Pesan Rahbar

Home » , , , , , , » Hari kiamat setiap orang masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri-sendiri dan kabur dari sanak kerabatnya

Hari kiamat setiap orang masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri-sendiri dan kabur dari sanak kerabatnya

Written By Unknown on Monday, 9 February 2015 | 15:47:00


Mengapa hari kiamat setiap orang masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri-sendiri dan kabur dari sanak kerabatnya?
Pertanyaan
Assalamualaikum..Saya pernah mendengar bahwa setelah mati, seseorang akan dikumpulkan bagaikan dalam lautan dan tenggelam di dalamnya. Apakah pernyataan ini benar, jika benar apakah ada dalilnya? Terimakasih

Jawaban Global
Salah satu janji Ilahi adalah mengumpulkan seluruh manusia pada hari kiamat dan bahkan tiada satu pun dari mereka yang tertinggal dari pengumpulan ini. Allah Swt berfirman:

«وَ یَوْمَ نُسَیِّرُ الْجِبالَ وَ تَرَى الْأَرْضَ بارِزَةً وَ حَشَرْناهُمْ فَلَمْ نُغادِرْ مِنْهُمْ أَحَداً»

“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami menjalankan gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu datar, serta Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.”(Qs. Al-Kahf [18]:47)

Tentu saja akan terdapat banyak makhluk yang akan dikumpulkan; karena seluruh manusia semenjak masa Nabi Adam hingga hari kiamat akan berkumpul di suatu tempat dan alangkah banyaknya manusia yang dulunya hidup kemudian mati dan akan mati.

Kondisi setiap orang di tengah membludaknya manusia yang risau dan terlunta-lunta seolah tenggelam di tengah lautan yang luas sehingga tidak memikirkan hal yang lainnya kecuali keselamatan dirinya sendiri.

Hari kiamat adalah hari perhitungan. Pada hari itu, sedemikian sulit bagi setiap manusia dan orang-orang masing-masing mengkhawatirkan apa yang akan menimpanya dan amalan-amalannya sehingga lalai dari orang lain. Dalam kondisi seperti ini, manusia hanya merisaukan nasibnya sendiri. Allah Swt berfirman:

«لِکُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ یَوْمَئِذٍ شَأْنٌ یُغْنیهِ»

"Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (Qs Abasa [80]:37)
 
Berbeda dengan kehidupan dunia dimana manusia kurang menaruh perhatian terhadap akhirat dan amalan-amalannya sementara di akhirat kondisinya berbeda 180 derajat. Satu-satunya yang penting bagi manusia adalah menentukan nasib pamungkasnya dalam perhitungan yang akurat Allah Swt.

Pada hari itu, manusia akan melupakan orang yang paling dekat dari kerabatnya sekalipun, saudara, ayah, ibu, istri dan anak-anak. Bahkan ia tidak hanya melupakan sanak kerabatnya bahkan akan lari darinya.[1]Hal ini menujukkan sedemikian dahsyatnya hari tersebut sehingga manusia memutuskan segala bentuk hubungan dan kedekatan dari sanak keluarganya.

Sebagian berkata bahwa yang dimaksud lari dari saudara-saudara, bapak-bapak, ibu-ibu, istri dan anak-anaknya karena kehidupannya tidak diwarnai dengan ketaatan, iman dan ketakwaan kepada Allah Swt. Ia laris dari mereka karena jangan-jangan ia terjerembab dengan apa yang akan menimpa mereka.
Sebagian lain berkata bahwa lari ini disebabkan oleh karena jangan-jangan orang-orang ini memiliki tuntutan kepadanya dan ia tidak mampu untuk menunaikannya.

Di antara ketiga penafsiran ini, penafsiran pertama yang nampaknya lebih cocok meski tidak ada halangan menggabungkan ketiga penafsiran ini.[2]
Rasulullah Saw dalam hal ini bersabda, “Di tiga tempat, tiada seorang pun, yang akan dapat memikirkan orang lain; (Pertama) Tatkala di mizan hingga ia melihat apakah timbangannya lebih berat atau ringan. (Kedua) Tatkala di shirat, hingga ia melihat apakah ia mampu melewatinya atau tidak. (Ketiga) Tatkala menerima catatan amal, hingga ia melihat apakah catatan amal itu akan diterimanya di tangan kanan atau tangan kiri. Di tiga tempat ini, setiap orang tidak akan mengingat sahabat karibnya atau kekasihnya atau kerabat dekatnya, anak dan orang tuanya. (semua itu) disebabkan oleh suasana yang sangat dahsyat hari kiamat.”[3] 
 

[1]  “Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya. Dari ibu dan ayahnya. Dan dari istri serta anak-anaknya. (Qs. Abasa [80]:34-36)
[2]  Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, jil. 26, hal. 157, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Pertama, 1374 S.
[3] Bahrani, Sayid Hasyim, al-Burhān fi Tafsir al-Qur’ān, jil. 5, hal 586, Tehran, Bunyad Bi’tsat, Cetakan Pertama, 1416 H.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: