Oleh:
Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr
Tentang Orang Pertama Yang
Menulis dan Merumuskan Ilmu Kalam
Ketahuilah bawhasanya Isa
ibn Raudhah adalah seorang tabi’in Syi’ah Imamiyah yang mengarang kirab tentang
Imamah. Usia Isa cukup panjang hingga hidup di jaman khalifah Abbasiyah; Abu
Ja’far Al-Mansur, bahkan ia menjadi orang kepercayaannya. Demikian ini lantaran
ia adalah pembantu Bani Hasyim. Dan Isa-lah yang menyingkapkan wajah asli
(politik) Al-Mansur dan membongkar jati diri, maksud dan sikapnya. Ahmad ibn
Abu Thahir telah menyebutkan ciri-ciri kitab kalam Isa di dalam Ta’rikhul Baghdad. Menurut
pengakuannya, Ahmad telah melihat kitab tersebut –sesuai dengan apa yang
digambarkan oleh An-Najasyi. Kemudian, Abu Hasyim ibn Muhammad ibn Ali ibn Abu
Thalib a.s. mengarang sebuah kitab di bidang ilmu Kalam. Bisa dikatakan bahwa
ia seorang tokoh Syi’ah dan diakui sebagai peletak ilmu Kalam. Beberapa saat
sebelum wafatnya, ia menyerahkan kitab-kitabnya kepada Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn Abbas –seorang tabi’in dari Abi Hasyim. Sejak itu kaum Syi’ah
merujuk kepadanya, sebagaimana yang dicatat oleh Ibnu Qutaibah di dalam
Al-Ma’arif. Tentunya, Isa ibn Raudhah dan Abu Hasyim sudah lebih dahulu menulis
kitab mengenai ilmu Kalam dibandingkan dengan Abu Hudzaifah dan Washil ibn
‘Atha’; seorang imam mazhab Mu’tazilah yang diyakini oleh As-Suyuthi sebagai
orang pertama yang mengarang di bidang ini.
Tentang Orang Pertama Dari
Imamiyah Yang Berdebat Seputar Syiah
Abu Utsman Al-Jahidz mengatakan:
“Orang pertama yang berdebat tentang mazhab Syi’ah adalah Al-Kumait ibn Zaid –seorang
penyair tersohor. Ia membangun berbagai argumentasi. Sekiranya dia tidak
melakukan itu, sungguh ulama tidak banyak mengenal berbagai macam argumentasi
dan seluk-beluknya”. Saya katakan bahwa bahkan dalam hal ini, Abu Dzar
Al-Ghifari ra. telah lebih dahulu melakukan. Yaitu tatkala ia tinggal di
Damaskus selama beberapa waktu. Di sana ia menyerukan dakwahnya dan menyebarkan
kesetiaan dan mazhabnya pada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan
kepercayaan-kepercayaan Syi’ahnya. Lalu, terdapat sekelompok masyarakat dari
dalam Syam yang menerima dakwahnya. Kemudian Abu Dzar keluar menuju Sharfand
dan Mies –dua daerah di Jabal Amil (selatan Lebanon, pent) dan mengajak
penduduknya kepada Syi’ah. Segera mereka pun menyambut ajakan tersebut. Bahkan
di dalam kitab Amalul Amil disebutkan bahwa
tatkala Abu Dzar bergerak menuju Syam lalu menetap di sana beberapa waktu, tak
lama kemudian sekelompok masyarakat Syam memilih Syi’ah. Karena itu, Muawiyah
mengusirnya dari kota itu ke Al-Qira, sampai akhirnya ia singgah di Jabal Amil.
Lagi-lagi masyarakat di sana menerima ajakan Syi’ahnya dan mereka tetap sebagai
orang-orang Syi’ah sampai sekarang ini.
Abul Faraj Ibnu Nadim di
dalam Al-Fehrest megatakan: “Orang
pertama yang melakukan perdebatan mengani mazhab Syi’ah Imamiyah ialah Ali ibn
Ismail ibn Maitsam At-Tammar. Ia adalah seorang sahabat terhormat Imam Ali bin
Abi Thalib a.s. Di antara karya-karya Ali adalah Kitabul
Imamah dan Kitabul Istihqoq”.
Saya katakan bahwa sesungguhnya Isa ibn Raudhah –sebagaimana telah Anda
Ketahui- jauh lebih dahulu daripada Ali, apalagi Al-Kumait di bandingkan
dengannya. Karena, Ali hidup sejaman dengan Al-Hisyam ibn Al-Hakam. Ia tinggal
di Baghdad. Di sana ia berdebat dengan Abu Hudzail dan Dhirar ibn Amr
Adh-Dhobiy tentang masalah Imamah. Begitu pula, Ali berdebat dengan An-Nidzam
sampai membungkamnya di berbagai kesempatan –sebagaimana yang dikisahkan oleh
Al-Murtadha di dalam Al-Fushulul Mukhtarah.
Oleh karena, dapat dikatakan
bahwa Ali ibn Ismail adalah salah seorang tokoh ilmu Kalam dari kaum Syi’ah,
bukan orang pertama dari Syi’ah yang membahas persoalan Imamah. Sebab, terdapat
beberapa sahabat seperti Abu Dzar dan sebelas kawannya, yaitu Khalid ibn Sa’id
ibn Al-Ash, Salman Al-Farisi, Al-Miqdad ibn Al-Aswad Al-Kindi, Buraidah
Al-Aslami, Ammar ibn Yasir, Ubai ibn Ka’ab, Khuzaimah ibn Tsabit, Abul Haitsam
ibn At-Tihan, Sahal ibn Hanif dan Abu Ayyub Al-Anshari ra. Mereka itu telah
mendahului Ali ibn Ismail dalam memperbincangkan permasalahan Imamah –sebagaimana
yang termaktub di dalam hadis Al-Ihtijaj yang diriwayatkan di dalam kitab Al-Ihtijaj, karya At-Tabarsi.
Tentang Tokoh-tokoh Besar
Ilmu Kalam Dari Syi’ah
Telah kami sebutkan
nama-nama mereka dari generasi yang berbeda, seperti Kumail ibn Ziyad dari kota
Kufah. Ia adalah murid terpandang Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. dalam berbagai
ilmu. Sang guru telah mengabarkan akan kematian sang murid di tangan Hajjaj ibn
Yusuf. Maka, pada tahun 83 H, Kumail dibunuh oleh Hajjaj di Kufah. Lalu, Sulaim
ibn Qois Al-Hilali –seorang tabi’in yang senantiasa dikejar-kejar Hajjaj, namun
tidak pernah tertangkap. Ia wafat di masa kekuasaan Hajjaj. Sebagaimana telah
dipaparkan, Sulaim merupakan seorang sahabat khusus Imam Ali ibn Abi Thalib
a.s. Lalu, Al-Harits Al-A’war Al-Hamadani, pengarang kitab Al-Munadzarat fil Ushul
(perdebatan-perdebatan seputar prinsip-prinsip agama), telah belajar penuh pada
Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Ia wafat pada tahun 65 H. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya
membawakan riwayat hidup Al-Harits sedcara memadai. Berikutnya adalah Jabir ibn
Yazid ibn Al-Harits Al-Ja’fi Abu Abdillah Al-Kufi. Ia amat menguasai secara
mendalam tema-tema ushuluddin maupun ilmu-ilmu agama lainnya. Jabir belajar
pada Imam Muhammad al Baqir a.s. dan keluar sebagai salah satu murid unggul
beliau.
Setelah mereka, muncullah
generasi kedua dari tokoh ilmu Kalam. Di antara mereka adalah Qois Al-Mashir –salah
seorang ulama terkemuka ilmu Kalam di jamannya, sehingga menjadi pertemuan para
penuntut ilmu dari berbagai negeri. Qois belajar Kalam pada Imam Ali Zainal
Abidin a.s. Dan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. telah memberikan kesaksian atas
kecerdasan dan ketrampilannya di bidang ini. Beliau berkata: “Kamu dan Al-Ahwal
itu dua orang yang cerdas dan tangkas”. Al-Ahwal adalah Abu Ja’far
Muhammad ibn Ali ibn Nu’man ibn Abi Thuraifah Al-Bajali Al-Ahwal. Ia mempunyai
sebuah toko yang terletak di gudang barang-barang di Kufah, dan hanya menerima
transaksi kontan. Maka itu, ia dicemooh dengan sebutan ‘setan gudang’. Al-Ahwal
belajar pada Imam Ali Zainal Abidin a.s., dan menulis kitab If’al la Taf’al, kitab Al-Ihtijaj fi Imamati Amiril Mu’minin
Alaihissalam, kitab Mujalasatun ma’al Imam Abi
Hanifah wal Murjiah, kitab Al-Ma’rifah, dan
kitab Ar-Rodd ‘alal Mu’tazilah.
Selain mereka adalah
Himran ibn A’yan, saudara Zurarah ibn A’yan. Ia belajar ilmu Kalam pada Imam
Ali Zainal Abidin a.s. Lalu Hisyam ibn Salim, salah seorang guru besar Syi’ah
dalam ilmu Kalam. Lalu Yunus ibn Ya’qub yang begitu cakap dalam Kalam. Imam
Ja’far Ash-Shadiq a.s. berkata kepadanya: “Engkau berjalan di atas makhluk
dengan Kalam hingga menemukan kebenaran”. Terakhir di sini adalah Fidhal ibn
Al-Hasan ibn Fidhal Al-Kufi, seorang ahli Kalam yang tersohor. Ia tidak
berdebat dengan dengan satu pun dari musuh-musuhnya kecuali mendesaknya hingga
terdiam. Sayyid Al-Murtadha di dalam Al-Fushulul Mukhtarah
menuturkan sebagian peredebatan Fidhal dengan lawan-lawannya. Alhasil, semua
nama-nama yang saya sebutkan di atas tadi hidup di satu masa –dan mereka
meninggal di pertengahan abad kedua.
