Apakah yang dimaksudkan dari ilmu dan pengetahuan yang menjadi landasan dan dasar klasifikasi ini?
Dengan melihat pada klasifikasi: “عالم ربانی”, “متعلم علی سبیل نجاة” dan “همج رعاع”
dapat diketahui bahwa yang dimaksud dari ilmu adalah suatu ilmu yang
diungkapkan oleh Imam Shadiq as dalam riwayat ‘Unwan Bashri dengan “nur” (cahaya):
“Ilmu bukan dengan
pembelajaran akan tetapi adalah cahaya yang jatuh di hati orang yang
dikehendaki oleh Allah swt untuk memberinya petunjuk maka bila Anda
menginginkan ilmu, tuntutlah hakekat penyembahan (penghambaan) dalam
dirimu terlebih dahulu.” (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 225)
Setelah ‘Unwan bertanya tentang hakekat penyembahan atau penghambaan, Imam Shadiq as berkata:
Tiga hal: Hendaklah
seorang hamba tidak melihat bagi dirinya terhadap apa yang telah
diserahkan Allah sebagai kepemilikan, karena hamba tidak memiliki
kepemilikan bagi diri sendiri, ia melihat harta sebagai harta Allah yang
akan diletakkan sebagaimana yang Allah perintahkan, seorang hamba tidak
mengatur untuk dirinya sendiri dan seluruh usahanya pada apa yang
diperintahkan dan dilarang oleh Allah swt.” (Ibid)
Sangat jelas bahwa
hanya sekedar mengetahui ilmu-ilmu formal dan mengoleksi istilah-istilah
saja tidak akan mengantarkan manusia ke tingkatan penghambaan atau
penyembahan, kebahagiaan abadi dan kehidupan baik. Betapa banyak ilmuwan
alam dan empiris dan bahkan penghafal istilah-istilah religius yang
terhalang untuk mendapatkan hakekat ilmu.
Adapun penjelasan
klasifikasi manusia kepada alim rabbani, artinya mereka telah mengenal
Tuhan dengan sebenarnya dan mendidik manusia lain di jalan pengenalan
Tuhan dan atau mereka berada di jalur pengenalan kepada Tuhan. Selain
dua bentuk ini manusia keluar dari hakekat kemanusiaan, karena tujuan
penciptaan adalah pengenalan Tuhan dan penghambaan kepada-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adh-Dhariyat [51]: 56).
Dalam penafsiran ayat suci di atas disebutkan demikian: “li ya’rifun” (untuk mengenal-Ku). (Ibnu Jum’ah Huwaizi, Tafsir Nur Ats-Tsaqalain, jilid 5, hal. 132).
Orang-orang yang bukan alim dan juga muta’allim(penuntut
ilmu) akan pergi dengan setiap hembusan angin ke suatu arah tanpa
tujuan dan akan menambatkan hati ke setiap lantunan melodi; mereka
inilah yang tidak dapat memanfaatkan kemanusiaan mereka.
Dari sinilah dalam sebagian riwayat disebutkan klasifikasi dengan format bipartidebukan tripartide:
Dari Abi Abdillah as: “Manusia ada dua (kelompok): ’Alimdan muta’allimsementara manusia yang lain adalah si busuk dan orang-orang busuk berada di dalam neraka.” (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 187).
Berarti kelompok
ketiga sama sekali tidak layak untuk diperhatikan, sehingga diletakkan
sebuah bagian terpisah, meskipun mayoritas manusia berada dalam kelompok
ini.
Menurut Syaikh Baha’i: Dua kelompok pertama disebutkan dengan kata tunggal (alim rabbani wa muta’allim ‘ala sabil najah) sementara kelompok ketiga berbentuk jamak (hamaj ra’aa’)
memberikan isyarat kepada sebuah poin bahwa dua kelompok pertama lebih
sedikit dan kelompok ketiga lebih banyak.” (Ibid, hal 190).
Adapun penjelasan masing-masing dari kelompok tersebut:
Kelompok pertama: عالم ربانی
Kata rabbanijuga disebutkan dalam al-Qur’an:
“Tidak wajar
bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi mereka (para
nabi) berkata: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang
mengenal dan menyembah Allah), karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab
dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 79).
ربانیdinisbatkan kepada ربsedangkan huruf alif dan nunditambahkan untuk mengindikasikan keagungan dan kebanyakan, sebagaimana seorang yang banyak لحیة(jenggot) disebut لحیانی; oleh karena itu, rabbaniadalah seorang yang hubungannya banyak dengan Tuhan dan penghambaan dan penyembahannya sangat banyak dan juga dikatakan rabbanibila
seseorang memikul tanggung jawab pendidikan dengan pengaturan pada
jalan penyembahan dan penghambaan kepada Allah swt. (Silahkan rujuk:
Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma’ Al-Bayan, jilid 2, hal. 465; Jarullah
Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, jilid 1, hal. 378).
Dalam mengartikan kata rabbani, Ibnu Atsir berkata:
“Dan dalam hadis Ali as “Manusia ada tiga kelompok: عالم ربانی…” (rabbani) dinisbatkan kepada “الرب” dengan tambahan alifdan nununtuk mubalaghah(menunjukkan arti lebih) dan dikatakan berasal dari “الرب” dengan arti “التربیة” (pendidikan) maksudnya mereka mendidik para penuntut ilmu dengan ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu asli. Dan rabbaniadalah alim yang menguasai (rasikh) dalam ilmu dan agama atau yang mencari ridha Allah swt dengan ilmunya dan juga dikatakan bahwa rabbaniadalah alim yang beramal dan mengajarkan (ilmunya).”
Kelompok Kedua: متعلم علی سبیل نجاة
Para pencari jalan kebahagiaan dan keselamatan: Para penuntut ilmu yang mencari ilmu pada jalan kebahagiaan dan keselamatan. سبیل نجاة(Jalan keselamatan dan kebahagiaan) adalah shirat mustaqim(Jalan yang lurus) di antara berbagai jalan bercabang dan menyeleweng:
“Dan bahwa
inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar
kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am [6]: 153).
Muta’allim ‘ala sabil najahadalah seseorang yang menyerahkan hatinya kepada panggilan malakut Amirul Mukminin as yang mengatakan:
Ke manakah kalian
akan dibawa oleh berbagai aliran (menyeleweng), disesatkan oleh
kegelapan-kegelapan dan ditupu oleh kebohongan-kebohongan? Dari manakah
kalian akan didatangkan? Bagaimana kalian bisa lalai? …maka
dengarkanlah rabbani(pendidik Ilahi) kalian.” (Nahjul Balaghah, Khutbah ke-108).
Kelompok Ketiga: همج رعاع
Kelompok ketiga, karena kehinaan, kerendahan dan terjatuh dari kemanusiaan diekspressikan dengan همج رعاع; artinya nyamuk-nyamuk kecil yang rendah, hina dan tiada bernilai. همجberdasarkan nukilan Jauhari adalah kata jamak dari همجة, dengan artian nyamuk kecil yang hinggap di muka dan mata binatang-binatang berkaki empat. (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 187).
Kriteria-kriteria lain kelompok ini beliau as jelaskan dalam empat kalimat:
اتباع کل نائق:
Karena kedunguannya kelompok ini akan mengikuti setiap suara yan datang
dari mana saja, tanpa meneliti kebenaran atau tidaknya; seperti
sekumpulan kambing yang akan berjalan dengan melodi setiap penggembala
dan menerima seruan setiap menyeru dengan tanpa merenung karena
ketidaktetapan dalam akidah. (“النائق: Suara penggembala dengan kambingnya” (Biharul Anwar, jilid 1, hal 190).
یمیلون مع کل ریح:
Mereka akan diombang-ambingkan gelombang dan angin prusak masyarakat,
karena kegoyahan, ketiadaan kehendak dan kelemahan akidah, hari ini
mereka membaiat, besok mengkhianatinya.
لم یستضیؤوا بنور العلم:
Mereka tetap berada dalam kegelapan, kebodohan dan kedunguan dan mereka
tidak beruasaha untuk keluar dari kegelapan kejahilan menuju ke suasana
terang ilmu dan pengetahuan.
لم یلجؤوا الی رکن وثیق:
Mereka tidak berteduh ke tempat perteduhan yang kokoh, artinya mereka
tidak memiliki akidah yang kokoh dan kuat sehingga dapat menyelamatkan
diri di hadapan serangan gelombang kejahilan, kerusakan dan kegelapan
yang menakutkan.
c) Perbandingan Antara Ilmu Dan Harta
Imam Ali as dalam
membandingkan antara ilmu dan kekayaan berkata: “Wahai Kumail! Ilmu
lebih baik dari harta, karena: العلم یحرسک و انت تحرس المال (Ilmu akan
menjagamu sedangkan kamu harus menjaga harta): Ilmu akan menjagamu dari
bisikan-bisikan dan godaan-godaan setan sementara harta buakan hanya
tidak menjagamu, akan tetapi engkau harus menjaga dan memelihanya.
Permasalahan ini pun amat penting dan jelas bahwa hal-hal yang dapat
menjaga manusia lebih baik baginya daripada ia harus menjaga hal-hal
tersebut.
المال تنقصه النفقة و
العلم یزکو علی الإنفاق (Harta menjadi berkurang bila dikeluarkan
sedangkan ilmu akan bertambah bila disebarkan): Kekayaan dan kepemilikan
akan berkurang dengan dikeluarkan dan diberikan kepada orang lain,
sementara ilmu dan pengetahuan akan bertambah dengan penyebarannya atau
karena penyebarannya akan bertambah.
Syaikh Baha’i ra berkata:
Kata علی dapat berartikan مع (bersama) sebagaimana yang mereka katakan dalam firman Allah swt:
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia bersama kezaliman mereka.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 6).
Dan juga dapat berartikan sababiyah(sebab, karena, alasan) sebagaimana yang mereka katakan dalam firman Allah swt:
“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah karena petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185) (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 190).
و صنیع المال یزول
بزواله (Dan akibat harta akan lenyap dengan kelenyapannya): Yang
terkumpul dari harta dan kekayaan akan lenyap tanpa bekas dengan
lenyapnya harta atau pemilik harta; misalnya pemilik harta yang
meninggal dunia maka ia tidak lagi mengambil manfaat dari peninggalan
dan dampak hartanya, atau seseorang yang karena kehilangan harta,
kekayaan dan kepemilikan terpaksa menjual kepemilikannya dan memberikan
kepada para penagihnya, maka ia tidak lagi dapat memanfaatkan hartanya,
sementara itu hal-hal yang didapat dari ilmu dan pengetahuan akan
langgeng, baik manusia itu masih ada di dunia atau telah tiada.
معرفة العلم دین
یدان به، به یکسب الانسان الطاعة فی حیاته و جمیل الاحدوثة بعد وفاته
(Mengetahui ilmu adalah keniscayaan yang harus diterima, dengannya
manusia dapat meraih ketaatan dalam kehidupannya dan keindahan sebutan
setelah kematiannya): Mengetahui ilmu pengetahuan (ibarat) suatu
keyakinan yang harus diterima dan atau harus diberi imbalan. Melalui
perantaraan ilmu dan pengetahuan agamalah manusia dapat memperoleh
ketaatan, artinya seseorang yang memiliki pengetahuan agama akan dapat
mentaati Allah swt dan tanpa pengetahuan ini, ketaatan tidak akan
terwujud. (Syaikh Thusi ra meriwayatkan demikian: “Wahai Kumail!
Penyertaan orang alim adalah keyakinan yang harus diterima atau
diberikan balasan, akan memberikan ketaatan dalam kehidupannya dan
keindahan sebutan setelah wafatnya.” (Amali, jilid 1, hal. 19)).
Dalam hal ini al-Qur’an memfirmankan:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
Karena ilmulah manusia meninggalkan nama baik dari dirinya.
Tidak satu pun dari
keistimewaan-keistimewaan ini terdapat dalam harta dan kekayaan,
artinya hal yang menyebabkan terbukanya jalan ketaatan kepada Allah swt
dan yang menjadikan keharuman nama baik bagi manusia hanyalah ilmu dan
pengetahuan agama bukan sekedar kepemilikan harta dan kekayaan.
العلم حاکم و المال
محکوم علیه (Ilmu menjadi hakim dan harta yang dihakimi): Hal tersebut
dengan anggapan bahwa setiap pemanfaatan yang benar dalam harta berdasar
kepada ilmu dan pengetahuan, bahkan pembelanjaan harta dan pengeluaran
dalam kehidupan sehari-hari juga harus sesuai dengan pengetahuan dan
ilmu yang semestinya dan ilmu untuk mengatur kehidupan adalah salah satu
di antara ilmu-ilmu yang tanpa menggunakannya kehidupan keseharian akan
hancur; ilmu ini dalam riwayat diungkapkan dengan taqdir al-ma’isyah:
Dari Abi Ja’far as: Kesempurnaan dan totalitas kesempurnaan adalah memperdalam pengetahuan dalam agama, sabar atas musibah dan taqdir al-ma’isyah (pengaturan kehidupan).” (Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Ushul Kafi, jilid 1, hal. 32)
Ahli hadis Kasyani berkata: “التفقه فی الدین(Memperdalam ilmu dalam agama) adalah memperoleh bashirah (pengetahuan) dalam ilmu-ilmu agama, النائبةadalah musibah atau bencana dan تقدیر المعیشةadalah menyeimbangkannya sehinggga tidak condong ke dua pihak israfdan
kekikiran, akan tetapi harus pertengahan di antara itu sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah swt.” (Mulla Muhsen Faidh Kasyani, Al-Wafi,
jilid 1, hal. 131)
Para pengumpul harta dalam kehidupan duniawi meskipun tampaknya hidup dan makan seperti binatang:
“Dan mereka makan seperti makannya binatang.” (QS. Muhammad [47]: 12),
akan tetapi pada hakekatnya adalah mati, karena mereka tidak memanfaatkan kehidupan thayyibahinsani disebabkan kelalaian dari sang Pencipta:
akan tetapi pada hakekatnya adalah mati, karena mereka tidak memanfaatkan kehidupan thayyibahinsani disebabkan kelalaian dari sang Pencipta:
“Mereka mati tidak hidup, dan mereka tidak mengetahui bilakah akan dibangkitkan.” (QS. An-Nahl [16]: 21)
Sementara itu,
ulama Ilahi tetap hidup selama dunia masih ada meskipun badan mereka
tidak lagi berada di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi mereka selalu
akan diingat dengan karya dan peninggalan mereka selalu dan untuk
selamanya.
Beberapa riwayat
lain telah dinukil dari Amirul Mukminin Ali as seperti penjelasan yang
lalu dalam hikmah ke-147 dalam pembandingan antara ilmu dan harta, di
antaranya:
Imam Ali as berkata: “Ilmu lebih utama dari harta dengan 7 perkara:
Pertama: Ilmu adalah peninggalan para nabi sementara harta dan kekayaan adalah peninggalan para Fir’aun.
Kedua: Ilmu tidak akan berkurang dengan penyebaran dan pemberian, sedangkan harta akan berkurang dengan pembelanjaan.
Ketiga: Harta butuh pada penjaga, sedangkan ilmu menjaga pemiliknya.
Keempat: Ilmu akan masuk ke dalam kafan dan harta akan tertinggal (artinya buah ilmu juga tetap bermanfaat setelah mati).
Kelima: Harta
sampai ke tangan orang mukmin dan juga ke tangan orang kafir, akan
tetapi ilmu hanya akan didapat oleh orang mukmin saja.
Keenam: Seluruh manusia butuh kepada pemilik ilmu (orang alim dan rabbani) dalam urusan agama mereka, sementara mereka tidak memerlukan pemilik harta.
Ketujuh: Ilmu memberikan kekuatan dan kemampuan kepada seseorang untuk melewati shirath,
sementara itu harta akan menghalanginya. (Artinya harta yang tidak
dibelanjakan dalam jalan yang benar akan menghalangi kehidupan thayyibukhrawi dan pergi ke surga). (Biharul Anwar, jilid 1, hal. 185).
Demikian juga telah dinukil dari Imam Ali as bahwa beliau berkata:
“Wahai manusia!
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kesempurnaan agama adalah menuntut ilmu
dan mengamalkannya dan bahwa menuntut ilmu lebih wajib atas kalian
daripada mencari harta. Bahwa harta itu akan dibagi-bagikan di antara
kalian dan dijamin untuk kalian, Zat yang Maha adil akan membagikannya
di antara kalian dan akan sampai kepada kalian, sedangkan ilmu akan
dititipkan kepada kalian di sisi para pemiliknya, kalian telah
diperintahkan untuk mencarinya dari mereka maka carilah. Dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya harta yang melimpah akan membahayakan agama dan
mengeraskan hati, sementara limpahan ilmu dan amal dengannya menjadi
maslahat (berguna) bagi agama dan sebab ke surga. Pembelanjaan
mengurangi harta sementara ilmu akan bertambah bila dikeluarkan dan
pengeluarannya adalah menyebarkannya kepada para penjaga dan perawinya.”
(Ibnu Syu’bah Harrani, Tuhaf Al-‘Uqul, hal 199).
* Diterjemahkan oleh: Imam Ghozali dari buku berbahasa Persia: Ta’lim va Tarbiyat dar Nahjul Balagheh
[1]Perbandingan antara ulama dan orang-orang berharta juga adalah perbandingan antara ilmu dan harta.