Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Sujud. Show all posts
Showing posts with label Sujud. Show all posts

Inilah Rahasia Sujud

Salat adalah sebuah ibadah sangat penting yang dijadikan oleh para imam maksum Ahlul Bait as sebagai tolok ukur pengikut sejati mereka.

Oleh: Muhammad Taufiq Ali Yahya

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ditanya tentang hikmah sujud. Beliau menjawab,
Sujud pertama berarti: Pada awal mulanya saya berasal dari tanah. Ketika engkau mengangkat kepala dari sujud (pertama), lintaskan dalam hatimu: Saya dihidupkan dari dalam tanah.

Sujud kedua berarti: Saya akan kembali masuk ke dalam tanah. Dan sewaktu kamu mengangkat kepala (dari sujud kedua), itu berarti: Pada hari Kiamat, saya akan dibangkitkan dari kubur.”

۞ مِنْهَا خَلَقْنَٰكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَىٰ

Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain,(QS, Thoha [22], 55).

Imam Ja’far As-Shadiq mengatakan,  
“Sujud adalah untuk Allah. Oleh karena itu, dilarang sujud di atas sesuatu yang dimakan dan dikenakan sebagai pakaian, yang merupakan pusat perhatian pecinta dunia. Sujud harus menjadikan manusia tertuju kepada Allah, bukan tertuju pada perut, pakaian dan hal-hal materi lainnya.”

Imam Ali bin Abi Thalib berkata,
Bentuk lahir sujud adalah meletakkan kening di atas tanah dengan ikhlas dan khusuk. Adapun batin sujud adalah menjauhkan hati dari semua perkara yang semu, mengikatkan hati dengan sumber kekekalan, serta melepaskan diri dari kesombongan, fanatisme dan seluruh kebergantungan duniawi.” []

(MahdiNews/ABNS)

SUJUD PADA ALAS LANTAI SELAIN DARI BUMI ADALAH MENYALAHI ARAHAN AL-QURAN


Keputusan dari ahli fiqh shia, mengikuti Imam yang suci, adalah dengan jelas mematuhi arahan al-Quran. Sebagai contoh, ulama kamu menganggap bulu, kapas, sutera dan alas lantai yang lain sama dengan bumi. Tetapi dengan jelas benda itu bukan bumi. Tetapi shia, di dalam mematuhi Imam mereka dari ahli bayt nabi yang berkata, ‘Sujud adalah haram diatas yang lain, selain bumi atau apa-apa yang tumbuh dari bumi dan tidak digunakan untuk makan atau pakai.’ Atas sebab ini kamu katakan mereka kafir. Sebaliknya kamu tidak mengatakan sujud pada najis kering kafir. Dan amat jelas sujud pada bumi [sebagaimana diarahkan oleh Allah] dan sujud pada alas lantai adalah berbeza.

Sheikh: Kamu melakukan sujud pada sekeping tanah yang diambil dari Karbala. Kamu menyimpan tanah kecil itu. Ianya adalah seripa berhala, dan kamu menganggap sujud diatasnya wajib. Yang pastinya amalan yang sedimian adalah bertentangan dengan amalan muslim lainnya.

Shirazi: Telah menjadi tabiat kamu yang kedua mengikuti mereka yang terdahulu dengan secara buta, walaupun ianya tidak sesuai bagi manusia yang adil seperti kamu untuk mengatakan tanah suci dari karbala adalah seperti berhala.

Tuan yang dihormati! Kritikan terhadap mana-mana kepercayaan hendaklah berdasarkan pada pembuktian. Jika kamu merujuk pada buku-buku perundangan agama shia, kamu akan dapat jawapan dari kritikan kamu, dan kamu tidak akan diselewengkan oleh saudara sunni dengan bantahan palsu.

MENURUT ULAMA SUNNI SUJUD PADA NAJIS DAN KOTORAN YANG KERING DIBOLEHKAN


Ramai ulama sunni menerima penterjemahan perundangan yang bertentangan dengan arahan yang jelas dari al-Quran, dan bahkan mereka berikan terjemahan yang lemah pada perundangan yang jelas. Ahli perundangan kami berikan pendapat yang sebaliknya. Kamu masih tidak mengatakan amalan mereka sebagai kafir. Tetapi pada amalan kami pada sujud, kami melaungkan bantahan, dengan mengatakan shia menyembah berhala, sedang kamu abaikan kenyataan ulama kamu bahawa sujud pada najis yang kering dibolehkan.

Apakah Nabi Saww Pernah Lupa Dalam Shalat


Oleh: Mohammad Habri Zen

Hadits Lupa di Dalam Kitab “Al-Faqih”.
Didalam Ilmu kalam, menisbatkan sifat lupa kepada nabi saww adalah sesuatu yang mustahil, bahkan dalam segala hal nabi saww tidak pernah lupa, sebab kalau nabi saw pernah lupa dalam sesaat saja, berarti dimungkinkan pula nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu Tuhannya, dan hal itu berhubungan dengan masalah aqidah  yang harus ditolak. Dilain hal ulama besar Syiah seperti Syeikh Shaduq ra pernah mengatakan didalam kitab manla yahdhuruhu alfaqih, dengan mengutip riwayat mengenai shalat, bahwa nabi saww pernah shalat qadha subuh dan lupa didalam shalat dan melakukan sujud sahwi bahkan ekstremnya, orang yang tidak mempercayai nabi saww pernah lupa salah satu ciri dari ghulu.[1]

Riwayat yang dibawa Syeikh Shaduq adalah  :

وروى الحسن بن محبوب عن الرباطي، عن سعيد الاعرج قال: ” سمعت أبا عبدالله عليه السلام يقول: إن الله تبارك وتعالى أنام رسوله صلى الله عليه وآله عن صلاة الفجر حتى طلعت الشمس، ثم قام فبدأ فصلى الركعتين اللتين قبل الفجر، ثم صلى الفجر، وأسهاه في صلاته فسلم في ركعتين ثم وصف ما قاله ذو الشمالين و إنما فعل ذلك به رحمة لهذه الامة لئلا يعير الرجل المسلم إذا هو نام عن صلاته أو سها فيها فيقال: قد أصاب ذلك رسول الله صلى الله عليه وآله.

Al-Husein Ibn Mahbûb meriwayatkan dari Arribâthi, dari Sa’îd al-A’râj berkata : Aku mendengar Aba Abdillah as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menidurkan Rasulullah saww sampai terbit matahari dan nabi saww dalam keadaan belum shalat shubuh, kemudian rasul saww bangun dan melaksanakan shalat dua rakaat (nafilah) sebelum shalat shubuh (qadha), kemudian melaksanakan shalat (qadha) Shubuh, dan Dia Swt juga membuat rasul saww lupa dalam shalatnya dengan memberi salam setelah rakaat kedua (dalam empat rakaat), kemudian yang mengingatkannya adalah dzu as-syimalain, hal itu terjadi untuk dijadikan rahmat bagi ummat ini (nabi saw), supaya tidak ada seorang lelaki muslim dihina karena ketiduran dan belum melaksanakan shalatnya atau lupa didalam shalatnya, dan dikatakan padanya bawa telah menimpa hal itu kepada rasulullah saww juga.[2]

Kemudian Syeikh Shaduq ra dalam hal ini membedakan antara sahw (lupa) dengan Isha (Melupakan-butuh objek), karena kalau  sahw (lupa) dinisbatkan kepada orang yang lalai karena pengaruh syaetan, sedangkan yang terjadi pada nabi bukanlah lupa dalam makna demikian tetapi Allah Swt secara langsung membuat lupa (isha’) nabi dalam hal itu, dan hal ini tidak diakibatkan oleh lalai atau pengaruh syaetan karena

 إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذينَ يَتَوَلَّوْنَهُ  

(Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah)[3]

dan nabi tidaklah berwala kepada syaetan. Begitu pula penulis sekaligus menjawab permasalahan yang menyatakan bahwa kalau nabi pernah lupa maka dimungkinkan nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu tabligh dan risalah, dengan jawabannya yaitu : hal itu terjadi kalau makna lupa adalah disebabkan karena lalai, tetapi hal ini berbeda bukan karena hal itu tetapi karena Allah yang membuat nabi lupa (isha’), dilain hal beliau mengatakan bahwa shalat adalah hal yang musytarak selain nabipun melakukannya sedangkan wahyu, tidaklah demikian karena merupakan hal yang khusus dan mustahil menisbatkan lupa dalam masalah wahyu tabligh kepada ummat.

Syeikh Mufid ra Menolak Pendapat Syeikh Shaqud ra
Sebagian ulama menerima pendapat Syeikh Shaduq mengenai isha nabi saww tsubutan (alam kemungkinan) bukan itsbâtan (alam dalil), sebagian lagi menolak sepenuhnya baik itu sahwi maupun isha karena bertolak belakang dengan dalil aqli dan naqli kemaksuman nabi secara mutlak, terutama Syeikh Mufid didalam risalahnya ‘adam sahwi an-nabi saww, yang mengatakan bahwa isha pun tidak mungkin terjadi, yang mana Syeikh Mufid berkeyakinan bahwa hadits tersebut adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan bagi permasalahan aqidah, dan juga beliau menambahkan bahwa hadits tersebut memiliki banyak permasalahan terutama dalam isi hadits tersebut, kadang menceritakan nabi saww lupa dalam shalat dzuhur sebagian riwayat dalam shalat ashar sebagian lagi dalam shalat isya,[4] dan juga hadits itu bertolak belakang dengan aqidah kemaksuman nabi saww. Sebagian Ulama seperti Alamah Jawadi Amuli dan ulama lainnya mengatakan kalau terjadi taarudh permasalahan naqliah dan aqliah yang sudah tsabit dalam permasalahan aqidah maka yang naqli itulah yang harus ditakwil bukan yang aqli.

Bagaimanapun pertentangan Ulama terhadap pernyataan Syeikh Shaduq ra dan riwayat yang diambilnya, sepanjang yang saya teliti hadits yang dibawa Syeikh Shaduq bisa dikatakan hadits sahih kalau perawinya yang bernama Ribâthi bukanlah Al-Hasan ibn Ribâthi Al-Bijli, karena nama itu adalah majhul belum ada keterangan didalam kitab-kitab rijal, sedangkan kalau yang dimaksud adalah Ali Ibn Al-Hasan Ibn Ar-Ribâthi maka dia adalah seorang imami yang tsiqah[5]. Oleh sebab itu dikarenakan nama musytarak yang ada dalam riwayat man la yahdhuruhu alfaqih  tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengitsbatkan kesahihan riwayat tersebut.

Isykal Pernyataan Syeikh Mufid ra
Syeikh Mufid mengatakan bahwa permasalahan lupa yang dinisbatkan kepada nabi saww adalah hadits ahad, hal tersebut jikalau dinisbatkan hanya kepada kitab “Al-Faqih” bisa dibenarkan tetapi kalau kita lihat didalam kitab-kitab lainnya seperti Al-Kâfi dan Istibshar maka kita akan menemukan hadits serupa yang lebih dari satu dengan kualitas sahih. Bahkan Syarif Murtadha (Ali Ibn Husein Musawi) didalam Al-Masâil An-Nâshiriyyât menjadikan hadits yang serupa sebagai dalil dalam fiqihnya mengenai sujud sahwi.[6]

Walapun sebenarnya hadits lain mengenai lupa didalam shalat dan sujud sahwi yang tidak dinisbatkan kepada Nabipun banyak jumlahnya.

Kita dapat melihat beberapa hadits sebagai contoh didalam Al-kafi sebagai berikut:

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (ع): …فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ (ص) صَلَّى بِالنَّاسِ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَهَا فَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ ذُو الشِّمَالَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَ نَزَلَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ (ص) أَتَقُولُونَ مِثْلَ قَوْلِهِ قَالُوا نَعَمْ فَقَامَ (ص) فَأَتَمَّ بِهِمُ الصَّلاةَ وَسَجَدَ بِهِمْ‏ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ …

Berkata Abu Abdillah as: …Sesungguhnya rasulullah saww pernah shalat dzhuhur berjamaah dua rakaat, karena lupa, kemuadian memberi salam akhir, kemudian Dzu As-Syimalain berkata wahai rasulullah saw, apakah ada yang kurang didalam shalat anda, Rasul menjawab : memang apa yang terjadi? Dzu As-Syimalain berkata sesungguhnya anda telah shalat dua rakaat, kemudian Rasul Saww bertanya kepada yang lainnya : apakah kalian melihat benar apa yang dia katakan , mereka berkata : betul, kemudian rasulullah saww, meneruskan shalatnya lalu melaksanakan sujud sahwi…[7]

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَعِيدٍ الأَعْرَجِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (ع) يَقُولُ صَلَّى رَسُولُ اللهِ (ص) ثُمَّ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ مَنْ خَلْفَهُ يَا رَسُولَ اللهِ أَحَدَثَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ قَالَ وَمَا ذَلِكَ قَالُوا إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ أَكَذَلِكَ يَا ذَا الْيَدَيْنِ وَكَانَ يُدْعَى ذَا الشِّمَالَيْنِ فَقَالَ نَعَمْ فَبَنَى عَلَى صَلَاتِهِ فَأَتَمَّ الصَّلاةَ أَرْبَعاً وَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي أَنْسَاهُ رَحْمَةً للأُمَّةِ …

Berkata Sa’îd Al-A’râj aku mendengar Aba Abdillah as bersabda : Rasulullah melakukan salam setelah dua rakaat, kemudian dibelakangnya bertanya : wahai rasulullah saww apakah terjadi kekurangan didalam shalat? Rasul saww menjawab : apa yang terjadi?, mereka berkata : anda telah shalat dua rakaat, rasul saww bertanya : apakah hal itu benar wahai Dzulyadain, yang mana dipanggil Dzu as-Syimalain, dia berkata betul, kemudian rasul saww meneruskan shalatnya dan menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat, kemudian Imam as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt lah yang melupakan nabi saww sebagai rahmat bagi umat…[8]

Kedua hadits tersebut dan masih ada lagi hadits serupa lainnya dalam bab yang sama didalam Alkafi dengan sanad sahih begitu pula didalam Tahdzib Al-Ahkam didalam bab ahkam As-Sahwi fi As-Shalat dengan sanad sahih pula, walaupun isi dari riwayat tersebut banyak ditemukan permasalahan diantaranya bertolak belakang dengan riwayat sahih lainnya.

Ta’arudh Hadits
Riwayat-riwayat yang sahih yang menceritakan mengenai kejadian lupa didalam shalat yang dinisbatkan kepada nabi saww bertolak belakang isi kandungannya dengan banyak riwayat sahih lainnya semisal riwayat didalam tahdzib:

عَنْهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع هَلْ سَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ ص-‌سَجْدَتَيِ السَّهْوِ قَطُّ فَقَالَ لَا وَ لَا يَسْجُدُهُمَا فَقِيهٌ
‌قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الَّذِي أُفْتِي بِهِ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْخَبَرُ فَأَمَّا الْأَخْبَارُ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ ص سَهَا فَسَجَدَ فَإِنَّهَا مُوَافِقَةٌ لِلْعَامَّةِ وَ إِنَّمَا ذَكَرْنَاهَا لِأَنَّ مَا تَتَضَمَّنَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ مَعْمُولٌ بِهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ

Darinya (Muhammad ibn Ali Ibn Mahbub), dari Ahmad ibn Muhammad dari Al-Hasan ibn Mahbûb dari Abdillah ibn Bukair dari Zurârah berkata : aku bertanya Aba Ja’far as apakah Rasulullah saww pernah melaksanakan dua sujud sahwi (karena lupa) sekali saja, Imam as menjawab tidak , dan tidak pula pernah seorang Faqih (orang alim) melaksanakan dua sujut (sahwi) itu.

Muhammad Ibn Al-Hasan (Syeikh Thûsi) yang mana berfatwa dengan kandungan riwayat tersebut (menolak sahwi nabi) adapun riwayat yang mengatakan nabi lupa kemudian melaksanakan sujud sahwi adalah riwayat yang sesuai dengan pendapat mazhab âmmah dan kami menyebutkan riwayat ini karena kandungannya berlaku didalam ahkam seperti yang telah kami jelaskan. (dari sanalah tidak bisa diambil kesimpulan bahwa nabi pernah lupa) [9]

Hadits ini adalah sahih seluruh perawinya tsiqah imamiah, dan kandungannya bertolak belakang dengan hadits sahih lain yang telah disebutkan diatas, karena riwayat ini menolak sedikitpun bahwa nabi pernah lupa dan melakukan sujud sahwi,  adapun mengenai sifat nabi saww yang tak pernah lupa bahkan nabi saww mengetahui khabar langit dan bumi, sehingga tidak mungkin nabi bertanya kepada dzulyadain atau lainnya mengenai sesuatu yang nabi saww tidak ketahui dari lupanya. Riwayat tersebut disebutkan didalam riwayat sahih semisal riwayat dalam al-kâfi berikut ini :

 عده من اصحابنا، عن احمدبن محمد عن علي بن حديد، عن سماعه بن مهران قال :کنت عند ابي عبدالله و عنده جماعه من مواليه، فقال: اعرفوا العقل و جنوده و الجهل و جنوده تهتدو…فقال ابوعبدالله: ان الله خلق العقل …ثم جعل للعقل خمسه و سبعين جندا فکان مما اعطي الله العقل من الخمسه و السبعين الجند الخير و جعل ضده الشر…والعلم و ضده الجهل و التسليم و ضده الشک و التذکر و ضده السهو و الحفظ و ضده النسيان…فلا تجتمع هذا الخصال کلها من اجناد العقل الا في نبي اووصي او مومن قد امتحن الله قلبه للايمان …

Dari beberapa sahabat kamidari Ahmad ibn Muhammad dari Ali ibn Hadid, dari Samâ’ah ibn Mihrân berkata : ketika aku bersama Abu Abdillah as dan disekitarnya sekumpulan para pengikutnya, Imam as bersabda : jelaskanlah oleh kalian mengenai akal dan tentaranya, kebodohan dan tentaranya pula anda akan memperoleh petunjuk…Abu Abdillah as bersabda : sesungguhnya Allah menciptakan akal… kemudian menjadikan akal tujuh puluh lima tentara, dan yang diberikan oleh Allah Swt dengan tujuh puluh lima tentara kebaikan dan menjadikan pula lawannya kejelekan, Ilmu lawannya Kebodohan, yakin (kepatuhan) lawannya keraguan, tadzakkur lawannya sahw (lupa),  hapalan lawannya nisyân (lupa)… tidaklah terkumpul seluruh tentara akal (kebaikan) tersebut kepada seorangpun kecuali pada nabi, dan washinya atau mukmin yang telah Allah Swt uji mereka hatinya dengan keimanan…[10]

Hadits tersebut adalah sahih sanad, adapun iddat min ashhâbina (beberapa sahabat kami) pun muktabar ketsiqatannya mereka adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Ibn abdillah, Ahmad Ibn Abdillah ibn Umayyah, Ali Ibn Hasan yang meriwayatkan dari Ahmad ibn Muhammad Albarqi.[11]

Isi dari hadits tersebut  secara jelas menerangkan bahwa tazdzakur dan Hifz yang merupakan lawan dari lupa ada pada nabi dan washinya, sehingga tidak mungkin nabi memiliki sifat lupa (nisyân/sahw).
Dan masih banyak lagi hadits sahih lainnya yang menjelaskan hal yang serupa baik dengan manthuqnya atau mafhumnya yang menyatakan nabi tidak pernah lupa sedikitpun dan mengetahui urusan langit dan bumi.
Dan dari kedua belah kubu riwayat yang menyatakan nabi pernah lupa dan kubu lain yang menyebutkan nabi tak pernah lupa mengalami ta’ârudh, dan bagaimanakah kita menyelesaikan hal itu semua serta mencari jalan keluarnya?

Solusi permasalahan hadits yang muta’âridân (yang saling bertolak belakang)
Dari sanalah kita tidak bisa melihat riwayat hanya dari minhaj sanadi saja tetapi harus dilihat dari minhaj madhmûni, minhaj sanadi mengatakan kalau sanadnya sahih maka riwayat tersebut menjadi hujjah, sedangkan kita melihat diantara hadits secara sanad sahih terdapat madhmun (isi hadits) yang bertolak belakang seperti yang disebutkan diatas, oleh sebab itu mana yang harus kita pilih karena kedua-duanya hujjah menurut minhaj sanadi, tetapi kalau kita melihat minhaj Madhmûni, kita bisa melihat rujukan isi dan kandungannya yang bertolak belakang tadi dan mencari solusi lain dari pelajaran ushul fiqih.

Kalau kedua hadits tersebut sanad sahih, dan secara isi bertolak belakang maka hal itu terjadi ta’ârudh, atau didalam istilah Sayyid Syahid Baqir Shadrra “At-Tanâfi baina almadlûlain, wa lamma kâna ad-dalil hua al-ja’l fattanâfi almuhaqqiq littaârudh hua attanâfi baina al-ja’lain…”[12] bahkan ditambahkan didalamnya adalah taarudh diantara dua ja’l ( lisan dalil), yang mana didalam pembahasan kita kali ini adalah diantara dua kubu riwayat (dalil) diatas.

Disebutkan pula didalam ushul bahwa ta’ârudh diantara dua dalil tersebut ada yang mustaqir ada yang ghair mustaqir. Ta’ârudh gheir mustaqir adalah at-taârudh alladzi yumkinu ‘ilâjuhu bita’dîl dilâlah ahad ad-dalilain, wa ta’wîluha binahwin yansajim ma’a ad-dalîl al-âkhar[13] (ta’arudh yang mana dimungkinkan untuk dicarikan solusinya dengan mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya, dan mentakwilkan yang sesuai dengan dalil lainnya. Sedangkan yang mustaqir tidak mungkin ditemukan solusi dengan cara mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya. Ta’arudh gheir mustaqir bisa diambil solusi dengan cara al-jam’ al-‘urfi, maksudnya secara pandangan uruf bisa dicarikan solusinya baik itu dengan mencari salah satu dalil yang lebih dzahir (adzhar) dari yang dzahir, atau yang muqayyad dari yang muthlaq atau yang khas dari yang amm. Sedangkan kalau kita kembali lagi kedalam masalah kedua kubu dalil mengenai nabi pernah lupa atau tidak maka kita bisa meneliti bahwa kedua kubu hadits tersebut tidak bisa ditemukan dengan cara al-jam al-urfi, bahkan kedua kubu tersebut jelas-jelas masuk dalam kategori ta’arudh mustaqir. Lalu apa yang harus kita lakukan kalau memang hadits itu adalah taarudh mustaqir?
Didalam pembahasan Ushul dikatakan bahwa kalau mengalami ta’arudh mustaqir maka yang terjadi adalah tasâquth kila ad-dalilain (jatuh kedua dalil tersebut), tetapi dikatakan pula oleh Sayyid Shadr ra bahwa dengan adanya dalil yang khusus menunjukkan tarjîh (salah satu dalil maka tidak terjadi tasaqut kila ad-dalilain[14]. Riwayat khusus tersebut diantaranya:

إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فاعرضوهما على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، وما خالف كتاب الله فردّوه، فإن لم تجدوهما في كتاب الله فاعرضوهما على أخبار العامة, فما وافق أخبارهم فذروه و ما خالف أخبارهم فخذوه.

Imam Shadiq as bersabda : JIkalau kalian menemukan dua hadits yang bertolak belakang maka rujuklah keduanya pada kitabullah, dan hadits yang sesuai dengan kitabullah maka ambillah, dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah, jikalau kalian tidak menemukan didalam kitabullah maka rujukalah keduanya pada hadits-hadits (mazhab) ‘ammah, yang sesuai dengan akhbar mereka maka tinggalkanlah yang tidak sesuai maka ambillah.[15]

Dari sanalah kita bisa merujuk kepada ayat alquran, sedangkan secara sarih Alquran banyak yang menerangkan ayat mengenai kemaksuman nabi, kalau kita mengambil  makna ithlaq  dari makna maksum yang meliputi juga maksum dari lupa dan salah. Tetapi kalaupun ayat-ayat tersebut mendapatkan permasalahan dengan ayat lainnya dan tidak bisa ditemukan kesimpulan akhir maka kita merujuk pada langkah kedua yaitu merujuk kepada hadits-hadits dari mazhab ammah, dan sudah dipastikan bahwa hadits yang menceritakan bahwa nabi saww pernah lupa sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam mazhab Ammah, oleh sebab itulah maka kita mengambil riwayat yang tidak sesuai dengan mazhab tersebut yaitu riwayat yang menolak bahwa nabi pernah lupa, serta menjadikan riwayat yang sesuai dengan mazhab ammah adalah riwayat dalam kondisi taqiah. Kesimpulannya bahwa riwayat yang bisa kita pegang adalah riwayat yang mengatakan bahwa nabi sedikitpun tidak pernah lupa dan salah.

Adapun permasalahan ghulu yang dikatakan oleh Syeikh Shaduq maka hal itu tidak tepat, sebab hal itu tidak termasuk ghulu, dan juga banyak riwayat sahih yang menegaskan dalil mengenai ketiadaan lupa bagi nabi saww. Walaupun hukum ghulu seperti menganggap nabi tuhan atau imam maksum tuhan maka hal itu haram didalam mazhab syiah. Dan menafikan lupa dari rasul saww tidaklah termasuk kategori atau mishdaq dari ghulu seperti yang dikatakan banyak dari para ulama syiah sekalipun.


Rujukan:
[1] Syeikh Shaduq, Man la Yahdhuruhu Al-Faqih, Jilid-1, hal. 359, bab Ahkam As-sahwi fi As-Shalat, Cet. Islami
[2] Idem, hadits ke-1031.
[3] An-Nahl:100
[4] Syeikh Mufid, Adam Sahw An-Nabi Saww, hal 22-23, Maktabah Syamilah
[5] Rijal An-Najâsyi, hal251, Khulashah Al-Hilli, hal.100
[6] Syarif Murtadha, Al-Masâil An-Nâshiriyyât, hal 236, cet. Râbithah as-tsaqafiah,
[7] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.259, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits.
[8] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.284, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits
[9] Syeikh Thûsi, Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid ke-2, hal.351, bab Ahkam As-Sahwi, Cet. Dar Al-Kitab al-Islami
[10] Al-Kulaini, Al-Kâfi,jilid ke-1, hal.42, kitab al-‘ali wa al-jahli, cet. Dârulhadits
[11] Al-Hilli, Al-Kulâshah, hal.272 al-fâidah at-tsâlitsah.
[12] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâlitsah, hal. 542, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[13] Idem, hal.452
[14] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[15] Sayyid Shadr, Duruf fi Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430, yang mengutip hadits dari alwasail jilid ke 18, bab ke-9 dari bab sifat alqâdhi, hadits ke-29

Mengapa Syiah sujud di atas tanah?


Sujud, menurut syariat suci Islam, hanya pantas dan diperbolehkan jika untuk Allah Swt, tidak boleh seseorang untuk menempelkan dahinya ke tanah untuk selain Dia, dan ini merupakan pernyataan seluruh ulama Islam tanpa terkecuali.

Kalau pun ada perbedaan seputar masalah sujud, perbedaan itu tidak berhubungan dengan hal di atas, melainkan terbatas pada pandangan fikih Syi’ah Imamiyah yang hanya membol­ehkan sujud di atas dua hal:
  1. Bumi, seperti tanah, batu dan semacamnya.
  2. Sesuatu yang tumbuh dari bumi, dengan syarat bukan termasuk pakaian atau makanan.
Sedangkan menurut pandangan fikih Ahli Sunnah, hukumnya lebih luas. Ulama Ahli Sunnah membolehkan sujud bahkan di atas kain-kain tenunan dari bulu, kapas atau rambut. Hanya Mazhab Syafi’i yang mengatakan tidak boleh sujud di atas ujung serban, ujung pakaian atau lengan baju.[1]

Sekarang, marilah kita bersama memperhatikan hadis-hadis dari Nabi Muhammad Saw; baik sabda maupun perbuatan beliau, lalu kita cermati dengan baik pandangan manakah yang didukung oleh hadis-hadis tersebut. Terang saja Nabi Muhammad Saw, sebagaimana tersinyalir dalam Al-Qur’an, merupakan teladan bagi kita semua dan tidak ada seorang pun yang berhak mengutamakan pendapatnya atas sabda dan perbuatan beliau.

Penelitian terhadap hadis-hadis yang tercatat di dalam kitab-kitab Shohih atau Sunan membuktikan bahwa pada kesimpulannya, tempat sujud untuk dahi atau menurut istilah fukaha­ sesuatu yang diperbolehkan sujud di atasnya telah dijelaskan dalam tiga tahap:
Pada tahap awal, sujud disyariatkan hanya di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya), sedangkan sujud di atas selain itu tidak diperbolehkan. Betapa pun para sahabat Nabi Saw mengeluhkan panasnya krikil di Masjid Nabi, beliau tidak mengubah hukum tersebut. Bahkan, bila ada seorang yang sujud di atas serbannya maka beliau menarik serban itu dari dahinya, dan seringkali beliau bersabda, ‘tarrib!’ artinya, kenakanlah mukamu dengan tanah.

Mengingat keharusan sujud di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya), maka untuk menghindari panas para sahabat Nabi Saw menggenggam krikil-krikil itu di tangan supaya agak dingin, dan ketika bersujud maka mereka sujud di atasnya.

Pada tahap awal ini, hanya diperbolehkan sujud di atas bumi, itu pun dalam bentuknya yang alami.
Adapun pada tahap kedua, wahyu Ilahi memperluas subjek hukum berdasarkan maslahat di baliknya, sujud di atas tikar dan jerami pun disyariatkan, dan kita semua tahu bahwa tikar atau jerami itu terbuat dari tumbuh-tumbuhan, karena itu terjadilah perluasan dan kemudahan dalam hal sujud.

Selanjutnya, pada tahap ketiga apabila darurat dan terpaksa, seperti panas yang tak tertahankan, maka boleh hukumnya sujud di atas ujung serban atau semacamnya, adapun jika di luar darurat dan keterpaksaan maka mereka diperintahkan untuk menghindari sujud di atas selain bumi (tanah, batu atau sernacamnya) dan tumbuh-tumbuhan.

Itulah tiga tahap pensyariatan hukum yang berkaitan dengan tempat dahi bersujud.

Keterangan nabi mengenai filosofi sujud di atas bumi
Poin penting yang patut diperhatikan dalam hal ini bahwa Rasulullah Saw sendiri dalam sebuah hadis telah menjelaskan filosofi sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya). Terang sekali hadis itu menunjukkan dimensi pendidikan di balik sikap syariat yang bersikukuh agar sujud dilakukan di atas bumi.
Beliau bersabda, ‘Setiap kali di antara kalian ada yang shalat, rnaka hendaknya dia meletakkan dahi dan hidungnya di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya), karena dengan demikian dia menunjukkan ketundukannya.’[2]

Suatu saat, Hisyam bin Hakam menanyakan filosofi sujud di atas bumi kepada Imam Ja’far Shadiq as, dan beliau menjawab, ‘Hal itu karena sujud adalah tunduk di hadapan Allah Swt, maka tidak seyogianya bagi seorang penyembah untuk sujud di atas makanan atau pakaian, dimana sembahan para penyembah dunia adalah makanan dan pakaian. Maka itu, tidak boleh sujud di atas sesuatu yang disembah oleh para penyembah dunia. Adapun sujud di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya) merupakan sebaik-baik ketundukan di hadapan Allah Swt.’[3]

Mengingat bahwa sujud di atas bumi merupakan manivestasi yang sempuma dari penyembahan, maka Umar bin Abdulaziz bersujud hanya di atas tikar, bahkan dia menuangkan sedikit tanah di atas tikar untuk bisa sujud di atasnya.

Ibnu Hajar, di dalam komentarnya terhadap kitab Shohih Bukhari, mengatakan, ‘Umar bin Abdulaziz tidak cukup hanya dengan sujud di atas tikar, melainkan dia meletakkan tanah di atas tikar itu dan bersujud di atasnya.’[4]

Urwah bin Zubair pun tidak bersujud kecuali di atas bumi (tanah, batu atau sernacamnya).[5]
Masruq yang tergolong tabi’in ketika bepergian selalu membawa bata untuk dapat bersujud di atasnya ketika berada di kapal.[6]

Ibnu Abi Syaibah, syaikh Bukhari mengatakan, ‘Shalat di atas thonfasah (permadani) adalah sesuatu yang baru, sedangkan telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah Saw bahwa sesuatu yang paling buruk adalah sesuatu yang tidak punya latar belakang (tidak ada sebelumnya), dan sesuatu yang demikian itu adalah bid’ah.’[7]

Referensi:
[1] Syaikh Thusi, Al-Khilaf, jld. 1, hal. 357-358, masalah no. 112-113. Begitu pula referensi yang lain.
[2] Ibnu Atsir, Nihayah
[3] Majlisi, Bihar Al-Anwar, jld. 82, hal. 147, bab apa yang sah untuk sujud di atasnya.
[4] Ibnu Hajar, Fath Al-Bari, jld. 1, hal. 410; Syarh Al-Ahwadzi, jld. 1, hal. 271.
[5] Ibid.
[6] Muhammad bin Sa’ad, Al-Thobaqot Al-Kubro.jld. 6, hal. 79.
[7] Al-Mushonnaf, 2.

Mengapa heran melihat Syiah sujud di atas tanah Karbala?


Gugatan lain yang muncul sekitar masalah sujud para penganut mazhab Syiah adalah kenapa orang-orang Syi’ah Imamiyah memilih tanah Karbala dari sekian tanah yang ada di muka bumi dan mereka mengutamakan sujud di atas tanah itu daripada yang lain, kenapa mereka membawa belahan tanah itu ke masjid-masjid, ke rumah, dan ketika dalam perjalanan?

Sudah barang tentu tempat sujud harus suci, dan berhubung tidak mungkin dipastikan bahwa seseorang dalam kondisi apa pun dapat sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya) yang suci, maka sebagaimana yang telah dilakukan oleh salah satu tokoh tabi’in bemama Masruq bin Ajda’, dia baisa membawa sepotong tanah suci ke mana dia pergi, sehingga dengan demikian dia senantiasa dapat bersujud di atas tanah yang suci. Hal itu sama dengan orang musafir yang membawa tanah agar kapan saja dia harus bertayamum niscaya dia dapat melakukannya dengan tanah tersebut.

Adapun kenapa tanah Karbala yang dipilih oleh orang syi’ah di antara sekian tanah yang ada, jawabnya adalah ketika seorang pelaku shalat meletakkan dahi di atas tanah suci Karbala niscaya dia mengingat pula pengorbanan luar biasa pahlawan sejarah dari keluarga suci Rasulullah Saw bernama Imam Husain as, dimana beliau telah mengorbankan nyawa, harta dan anak-anaknya demi kemuliaan Islam seraya tidak sudi berada di bawah kezaliman dan mengajarkan kemerdekaan serta kecemburuan Islami yang sesungguhnya kepada seluruh umat manusia.

Perlu digarisbawahi bahwa sujud seseorang di atas tanah Karbala Imam Husain as bukan saja ticlak bertentangan dengan jalur tauhid, bahkan hal itu akan menambah keikhlasan kepada sujudnya dan mempersiapkan dia untuk pengorbanan di jalan agama Islam, dimana shalat aclalah satu satu bagian yang tak terpisahkan darinya.

Seorang tabi’in bemama Ali bin Abdillah bin Abbas menul­iskan surat kepada Razin, ‘Kirimkanlah sepotong batu dari batu-batuan Gunung Marwah, sehingga aku bisa bersujud di atasnya.’[1]

Permintaan itu dilatarbelakangi oleh kenyataan Gunung Marwah sebagai saksi pengorbanan dari seorang perempuan mukmin dalam rangka menyediakan air, dia berlari-lari kecil di antara dua gunung Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dan menanggung berbagai kesulitan di jalan Allah Swt.

Syaikh Thusi meriwayatkan sebuah hadis dari Muawiyah bin Ammar bahwa Imam Ja’far Shadiq as mempunyai kantong berwama kuning dari jenis kain Diba, beliau menyimpan tanah Imam Husain as di dalam kantong itu, dan ketika shalat beliau menaburkan tanah itu di atas sajadah serta sujud di atasnya.[2]

Orang yang menyebut sujud di atas tanah Karbala sebagai sebuah penyembahan aclalah orang yang tidak bisa memilah antara ‘yang sujud untuknya’ dari ‘yang sujud di atasnya’, dalam kondisi apa pun sujud hanyalah untuk Allah Swt dan Dia-lah ‘Yang sujud untuk-Nya’, adapun sesuatu yang menjadi tempat dahi bersujud adalah ‘yang sujud di atasnya'; baik itu berupa tanah atau karpet, tanah Karbala atau tanah Madinah dan batu Gunung Marwah.

Referensi:
[1] Azraqi, Akhbore Makkeh, jld. 3, hal. 151.
[2] Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah,jld. 3, hal. 608, bab ke-16 dari bab-bab tentang apa yang sah untuk sujud di atasnya.

Perjalanan Domenyk Eades: Terpesona Gerakan Sujud


Lewat sebuah strategi gerak cepat, pada 2 Agustus 1990, pasukan tentara Irak berhasil mencaplok Kuwait. Lima hari setelah invasi itu, Arab Saudi meminta bantuan kepada Amerika Serikat (AS). Invasi Irak ke negeri petrodolar itu pun melahirkan Perang Teluk ketika pasukan Paman Sam menggelar Operasi Badai Gurun pada 17 Januari 1991. Perang Teluk telah membetot perhatian masyarakat dunia ketika itu. Tak terkecuali seorang remaja yang ketika itu berusia 17 tahun, Domenyk Eades. Pria yang tumbuh besar di Australia itu kerap menyaksikan dan membaca berita-berita tentang Perang Teluk dari media massa.

Ketika mengikuti isu Timur Tengah itulah, ia tertarik untuk mempelajari Islam.
Islam Telah Membuatnya Menjadi Seseorang yang Lebih Baik dan Membimbingnya untuk Membuat Lingkungan Sebagai Tempat yang Lebih Baik.

Hidayah Allah SWT mulai menerangi hatinya. Domenyk pun mulai tertarik untuk mempelajari Islam. "Saya ingin melihat sendiri bagaimana sebenarnya Islam itu dan mengapa Islam sangat penting bagi banyak orang di dunia," ujarnya kepada Republika. Untuk mengenal Islam, ia pun pergi ke toko buku dan membeli Alquran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Selama tiga hari, Domenyk membaca kitab suci umat Islam itu dengan hati-hati. "Itu merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa," ungkapnya. Ia pun mulai membandingkan isi Alquran dengan Injil. Menurutnya, banyak karakter dan cerita di dalam Alquran yang juga terdapat di dalam Injil.

Namun, menurut Domenyk, ada sederet hal yang tercantum dalam Injil yang tidak bisa dimengerti. Ia pun mencoba untuk mempelajari Islam lebih dalam lagi. Ketika itu, ia mengaku belum serius untuk menjadi seorang Muslim. "Saya memercayai keberadaan Tuhan dan saya rasa itu cukup," kenangnya.

Domenyk Eades terlahir sebagai seorang Kristiani. Ia mengaku baru mengenal Islam setelah remaja. Ketika masih belia, ia sedikit mengetahui Islam dari beberapa Muslim yang ditemuinya. Namun, mereka pun memiliki pengertian yang sederhana tentang Islam. Ia menyadari banyak kesamaan yang ditemukan antara Kristen dan Islam.

"Keduanya sama-sama mempercayai Tuhan dan adanya surga dan neraka," tuturnya. Meski begitu, ia lebih banyak mengetahui hal-hal negatif tentang Islam dari tayangan televisi yang ditonton dan koran yang dibacanya. Meski tumbuh besar sebagai Kristiani yang cukup taat, Domenyk selalu menghormati orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya.

Ia selalu merasa yakin, sangatlah penting bagi seseorang untuk mengikuti sebuah prinsip yang memandu mereka dalam kehidupan. Karena itulah, ia juga sangat meyakini akan keberadaan Tuhan. Domenyk mengetahui bahwa seorang Muslim harus menjalankan perintah agama dan menjalankan ibadah wajib lima kali sehari.

Awalnya, menurut dia, hal itu tampak sangat mengikat dan membatasi. "Seseorang yang berusia 18 tahun tidak suka dibatasi dan diatur," ucapnya. Meski begitu, ia terus membaca dan mempelajari Islam. Domenyk mulai menyadari bahwa Islam tidaklah bermaksud mempersulit hidup umatnya, tetapi justru sebaliknya.

Perlahan tapi pasti, ia mempelajari Islam dan cara membangun hubungan yang kuat dengan Allah SWT. Ia juga mempelajari shalat lima waktu dan berpuasa yang mengubah seseorang dari dalam dan membuatnya menjadi orang yang lebih baik. Ia mengaku, membutuhkan banyak waktu untuk mengerti dengan benar mengenai pelajaran itu.

Hidayah kian menerangi kalbunya. Domenyk mulai melihat pesan positif yang disampaikan Islam sehingga agama yang disebarkan Nabi Muhammad SAW tersebut tak lagi menjadi agama yang asing baginya. Ia mengaku sangat tertarik dengan Islam karena pesan yang dibawa Alquran sangat jelas dan logis.

Ia sangat menyukai bagaimana Alquran memberikan petunjuk untuk hidup yang baik dan bagaimana Islam memberikan pesan yang sangat jelas tentang kesetaraan di antara seluruh umat manusia. "Saya rasa apabila orang-orang benarbenar mengerti tentang Islam, mereka akan melihat bahwa setiap manusia merupakan ciptaan Tuhan dan itu sangatlah berharga," paparnya.

Apabila seseorang memiliki sebuah keyakinan, kata Domenyk, mereka akan memperlakukan orang lain dengan hormat, tidak peduli dari mana mereka berasal dan bagaimana mereka terlihat. Ketika mempelajari Alquran dan Islam, Domenyk mengaku, tidak benar-benar berniat ingin menjadi seorang Muslim.

Hingga akhirnya, ia menemukan pesan di dalam Alquran yang merupakan kelanjutan dari pesan yang diajarkan Yesus. "Saya mulai menyadari apabila saya memercayai Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya, itu berarti saya haruslah menjadi seorang Muslim."
Awalnya, ia merasa ragu dapat mengikuti aturan yang terdapat dalam ajaran Islam. Ia memercayai pesan yang dibawa oleh Islam, tetapi sangat sulit baginya untuk dapat menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadhan. Untuk dapat shalat tepat waktu pun sangat sulit baginya.

Domenyk juga mengkhawatirkan reaksi yang akan muncul dari teman-teman dan keluarganya apabila ia menjadi seorang Muslim. Karena alasan itulah, ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi seorang Muslim, meski di dalam hatinya ia sudah memercayai satu Tuhan dan Muhammad sebagai utusan-Nya.

Namun, ia belum merasa siap menghadapi hidup baru sebagai Muslim. Hingga pada suatu hari, Domenyk memutuskan untuk menemui beberapa orang Muslim. Ia pergi ke sebuah masjid di dekat tempatnya tinggal. Pengalamannya saat berada di masjid itu telah membuka hatinya.

Kaum Muslim di masjid itu tahu bahwa dia bukanlah seorang Muslim. Namun, mereka menyambutnya dengan sikap ramah dan mengobrol hingga waktu shalat tiba. Saya seorang Anglo-Australia dan saya memberanikan diri ke sana, tuturnya.

Hatinya tergerak ketika melihat gerakan sujud yang dilakukan jamaah dalam shalat. Pemandangan itu meninggalkan kesan yang mendalam baginya. Hati kecilnya mulai berkata, hidup sebagai Muslim bukanlah hal yang mustahil lagi. Saat kuliah, ia bertemu dengan Bukhari Daud, bupati Aceh Besar, yang tengah studi di Australia.

Ia berteman baik dengan Bukhari. Keduanya sering berdiskusi tentang Islam. Bukhari lalu mengundang Domenyk ke rumahnya. Pertemuan itu adalah pengalaman yang menarik. Mereka memperkenalkan saya pada budaya Muslim Indonesia. Di sanalah saya pertama kali mengetahui tentang keramahan Muslim, tuturnya.

Tekadnya untuk memeluk Islam sudah semakin bulat. Di depan Bukhari dan sekelompok Muslim lainnya, Domenyk mengucapkan dua kalimah syahadat dan mengukuhkannya menjadi seorang Muslim di kediaman Bukhari saat studi di Australia.

Islam telah membuat saya menjadi seseorang yang lebih baik dan membimbing saya untuk membuat lingkungan sebagai tempat yang lebih baik, paparnya. Ia pun berhasil meyakinkan keluarganya. Keluarga saya melihat bagaimana Islam memberikan efek positif kepada saya. Hal itu tidak memberikan dampak negatif terhadap hubungan saya dengan keluarga.

Ramadhan Pertama di Indonesia

Ramadhan pertama sebagai Muslim merupakan kenangan yang sangat luar biasa bagi Domenyk Eades. Ia merasa beruntung memiliki banyak sahabat Muslim yang berada di dekatnya. Mereka menghabiskan Ramadhan dengan berbuka puasa bersama dan melaksanakan shalat Tarawih setelahnya.

Ramadhan pertama Domenyk berlangsung di Indonesia pada 1997. Hari itu merupakan pengalaman yang sangat luar biasa, kenang Domenyk. Ia mengaku tidak terlalu sulit untuk membiasakan diri dalam menjalankan ibadah. Domenyk sudah mempelajari bagaimana melaksanakan shalat dan puasa sebelum menjadi seorang Muslim.
Ia menghafal beberapa ayat pendek. Setelah mengucapkan syahadat, tidak terlalu lama baginya membiasakan diri dalam melaksanakan ibadah. Menjadi seorang Muslim membawa banyak perubahan dalam hidup Domenyk. Menurut dia, perubahan itu terjadi dari waktu ke waktu.

Domenyk menjadi seorang Muslim ketika duduk di bangku kuliah. Ia beruntung tinggal di dekat lingkungan Muslim yang kebanyakan berasal dari Indonesia. Tak cuma itu, ia juga bersyukur bisa tinggal di beberapa negara Muslim. Selama beberapa waktu, ia tinggal di Indonesia, terutama di Aceh.

Selama beberapa tahun, ia menetap di negara Arab untuk bekerja dan mempelajari bahasa Arab. Domenyk mempelajari linguistik bahasa Arab di Inggris. Ia menghabiskan bertahun-tahun mempelajari bahasa Arab. Domenyk pun telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah pada 2007.

Saat ini ia bekerja sebagai dosen senior pada program studi bahasa Arab di Universitas Salford, Inggris. Saat ini, Domenyk mengajar bahasa Arab kepada mahasiswanya di Inggris. Risetnya seba gai dosen di bidang bahasa dan penerjemahan.

Ia juga sudah menyelesaikan penelitiannya di bidang bahasa di Indonesia. Salah satu buku yang ia terbitkan adalah buku mengenai bahasa Gayo, Aceh. Domenyk juga telah memublikasikan berbagai macam artikel, jurnal, dan buku tentang tata bahasa serta dialek bahasa Arab. Ia juga banyak menerjemahkan buku-buku dari bahasa Arab ke bahasa Inggris. heri ruslan (IRIB)

Perjalanan Domenyk Eades: Terpesona Gerakan Sujud

Tuesday, 12 July 2011, 17:05 WIB

Domenyk Eades 

 
REPUBLIKA.CO.ID, Lewat sebuah strategi gerak cepat, pada 2 Agustus 1990, pasukan tentara Irak berhasil mencaplok Kuwait. Lima hari setelah invasi itu, Arab Saudi meminta bantuan kepada Amerika Serikat (AS). Invasi Irak ke negeri petrodolar itu pun melahirkan Perang Teluk ketika pasukan Paman Sam menggelar Operasi Badai Gurun pada 17 Januari 1991.

Perang Teluk telah membetot perhatian masyarakat dunia ketika itu. Tak terkecuali seorang remaja yang ketika itu berusia 17 tahun, Domenyk Eades. Pria yang tumbuh besar di Australia itu kerap menyaksikan dan membaca berita-berita tentang Perang Teluk dari media massa. Ketika mengikuti isu Timur Tengah itulah, ia tertarik untuk mempelajari Islam.

Islam Telah Membuatnya Menjadi Seseorang yang Lebih Baik dan Membimbingnya untuk Membuat Lingkungan Sebagai Tempat yang Lebih Baik.

Hidayah Allah SWT mulai menerangi hatinya. Domenyk pun mulai tertarik untuk mempelajari Islam. "Saya ingin melihat sendiri bagaimana sebenarnya Islam itu dan mengapa Islam sangat penting bagi banyak orang di dunia," ujarnya kepada Republika. Untuk mengenal Islam, ia pun pergi ke toko buku dan membeli Alquran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Selama tiga hari, Domenyk membaca kitab suci umat Islam itu dengan hati-hati. “Itu merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa,” ungkapnya. Ia pun mulai membandingkan isi Alquran dengan Injil. Menurutnya, banyak karakter dan cerita di dalam Alquran yang juga terdapat di dalam Injil.

Namun, menurut Domenyk, ada sederet hal yang tercantum dalam Injil yang tidak bisa dimengerti. Ia pun mencoba untuk mempelajari Islam lebih dalam lagi. Ketika itu, ia mengaku belum serius untuk menjadi seorang Muslim. “Saya memercayai keberadaan Tuhan dan saya rasa itu cukup,” kenangnya.

Domenyk Eades terlahir sebagai seorang Kristiani. Ia mengaku baru mengenal Islam setelah remaja. Ketika masih belia, ia sedikit mengetahui Islam dari beberapa Muslim yang ditemuinya. Namun, mereka pun memiliki pengertian yang sederhana tentang Islam. Ia menyadari banyak kesamaan yang ditemukan antara Kristen dan Islam.

“Keduanya sama-sama memercayai Tuhan dan adanya surga dan neraka,” tuturnya. Meski begitu, ia lebih banyak mengetahui hal-hal negatif tentang Islam dari tayangan televisi yang ditonton dan koran yang dibacanya. Meski tumbuh besar sebagai Kristiani yang cukup taat, Domenyk selalu menghormati orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya.

Ia selalu merasa yakin, sangatlah penting bagi seseorang untuk mengikuti sebuah prinsip yang memandu mereka dalam kehidupan. Karena itulah, ia juga sangat meyakini akan keberadaan Tuhan. Domenyk mengetahui bahwa seorang Muslim harus menjalankan perintah agama dan menjalankan ibadah wajib lima kali sehari.


Awalnya, menurut dia, hal itu tampak sangat mengikat dan membatasi. “Seseorang yang berusia 18 tahun tidak suka dibatasi dan diatur,” ucapnya. Meski begitu, ia terus membaca dan mempelajari Islam. Domenyk mulai menyadari bahwa Islam tidaklah bermaksud mempersulit hidup umatnya, tetapi justru sebaliknya.

Perlahan tapi pasti, ia mempelajari Islam dan cara membangun hubungan yang kuat dengan Allah SWT. Ia juga mempelajari shalat lima waktu dan berpuasa yang mengubah seseorang dari dalam dan membuatnya menjadi orang yang lebih baik. Ia mengaku, membutuhkan banyak waktu untuk mengerti dengan benar mengenai pelajaran itu.

Hidayah kian menerangi kalbunya. Domenyk mulai melihat pesan positif yang disampaikan Islam sehingga agama yang disebarkan Nabi Muhammad SAW tersebut tak lagi menjadi agama yang asing baginya. Ia mengaku sangat tertarik dengan Islam karena pesan yang dibawa Alquran sangat jelas dan logis.

Ia sangat menyukai bagaimana Alquran memberikan petunjuk untuk hidup yang baik dan bagaimana Islam memberikan pesan yang sangat jelas tentang kesetaraan di antara seluruh umat manusia. "Saya rasa apabila orang-orang benarbenar mengerti tentang Islam, mereka akan melihat bahwa setiap manusia merupakan ciptaan Tuhan dan itu sangatlah berharga,” paparnya.

Apabila seseorang memiliki sebuah keyakinan, kata Domenyk, mereka akan memperlakukan orang lain dengan hormat, tidak peduli dari mana mereka berasal dan bagaimana mereka terlihat. Ketika mempelajari Alquran dan Islam, Domenyk mengaku, tidak benar-benar berniat ingin menjadi seorang Muslim.

Hingga akhirnya, ia menemukan pesan di dalam Alquran yang merupakan kelanjutan dari pesan yang diajarkan Yesus. “Saya mulai menyadari apabila saya memercayai Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya, itu berarti saya haruslah menjadi seorang Muslim.”

Awalnya, ia merasa ragu dapat mengikuti aturan yang terdapat dalam ajaran Islam. Ia memercayai pesan yang dibawa oleh Islam, tetapi sangat sulit baginya untuk dapat menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadhan. Untuk dapat shalat tepat waktu pun sangat sulit baginya.

Domenyk juga mengkhawatirkan reaksi yang akan muncul dari teman-teman dan keluarganya apabila ia menjadi seorang Muslim. Karena alasan itulah, ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi seorang Muslim, meski di dalam hatinya ia sudah memercayai satu Tuhan dan Muhammad sebagai utusan-Nya.

Namun, ia belum merasa siap menghadapi hidup baru sebagai Muslim. Hingga pada suatu hari, Domenyk memutuskan untuk menemui beberapa orang Muslim. Ia pergi ke sebuah masjid di dekat tempatnya tinggal. Pengalamannya saat berada di masjid itu telah membuka hatinya.

Kaum Muslim di masjid itu tahu bahwa dia bukanlah seorang Muslim. Namun, mereka menyambutnya dengan sikap ramah dan mengobrol hingga waktu shalat tiba. Saya seorang Anglo-Australia dan saya memberanikan diri ke sana, tuturnya.

Hatinya tergerak ketika melihat gerakan sujud yang dilakukan jamaah dalam shalat. Pemandangan itu meninggalkan kesan yang mendalam baginya. Hati kecilnya mulai berkata, hidup sebagai Muslim bukanlah hal yang mustahil lagi. Saat kuliah, ia bertemu dengan Bukhari Daud, bupati Aceh Besar, yang tengah studi di Australia.

Ia berteman baik dengan Bukhari. Keduanya sering berdiskusi tentang Islam. Bukhari lalu mengundang Domenyk ke rumahnya. Pertemuan itu adalah pengalaman yang menarik. Mereka memperkenalkan saya pada budaya Muslim Indonesia. Di sanalah saya pertama kali mengetahui tentang keramahan Muslim, tuturnya.

Tekadnya untuk memeluk Islam sudah semakin bulat. Di depan Bukhari dan sekelompok Muslim lainnya, Domenyk mengucapkan dua kalimah syahadat dan mengukuhkannya menjadi seorang Muslim di kediaman Bukhari saat studi di Australia.

Islam telah membuat saya menjadi seseorang yang lebih baik dan membimbing saya untuk membuat lingkungan sebagai tempat yang lebih baik, paparnya. Ia pun berhasil meyakinkan keluarganya. Keluarga saya melihat bagaimana Islam memberikan efek positif kepada saya. Hal itu tidak memberikan dampak negatif terhadap hubungan saya dengan keluarga.

Ramadhan Pertama di Indonesia

Ramadhan pertama sebagai Muslim merupakan kenangan yang sangat luar biasa bagi Domenyk Eades. Ia merasa beruntung memiliki banyak sahabat Muslim yang berada di dekatnya. Mereka menghabiskan Ramadhan dengan berbuka puasa bersama dan melaksanakan shalat Tarawih setelahnya.

Ramadhan pertama Domenyk berlangsung di Indonesia pada 1997. Hari itu merupakan pengalaman yang sangat luar biasa, kenang Domenyk. Ia mengaku tidak terlalu sulit untuk membiasakan diri dalam menjalankan ibadah. Domenyk sudah mempelajari bagaimana melaksanakan shalat dan puasa sebelum menjadi seorang Muslim.

Ia menghafal beberapa ayat pendek. Setelah mengucapkan syahadat, tidak terlalu lama baginya membiasakan diri dalam melaksanakan ibadah. Menjadi seorang Muslim membawa banyak perubahan dalam hidup Domenyk. Menurut dia, perubahan itu terjadi dari waktu ke waktu.

Domenyk menjadi seorang Muslim ketika duduk di bangku kuliah. Ia beruntung tinggal di dekat lingkungan Muslim yang kebanyakan berasal dari Indonesia. Tak cuma itu, ia juga bersyukur bisa tinggal di beberapa negara Muslim. Selama beberapa waktu, ia tinggal di Indonesia, terutama di Aceh.

Selama beberapa tahun, ia menetap di negara Arab untuk bekerja dan mempelajari bahasa Arab. Domenyk mempelajari linguistik bahasa Arab di Inggris. Ia menghabiskan bertahun-tahun mempelajari bahasa Arab. Domenyk pun telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah pada 2007.

Saat ini ia bekerja sebagai dosen senior pada program studi bahasa Arab di Universitas Salford, Inggris. Saat ini, Domenyk mengajar bahasa Arab kepada mahasiswanya di Inggris. Risetnya seba gai dosen di bidang bahasa dan penerjemahan.

Ia juga sudah menyelesaikan penelitiannya di bidang bahasa di Indonesia. Salah satu buku yang ia terbitkan adalah buku mengenai bahasa Gayo, Aceh. Domenyk juga telah memublikasikan berbagai macam artikel, jurnal, dan buku tentang tata bahasa serta dialek bahasa Arab. Ia juga banyak menerjemahkan buku-buku dari bahasa Arab ke bahasa Inggris. (heri ruslan )

SUJUD DIATAS TANAH (BERKAITAN DENGAN BATU/KARPET/TIKAR/TURBAH)

Sepanjang sejarah, Rasulullâh Saw dan para sahabatnya setelah wafatnya Rasulullâh Saw tetap melaksanakan salât sehari semalam di dalam masjid dan sujud di atas tanah yang murni tanpa adanya alas apapun baik itu sajadah, karpet ataupun yang lainnya, hingga suatu saat muncullah bid'ah setelah wafatnya Rasulullâh Saw.


Berikut ini akan kita temukan bukti-bukti dari beberapa orang yang telah merubah masjid mulia tersebut, yang mana semenjak saat itu mereka tidak lagi sujud di atas tanah yang murni.
Sebelumnya kami akan tunjukkan beberapa bukti tentang keberadaan Masjid Nabawi dalam keadaannya yang murni pada zaman Rasulullâh Saw.

Bukti – bukti tersebut antara lain:

1. Al Bukhârî di dalam Sahih-nya mengatakan dalam bab Manâqibu 'Alî bin Abî Tâlîb dengan sanad Abî Hazm, bahwa seorang laki-laki datang menjumpai Sahl bin Sa'ad. Ia berkata: " Inilah fulan – pemimpin Madinah – ia memanggil Imâm 'Alî As di atas mimbar ". Ia menjawab: " Apa yang ia katakan?" Ia berkata: " Ia mengatakan Abu Turâb" . Kemudian ia tertawa dan berkata " Demi Allâh Swt, tiada yang memberikan julukan kepada 'Alî selain Rasulullâh Saw dan tidak ada julukan yang lebih beliau cintai dari pada julukan itu, yaitu Abû Turâb". Kemudian aku berkata: " Wahai Abû Abbâs bagaimana kisah ini? " . Abû Abbâs berkata : " Suatu hari seseorang datang menjumpaiku yaitu 'Alî bin Abî Tâlîb As dan Fâtimah Az Zahrâ kemudian keluarlah 'Alî As dan dia berbaring di atas masjid. Kemudian Rasulullâh Saw bertanya kepada Fâtimah Az-Zahrâ, mana anak pamanmu? Az-Zahrâ menjawab : " Ia di dalam masjid. Kemudian Rasulullâh bertanya kepada 'Alî As, beliau mendapatinya bahwa selendangnya telah jatuh dari pundaknya dan bagian pundaknya terkena debu. Kemudian Rasulullâh Saw mengusap debu itu dari pundak 'Alî As dan berkata: "Duduklah Wahai Abu Turab."[11]

2. Riwayat yang dikeluarkan oleh Muslim dalam kitabnya dengan sanad yang berasal dari 'Umar bin Khattâb. Dia berkata : " Ketika Nabi Muhammad Saw meninggalkan istri-istri beliau, beliau masuk ke dalam masjid. Ketika itu, orang-orang yang ada di dalam masjid sedang melempar kerikil-kerikil (bermain-main dengan kerikil itu)".[12]

3. Ibnu an-Najjâr telah menyebutkan dalam kitabnya Addurr al-Tsamînah (mutiara yang berharga), sebuah hadits yaitu bahwa Masjid Nabawi asy-Syarîf dimasa Rasulullâh Saw, Abu Bakar dan 'Umar disirami air dan orang-orang ketika itu membuang riak dan air ludah mereka ke dalam masjid itu. Sehingga setelah disirami, kembali menjadi bersih. [13]

Sujud di atas batu-batu kerikil bermula pada masa Khalîfah 'Umar bin Khattâb.
Sampai di sini telah kita buktikan bahwa Rasulullâh Saw bersama orang-orang yang beriman ketika itu melaksanakan salât di masjid beliau di atas tanah yang murni tanpa adanya tikar atau karpet.

Berikut ini kita ingin mengungkap sejak kapan kaum muslimin mulai melaksanakan salât di dalam masjid Nabi tersebut dan sujud di atas sesuatu yang tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullâh Saw dan para sahabatnya, yakni mereka sujud di atas batu kerikil.

Beberapa bukti berikut ini yang menegaskan pernyataan di atas :

1. Al-Bukhârî mengeluarkan riwayat di dalam kitab Sahih-nya dengan sanad Ibnu 'Umar yaitu 'Abdullâh bin 'Umar. Dia berkata bahwa sesungguhnya masjid pada masa Rasulullâh Saw telah dibangun dengan labin – semacam bata – sedangkan atapnya dari pelepah kurma dan tiangnya dari pohon kurma dan Abû Bakar ketika itu tidak menambahkan apapun pada masjid itu. Dan pada masa 'Umar ditambahkan sedikit dan dibangun sebagai tambahan bangunan pada zaman Rasulullâh Saw. Pada zaman Khalîfah 'Umar, dia menambahkan bangunan itu sedikit dan tetap menggunakan tiangnya dari kayu. Kemudian 'Utsmân merubahnya lagi dan menambahkan yang lebih banyak serta membuat temboknya dari batu-batu yang diukir dan berikut tiang-tiangnya. Sedangkan atapnya dibuat dari saj(nama jenis kayu) .[14]

2. As-Samhûdî di dalam kitab Wafâul Wafâ menyebutkan sebuah hadits bahwa 'Umar bin Khattâb ketika membangun kembali masjid Rasulullâh Saw, ia bertanya : " kami tidak tahu dengan apakah kami harus hampari masjid ini? Seseorang berkata padanya : " Hamparilah dengan batu-batu kerikil ". Umar berkata : " Ini adalah wadî atau lembah yang penuh berkah dan aku mendengar bahwa Rasulullâh Saw bersabda: " Batu-batu kerikil adalah batu yang penuh berkah.[15]

3. As-Samhûdî – menukil dari Ibnû Zubâlah – menyebutkan tentang terjadinya penghamparan tempat sujud itu dengan batu-batu kerikil. Sufyân bin 'Abdullâh Ats-Tsaqâfî telah datang mengunjungi 'Umar bin Khattâb. Dan ketika itu masjid Nabi Saw belum dihampari dengan batu kerikil. Ia berkata kepada 'Umar : " Bukankah anda mempunyai wadi atau lembah (yang banyak terdapat batu-batu) ? " Umar menjawab : " Ya " . Ia berkata lagi : " Hamparilah masjid ini dengan al-aqiq yang penuh berkah itu."[16]

4. As-Samhûdî pada bukti sebelumnya juga menukil dari Ibnu Sa'ad. Ia berkata bahwa 'Umar bin Khattâb menghampari dan meletakkan batu-batu kerikil di dalam masjid Rasulullâh Saw. Dan sebelum masjid itu dihampari dengan batu-batu, orang-orang ketika melaksanakan salât mengangkat kepala-kepala mereka dari sujud, mengusapkan debu-debu di dahi mereka dengan tangan- tangannya. Kemudian setelah itu 'Umar bin Khattâb memerintahkan untuk menghampari masjid itu dengan batu-batu. Maka didatangkanlah batu-batu itu untuk dijadikan sebagai hamparan masjid tersebut. [17]

5. Al-Baihaqî di dalam kitabnya As-Sunanul Kubrâ telah mengeluarkan satu riwayat yang sanadnya dari Urwah bin Zubair. Ia berkata : " Sesungguhnya orang yang pertama kali menghampari masjid Rasulullâh Saw dengan batu-batu adalah Umar bin Khattâb. Ia pernah berkata kepada orang-orang : "Hamparilah masjid ini dengan wadi atau batu-batu yang penuh berkah yakni al aqiq" . [18]

6. As-Samhûdî berkata : " Dapatlah ditarik kesimpulan dari ucapan-ucapan sejarawan bahwa sesungguhnya penghamparan masjid Nabi Saw (Masjid Nabawi) itu terjadi pada masa Khalîfah 'Umar bin Khattâb.

Dengan demikian telah jelaslah buat kita dengan pemaparan bukti-bukti di atas bahwa tanah di dalam Masjid Nabawi Asy-Syarîf itu tidak pernah dihampari dengan batu-batu dan kerikil-kerikil hingga pada masa 'Umar bin Khattâb. Dialah orang yang pertama kali yang merubah masjid tersebut dan menghamparinya dengan batu-batu aqiq. [19]

Sementara pada masa Khalîfah 'Utsmân bin 'Affân, ruangan masjid nabi ketika itu tidak berubah sama sekali artinya tetap dihampari batu-batu sebagaimana perintah Khalifâh 'Umar atas saran seseorang.

Berikut ini kita akan tunjukkan beberapa bukti yang menopang pernyataan di atas :

1. Asy-Syâtibî dalam kitabnya Al-I'tisâm telah mengeluarkan satu riwayat dari Hasan Al-Basrî. Ia berkata : " Pada suatu hari 'Utsmân bin 'Affân keluar dan berkhutbah di hadapan kami. Kemudian orang-orang memotong khutbahnya tersebut dan melemparinya dengan batu".[20]

2. As-Sakhâwî menyebutkan suatu bukti yang lainnya dengan merujuk pada kitab At-Tuhfatul Latîfah. Ia berkata : " Hari terakhir di mana ''Utsmân keluar yaitu pada hari Jum'at. Ketika dia telah menaiki mimbar (Masjid Rasulullâh Saw), orang-orang melemparinya dengan batu. Sehingga dengan lemparan batu menyebabkan ia tidak dapat Imâm Jama'ah, kemudian Abû Umâmah As'ad bin Sahl bin Hanîf al-Ansârî maju ke depan menggantikannya menjadi Imâm. [21]

3. Pernah suatu saat 'Utsmân melakukan tidur qailulah (tidur selama beberapa menit sebelum tibanya salat zuhur) di dalam Masjid Nabawi. Ketika itu 'Utsmân telah menjadi khalîfah. Hal ini sebagaimana telah dikeluarkan satu riwayat oleh Al-Baihaqî di dalam As-Sunanul Kubrâ dengan sanad dari Hasan Al Basrî, yaitu ketika dia ditanya oleh seseorang tentang hukum tidur qailulah di dalam masjid. Ia menjawab : " Sesungguhnya aku melihat 'Utsmân bin 'Affân ketika itu dia telah memangku jabatan sebagai khalîfah , dia melakukan tidur qailulah di dalam masjid, kemudian ia bangun dan di bagian samping badannya terdapat bekas-bekas batu ". [22]

Wahai pembaca yang budiman, dengan teks-teks, bukti-bukti dan dalil-dalil yang telah kami sebutkan di atas, teranglah bahwa Masjid Nabi Asy-Syarîf tidak pernah dihampari dengan apapun. Hingga pada masa Khalifâh 'Umar bin Khattâb, kemudian masjid itu dihampari dengan batu-batu dari lembah. Kaum muslimin melakukan salat dan mereka bersujud di atas batu-batu hingga pada masa Khalifâh 'Utsmân pun batu-batu itu tetap ada. Sedangkan sebelum dihampari dengan batu-batu oleh Khalifâh 'Umar, kaum muslimin melaksanakan salât di masjid tersebut dan melakukan sujud di atas tanah tanpa batu satu pun (di atas tanah, red-).

Awal Munculnya Bid'ah
Sebelumnya kita telah mengkaji teks-teks, dalil-dalil dan bukti-bukti di atas bahwa Rasululllah Saw dan kaum muslimin yang melaksanakan salât bersama Rasulullâh Saw di dalam masjid tersebut. Ketika itu mereka melakukan sujud di atas tanah yang masih murni. Hingga pada masa 'Umar bin Khattâb, dialah orang yang pertama kali menghampari lantai masjid itu dengan batu-batu yang berasal dari lembah. Sejak saat itu kaum muslimin melaksanakan salât di masjid tersebut dan mereka melakukan sujud di atas batu-batu yang membuat penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah. Kemudian datanglah Hajjâj bin Yusuf. Ia adalah gubernur yang dilantik oleh 'Abdul Mâlik bin Marwân pada masa Khalifâh Banî Umayyah untuk memerangi Ibnu Zubaîr. Ketika itu penduduk Haramain – Mekah dan Madinah – tertimpa kesengsaraan dan kesusahan akibat terjadinya peperangan. Dialah – Hajjâj bin Yusuf – yang melempari Ka'bah dengan manjaniq (alat perang semacam ketapel yang berukuran besar) dan telah membunuh lebih dari 100.000 orang di luar medan peperangan dan 30.000 kaum muslimat, 16.000 dari mereka itu hidup dalam keadaan telanjang di penjara.[23]

Laki-laki fasiq, durjana dan kejam ini adalah orang yang pertama kali menghampari masjid Nabawi itu dengan tikar setelah mengangkat batu -batu dan debu-debu di dalam masjid itu keluar.

Berikut ini beberapa bukti atas pernyataan tersebut :

1. Al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihyâ 'Ulumûddîn berkata : " Sesungguhnya ketika itu perbuatan menghampari masjid Nabawi dengan bawari atau tikar dianggap sebagai perbuatan bid'ah dan ada yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh Hajjâj bin Yusuf. Sebelum itu orang-orang tidak menempatkan sesuatu penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah ketika mereka sujud.[24]

2. Qatâdah berkata bahwa ia melakukan sujud kemudian kedua matanya tertusuk oleh bagian tikar itu hingga ia menjadi buta, ia berkata : " Semoga Allâh melaknat Hajjâj. Ia telah membuat bid'ah dengan menghampari masjid ini dengan Bawari (sejenis tikar).[25]

3. 'Umar bin 'Abdul 'Azîz pernah menulis surat kepada 'Udaî bin Artâh. Ia berkata : " Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah mengerjakan sunnahnya Hajjâj. Aku nasihatkan janganlah engkau mengerjakan sunnah tersebut karena sesungguhnya ia salât tidak pada waktunya. Ia pun mengambil zakât bukan dari orang yang berhaq diambil zakâtnya dan ketika ia melakukan hal itu, ia telah membuat kerusakan.[26]

Awal Munculnya Sajadah.
Dengan membaca dan mengkaji riwayat-riwayat dan kitab-kitab sejarah tentang keadaan dan perkembangan masjid pada masa Rasulullâh Saw dan khalîfah yang empat, dapatlah kita ketahui dengan jelas dan pasti bahwa masjid-masjid ketika itu lantainya tidak dihampari dengan karpet, permadani, ataupun sajadah, bahkan juga tidak dihampari dengan tikar yang terbuat dari daun-daun dan pelepah korma atau dedaunan pohon-pohon lainnya walaupun dibolehkan sujud di atasnya. Apakah ini berarti ketika itu belum ada permadani, karpet atau sajadah? Tidak demikian. Karena sejarah menjelaskan baik secara langsung ataupun tidak bahwa kain-kain tebal dan permadani sudah ada sejak sebelum lahir Rasulullâh Saw. Masjid-masjid pada zaman khalîfah yang empat tetap tidak dihampari dengan permadani, bukan pula karena mereka tidak punya ide dan keinginan untuk itu. Akan tetapi karena hal itu dilarang oleh syari'at Islâm dan tidak boleh sujud ketika salat kecuali di atas tanah secara langsung. Dan demi menjaga syariat Islâm serta menganggap bahwa sujud di atas karpet atau permadani itu adalah termasuk bid'ah. Oleh karena itu, ketika terik panas para sahabat Nabi Saw - sebagaimana dalam riwayat-riwayat – menggengam batu-batu kecil agar menjadi dingin dan mereka jadikan sebagai alas sujud. As-Sakhâwi berkata " Sesungguhnya masjid-masjid sampai pada tahun 131 Hijriah atau 132 Hijriah masih tetap menggunakan tanah atau batu-batu kecil."*

Sehubungan dengan masalah sajadah dapat kita ketahui secara jelas dengan merujuk pada ensiklopedia Islâm (di dalam kitab itu disebutkan bahwa : " Istilah sajadah tidak ditemukan di dalam kitab suci Al-Qur'ân dan hadits-hadits yang sahih. Kata sajadah ini dapat dijumpai satu abad setelah penulisan hadits-hadits tersebut ".[27]

Ibnu Batutah mengatakan di dalam kitabnya Rihlah Ibnu Batutah berkata : " Orang-orang pinggiran kota Kairo Mesir telah terbiasa keluar rumah mereka untuk pergi melakukan salât Jum'at. Para pembantu mereka biasanya membawakan sajadah dan menghamparinya untuk keperluan salât mereka. Sajadah mereka itu terbuat dari pelepah-pelepah daun korma". Dia menambahkan " penduduk kota Mekkah pada masa ini (pada masanya Ibnu Batutah, red-) melakukan salat di Masjid Jâmi' dengan menggunakan sajadah. Kaum muslimin yang pulang haji banyak membawa sajadah buatan Eropa yang bergambar (ada yang bergambar salib) dan mereka tidak memperhatikan gambar tersebut. Sajadah masuk ke Mesir dengan jalan impor dari Asia untuk dipakai salat oleh orang-orang kaya, di dalam sajadah itu terdapat gambar mihrab yang mengarah ke kiblat.[28]

Syaikh Murtadâ Az-Zubaîdî di dalam kitabnya Ittihaful Muttaqin berkata : " Musallî hendaknya tidak melakukan salat di atas sajadah atau permadani yang bergambar dan dihiasi dengan beragam gambar yang menarik. Karena hal itu membuat si musâlli tidak khusyu' di dalam salatnya, karena perhatiannya akan tertuju pada warna-warni sajadah itu. Kita telah tertimpa bencana dengan permadani-permadani Romawi itu yang kini digelar di masjid-masjid dan rumah-rumah yang dipakai untuk salât, sehingga kebiasaan bid'ah itu telah membuat orang yang melakukan salat di tempat lainnya dianggap tidak sah dan kurang sopan. Lâ Hawla wa lâ Quwwata îllâ Billâh. Aku menduga kuat bahwa semua ini adalah akibat ulah dan perbuatan orang-orang Barat – semoga Allah mengutuk mereka – yang telah memasukkan sesuatu ke dalam kalangan kaum muslimin sedang mereka lalai dan lengah dari tipu daya musuh-musuh tersebut. Lebih aneh lagi, aku pernah melihat di sebuah masjid yang berhamparkan permadani, namun permadani itu memiliki gambar salib. Hal inilah yang membuatku semakin terkejut. Aku yakin bahwa semua ini adalah perbuatan dan tipu-daya orang-orang Nasrani. "[29]

Sujudnya Rasulullâh Saw selain di Masjid Nabawi.
Sampai di sini dapat kita pahami bahwa sujudnya Rasulullâh Saw dan para sahabatnya di Masjid Nabawi Asy-Syarif di atas tanah yang murni tanpa adanya penghalang apa pun antara dahi dan tanah.

Kemudian kita bertanya-tanya; Bagaiamana sujudnya Rasulullâh dan para sahabat beliau, dalam salat mereka selain di Masjid Nabawi. Apakah ketika mereka bersujud melakukannya di atas tanah sebagaimana yang mereka lakukan di Masjid Nabawi atau tidak?. Marilah kita mengkaji beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Rasullulâh dan para sahabatnya melakukan sujud di tempat-tempat yang berbeda selain di Masjid Nabawi.

1. Al-Wâil bin Hajar berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw, apabila beliau bersujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah.[30]
2. Ibnu 'Abbâs berkata: " Sesungguhnya Nabi Saw pernah melakukan sujud di atas batu.[31]
3. 'Âisya berkata : " Aku tidak pernah melihat Rasulullâh Saw menyandarkan wajahnya (dahinya) ketika salât dengan sesuatu apa pun, selain di atas batu atau tanah, ketika beliau melakukan sujud.[32]
Dengan riwayat ketiga ini, jelaslah bagi kita dengan kesaksian istri beliau sendiri bahwa sesungguhnya beliau melakukan sujud di atas tanah dan menyandarkan dahi beliau yang mulia di atas tanah.
4. Abû Sa'îd al-Khudrî berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw pada dahinya terdapat bekas-bekas tanah dan air.[33]
5. Abu Hurairah berkata: " Aku melihat Rasullah Saw melakukan sujud pada hari turun hujan dan pada dahi beliau terdapat bekas-bekas tanah.[34]
Bukti ke 4 dan ke 5 ini menegaskan kepada kita bahwa Rasulullâh Saw mengutamakan sujud di atas tanah walaupun turun hujan. Sehingga para sahabat beliau dapat dengan jelas menyaksikan bekas-bekas tanah pada dahi beliau yang mulia.
6. Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw melakukan salât dengan kisâ (sejenis kain) yang berwarna putih pada waktu subuh yang sangat dingin. Untuk menghindar dari dingin, beliau menghamparkan kisâ itu pada tangan dan kaki beliau.[35]
7. Pada bagian lainnya Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw pada hari turun hujan, beliau menghamparkan kisâ tersebut di atas tanah untuk kedua tangan beliau ketika melakukan sujud.[36]
8. 'Abdullâh bin 'Abdurrahman berkata: " Rasulullâh Saw datang menjumpai kami, kemudian beliau salât bersama kami di dalam masjid Banî 'Abdil Asyhal. Ketika itu aku melihat beliau meletakkan kedua tangannya diatas bajunya ketika sujud ".[37]

Riwayat-riwayat ini menunjukkan dan menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw beralaskan kisâ dan aba'ah-nya di atas tanah yang memisahkan antara kedua tangan dan kaki beliau. Hal ini menunjukkan keadaan darurat atau keterpaksaan ketika turun hujan. Akan tetapi walaupun beliau meletakkan alas untuk tangan dan kaki beliau, beliau tidak meletakkan secarik kain apapun yang menjadi perantara antara dahi beliau dan tanah sehingga dalam situasi hujan dan cuaca yang sangat dingin itu, dahi beliau menjadi basah dan terdapat bekas-bekas tanah.

Setelah kita melewati beberapa riwayat, hadits-hadits dari kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan jelas, kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan bahwa Rasulullâh Saw melakukan sujud ketika beliau melaksanakan salât di atas tanah baik itu masih berupa tanah yang murni maupun berupa batu-batuan.

Berikut ini kami ajak anda untuk menyimak hadits-hadits, riwayat-riwayat yang menceriterakan tentang sujudnya Rasulullâh Saw di atas bagian sesuatu yang tumbuh di atas tanah. Sebagaimana hal ini dicatat oleh para ahli hadits dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah di dalam kitab-kitab mereka yang berupa hadits-hadits mu'tabarah atau diakui keabsahannya.





Gambar Turba irak yang asli bukan sembarang tanah (tanah karbala).

Sujudnya Rasulullâh Saw di atas sesuatu yang tumbuh di atas bumi
Kaum muslimin dan 'ulama mereka telah bersepakat tentang bolehnya melakukan sujud di atas sesuatu yang tumbuh di atas tanah. Hanya saja, yang mereka ikhtilaf-kan adalah tentang bolehnya sujud di atas segala sesuatu yang bisa dimakan dan bisa dipakai. Sebagian dari mereka membolehkan hal tersebut sesuai dengan ijtihad dan istinbât mereka. Akan tetapi sebagian yang lainnya tidak membolehkan hal tersebut karena mengikuti Imâm Ma'sum mereka.

'Ala kulli hal, tanpa diragukan lagi bahwa kaum muslimin dari pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak pernah menyangkal keabsahan sujudnya seorang muslim Syi'ah Imâmiyah di atas segala sesuatu yang ditumbuhkan oleh bumi yang tidak dimakan dan tidak dipakai. Dan yang masyhur menurut madzhab Syi'ah Imâmiyah adalah tidak boleh melaksanakan sujud dalam keadaan ikhtiar, yakni tidak dalam keadaan terpaksa kecuali di atas tanah atau di atas sesuatu yang ditumbuhkan oleh bumi dengan syarat tidak dimakan dan tidak dipakai.

Pernah terjadi perbincangan antara penulis dengan sebagian kaum muslimin tentang sujudnya orang Syi'ah Imâmiyah di atas tanah atau turbah. Pertama kali penulis tanyakan kepada mereka adalah apakah anda menganggap sah sujudnya orang-orang Syi'ah di atas tanah atau turbah itu sesuai dengan madzhab anda atau tidak. Mereka menjawab : " Ya, sujud semacam itu hukumnya sah, hatta menurut madzhab kami. Kemudian kami katakan kepada mereka: " Apabila sujud mereka (orang-orang Syi'ah) sujudu di atas tanah itu sah dan benar menurut madzhab anda, lalu mengapa anda memprotes perbuatan mereka itu. Sesungguhnya orang-orang Syi'ah tidak pernah memprotes dan menyangkal apa yang anda lakukan ketika kalian salât, tetapi kenapa kalian menyangkal orang-orang Syi'ah " ?

Yang ke dua, yang perlu anda ketahui adalah bahwa sesungguhnya orang-orang Syi'ah sama sekali tidak mengamalkan dan mempraktikkan kecuali apa yang telah diamalkan dan yang telah dipraktikkan oleh para Imâm Ma'sum dan mereka sama sekali tidak mengambil urusan yang berhubungan dengan ibadah mereka kecuali dari para Ma'sumîn tersebut. Juga mereka tidak mengikuti dan mentaati kecuali kepada orang-orang yang telah mendapatkan restu, izin serta ridâ dari Allâh Swt, dan Allâh Swt sendiri telah memerintahkan mereka dan begitu pun Rasulullâh Saw untuk melakukan hal itu. Maka bagi anda laksanakanlah 'amal ibadah anda dan biarkan mereka melaksanakan 'amal ibadah mereka. Hindarilah memprotes mereka tanpa dasar dan argumen karena sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah itu bersandar pada sanad dan dalil yang kuat dan dapat ditemukan dalam kitab-kitab utama anda.

Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin yang berpegang teguh pada Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila anda malaksanakan sujud di dalam salât-salât anda di atas turbah atau tanah sesuai dengan apa yang telah biasa dilakukan oleh orang-orang Syi'ah di dalam salât-salât mereka, maka sesungguhnya para 'ulama dan para imâm anda menganggap dan menilai perbuatan tersebut sah dan diterima tanpa adanya keraguan dan isykal(masalah) sedikit pun. Dan sesungguhnya Rasulullâh Saw serta keluarganya yang mulai dan suci beliau serta seluruh sahabat beliau akan menerima dan meridâi hal tersebut tanpa adanya keraguan sedikitpun. Akan tetapi apabila anda melakukan sujud di dalam salât-salât kalian di atas sesuatu yang tidak dipakai oleh orang-orang Syi'ah misalnya di atas sajadah atau di atas karpet maka bisa jadi 'ulama anda akan menerima dan menganggapnya sah. Akan tetapi sudah pasti bahwa para Imâm Ma'sum dan para 'Ulama Syi'ah tidak dapat menerima hal itu dan mereka tidak akan pernah mengangapnya sah.

Dan apabila sujud dalam salât tersebut tidak dianggap sah, maka salâtnya pun dianggap batal atau tidak sah. Dan tentunya apabila anda melakukan hal itu, yaitu melakukan sujud diatas selain apa-apa yang dipakai oleh orang-orang Syi'ah dan para Ma'sumîn mereka, padahal anda telah membaca hadits-hadits dan riwayat-riwayat Rasulullâh Saw ini, maka andapun boleh jadi ragu terhadap apa yang telah anda lakukan itu. Orang yang berakal sehat tidak akan memilih suatu perbuatan yang hanya diterima dan direstui oleh sebagian 'ulama saja tanpa diakui oleh 'ulama yang lainnya, apalagi para Ma'sumîn As. Orang yang berakal pasti akan memilih suatu perbuatan yang ia yakini berdasarkan argumen- argumen yang kuat yang diterima oleh seluruh 'ulama, para Imâm Ma'sûm serta Rasulullâh Saw. Silahkan anda menyimak riwayat-riwayat dan hadits-hadits berikut ini tentang sujudnya Rasulullâh Saw. Setelah itu renungkan dan pikirkanlah, semoga anda mendapat petunjuk dari Allâh Swt. Atau kalau tidak lakukanlah apa yang anda kehendaki tapi ingatlah sesungguhnya anda mas'ul, kelak dimintai tanggung jawab atas segala perbuatan anda pada hari pembalasan nanti.
Dalam surat At-Taubah disebutkan: " Berbuatlah kalian, sesungguhnya Allâh Swt dan Rasulnya serta orang- orang yang beriman, (yaitu para Imâm Ma'sûm) akan melihat amal perbuatan kalian dan kalian akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui segala yang ghâîb dan yang terang dan kalian akan diberitahukan tentang apa- apa yang kalian lakukan.( Qs. At-Taubah : 105 ).

Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang sujudnya Rasulullâh Saw adalah sebagai berikut :
1. Abî Sa'îd al-Khudrî berkata : " Aku masuk menjumpai Rasulullâh Saw. Ketika itu beliau sujud di atas hasîr, yaitu tikar yang terbuat dari daun ".[38]
2. Anas bin Mâlik dan Ibnu 'Abbâs dan sebagian istri – istri Rasulullâh Saw seperti 'Âisya, Ummu Salamah dan Maîmunah – meriwayatkan suatu hadits yaitu : Adalah Rasulullâh Saw biasa melakukan salât di atas humrah yaitu sejenis tikar yang ditenun dari daun kurma ".[39]
3. Abî Sa'îd al-Khudrî meriwayatkan: " Aku melihat Rasulullâh Saw salât di atas tikar dan beliau sujud di atas tikar tersebut ".[40]
4. 'Âisya berkata: " Bahwa Rasulullâh Saw mempunyai tikar dan beliau biasa menggelar dan salât di atasnya ".[41]
5. Anas bin Mâlik meriwayatkan dan ia berkata : " Rasulullâh Saw salât di atas humrah dan sujud di atas humrah tersebut ".[42]
6. Anas juga meriwayatkan dan berkata " Rasulullâh Saw adalah insan yang mempunyai akhlak yang paripurna. Pernah suatu ketika datang waktu salat beliau berada di rumah kami. Ketika itu di rumah kami ada sebuah tikar kemudian beliau menyapu dan membersihkan tikar itu dan mengimami salât, lalu kami pun salât di belakang beliau dan tikar yang dipakai itu terbuat dari pelepah kurma ".[43]
7. Bukhârî, Muslim dan Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Anas. Mereka berkata: " Maka kemudian aku berdiri menuju ke tikar yang sudah menghitam karena sudah lamanya dipakai. Kemudian kami bersihkan tikar itu dengan air. Kemudian Rasulullâh Saw berdiri dan melakukan salât berjamaah bersama kami ".[44]
8. Abî Sa'îd al-Khudrî bahwa dia pernah masuk menjumpai Rasulullâh Saw dan menemukan Rasulullâlh Saw sedang salât di atas tikar dan beliau salât di atasnya.[45]
9. Anas bin Mâlik meriwayatkan satu hadits, ia berkata : " Pernah Rasulullâh Saw mengunjungi rumah Ummu Sulaîm ketika tiba waktu salât, beliau melakukan salât di atas tikar yang kami miliki. Tikar itu beliau bersihkan dengan air ".[46]

Pembaca yang budiman, setelah mengkaji dan membaca hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang perbuatan dan amalan-amalan Rasulullâh Saw dalam sujud beliau maka jelaslah bagi kita bahwa beliau senantiasa melakukan sujud di atas tanah dan sesuatu yang tumbuh di atas tanah seperti tikar yang terbuat dari pelepah pohon kurma. Dan kami sama sekali, hingga kini, belum pernah melihat dan menemukan riwayat – riwayat bahwa Rasulullâh Saw sujud di atas sesuatu yang dimakan dan dipakai. Dan yang perlu anda ketahui adalah bahwa hadits-hadits yang kami paparkan di atas adalah hadits-hadits yang bersumber dari kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Jama'ah sesuai dengan risalah ini. Kalau pun benar ada sebuah riwayat dan hadits yang menunjukkan sujudnya Rasulullâh Saw dan sebagian sahabat beliau di atas baju atau diatas kain dan sebagainya. Akan tetapi riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan sebagian sahabat-sahabat beliau salat di atas kain itu menjelaskan sebuah keadaan darurat seperti ketika musim dingin, dibawah derajat dan musim panas yang menyengat. Sedangkan kaum muslimin dan ulama seluruhnya telah bersepakat bahwa keadaan darurat itu menjadikan sesuatu yang sebelumnya dilarang menjadi boleh dilakukan.

Wahai kaum muslimin, khususnya anda para pengikut setia madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan terlebih khusus lagi para pengikut madzhab Wahâbî ketahuilah bahwa para pengikut Syi'ah Imâmiyah, adalah mereka yang mengamalkan dan mempraktikkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat tersebut ketika mereka melakukan salât itu sejak pada masa Rasulullâh Saw hingga saat ini. Dan kitab-kitab mereka yaitu kitab-kitab 'Ulama Syi'ah sarat dengan riwayat-riwayat semacam ini.

Orang-orang Syi'ah Imâmiyah mempunyai keyakinan bahwa sunnah dan sirah Rasulullâh Saw yang penuh berkah dan rahamt itu merupakan petunjuk, penuntun, pembimbing dan berkedudukan sebagai marja' atau tempat rujukan bagi seluruh kaum muslimin setelah kitab suci al-Qur'ân al-Karîm.

Wahai pengikut madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengapa anda tidak mempraktikkan riwayat- riwayat tersebut dan tidak menjalankan perintah- perintah Rasulullâh Saw. Akan tetapi kalian malah menyalahkan dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut di dalam sujud kalian. Bukankan anda membaca Al-Qur'an yang menyatakan :
" Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allâh dan Rasul-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allâh sesungguhnya Allâh Mahamendengar lagi Mahamengetahui." (Qs. Al-Hujurât : 1)

Para mufassirun dalam menjelaskan tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat tersebut), mengatakan bahwa ketika Rasulullâh Saw hendak pergi ke medan Khaibar, beliau meninggalkan seseorang yang telah beliau tunjuk yang menempati tempatnya di Madinah al-Munawarah dan mengangkat orang itu sebagai Khalîfah dan pengganti beliau. Ketika itu 'Umar bin Khattâb memberikan usulan lain. Ia mengusulkan orang lain yang menjadi khalîfah Rasulullâh Saw di Madinah, bukan orang yang telah ditunjuk Rasulullâh Saw. Berkenaan dengan sikap 'Umar ini, turunlah ayat tersebut yang menjelaskan agar 'Umar bin Khattâb tidak mendahului segala yang telah ditetapkan Allâh dan Rasul-Nya.[47]

Dan perlu dijelaskan bahwa tidak bolehnya mendahului Allâh dan Rasul-Nya Saw itu berarti tidak boleh memberikan usulan atau ide tentang apa yang telah ditetapkan oleh Allâh dan Rasul-Nya tentang suatu urusan atau tidak boleh tergesa-gesa dalam menetapkan apa yang telah diputuskan oleh Allâh dan Rasul-Nya. Dan sudah tentu bahwa ayat tersebut mempunyai penafsiran dan pemahaman yang sangat luas yang mencakup dan meliputi seluruh tindakan dan perbuatan atas segala ketetapan dan ketentuan Allâh dan Rasul-Nya.[48]

Jelas bahwa apa yang anda lakukan, yaitu sujud di atas segala sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allâh dan Rasulnya itu merupakan misdâq dan bukti akan adanya mendahului ketetapan Allâh dan Rasul-Nya. Bahkan hal itu pun merupakan bukti dan misdâq dari ayat :
" Demi Tuhanmu, sungguh mereka tidak beriman sehingga mereka bertahkim kepadamu, wahai Muhammad tentang sesuatu yang mereka ributkan dan mereka ihtilafkan diantara mereka kemudian setelah itu mereka tidak mendapatkan kesempitan di dalam diri mereka terhadap apa yang telah engkau putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (Qs. An-Nisâ : 65).

Setelah membaca penjelasan dan keterangan- keterangan ini, yaitu tentang sujudnya Rasulullâh Saw dan para sahabatnya, maka cobalah anda merujuk dan melihat hati sanubari anda. Perhatikanlah baik-baik apakah nurani anda mendapatkan kesempitan dan kesesakan setelah melihat dengan jelas risalah dan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullâh Saw ataukah kalian akan menerimanya dengan sepenuh hati. Maka dari sini mengemuka sebuah pertanyaan, Sudahkah anda termasuk orang-orang yang beriman secara hakiki ataukah belum? Karena salah satu tanda-tanda dan sifat-sifat orang mukmin adalah bahwa dia tidak mempunyai pilihan sama sekali tantang suatu perkara selain apa yang telah ditetapkan oleh Allâh dan Rasul-Nya sebagaimana sesuai dengan firman Allâh Swt :
" Dan tidak sepatutnya bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan, apabila Allâh dan Rasulnya telah menetapkan suatu perkara atau suatu hukum, mereka mempunyai pilihan lain atas pilihan mereka dan barang siapa yang bermaksiat atau menentang Allâh dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah berada dalam kesesatan yang nyata." (Qs.Al-Ahzâb: 36 ).

Perhatikan, pikirkan dan renungkanlah ayat ini dengan cermat.
Wahai para pengikut setia Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah inilah, Nabi kita Rasulullâh Saw, Nabi yang penyayang dan yang penuh welas-asih terhadap seluruh umat manusia dan kaum muslimin. Sungguh beliau telah menjadi uswah dan suri teladan dalam segala urusan dan perkara bagi kita semua. Bukankah kaum muslimin telah bersepakat bahwa Rasulullâh Saw merupakan suri teladan pada setiap masa dan setiap keadaan? Dan sesungguhnya sîrah dan perilaku beliau merupakan cahaya terang benderang yang menerangi jalan-jalan mereka dalam seluruh sisi kehidupan? Dan bahkan dalam masalah sujud dalam salât pun diwajibkan untuk mengikuti dan meneladani beliau serta mengikuti sunah-sunah beliau.
Bukankah anda telah membaca ayat :
" Sungguh adalah Rasulullâh Saw merupakan suri teladan yang baik untuk kalian semua yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allâh dan hari akhirat dan mengingat Allâh sebanyak- banyaknya." (Qs. Al-Ahzâb : 21).

Sesungguhnya Rasulullâh Saw adalah merupakan suri teladan yang baik bagi anda, tidak hanya dalam masalah ini saja, bahkan di dalam seluruh aspek kehidupan dikarenakan sisi ma'nawiyah beliau yang sangat tinggi dan agung, kesabaran, istiqâmah dan keteguhan hati, kecerdasan, keikhlasan dan seluruh sifat beliau merupakan suri teladan bagi kita semua. Juga penguasaan beliau terhadap berbagai macam peristiwa, ketegaran beliau saat menghadapi berbagai kesulitan. Dan singkatnya, dalam segala hal beliau merupakan suri teladan yang paripurna bagi seluruh kaum muslimin.[49]

Dari uraian-uraian di atas kesimpulan yang dapat kita ambil dalam masalah sujud secara syar'i adalah meletakkan dahi di atas tanah secara langsung dan tanpa penghalang apapun, baik tempat sujud itu berupa tanah ataupun batu-batuan. Oleh karena itu, apabila seorang musallî – orang yang melaksanakan salât - ia melakukan sujud tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, misalnya ia dalam sujudnya meletakkan dahinya di atas sajadah, karpet, kain dan lain sebagainya, maka menurut pandangan syar'i sujudnya tidak dianggap sah dan salâtnya pun ikut batal.

Teranglah bahwa dalam madzhab Syi'ah Imâmiyah, hukumnya wajib meletakkan dahi di atas tanah, termasuk batu-batu, pasir dan tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan dan tidak dijadikan sebagai bahan untuk membuat pakaian. Sementara menurut 'ulama dan mujtahid Ahli Sunnah pun sebenarnya wajib pula hukumnya seperti pendapat Madzhab Syi'ah Imâmiyah bahkan menurut mereka, nampaknya lebih luas lagi hukum tersebut, yaitu menurut sebagian mereka sujud itu tidak sempurna kecuali dengan meletakkan anggota tubuh yang dalam salât wajib melakukan sujud. Anggota tubuh yang dimaksud itu berjumlah tujuh bagian yaitu : dua telapak tangan, dua dua kaki, dua lutut dan juga hidung kecuali di atas tanah. Sedangkan menurut Madzhab Syi'ah Imâmiyah yang diwajibkan menyentuh tanah hanyalah bagian dahi saja. Sedangkan dua telapak tangan, dua kaki, dua lutut dan juga hidung tidak diwajibkan untuk menyentuh tanah secara langsung.

Dan bahkan sebagian 'Ulama Ahlus Sunnah mensyaratkan adanya sentuhan dahi ke tanah tersebut, artinya sebagian besar dahi harus menyentuh tanah. Sementara di dalam madzhab Syi'ah Imâmiyyah, apabila dahi tersebut sudah menyentuh tanah sebesar uang logam saja, atau sebesar kuku ibu jari kita, itu dianggap sudah sah. Jadi kalau anda melakukan sujud di atas tanah atau turbah yang hanya sebesar kuku ibu jari saja, maka menurut madzhab Syi'ah Imâmiyah sujud anda sudah dianggap sah.

Dengan uraian di atas dapatlah kita pahami bahwa menyentuhkan dahi ke atas tanah bukanlah suatu hukum biasa tetapi merupakan ketetapan Allâh dan Rasul-Nya serta perilaku para sahabat dan para tabi'in.

Jadi sama sekali bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh orang Syi'ah. Bahkan lebih jauh dari itu, bukanlah suatu kemusyrikan, sebagaimana yang dituduhkan sebagian kaum muslimin bahwa orang-orang Syi'ah telah menyembah batu atau tanah sujudnya mereka di atas tanah yang besarnya sebesar korek api itu. Janganlah anda begitu mudahnya menilai orang lain telah berbuat musyrik sedangkan argumen-argument anda telah cocok dan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Syi'ah Imâmiyah.

Jelaslah bahwa meletakkan dahi di atas tanah ketika salat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar ketika tidak ada halangan. Dan sujud di dalam syari'at Islâm tidaklah sah dan tidak dapat dinamakan sujud apabila dahinya itu tidak menyentuh bagian tanah secara langsung. Adapun adanya hadits-hadits dan riwayat -riwayat yang menceriterakan bahwa Rasulullâh saw serta para sahabatnya pernah melakukan sujud di atas kain, hal ini mereka lakukan dalam keadaaan darurat dan terpaksa seperti dalam keadaan yang sangat panas, sangat dingin atau sehabis turun hujan. Dengan demikian, bahwa hukum asal atau hukm awwalî sujud dalam salât adalah wajib meletakkan dahi di atas tanah. Sedangkan hukm tsanawî ataau hukum ke dua yaitu ketika dalam keadaan darurat, - dalam pembahasan kita ini – maka dibolehkan meletakkan dahi di atas kain.

Hadits-hadits berikut ini menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan sebagian dari sahabatnya melakukan sujud di atas kain atau baju ketika berada dalam keadaan darurat.
1. Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw melakukan salât di atas baju yang berwarna putih ketika Salât Subuh. Saat itu udara sangat dingin. Beliau menggunakan kain itu untuk menghindar dari rasa dingin di bagian tangan dan kakinya ".[50]
2. Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku pernah melihat Rasulullâh Saw pada musim hujan beliau menghindari lumpur ketika melakukan sujud dengan meletakkan baju beliau pada tangannya ".[51]
3. 'Abdullâh bin 'Abdurahman berkata: " Rasulullâh Saw datang kepada kami dan melakukan salât berjamaah bersama kami di masjid Banî 'Abdul Ashal. Aku melihat beliau meletakkan tangannya di atas bajunya, ketika Beliau melakukan sujud.[52]
4. Tsâbit bin Samîd berkata: " Sesungguhnya Rasulullâh Saw pernah salât bersama kami di Masjid 'Abdul Ashal sementara beliau memakai baju yang berlipat yang beliau jadikan alas tangannya untuk menghindari dinginnya batu-batu.[53]
5. Anas berkata: " Apabila kami melakukan salât dibelakang Rasulullâh Saw pada siang hari yang panasnya sangat menyengat. Kami melakukan sujud di atas baju kami untuk menghindari terik panas matahari.[54]

Dengan riwayat-riwayat di atas dapat kita pahami bahwa seseorang dibolehkan melandasi anggota sujudnya dengan baju ketika berhalangan atau dalam keadaan darurat. Misalnya, ketika udara sangat panas atau sangat dingin, atau tanah berlumpur.

Dalam mencermati riwayat-riwayat yang menjelaskan sujud dalam keadaan darurat atau keadaan terpaksa, kita melihat bahwa Rasulullâh Saw dan para sahabatnya sujud diatas kain walau dalam keadaan darurat.

Kita tidak mendapatkan adanya riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan para sahabat pernah sujud atau sajadah di atas karpet meskipun dalam keadaan darurat.

Oleh karena itu, salah seorang ulama Sunni yaitu Asy-Syaukâni dalam kitabnya Nairul Autâr ia berkata : " Hadits-hadits diatas yaitu sujud ketika berhalangan menegaskan bolehnya sujud di atas baju ketika berada dalam keadaan darurat, hal ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah menyentuh tanah secara langsung karena didalam riwayat-riwayat tersebut diterangkan bahwa meletakkan baju itu dapat dilakukan hanya ketika berhalangan. Dan demikian juga sebagian orang berdalil dengan hadits-hadits tersebut bahwa dibolehkannya melandaskan baju itu hanyalah baju yang dipakai. Bukan dengan sajadah, karpet dan lainnya yang tidak digunakan untuk salât.[55]

Dalam hal ini pula An-Nawawi berkata bahwa Abu Hânifâh memberikan hukum seperti ini yaitu melandaskan dengan baju yang dipakai ketika sujud. Demikianlah pendapat jumhur atau umumnya fuqaha dalam madzhab Ahli Sunnah wal Jama'ah.
Bahkan Al-Bukhârî dalam Sahih-nya memberikan judul sebagai berikut : Sujud di atas baju ketika udara dan batu-batu sangat panas menyengat. Hadits-hadits di atas menegaskan tentang tidak bolehnya sujud di atas batu kecuali benar-benar berhalangan.[56]

Bukan tempatnya di sini untuk menyebutkan seluruh hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang ada berkenaan dengan perintah Rasulullâh Saw untuk sujud di atas tanah. Beberapa hadits dan riwayat yang telah kami sebutkan di atas sudah memadai untuk menegaskan kepada kita bahwa Rasulullâh Saw senantiasa memerintahkan para sahabatnya untuk sujud dalam salâtnya dengan meletakkan dahi secara langsung di atas tanah. Dan bahkan ada beberapa riwayat dan hadits-hadits yang mengkisahkan pelarangan Rasulullâh Saw kepada sahabatnya untuk melandasi dahinya yang akan menghalangi antara dahinya dan tanah. Diantara hadits-hadits larangan Rasulullâh Saw itu, yang bisa juga dikatakan sebagai dalil bahwa sujudnya beliau dan para sahabat beliau dalam keadaan darurat adalah :
1. Saleh As-Sabaî berkata bahwa pernah Rasulullâh Saw melihat seseorang melakukan sujud dan di sampingnya terdapat surbannya yang menghalangi. Lalu Rasulullâh Saw menyingkap surbannya itu dari dahinya.[57]
2. Ayat bin Abdullah berkata : Pernah Rasulullâh Saw melihat seseorang melakukan sujud di atas surbannya. Lalu beliau memberi isyarat kepada orang tersebut dengan tangan beliau supaya orang itu mengankat surbannya dan beliau memberikan isyarat kepada dahi beliau, yang maksudnya supaya orang tersebut menyentuhkan dahinya di atas tanah.[58]

Masih banyak lagi hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw senantiasa memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan sujud ketika salât agar meletakkan dahi di atas tanah secara langsung. Mengingat terbatasnya tempat dan waktu, tidak mungkin untuk menuangkan semua hadits-hadits yang berkenaan dengan hal tersebut - dalam risalah ini.

Apabila kita telaah dan kaji riwayat-riwayat di atas, dengan hati yang tulus dan ikhlas, tidaklah sulit bagi kita untuk memahami bahkan untuk mengikuti segala apa yang telah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullâh Saw dan para sahabat beliau.

Sujudnya Para Tabi'in.
Kami memandang perlu untuk menghadirkan bukti-bukti lainnya yang disandarkan kepada Tabi'in, generasi setelah Rasulullâh Saw dan sahabat. Bukti-bukti yang kami hadirkan ini adalah sebagai penopang dan sandaran atas bukti-bukti yang telah kami hadirkan sebelumnya.

Dalam pembahasan kita tentang sujud di atas tanah menurut riwayat Ahli Sunnah wal Jama'ah juga didukung oleh para tabi'in yang merupakan generasi pertama setelah wafatnya Rasulullâh Saw. Sebagian dari tabiin itu bahkan membawa alas sujud berupa bata mentah di dalam setiap perjalanan mereka untuk digunakan sebagai tempat bersujud dalam salât.

Bukti-bukti tersebut antara lain :
1. Umar bin 'Abdul 'Azis diceriterakan bahwa ia tidak hanya merasa cukup dengan tikar yang dibuat dari pelepah kurma saja, bahkan ia juga meletakkan debu di atas tikar tersebut untuk ia jadikan sebagai alas sujud.[59]
2. Urwah bin az-Zubair dikisahkan bahwa ia tidak suka melakukan salât kecuali di atas tanah.[60]
3. Masruk bin al-Ajdâ dikatakan bahwa ketika ia melakukan perjalanan dengan perahu ia selalu membawa bata mentah untuk ia jadikan sebagai alas sujud.[61]
4. Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs bahwa Razin berkata : " Pernah 'Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs mengirimkan surat kepadaku. Ia berkata: " Kirimkanlah kepadaku lempengan batu dari Gunung Marwah (nama sebuah gunung yang ada di kota Mekah) untuk aku jadikan sebagai alas sujudku " .[62]
5. Atâ bin Abî Rabah berkata : " Tidak dibenarkan melakukan salât kecuali di atas tanah atau batu-batu kecil.[63]
6. bin Az-Zubair. Ia sama sekali tidak suka melakukan sujud dalam salâtnya kecuali di atas tanah.[64].
7. Ibrahîm an-Naha'i. Ia melakukan sujud di atas tikar dari daun burdi dan ia melakukan sujud di atas tanah.[65]
8. Muhammad bin Muslim Az-Zuhrî bahwa Muammar pernah sujud kepadanya tentang sujud di atas tinfasah (tikar yang dibuat dari pelepah pohon kurma). Ia menjawab : " Hukumnya tidak apa-apa yaitu boleh. Karena Rasulullâh Saw pernah melakukan salât diatas tikar yang dibuat dari pelepah pohon kurma.[66]
9. Makhul. Ia senantiasa melakukan salât di atas tikar yang terbuat dari daun burdi dan ia melakukan salât di atas tikar tersebut.[67]
10. Muhammad bin Sirîn. Ia senantiasa membawa bata mentah untuk ia jadikan sebagai alat sujud ketika ia bepergian dengan perahu.[68]
11.Jabir bin Zaid. Ia tidak suka melakukan salât di atas apapun yang terbuat dari binatang dan ia selalu menyentuhkan dahinya ketika ia melaksanakan salât di atas tumbuhan.[69]
12. Hasan al-Basrî. Ia selalu meletakkan batu-batu kecil di tempat ia melaksanakan sujudnya.[70]

Riwayat-riwayat yang kami utarakan kepada anda di atas hanyalah sebagian riwayat-riwayat yang menjelaskan perilaku salat dan sujudnya para Tabi'in yang dapat ditulis oleh para perawi dan diabadikan dalam kitab-kitab sejarah. Yang perlu anda ketahui adalah seluruh riwayat tersebut adalah riwayat yang bersumber dari Ahlus Sunah wal Jama' ah yang tersebut di dalam kitab-kitab utama mereka.

Dengan demikian jelaslah bahwa sujud di atas tanah, lempengan batu yang bisa dibawa ke mana-mana, batu tanah atau turbah bukanlah merupakan ulah dan perbuatan orang-orang Syi'ah. Sujud di atas tanah bukan suatu pekerjaan yang dibuat-buat dan main-main belaka, akan tetapi ia merupakan ajaran Islâm yang telah disampaikan oleh Rasulullâh Saw kepada sahabat-sahabat beliau dan diikuti oleh para tabi'in yang pada dasarnya adalah bahwa sujud itu wajib hukumnya untuk dilakukan diatas tanah atau tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan dan tidak dipakai, baik tanahnya itu dibuat dan dipadatkan atau batunya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa dibawa atau dengan tanah apapun. Dengan syarat batu atau tanah tersebut bersih dari najis dan kotoran yang lainnya.

Sekali lagi kami ingatkan bahwa sujud di atas tanah, di atas batu ataupun di atas tumbuhan yang tidak dipakai ataupun tidak dimakan bukanlah berarti sujud kepada tanah itu. Anda harus bisa menbedakan antara sujud di atas tanah dengan sujud kepada tanah. Sehingga jelaslah bahwa apa yang dituduhkan oleh orang-orang Wahâbî kepada orang-orang Syi'ah yang melakukan sujud di atas sekeping tanah sebagai perbuatan syirik dan menyembah kepada tanah, tuduhan itu sama sekali tidak benar dan tidak mempunyai dasar yang kuat.

Karena apabila sujud di atas tanah itu dikategorikan dan dihukumi sebagai perbuatan syirik karena dianggap bersujud dan menyembah tanah, maka seluruh kaum muslimin yang melakukan sujud di atas sajadah, sapu tangan, karpet dan lain sebagainya termasuk melakukan perbuatan syirik. Karena dengan demikian mereka akan dikatakan menyembah sajadah, sapu tangan, dan karpet. Jadi sujud di atas tanah sama sekali bukan sujud dan beribadah kepada tanah itu. Sebagaimana seluruh kaum muslimin ketika mereka melaksanakan salât diwajibkan menghadap Ka'bah al-Musyarrafah hal ini berarti bahwa mereka menyembah Ka'bah itu. Sama sekali tidak demikian. Dan semua ketentuan dan hukum-hukum syariat ini yang diperintahkan oleh Allâh Swt dan Rasulnya Saw yang sedemikian rupa itu pasti mengandung hikmah yang tinggi nilainya yang sebagiannya dapat diungkap dan diketahui oleh para ulama dan sebagian kaum muslimin dan masih banyak lagi hikmah-hikmah ibadah itu yang tidak bisa diungkap atau belum dipahami oleh kaum muslimin. Bagian akhir dari risalah ini kami akan membeberkan sedikit tentang hikmah sujud di atas tanah.[]

________________________________________
Rujuk:
[1]Lihat Al-Mughnî, jilid 1, hal. 520.
[2] Lihat Al-Umm, jilid 1 , hal. 114.
[3] Lihat Al-Muhâddits Al-Bahrânî, Al-Hadâiqun Nâdira, jilid 8, hal. 273.
[4] Lihat Tahrîr al-Wasilah, jilid 1, hal.156.
[5]
[6] Sahih al-Bukhâri, jilid 1, hal. 209, Muslim, jilid 1, hal. 371 dan Wasâilus Syi'ah, jilid 3, hal. 423.
[7] Lihat kitab "Aqâ'idunâ" hal.115-116.
[8] Lihat Sîrah Sayyidul Mursalîn, jilid 1, hal. 567.
Lihat Sirah Sayidul Mursalin, jilid 1, hal 570. [9]
[10] Lihat As-Sujud 'ala Turbat al-Husaîniyah hal. 193.
[11] Hadits ini dikeluarkan oleh Ashâbul Shihâh yaitu para ulama hadits yang mempunyai kitab Sahih dan sunan, yang diantaranya adalah al-Bukhârî di mana ia mengeluarkan hadits tersebut dalam kitab Sahih-nya pada jilid 1, hal. 19 pada Kitâbus Saleh dalam kitab Naumu al- Rijâl fil Masjid dan pada jilid 5, hal. 18 dan 19 pada bab Manâqib 'Alî bin Abî Tâlîb As sebagaimana kami singgung di atas dan pada jilid 8, hal. 45 dalam Kitâbul Adâb pada bab al-Takannî bi Abî Turâb dan pada jilid 8, hal. 63 dalam kitab Al-Isti'dzân pada bab al-Qâilah fil Masjid dan juga Muslim meriwayatkannya dalam kitab Sahih-nya yaitu kitab Fadâil al-Sahâbah pada bab Fadâil 'Alî bin Abî Tâlîb As. Dan juga Ibnu Jarîr Al-Tabarî meriwayatkannya dalam kitab Târikh-nya paada jilid 2, hal. 124.
[12] Lihat Sahih Muslim pada jilid 4, hal. 188 pada bab al- îlâ Wa'tizâlun Nisâ wa Takhyîr hunna waqawlahu Ta'ala (wa in Tazzâharâ 'Alaihi).
[13] Lihat Addurr al-Tsamînah hal. 371.
[14] Lihat Sahih al-Bukhâri, jilid 1, hal. 93, Bab Bunyânul Masâjid dan Fathul Bârî Jilid 2, hal. 86 dan As-Sunanul Kubrâ, Jilid 2, hal 438.
[15] Lihat Wafâul Wafâ bi akhbâr dârul Mustafâ, jilid 1, hal. 473.
[16] Lihat Wafâul Wafâ bi akhbâr dârul Mustafâ, jilid 1, hal. 473.
[17] Lihat Tabaqât Ibnu Sa'ad, jilid 3, hal. 283-284. Dan Manâqib' Umar Ibn al-Jauzî, Hal. 63.
[18] Lihat As-Sunanul Kubrâ, Jilid 2, Hal. 441 dan Manâqib 'Umar oleh Ibnul Jawzî, Hal. 63.
[19] Wafâul Wafâ bi akhabâril Mustafâ, Jilid 1,Hal.473.
[20] Lihat Al I'tisâm, jilid 1, hal. 64
[21] Lihat At- Tuhfatul Latîfah, jilid 1, hal. 68 dan 291.
[22] Lihat As-Sunanul Kubrâ, jilid 2, hal. 447.
[23] Lihat Murûjudz Dzahab, jilid 3, hal. 166.
[24] Lihat Ihyâ 'Ulumûddîn, jilid 1, hal. 80.
[25] Lihat Ittihâful Muttaqîn, jilid 1, hal.727.
[26] Lihat Sîrah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz oleh Ibnul Jawzî, hal. 88-89.
* Lihat At-Tuhfatul Latifah, jilid 1, hal 376.
[27] Dairatul Ma'ârîf Al-Islamiyah, jilid 11, hal 275.
[28] Lihat Rihlah Ibnu Batutah, jilid 1, hal 72-73.
[29] Lihat Ittihaful Muttaqin bisyarhi Ihya 'Ulumûddîn, jilid 3, hal. 201,
[30] Lihat Ahkamul Qur'ân oleh Al-Jassâs al-Hanafî, jilid 3, hal. 209
[31] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal.102.
[32] Lihat al-Musannif, jilid 1, hal.397 dan Kanzul Ummâl, jilid 4, hal. 212.
[33] Lihat Sunan an-Nasâ'î, pada Bab as-Sujud 'alal Jabin. jilid 2, hal 208,
[34] Lihat Majmauz Zawâid, jilid 2, hal 126.
[35] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal. 106.
[36] Kitab Sîratunâ wa Sunnatunâ, hal. 132, menukil dari Ahmad bin Hanbal.
[37] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328, pada Bab Sujud 'ala Tsiyâb fil Harri wal Bardi.
[38] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal. 421 pada Kitâbus Salât dalam Bâbus Salâh 'alâl Hasîr.
[39] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328 pada Bâbus Salât 'alâl humrah dan juga lihat Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal 421 dan Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 1, hal.40.
[40] Lihatlah Sîratunâ wa Sunnatunâ pada hal. 130 yang menukil dari Sahih Muslim.
[41] Lihat Fathul Bârî, jilid 1 hal. 413.
[42] Lihat Al-Mu'jamul Ausat was Saghîr oleh Tabrani.
[43] Lihat Sahih Muslim, jilid 1, hal. 457 dan Sunan Al-Baihaqî, jilid 3 hal 436.
[44] Lihat Sahih al- Bukhârî, jilid 1, hal.107 dan Sahih Muslim, jilid 1 hal. 457.
[45] Lihat Sahih Muslim, jilid 1, hal 458.
[46] Lihat At-Tabaqâtul Kubrâ , jilid 8 hal 312.
[47] Lihat Al-Amtsal fî Tafsîri Kitâbillah, jilid 16, hal. 510 yang menukil dari Tafsir Al-Qurtubî, jilid 9, hal. 621.
[48] Ibid., hal. 512.
[49] Lihat Al Amtsal fi Kitâbillâhil Munzal, jilid 13, hal. 197.
[50] Lihat Sunan Al-Baihaqî Jild 2 hal. 106.
[51] Lihat Sîratunâ wa Sunnatunâ hal. 132 yang menukil dari Ahmad bin Hanbal.
[52] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328 bab as-sujud 'alâ siyab fil harri wal bar.
[53] Ibid.
[54] Lihat Sunan an-Nasa'i, jilid 2, hal.216 dan Sunan ad-Dairimi jilid 1 hal. 308.
[55]Lihat Asy-Syaukani, Nairul Autar jilid 2, hal 1268. Ibn Hajar juga berkata yang sama didalam kitabnya Fathul Bari, jilid 1, hal. 414. Demikian juga di dalam Sahih Al-Bukhârî,jilid 1, hal. 101 dan pada jilid 2, hal 61 diterangkan tentang adanya sebagian sahabat yang sujud di atas baju tersebut.
[56] Lihat juga Sahih Muslim, jilid 2, hal 103. Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal 321. Sunan Abû Dâwûd, jilid 1 hal. 106. Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal 100. Nailul Autâr jilid 2, hal. 268.
[57] Lihat Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal 105
[58] ibid.
[59] Lihat Fathul Barî ,jilid 1, hal. 410 dan Syarh Al-Ahwaji, jilid 1 hal. 272, Ihyâ 'Ulûmuddîn, jilid 1, hal. 149 dan Ittihâtul Muttaqîn , jilid 2, hal. 32.
[60] Ibid.
[61] Lihat Tadaqatul Kubrâ, jilid 6, hal. 79.
[62] Lihat Ahbarîl Makkah, jilid 3, hal 151.
[63] Lihat Al-Muhalah, jilid 4 , hal 83.
Lihat Naidul Autar, jilid 2, hal 127. [64]
[65] Ibid.
[66]Lihat Al Musanif Jilid 1 Hal. 394.
[67] Ibid, hal 399.
[68] Lihat Fathul Bari, jilid 2, hal 33.
[69] Lihat Naidul Autâr, jilid 2, hal 126.
[70] Lihat Al- Musanif , jilid 2, hal. 61 dan 413.

Terkait Berita: