Pesan Rahbar

Mengapa Syiah sujud di atas tanah?

Written By Unknown on Thursday 15 January 2015 | 06:19:00


Sujud, menurut syariat suci Islam, hanya pantas dan diperbolehkan jika untuk Allah Swt, tidak boleh seseorang untuk menempelkan dahinya ke tanah untuk selain Dia, dan ini merupakan pernyataan seluruh ulama Islam tanpa terkecuali.

Kalau pun ada perbedaan seputar masalah sujud, perbedaan itu tidak berhubungan dengan hal di atas, melainkan terbatas pada pandangan fikih Syi’ah Imamiyah yang hanya membol­ehkan sujud di atas dua hal:
  1. Bumi, seperti tanah, batu dan semacamnya.
  2. Sesuatu yang tumbuh dari bumi, dengan syarat bukan termasuk pakaian atau makanan.
Sedangkan menurut pandangan fikih Ahli Sunnah, hukumnya lebih luas. Ulama Ahli Sunnah membolehkan sujud bahkan di atas kain-kain tenunan dari bulu, kapas atau rambut. Hanya Mazhab Syafi’i yang mengatakan tidak boleh sujud di atas ujung serban, ujung pakaian atau lengan baju.[1]

Sekarang, marilah kita bersama memperhatikan hadis-hadis dari Nabi Muhammad Saw; baik sabda maupun perbuatan beliau, lalu kita cermati dengan baik pandangan manakah yang didukung oleh hadis-hadis tersebut. Terang saja Nabi Muhammad Saw, sebagaimana tersinyalir dalam Al-Qur’an, merupakan teladan bagi kita semua dan tidak ada seorang pun yang berhak mengutamakan pendapatnya atas sabda dan perbuatan beliau.

Penelitian terhadap hadis-hadis yang tercatat di dalam kitab-kitab Shohih atau Sunan membuktikan bahwa pada kesimpulannya, tempat sujud untuk dahi atau menurut istilah fukaha­ sesuatu yang diperbolehkan sujud di atasnya telah dijelaskan dalam tiga tahap:
Pada tahap awal, sujud disyariatkan hanya di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya), sedangkan sujud di atas selain itu tidak diperbolehkan. Betapa pun para sahabat Nabi Saw mengeluhkan panasnya krikil di Masjid Nabi, beliau tidak mengubah hukum tersebut. Bahkan, bila ada seorang yang sujud di atas serbannya maka beliau menarik serban itu dari dahinya, dan seringkali beliau bersabda, ‘tarrib!’ artinya, kenakanlah mukamu dengan tanah.

Mengingat keharusan sujud di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya), maka untuk menghindari panas para sahabat Nabi Saw menggenggam krikil-krikil itu di tangan supaya agak dingin, dan ketika bersujud maka mereka sujud di atasnya.

Pada tahap awal ini, hanya diperbolehkan sujud di atas bumi, itu pun dalam bentuknya yang alami.
Adapun pada tahap kedua, wahyu Ilahi memperluas subjek hukum berdasarkan maslahat di baliknya, sujud di atas tikar dan jerami pun disyariatkan, dan kita semua tahu bahwa tikar atau jerami itu terbuat dari tumbuh-tumbuhan, karena itu terjadilah perluasan dan kemudahan dalam hal sujud.

Selanjutnya, pada tahap ketiga apabila darurat dan terpaksa, seperti panas yang tak tertahankan, maka boleh hukumnya sujud di atas ujung serban atau semacamnya, adapun jika di luar darurat dan keterpaksaan maka mereka diperintahkan untuk menghindari sujud di atas selain bumi (tanah, batu atau sernacamnya) dan tumbuh-tumbuhan.

Itulah tiga tahap pensyariatan hukum yang berkaitan dengan tempat dahi bersujud.

Keterangan nabi mengenai filosofi sujud di atas bumi
Poin penting yang patut diperhatikan dalam hal ini bahwa Rasulullah Saw sendiri dalam sebuah hadis telah menjelaskan filosofi sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya). Terang sekali hadis itu menunjukkan dimensi pendidikan di balik sikap syariat yang bersikukuh agar sujud dilakukan di atas bumi.
Beliau bersabda, ‘Setiap kali di antara kalian ada yang shalat, rnaka hendaknya dia meletakkan dahi dan hidungnya di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya), karena dengan demikian dia menunjukkan ketundukannya.’[2]

Suatu saat, Hisyam bin Hakam menanyakan filosofi sujud di atas bumi kepada Imam Ja’far Shadiq as, dan beliau menjawab, ‘Hal itu karena sujud adalah tunduk di hadapan Allah Swt, maka tidak seyogianya bagi seorang penyembah untuk sujud di atas makanan atau pakaian, dimana sembahan para penyembah dunia adalah makanan dan pakaian. Maka itu, tidak boleh sujud di atas sesuatu yang disembah oleh para penyembah dunia. Adapun sujud di atas bumi (tanah, batu dan semacamnya) merupakan sebaik-baik ketundukan di hadapan Allah Swt.’[3]

Mengingat bahwa sujud di atas bumi merupakan manivestasi yang sempuma dari penyembahan, maka Umar bin Abdulaziz bersujud hanya di atas tikar, bahkan dia menuangkan sedikit tanah di atas tikar untuk bisa sujud di atasnya.

Ibnu Hajar, di dalam komentarnya terhadap kitab Shohih Bukhari, mengatakan, ‘Umar bin Abdulaziz tidak cukup hanya dengan sujud di atas tikar, melainkan dia meletakkan tanah di atas tikar itu dan bersujud di atasnya.’[4]

Urwah bin Zubair pun tidak bersujud kecuali di atas bumi (tanah, batu atau sernacamnya).[5]
Masruq yang tergolong tabi’in ketika bepergian selalu membawa bata untuk dapat bersujud di atasnya ketika berada di kapal.[6]

Ibnu Abi Syaibah, syaikh Bukhari mengatakan, ‘Shalat di atas thonfasah (permadani) adalah sesuatu yang baru, sedangkan telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah Saw bahwa sesuatu yang paling buruk adalah sesuatu yang tidak punya latar belakang (tidak ada sebelumnya), dan sesuatu yang demikian itu adalah bid’ah.’[7]

Referensi:
[1] Syaikh Thusi, Al-Khilaf, jld. 1, hal. 357-358, masalah no. 112-113. Begitu pula referensi yang lain.
[2] Ibnu Atsir, Nihayah
[3] Majlisi, Bihar Al-Anwar, jld. 82, hal. 147, bab apa yang sah untuk sujud di atasnya.
[4] Ibnu Hajar, Fath Al-Bari, jld. 1, hal. 410; Syarh Al-Ahwadzi, jld. 1, hal. 271.
[5] Ibid.
[6] Muhammad bin Sa’ad, Al-Thobaqot Al-Kubro.jld. 6, hal. 79.
[7] Al-Mushonnaf, 2.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: