitung karya-karyanya di dua bidang filsafat dan kalam sebanyak 40 kitab. Dan secara keseluruhan, di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya mendata karya yang masih tersisa pada masyarakat; jumlahnya mencapai 90 kitab. Allamah Al-Hilli wafat pada ahkir tengah malam sabtu, 20 Muharram 726 H, pada usia 78. Makamnya terletak di kamar Iwanuz-zahab di haram Al-Haidariyah, yang senantiasa menjadi tujuan peziarah.
Dan terakhir ialah Asy-Syarif Jamaluddin An-Naysyaburi Abdullah ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Husaini, warga kota Halab-Syiria. Ia adalah salah satu tokoh utama ilmu Kalam, demikian Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Ad-Durarul Kaminah fi ‘Ayanil Miah Tsaminah. Ibnu Hajar mengatakan: “Jamaluddin begitu pandai di bidang usuluddin, sastra Arab, membuka kuliah di kawasan Asadiyah di Halab. Ia adalah salah seorang imam ilmu aqli, tampil sebagai pemuda yang mulia, dan bermazhab Syi’ah. Jamaluddin wafat pada tahun 776 H”. Inilah nukilan As-Suyuthi dari Ibnu Hajar di kitab Bughyatul Wu’at.
 

Terkait Berita: