Oleh: Dr. M. Quraish Shihab
Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis,
kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta
kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan
tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan
kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan
qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala
yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa
terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari
bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin
kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan
yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat
dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan
material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan
gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri?
Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik
bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan
hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera,
bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika.
Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya
adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar, seperti tergambar dalam ucapannya: “Apabila Muhammad
yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.” Oleh sebab itu,
uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui
apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti
ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah
masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian
Al-Quran tentang Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu cara
pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui
pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik
dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya
yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa
manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk
umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran
menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan
masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas
mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah
mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni
al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra’ dan Mi’raj
merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian
kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi
pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani
manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai
bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan
perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara
timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka
ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai
disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki
pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi
berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah
uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.
204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai’i.
205
Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra’ adalah
surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti
lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban.
Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang
jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan
bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada
sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang
sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat
halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga
tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya,
yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit.
Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem
kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan
seekor “ratu”. Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki
keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini,
karena rasa “malu” yang dimiliki dan dipeliharanya, telah
menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan
salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai
sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah
juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi,
yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh
seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban
ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya
dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Lebah juga dipilih sebagai
pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya.
Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah
“bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah,
seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu
kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan
lebah itu.”
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan
pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini
Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat).
Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah
datang? Al-Quran menyatakan “telah datang ketetapan Allah,”
mengapa dinyatakan-Nya juga “jangan meminta agar disegerakan
datangnya”? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa
Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini,
esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan
makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab
adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan
batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya
dalam surat pengantar ini dengan kalimat:
Maka
perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya,
Kami hanya menyatakan kepadanya “kun” (jadilah), maka jadilah
ia (QS 16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama,
kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak
mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak
yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih
lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para
ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada
akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk
mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah
yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut
Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab
tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak.
Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan
secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan
dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah
yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet
keberatan ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan
ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang
mewujudkannya. “Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu
dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula
penyebab telontarnya peluru,” kata David Hume. “Ayam yang
selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab
terbitnya fajar,” kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume
lahir. “Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C,
dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk
menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat
pergerakannya dari A ke B,” demikian kata Isaac Newton, sang
penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada
lain kecuali “a summary o f statistical averages” (ikhtisar
dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh
Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan “kebetulan”
dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya
suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas
lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh
“superior reasoning power” (kekuatan nalar yang superior).
Atau, menurut bahasa Al-Quran, “Al-‘Aziz Al-‘Alim”, Allah Yang
Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh
Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu
dengan firman-Nya:
Kepada Allah
saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk
binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak
menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang
berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang
diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah:
Janganlah meminta untuk tergesa-gesa.
Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan
Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra’ ini,
Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa
(QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain
menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil
menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang
bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum
dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional
dengan yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan
uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, dalam
surat Isra’ sendiri, berulang kali ditegaskan tentang
keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus
diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat
berikut:
Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8);
Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan
Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya:
Dan
janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun
tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal
tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati,
kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan
pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad
ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis,
menyatakan: “Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan
kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan
sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin
benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang
disebut materi sekalipun.” Sementara itu, teori Black Holes
menyatakan bahwa “pengetahuan manusia tentang alam hanyalah
mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan
manusia.”
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya,
pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman
secara ilmiah atas peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini; kalau betul
demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka
tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara
“ilmiah” menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas
jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah
trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap
fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu,
oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra’ dan Mi’raj hanya
terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba,
diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme,
menyatakan: “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu,
tetapi karena ia tidak tahu.” Dan itu pula sebabnya, mengapa
Immanuel Kant berkata: “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan
ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya.” Dan
itu pulalah sebabnya mengapa “oleh-oleh” yang dibawa Rasul dari
perjalanan Isra’ dan Mi’raj ini adalah kewajiban shalat; sebab
shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan
memelihara ruhani.
Kita percaya kepada Isra’ dan Mi’raj, karena tiada perbedaan
antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang
terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada
di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa
ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya
bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan
bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman:
Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah
kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah
kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula
kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka
tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang
orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah
pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya
peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya
bagaimana Isra’ dan Mi ‘raj terjadi, tetapi mengapa Isra’ dan
Mi ‘raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran,
pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan
dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai
klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas,
yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra’-kan ini,
yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam
masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang
menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra’), ditemukan
sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun
masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan
shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah
yang merupakan inti dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, karena
shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk
mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa
manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan
masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat
dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan
pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang
menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini,
yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga
menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang
sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang
Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila
demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin
mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya
ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan
shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang
pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau
merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia
menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa.
Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan
moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada
Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena
shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar
pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam
bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para
ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis
Carrel menyatakan: “Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang
tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah
kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah
menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.”
Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang
memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang
dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil
penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta
pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel
dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya
secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan
Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang
peristiwa Isra’ dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ
digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap
petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah
menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu
atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah
siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS
16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam
rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’ dan
Mi’raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan
masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah:
Jika
kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi
mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap
mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya (QS 17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa “
Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan” (QS 17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan:
Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu
dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya,
agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang
ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan
dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya
pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali
sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di
surat Al-Isra’ ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara
ketika dilaksanakan shalat:
Janganlah
engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula
merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat
mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat
yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan “jalan tengah” itu
tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik
gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim,
yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang
sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa
demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan
peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat
seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat
melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan
bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan
orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad,
“Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan
kemampuannya masing-masing.” Tuhan lebih mengetahui siapa
yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan
ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra’
dan Mi’raj ini: Katakanlah wahai Muhammad:
“Percayalah
kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan).”
Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya,
apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas
muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat
kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian
peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra’
sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra’ dan
Mi’raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan
keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung,
Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan
kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi
kepada-Nya.
Catatan kaki:
204. Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur’an.
205. Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar.