Bagaimana pandangan sayyidina Ali karromallohu wajhah, tentang
peperangan antara beliau beserta tentaranya dan sayyidina muawiyah
berikut tentaranya?. Di dalam kitab syiah -Nahjul balaghoh- yang
menghimpun khotbah sayyidina Ali Kw, di sebutkan bahwa, beliau berkata:
وكان بدء امرنا التقينا والقوم من اهل الشام والظاهر ان ربنا واحد
ودعوتنا الى اﻻسﻻم واحد وﻻ نستزيدهم فى اﻻيمان بالله والتصديق برسوله وﻻ
يستزيدوننا اﻻ ما اختلفنا فيه من دم عثمان ونحن منه براء
Awal kejadian peristiwa
kami, kami
mengadakan pertemuan dengan kaum dari penduduk syam. Yang jelas, tuhan
kami sama, dakwah kami untuk kejayaan islam juga sama. Kami tidak
meminta mereka menambah nambah keimanan dan keyakinan kepada Alloh dan
rasulNya. Dan Mereka juga tidak demikian. Hanya saja perseteruan kami
mengenai darah utsman sedangkan kami bebas darinya”. [Ibnu abil hadid,
Nahjul balaghah: 448].
Oleh sebab itu ja’far shodiq meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya beliau berkata:
ان عليا عليه السﻻم لم يكن ينسب احدا من اهل حربه الى الشرك وﻻ الى النفاق ولكنه يقول هم بغوا علينا
Sesungguhnya Ali as tidak menisbatkan orang orang yang memeranginya
kepada kesyirikan, kemunafikan, beliau hanya berkata :”mereka bughot
terhadap kepemerintahanku”. [Wasa’il syiah: 11/26]
Pandangan beliau sangat bertolak belakang dengan syiah yang mengkafir
kafirkan muawiyah Rodiyallohu anhu. Kenapa syiah bersikokoh
mengaku ngaku ikut ahlal bait??
Sumber:
https://generasisalaf.wordpress.com/2014/12/08/pendapat-sayyidina-ali-terhadap-sayyidina-muawiyah-ra/
Sebagai Jawaban:
Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam?
Terdapat hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam.
Kami akan mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan
kami tidak peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah
membaca tulisan ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis
dalam kitab. Jadi kami tidak mengada-ada.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Ash dari Rasulullah SAW sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121.
عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند
النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت
على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية
Dari Abdullah bin Amru yang
berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang
dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya
tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah
meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau
ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari
jalan tersebut”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf dengan dua jalan sanad yaitu
حدثني عبد الله بن صالح حدثني يحيى بن آدم عن شريك عن ليث عن طاووس عن عبد الله بن عمرو
Telah menceritakan kepadaku
Abdullah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Yahya bin
Adam dari Syarik dari Laits dari Thawus dari Abdullah bin Amru [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121]
حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص
Telah menceritakan kepadaku Ishaq
dan Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada
kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami
Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120].
Sanad pertama
semuanya adalah perawi Muslim oleh karena itu Syaikh Al Ghumari
menyatakan hadis tersebut shahih dengan syarat Muslim. Tetapi walaupun
semuanya perawi Muslim terdapat cacat pada sanadnya yaitu Abdullah bin
Shalih dan Laits. Mereka berdua walaupun seorang yang shaduq telah
diperbincangkan oleh para ulama mengenai hafalannya. Sebagaimana yang
disebutkan dalam At Taqrib 1/501 kalau Abdullah bin Shalih jujur tetapi banyak melakukan kesalahan dan At Taqrib 2/48 kalau Laits bin Abi Sulaim jujur tetapi mengalami ikhtilath. Jadi sanad pertama itu dhaif.
Sanad kedua telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat yaitu Ishaq, Abddurrazaq, Ma’mar, Ibnu Thawus dan Thawus. Hanya satu orang yang tidak diketahui kredibilitasnya yaitu Bakr bin Al Haitsam tetapi ini tidak menjadi masalah karena ia meriwayatkan hadis ini bersama dengan Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat dan ma’mun.
- Ishaq adalah Ishaq bin Abi Israil termasuk gurunya Al Baladzuri, ia perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Nasa’i. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib
juz 1 no 415, dimana Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat
oleh Ibnu Ma’in, Daruquthni, Al Baghawi, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu
Hibban. Dalam At Taqrib 1/79 Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 338 kalau Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat ma’mun.
- Abdurrazaq bin Hammam adalah
perawi kutubus sittah dimana Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan
hadisnya. Ia seorang hafiz yang dikenal tsiqat sebagaimana disebutkan
Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/599.
- Ma’mar adalah Ma’mar bin Rasyd perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib
juz 10 no 441 menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in,
Al Ajli, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i. Dalam At Taqrib 2/202 ia dinyatakan tsiqat tsabit.
- Abdullah bin Thawus adalah putra Thawus bin Kisan, ia seorang perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 5 no 459 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Daruquthni. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/503 menyatakan Ibnu Thawus tsiqat.
- Thawus bin Kisan Al Yamani adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ia termasuk perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/449 menyatakan kalau Thawus tsiqat.
Jadi dapat disimpulkan kalau sanad kedua
itu diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sehingga sanadnya shahih.
Dengan melihat kedua sanad hadis tersebut maka kedudukan hadis tersebut sudah jelas shahih.
Sanad pertama berstatus dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad kedua yang
merupakan sanad yang shahih. Sekedar informasi hadis ini telah
dishahihkan oleh Syaikh Al Ghumari, Syaikh Hasan As Saqqaf, Syaikh
Muhammad bin Aqil Al Alawy dan Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliki.
Sudah jelas para Nashibi tidak akan rela
dengan hadis ini dan mereka memang akan selalu mencari-cari cara atau
dalih untuk melemahkan hadis tersebut. Terus terang kami tertarik
melihat dalih-dalih nashibi untuk mencacatkan hadis ini. Kita tunggu
saja.
==========================
Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam : Bantahan Terhadap Salafy
Tidak diragukan kalau Muawiyah pernah
menjadi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi hal ini tidak
membuatnya menjadi orang suci seperti yang digembar-gemborkan oleh para
nashibi. Muawiyah termasuk sahabat yang cukup banyak membuat
penyimpangan dalam syari’at. Ini bukan tuduhan atau celaan tetapi fakta
yang tertera dalam berbagai kitab hadis yang tidak pernah diungkapkan
oleh salafy nashibi dengan dalih “menahan diri dari mencaci sahabat”. Salafy nashibi bisa dibilang cinta mati terhadap sahabat yang suka “memusuhi ahlul bait”.
Jika syiah mencela sahabat mereka naik pitam menyesatkan dan teriak
sana sini tetapi jika Muawiyah mencela Imam Ali mereka mati-matian
membela Muawiyah.
Dan yah mungkin kita sebagai ahlus sunnah
harus mengingat kembali tragedy mengerikan karena ulah anaknya Muawiyah
yang bernama Yazid yaitu pembantaian terhadap Ahlul Bait Nabi Imam
Husain AS beserta keluarganya. Anehnya dengan fakta ini tahukah para
pembaca bahwa di bawah kolong langit hanya ada satu kaum yang dengan
getol membela Yazid bahkan membuat-buat “keutamaan Yazid bin Muawiyah” yaitu salafy nashibi.
Keutamaan Muawiyah?
Sebelum membahas lebih rinci hadis ini
maka kami katakan terlebih dahulu metode yang benar dalam penilaian
adalah tidak hanya bergantung pada satu atau beberapa hadis saja.
Apalagi jika membahas kedudukan seorang seperti Muawiyah. Oleh karena
itu kami telah banyak membahas berbagai tulisan tentang Muawiyah. Salafy
sangat bersemangat dalam membela orang-orang yang menyakiti dan
memusuhi Ahlul Bait bahkan dengan dalih-dalih yang naïf terkesan ilmiah
bagi orang awam tetapi jika diteliti baik-baik jelas sangat dipaksakan.
Dalih pertama yang menggelikan adalah ia mengutip ayat Al Qur’an berikut
لَقَدْ تابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ
والمُهاجِرينَ والأنْصارِ الَّذينَ اتَّبَعُوهُ في سَاعَةِ العُسْرَةِ مِنْ
بَعْدِ ما كادَ يَزِيغُ قُلوبُ فَريقٍ مِنهم ثُمَّ تابَ عَلَيْهِم، إنَّهُ
بِهِم رَؤوفٌ رَحيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah menerima
taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti
Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir
berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [QS. At-Taubah : 117].
Kami tidak mengerti dari mana datang pikiran yang menyatakan ayat ini sebagai keutamaan bagi Muawiyah, mengingat Muawiyah bukanlah orang yang ikut berhijrah atau orang dari golongan Muhajirin dan bukan pula orang dari golongan Anshar yang merupakan penduduk Madinah.
Dalihnya yang kedua adalah hadis Ummu
Haram dimana salafy nashibi itu ingin menunjukkan keutamaan Muawiyah dan
anaknya Yazid. Berikut hadis yang dimaksud
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَزِيدَ
الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْرُ
بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ
الْعَنْسِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ وَهُوَ
نَازِلٌ فِي سَاحَةِ حِمْصَ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ أُمُّ
حَرَامٍ قَالَ عُمَيْرٌ فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ
أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ثُمَّ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ
أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ فَقُلْتُ أَنَا
فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq
bin Yaziid Ad-Dimasyqiy telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Hamzah, ia berkata telah menceritakan kepadaku Tsaur bin Yaziid, dari
Khaalid bin Ma’daan bahwa ‘Umair bin Al-Aswad Al-‘Ansiy telah
menceritakan kepadanya bahwa dia pernah menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit
ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia
sedang berada di rumahnya, dan Ummu Haram ada bersamanya. ‘Umair berkata
“Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia pernah mendengar Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pasukan dari umatku yang
pertama kali berperang dengan mengarungi lautan, telah diwajibkan
padanya [pahala]”. Ummu Haram berkata : Aku katakan : “Wahai Rasulullah,
apakah aku termasuk di antara mereka ?”. Beliau bersabda : “Ya, kamu
termasuk dari mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali
bersabda : “Pasukan dari umatku yang pertama kali akan memerangi kota
Qaishar [Romawi] akan diberikan ampunan”. Aku katakan : “Apakah aku
termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab :
“Tidak” [Shahih Al-Bukhaariy no. 2924].
Tidak ada pada hadis ini disebutkan bahwa
keutamaan itu terkhususkan untuk Muawiyah ataupun Yazid. Mereka
salafiyun mengandalkan sejarah bahwa Muawiyah ikut berperang mengarungi
lautan dan Yazid orang yang memerangi kota Qaishar. Tetapi tentu saja
hujjah seperti ini adalah buntung karena mereka tidak memperhatikan
fakta historis lain yang bisa menjungkirbalikkan pendalilan mereka.
Disebutkan dalam sejarah bahwa Yazid bin
Muawiyah inilah yang memerintahkan untuk memerangi dan membunuh penduduk
Madinah pada peristiwa Al Harrah yang mengerikan padahal terdapat hadis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا حسين بن
علي الجعفي عن زائدة عن سليمان عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله
عليه و سلم قال المدينة حرم فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة
الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل منه يوم القيامة عدل ولا صرف
Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar bin Abi Syaibah yang berkata menceritakan kepada kami Husain bin
‘Ali Al Ja’fi dari Za’idah dari Sulaiman dari ‘Abu Shalih dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkata “Madinah
adalah tanah haram, barangsiapa yang melakukan perbuatan keji di
dalamnya atau mendukung orang yang melakukan perbuatan keji tersebut
maka untuknya laknat Allah, malaikat-malaikatnya dan manusia seluruhnya,
dan tidak diterima taubat dan tebusan baginya” [Shahih Muslim 2/999 no 469].
Perhatikan baik-baik hadis ini dan
silakan pikirkan, bagaimana bisa salafy nashibi itu mengklaim keutamaan
Yazid padahal dapat dilihat bahwa ia telah melakukan perbuatan keji
kepada penduduk Madinah dan berdasarkan hadis shahih akan mendapat laknat dari Allah SWT dan tidak diterima taubatnya. Dari sisi ini saja kita dapat menyatakan bahwa Yazid bin Muawiyah tidak termasuk kedalam golongan mereka yang mendapatkan keutamaan hadis Ummu Haram.
Belum lagi jika dimasukkan kekejian lainnya seperti pembantaian
keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah kita katakan kalau
mereka yang membela Yazid akan mendapat percikan keburukannya.
Begitu pula halnya dengan Muawiyah,
banyak fakta historis yang justru menjungkirbalikkan pemahaman salafy
terhadap keutamaan Muawiyah. Bukankah dalam sejarah diketahui kalau
Muawiyah ini membunuh Hujr bin ‘Ady padahal ia seorang sahabat Nabi dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Nabi SAW bersabda “Mencaci seorang Muslim adalah kefasiqan dan Membunuhnya adalah kekufuran”. [Shahih Bukhari no 48, no 6044 dan no 7076].
Sejarah membuktikan bahwa Muawiyah telah
melakukan keduanya, ia mencela Imam Ali dan memerintahkan orang lain
untuk mencela Imam Ali dan ia pula yang memerintahkan membunuh Hujr bin
Ady radiallahu ‘anhu. Bukankah fakta sejarah menunjukkan kalau Muawiyah
memerangi Imam Ali dalam perang Shiffin tanpa alasan yang haq sehingga
membuat terbunuhnya sahabat yang mulia Ammar bin Yasir radiallahu’ anhu
ويقول ويح عمار تقتله الفئة الباغية يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار قال فجعل عمار يقول أعوذ بالرحمن من الفتن
Dan Rasulullah SAW bersabda “kasihan
Ammar, ia dibunuh oleh kelompok pembangkang. Ia mengajak mereka ke
surga, mereka malah mengajaknya ke neraka. Ammar berkata “Aku berlindung
kepada Ar Rahman dari fitnah”. [Musnad Ahmad 3/90 no 11879 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]
Dengan melihat hadis ini, coba ingat-ingat wahai pembaca apakah pernah salafy menyebutkan salah satu keutamaan Muawiyah adalah pembangkang yang mengajak ke neraka. Bisa dipastikan mereka tidak pernah dan tidak akan pernah mau mengungkapkannya. Dengan dalih “menahan diri mencela sahabat” mereka bungkam dan lucunya malah menampakkan hal yang sebaliknya berusaha mencari-cari keutamaan Muawiyah.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان قال ثنا
حماد بن سلمة قال انا أبو حفص وكلثوم بن جبر عن أبي غادية قال قتل عمار بن
ياسر فأخبر عمرو بن العاص قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ان
قاتله وسالبه في النار فقيل لعمرو فإنك هو ذا تقاتله قال إنما قال قاتله
وسالبه
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang
menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata menceritakan kepada kami
Hammad bin Salamah yang berkata menceritakan kepada kami Abu Hafsh dan
Kultsum bin Jabr dari Abi Ghadiyah yang berkata “Ammar bin Yasar
terbunuh kemudian dikabarkan hal ini kepada Amru bin ‘Ash” [Amru]
berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
“yang membunuhnya dan merampas miliknya berada di neraka”. Dikatakan
kepada Amru “bukankah kamu membunuhnya” ia berkata “sesungguhnya
[Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata yang membunuhnya dan
merampas miliknya” [Musnad Ahmad 4/198 no 17811 Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”].
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق
قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما
قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص
فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال
معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم
يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما
قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami
‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu
Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang
berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm
kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh
kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan
mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia
mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi
denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar
terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok
pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya?
Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka
membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia
berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].
Perhatikanlah perkataan Muawiyah dimana ia mengatakan kalau Imam Ali lah yang membunuh Ammar,
apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membunuh
sahabat-sahabat yang syahid pada perang badar dan uhud?, naudzubillah
cara berpikir macam apa itu. Bukankah sangat jelas ini adalah celaan
yang nyata dari Muawiyah kepada Imam Ali. Kita serahkan hal ini kepada
Allah SWT. Tidak diragukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda tentang Ammar “ia dibunuh oleh kelompok pembangkang” dan disebutkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “bahwa yang membunuh Ammar dan merampas miliknya akan berada di neraka”.
Sejarah membuktikan kalau kelompok yang membunuh Ammar bin Yasir adalah
kelompok Muawiyah dalam perang Shiffin. Pernahkah salafy membahas ini
dalam keutamaan Muawiyah bin Abu Sufyan? Jawabannya tidak pernah, mereka
memang punya kebiasaan pilih-pilih hadis dan mendistorsi hadis-hadis
shahih yang tidak sesuai keyakinan mereka.
Kalau kita teruskan pembahasan secara
historis ini maka terdapat fakta lain yang cukup mengejutkan. Muawiyah
yang dikatakan oleh pengikut salafiyun sebagai sahabat yang mulia
ternyata juga meminum khamar.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب
حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا
على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول
أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah
menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat
Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan
makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia
meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak
meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”… [Musnad Ahmad 5/347 no 22991 Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”].
Tentunya sebagai seorang sahabat yang
dikatakan mulia oleh sebagian orang sudah pasti mengetahui dengan jelas
bahwa meminum khamar itu haram. Sangat jelas dalam Al Qur’an dan hadis.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد
ثنا فليح عن سعد بن عبد الرحمن بن وائل الأنصاري عن عبد الله بن عبد الله
بن عمر عن أبيه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال لعن الله الخمر ولعن
شاربها وساقيها وعاصرها ومعتصرها وبائعها ومبتاعها وحاملها والمحمولة إليه
وآكل ثمنها
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada
kami Yunus bin Muhammad yang menceritakan kepada kami Fulaih dari Sa’d
bin ‘Abdurrahman bin Wail Al Anshari dari ‘Abdullah bin Abdullah bin
Umar dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
“Allah melaknat khamar, dan melaknat yang meminumnya, yang
menuangkannya, yang membuatnya dan yang meminta dibuatkan, yang
menjualnya, yang mengangkutnya dan yang meminta diangkut dan yang
memakan keuntungannya [Musnad Ahmad 2/97 no 5716, Syaikh Syu’aib berkata “shahih dengan jalan-jalannya”].
Kita masih dapat meneruskan fakta
historis lain tentang Muawiyah. Tahukah para pembaca pemimpin seperti
apa Muawiyah. Hadis Shahih membuktikan dengan jelas pemimpin seperti apa
Muawiyah.
حدثنا زهير بن حرب وإسحاق بن إبراهيم ( قال
إسحاق أخبرنا وقال زهير حدثنا جرير ) عن الأعمش عن زيد بن وهب عن عبدالرحمن
بن عبد رب الكعبة قال دخلت المسجد فإذا عبدالله بن عمرو بن العاص جالس في
ظل الكعبة والناس مجتمعون عليه فأتيتهم فجلست إليه فقال كنا مع رسول الله
صلى الله عليه و سلم في سفر فنزلنا منزلا فمنا من يصلح خباءه ومنا من ينتضل
ومنا من هو في جشره إذ نادى منادي رسول الله صلى الله عليه و سلم الصلاة
جامعة فاجتمعنا إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ( إنه لم يكن نبي
قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما
يعلمه لهم وإن أمتكم هذه جعل عافيتها في أولها وسيصيب آخرها بلاء وأمور
تنكرونها وتجيء فتنة فيرقق بعضها بعضها وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه
مهلكتي ثم تنكشف وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه هذه فمن أحب أن يزحزح عن
النار ويدخل الجنة فلتأته منيته وهو يؤمن بالله واليوم الآخر وليأت إلى
الناس الي يحب أن يؤتى إليه ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه
فليطعه إن استطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر ) فدنوت منه فقلت
أنشدك الله آنت سمعت هذا من رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فأهوى إلى
أذنيه وقلبه بيديه وقال سمعته أذناي ووعاه قلبي فقلت له هذا ابن عمك معاوية
يأمرنا أن نأكل أموالنا بيننا بالباطل ونقتل أنفسنا والله يقول { يا أيها
الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض
منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما } [ 4 / النساء / 29 ] قال
فسكت ساعة ثم قال أطعه في طاعة الله واعصه في معصية الله
Telah menceritakan kepada kami Zuhair
bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim (Ishaq berkata telah mengabarkan kepada
kami dan Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Jarir) dari
‘Amasy dari Zaid bin Wahb dari Abdurrahman bin Abdi Rabbi Al Ka’bah yang
berkata Aku pernah masuk ke sebuah masjid, kulihat Abdullah bin Amr’
bin Ash sedang duduk dalam naungan Ka’bah dan orang-orang berkumpul di
sekelilingnya. Lalu aku mendatangi mereka dan duduk disana, dia berkata
“Dahulu kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan kemudian kami
singgah di suatu tempat. Diantara kami ada yang memperbaiki tendanya,
menyiapkan panah dan menyiapkan makanan hewan tunggangannya. Ketika itu
seorang penyeru yang diperintahkan Rasulullah SAW menyerukan “Marilah
shalat berjama’ah”. Kami berkumpul menuju Rasulullah SAW dan Beliau
bersabda “Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumKu kecuali menjadi
kewajiban baginya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang
diketahuinya serta memperingatkan mereka akan keburukan yang
diketahuinya bagi mereka. Sesungguhnya UmatKu ini adalah umat yang baik
permulaannya akan tetapi setelahnya akan datang banyak bencana dan
hal-hal yang diingkari. Akan datang suatu fitnah yang membuat sebagian
orang memperbudak yang lain. Akan datang suatu fitnah hingga seorang
mukmin berkata “inilah kehancuranku”. Kemudian fitnah tersebut hilang
dan datanglah fitnah yang lain hingga seorang mukmin berkata “inilah
dia, inilah dia”. Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka
dan dimasukkan ke dalam surga hendaklah ia mati dalam keadaan beriman
kepada Allah dan hari akhir serta memperlakukan manusia sebagaimana yang
ia suka untuk dirinya. Barangsiapa yang membai’at seorang Imam dan
setuju dengan sepenuh hati maka hendaklah ia mentaatinya semampunya.
Lalu jika yang lain hendak merebutnya maka bunuhlah ia”. Aku
mendekatinya seraya berkata “Demi Allah apakah engkau mendengar ini dari
Rasulullah SAW?. Maka dia (Abdullah bin Amr bin Ash) mengisyaratkan
dengan tangan pada kedua telinga dan hatinya sambil berkata “Aku
mendengar dengan kedua telingaku dan memahaminya dengan hatiku”. Aku
berkata kepadanya “Ini
Anak pamanmu Muawiyah dia memerintahkan kami untuk memakan harta
diantara kami secara bathil dan saling membunuh diantara kami”.
Padahal Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yang beriman janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil kecuali
dengan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah Maha Penyayang
terhadapmu”{An Nisa ayat 29}. Lalu dia diam sejenak dan berkata
“Taatilah dia dalam ketaatan kepada Allah dan langgarlah ia dalam
bermaksiat kepada Allah ” [Shahih Muslim 3/1472 no 1844].
Ternyata terbukti dalam hadis shahih bahwa Muawiyah adalah seorang pemimpin yang zalim.
Dalam pemerintahannya bermunculan celaan dan cacian terhadap Imam Ali
baik darinya ataupun para pejabatnya. Ia pula yang memerintahkan
membunuh Hujr bin Adi sahabat Nabi yang mulia, tidak takut meminum
khamar, memerintahkan untuk memakan harta secara bathil dan membunuh
orang-orang muslim. Jadi sangat bisa dimaklumi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda
حدثني إبراهيم بن العلاف البصري قال سمعت
سلاماً أبا المنذر يقول قال عاصم بن بهدلة حدثني زر بن حبيش عن عبد الله بن
مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم معاوية بن أبي
سفيان يخطب على المنبر فاضربوا عنقه
Telah menceritakan kepadaku Ibrahim
bin Al Alaf Al Bashri yang berkata aku telah mendengar dari Sallam Abul
Mundzir yang berkata telah berkata Ashim bin Bahdalah yang berkata telah
menceritakan kepadaku Zirr bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud yang
berkata Rasulullah SAW bersabda “Jika kamu melihat Muawiyah bin Abi
Sufyan berkhutbah di mimbarKu maka tebaslah lehernya” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 5/130 dengan sanad yang hasan].
Kami katakan kepada pengikut salafy
nashibi pecinta Muawiyah, jangan merasa bahwa cuma kalian orang yang
tahu sejarah dan ilmu hadis. Di dunia ini ada banyak manusia yang tidak
terikat doktrin salafy nashibi yang mampu membahas sejarah secara
objektif. Kami pribadi tidak perlu mencela Muawiyah, bagi kami itu tidak
perlu. Cukuplah bagi kami memaparkan apa-apa saja yang telah ia lakukan
yang terpampang jelas dalam sejarah dan hadis. Terdapat hadis shahih
yang menyebutkan kalau Muawiyah mati tidak di atas agama islam. Salafy
nashibi berusaha melemahkan hadis tersebut dengan syubhat-syubhat yang
tidak ilmiah. Salah satu syubhat yang mereka katakan adalah hadis
tersebut bertentangan dengan keutamaan Muawiyah dalam hadis Ummu Haram.
Kami jawab
- Hadis Muawiyah mati tidak dalam agama
islam adalah hadis yang jelas membicarakan tentang pribadi Muawiyah,
penunjukkannya sangat jelas sedangkan hadis Ummu Haram tidak jelas
membicarakan keutamaan Muawiyah. Tidak ada hal yang patut
dipertentangkan, hadis Ummu Haram bersifat umum sedangkan hadis Muawiyah
mati tidak dalam agama islam bersifat khusus. Jadi kedua hadis ini
masih bisa dikompromikan dalam arti Muawiyah tidak termasuk dalam
keutamaan hadis Ummu Haram. Ada banyak sekali pasukan yang ikut
bertempur di laut, mereka yang dengan ikhlas bertempur karena Allah SWT dan syahid disana maka wajib atas mereka pahala.
Sedangkan mereka yang menginginkan harta dan kekuasaan atau setelah
peristiwa itu mereka melakukan keburukan atau maksiat atau menentang
Allah SWT dan Rasul-Nya maka tidak ada alasan untuk tetap menyatakan
keutamaan mereka.
- Hadis Muawiyah mati tidak dalam agama
islam sangat klop dengan berbagai fakta historis dan hadis-hadis shahih
tentang penyimpangan yang dilakukan Muawiyah. Memang sezalim apapun
seorang yang mengaku muslim bukan hak kita untuk menyatakan ia kafir
tetapi pada kasus Muawiyah terdapat hadis shahih yang dengan jelas
menyatakan ia mati tidak dalam agama islam.
Syubhat berikutnya dari salafy nashibi
adalah mereka menyatakan matan hadis tersebut idhthirab dan sanadnya
memiliki illat. Kami akan tunjukkan bahwa pernyataan mereka hanyalah
dalih yang dicari-cari.
Pembahasan Matan Hadis Yang Dikatakan Idhthirab
Inti dari syubhat salafy nashibi adalah
mereka membawakan hadis lain dimana mereka mengatakan kalau orang yang
dimaksud bukanlah Muawiyah tetapi Hakam bin Abil Ash. Berikut hadis yang
mereka jadikan hujjah
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ ذَهَبَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ
يَلْبَسُ ثِيَابَهُ لِيَلْحَقَنِي فَقَالَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ لَيَدْخُلَنَّ
عَلَيْكُمْ رَجُلٌ لَعِينٌ فَوَاللَّهِ مَا زِلْتُ وَجِلًا أَتَشَوَّفُ
دَاخِلًا وَخَارِجًا حَتَّى دَخَلَ فُلَانٌ يَعْنِي الْحَكَمَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Numair telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim dari Abu
Umaamah bin Sahl bin Hunaif dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Kami
pernah duduk-duduk di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
ketika itu ‘Amru bin Al-‘Aash pergi berjalan dengan mengenakan baju
untuk menemuiku. Beliau bersabda [sementara kami berada di sisinya ]
“Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat”.
Maka demi Allah, semenjak beliau mengatakan itu, aku selalu
melihat-lihat ke dalam dan ke luar hingga datanglah si Fulan, yaitu Al
Hakam [Musnad Ahmad 2/163 no 6520 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib].
Sekarang perhatikan matan hadis “Muawiyah tidak mati di dalam agama islam”.
Jika diperhatikan dengan baik. Apa yang disematkan kepada Al Hakam dan
Muawiyah jelas berbeda, orangnya berbeda, hadis yang diucapkan juga
berbeda
عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند
النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت
على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية
Dari Abdullah bin Amru yang berkata
aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang dari
jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak
berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah meninggalkan
ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau ia akan datang
dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari jalan tersebut” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121].
Pada hadis Ahmad tentang Al Hakam disana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat” sedangkan pada hadis Al Baladzuri tentang Muawiyah disana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”.
Al Hakam seorang yang dilaknat dan Muawiyah mati tidak dalam agama
islam, kedua hadis tersebut benar tidak ada perselisihan matan dan
dimana letak idhthirab yang dimaksud?. Kedua hadis tersebut bisa saja
merujuk pada dua peristiwa yang berbeda dimana peristiwa yang satu
membicarakan Al Hakam dan peristiwa lain membicarakan Muawiyah. Apakah
Abdullah bin ‘Amru bin Ash seumur hidupnya bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam hanya satu kali saja duduk bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam?. Atau kedua hadis tersebut merujuk peritiwa yang sama
dimana pada bagian pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
membicarakan tentang Al Hakam dan setelah itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam membicarakan tentang Muawiyah [atau sebaliknya].
Pembahasan Illat Sanad Hadis
Salafy nashibi berusaha melemahkan hadis ini dengan menunjukkan kelemahan pada ‘Abdurrazaq bin Hammam. Logika salafy itu adalah ia
menunjukkan adanya idhthirab dan menjadikan idhthirab ini bagian dari
kesalahan Abdurrazaq karena ia berubah hafalannya di usia senja.
Kami tekankan kembali tidak ada yang namanya idhthirab pada matan hadis
tersebut, itu cuma akal-akalan salafy. Kedua hadis baik menyebutkan Al
Hakam dan Muawiyah adalah benar. Pertama-tama mari kita lihat kembali
sanad hadis tersebut
حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص
Telah menceritakan kepadaku Ishaq dan
Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada
kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami
Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120].
Abdurrazaq bin Hammam adalah seorang
hafizh yang tsiqat, satu-satunya kelemahan yang dituduhkan padanya
adalah soal ia berubah hafalannya pada usia senja ketika matanya telah
buta.
و قال أبو زرعة الدمشقى ، عن أبى الحسن بن
سميع ، عن أحمد بن صالح المصرى : قلت لأحمد بن حنبل : رأيت أحدا أحسن حديثا
من عبد الرزاق ؟ قال : لا . قال أبو زرعة : عبد الرزاق أحد من ثبت حديثه
Abu Zur’ah ad-Dimsayqi berkata dari
Abul Hasan bin Sami’, dari Ahmad bin Shalih al-Mishri yang berkata Aku
berkata kepada Ahmad bin Hanbal ”Adakah kau lihat orang yang lebih baik
haditsnya daripada ’Abdurrazaq?” beliau menjawab ”tidak”. Abu Zur’ah
berkata ”Abdurrazaq adalah salah seorang yang kuat haditsnya.” [Tahdzib Al Kamal 18/56 no 3415].
و قال يعقوب بن شيبة ، عن على ابن المدينى ،
قال : لى هشام بن يوسف : كان عبد الرزاق أعلمنا و أحفظنا . قال يعقوب : و
كلاهما ثقة ثبت .
Ya’qub bin Syaibah berkata, dari ’Ali
ibnul Madini yang berkata Hisyam bin Yusuf berkata kepadaku “Abdurrazaq
itu orang yang lebih ’alim dan hafizh daripada kami.” Ya’qub berkata
keduanya [Hisyam bin Yusuf dan ’Abdurrazaq] adalah sama-sama tsiqat
tsabit [Tahdzib Al Kamal 18/58 no 3415].
و قال أبو بكر بن أبى خيثمة : سمعت يحيى بن
معين و قيل له : إن أحمد بن حنبل قال : إن عبيد الله بن موسى يرد حديثه
للتشيع ، فقال : كان والله الذى لا إله إلا هو عبد الرزاق أغلى فى ذلك منه
مئة ضعف ، و لقد سمعت من عبد الرزاق أضعاف أضعاف ما سمعت من عبيد الله .
Abu Bakr bin Abi Khaitsamah berkata
aku mendengar Yahya bin Main ketika ada yang berkata padanya
”Sesungguhnya Ahmad bin Hanbal berkata, bahwa sesungguhnya ’Ubaidillah
bin Musa membantah hadits ’Abdurrazaq dikarenakan tasyayu’-nya.” Lantas
Ibnu Ma’in membantah ”Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq
untuk di sembah melainkan Dia, ’Abdurrazaq itu jauh lebih bernilai
darinya berkali-kali lipat. Dan sungguh aku telah mendengar dari
’Abdurrazaq berkali-kali lipat daripada aku mendengar dari ’Ubaidillah.”
[Tahdzib Al Kamal 18/59 no 3415]
و قال أبو زرعة الدمشقى : قلت لأحمد بن حنبل
: كان عبد الرزاق يحفظ حديث معمر ؟ قال : نعم . قيل له : فمن أثبت فى ابن
جريج عبد الرزاق أو محمد بن بكر البرسانى ؟ قال : عبد الرزاق قال : و
أخبرنى أحمد بن حنبل ، قال : أتينا عبد الرزاق قبل المئتين و هو صحيح البصر
و من سمع منه بعدما ذهب بصره ، فهو ضعيف السماع .
Abu Zur’ah Ad Dimasyq berkata Aku
bertanya kepada Ahmad bin Hanbal ”Apakah ’Abdurrazaq mengahafal
haditsnya Ma’mar?” beliau menjawab : ”iya”. Ada yang bertanya pada
beliau ”Mana yang lebih tsabit dari Ibnu Juraij, ’Abdurrazaq atau
Muhammad bin Bakr Al Barsaani?” beliau menjawab ”Abdurrazaq”. [Abu
Zur’ah berkata] Ahmad bin Hanbal memberitakan kepadaku ”Kami mendatangi
’Abdurrazaq sebelum tahun 200 H dan beliau dalam keadaan sehat matanya.
Barangsiapa yang mendengarkan darinya setelah ia buta maka
pendengarannya lemah [Tahdzib Al Kamal 18/8 no 3415]
عبد الرزاق بن همام بن نافع الحميري مولاهم أبو بكر الصنعاني ثقة حافظ مصنف شهير عمي في آخر عمره فتغير وكان يتشيع .
’Abdurrazaq bin Hammam bin Nafi’ Al
Himyari maula mereka Abu Bakr Ash Shan’ani seorang yang tsiqat hafizh
penulis [mushannaf] yang terkenal, buta pada akhir usianya maka
hafalannya berubah dan ia bertasyayyu’ [At Taqrib 1/599].
Kesimpulannya ’Abdurrazaq
bin Hammam seorang hafiz yang tsiqat dan tsabit dalam hadis, sebelum
buta ia seorang yang tsiqat mutlak tetapi setelah buta hafalannya
berubah sehingga pendengaran hadis setelah ia buta mengandung kelemahan.
Mengenai tasyayyu’ Abdurrazaq bin Hammam itu tidaklah membahayakan
hadisnya karena ia sendiri mengutamakan Abu Bakar dan Umar dibanding
Imam Ali bahkan dalam Tahrir At Taqrib dinyatakan bahwa penisbatan
tasyayyu’ terhadap ‘Abdurrazaq tidaklah tsabit. [Tahrir At Taqrib no
4064].
Yang meriwayatkan hadis ini dari
‘Abdurrazaq bin Hammam adalah Ishaq bin Abi Israil seorang hafizh yang
tinggal di Baghdad dan wafat tahun 246 H. sedangkan ‘Abdurrazaq adalah
seorang hafizh yang tinggal di Shan’a wafat tahun 211 H. ‘Abdurrazaq
buta matanya pada tahun 200 H atau setelahnya, jadi perawi yang
mendengar hadis darinya sebelum tahun 200 H jelas shahih. Ishaq bin ‘Abi Israil pergi ke Shan’a dan mendengar hadis dari para hafizh disana sebelum tahun 200 H.
Bukti untuk hal ini adalah Abu Dawud telah meriwayatkan hadis dari
Ishaq bin ‘Abi Israil [Abu Ya’qub Al Baghdadi] dari Hisyam bin Yusuf As
Shan’ani dimana Ishaq bin ‘Abi Israil meriwayatkan hadis dengan lafal “telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Yusuf”
[Sunan Abu Dawud 1/607 no 1985]. Hisyam bin Yusuf Ash Shan’ani adalah
seorang qadhi di Shan’a yang wafat pada tahun 197 H [At Taqrib 2/268].
Jadi Ishaq bin ‘Abi Israil datang ke Shan’a dan mendengar hadis dari
ulama disana seperti Hisyam bin Yusuf dan ‘Abdurrazaq bin Hammam sebelum
tahun 197 H. Pada saat itu jelas ‘Abdurrazaq bin Hammam seorang yang
hafiz tsiqat tsabit secara mutlak.
Illat [cacat] lain yang ditunjukkan
salafy adalah pernyataan Al Khallal yang dikutip oleh Ibnu Qudamah bahwa
‘Abdurrazaq bin Hammam meriwayatkan hadis ini dari Ma’mar dari Ibnu
Thawus yang mendengar dari Furkhaasy dari ayahnya Ibnu Thawus dari
‘Abdullah bin ‘Amru
وسألت أحمد، عن حديث شريك، عن ليث، عن طاوس،
عن عبدالله بن عمرو، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “يطلع عليكم
رجل من أهل النار”، فطلع معاوية قال: إنما ابن طاوس، عن أبيه، عن عبد
الله بن عمرو أو غيره، شك فيه قال الخلال: رواه عبدالرزاق، عن معمر، عن ابن
طاوس، قال: سمعت فرخاش يحدث هذا الحديث عن أبي، عن عبد الله ابن عمرو.
Dan aku pernah bertanya kepada Ahmad
tentang hadits Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin
‘Amru, ia berkata “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ‘Akan datang kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan
penghuni neraka’. Lalu muncullah Mu’aawiyyah”.Ahmad berkata “Hadits itu
hanyalah diriwayatkan oleh Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Abdulah bin
‘Amru atau selainnya, ia [Thawus] ragu-ragu dalam penyebutannya.
Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus. Ia [Ibnu
Thawuus] berkata Aku mendengar Furkhaasy menceritakan hadits ini dari
ayahku, dari ‘Abdullah bin ‘Amr” [Al Muntakhab minal-‘Ilal lil-Khallaal, hal. 228 no. 136].
Salafy mengatakan bahwa hadis ini mengandung idhthirab pada sanadnya karena Ibnu Thawus meriwayatkan dari ayahnya tanpa perantara dan Ibnu Thawus meriwayatkan dari ayahnya melalui perantara Furkhaasy seorang yang majhul, sehingga nampak adanya idhthirab pada sanad tersebut yang mungkin bersumber dari ‘Abdurrazaq bin Hammam.
Pernyataan salafy ini ma’lul, sangat jelas keliru bagi mereka yang meneliti sanad hadis tersebut dengan baik. Hadis yang tsabit sanadnya
adalah riwayat Ishaq bin ‘Abi Israil dari ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari
Ibnu Thawus dari Ayahnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash. Sedangkan
pernyataan Al Khallal bahwa ‘Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar dari
Ibnu Thawus dari Furkhaasy dari ayah Ibnu Thawus dari ‘Abdullah bin
‘Amru jelas tidak tsabit atau inqitha’.
Al Khallal lahir pada tahun 234 H [As Siyar 14/297 no 193] sedangkan
‘Abdurrazaq bin Hammam wafat pada tahun 211 H [At Taqrib 1/599]. Ketika
Al Khallal lahir ‘Abdurrazaq bin Hammam sudah lama wafat, sanadnya
inqitha’ [terputus] sedangkan Ibnu Abi Israil meriwayatkan langsung dari
‘Abdurrazaq. Jadi periwayatan Ishaq bin Abi Israil dari ‘Abdurrazaq
lebih tsabit sedangkan pernyataan Al Khallal inqitha’ atau terputus
sanadnya. Bagaimana mungkin dikatakan sanadnya idhthirab kalau yang satu
tsabit dan yang satunya inqitha’. Jelas sekali berdasarkan metode ilmu
hadis bahwa sanad yang tsabit lebih rajih.
Al Baladzuri termasuk ulama besar, Adz Dzahabi menuliskan keterangan tentang Al Baladzuri dalam kitabnya As Siyar dan Tadzkirah Al Huffazh.
Adz Dzahabi menyebut ia seorang penulis Tarikh yang masyhur satu
thabaqat dengan Abu Dawud, seorang Hafizh Akhbari Allamah [Tadzkirah Al
Huffazh 3/893]. Disebutkan kalau ia seorang yang alim dan mutqin [Al
Wafi 3/104]. Tidak ada alasan untuk menolak atau meragukan Al Baladzuri,
Ibnu Hajar telah berhujjah dengan riwayat-riwayat Al Baladzuri dalam
kitabnya diantaranya dalam Al Ishabah, Ibnu Hajar pernah berkata “dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi”
[Al Ishabah 2/98 no 1767]. Penghukuman sanad la ba’sa bihi oleh Ibnu
Hajar berarti ia sendiri berhujjah dan menta’dil Al Baladzuri. Soal
kedekatan kepada penguasa itu tidaklah merusak hadisnya karena banyak
para ulama yang dikenal dekat dengan penguasa tetapi tetap dijadikan
hujjah seperti Az Zuhri dan yang lainnya. Para ulama baik dahulu maupun
sekarang tetap menjadikan kitab Al Balazuri sebagai sumber rujukan baik
sirah ansab maupun hadis.
Syubhat salafy yang lainnya adalah ia
membawakan hadis keutamaan Imam Hasan sebagai Sayyid yang akan
mendamaikan dua kelompok kaum muslimin.
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ
عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ سَمِعَ أَبَا بَكْرَةَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ
وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ
مَرَّةً وَيَقُولُ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ
بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Telah menceritakan kepada kami
Shadaqah telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah telah menceritakan
kepada kami Abu Muusaa, dari Al-Hasan bahwasannya ia mendengar Abu
Bakrah Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar
bersabda – ketika itu Al-Hasan berada di samping beliau, sesekali beliau
melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya
“Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid [pemimpin] dan semoga dengan
perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum
Muslimin” [Shahih Bukhaariy no 3746]
Menjadikan hadis ini sebagai penentang hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam
jelas tidak tepat. Logika sederhana saja misalnya jika dalam kelompok
Muawiyah tersebut terdapat orang munafik atau orang kafir yang
ikut-ikutan memecah belah, maka apakah penyebutan “kelompok besar dari kaum muslimin” tidak
bisa digunakan. Ya tetap bisa, seandainya ada satu atau dua orang yang
kafir di kelompok Muawiyah dan mayoritasnya muslim maka tetap bisa
disebut kelompok besar kaum muslimin. Selain itu peristiwa antara Imam
Hasan dan Muawiyah terjadi jauh sebelum Muawiyah wafat bahkan sebelum
Muawiyah memerintah kaum muslimin, jadi sangat tidak tepat untuk
dijadikan penentang hadis yang menjelaskan Muawiyah ketika matinya tidak
dalam agama islam. Lagi-lagi logika sederhana kalau awalnya ada seorang
muslim yang rajin ibadah kemudian ia mati dalam keadaan kafir maka
apakah ada orang yang akan menolak sambil berkata “dia tidak mati kafir karena dulu waktu muda saya tahu dia muslim”. Seorang muslim yang menjadi murtad atau menjadi kafir adalah sesuatu yang bisa saja terjadi.
Ada logika salafy yang lebih parah, ia mengatakan mungkinkah Imam Hasan akan berdamai pada orang yang nantinya mati bukan diatas agama islam.
Dari dulu penyakit salafy adalah mereka jadi pura-pura bodoh kalau
terkait dengan pembelaan terhadap Muawiyah. Kalau mau diperhatikan
dengan baik Muawiyah itu sudah salah dari sisi manapun.
Khalifah yang sah pada saat itu sudah jelas Imam Hasan dan apa dasarnya
Muawiyah menentang, tidak lain itu disebabkan Muawiyah memang
menginginkan kursi kekhalifahan makanya ia tidak mau taat kepada Imam
Hasan. Bukannya itu yang dilihat salafy eh malah mereka memuliakan
Muawiyah dengan alasan Imam Hasan telah berdamai dengannya. Apa salafy
itu buta kalau awalnya Imam Hasan memerangi Muawiyah?. Imam Hasan
berdamai dengan Muawiyah untuk menyelamatkan darah kaum muslimin karena
Beliau tidak suka melihat lebih banyak lagi darah kaum muslimin yang
tertumpah dalam masalah ini. Lagipula pada saat itu Muawiyah menampakkan
keislaman dan tentu seseorang itu dinilai berdasarkan apa yang nampak
darinya, soal perkara mau jadi apa ia nanti itu urusannya dengan Allah
SWT.
Bukankah terdapat hadis Rasulullah SAW
yaitu Hadis Al Haudh dimana Rasulullah SAW menjelaskan kalau diantara
sahabatnya aka ada yang murtad sepeninggal Beliau sehingga tertolak di
Al Haudh. Apakah pernah Rasulullah SAW menghisab atau menghukum
sahabat-sahabat tersebut ketika Beliau masih hidup?. Apakah pernah
Rasulullah SAW menyebut para sahabat itu dengan kata-kata “kafir” atau
“murtad”?. Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan
perlakuan terhadap mereka?. Jelas tidak, manusia tidak dihukum atas apa
yang belum ia lakukan.
Mengapa pula salafy itu mengherankan Imam
Hasan yang berdamai dengan kelompok pembangkang yaitu Muawiyah dan
pengikutnya. Dengar baik-baik wahai salafy, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam saja pernah berdamai dengan orang-orang kafir di
Hudaibiyah. Semua itu mengandung hikmah yang diketahui oleh orang-orang
yang mengetahuinya. Jadi logika pincang ala skizoprenik seperti itu
tidak usah dipamerkan dalam tulisan ilmiah. Sebenarnya tidak ada ruang
bagi salafy untuk menolak riwayat Al Baladzuri tersebut dengan syarat
mereka melihat rangkaian hadis-hadis tentang Muawiyah, tidak hanya apa
yang kami paparkan disini tetapi juga hadis-hadis lain yang menunjukkan
apa saja yang telah ia lakukan baik dalam sejarah maupun hadis.
Di kalangan ulama yang terpercaya
ternyata ada juga yang mengakui kalau Muawiyah tidak mati di atas agama
Islam. Ulama yang dimaksud adalah Ali bin Ja’d Abu Hasan Al Baghdadi
سمعت أبا عبد الله، وقال له دلويه: سمعت علي بن الجعد يقول: مات والله معاوية على غير الإسلام
Aku mendengar Abu ‘Abdullah [Ahmad
bin Hanbal] yang berkata Dalluwaih berkata aku mendengar dari ‘Ali bin
Ja’d yang berkata “demi Allah, Muawiyah mati bukan dalam agama islam” [Masa’il Ahmad bin Hanbal riwayat Ishaq bin Hani no 1866]
Ahmad bin Hanbal jelas orang yang terpercaya. Dalluwaih adalah Ziyad
bin ‘Ayub perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Abu Hatim
berkata “shaduq” Nasa’i menyatakan tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya
dalam Ats Tsiqat dan Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. [At Tahdzib juz
3 no 654] Ibnu Hajar berkata “hafizh tsiqat” [At Taqrib 1/317]. Ali bin
Ja’d sendiri seorang yang tsiqat, perawi Bukhari dan ‘Abu Dawud, Ibnu
Ma’in berkata “tsiqat shaduq”, Abu Zur’ah berkata “shaduq dalam hadis”.
Abu Hatim menyatakan ia seorang yang mutqin shaduq. Shalih bin Muhammad
menyatakan tsiqat, Nasa’i berkata “shaduq”. Daruquthni berkata “tsiqat
ma’mun”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit” [At Tahdzib juz 7 no 502].
Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 1/689]. Jika Ali bin
Ja’d yang dengan jelas menyatakan Muawiyah mati bukan dalam agama islam
tetap dinyatakan tsiqat dan dijadikan hujjah hadisnya, maka atas dasar
apa pengikut salafiyun itu mencela kami dalam masalah ini. Apakah hanya
karena dengki? Atau memang begitu tabiat para pengingkar.
Apakah para pendengki dan pengingkar itu
mau menerima kebenaran ini? Sepertinya tidak karena pengalaman
membuktikan salafy nashibi tidak akan pernah mau menerima hal-hal yang
bertentangan dengan doktrin mahzab mereka. Mereka sok berkata “jangan
bertaklid” padahal diri sendiri penuh dengan taklid. Kesimpulannya :
Hadis Al Baladzuri bahwa Muawiyah mati tidak dalam agama islam adalah
shahih. Akhir kata kami akan mengutip perkataan salafy
Sebagaimana tergambar pada omongan seorang Raafidliy sebelum membawakan riwayat Al Balaadzuriy :
Terdapat
hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan
mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang
menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam. Kami akan
mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan kami tidak
peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah membaca tulisan
ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis dalam kitab. Jadi
kami tidak mengada-ada.
Kita katakan : Kami tidak pernah
terkejut dengan tulisan Anda – walhamdulillah – , karena memang itulah
tabiat Anda dan orang-orang yang sepemahaman dengan Anda semenjak
beratus-ratus tahun lalu, tidak ada perubahan – kecuali mereka yang
dirahmati oleh Allah ta’ala.
Baguslah kalau anda sekarang mengakui kalau diri anda termasuk
“nashibi pecinta berat Muawiyah”.
Dan bicara soal tabiat, justru tabiat anda dan orang-orang sepemahaman
dengan anda inilah yang melahirkan banyak perpecahan di kalangan kaum
muslim. Kelompok seperti anda yang suka merendahkan kelompok muslim lain
dengan gelar-gelar ejekan memang sudah ada dari berates-ratus tahun
lalu, malah semakin parah di zaman sekarang. Semoga Allah SWT memberikan
hidayah kepada anda dan yang lainnya untuk menerima kebenaran.
Pembelaan Nashibi Terhadap Muawiyah
Seperti biasa seorang nashibi punya
kecenderungan berlebihan untuk memuliakan Muawiyah, membela kesalahan
dan keburukannya. Salah satu contohnya adalah pembelaan seseorang yang
menanggapi tulisan kami mengenai
hadis “Jika kamu melihat Muawiyah di mimbarKu maka bunuhla ia”.
Komentarnya dapat pembaca lihat di blognya tentang keutamaan Muawiyah.
Tentu saja komentar tersebut berupa pembelaan buta yang dibuat
seolah-olah ilmiah. Ia menyatakan hadis tersebut palsu dengan membawakan
hujjah-hujjah yang rapuh. Berikut adalah tanggapan kami terhadap
komentarnya yang kami quote dan cetak biru.
Kami sebelumnya menyatakan bahwa hadis “Jika kamu melihat Muawiyah di mimbarKu maka bunuhla ia” adalah hadis yang hasan. Diantaranya kami membawakan riwayat Al Baladzuri berikut
حدثني إبراهيم بن العلاف البصري قال سمعت
سلاماً أبا المنذر يقول قال عاصم بن بهدلة حدثني زر بن حبيش عن عبد الله بن
مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepadaku
Ibrahim bin Al Allaf Al Bashri yang berkata telah mendengar Sallam Abul
Mundzir berkata Ashim bin Bahdalah berkata telah menceritakan kepadaku
Zirr bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata Rasulullah SAW
bersabda. [Ansab Al Asyraf 5/130].
Riwayat ini sanadnya hasan karena Sallam Abul Mundzir dan Ashim bin Bahdalah. Sallam seorang yang shaduq hasanul hadis dan Ashim seorang yang tsiqah hasanul hadis.
Saudara nashibi itu mengkritik kedua orang perawi tersebut yaitu Sallam
dan Ashim sehingga ia berkesimpulan bahwa dengan adanya dua orang
tersebut maka mana mungkin hadis tersebut sanadnya hasan lidzatihi.
Pembahasan Sanad Riwayat Al Baladzuri
Sallam bin Sulaiman Abul Mundzir
Saudara Nashibi itu berkata:
Namanya :
Sallaam bin Sulaimaan Abul-Mundzir Al-Muzanniy Al-Bashriy. Ibnu Ma’iin
berkata : “Laa ba’sa bihi”. Dalam riwayat yang lain : “Laa syai’ (tidak
ada apa-apanya)”. Abu Haatim : “Shaduuq shaalihul-hadiits”. Al-‘Uqailiy
memasukkannya ke dalam Adl-Dlu’afaa’ dan berkata : “Haditsnya tidak ada
mutaba’ah-nya”. [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 2/177 no. 3345].
Yang ingin kami tanggapi dari kutipan di atas adalah pencacatan Al Uqaili yang memasukkan Sallam dalam kitabnya Adh Dhu’afa merupakan pencacatan yang tidak berdasar. Dalam Ad Dhu’afa Al Uqaili no 666, ia menyebutkan tentang Sallam dengan perkataan “hadisnya tidak ada mutaba’ahnya”. Kemudian ia membawakan dua buah hadis Sallam sebagai bukti. Padahal kedua hadis yang dibawakan Al Uqaili adalah hadis Sallam yang ternyata memiliki mutaba’ah. Hadis yang pertama adalah hadis hasan dan yang kedua adalah hadis shahih. Jadi bagaimana mungkin melemahkan Sallam dengan berdasarkan kedua hadis tersebut.
Untuk
perkataan Ibnu Ma’iin : “Laa ba’sa bihi” ; maka ini tidak ada asal
penukilannya. Dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (4/biografi no. 1119) disebutkan
: Telah berkata Abu Bakr bin Abi Khaitsamah : Aku mendengar Yahyaa bin
Ma’iin ditanya tentang As-Sallaam Abul-Mundzir, maka ia berkata : “Laa
syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Dan inilah yang tsabt dari perkataan Ibnu
Ma’iin. Wallaahu a’lam [ta’liq Tahdziibul-Kamaal, 12/289]. Ini
diperkuat dari riwayat : Telah berkata Ibraahiim bin ‘Abdillah bin
Al-Junaid : Aku bertanya kepada Yahyaa bin Ma’iin tentang Sallaam
Abul-Mundzir, apakah ia seorang yang tsiqah ?. Maka ia menjawab :
“Tidak” [Tahdziibul-Kamaal, 12/289].
Pertama-tama yang harus diperhatikan adalah tidak setiap perkataan jarh wat ta’dil memiliki asal penukilan. Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab seperti At Tahdzib Ibnu Hajar dan Mizan Al ‘Itidal
Adz Dzahabi. Kedua kitab tersebut banyak menukil perkataan ulama
terdahulu tanpa menyebutkan asal penukilannya. Diantara para ulama yang
menisbatkan perkataan Ibnu Ma’in “la ba’sa bihi” kepada Sallam Abul Mundzir adalah
- Al Mizzi dalam Tahdzib Al Kamal 12/289 no 2657
- Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 4 no 499
- Adz Dzahabi dalam Mizan Al ‘Itidal juz 2 no 3345, Al Mughni no 2497 dan Tarikh Al Islam 11/137
- Ahmad bin Abdullah Al Khazraji dalam Khulasah Tadzhyb Tahdzib Al Kamal hal 160
- Muhammad bin Alwi Al Husaini dalam Tadzkirah Ma’rifat Ar Rijal no 2668
Silahkan saja jika saudara nashibi itu
ingin menafikan penukilan mereka semua. Dalam hal ini kita tidak perlu
menolak perkataan la ba’sa bihi walaupun kita tidak menemukan asal
penukilannya. Sedangkan kutipan yang disebutkan dari Ibnu Abi Khaitsamah
dan Ibnu Junaid masih bisa dikompromikan dengan perkataan laba’sa bihi Ibnu Main.
Abu Bakar bin Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Main yang berkata tentang Sallam Abul Mundzir “Laa syai’(tidak ada apa-apanya)”.
Perkataan ini terkhusus bagi Ibnu Ma’in tidak mesti bersifat jarh
(cacat). Perkataan laa syai’ atau laisa bi syai’ (tidak ada apa-apanya)
dari Ibnu Main terhadap seorang perawi menunjukkan kalau perawi tersebut tidak memiliki banyak hadis atau sedikit hadisnya sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qattan [lihat Hady As Sari Ibnu Hajar 1/421, Fathul Mughits As Sakhawi 1/371, dan Rafu’ wa Takmil 1/212].
Jadi jika kita menggabungkan semua perkataan Ibnu Ma’in terhadap Sallam Abul Mundzir maka Sallam
adalah seorang yang tidak begitu kuat untuk dikatakan tsiqah tetapi
tidak ada masalah dengannya dan ia sedikit meriwayatkan hadis. Perkataan la ba’sa bihi, laisa bisyai’, dan laisa bitsiqah Ibnu Main bisa saja bergabung sekaligus pada seorang perawi.
- Dalam Tarikh Ibnu Main riwayat Ad Dawri no 683 Ibnu Main menyebutkan tentang Zakaria bin Manzhur dengan “laisa bi syai’(tidak ada apa-apanya)”.
- Dalam Tarikh Ibnu Main riwayat Ad Dawri no 786 Ibnu Main menyebutkan tentang Zakaria bin Manzhur dengan “laisa bi tsiqah(tidak tsiqah)”
- Dalam Tarikh Ibnu Main riwayat Ad Dawri no 1011 Ibnu Main kembali menyebutkan tentang Zakaria bin Manzhur tetapi dengan sebutan “la ba’sa bihi(tidak ada masalah dengannya)”.
Kemudian saudara itu berkata
Adz-Dzahabiy
memasukkannya dalam jajaran perawi lemah (lihat Al-Mughniy
fidl-Dlu’afaa’, 1/421 no. 2497 dan Dzail Diiwaan Adl-Dlu’afaa’, hal. 36
no. 43].
Pernyataan saudara nashibi ini patut
diberikan catatan. Adz Dzahabi cukup banyak menulis kitab tentang perawi
hadis dan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Adz Dzahabi mengenai
Sallam Abul Mundzir maka dapat disimpulkan kalau Adz Dzahabi sendiri
memberikan predikat ta’dil padanya.
سلام بن سليمان أبو المنذر المزني البصري
المقرئ شيخ يعقوب سمع من ثابت وطبقته قال ابن معين لا بأس به وبعضهم لم
يحتج به وقال أبو حاتم صدوق
Sallam bin Sulaiman Abul Mundzir
Al Muzanni Al Bashri Al Muqri, Guru (Syaikh) Ya’qub mendengar dari
Tsabit dan yang satu thabaqah dengannya. Ibnu Ma’in berkata “la ba’sa
bihi”(tidak ada masalah). Sebagian orang tidak berhujjah dengannya, Abu
Hatim berkata “shaduq”. [Al Mughni no 2497]
سلام أبو المنذر ت س عن ثابت البناني ثبت في القراءة لا بأس به في الحديث وبعضهم لم يحتج به في الحديث
Sallam Abul Mundzir, meriwayatkan dari Tsabit Al Banani. Tsabit dalam qira’ah dan la ba’sa bihi (tidak ada masalah) dalam hadis. Sebagian orang tidak berhujjah dengan hadisnya. [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwattsaq no 139]
Adz Dzahabi memang menuliskan nama Sallam Abul Mundzir dalam kitabnya Diwan Ad Dhu’afa no 1682, tetapi anehnya dalam kitab tersebut Adz Dzahabi justru menyatakan kalau Sallam bin Sulaiman Abul Mundzir tsiqah.
- Sallam Abul Mundzir Diwan Ad Dhu’afa
Al-Haafidh berkata tentangnya :
“Shaduuq yahimu (jujur, kadang salah)” [At-Taqriib]. Jika perkatan Ibnu
Hajar ini ‘dikoreksi’ dengan : “shaduuq hasanul-hadiits” – maka dari
sisi mana penafikan “kadang tersalah” yang ada pada Sallaam bin Sulaiman
ini ? Padahal As-Saajiy telah menjelaskan makna “yahimu” di sini
menunjukkan kekurangan sifat mutqin pada diri Sallaam. Dan telah jelas
bahwa Sallaam ini dipermasalahkan dari sisi hapalannya.
Saudara Nashibi ini hanya menyandarkan
hujjahnya kepada As Saji dan lucunya ia tidak memperhatikan perkataan
para ulama lain yang lebih mu’tabar disbanding As Saji. Bukankah Abu
Hatim dengan jelas menyatakan Sallam Abul Mundzir sebagai shaduq shalihul hadits (jujur dan hadisnya baik) [Al Jarh wat Ta’dil 4/259 no 1119]. Bukankah Abu Dawud dengan jelas menyatakan Sallam Abul Mundzir laisa bihi ba’sun (tidak ada masalah) [At Tahdzib juz 4 no 499]. Bukankah Adz Dzahabi dengan jelas menyatakan Sallam Abul Mundzir la ba’sa bihi fil hadits (tidak ada masalah dalam hadisnya) [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwattsaq no 139].
Bagaimana bisa dikatakan Sallam Abu
Mundzir dipermasalahkan hafalannya. Al Bukhari telah menulis biografi
Sallam Abul Mundzir dalam Tarikh Al Kabir juz 4 no 2230 dan menukil pujian Hammad bin Salamah terhadapnya. Hammad bin Salamah mengatakan kalau Sallam lebih hafal hadis Ashim daripada Hammad bin Zaid. Al Haitsami menyatakan Sallam Abul Mundzir tsiqah [Majma’ Az Zawaid 7/523 no 12126]. Al Hafizh Ibnul Jazari menyatakan Sallam Abul Mundzir seorang tsiqah dan mulia [Ghayah Al Nihayah Fi Thabaqat Al Qurra’ 1/136 no 1360]. Yaqub Al Hadhrami murid Sallam Abul Mundzir berkata “tidak ada pada masanya yang lebih alim darinya”
[Tarikh Al Islam 11/137]. Tentu saja ulama-ulama ini lebih dapat
dijadikan pegangan daripada As Saji oleh karena itu Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengoreksi Ibnu Hajar dan menyatakan kalau Sallam Abul Mundzir shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 2705]
Selain itu kutipan As Saji yang dijadikan
hujjah oleh Nashibi itu berasal dari Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib At
Tahdzib padahal Adz Dzahabi [yang termasuk lebih terdahulu dari Ibnu
Hajar, dimana ketika Adz Dzahabi wafat Ibnu Hajar baru berusia lebih
kurang 12 tahun] dalam kitabnya Ma’rifat Al Qurra’ Al Kibar juga
mengutip pujian As Saji mengenai Sallam bin Sulaiman tanpa adanya celaan
terhadap Sallam ataupun kata-kata “laisa bimutqin”
وقال زكريا بن يحيى الساجي سلام أبو المنذر صدوق كان صاحب سنة وكان يؤم بجامع البصرة
Zakaria bin Yahya As Saji berkata
“Sallam Abul Mundzir shaduq[jujur], seorang yang berpegang teguh pada
sunnah dan dia Imam masjid Bashrah” [Ma’rifat Al Qurra’ Al Kibar 1/133 no 49]
Tentu jika mau
memilih kutipan yang lebih rajih maka kutipan As Saji dari Adz Dzahabi
lebih rajih karena Adz Dzahabi termasuk ulama rijal yang lebih terdahulu
dibanding Ibnu Hajar. Jadi mungkin saja dalam hal ini Ibnu Hajar keliru
dan sebenarnya As Saji justru memuji Sallam Abul Mundzir.
Ashim bin Bahdalah
Yahyaa
Al-Qaththaan melemahkan hapalannya. An-Nasaa’iy berkata : “Laisa
bi-haafidh”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Pada hapalan ‘Aashim ada sesuatu
(fii hifdhi ‘Aashim syai’)”. Abu Haatim berkata : “Tempatnya
kejujuran”. Ibnu Khiraasy berkata : “Dalam haditsnya ada pengingkaran
(fii hadiitsihi nukrah)”. Ahmad dan Abu Zur’ah berkata : “Tsiqah”. Di
lain tempat Ahmad berkata : “Tsiqah, aku memilih qira’atnya”. Ibnu Sa’d
berkata : “Tsiqah, namun ia banyak salah dalam haditsnya”. Adz-Dzahabiy
berkata : “Hasanul-hadiits” [Miizaanul-I’tidaal, 2/356-357].
Sebelumnya mari kita perhatikan dulu siapa yang menta’dilkan Ashim bin Bahdalah
- Ahmad bin Hanbal menyatakan ia tsiqah [At Tahdzib juz 5 no 67]
- Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqah laba’sa bihi [Al Jarh wat Ta’dil
6/340 no 1887, Ats Tsiqat Ibnu Syahin no 831, At Tahdzib juz 5 no 67]
- Al Ajli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqah no 807]
- Abu Zar’ah menyatakan ia tsiqah [Al Jarh wat Ta’dil 6/340 no 1887]
- Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 7 no 9952]
- Ibnu Syahin memasukkannya sebagai perawi tsiqah [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 830]
- An Nasa’i menyatakan Ashim la ba’sa bihi (tidak ada masalah) [At Tahdzib juz 5 no 67]
Diantara mereka yang membicarakan Ashim bin Bahdalah adalah Yahya Al Qattan, Ibnu Ulayyah, Al Uqaili dan Daruquthni.
Mereka membicarakan hafalannya tetapi tidaklah benar menyatakan kalau
Ashim hafalannya buruk. Abu Hatim walaupun mengetahui kalau Ashim
diperbincangkan hafalannya, ia tetap menyatakan Ashim sebagai “tempat kejujuran dan hadisnya baik”
[Al Jarh wat Ta’dil 6/340 no 1887]. Hal ini justru membuktikan kalau
keraguan terhadap Ashim tidak membuatnya jatuh ke derajat dhaif tetapi
menunjukkan kalau Ashim seorang yang hadisnya hasan [tidak sampai ke taraf shahih].
Menurut beberapa ulama Ashim melakukan
kekeliruan dalam hadis oleh karena itu mereka meragukan hafalannya.
Dalam suatu hadis lain Ashim terkadang meriwayatkan dari Zirr dan
terkadang meriwayatkan dari Abu Wail. sebagian ulama mengatakan kalau
Ashim melakukan kesalahan dan ada yang menyatakan kalau terjadi
idhthirab. Tentu saja ini hanya sebuah keraguan yang masih perlu
dibuktikan dan diteliti karena masih mungkin Ashim meriwayatkan hadis
tersebut baik dari Zirr maupun Abu Wail karena keduanya adalah gurunya
Ashim. Ashim telah ditetapkan bahwa ia mendapat predikat ta’dil dari
para ulama, tidak ada yang menyatakan ia dhaif bahkan beberapa ulama
yang meragukannya tetap menyatakan ia tsiqah seperti Ibnu Sa’ad dan
Yaqub bin Sufyan.
Ada alasan lain yang menunjukkan Ashim bisa dijadikan hujjah. Ashim bin Bahdalah adalah ulama qira’at yang merupakan salah satu dari qira’at sab’ah. Kita umat islam mengenal apa yang disebut qira’at Ashim. Ulama bersepakat kalau Ashim adalah hujjah dalam qira’at.
Nah bagaimana mungkin bisa dikatakan kalau Ashim ini hafalannya lemah
atau buruk, padahal hafalannya mengenai qira’at justru dijadikan hujjah.
Jika ada yang mau berdalih bahwa hafalannya yang buruk hanya terbatas pada hadis sedangkan dalam qira’at tidak.
Dalih ini jelas tidak ada nilainya baik hadis maupun qira’at sama-sama
huruf atau kata atau kalimat, dan yang membedakan hanya isinya. Kalau
Ashim hafalannya kuat dan dijadikan hujjah soal qira’at yang begitu
banyaknya maka mengapa pula ia harus sulit menghafal hadis-hadis yang ia
dapat padahal hadisnya itu tidak begitu banyak.
Kesimpulannya mereka yang membicarakan hafalan Ashim karena mereka menganggap adanya kesalahan pada hadis Ashim padahal
kesalahannya itu tidak terbukti dan seandainya Ashim terbukti pernah
melakukan kesalahan maka itu tidak menjadi alasan untuk mendhaifkannya.
Cukup banyak perawi yang dikenal tsiqat tetapi pernah melakukan
kesalahan seperti Syu’bah, Yahya bin Sa’id dan yang lainnya dan
kesalahan tersebut tidak pernah dijadikan alasan untuk mendhaifkan
mereka. Begitu pula hadis Ashim bin Bahdalah, Adz Dzahabi yang walaupun
mengetahui ulama-ulama yang mempermasalahkan Ashim tetap menyatakan
kalau Ashim seorang yang shaduq dan hasanul hadis [Man Tukullima Fihi wa Huwa Muwatstsaq no 171 dan Mizan Al I’tidal 2/356-357].
Al Hafiz Az Zarkali berkata tentang Ashim bin Bahdalah
كان ثقة في القراآت، صدوقا في الحديث
Dia seorang yang tsiqat dalam qira’at dan shaduq dalam hadis [Al A’lam 3/248]
Ibnu Imad Al Hanbali berkata:
عاصم بن أبي النجود الكوفي في الأسدي مولاهم أحد القراء السبعة كان حجة في القرآت صدوقاً في الحديث
Ashim bin Abi Najuud Al Kufi
termasuk Al Asadi mawla mereka, salah seorang dari tujuh ulama qira’at.
Ia seorang yang menjadi hujjah dalam qira’at dan shaduq dalam hadis. [Syadzratu Dzahab 1/175]
Pemutlakan
tsiqah oleh Abu Zur’ah di atas ditentang oleh Abu Haatim, karena Ibnu
‘Ulayyah memperbincangkannya hapalannya. [Tahdziibul-Kamaal, 13/477].
Kita telah menunjukkan kalau Abu Zar’ah tidak menyendiri dalam menyatakan tsiqah terhadap Ashim. Bersama Abu Zar’ah ada Ahmad bin hanbal, Ibnu Ma’in, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin. Lagipula walaupun Abu Hatim tidak menyatakan Ashim tsiqah, ia sendiri tetap beranggapan Ashim seorang yang hadisnya baik dan merupakan tempat kejujuran. Bukankah ini bukti yang menguatkan pernyataan kami bahwa Ashim hadisnya hasan.
Jika
kita lihat para perawinya, maka pembicaraan ada pada Sallaam bin
Sulaimaan Abul-Mundzir dan ‘Aashim bin Bahdalah (‘Aashim bin
Abin-Nujuud). Kedua-duanya dibicarakan dalam hal hapalan. ‘Aashim lebih
baik daripada Sallaam, dan ia (‘Aashim) haditsnya hasan selama tidak ada
pertentangan dan pengingkaran. Adapun Sallaam, yang raajih ia adalah
perawi dla’if
Walaupun terdapat pembicaraan tetap saja tidak menjatuhkan mereka ke dalam derajat dhaif. Justru dengan tsabitnya penta’dilan terhadap mereka maka hadis mereka walaupun tidak shahih tetap berderajat hasan. Baik Ashim maupun Sallam adalah seorang yang hadisnya hasan
dan pendapat inilah yang rajih dan diikuti oleh para pentahqiq
sedangkan ucapan nashibi ini yang mendhaifkan Sallam adalah omong kosong
yang tidak ada buktinya karena tidak ada satu pun ulama yang tsabit
menyatakan dhaif terhadap Sallam. Sudah jelas hadis tersebut bersanad
hasan lidzatihi. Para pentahqiq telah menghasankan hadis Sallam Abul
Mundzir dari Ashim bin Bahdalah.
- Syaikh Syu’aib Al Arnauth menghasankan hadis Sallam Abul Mundzir dari Ashim bin Bahdalah dalam tahqiq Musnad Ahmad 3/481-482 no 15995 dan 15996
- Syaikh Husain Salim Asad menghasankan hadis Sallam Abul Mundzir dari Ashim bin Bahdalah dalam tahqiq Musnad Abu Ya’la 9/29 no 5096 dan 5097
- Syaikh Al Albani menghasankan hadis Sallam Abul Mundzir dari Ashim bin Bahdalah dalam tahqiq Sunan Tirmidzi 5/391-392 no 3273 dan 3274.
Jadi dapat disimpulkan kalau sanad hadis
tersebut memang benar hasan lidzatihi dan pengingkaran nashibi itu hanya
menunjukkan talbisnya untuk mengelabui orang awam yang tidak paham ilmu
hadis.
Lantas,
bagaimana bisa dikatakan bahwa hadits ini adalah hasan li-dzaatihi ?
Apalagi dalam hal ini para imam jarh wa ta’dil mengingkari hadits ini
seperti Ayyuub As-Sikhtiyaaniy (Al-Kaamil oleh Ibnu ‘Adiy 5/101 dan yang
lainnya), Ahmad bin Hanbal (Al-‘Ilal oleh Al-Khallaal, 138), Abu Bakr
bin Abi Syaibah, Abu Zur’ah Ar-Raaziy (Adl-Dlu’afaa’, 2/427), Ibnu
Hibbaan dalam Al-Majruuhiin (1/157, 250 & 2/172), Al-Bukhariy
(At-Taariikh Al-Ausath 1/256), Al-‘Uqailiy (1/259), Ibnu ‘Adiy (2/146,
209 & 5/101, 200, 314 & 7/83), dan yang lainnya. Aneh bukan
kesimpulannya ?
Lihat saja, inikan alasan basa-basi yang tidak mengena sama sekali. Hadis tersebut secara sanad memang hasan lidzatihi.
Tidak ada gunanya nashibi itu mengutip pengingkaran para ulama mengenai
hadis ini. Asal tahu saja ya, semua ulama yang disebutkan nashibi itu
tidak ada satupun yang menyebutkan hadis tersebut dengan sanad dari Sallam Abul Mundzir dari Ashim bin Bahdalah. Kebanyakan mereka hanya menyebutkan sanad Amru bin Ubaid, sanad Ali bin Zaid dan sanad Mujalid. Bisa jadi para
ulama tersebut memang tidak mengetahui kalau terdapat sanad yang jayyid
seperti sanad Sallam dari Ashim [riwayat Al Baladzuri]. Atau bisa jadi menurut mereka matan hadis tersebut bathil sehingga apapun sanadnya hadis tersebut mesti ditolak.
Ayyub As Sakhtiyani misalnya ia menolak hadis ini dan menyatakan kalau Amru bin Ubaid yang memalsu hadis ini.
Padahal Amru bin Ubaid hanya meriwayatkan hadis tersebut dari Hasan Al
Basri dan sebenarnya hadis Hasan itu sendiri mursal. Terburu-buru sekali
Ayyub mengatakan kalau Amru bin Ubaid berdusta atas nama Hasan Al
Bashri. Kenyataannya hadis tersebut memang tsabit dari Hasan Al Basri,
Amru bin Ubaid tidak menyendiri meriwayatkan dari Hasan artinya Amru
bin Ubaid tidak memalsukan hadis ini, hadis tersebut memang hadis Hasan
Al Basri. Bukankah dari sini saja kita bisa melihat kalau Ayyub As
Sakhtiyani itu sudah keliru dan ini menunjukkan sikap ulama yang mencari
kambing hitam untuk menolak hadis yang tidak mereka sukai.
Pembahasan Hadis Abu Sa’id Al Khudri
Adapun
hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy yang ia bawakan dalam dua jalur, yaitu
(Pertama) jalur Mujaalid dari Abul-Wadaak dari Abu Sa’iid, dan (Kedua)
jalur ‘Aliy bin Zaid bin Jud’aan dari Abu Nadlrah dari Abu Sa’iid; maka
ia juga tidak bisa dijadikan hujjah. Berikut keterangannya :
kedua hadis ini telah kami sebutkan
walaupun sanadnya dhaif keduanya saling menguatkan sehingga kedudukannya
adalah hasan lighairihi. Justru keterangan-keterangan yang diajukan
oleh nashibi itu adalah keterangan lemah yang dicari-cari. Mari kita
lihat.
.
Riwayat Mujalid bin Sa’id
1. ‘Aliy bin Al-Mutsannaa
Disebutkan Ibnu Hibbaan dalam
Ats-Tsiqaat, dan beberapa perawi tsiqaat meriwayatkan darinya
[Tahdziibul-Kamaal, 21/114-116]. Namun Adz-Dzahabiy mengatakan bahwa ia
didla’ifkan oleh Al-Azdiy [Miizaanul-I’tidaal, 3/152 no. 5918]. Ibnu
Hajar berkata : “Maqbuul” [At-Taqriib]. Wafat : 256 H.
Ali bin Mutsanna telah dinyatakan tsiqat
oleh Ibnu Hibban sehingga pendhaifan Al Azdi disini tidak bisa dijadikan
hujjah kecuali ia menyebutkan alasan jarhnya dengan jelas. Bukankah
dalam ulumul hadis jika seorang perawi telah dinyatakan tsiqat maka jarh
terhadapnya harus bersifat mufassar, jika tidak maka jarh tersebut
tidak diterima. Lucu juga kalau nashibi itu tidak mengetahui kaidah
dasar seperti ini. Lagipula Al Azdi bukan ulama yang dapat dijadikan
pegangan pencacatannya. Ia seperti yang dikatakan Adz Dzahabi suka
berlebihan dalam mengkritik perawi hadis. Selain itu cukup dikenal kalau
Al Azdi seringkali mendhaifkan para perawi tsiqat. Jadi jika Al Azdi
menyendiri dalam mencacatkan perawi dan bertentangan dengan penta’dilan
ulama lain maka pencacatannya tidak diterima.
2. Al-Waliid bin Al-Qaasim bin Al-Waliid Al-Hamdaaniy
Ia ditsiqahkan oleh Ahmad, namun
didlaifkan oleh Yahya bin Ma’iin. Ibnu ‘Adiy berkata : “Apabila ia
meriwayatkan dari perawi tsiqah, maka tidak mengapa dengannya” – (tapi
sayangnya di sini ia meriwayatkan dari Mujaalid, seorang perawi
dla’iif). Wafat : 203 H [Miizaanul-I’tidaal, 4/344 no. 9395 dan Al-Jarh
wat-Ta’diil 9/13 no. 58]. Ibnu Qaani’ berkata : “Shaalih”
[Tahdziibut-Tahdziib, 11/146].
Disebutkan kalau Ahmad bin Hanbal menyatakan Walid bin Qasim tsiqah dan Ibnu Qani’ menyatakan “shalih” [At
Tahdzib juz 11 no 245]. Imam Tirmidzi telah menghasankan hadis Walid
bin Qasim [Sunan Tirmidzi 5/575 no 3590]. Adz Dzahabi juga menyatakan Walid bin Qasim tsiqah [Al ‘Ibar Fi Khabar Man Ghabar 1/268]. Ibnu Imad Al Hanbali berkata:
الوليد بن القسم الهمذاني الكوفي روى عن الأعمش وطبقته وكان ثقة
Walid bin Qasim Al Hamdani Al Kufi meriwayatkan dari ‘Al Amasy dan yang satu thabaqah dengannya, dia seorang yang tsiqah.[Syadzratu Dzahab 2/8].
Pendhaifan Ibnu Ma’in terhadap Walid bin
Qasim jelas tidak bisa diterima karena Ibnu Ma’in tidak menyebutkan
alasan yang jelas soal pencacatannya [jarh mubham]. Telah jelas
penta’dilan terhadap Walid bin Qasim oleh karena itu jarh(cacat) yang
dikenakan padanya harus bersifat mufassar jika tidak maka jarhnya tidak
diterima.
Al-Mizziy
menukil perkataan Ibnu ‘Adiy : “Apabila ia meriwayatkan dari perawi
tsiqah dan meriwayatkan darinya perawi tsiqah, maka tidak apa dengannya
(idzaa rawaa ‘an tsiqah wa rawaa ‘anhu tsiqah, falaa ba’sa bihi)”
[Tahdziibul-Kamaal, 31/67]. Dan memang begitulah yang terdapat dalam
Al-Kaamil (8/368).
Kami tidak keberatan kalau Walid dikatakan “la ba’sa bihi”. Tetapi ada yang aneh dari pernyataan Ibnu Ady. Seandainya Walid bin Qasim meriwayatkan hadis dari perawi yang dhaif maka hadis itu dhaif tetapi letak kedhaifannya ya terletak pada perawi yang dhaif tersebut bukannya Walid bin Qasim. Begitu pula jika seorang perawi dhaif meriwayatkan hadis dari Walid bin Qasim maka hadis itu dhaif dan lagi-lagi letak kedhaifannya ya pada perawi dhaif tersebut bukannya Walid bin Qasim.
Apakah mungkin hanya karena Walid bin Qasim meriwayatkan dari perawi
yang dhaif maka kedudukannya lantas menjadi dhaif pula? Atau hanya
karena ada perawi dhaif meriwayatkan dari Walid maka Walid jadi ikutan
dhaif pula?. Kaidah ngawur dari mana itu. Banyak perawi shahih yang
meriwayatkan hadis dari perawi dhaif dan banyak pula perawi dhaif yang
meriwayatkan hadis dari perawi shahih tersebut. semua itu tidak membuat
perawi shahih tersebut menjadi dhaif
Ibnu
Hajar berkata : “Shaduuq yukhthi’ (jujur, terkadang salah)”
[At-Taqriib]. Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam jajaran perawi dla’iif
[Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/500 no. 6881]. Ibnu Syaahiin memasukkannya
dalam Adl-Dlu’afaa’ (no. 664). Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam
Ats-Tsiqaat, namun bersamaan dengan itu ia juga memasukkannya dalam
Al-Majruuhiin.
Sikap Adz Dzahabi yang memasukkan nama Walid bin Qasim dalam Mughni Adh Dhu’afa
bukan berarti Adz Dzahabi menganggap Walid dhaif tetapi Adz Dzahabi
hanya menyebutkan kalau ada ulama yang menyatakan Walid dhaif. Kami
telah menyebutkan pendapat Adz Dzahabi sendiri yang menyatakan kalau Walid bin Qasim tsiqah. Pokok permasalahan disini adalah apakah jarh atau pendhaifan kepada Walid bin Qasim itu memiliki dasar atau tidak karena Walid telah dita’dilkan oleh ulama yang mu’tabar seperti Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi, Ibnu Qani’ dan yang lainnya.
Baik Ibnu Hibban maupun Ibnu Syahin tidak menyebutkan alasan yang jelas
mengenai pendhaifan Walid jadi jarhnya tidak diterima apalagi
pencacatan tersebut terkesan kontradiktif seperti Ibnu Hibban yang
terkadang memasukkannya dalam Ats Tsiqat tetapi juga menyatakan ia
dhaif. Nashibi itu berhujjah dengan perkataan Ibnu Hibban yang
menyebutkan kalau Walid meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan perawi tsiqah sehingga tidak memenuhi syarat sebagai hujjah.
Pernyataan ini jelas perlu dibuktikan, silakan tunjukkan hadis Walid
yang bertentangan dengan perawi tsiqah [bisa saja ini cuma kekeliruan
Ibnu Hibban] lagipula tidak setiap pertentangan dengan perawi tsiqah
membuat kedudukan seseorang menjadi dhaif. Cukup dikenal dalam ilmu
hadis perawi tsiqat bisa meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan perawi tsiqat lain.
Perkataan
pertengahan mengenai Al-Waliid adalah perkataan Ibnu ‘Adiy. Di sini ia
meriwayatkan dari Mujaalid, seorang perawi dla’iif, sehingga haditsnya
ini adalah dla’if
Perkataan pertengahan mengenai Walid adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahrir At Taqrib no 7447 bahwa Walid bin Qasim shaduq hasanul hadis.
Kami tidak keberatan menyatakan bahwa hadis ini dhaif tetapi letak
kedhaifannya terletak pada Mujalid yaitu seorang yang dhaif tetapi dapat
dijadikan i’tibar dan hadisnya menjadi hasan lighairihi jika dikuatkan oleh perawi yang setingkat atau lebih tinggi darinya.
Ibnu
‘Adiy berkata : “Sebagian huffaadh berkata : Mujaalid mencuri hadits ini
dari ‘Amr bin ‘Ubaid, lalu ia menceritakan dengannya dari Abul-Wadaak”.
Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Adiy, juga disebutkan oleh Ibnul-Jauziy
dalam Al-Maudluu’aat (2/26). Salah satu sumber perkataan Ibnu ‘Adiy dan
Ibnul-Jauziy adalah perkataan Al-Jurqaaniy dimana ia berkata : “Mujaalid
ini adalah dla’iif, munkarul-hadiits. Ia telah mencuri hadits ini dari
‘Amr bin ‘Ubaid, lalu menceritakan dengannya dari Abul-Wadaak, dari Abu
Sa’iid dengan lafadh ini” [lihat Al-Abaathiil, 1/354].
Tentu saja perkataan Mujalid mencuri
hadis ini dari Amru bin Ubaid adalah mengada-ada. Hal ini jelas bagian
dari kecenderungan ahli hadis untuk mencari kambing hitam untuk
melemahkan atau menyatakan palsu hadis yang ingin mereka tolak. Tidak
ada satupun ulama terdahulu yang menyatakan kalau Mujalid pernah mencuri
hadis. Kedhaifan yang ada pada Mujalid semata-mata karena hafalannya
yang buruk. Yang aneh bin ajaib adalah mengapa ada orang yang mengatakan
kalau Mujalid mencuri hadis tersebut dari Amru bin Ubaid? Mengapa tidak
dikatakan kalau Amru bin Ubaid yang mencuri hadis tersebut dari
Mujalid?. Saya yakin orang itu tidak akan mampu menjawabnya karena
memang perkataan tersebut hanya mengada-ada. Silakan perhatikan hadis
Amru bin Ubaid yang dimaksud [riwayat ibnu Ady]
حدثنا محمد قال ثنا أبو الأحوص قال حدثني
خالد قال سمعت حماد بن زيد يقول أو حدثني سليمان بن حرب قال قيل لأيوب إن
عمرو بن عبيد يقول عن الحسن إذا رأيتم معاوية على منبري فاقتلوه فقال أيوب
كذب عمرو
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash yang
berkata telah menceritakan kepada kami Khalid yang berkata telah
mendengar dari Hammad bin Zaid yang mengatakan atau telah menceritakan
kepada kami Sulaiman bin Harb yang berkata dikatakan kepada Ayub bahwa
Amru bin Ubaid mengatakan dari Hasan “jika kamu melihat Muawiyah di
mimbarku maka bunuhlah ia”. Ayub berkata “Amru berdusta”. [Al Kamil Ibnu Ady 5/101]
Nah mungkin sekarang bisa jadi jelas
persoalannya. Amru bin Ubaid dituduh memalsukan hadis ini oleh karena
itu Mujalid dituduh mencuri hadis ini dari Amru bin Ubaid. Kami tidak
menafikan kedudukan Amru bin Ubaid yang dhaif matruk tetapi kenyataannya
hadis tersebut memang tsabit diriwayatkan dari Hasan Al Basri, jadi
tidak ada alasan untuk menuduh Amru bin Ubaid yang memalsukan hadis ini.
Begitu pula tidak ada gunanya menuduh Mujalid mencuri hadis ini dari
Amru bin Ubaid, tidak diketahui apakah memang Mujalid pernah bertemu
dengan Amru bin Ubaid atau tidak. Lagipula hadis Mujalid itu riwayat Abu
Sa’id sedangkan hadis Amru adalah hadis Hasan Al Basri dan hadis Abu
Sa’id tidak hanya diriwayatkan oleh Mujalid tetapi juga diriwayatkan
oleh Ali bin Zaid. Jadi menuduh Mujalid mencuri hadis ini sungguh
mengada-ada. Kenyataan yang sebenarnya adalah Mujalid memang
meriwayatkan hadis dari Abul Waddak dari Abu Sa’id dan Amru bin Ubaid
memang meriwayatkan hadis tersebut dari Hasan Al Basri.
حدثنا يوسف بن موسى وأبو موسى إسحاق
الفروي قالا حدثنا جرير بن عبد الحميد حدثنا إسماعيل والأعمش عن الحسن قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم معاوية على منبري فاقتلوه
Telah menceritakan kepada kami
Yusuf bin Musa dan Abu Musa Ishaq Al Farawi yang keduanya berkata telah
menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ismail dan ‘Amasy dari Hasan yang berkata
Rasulullah SAW bersabda “Jika kalian melihat Muawiyah di Mimbarku maka
bunuhlah ia”. [Ansab Al Asyarf Al Baladzuri 2/121]
Semua perawi hadis ini adalah tsiqat dan
perawi shahih. Yusuf bin Musa adalah gurunya Bukhari yang dinyatakan
tsiqat oleh Maslamah dan Ibnu Hibban. Ibnu Ma’in dan Abu Hatim
menyatakan ia shaduq. An Nasa’i berkata “laba’sa bihi” [At Tahdzib juz
11 no 731]. Ibnu Hajar member predikat shaduq [At Taqrib 2/346]. Abu
Musa Ishaq bin Musa adalah seorang perawi Muslim yang dinyatakan tsiqat
[At Taqrib 1/85]. Jarir bin Abdul Hamid perawi kutubus sittah yang
dinyatakn tsiqat [At Taqrib 1/158]. Ismail adalah Ibnu Abi Khalid perawi
kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/93]. Sulaiman bin Mihran Al
‘Amasy perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/392] dan Hasan
Bashri seorang tabiin yang tsiqat [At Taqrib 1/202]. Kalau ada yang mau
mempermasalahkan ‘Amasy dan Ismail seorang mudallis maka dijawab mereka
berdua adalah mudallis martabat kedua yaitu orang yang ‘an ‘anah-nya
dijadikan hujjah dalam kitab shahih[Bukhari Muslim]. Riwayat Al
Baladzuri ini bukti kalau hadis tersebut memang tsabit dari Hasan Al
Bashri.
Kesimpulan
penghukuman hadits dari jalur ini dla’iif karena Al-Waliid bin
Al-Qaasim dan Mujaalid. Apalagi telah ternukil bahwa dalam hadits ini
Mujaalid mencuri hadits dari ‘Amr bin ‘Ubaid. Oleh karena itu, hadits
ini tidak bisa dijadikan i’tibar.
Hadis tersebut dhaif karena Mujalid
sedangkan Walid bin Qasim seorang yang shaduq dan Mujalid tidak mencuri
hadis ini dari Amru bin Ubaid. Dhaifnya hadis ini karena Mujalid yang
diperbincangkan hafalannya, hadisnya walaupun dhaif dapat dijadikan i’tibar.
.
.
Riwayat Ali bin Zaid bin Jud’an
Kesimpulannya,
ia seorang perawi dla’iif. Pada asalnya, haditsnya ditulis dan dapat
digunakan sebagai i’tibar. Sebagian ulama mutaqaddimiin – sebagaimana
telah kita lihat – telah mensifatinya dengan tasyayyu’, bahkan Ibnu
‘Adiy menjarhnya dengan sifat ghulluw (berlebih-lebihan). Jarh atas
sifat bid’ah tasyayyu’ yang disematkan padanya mempengaruhi sifat
‘adalah-nya. Oleh karena itu, hadits-haditsnya yang condong pada bid’ah
tasyayyu’ (Syi’ah/Raafidlah), maka tidak diterima. Hadits ini salah satu
di antaranya, karena sudah menjadi pengetahuan umum bagi Ahlus-Sunnah
tentang kebencian Syi’ah terhadap Mu’awiyyah bin Abi Sufyan
radliyallaahu ‘anhu. Jadi, cacat yang ada pada diri ‘Aliy bin Zaid bukan
sekedar dari sisi hapalan saja.
Salah satu keanehan (baca : kelicikan) salafy nashibi adalah mereka tidak bisa atau pura-pura tidak bisa membedakan apa itu tasyayyu’ dan rafidhah.
Apalagi menghubungkan antara tasyayyu’ dengan kebencian terhadap
Muawiyah dan menjadikannya cacat. Sungguh pencacatan yang dibuat-buat.
Lucunya tasyayyu’ yang disebut oleh nashibi ini sebagai bid’ah ternyata memiliki landasan dari hadis-hadis shahih.
Lagipula Ibnu Ady bisa menyatakan Ali bin Zaid ghuluw dalam
bertasyayyu’ pasti dengan melihat hadis-hadis yang diriwayatkan Ali bin
Zaid dan salah satunya hadis ini. Bayangkan saja
- Hadis ini dijadikan salah satu alasan bahwa Ali bin Zaid ghuluw dalam tasyayyu’
- Karena Ali bin Zaid ghuluw dalam tasyayyu’ maka hadis ini dhaif
Kembali lagi ke logika sirkuler yang menyesatkan. Kasusnya hampir sama dengan perawi-perawi yang dinyatakan syiah karena mereka sering kali meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul Bait [dan menurut salafy keutamaan tersebut berlebihan atau mungkar]. Setelah mereka dinyatakan syiah maka hadis-hadis mereka tentang keutamaan Ahlul Bait harus dikatakan termasuk bid’ah syiah dan mesti dinyatakan dhaif.
Satu-satunya cacat dalam hadis ini adalah
hafalan Ali bin Zaid dan tidak ada hubungannya dengan tasyayyu’ atau
tidak. Bukankah Mujalid bin Sa’id juga meriwayatkan hadis Abu Sa’id ini
dan dia tidak bertasyayyu’ apalagi mau dikatakan rafidhah.
Konsekuensi
dari hal di atas, hadits yang ia bawakan tidak bisa dijadikan i’tibar
(baik sebagai muttabi’ ataupun syaahid). Tidaklah mengherankan jika Ibnu
Hajar mengatakan hadits dalam bahasan ini termasuk hadits yang
diingkari oleh para ulama.
Hadis ini dhaif karena Ali bin Zaid yang
dipermasalahkan hafalannya tetapi ia telah dikuatkan oleh Mujalid bin
Sa’id. Mereka bersama-sama saling menguatkan dan mengangkat derajat hadisnya menjadi hasan lighairihi.
Para ulama mengingkari hadis ini karena mereka menolak matan hadis
tersebut. Jika matan hadis tersebut bicara soal lain dan tidak
merendahkan serang sahabat tertentu maka mereka tidak akan berkeras itu
mengingkarinya. Intinya para ulama itu meyakini kalau Muawiyah termasuk sahabat yang utama sehingga hadis apapun yang merendahkan Muawiyah tidak lain adalah bid’ah dan palsu.