Setelah mereka semua,
muncul generasi ketiga Syi’ah dari tokoh ilmu Kalam. Di antara mereka adalah
Hisyam ibn Al-Hakam. Tentangnya Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. mengungkapkan
kebanggaan: “Inilah pembela kami dengan hatinya, lisannya dan tangannya”.
Hisyam telah melakukan debat dengan segenap pemuka mazhab dan aliran, dan
sanggup membungkam mereka. Ia mempunyai forum-forum debat dengan lawan-lawan
ahli Kalamnya. Ia juga sempat menulis kitab mengenai ilmu Kalam. Namun,
orang-orang tidak menyukainya lantaran iri pada ketajaman daya serang
argumentasinya dan ketinggian derajat ilmunya, sehingga menjadi sasaran
tuduhan, sinis dan citra buruk. Padahal, ia seorang yang bersih dan bebas dari
segala keburukan yang ditujukan kepadanya. Dan saya telah mengurut
karangan-karangannya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil
Islam. Hisyam wafat pada tahun 179 H.
Di antara mereka adalah
As-Sakkak Muhamaad ibn Khalil Abu Ja’far Al-Baghdadi, sahabat Hisyam ibn
Al-Hakam sekaligus muridnya, dimana Muhammad telah belajar banyak ilmu Kalam
darinya. Ia mempunyai kitab mengenai ilmu ini, sebagaimana yang telah saya
singgung di kitab Tasisusy Syi’ah li Fununil
Islam. Dan di antara mereka ialah Abu Malik Adh-Dhahhak
Al-Hadhrami. Ia adalah tokoh utama di bidang Kalam, seorang ulama besar Syi’ah.
Abu Malik hidup semasa Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. sampai menjumpai masa Imam
Musa Al-Kadzim a.s. Di antara mereka dalah keluarga besar Naubakht. Ibnu Nadim
di dalam Al-Fehrest mengatakan: “Keluarga
Naubakht terkenal dengan keyakinan dan kesetiaan mereka pada keimamahan Ali Bin
Abi Thalib dan (sebelas) keturunannya”. Dinyatakan pula di dalam Riyadhul ‘Ulama, bahwa keluarga
Naubakht adalah sebuah kelompok yang dikenal sebagai para ahli kalam Syi’ah.
Saya katakan bahwa
Naubakht sendiri adalah seorang berkebangsaan Persia (Iran) yang dihormati
berkat penguasaannya di bidang ilmu Al-Awail. Ia menjadi teman dekat khalifah
Al-Manshur dari dinasti Abbasiyah lantaran kemampuannya membaca peredaran
bintang-bintang. Namun, ketika persahabatannya dengan Al-Manshur melemah,
segera posisinya digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Sahal ibn Naubakht.
Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Al-Fadhl, dan tampak maju begitu
pesat dalam mencapai derajat ilmu dan jenjang keutamaan. Sebagian ulama Syi’ah
mengatakan bahwa ia adalah seorang filosof, mutakallim dan sufi. Ia juga
dikenal sebagai satu-satunya orang yang menguasai ilmu Al-Awail. Pada masanya,
Al-Fadhl merupakan seorang intelektual termasyhur. Ia banyak menerjemahkan
karya-karya para filosof Pahlevi (Iran Kuno) tentang filsafat Iluminisme dari
bahasa Persia ke bahasa Arab. Ia mengarang kitab tentang berbagai macam
filsafat. Ia juga mempunyai kitab di bidang filsafat dan kitab yang amat
tebal tentang Imamah. Ia juga mengarang kitab di berbagai cabang ilmu Nujum
lantaran minat besar masyarakat pada ilmu tersebut pada jaman itu.
Al-Fadhl terhitung sebagai
salah satu ulama besar di masa kekuasaan Ar-Rasyid Harun ibn Al-Mahdi –khalifah
dinasti Abbasiyah. Ia bahkan menjadi kepala Perpustakaan besar ‘Al-Hikmah’
milik Ar-Rasyid. Ia mempunyai anak-anak yang juga ulama-ulama yang terhormat.
Al-Quthafi di dalam kitab Akhbarul Hukama’
mengatakan: “Al-Fadhl ibn Naubakht Abu Sahal Al-Farisi disebut-sebut secara
masyhur sebagai salah satu tokoh kaum mutakallim”. Nama Al-Fadhl banyak
tercantum di dalam kitab-kitab Kalam. Dan Muhammad ibn Ishaq Nadim serta Abi
Abdullah Al-Marzbani telah mengurai nasabnya secara rinci.
Di antara anak-anak
Nuabakht yang unggul di berbagai cabang ilmu ialah Ishaq ibn Abu Sahal
ibn Naubakht. Ia menamatkan ilmu-ilmu aqli dan cabang-cabang ilmu Al-Awail pada
ayahnya sendiri. Lalu ia menggantikan posisi sang ayah sebagai kepala
perpustakaan Al-Hikmah milik Harun Ar-Rasyid. Ishaq mempunyai anak-anak yang alim
dan pandai di bidang ilmu Kalam, seperti Abu Ishaq Ismail ibn Ishaq ibn Abu
Sahal ibn Naubakht, pengarang kitab Al-Yaqut fi Ilmil Kalam
yang disyarahi oleh Allamah ibn Al-Muthahhar Al-Hilli. Di awal syarahnya,
Allamah Al-Hilli mengatakan: “Inilah kitab karya guru besar terdahulu kita dan
imam terbesar kita, Abu Ishaq ibn Naubakht. Di dalam Riyadhul ‘Ulama’ dikatakan: “Nama
ibnu Naubakht terkadang dilekatkan pada Syeikh Ismail ibn Ishaq ibn Abu Ismail
ibn Naubakht, seorang alim mutakallim yang terkenal, tokoh terdahulu Syi’ah
Imamiyah, dan pengarang kitab Al-Yaqut fi Ilmil Kalam”.
Di tempat dari kitab yang sama dinyatakan: “Ismail ibn Naubakht yang
hidup semasa dengan penyair Abu Nawas”.
Dua saudara Ismail bernama
Ya’qub dan Ali ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Mereka berdua termasuk
anak terhormat keluarga besar Nuabakht dan tokoh utama ilmu Kalam dan ilmu
Nujum. Dari Ali lahir anak-anak yang ulama terpandang. Di antara mereka ialah
Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Ia tergolong
seorang mutakallim terkemuka dan disegani. Ibnu Nadim menyebut namanya di dalam
daftar para mutakallim Syi’ah. An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah guru besar
kaum mutakallim dari ulama Syi’ah kami di Baghdad, dan paling unggul dan
terkemuka di antara keluarga besar Naubakht pada masa itu”. Ibnu Nadim
mengatakan: “Abu Ja’far adalah salah seorang ulama terbesar Syi’ah, terhormat,
dan alim mutakallim”.
Abu Ja’far mempunyai
majlis ta’lim yang dihadiri oleh sekelompok dari kaum mutakallim. Dan ia adalah
paman Al-Hasan ibn Musa Abu Muhammad An-Naubakhti –seorang mutakallim tersohor.
Ibnu Nadim mengatakan: “Al Hasan adalah seorang mutakallim dan filosof”.
Sementara An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah guru besar kami dan seorang
mutakallim yang disegani pada masanya, yakni sebelum abad ketiga dan
setelahnya”. Saya katakan di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil
Islam, bahwa mereka semua mempunyai karangan-karangan di bidang
ilmu Kalam dan filsafat ataupun bidang lainnya. Begitu pula kepandaian jumlah
besar dari anak-anak keluarga besar Naubakht. Sejauh ini, belum ditemukan seorang
pun yang mengarang sebegitu banyak kitab sebagaimana yang ditulis oleh keluarga
besar Naubakht.
Di antara tokoh ilmu Kalam
dari generasi ketiga tersebut ialah Abu Muhammad Al-Hijal. Al-Fadhl ibn Syadzan
mengatakan: “Ia adalah seorang mutakallim dari ulama Syi’ah kami, berbicara
indah dan fasih serta tangkas berdialog. Di antara mereka ialah Abdurrahman ibn
Ahmad ibn Jabruweih Abu Muhammad Al-Askari. An-Najasyi mengatakan: “ia seorang
mutakallim yang mempesona bahasanya, indah karyanya, terkenal dengan budi
pekerti. Ia pernah berdebat Kalam dengan ‘Ibad ibn Sulaiman dan dengan para
mutakkalim yang segenerasi dengannya. Di antara kitab-kitab Abdurrahman yang
tersisa di tangan kita ialah Al-Kamil fil Imamah
–sebuah kitab yang laik (indah)”. Di antara mereka ialah Muhammad ibn Abu
Ishaq; seoang ahli kalam yang terhormat. Ibnu Baththah di dalam Al-Fehrest menyebutkan namanya
berserta judul karangan-karangannya yang banyak. Saya katakan bahwa Muhammad
adalah seorang ulama yang hidup di masa Imam Ali Ar- Ridha a.s. dan Khalifah
Abbasiyah Al-Ma’mun. Dan Al-Barqi meriwayatkan hadis darinya.
Di antara mereka ialah
Ibnu Mumallik Muhammad ibn Abdullah ibn Mumallik Al-Ishfahani Abu Abdillah –seorang
yang mulia di antara ulama Syi’ah, tingga derajatnya. Ia pernah bermazhab
Mu’tazilah, lalu kembali ke Syi’ah di tangan Abdurrahman ibn Ahmad ibn Jabruweih
yang baru saja disinggung di atas tadi. Ibnu Mumallik mempunyai banyak
karangan; saya telah menyebutkannya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil
Islam. Ia hidup semasa tokoh Kalam Mu’tazilah bernama Al-Jubaie,
dan mengkritisi kitabnya. Di antara mereka ialah Ibnu Abu Dajah, yaitu Ibrahim
ibn Sulaiman ibn Abu Dajah Abu Ishaq warga kota Bashrah. Ia merupakan salah
satu tokoh terpandang di bidang Fiqih, Kalam, sastra Arab dan Syair. Al-Jahidz
meriwayatkan hadis darinya dan membawakan ihwal kehidupannya di kitab-kitabnya.
Di antara mereka ialah Syeikh Al-Fadhl ibn Syadzan dari negeri Naysyabur (Iran).
Ia adalah seorang guru besar para mutakallim Syi’ah dan menguasai berbagai
cabang ilmu. Al-Fadhl mengarang 180 kitab. Ia termasuk sabahat Imam Ali Ar- Ridha
a.s. dan berumur panjang hingga meninggal di masa Imam Hasan Al-Askari a.s.,
yakni setelah kelahiran Imam Muhammad Al-Mahdi (semoga Allah swt. mempercepat
kehadirannya). Di antara mereka ialah Abul Hasan Ali ibn Washif,
berpostur kecil. Ibnu Nadim menyebutkan namanya di dalam kelompok mutakallim
Syi’ah Imamiyah dan mengenalkan sebuah kitab miliknya tentang Imamah. Berkata
Ibnu Katsir di dalam Fawatul Wafiyyat:
“Abul Hasan adalah seorang mutakallim yang pandai dan ulama besar Syi’ah”. Saya
katakan bahwa ia telah belajar ilmu Kalam pada Abu Sahal Ismail ibn Ali ibn
Naubakht. Dan ia termasuk di dalam generasi ulama dan tokoh sastra Arab, syair
dan Kalam. Abul Hasan lahir di Baghdad, tinggal di dekat gerbang kota, mati
syahid dibunuh dan mayatnya dibakar, sebagaimana dicatat di dalam Ma’alimul ‘Ulama’. Ibnu Khalkan di Al-Wafiyyat menuturkan bahwa
penyair Arab, Al-Mutanabbi, pernah menghadiri majlis ta’lim Ali ibn Washif dan
menulis dikte pelajarannya.
Di antara mereka ialah
Al-Fadhl ibn Abdurrahman Al-Baghdadi; mutakallim yang pandai, penulis Al-Imamah; sebuah kitab besar dan
menarik yang berada pada Abu Abdullah Al-Husein ibn Ubaidillah Al-Ghadhoiri. Dan
di antara mereka ialah Ali ibn Ahmad ibn Ali Al-Khazzaz dari kota Rey (kota
kecil di selatan Teheran-Iran, pent). Ia seorang mutakallim ternama dan mengarang
kitab di bidang Kalam dan Fiqih. Salah satu kayranya berjudul Kifayatul Atsar fin Nushush alal Aimmatil Itsna
‘Asyar. Ali Al-Khazzaz dipanggil juga dengan nama Abul Qosim atau
Abul Hasan. Ia hidup sejaman dengan Ibnu Babaweih Ash-Shoduq. Dan di dalam Kifayatul Atsar fin Nushush alal Aimmatil
Itsna ‘Asyar, ia meriwayatkan dari Ash-Shaduq. Ali wafat di
kota kelahirannya. Dan di antara mereka ialah Ibnu Qubbah Abu Ja’far Ar-Rozi
Muhammad ibn Abdurrahman. Ibnu Nadim mengatakan bahwa ia termasuk mutakallim
Syi’ah dan orang-orang pandai mereka. Ia juga mendata nama karya-karyanya.
Begitu pula An-Najasyi dan selainnya dari ahli Rijal telah menyebutkan ihwal
dirinya. Ibnu Qubbah berada pada tingkatan/generasi Syeikh Abu Abdillah Mufis
dan Syeikh Ash-Shoduq ibn Babaweih.
Dan di antara mereka ialah
Al-Busanjardi Muhammad ibn Bisyr Al-Hamduni dari keluarga Mahdun, dipanggil
juga dengan nama Abul Hasan. Al-Busanjardi termasuk tokoh besar dari ulama Syi’ah
dan di antara yang terbaik dalam ilmu Kalam. Ia juga telah menunaikan ibadah
haji ke tanah suci Makkah dengan berjalan kaki sebanyak 50 kali. Al-Busanjardi
mempunyai karangan di bidang ilmu Kalam. Ia menjumpai Abu Ja’far Ibnu Qubbah
dan Aul Qosim Al-Balkhi dan sekelompok dari generasi mereka. Salah satu
kitabnya berjudul Al-Muqni’e fil Imamah.
Dan di antara mereka ialah Ali ibn Ahmad Al-Kufi. Ibnu Nadim telah
memasukkannya ke dalam keompok mutakallim terkemuka dan ulama yang disegani di
kalangan Syi’ah Imamiyah. Ia juga menyebutkan sebuah kirab miliknya yang
bernama Kitabul Aushiya’. Saya sendiri telah membawakan riwayat hidup Ali
Al-Kufi berikut karangan-karangannya di berbagai bidang ilmu di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Ia
wafat pada tahun 352 H.
Dan di antara mereka ialah
Abdullah ibn Muhammad Al-Balwi, dari kabilah Balwi di Mesir. Dalam Al-Fehrest Ibnu
Nadim, ia tercatat sebagai salah satu mutakallim Syi’ah. Ibnu Nadim juga
menyebutkan karya-karyanya, dan mengtakan bahwa Al-Balwi dalah seorang ulama,
ahli hukum dan penceramah. Dan di antara mereka ilah Al-Ja’fari, yaitu
Abdurrahman ibn Muhammad. Ia termasuk jajaran guru besar tokoh mutakallim
ternama Syi’ah Imamiyah. Ibnu Nadim menyebutkan namanya di dalam kelompok
mutakallim Syi’ah, juga melaporkan bahwa ia menulis dua kitab Al-Imamah dan Al-Fadhail. Generasi yang muncul
setelah mereka di atas adalah nama-nama cemerlang di bidang Kalam. Di antara
mereka ialah Abu Anshr Al-Farabi, filosof pertama yang di dunia Islam mencapai
puncak derajat kengajaran. Dikatakan bahwa ia dalam hal ini membagi kursi ‘Guru
Ilmu’ dengan Al-Muallimul Awwal; Aristoteles.
Dan telah saya bawakan riwayat hidupnya yang mulia di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam.
Masih di dalam kitab itu, saya juga menyebutkan judul karya-karyanya. Al-Farabi
wafat pada tahun 339 H.
Di antara mereka ialah Abu
Bisyr Ahmad ibn Ibrahim ibn Ahmad Al-Qummi. Ibnu Nadim telah
menempatkannya di dalam kelompok mutakallim Syi’ah. Abu Bisyr juga
termasuk orang yang menghimpunkan ilmu Fiqih dan ilmu Kalam dan mengarang kitab
di dua bidang tersebut, semua itu dipelajarinya dari Al-Jaludi. Di antara
karya-karyanya ialah kitab Mihanul Anbiya’ wal Aushiya’.
Abu Bisyr Wafat pada tahun 350 H. Dan di antara mereka ialah Dzahir; seorang
imam ilmu Kalam. Ibnu Nadim dan penulis katalogia tokoh dan ulama lainnya telah
menyebutkan nama Dzahir di kelompok mutakallim Syi’ah. Mereka mengungkapkan
sanjungan kepadanya. Padanya Syeikh Mufid berlajar. Dicatat pula bahwa Dzahir
adalah seorang pembantu milik Abul Jaisy Al-Mudzaffar ibn Al-Khurasani. Ia
hidup di abad ketiga. Dan di antara mereka ialah Ali ibn Washif; si tubuh kecil
yang begitu masyhur di bidang Kalam. Kepiawaiannya di bidang tersebut menjadi
buah bibir masyarakat. Ibnu Nadim menggolongkannya ke dalam jajaran tokoh Kalam
Syi’ah. Ali juga terkenal sebagai salah seorang penyair ulung Ahlulbait a.s. Di
dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam,
riwayat hidupnya dipaparkan cukup rinci.
Dan di antara mereka ialah
Abu Shoqr Al-Mushili, seorang ahli Kalam Syi’ah Imamiyah. Ia pernah berdebat
dengan Ali bn Isa Ar-Rumani tatkala masuk Baghdad dan sanggup menaklukkannya.
Guru besar Syi’ah, Ibnul Mu’allim, di dalam kitab Al-‘Uyun
wal Mahasin menuturkan ihwal forum diskusi Abu Shaqr, dan ia
sendiri sempat menghadiri forum terbut. Dan di antara mereka ialah guru besar
Syi’ah dan penghidup syariat, Syekh Mufid Abu Abdillah Muhammad ibn Muhammad
ibn An-Nu’mani, yang dikenal pula dengan nama Ibnul Mu’allim. Ibnu Nadim
mengatakan: “Padanyalah puncak ketokohan kaum mutakallim Syi’ah berakhir,
terdepan dalam ilmu kalam menurut mazhab ulama Syi’ah, memiliki kecerdasan yang
luar biasa dan daya hafal yang kuat. Aku melihat dan menjumpainya. Kudapatkan
dia seorang yang pandai”. Saya katakan bahwa Syeikh Mufid adalah imam ulama di
jamannya di segenap ilmu keislaman. Ia hidup di antara tahun 338 H dan 409 H.
Dan di antara mrka adalah
Abu Ya’la Al-Ja’fari Muahammad ibn Al-Asan ibn Hamzah, pengganti posisi Syeikh
Mufid. Ia seorang mutakallim, faqih dan pengelola urusan hukum kedua mazhab;
Syi’ah dan Sunni. Abu Ya’la wafat pda tahun 463 H. Dan di antara mereka ialah
Abu Ali ibn Sina; guru utama filsafat kaum Masysya’ (Paripatetisme).