Bukankah mereka para ulama itu juga terjebak dalam subjektifitas
keyakinan ketika menilai hadis. Mereka dengan mudah menyatakan bid’ah
setiap hadis yang menyelisihi akidah mereka sehingga tidak diragukan
hadis-hadis tersebut harus diingkari. Dan jika ada diantara ulama yang
menerima hadis itu maka ulama inipun sudah terjerat bid’ah dan mesti
dicacat juga. Ada banyak contoh subjektivitas seperti itu dan diketahui
oleh mereka yang memang menggeluti ilmu hadis.
Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan :
” Pada dasarnya para ulama
mengingkari hadis tersebut dan cukup dengan melihat matannya mereka
menyatakan hadis itu bathil. Oleh karenanya harus ada yang bertanggung
jawab untuk kebatilan hadis di atas dan tuduhan disematkan pada Ali bin
Zaid”.
adalah perkaaan yang ngawur, asal-asalan, lagi tidak intelek.
Jika kalangan Rafidlah tidak
menerima jarh di sisi ini, tidak mengherankan bagi kita. Seekor serigala
tentu akan melindungi anaknya.
Apa yang dimaksudkan oleh Nashibi itu
dengan intelek?. Apakah ilmu hadisnya itu yang mau ia katakan intelek?.
Rasanya yang suka ngawur dan asal-asalan itu ya nashibi ini. Tidak ada
gunanya ia sok membela, sebelumnya telah dibuktikan bagaimana seorang
ulama kenamaan seperti Ayub As Sakhtiyani menuduh dusta kepada Amru bin
Ubaid karena meriwayatkan hadis tersebut dari Hasan Al Bashri, padahal
memang terdapat hadis yang tsabit dari Hasan Al Bashri. Ayub pasti
menganggap matan hadis ini batil dan Hasan Bashri tidak mungkin
meriwayatkannya oleh karena itu kambing hitam mesti disematkan kepada
Amru bin Ubaid. Tetapi sayang sekali fakta justru membuktikan kalau Amru
bin Ubaid tidak berdusta.
Kita bisa memberikan contoh lain terkait hadis ini. Asy Syaukani dalam Fawaid Al Majmu’ah no 163 juga membawakan hadis ini dan ia menyatakan hadis ini maudhu’ karena Abbad bin Yaqub Ar Rawajini seorang rafidhah pendusta.
Tentu saja tuduhan ini hanya dicari-cari, Abbad bin Yaqub adalah salah
satu guru Bukhari yang dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim dan Ibnu
Khuzaimah. Daruquthni berkata “seorang syiah yang shaduq” [At Tahdzib
juz 5 no 183]. Tidak ada satupun ulama terdahulu yang menyatakan Abbad
pendusta, baru setelah ia meriwayatkan hadis yang dikatakan maudhu’ ini
maka seorang Asy Syaukani menuduhnya pendusta. Saudara nashibi itu
mungkin tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tetapi sikapnya yang
menunjukkan gaya sok intelek itu memang cukup mengherankan. Yah seekor
serigala tentu akan melindungi anaknya.
Pembahasan Matan Hadis dan Hadis Keutamaan Muawiyah
Apalagi
jika kita lihat secara keseluruhan matan haditsnya, ia jelas-jelas
bertentangan dengan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
اللهم اجْعَلْه هادياً مَهْدياً، واهْدِ به
“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah
pembawa petunjuk yang memberikan petunjuk. Berikanlah petunjuk padanya
dan petunjuk (bagi umat) dengan keberadaannya”.
Ini adalah hadits shahih tanpa ada keraguan.
Tidak heran kalau seorang nashibi bersikeras menshahihkan hadis keutamaan Muawiyah di atas karena dari Muawiyahlah mereka para nashibi mengambil petunjuk. Hadis tersebut tidaklah shahih
dan kami telah menjelaskan panjang lebar kelemahan hadis tersebut.
Tulisan saudara nashibi itu justru menguatkan hujjah kami akan kelemahan
hadis tersebut. Kelemahan hadis tersebut terletak pada idhthirab hadis
tersebut yang berupa kekacauan mengenai orang yang dinyatakan sebagai
sahabat yaitu Abdurrahman. Terkadang ia disebut Abdurrahman bin Abi
Amiirah [Umairah dalam beberapa referensi yang ada pada kami], terkadang
Abdurrahman bin Amiirah, terkadang Abdurrahman bin Amiir, terkadang ia
dikatakan Al Azdi dan terkadang dikatakan Al Muzanni. Semua kekacauan
ini semuanya diriwayatkan pada sanad yang berujung pada Sa’id bin Abdul
Aziz. Sa’id bin Abdul Aziz walaupun dikenal tsiqat tetapi diriwayatkan
kalau ia mengalami ikhtilat, sehingga sangat mungkin kekacauan ini
berasal dari Sa’id bin Abdul Aziz.
Saudara nashibi itu justru tidak memahami
ta’lil terhadap Sa’id bin Abdul Aziz. Pencacatan Sa’id dalam hadis ini
bukan berarti pencacatan mutlak untuk setiap hadis Sa’id bin Abdul Aziz.
Dengan mengumpulkan semua hadis ini maka akan ditemukan kekacauan
seperti yang telah kami sebutkan dan kekacauan tersebut tidak bisa
dinafikan oleh argumen basa basi saudara nashibi yang tampak dalam
tulisannya. Contohnya:
- Nashibi itu ketika mengomentari penamaan Abdurrahman bin Abi Amiirah
dan Abdurrahman bin Amiirah, ia menyebutkan kalau kedua nama itu
merujuk pada satu orang yang sama. Kata-kata ini menunjukkan ia tidak
memahami ta’lil yang dimaksudkan. Perbedaan nama itu memang tsabit
adanya dan keduanya berasal dari Sa’id bin Abdul Aziz begitu pula
kekacauan yang lain. Walaupun mau dikatakan merujuk pada orang yang
sama, orang yang sama itu sendiri tidak jelas, apakah Ibnu Abi Amiirah
atau Ibnu Amiirah?. Tidak ada alasan untuk menafikan salah satu karena
keduanya memang diriwayatkan melalui sanad yang tsabit sampai Sa’id bin
Abdul Aziz. Sehingga bisa dikatakan kalau sumber kekacauan ini berasal
dari Sa’id bin Abdul Aziz.
- Begitu pula ketika mengomentari soal kekacauan Al Azdi dan Al
Muzanni, saudara nashibi itu dengan mudahnya bertaklid pada ulama yang
lebih memilih Al Muzanni seperti Ibnu Asakir dan Al Mizzi. Padahal ulama
lain seperti Ahmad bin Hanbal dengan jelas menyatakan Al Azdi [dalam
Musnadnya]. Tidak ada alasan untuk menafikan salah satu. Baik Al Azdi
dan Al Muzanni keduanya memang diriwayatkan melalui sanad yang tsabit
sampai Sa’id bin Abdul Aziz. Sehingga bisa dikatakan kalau sumber
kekacauan ini berasal dari Sa’id bin Abdul Aziz.
Kekacauan itu yang menunjukkan berasal
dari satu orang yaitu Sa’id bin Abdul Aziz. Dan ternyata dia ini
diriwayatkan juga mengalami ikhtilat sebelum wafat. Maka sangat
beralasan untuk meragukan status persahabatan Abdurrahman karena dari Sa’id bin Abdul Aziz lah diketahui bahwa Abdurrahman seorang sahabat Nabi,
padahal dalam hadis ini Sa’id tersebut terbukti mengalami kekacauan.
Itulah cacat yang kami maksudkan dan tidak dipahami oleh saudara nashibi
tersebut.
Lagipula kalau matan hadis tersebut
benar-benar diperhatikan maka didalamnya terdapat kemungkaran yang
nyata. Bagaimana mungkin Muawiyah dikatakan memperoleh petunjuk dan
memberikan petunjuk jika pada kenyataannya ia banyak melakukan
penyimpangan dalam agama?. Kami telah cukup banyak menulis tentang
penyimpangan yang dilakukan Muawiyah. Yah tentu saja lain ceritanya jika
salafy nashibi menganggap penyimpangan itulah petunjuk dari Muawiyah,
maka kita umat islam berlepas diri dari mereka.
Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai sahabat Ammar bin Yasir RA
ويقول ويح عمار تقتله الفئة الباغية يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار قال فجعل عمار يقول أعوذ بالرحمن من الفتن
Dan Rasulullah SAW bersabda
“kasihan Ammar, ia dibunuh oleh kelompok pembangkang. Ia mengajak mereka
ke surga, mereka malah mengajaknya ke neraka. Ammar berkata “Aku
berlindung kepada Ar Rahman dari fitnah”. [Musnad Ahmad 3/90 no 11879 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]
Bukankah yang membunuh Ammar bin Yasir adalah kelompok Muawiyah.
Perhatikanlah baik-baik Rasulullah SAW tidak menyebut kata “orang yang
membunuhnya” tetapi Rasulullah SAW menggunakan kata “kelompok”. Yang
membunuh Ammar bin Yasir adalah Abu Ghadiyah dan dia berasal dari
kelompok Muawiyah. Maka sudah jelas kelompok pembangkang yang mengajak
ke neraka adalah kelompok Muawiyah. Bukankah kelompok Muawiyah jelas
mengikuti Muawiyah dan merujuk pada hadis yang dishahihkan nashibi itu
maka Muawiyah itu mendapat petunjuk dan pemberi petunjuk. Padahal
kelompok Muawiyah itu malah disebut pembangkang dan menyeru ke neraka.
Itukah yang disebut petunjuk [mungkin petunjuk bagi nashibi]. Sudah
jelas hadis petunjuk Muawiyah itu benar-benar mungkar dan bertentangan
dengan kabar yang shahih bahwa Muawiyah termasuk kelompok pembangkang
yang mengajak ke neraka.
Dan lihatlah bagaimana seorang Muawiyah
yang merupakan sumber petunjuk salafy nashibi berkelit dan berbasa-basi
dalam pembelaannya [persis seperti salafy nashibi sekarang]
عن عبد الله بن الحرث قال اني لأسير مع
معاوية في منصرفه من صفين بينه وبين عمرو بن العاص قال فقال عبد الله بن
عمرو بن العاصي يا أبت ما سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعمار
ويحك يا بن سمية تقتلك الفئة الباغية قال فقال عمرو لمعاوية ألا تسمع ما
يقول هذا فقال معاوية لا تزال تأتينا بهنة أنحن قتلناه إنما قتله الذين
جاؤوا به
Dari Abdullah bin Al Harits yang
berkata “Aku berjalan bersama Muawiyah dan Amru bin Ash selepas perang
shiffin. Abdullah bin Amru bin Ash berkata “wahai Ayahku tidakkah engkau
mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ammar “kasihan engkau Ibnu
Sumayyah, engkau dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Amru berkata kepada
Muawiyah”tidakkah engkau mendengar perkataannya”. Muawiyah berkata
”apakah kita yang membunuh Ammar, sesungguhnya yang membunuhnya adalah
orang yang membawanya” [Musnad Ahmad 2/161 no 6499 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]
Jadi menurut petunjuk Muawiyah maka yang
membunuh Ammar bin Yasir adalah orang yang membawanya ke medan
perperangan yaitu Imam Ali. Muawiyah ingin membuat takwil terhadap hadis
tersebut sehingga ia membuat dalih dengan menunjukkan kalau kelompok
pembangkang itu adalah kelompok yang membawa Ammar yaitu kelompok Imam
Ali. Yah siapapun yang berlogika baik pasti tahu kalau perkataan yang
diucapkan Muawiyah itu cuma berkelit, dalih atau hujjah basa-basi untuk
menafsirkan secara batil hadis yang jelas menyudutkannya. Cara-cara
berdalil gaya Muawiyah inilah yang dijadikan panutan oleh salafy nashibi
sekarang ini.
Apakah
mungkin beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membunuh
Mu’awiyyah padahal ia berdoa agar ia diberikan petunjuk dan dapat
memberikan petunjuk bagi orang lain ?
Bagi kami hadis tersebut jelas lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Sanadnya
mudhtharib ghairu tsabit dan
matannya mungkar [bertentangan dengan riwayat shahih]. Sedangkan hadis
“Jika kamu melihat Muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah ia” sanadnya hasan
dan matannya telah kami bahas panjang lebar dalam tulisan yang khusus :
Pembahasan matan hadis “jika kamu melihat Muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah Ia”.
Apalagi
Mu’awiyyah juga seorang sekretaris Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
Haditsnya shahih, walau ini juga diingkari oleh Syi’ah seperti kebiasaan
mereka terhadap Mu’awiyyah. Semoga satu saat nanti saya dimudahkan
untuk menulis bahasannya. Hanya saja, dalam kitab mereka (Syi’ah) juga
tertulis riwayat sebagai berikut (yang dinisbatkan pada Abu Ja’far
Al-Baaqir) :
Muawiyah pernah menulis untuk Nabi tetapi
tidak jelas apakah itu menulis wahyu atau menulis surat. Walaupun
begitu jelas saja ini tidak ada hubungannya. Sangat wajar Rasulullah SAW
meminta seseorang yang bisa menulis untuk menuliskan sesuatu. Lagipula
bahkan seorang penulis wahyu bisa saja mendapat laknat dari Allah SWT.
Silakan cari hujjah yang lebih relevan, dan gak perlu berhujjah pakai
kitab syiah.
Dan juga riwayat-riwayat shahih lainnya tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhuma.
Ada juga riwayat-riwayat shahih lain tentang celaan terhadap Muawiyah bin Abi Sufyan.
Maka,
sangat sulit dipahami jika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk membunuh Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan (jika berdiri
di atas mimbarnya) dengan data-data valid seperti di atas. Lha wong
kepada gembong munaafiq yang sudah jelas kemunafiqannya yang bernama
Ibnu Saluul saja beliau tidak memerintahkan membunuhnya, apalagi kepada
Mu’aawiyyah !! Semua itu hanya dapat dipahami dengan logika ala Syi’ah
saja…….
Seorang nashibi memang cuma bisa berpikir
dengan logika ala nashibi saja. Memangnya orang munafik itu bisa
dibunuh seenaknya, bahkan orang kafir saja tidak bisa dibunuh sesuka
hati. Tetapi jika memang ada alasannya maka tidak hanya kafir dan
munafik,orang islam pun bisa saja diperintahkan untuk dibunuh misalnya
saja jika terbukti orang tersebut dengan sengaja membunuh orang lain
maka berlaku hukum bunuh untuknya.
Seorang Nabi memang memiliki pengetahuan
khusus dari Allah SWT [silakan baca kisah Nabi Khidir]. Rasulullah SAW
terkadang memiliki alasan khusus yang mendasari apa yang Beliau katakan.
Rasulullah SAW pernah memerintahkan membunuh seseorang yang sedang
shalat dimana para sahabat ternyata tidak mampu untuk memenuhi perintah
Nabi SAW tersebut. Kemudian Nabi SAW menyebutkan alasannya bahwa orang
tersebut dan keturunannya akan memecah belah kaum mukmin [mereka ini
yang disebut khawarij].
Jadi tidak ada susahnya untuk dikatakan
kalau Rasulullah SAW bisa saja mengetahui ketika Muawiyah berada di
mimbar Nabi [dalam arti memegang kekuasaan atas kaum muslim] maka ia
melakukan banyak penyimpangan yang membuat dirinya layak untuk dihukum
bunuh. Perkara orang-orang atau sahabat tidak mau atau tidak mampu
melakukannya [di masa Muawiyah berkuasa] itu cerita lain, sama halnya
dengan para sahabat yang tidak mampu membunuh seseorang yang sedang
shalat[seperti yang kami katakan sebelumnya].
Seharusnya hadis “jika kamu melihat
Muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah ia” dipahami dalam arti umat islam
seyogianya tidak mendukung Muawiyah dalam meraih kekuasaan karena hadis
tersebut menyiratkan betapa buruknya pemerintahan yang akan dipimpin
Muawiyah nanti. Sama seperti hadis Nabi SAW tentang khawarij.
يخرج قوم في آخر الزمان سفهاء الأحلام أحداث
أو قال حدثاء الأسنان يقولون من خير قول الناس يقرؤون القرآن بألسنتهم لا
يعدو تراقيهم يمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية فمن أدركهم
فليقتلهم فإن في قتلهم أجرا عظيما عند الله لمن قتلهم
Akan muncul di akhir zaman kaum
yang akalnya dangkal, muda atau beliau berkata yang berusia muda, mereka
mengucapkan sebaik-baik perkataan manusia, mereka membaca Al Qur’an
dengan lisan mereka tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka
keluar dari islam seperti keluarnya anak panah dari busurnya.
Barangsiapa mendapati mereka maka bunuhlah mereka karena terdapat pahala
yang besar di sisi Allah bagi yang membunuh mereka. [Musnad Ahmad 1/404 no 3831 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]
Bukankah hadis di atas dengan jelas
memerintahkan membunuh kaum khawarij bagi siapa yang mendapati mereka.
Tetapi lihatlah bagaimana Imam Ali dan sahabat lain memperlakukan kaum
khawarij. Mereka tidak langsung begitu saja membunuh kaum khawarij
ketika bertemu dengan mereka. Mereka tetap menyampaikan dakwah, nasehat
dan peringatan kepada kaum khawarij, tidak main asal bunuh dengan
seenaknya. Berarti hadis di atas tidak mesti harus diartikan “langsung
membunuh” begitu saja. Hadis di atas justru sedang menunjukkan betapa
buruknya kaum khawarij tersebut dan betapa perbuatan mereka membuat
mereka layak untuk dihukum bunuh.
Begitupula dengan para ulama. Rasanya
mereka juga tidak pernah menyatakan kalau khawarij itu orang kafir
mereka tetap menyebut khawarij itu orang islam tetapi melakukan bid’ah.
Walaupun hadis di atas menyebutkan khawarij itu keluar dari islam
seperti anak panah lepas dari busur. Tentu yang dimaksudkan adalah
perbuatan-perbuatan mereka tidak mencerminkan keislaman bahkan sangat
bertentangan dengan ajaran islam walaupun secara zahir mereka mengaku
islam. Lihat saja cukup banyak para perawi hadis yang khawarij justru
dijadikan hujjah oleh para ahli hadis seperti yang tertera dalam Bukhari
Muslim dan Ashabus Sunan. Para ulama itu ketika bertemu dengan perawi
khawarij mereka malah mengambil hadis darinya bukannya langsung membunuh
perawi khawarij tersebut. [walaupun patut disayangkan khawarij yang
sangat buruk sekali kedudukannya tetap dijadikan sumber hadis bagi para
ahli hadis]
Terakhir penulis nashibi itu juga melakukan talbis lain yaitu menuduh kami melakukan inkonsistensi. Lucu sekali, ia berkata
CATATAN KECIL :
Coba kita perhatikan tulisan yang
antum tunjukkan itu. Pada tulisannya, penulis Rafidlah itu berkata saat
membicarakan ‘Aliy bin Al-Mutsannaa :
”Pernyataan ini lebih tepat karena Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat”.
Dari awal kami tidak pernah merendahkan
taustiq Ibnu Hibban, tidak seperti salafy nashibi yang seenaknya
merendahkan tautsiq Ibnu Hibban tetapi anehnya ia sendiri malah
berhujjah dengan tautsiq Ibnu Hibban untuk membela keyakinannya. Sejauh
ini kami telah berdiskusi dengan nashibi itu soal dua buah hadis yaitu
hadis Malik Ad Daar dan hadis Ru’yah. Pada pembahasan hadis Malik Ad
Daar kami justru menjadikan tautsiq Ibnu Hibban sebagai hujjah. Hanya
pada pembahasan hadis ru’yah Abdurrahman bin ‘Aaisy kami menolak tautsiq
Ibnu Hibban karena disini Ibnu Hibban dengan jelas menyatakan Ibnu
‘Aaisy itu sebagai sahabat. Hal ini telah kami buktikan kekeliruannya.
Ibnu ‘Aaisy bukanlah sahabat Nabi seperti yang dikatakan Ibnu Hibban.
Jadi dimana letak inkonsistensinya, tentu saja lain ceritanya kalau
nashibi ini tidak mengerti pembahasan panjang lebar yang sudah kami
tulis. Seperti biasa, ia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Selain
itu ternyata nashibi yang menyedihkan itu juga menuduh kami tidak
konsisten dalam pembahasan hadis ru’yah mengenai perawi Khalid bin Al
Lajlaaj. Seperti biasa nashibi itu berulang kali menunjukkan
ketidakmampuannya memahami hujjah orang lain. Kami pernah berkata soal
Khalid
“Khalid bin Al Lajlaaj disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 215 bahwa tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats Tsiqat. Hal ini menunjukkan bahwa Khalid tidak dikenal kredibilitasnya atau walaupun ia adil tetapi bisa saja bermasalah dalam hal kedhabitannya (hafalannya)“.
Disini kami tidak sedang menolak ta’dil
terhadap Khalid tetapi kami sedang mengira-ngira siapa sebenarnya sumber
kekacauan hadis ru’yah tersebut apakah Ibnu ‘Aaisy atau Khalid?. Disini
kami cuma menunjukkan kemungkinan bahwa Khalid bisa saja tertuduh
[tetapi pada akhirnya kami tetap berpandangan sumber kekacauan itu
adalah Ibnu “Aaisy]. Tetapi sayang sekali nashibi itu tidak mengerti
atau pura-pura tak mengerti, kami tidak menolak ta’dil terhadap Ibnu
‘Aaisy buktinya dengan jelas kami bahkan menuliskan
“Khalid bin Al Lajlaaj hanya ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. Khalid bin Al Lajlaaj dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 4 no 2513 dan berkata “dia tergolong orang yang utama di zamannya”. Kami tidak menolak predikat ta’dil terhadap Khalid bin Al Lajlaaj
tetapi jika Walid bin Muslim yang tsiqah saja bisa dikatakan salah
oleh para ulama maka apalagi Khalid bin Al Lajlaaj yang hanya mendapat
predikat shaduq dari Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/262. Tidak
menutup kemungkinan Khalid bin Al Lajlaaj melakukan kesalahan dan jika
bukan dia maka yang melakukan kesalahan adalah Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhrami sendiri“
Kenyataannya justru yang tidak konsisten
ya nashibi itu, sering kali ia tidak menghiraukan tautsiq Ibnu Hibban
dalam tulisan-tulisannya tetapi ketika ia terpojok dan hadis yang memuat
keyakinan atau bid’ahnya ternyata tidak memiliki dasar maka dengan
tidak malu-malu ia berhujjah dengan tautsiq Ibnu Hibban. Menuduh orang
lain padahal diri sendiri yang sebenarnya tertuduh, begitulah tabiat
nashibi
Juga saat membicarakan Mujaalid bin Sa’iid :
” Disebutkan dalam At Tahdzib juz 10
no 65 bahwa dia salah satu perawi Muslim yang berarti Muslim memberikan
predikat ta’dil padanya”.
Perlu diingatkan, perkataan di atas
bukanlah hujjah bagi kami karena kami sendiri menyebutkan kalau hadis
Mujalid tersebut dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad lain sehingga menjadi
hasan lighairihi. Jika kami menjadikan pernyataan di atas sebagai
hujjah maka kami akan dengan mudah menyatakan Mujalid tsiqah, tetapi
kami tidak melakukannya. Ini menunjukkan kalau pernyataan di atas hanya
sekedar perincian semata. Jika pernyataan kami yang ia kutip tersebut
ditolak atau tidak benar maka itu tidak akan merubah apapun dalam
tulisan kami. Hadis Mujalid tetaplah seperti yang kami katakan.
Berbeda halnya dengan kasus Ibnu ‘Aaisy,
jika pembaca ingat sebelumnya nashibi ini dengan seenaknya menyatakan
Ibnu ‘Aaisy tsiqah dengan dasar pentashihan Bukhari terhadap hadis Ibnu
‘Aaisy [padahal hadis yang dishahihkan Bukhari itu terbukti
mudhtharib]. Jelas-jelas ia menjadikan pentashihan hadis tersebut
sebagai hujjah bukti tsiqahnya Ibnu ‘Aaisy berbeda halnya dengan kami
yang hanya menyebutkan saja mengenai penta’dilan Muslim terhadap
Mujalid. Jadi dimana letak inkonsistensinya, tentu saja lain ceritanya
kalau nashibi ini tidak bisa memahami dengan baik hujjah orang lain.
Satu hal yang harus kami luruskan adalah
kami tidak pernah menolak kaidah penta’dilan dengan dasar penshahihan
tetapi bagi kami kaidah tersebut tidak bisa seenaknya digunakan sesuka
hati. Lihat baik-baik kami sebelumnya berkata
Siapa yang menolak kaidah yang saudara
sampaikan, pembahasan saya justru menunjukkan kalau kaidah tersebut
tidak relevan dijadikan hujjah untuk menta’dil Ibnu ‘Aaisy. Kalau ia
bersikeras berpegang pada penshahihan Bukhari, orang lain juga dapat
berpegang pada pernyataan Bukhari bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy mudhtharib.
Anehnya sejak kapan hadis mudhtharib itu menjadi hadis shahih.
Jadi disini hadis yang dishahihkan oleh
Ibnu ‘Aaisy itu adalah hadis yang terbukti mudhtharib dan sumber
kekacauannya adalah Ibnu ‘Aaisy itu sendiri. Jadi hadis itu sebenarnya
dhaif dan penshahihan Bukhari itu ternyata keliru. Memang terdapat
penukilan pendapat Bukhari yang menshahihkan hadis ru’yah tetapi Bukhari
sendiri menuliskan dalam biografi Ibnu ‘Aaisy kalau ia seorang perawi yang hanya memiliki satu hadis dan hadis tersebut mudhtharib.
Kita bisa saja menjamak kedua pernyataan Bukhari tersebut. Mungkin pada
awalnya Bukhari menyatakan hadis tersebut shahih karena ia belum
melihat seluruh jalan sanad Ibnu ‘Aaisy tetapi setelah ia meneliti semua
jalan sanad Ibnu ‘Aaisy maka ia menemukan adanya idhthirab yang
bersumber pada Ibnu ‘Aaisy oleh karena itulah ia menyatakan kalau
hadisnya Ibnu ‘Aaisy mudhtharib. Jadi bisa saja Bukhari rujuk dari
pandangannya menshahihkan hadis Ibnu ‘Aaisy dan dalam kitabnya sendiri
ia menuliskan bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy mudhtharib. Jadi kaidah penta’dilan dengan dasar penshahihan
tidak bisa dipakai disini dengan kata lain sangat tidak relevan.
Apalagi hadis yang menjadi dasar penta’dilan dan hadis yang mau
dinyatakan shahih itu adalah hadis yang sama dan ini membawa kepada
lingkaran setan yang menyesatkan. kami sebelumnya juga berkata
Hadis Ibnu ‘Aaisy ini jelas mudtharib dan tidak ada gunanya penshahihan yang tidak memiliki dasar. Aneh bin ajaib justru penshahihan tidak berdasar itu dijadikan hujjah akan penta’dilan Ibnu ‘Aaisy yang ujungnya nanti dijadikan hujjah untuk menshahikan hadis tersebut.
Ini lingkaran setan yang tidak pernah bisa dipahami oleh salafy yang
memang tidak mempelajari logika berpikir dengan baik. Ia hanya sibuk
dengan kitab-kitab rijal dan perkataan ulama ini itu tanpa menelaahnya
dengan kritis
Sebenarnya semua pembahasan kami tentang
hadis ru’yah sudah cukup jelas tetapi sayang sekali orang nashibi itu
tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami tulisan orang lain.
Seperti yang sudah kami katakan berulangkali, nashibi itu terlalu asyik
dengan pikirannya sendiri. Jika sudah berurusan dengan keyakinan atau
bid’ah yang ia yakini maka ia tidak tertarik dengan kebenaran hujjah
orang lain, apapun yang dikatakan orang lain tidak ada nilainya menurut
pandangannya. Yah sejak kapan nashibi mau mengakui kalau keyakinannya
[bid’ahnya] itu salah. harap maklum sajalah
Bagi
yang sering mengikuti diskusi saya dengan Penulis Rafidlah tersebut di
Blog ini tentu akan mengetahui inkonsistensi pernyataan di atas dengan
bahasan-bahasan lain yang ia tulis di Blognya. Atau dengan bahasa
sederhana, manhajnya dalam jarh dan ta’dil tidak jelas. Mengambil
perkataan yang hanya mendukung bid’ah Rafidlahnya saja…..
Berhentilah untuk mengelabui orang.
Manhaj jarh wat ta’dil siapa yang menurut anda jelas?. Manhajnya ibnu
Ma’in [yang diriwayatkan banyak pertentangan dari murid-muridnya],
manhajnya Abu Hatim [yang dikatakan banyak mencacat para perawi shahih],
manhajnya Ibnu Hibban [yang dikatakan salafy sering mentsiqahkan perawi
majhul], manhajnya Al Jauzjani [yang mendhaifkan banyak perawi
tasyayyu’] atau manhaj Syaikh Al Albani [yang mengandung banyak
kontradiksi dalam kitabnya]. Pernahkah anda wahai nashibi menyebut
manhaj-manhaj mereka dengan sebutan tidak jelas.
Padahal nashibi ini sendiri malah sangat tidak jelas manhajnya. Silakan pembaca perhatikan dengan baik tulisannya soal hadis Iftiraq Al Ummah “Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya”,
ia dengan gampangan menyatakan hadis tersebut hasan lighairihi padahal
hadis tersebut kualitas sanadnya dhaif dan kalau mau dibandingkan, hadis “jika kamu melihat muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah ia” lebih kuat sanadnya dibanding hadis Iftiraq Al Ummah “Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya”.
- Hadis Iftiraq Al Ummah “Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya”
diriwayatkan dengan dua jalan sanad. Sanad pertama terdapat Al Ifriqi
yang dhaif dan kedudukannya tidak beda dengan Ali bin Zaid dan Mujalid.
Sedangkan sanad kedua terdapat Abdullah bin Sufyan yang dhaif majhul dan
jelas kedudukannya lebih rendah dari Al Ifriqi. Al Ifriqi dan Abdullah
bin Sufyan yang lebih rendah dari Al Ifriqi tidak akan mengangkat hadis
tersebut ke derajat hasan lighairihi.
- Hadis “jika kamu melihat muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah ia ” diriwayatkan
dengan 4 sanad [yang kami bahas] yaitu sanad pertama Ali bin Zaid
dhaif [kedudukannya sama dengan Al ifriqi] sanad kedua Mujalid
[kedudukannya sama dengan Al ifriqi]. Hadis Ali dan Mujalid ini saja
jika digabungkan bisa saling menguatkan dan bisa dikatakan hasan lighairihi.
Hadis ketiga riwayat Hasan bashri [shahih mursal] dan riwayat Al
Baladzuri yaitu Ashim dari Zirr [sanad yang hasan]. Jika digabungkan
hadis ini jelas jauh lebih kuat sanadnya daripada hadis Iftiraq Al Ummah “Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya”.
Jadi sepertinya manhajnya nashibi itu
sangat tidak jelas, ia dengan mudah mengambil perkataan yang dapat
mendukung keyakinannya atau mendukung bid’ah nashibinya saja. Akhir kata
selamat merenungkan, beruntunglah mereka yang mendengar perkataan dan mengambil yang paling baik di antaranya.
Salam Damai.