Kepribadiannya dalam keunggulan ilmu lebih terkenal dari sekadar untuk
disebutkan di sini. Al-Qodhi Al-Mar’asyi di dalam kitabnya yang berbahasa Parsi;
Ath-Thabaqot, membawakan argumentasi yang begitu banyak atas kesyi’ahan
imamiyah Ibn Sina. Sementara saya sendiri belum melakukan penelitian dalam hal
ini. Namun perlu diakui bahwa ia lahir di atas fitrah Syi’ah, lantaran ayahnya
adalah seorang Syi’ah Ismailiyah. Ibn Sina wafat pada tahun 428 H pada usianya
yang ke-58.
Dan di antara mereka ialah
Syeikh Abu Ali ibn Maskaweih. Ia asli warga Rey, hanya tinggal dan dimakamkan
di Isfahan. Ia mempelajari banyak bidang ilmu dan menjadi tokoh pada
setiap bidang tersebut, bahkan mempunyai karangan tentang masing-masing bidang
itu. Di Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam,
saya telah bawakan riwayat hidupnya dan data karya-karyanya. Ibn Maskaweih
berteman dengan menteri Al-Mahlabi, lalu dengan ‘Adhududdaulah ibn Baweih, lalu
Ibnul Amid, lalu dengan putranya. Mereka semua adalah Syi’ah. Banyak dari ulama
peneliti yang memberikan kesaksian atas kesyi’ahan Ibn Maskaweih, seperti Mir
Muhammad Baqir Ad-Damad, Al-Qodhi Al-Mar’asyi di dalam Tabaqot berbahasa Persia,
dan Sayyid Al-Khunsari di dalam Ar-Raudhat. Tahun
wafatnya jatuh pada 431, dan makamnya masyhur di sebuah kawasan Khaju di
Ishfahan.
Dan di antara mereka ialah
As-Syarif Al-Murtadha Alamul Huda. Ia mempunyai karya yang banyak di bidang
ilmu Kalam yang menjadi pegangan dan rujuakan. Padanyalah ketokohan Syi’ah
dalam agama berporos. Selain Al-Murtadha, belum ditemukan seorang pun yang
memiliki wawasan ilmu, keluasan kajian di semua bidang ilmu keislaman. Di dalam
Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam,
telah saya ketengahkan riwayat hidupnya yang cemerlang berikut nama
karya-karyanya. Al-Murtadha dilahirkan pada Rajab 355 H, dan wafat pada Rabiul
Awal 436 H. Dan salah satu pembantu beliau, yaitu Dzubay ibn ‘A’yan, adalah
seorang pandai ahli kalam yang hebat. Dzubay mengarang kitab di bidang Kalam
bernama ‘Uyunul Adillah dalam dua belas
jilid; ukuran yang besar yang tidak ada kitab Kalam lain yang sebanding
dengannya. Dan di antara mereka ialah Syeikh Allamah Abul Fath Al-Karajiki;
guru besar kaum mutakallim dan menguasai filsafat berikut cabang-cabangnya,
fiqih dan hadis. Ia menulis kitab-kitab besar dan kecil di semua bidang
tersebut. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil
Islam, saya telah mendata semua karangan-karangannya. Dan di dalam
kitab Bughyatul Wu’at fi Thabaqotul Masyayekhil Ijazat, saya meneliti semua
nama guru-gurunya. Abul Fath Al-Karajiki wafat pada tahun 449 H.
Dan di antara mereka ialah
Ibnul Farisi Muhammad ibn Ahmad ibn Ali An-Naysyaburi, seorang mutakallim
terpandang, faqih, soleh dan ahli akhlak. Ia mati dibunuh oleh Abul Mahasin
Abdurrazzaq, penguasa Naysyabur. Ibnul Farisi memiliki banyak karangan yang
masyhur, di antaranya adalah Raudhatul Wa’idzin. Ia
hidup semasa dengan Sayyid Al-Murtadha, dan belajar qiroah (bacaan Al-Qur’an)
ayahnya; Ali Al-Murtadha. Generasi yang datang setelah mereka semua diawali
oleh nama Syeikh Sa’id Ali ibn Sulaiman Al-Bahrani; teladan para filosof dan
imam ulama. Ia menulis Al-Isyarat fil Kalam
yang kemudian disyarahi oleh muridnya sendiri, yaitu Al-Muhaqqiq Ar-Rabbani
Syeikh Maitsam Al-Bahrani sebagaimana yang akan datang penjelasan tentang
dirinya. Syeikh Said Al-Bahrani juga menulis Risalatun fil Ilm
yang disyarahi oleh Nashiruddin Ath-Thusi. Lalu, Sadiduddin ibn Azizah Salim
ibn Mahfudz ibn Azizah Al-Hilli. Ia menjadi rujukan ilmu Kalam dan filsafat dan
ilmu-ilmu Al-Awail. Beberapa murid terbaiknya ialah Al-Muhaqqiq Al-Hilli;
penulis kitab Asy-Syarai’e, Sadiduddin ibn
Al-Muthahhar dan sekelompok ulama besar. Sadiduddin Al-Hilli mengarang kitab Al-Minhaj fi Ilmil Kalam yang
merupakan kitab rujukan dalam ilmu Kalam.
Lalu, Syeikh Kamaluddin
Maitsam ibn Ali ibn Maitsam Al-Bahrani. Ia berada pada barisan terdepan di
semua ilmu-ilmu keislaman, filsafat, Kalam, dan rahasia-rahasia irfan. Bahkan,
para ulama berijma akan keunggulannya di bidang itu semua. Dan telah saya bawakan
pengakuan ulama-ulama besar akan kedudukan ilmunya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam.
Di antara karya-karya Maitsam adalah kitab Al-Mi’raj As-Samawi
dan Syarah Nahjul Balaghah dalam tiga
jilid; masing-masing berukuran besar, sedang dan kecil. Di dalamnya ia
melakukan kajian mendalam yang belum pernah dilakukan sepertinya dalam beberapa
abad. Kajiannya itu sungguh membuktikan keunggulan Maitsam di berbagai cabang
ilmu. Selain dua kitab itu, adalah Syarah Kitabul Isyarat
karya gurunya; Al-Muhaqqiq Al-Bahrani yang baru saja diulas di atas tadi.
Syarah itu ditulisnya berdasarkan kaidah-kaidah filsafat dan metode kaum
filosof yang arif (sufi). Maitsam Al-Bahrani juga mengarang kitab Al-Qowa’id fil Ilmil Kalam yang
dituntaskannya pada bulan Rabiul Awal 676 H, kitab Al-Barrul
Khidham, Risalah fil Wahyu wal Ilham,
Syarah Miah Kalimah (setarus kata
mutiara Imam Ali ibn Abu Thalib a.s. yang dikumpulkan oleh Al-Jahidz), kitab An-Najat fil Qiyamah di Amril Imamah,
kitab Istiqshaun Nadzar fi Imamatil Aimmatil Itsna
‘Asyar, dan Risalah fi Adabil Bahts.
Maitsam Al-Bahrani wafat pada tahun 679 di desa Hilnan di propinsi Ma’khuz di
Bahrain.
Lalu, Nashiruddin Muhammad
ibn Muhammad ibn Al-Hasan Ath-Thusi –guru besar para filosof dan mutakallimin,
pembela agama dan umat. Riwayat hidupnya telah diuraikan secara rinci di dalam
kitab saya, Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam.
Di kitab ini pula saya sebutkan karya-karyanya di bidang-bidang ilmu aqli dan
naqli sesuai dengan mazhab Syi’ah Imamiyah. Sejumlah besar ulama telah muncul
dari kuliahnya. Nashiruddin Ath-Thusi lahir pada tahun 597 H, dan wafat di
Baghdad pada tahun 673 H. Makamnya terletak di halaman haram Imam Musa
Al-Kadzim a.s. Salam sejahtera atas para peziarahnya! Lalu, Allamah Jamaluddin
ibn Al-Muthahhar Al-Hilli; guru besar Syi’ah yang dikenal dengan gelar
Ayatullah dan Allamah ‘alal Ithlaq. Sungguh gelar ini layak disandang olehnya.
Allamah Al-Hilli laksana samudera ilmu, pembongkar setiap makna inti, guru di
atas guru. Ia mengarang di berbagai bidang ilmu lebih dari 400 kitab. Dan saya
telah menghitung karya-karyanya di dua bidang filsafat dan kalam sebanyak 40
kitab. Dan secara keseluruhan, di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil
Islam, saya mendata karya yang masih tersisa pada masyarakat;
jumlahnya mencapai 90 kitab. Allamah Al-Hilli wafat pada ahkir tengah malam
sabtu, 20 Muharram 726 H, pada usia 78. Makamnya terletak di kamar Iwanuz-zahab
di haram Al-Haidariyah, yang senantiasa menjadi tujuan peziarah.
Dan terakhir ialah
Asy-Syarif Jamaluddin An-Naysyaburi Abdullah ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Husaini,
warga kota Halab-Syiria. Ia adalah salah satu tokoh utama ilmu Kalam, demikian
Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Ad-Durarul Kaminah fi ‘Ayanil
Miah Tsaminah. Ibnu Hajar mengatakan: “Jamaluddin begitu pandai di
bidang usuluddin, sastra Arab, membuka kuliah di kawasan Asadiyah di Halab. Ia
adalah salah seorang imam ilmu aqli, tampil sebagai pemuda yang mulia, dan
bermazhab Syi’ah. Jamaluddin wafat pada tahun 776 H”. Inilah nukilan As-Suyuthi
dari Ibnu Hajar di kitab Bughyatul Wu’at.