Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Surga. Show all posts
Showing posts with label Surga. Show all posts

Salat, Tiket Seorang Mukmin Memasuki Surga


“Salat, doa, dan penghambaan sudah ada di sepanjang sejarah umat manusia. Seluruh agama dari nabi pertama hingga nabi terakhir menekankan masalah ini. Para figur teragung sejarah di setiap masa berkomitmen menegakkan salat. Wasiat pertama para nabi dan wali Ilahi adalah salat.”
Begitu hal ini ditegaskan oleh Hujjatul Islam Hamid Reza Sulaimani kepala pelaksana Badan Penegakan Salat Nasional Republik Islam Iran (RII) pada acara apresiasi para penegak salat hari ini.

Langkah pertama setelah Rasulullah saw diangkat menjadi nabi, lanjut Sulaimani, adalah menegakkan salat, dan itu pun dengan partisipasi para figur agung sejarah; yakni Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Khadijah Kubra. Tindakan pertama beliau setelah berhijrah ke Madinah Munawwarah adalah membangun rumah Allah yang memainkan peran signifikan dalam setiap fenomena sosial masyarakat.

Di bagian lain orasi, Hujjatul Islam Saulaimani menyinggung sikap dan kebiasaan Rasulullah saw ketika mendengar panggilan untuk salat. Beliau berubah seratus persen begitu mendengar suara azan. Para imam Ahlul Bait as juga demikian. Dalam sebuah surat kepada para gubernur, Amirul Mukminin as menekankan supaya mereka mengalokasikan waktu terbaik untuk mengerjakan salat.

“Pertanyaan pertama yang akan diajukan kepada para hamba setelah kematian kelak adalah salat. Untuk menaiki sebuah pesawat, kita harus menggunakan tiket khusus sehingga kita diizinkan masuk. Tiket seorang mukmin untuk memasuki surga adalah salat. Ketika para penghuni Neraka Jahanam ditanyakan mengapa mereka dijebloskan ke dalam penjara, al-Quran menyebutkan sederetan daftar tentang hal ini. Salah satunya adalah mereka tidak memiliki hubungan yang baik dengan salat,” tukas Sulaimani.

(Shabestan)

Nasihat Imam Husein as: Jangan Menisbatkan Dosamu Kepada Allah


Jangan Menisbatkan Dosamu Kepada Allah

Imam Husein as berkata:

"Setiap orang yang menisbatkan perbuatan dosanya kepada Allah Swt, berarti ia telah melakukan kebohongan besar tentang Allah." (Mohammad bin Mohsen Alam al-Huda Kashani, Ma'adin al-Hikmah, Qom, Jameeh Modarresin, 1407 Hq, cet 2, jilid 2, hal 45, hadis 103)

Sebagian manusia setiap kali melakukan perbuatan dosa, jiwanya tersiksa dan untuk membebaskan dirinya dari ketersiksaan ini, mereka menisbatkan dosa dan perbuatannya yang salah kepada alam. Mereka menyebut dosa yang dilakukannya sudah merupakan hukum alam. Orang-orang seperti ini terkadang menisbatkan dosa-dosa yang dilakukannya kepada Allah Swt. Mereka mengatakan bahwa kondisi kehidupan yang membuat mereka melakukan dosa dan kesalahan.

Bila orang-orang seperti ini mau sedikit saja berpikir, mereka pasti sampai pada satu kesimpulan bahwa manusia diciptakan bebas berkehendak. Yakni, ia bebas menentukan untuk melakukan satu pekerjaan atau tidak. Oleh karenanya, kondisi sulit kehidupan yang dihadapinya tidak pernah menafikan ikhtiar dari dirinya. Ia dalam kondisi paling sulitpun dapat melindungi dirinya dari perbuatan dosa. Karena tidak benar bahwa manusia terpaksa dalam melaksanakan pekerjaannya. Bila manusia terpaksa dalam perbuatannya, maka tidak bermakna Hari Kiamat, surga dan neraka.

Dengan melihat kenyataan ini, Imam Husein as menasihati agar jangan ada orang yang menisbatkan perbuatan dosanya kepada Allah. Seakan-akan yang menggerakkannya untuk berbuat dosa adalah Allah. Padahal dengan melihat ke dalam dirinya, dengan mudah ia mengetahui dirinya bebas berlaku. Itulah mengapa Imam Husein as mengatakan bahwa menisbatkan dosa kepada Allah merupakan kebohongan paling besar.

Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.

Nabi Saw: Ketahuilah, Surat Al-Lail Diturunkan Kepada Ali


Hari itu, setelah menunaikan shalat Ashar, seorang lelaki mendekati Imam Ali as dan berkata, "Wahai Ali! Ada yang ingin saya sampaikan kepadamu dan saya berharap engkau sudi memenuhinya."

Imam Ali as melihatnya dan berkata, "Katakan apa yang engkau mau."

Lelaki menjelaskan, "Tetangga dekat rumah saya memiliki pohon kurma di rumahnya. Waktu itu ada angin kencang dan burung, lalu buah kurmanya terjatuh di halaman rumah kami. Saya dan anak-anak memungutnya dan memakannya. Suatu hari saya mendatanginya dan meminta agar ia menghalalkan kurma yang kami makan, tapi ia tidak rela. Sudikah engkau menjadi perantara antara kami dengannya untuk mendapatkan kehalalan dari kurma yang kami makan itu?"

Imam Ali as tidak pernah menolak untuk melakukan perbuatan baik. Tanpa banyak berpikir, beliau langsung mengikuti lelaki itu dan menemui pemilik pohon kurma. Ketika Imam Ali as melihat pemilik pohon kurma, beliau berkata, "Sudikah anda merelakan tetanggamu yang telah memakan buah kurma yang terjatuh? Semoga Allah Swt juga rela kepadamu."

Tetangga lelaki itu menolak permintaan Imam Ali as. Tapi Imam Ali as tidak berputus asa. Untuk kedua kalinya beliau mengulangi permintaan yang sama. Tapi pria itu tetap menolak. Untuk yang ketiga kalinya, Imam Ali as berkata, "Bila engkau merelakan tetanggamu, Demi Allah, saya akan menjadi jaminan dari Rasulullah Saw bahwa Allah Swt akan menganugerahimu sebuah kebun di surga."

Aneh, orang itu tidak menerimanya!

Imam Ali as kembali berkata, "Apakah engkau mau menukar rumahmu dengan satu dari kebun milikku?"

Pria itu menjawab, "Iya, saya mau menukar rumahku dengan kebunmu."

Imam Ali as memandang lelaki yang memintanya sebagai perantara guna menyelesaikan masalahnya dan berkata, "Sejak saat ini, rumah ini juga menjadi milikmu. Allah Swt memberkatimu dan rumah ini halal bagimu."

Keesokan harinya, setelah menunaikan shalat Subuh di masjid, Nabi Muhammad Saw menghadap para jamaah shalat dan berkata, "Tadi malam, siapa di antara kalian yang melakuan perbuatan baik?"

Karena tidak ada yang menjawab, Nabi Saw kembali berkata, "Kalian akan mengucapkannya, atau aku yang mengatakan?"

Ali as berkata, "Wahai Rasulullah! Silahkan anda yang mengatakan."

Nabi Muhammad Saw berkata, "Saat ini Jibril mendatangi aku dan berkata, ‘Tadi malam Ali melakukan perbuatan baik.' Saya bertanya kepadanya, ‘Apa yang dilakukannya?' Sebagai jawabannya, Jibril membawakan surat al-Lail kepadaku."

Setelah itu Nabi Saw berkata, "Wahai Ali! Engkau membenarkan surga dan mengganti kebunmu dengan rumah dan memberikan rumah itu kepada lelaki itu?"

Dengan wajah gembira Imam Ali as berkata, "Benar, wahai Rasulullah!"

Nabi Saw Bersabda, "Ketahuilah bahwa surat al-Lail diturunkan dengan sebab perbuatan baik yang engkau lakukan."

Setelah itu Nabi Saw mencium dahi Ali as dan berkata, "Saya adalah saudaramu dan engkau adalah saudaraku."

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as

Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?


1. Apakah ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan? 
2. Apakah ia akan terlunta-lunta di alam barzakh? 
3. Dalam al-Quran disebutkan manusia setelah kematian mengalami perpindahan. Perpindahan di sini maksudnya dari mana ke mana? Dan berada pada zaman apa?
Jawaban Global
Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga permulaan kiamat ia akan menjalani kehidupan di alam barzakh.

Alam barzakh yang terkadang disebut sebagai alam kubur dan alam arwah.  Alam barzakh adalah sebuah alam antara dunia dan akhirat. Dalil adanya alam seperti ini dapat ditemukan pada ayat-ayat al-Quran dan beberapa riwayat.

Jawaban Detil:
  1. Nasib manusia setelah kematian adalah sebuah masalah yang senantiasa menyita pikiran manusia dan memotivasinya untuk mencari tahu serta menemukan jawaban yang memuaskan dan argumentatif atas persoalan ini. Di antara sejumlah elaborasi dan penafsiran tentang kematian dan perpindahan ruh kita berhadapan dengan sebuah penafsiran yang terkenal sebagai teori reinkarnasi. Dalam teori reinkarnasi ini yang mengemuka adalah terputusnya hubungan ruh dari badan dan terikatnya ruh dalam bentuk manusia lainnya atau hewan atau makhluk lainnya. Keyakinan semacam ini semenjak masa lalu tersebar semenjak masa lalu pada sebagian belahan dunia. Sebagian filosof India dan Yunani meyakini bahwa ruh manusia setelah keluar dari bentuk pertamanya akan masuk pada bentuk lainnya yang sesuai dengan perilaku dan perangai orang tersebut. Pandangan ini memiliki pendukung dan proponen di pelbagai belahan dunia. Dalam dunia Islam, sebagian filosof dan teolog serta pelbagai aliran lainnya mengikut teori ini. Pada wilayah-wilayah terbatas dunia Arab khususnya Suriah dan Libanon Daruzi (firkah cabang Ismailiyah) dalam amal perbuatannya meyakini teori reinkarnasi.   
Reinkarnasi memiliki tipologi common dengan firkah-firkah Ghulat sepanjang sejarah. Para pemimpin firkah-firkah ekstrem ini melalui pandangan terhadap reinkarnasi yang dianut mereka memperkenalkan diri mereka sebagai imam, nabi dan bahkan Tuhan kepada para pengikutnya.

Orang-orang yang meyakini konsep reinkarnasi terbagai menjadi lima bagian:
1. Nasukhiyah yang meyakini bahwa manusia setelah kematian maka ruhnya akan mengikut sebuah badan, apabila ia merupakan manusia budiman maka ruhnya akan mengikut badan orang-orang budiman dan apabila ruhnya adalah ruh jahat maka ruhnya akan mengikut badan orang-orang jahat dan ahli maksiat. 
2. Masukhiyyah yang meyakini bahwa ruh manusia setelah kematian apabila ruhnya berasal dari orang-orang budiman maka ruhnya akan mengikut hewan-hewan baik seperti Bulbul, Merpati dan lain sebagainya. Namun apabila ruhnya jahat maka ruhnya akan mengikut pada hewan-hewan buruk seperti anjing, babi dan semisalnya. 
3. Fasukhiyyah yang berpandangan bahwa ruh manusia setelah kematian akan berpindah pada tumbuh-tumbuhan yang baik seperti bunga-bunga, buah-buah atau tumbuhan-tumbuhan pahit dan busuk seperti timun pahit dan semisalnya berdasarkan kebaikan dan keburukan yang dilakukan. 
4. Rasukhiyyah yang meyakini bahwa ruh manusia setelah kematian mengikut jamadat dan jiwa-jiwa baik. Ruh baik dalam keyakinan ini mengikut batu-batuan yang berharga seperti batu-batu permata. Adapun jiwa-jiwa buruk akan mengikut batu-batuan yang buruk.
5. Kelompok lainnya dari reinkarnasi (tanasukh) adalah orang-orang yang meyakini bahwa ruh manusia pada mulanya mengikut jamadat kemudian tumbuh-tumbuhan dan setelah itu hewan dan kemudian manusia.[1]
Perpindahan ini menurut para penyokong teori reinkarnasi senantiasa berlanjut dan tidak berujung. Pada hakikatnya surga dan neraka manusia dalam teori ini adalah perpindahan badan-badan baik atau buruk lainnya yang menjadi ganjaran atau balasan yang diperoleh. Rotasi ruh pada badan-badan sedemikian berlanjut sehingga ruh mengalami penyulingan dan beranjak naik ke langit-langit sehingga menjelma dalam bentuk malaikat dan termasuk bagian dari malaikat.[2]

Teori reinkarnasi adalah sebuah teori yang batil dan tertolak dalam pandangan Islam. Untuk telaah lebih jauh sekaitan dengan dalil-dalil absurditas reinkarnasi kami persilahkan Anda untuk merujuk pada pertanyaan No. 1099 (Site: 1154) Indeks: Pandangan Islam terkait dengan Reinkarnasi.

Dalam sebuah hadis panjang dari Imam Shadiq yang bersabda, “Orang-orang yang meyakini reinkarnasi telah meninggalkan jalan dan metode agama dan menghiasi dirinya dengan kesesatan serta menjerumuskan dirinya pada liang syahwat…tidak ada surga dan tidak ada neraka. Tidak ada orang-orang yang dibangkitkan dan tidak ada hari ketika manusia dikumpulkan … dan kiamat bagi mereka adalah keluarnya ruh dari bentuknya (yang semula) dan masuk ke bentuk yang lain.[3]

Dalam pandangan Islam kematian adalah titik akhir kehidupan duniawi dan perpisahan ruh dari badan materi. Pada masa ini ruh dengan mengikut bentuk mitsali mengawali kehidupannya pada alam barzakh.
Jasmani dan badan mitsali mirip dengan jasmani materi namun tidak memiliki tipologi badan materi. Imam Shadiq As bersabda, “Tatkala Allah Swt mencabut ruh orang beriman, Dia meletakkannya pada bentuk badan duniawinya..[4]
  1. Adapun sehubungan dengan nasib apakah yang akan dijumpai manusia setelah kematian harus dikatakan bahwa sejatinya manusia mengalami dua kehidupan dan dua kematian. Al-Quran menyinggung masalah ini dengan menyatakan, “Mereka menjawab, “Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah suatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?” (Qs. Al-Ghafir [40]:11) Sebagian ahli tafsir berkata bahwa maksud dari dua kali dimatikan dan dihidupkan pada ayat yang dimaksud adalah pematian mereka pada saat-saat paling akhir kehidupan dunia dan menghidupkan di alam barzakh dan kemudian dimatikan di alam barzakh dan dihidupkan pada hari kiamat untuk perhitungan.[5]
Namun apa yang dimaksud dengan barzakh?
Barzakh adalah batasan pemisah dan penghalang serta perantara antara dua hal (materi dan ruh) dan alam mitsal disebut sebagai alam barzakh karena batas pemisah antara benda-benda katsifah (materi) dan alam arwah non-materi serta batas penghalang antara dunia dan akhirat.[6] Alam barzakh yang juga terkadang disebut sebagai alam kubur dan alam arwah merupakan alam terminal antara dunia dan akhirat. Dalil adanya alam seperti ini disebutkan dalam beberapa ayat al-Quran dan sebagian riwayat dari para maksum.

Dalam beberapa ayat, al-Quran menyebutkan tentang kehidupan barzakh pasca kematian. Misalnya pada ayat yang menyatakan, “agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang ia ucapkan saja. Dan di hadapan mereka terdapat alam Barzakh sampai hari mereka dibangkitkan” (Qs. Al-Mukminun [23]:100) Secara lahir ayat ini mengukuhkan adanya alam seperti ini di antara alam dunia dan akhirat.

Di antara ayat-ayat yang secara lugas menetapkan adanya alam seperti ini adalah yang menyangkut kehidupan para syahid, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Qs. Ali Imran [3]:169) tidak hanya orang-orang beriman yang memiliki kedudukan tinggi seperti para syahid di alam barzakh, bahkan terkait dengan hukuman bagi orang-orang yang menyombongkan diri seperti Fir’aun dan para pengikutnya juga secara lugas disebutkan dalam al-Quran, " Mereka (Fir’aun dan para pengikutnya) setiap pagi dan malam berhadapan dengan api dan tatkala tiba hari kiamat keluar perintah yang menyatakan supaya Alu Fir’aun (keluarga Fir’aun) dihukum seberat-beratnya.”[7]

Sebagaimana yang telah disinggung, ayat-ayat di atas di samping menandaskan kehidupan barzakh setelah kematian, dengan sedikit cermat kita dapat menemukan bagaimana kehidupan orang-orang saleh dan para pendosa yang dikandung dalam ayat-ayat ini.

Terdapat banyak riwayat yang juga dengan kandungan sama dari para Imam Maksum As yang mencakup penjelasan tentang bagaimana proses kehidupan barzakh seluruh manusia.

Dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq As kita membaca, “Barzakh adalah alam kubur yang merupakan ganjaran dan hukuman antara dunia dan akhirat. Demi Allah! Tiada yang kami takutkan akan kalian kecuali (yang menyangkut alam) barzakh.”[8] Demikian juga dalam hadis lainnya dari Imam Shadiq As dalam menjawab sebuah pertanyaan tentang arwah orang-orang beriman, “Mereka berada pada kamar-kamar surga, menyantap makanan-makanan surgawi, meminum minuman-minuman surgawi dan berkata, “Tuhan kami!” Tolong segerakan kiamat dan penuhilah janji-janji telah Engkau berikan kepada kami.”[9]

Namun, alam barzakh adalah kediaman sementara dan persiapan bagi hari kiamat, surga dan neraka abadi. Di alam barzakh tidak akan ditelusuri perhitungan seseorang secara total dan tidak akan keluar hukum dan ganjaran pasti terhadap apa yang telah dilakukan. Di samping masalah keabadian (khulud) yang mengemuka di hari kiamat, bagaimana azab dan ganjaran merupakan salah satu perbedaan dua alam ini.

Al-Quran dalam hal ini menyatakan, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang. Dan pada hari kiamat terjadi (dikatakan kepada malaikat), “Masukkanlah Fira‘un dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.”” (Qs. Al-Ghafir [40]:46) ayat ini memandang azab orang-orang barzakh adalah api dan azab kiamat masuk di dalamnya. Demikianlah perbedaan antara nikmat-nikmat alam barzakh dan surga.

Sesuai dengan nukilan sebagian riwayat pada alam ini sekelompok orang beriman yang meyakini kebenaran dan melakukan perbuatan dosa di dunia namun tidak memperoleh taufik untuk bertaubat maka ia akan merasakan azab di alam barzakh sehingga dirinya disterilisasi secara total dan memiliki kelayakan untuk memasuki surga abadi.[10]
Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan untuk melihat beberapa indeks terkait berikut:
Mencari Tahu tentang KOndisi Orang-orang Mati di Alam Barzakh 1150 (Site: 1172)
Meraih Kesempurnaan di Alam Barzakh 23458 (Site: fa6124)
Barzakh dan Kehidupan Alam Barzakh, 3891 (Site: 4160)
Ganjaran dan Hukuman di Alam Barzakh, 5673 (Site: id5901)

[1]. Sayid Abdulhusain Thayyib, Kalim al-Thayyib dar Taqrir ‘Aqâid Islâm, hal. 638, Cetakan Ketiga, Intisyarat Kitabpurusyi Islam.  
[2]. Sayid Murtadha Hasani Razi, Tabshirat al-Awwâm fi Ma’rifat Maqâlât al-Anam, hal. 89, Cetakan Kedua, Intisyarat-e Asathir, 1364 S.  
[3]. Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijâj, jil. 2, hal. 344, Nasyr al-Murtadha, Masyhad Muqaddas, 1403 H.  
[4]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 3, hal. 245, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.  
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 475, Cetakan Kelima, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.
[6]. Silahkan lihat, Sayid Ja’far Sajjadi, Farhang ‘Ulum Falsafi wa Kalâmi, Cetakan 1357 H; Natsr Thuba atau Dairat al-Ma’arif Lughat Qur’an.   
[7]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 316, Cetakan Pertama, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.
[8]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 242.
[9]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 244.  
[10]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 7, hal. 81, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.

Imam Ali as. Penentu Surga Dan Neraka


Dalam banya hadis, Nabi saw. bersabda bahwa Ali ibn Abi Thalib as. adalah pemilah antara penghuni surga dan neraka. Allah SWT akan memberi kehormatan bagi Imam Ali as. untuk melakukan prosesi pemilahan antara penghuni surga dan penghuni neraka. Ali as. akan mengatakan kepada surga, ‘Orang-orang ini adalah bagianmu.’ Dan berkata kepada neraka, ‘Orang-orang itu bagianmu.’

Hadis tentangnya telah diriwayatkan para ulama hadis Sunni dari banyak jalur dan mereka abadikan dalam berbagai kitab berharga karya meraka dan tidak sedikit dari jalur-jalurnya adalah shahih.

Di bawah ini saya akan sebutkan beberapa darinya.


Ibnu Hajar Al Haitami dalam ash Shawâiq-nya menyebutkan riwayat ad Dâruquthni bahwa Ali as. berkata kepada enam anggota dewan formatur yang bertugas menunjuk Khalifah bentukan Khalifah Umar, di antaranya Ali berkata, “Aku meminta kejujuran kalian atas nama Allah, adakah seorang dari kalian –selain aku- yang Nabi saw. bersabda kepadanya:

يا عَلِيُّ، أنْتَ قسِيْمُ الْجَنَّةِ و النارِ.

“Hai Ali, engkau adalah pembagi surga dan neraka.”

Dan mereka pun menjawab, ‘Tidak ada.’”

Kemudian Ibnu Hajar melanjutkan menerangkan makna hadis di atas dengan mengutip riwayat dari Imam Ali ar Ridha as. (Imam Ketujuh Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah), “Dan adalah apa yang diriwayatkan ‘Antarah dari Ali ar Ridha, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda kepada Ali ra.:

أنْتَ قسِيْمُ الْجَنَّةِ و النارِ، فيوم القيامة تقول للنار هذا لِي ، وهذا لكِ.

“Hai Ali, engkau adalah pembagi surga dan neraka, engkau kelak di hari kiamat berkata kepada neraka, ini milikku dan itu milikmu..”

Setelahnya ia mendukung kesahahihan hadis di atas dengan sebuah riwayat yang sangat masyhur di kalangan para ahli hadis, yaitu sabda Nabi saw. dari riwayat Abu Bakar, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَجُوزُ أحَدٌ الصراطَ إلاَّ مَنْ كتَبَ لَهُ عَلِيٌّ الْجَوَازَ.

“Tiada akan melewati shirath/jembatan pemeriksaan kecuali seorang yang memiliki surat jalan dari Ali.” [1]

Hadis riwayat ad Dâruquthni tentang permintaan Imam Ali as. kepada anggota dewan Syura (formatus) bentukan Khalifah Umar di atas adalah ia ambil secara sepotong dari riwayat ad Dâruquthni yang dimuat Ibnu ‘Asâkir dalam tarikh Damasqus-nya, “Ali berkata, ‘Aku akan berhujjah kepada mereka dengan sesuatu yang tidak seorang pun baik dari bangga Arab maupun ajam (non Arab) yang mampu membantahnya… (kemudian ia menyebutkan secara lengkap riwayat tersebut).

Hadis di atas juga diriwayatkan dalam kitab al Ishâbah; Ibnu Hajar al Asqallani.

Ibnu Al Maghâzili meriwayatkan dalam kitab Manâqib-nya dengan sanad bersambung kepada Imam Ali as., melalui para imam suci dari keturunan beliau, beliau berkata, “Rasulullah saw. bersabda:

إنّكَ قسِيْمُ النارِ، وَ إنّكَ تقْرَعُ بابَ الْجَنَّةِ و تدخُلُها بغَيرِ حِسَابٍ.

“Sesungguhnya engkau adalah pembagi neraka. Engkau akan mengetuk pintu surga dan memasukinya tanpa hisab.”[2]

Hadis di atas, dengan redaksi dan sanad yang sama telah diriwauaykan oleh Syeikhul Islam Al Hamawaini al Juwaini dalam kitab Farâid as Simthain,1/325, bab 59 hadis no.253 dan al Khawârizmi dalam kitab Manâqib-nya:209, Pasal 19 hadis no.3.

Sabda Nabi saw. sering disampaikan berulang-ulang oleh Imam Ali as. sebagai peringatan akan agung dan mulianya maqam beliau di sisi Allah SWT di hari kiamat! Selain tentunya sebagai bukti keutamaan beliau di atas semua sahabat yang karenanya ia lebih berhak memangku jabatan sebagai Khalifah menggantikan Nabi dalam mengurus umat!

Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh Damasqus-nya telah merangkum riwayat-riwayat pernytaan Imam Ali as. yang menegaskan maqam mulia beliau di atas. Demikian juga dengan para ulama besar Ahlusunnah lainnya, seperti al Kinji dalam Kifâyah ath Thâlib, Qadhi ‘Iyâdh dalam Syifâ’-nya dan Syeikh al Khaffâji dalam Syarah Syifâ’nya, Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili asy Syafi’i dalam Syarah Nahjul Balâghah-nya dan banyak lainnya, seperti akan diketahui dari pemaparan beberapa contoh di bawah ini.

Ibnu ‘Asâkir meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada A’masy (seorang ulama dan ahli hadis agung di masanya) dari Musa ibn Tahrîf dari ‘Ubâayah dari Ali ibn Abi Thalib ra., bahwa berkata:

أنا قسِيْمُ النارِ يومَ القيامةِ، أقول: خذِي ذا ، و ذرِي ذا.

“Aku adalah pembagi neraka pada hari kkiamat. Aku katakan, ‘Ambillah ini dan tinggalkan yang ini!.” [3]

Dalam redaksi lain disebutkan:

أنا قسِيْمُ النارِ يومَ القيامةِ، أقول: هذا لِيْ، و هذا لكِ.

“Aku adalah pembagi neraka pada hari kiamat. Aku katakan, ‘Ini untukku dan itu untukmu.”[4]

Dalam redaksi ketiga:

أنا قسِيْمُ النارِ إذا كان يومُ القيامة ِقلتُ: هذا لكِ و هذا لِيْ.

“Aku adalah pembagi neraka kelah ketika kiamat tiba, aku berkata, ‘Ini untukmu dan itu untukku.”[5]

Hadis dengan redaksi ini juga dapat Anda temukan dalam Farâid as Simthain,1326 hadis no.254.

Hadis Tersebut Dalam Riwayat Para Sahabat Selain Ali as.

Hadis tersebut periwayatannya tidak terbatas pada Imam Ali as. seorang, -kendati riwayat dari beliau as. seorang sudah cukup!- Para ulama, di antaranya ad Dâruquthni telah meriwayatkan hadis di atas dari jalur Yazid ibn Syarîk dari sahabat Abu Dzarr al Ghiffâri ar., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:

“Ali adalah pembagi neraka, ia memasukkan para pecintanya (yang mengakui kepemimpinannya) ke dalam surga dan memasukkan musuh-musuhnya ke dalam api neraka.”[6]

Hadis serupa juga diriwayatkan ad Dailami dalam Firdaus al Akhbâr dari sahabat Hudzaifah.[7]

Keberatan Sebagian Pihak Atas Hadis Di atas.

Tentunya, sebagian pihak yang tidak menginginkan hadis-hadis keutamaan Imam Ali as. tersebar luas berusaha menghalang-halangi dengan segala cara licik agar hadis ini tidak didengar dan atau diterima keshahihannya oleh kalangan umat Islam secara meluas. Seperti biasanya, mereka berusaha mencacat keshahihan hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. secara umum dengan mengatakan bahwa hadis-hadis itu adalah produk palsu kaum Syi’ah! Hadis ini atau itu menyebarkan aroma kultus Ali dan Ahlulbait as. atau hadis ini atau itu bertolak belakang dengan doqma mazhab resmi penguasa atau alasan-alasan lain yang tidak seharusnya dilibatkan dalam pertimbangan analisa kualitas hadis!

Hadis di atas adalah salah satu di antara yang mendapat penentangan keras dari sebagian pihak. A’masy dikecam habis karena bersikeras menyampaikan sabda Nabi saw. dan penegasan Imam Ali as.

Hasan ibn Rabî’ menuturkan, “Abu Mu’awiyah berkata, “Kami berkata kepada A’masy, ‘Jangan engkau sampaikan hadis-hadis ini!’[8] A’masy menjawab, ‘Mereka bertanya, lalu apa yang dapat aku perbuat. Terkadang aku lupa[9], jadi jika mereka bertanya kepadaku dan aku lupa, maka ingatkan aku!.’

Lalu pada suatu hari, ketika kami berada di sisinya, datanglah seorang kemudian bertanya kepadanya tentang hadis: qasîmun Nâr. Aku (Abu Mu’awiyah) berkata, ‘Maka aku berdehem (sebagai tanda peringatan). Maka A’masy berkata, “Orang-orang Murjiah ini tidak membiar aku menyampaikan hadis-hadis kautamaan Ali ra. Keluarkan mereka dari masjid agar aku bisa menyampaikannya!,”[10]

Dari kisah di atas terlihat jelas sekali bagaimana sebagian pihak melarang para ulama Islam untuk menyampaikan hadis-hadis keutamaan Imam Ali as., bahkan sampai-sampai mereka menyebarkan mata-mata untuk memantau setiap gerak-gerik para penyebar hadis-hadis keutamaan Imam Ali as. tersebut.

Mereka sangat keberatan hadis-hadis keutamaan Imam Ali as. itu disebar-luaskan karena dalam hemat mereka hadis-hadis seperti itu akan menguatkan hujjah Syi’ah… Jadi agar kaum Syi’ah dapat dilucuti dari senjata mereka maka hadis-hadis Nabi saw. tentang Imam Ali as. harus dimusnahkan!

Mereka tidak berhenti memaksa A’masy untuk tidak menyebarkan hadis-hadis keutamaan Imam Ali as. Isa ibn Yunus berkata, ’Aku tidak pernah menyaksikan A’masy tunduk melainkan hanya sakali saja. Ia menyampaikan hadis ini, bahwa Ali berkata, ‘Aku adalah pembagi neraka.’ Lalu berita itu sampai kepada (ulama) Ahlusunnah, maka mereka mendatanginya (ramai-ramai) dan berkata, ‘Mengapakah engkau masih menyampaikan hadis-hadis yang membuat kuat kaum Rafidhah[11], Zaidiyah dan Syi’ah?!’ A’masy menajwab, ‘Aku mendengar hadis itu maka aku sampaikan.’ Mereka berkata, ‘Apakah semua yang engkau dengar engkau sampaikan?! Perawi (Isa ibn Yunus) berkata, ‘Maka aku melihat dia tunduk hari itu.”[12]

Tidak berhenti sampai di sini usaha ngotot sebagian pihak yang tidak suka tersebarnya hadis-hadis keutamaan Imam Ali as… Mereka kembali mendatangi A’masy. Tetapi kali ini ketika A’masy berada di atas tempat tidurnya, di saat-saat akhir menjelang wafatnya. Mereka memaksa A’masy agar bertaubat karena telah menyebarkan hadis-hadis keutamaan Imam Ali as.

Al Hiskani meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Syarîk ibn Abdillah, ia berkata, “Aku berada di sisi A’masy ketika beliau sakit. Maka Abu hanifah, Ibnu Syubramah dan Ibnu Abi Lalâ masuk menemuinya lalu berkata kepadanya, ‘Hai Abu Muhammad, sesungguhnya engkau sekarang sedang berada di akhir kehidupan dunia dan awal kehidupan akhirat. Engkau dahulu telah menyampaikan hadis-hadis tentang keutamaan Ali ibn Abi Thalib, maka bertaubatlah darinya! Maka A’masy berkata, ‘Duduk dan sandarkan aku!’ setelah disandarkan ia berkata, ‘Abu Mutawakkil an Nâji menyampaikan hadis kepadaku dari Abu Sa’id al Khudri, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersbada:

“Kelak ketika hari kiamat tiba, Allah berfirman kepadaku dan kepada Ali, “Lemparkan ke dalam api neraka Jahannam setiap orang yang membenci kalian berdua. Dan masukkan ke dalam surga setiap orang yang mencintai kelian berdua. Itulah firman Allah:

ألْقِيا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيْدٍ.

“Allah berfirman; Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka jahannam semua orang yang sangat ingkar (kafir) lagi keras kepalaa.” (QS. Qâf [50];23)

Maka Abu Hanifah berkata kepada teman-temanya, ‘Pergilah dari sini, jangan sampai ia mendatangkan yang lebih keras lagi dari hadis ini!.”

Tentang tafsir ayat di atas dari riwayat sahabat Abu Said al Khudri, al Hiskâni telah meriwayatkan dengan empat sanad; hadis no.895 (hadis di atas)-898.[13]

Ulama Hadis Sunni Menshahihkan hadis Di Atas!

Memang banyak pihak yang sangat keberatan dengan hadis keutamaan Imam Ali di atas bahwa beliau adalah Qasîmul Jannati wan Nâri. Akan tetapi keberatan mereka itu tidak berdasar mengingat hadis itu telah diriwayatkan melalui jalur-jalur yang tidak sedikit dan banyak darinya shahih berdasarkan kaidah yang dibangun ulama Ahlusunnah sendiri. Banyak ulama yang menegaskan keshahihan hadis tersebut. Imam Ahmad menegaskan keshahihannya!

Al Kinji dalam Kifâyah ath Thalib-nya:22 meriwayatkan, “Berkata Muhammad ibn Manshur ath Thusi, “Kami berada di sisi Ahmad ibn Hanbal, lalu ada seorang berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu mengenai hadis yang diriwayatkan bahwa Ali berkata, ‘Aku adalah pemilah neraka?’ Maka Ahmad berkata, ‘Apa yang kalian ingkari darinya? Bukankah kita meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda kepada Ali, “Tidak mencintaimu melainkan mukmin dan tidak membencimu melainkan orang munafik.’? Kami berkata, ‘Benar.’ Ahmad berkata, ‘Orang Mukmin di mana tenpatnya?’ Kami berkata, ‘Di surga.’ Ia berkata lagi, ‘Orang munafik di mana tenpatnya? Kami berkata, ‘Di neraka.’ Maka Ahmad berkata, ‘Jadi Ali adalah pemilah antara surga dan neraka.’”

Pernyataan Imam Ahmad di atas juga dapat Anda baca dalam kitab Thabaqât Hanâbilah; Ibnu Abi Ya’lâ an Nahafi,1/320 dan Manâqib Ali ibn Abi Thalib; al Kilâbi dicetak dibagian akhir kitab Manâqib; Ibnu Maghâzili:427 hadis no. 3.

Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili asy Syafi’i menyebut hadis tersebut sebagai khabar mustafîdh (berita/hadis yang sangat tersohor). Ketika menerangkan hikmah ke 154 Imam Ali as. yang berbunyi: ‘Kamilah Syi’âr (pribadi-pribadi terdekat Rasulullah saw.), kamliah sahabat-sahabat, kamilah penjaga dan kamilah pintu-pintu.’ ia menerangkan, “Bisa jadi yang maksud dengannya adalah penjaga surga dan neraka. Maksudnya taiada seoranf diperkenankan memasuki surga melainkan yang datang dengan membaca keyakinan akan wilayah (kepemimpinan ilahi) kami (Ahlulbait as.). telah datang tentang Ali hadis yang tersebar dan tersohor bahwa beliau adalah pembagi surga dan neraka. Abu Ubaid al harawi berkata dalam kitab al Jam’u baina al Gharîbain bahwa para pakar bahasa Arab telah menafsirkan hadis itu dengan: Karena pecinta beliau adalah penghuni surga dan pembenci beliaau adalah penghuni neraka, maka dari sisi ini beliau addalah pembagi surga dan neraka. Abu Ubaid, ‘Dan yang lainnya menafsirkan demikian: bahwa Ali benar-benar akan membagi umat manusia menjadi dua kelompok, ia memasukkan sebagian mereka ke dalam surga dan sebagian lainnya ke dalam neraka.’ Setelahnya Ibnu Abil Hadid menegaskan, “Dan pendapat teraikhir yag disebutkan Abu Ubaid ini yang sesuai dengan hadis-hadis yang datang bahwa Ali berkata kepada neraka, ‘Ini bagianku dan itu bagiannmu.’”[14]

Jika demikian adanya, lalu apa bayangan kita tentang nasib pembenci Imam Ali as., yang memusuhinya, memeranginya, memaksa umat Islam melaknatinya setiap shalat jum’at dan pada kesempatan-kesempatan pertemuan umum lainnya?! Akankah Ali as. akan mempersilahkan mereka ke dalam surga Allah? Bukankah surga Allah hanya untuk orang-orang beriman? Bukankah pembenci Ali adalah munafik? Lalu mungkinkah kaum munafik berpindah tempat dari kerak neraka ke kenikmatan surga Allah? Pantaskkah kaum munafik bergabung dengan para nabi, para rasul, para shalihin, para syuhada’, dan kaum mukminin? Bukankah mereka pastas digabungkan bersama kaum kafir, Yahudi, Nashrani dan musykirun?

Dari keterangan di atas dan berdasarkan hadis-hadis shahih dapat ditegaskan bahwa kekasih Ali adalah kekasih Allah dan Rasul-Nya dan musuh Ali adalah musuh Alllah dan Rasul-Nya!


Rujuk:
[1] Ash Shawâiq,126, BabIX, Pasal II tentang keutamaan Imam Ali as.
[2] Manâqib,67 hadis no.97.
[3] Biografi Imam Ali as. dalam Tarikh Damasqus (dengan tahqiq Syeikh Muhammad Baqir al Mahmudi),2/243-244 hadis no.761
[4] Ibid. hadis no.672.
[5] Ibid. hadis no.763.
[6] Al ‘Ilal; ad Dâruquthni,6/273, pertanyaan no.1132.
[7] Firdaus al Akhbâr,3/90 hadis no.3999.
[8]Tentang keutamaan Imam Ali as. yang akan membuat repot ulama dalam mempertahankan doqma mazhab resmi.
[9]Sepertinya sebelumnya A’masy telah ditegur oleh rekan-rekannya agar tidak menyampaikan hadis-hadis keutamaan Imam Ali as. dan Ahlulbait as.
[10] Biografi Imam Ali as. dalam Tarikh Damasqus (dengan tahqiq Syeikh Muhammad Baqir al Mahmudi),2/243-244 hadis no.765.
[11] Data di atas mebuktikan betapa rancu konsep sebagian ulama Sunni dalam mendefenisikan apa itu Syi’ah dan apa itu Rafidhah! Sebab –dalam banyak kali mereka mencampur adukkan antara keduanya seakan tidak berbeda-.
[12] Ibid. hadis no.767. Di hadapan desakan para ulama yang datang ramai-ramai mengeroyok dan menghujat A’masy, sepertinya A’masy harus mengalah untuk sementara waktu…. Tapi yang penting bagi kita adalah bagaimana kita mampu menarik pelajaran dan ibrah dari kejadian yang menimpa A’masy, bahwa memang ada kesungguh-sungguhan dari sebagai ulama yang mengatas-namakan Ahlusunnah dalam memberantas hadis-hadis keutamaan Imam Ali as., seakan mengagungkan dan memuliakan Imam Ali as. bukan bagian dari stuktur ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah…. Semantara kenyataan tidak demikian! Ahlusunnah sangat menghormati Imam Ali dan Ahlulbait Nabi as., akan tetapi tidak jarang oknum ulama atau umara’ atau pemuka masyarakat atau bahkan kaum awam Sunni yang kurang simpatik atau bahkan menampakkan kebenciannya terhadap Imam Ali dan Ahlulbait Nabi as. Dan sangat disayangkan suaradan pemikiran mereka seringkali dalam kondisi tertentu lebih mendominasi pemikiran mayoritas penganutnya.
[13] Syawâhid at Tanzîl,2/189-191.
[14] Syarah Nahjul Balaghah,9/165, dan ketika menerangkan hikmah no. 35 ia juga menyebutkan hadis tentangnya.

“Nabi Muhammad Tidak Dijamin Masuk Surga”



Tayangan Tafsir Al-Misbah yang dibawakan Quraish Shihab di Metro TV pada Sabtu (12/7), ramai diperbincangkan di media sosial. Hal tersebut setelah mantan menteri agama terakhir era orde baru itu menyebut bahwa Nabi Muhammad tidak mendapat jaminan di surga.

Dalam tayangan itu, Quraish Shihab sedang melakukan tanya jawab dengan dua orang artis yang menjadi pembawa acaranya. Yakni, penyanyi grup band Kahitna Hedi Yunus dan mantan penyanyi sekaligus aktor Eddi Brokoli. Berikut jawaban Quraish Shihab atas pertanyaan Hedi Yunus.

Hedi Yunus:
Saya akan bertanya tentang kemuliaan di sisi Allah. Itu kan kalau Nabi Muhammad sudah dijamin sebagai manusia yang dijamin masuk surga. Nah untuk kita manusia-manusia saat sekarang dan masa akan datang gitu, apakah ada kemungkinan untuk mengejar status seperti itu? Paling tidak ya seperberapalahnya gitu

Quraish Shihab:
Satu hal dulu. Tidak benar, saya ulangi tidak benar bahwa Nabi Muhammad sudah dapat jaminan surga. Surga itu hak prerogatif Allah. Memang kita yakin bahwa beliau memang (tak melanjutkan pernyataanya).

Kenapa saya katakan begitu, pernah ada seorang sahabat nabi dikenal orang baik. Terus orang-orang di sekitarnya berkata, bahagialah engkau akan mendapat surga. Nabi dengar,siapa yang bilang begitu tadi.

Nabi berkata, tidak seorang pun yang masuk surga karena amalnya. Surga hak prerogratif tuhan. Terus ditanya kepada Nabi Muhammad, kamu pun tidak wahai Nabi Muhammad? saya pun tidak, kecuali Allah menmberikan rahmat kepada saya.

Jadi kita berkata dalam konteks surga dan neraka, tidak ada yang dijamin tuhan kecuali kita katakan bahwa tuhan menulis di dalam kitab sucinya bahwa yang taat itu akan mendapat surga. Ada ayatnya bahwa Nabi Muhammad akan diberikan sesuatu bahwa beliau akan merasa puas kepada Tuhan.

Kita pahami itu surga dan apapun yang beliau kehendaki. Tapi buat kita, kiai sebesar dan setaat apapun jangan pastikan dia masuk surga. Sebaliknya manusia sedurhaka apapun jangan pastikan dia masuk neraka.

Terkait masalah kontroversi tersebut, Quraish Shihab memberikan klarifikasi langsung melalui situs resminya pada Selasa (15/7) dalam judul ‘Tentang Tayangan Tafsir al-Mishbah 12 Juli 2014′.

“Uraian tersebut dalam konteks penjelasan bahwa amal bukanlah sebab masuk surga, walau saya sampaikan juga bahwa kita yakin bahwa Rasulullah akan begini (masuk surga),” kata Quraish Shihab dalam situs resminya quraishshihab.com.

Quraish Shihab mendasarkan penjelasannya pada hadits antara lain“Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya. Sahabat bertanya “Engkau pun tidak?”, beliau menjawab “Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”

Quraish Shihab mengatakan hal tersebut karena amal baik bukan sebab masuk surga tapi itu hak prerogatif Allah SWT. Uraian di atas, lanjutnya, bukan berarti tidak ada jaminan dari Allah bahwa Rasul tidak masuk surga.

“Saya jelaskan juga di episode yang sama bahwa Allah menjamin dengan sumpah-Nya bahwa Rasulullah SAW akan diberikan anugerah-Nya sampai beliau puas, yang kita pahami sebagai surga dan apapun yang beliau kehendaki. Wa la sawfa yu’thika rabbuka fa tharda,” katanya.

“Itu yang saya jelaskan tapi sebagian dipelintir, dikutip sepotong dan di luar konteksnya. Silakan menyimak ulang penjelasan saya di episode tersebut. Mudah-mudahan yang menyebarkan hanya karena tidak mengerti dan bukan bermaksud memfitnah,” kata Quraish Shihab.

Sumber: siaga.co

Sebutir Kurma Berbuah Surga


Apakah sedemikian remeh kau tawarkan surga hanya dengan sebutir kurma?

Suatu ketika, seorang pemuda Muslim merasa lapar dan tidak memiliki sedikit pun harta untuk membeli makanan. Batinnya pun tergerak untuk keluar rumah dan berusaha mencari apa pun yang mungkin bisa ia kerjakan dan kiranya dapat menghasilkan pundi uang guna ditukar dengan makanan.

Sayangnya, setelah ia melintasi padang pasir yang cukup jauh, tak satu pun orang yang ia temui. Alhasil, ia pun memilih berteduh di bawah salah satu pohon kurma. Tanpa sengaja, dia tertubruk jumputan buah kurma yang menjuntai hampir menyentuh tanah.

Melihat tak ada satu manusia pun melihat dirinya, dan didorong rasa lapar nan haus yang amat sangat, ia pun memutuskan untuk segera memetik dan melahapnya.

Namun, tanpa diduga, sang pemilik kebun datang memergoki perbuatannya. Tak menunggu lama, sang pemilik kebun yang terkenal kikir itu langsung saja menghardik dan mengacungkan parang ke depan matanya.

“Dasar pemuda miskin, akan aku adukan perbuatanmu ini ke hadapan Rasulallah. Biar tanganmu dipotong!”
Pria miskin itu hanya diam dan menurut ketika tangannya ditarik dengan keras menuju rumah Nabi akhiruzzaman. Tentu ia merasa bersalah dengan apa yang barusan saja dilakukan. Namun, hati kecilnya sedikit berontak, “Mengapa tanganku akan dipotong hanya dengan memakan sebutir kurma? Begitukah kekejaman Islam terhadap orang miskin sepertiku?” batinnya terus menggerutu seraya pasrah digiring oleh sang pemilik kebun.

“Ya Rasul, ia telah mencuri di kebunku. Bukankah balasan sang pencuri adalah potong tangan? Maka potonglah tangan pemuda miskin ini!” ujar pemilik kebun kepada Rasul Saw.

“Apa yang kau curi, wahai saudaraku?” tanya Rasul dengan lembut.

“Maafkan aku, ya Rasulullah. Aku telah mencuri sebutir kurma dari kebun bapak ini. Rasa laparku membuatku khilaf akan harta orang lain,” jawab pemuda itu seraya merunduk malu.

Rasul Saw. menghela napas sejenak. Beliau memandang keduanya, satu persatu. Dipandangnya perlahan, dan kemudian berkata kepada sang pemilik kebun, “Saudaraku, mengapa tidak engkau sedekahkan saja sebutir kurma milikmu itu?”

“Memangnya aku akan dapat apa kalau menyedakahkan kurma itu?” Jawab sang pemilik kebun, bernada menantang.

“Allah akan menggantinya dengan pahala yang berlipat dan surga.” Jawab Rasul sambil tersenyum penuh optimis.

Sang pemilik kebun terlihat diam. Ia menerawang seraya mengangkat kepalanya ke arah langit. Menimbang-nimbang kebenaran janji yang baru saja disebutkan Rasulullah untuknya.

“Ah, apakah sedemikian remeh kau tawarkan surga hanya dengan sebutir kurma? Lagi pula, hari akhirat masih terlalu jauh. Pahala dan surga masih begitu tak terlihat. Tidak ya Rasul, aku tidak mau menukar hartaku untuk sesuatu yang belum jelas dilihat. Sudahlah, potong saja tangan pemuda ini, biar dia kapok.” Sergah pemilik kebun tak percaya.

Rasul tersentak, tak terbayang olehnya kekikiran yang dimiliki oleh umatnya yang satu ini. Tiba-tiba, datanglah seorang pria di hadapan mereka.

“Wahai pemilik kebun, bagaimana jika engkau jual saja kebun itu padaku?” tawar sang pria berusaha menengahi.

Rasul dan pemilik kebun itu tertegun. Pada saat bersamaan keduanya menoleh pada sumber suara. Pemilik kebun itu berkata padanya, ”Aku tidak akan menjual pohon kurma itu dengan harga murah.”
“Baik, berapa yang kau minta demi pohon kurma itu?”.

“Apakah kau berani menukar sebatang pohon kurmaku dengan 40 batang?” nada kesombongan terlihat.
“Harga yang amat fantastis,” jawab sang pria. “Tapi, aku akan membelinya dengan harga yang kau patok itu. Kenikmatan surga tidak sebanding dengan mahalnya dunia.” lanjutnya.

Akhirnya, pohon itu dijual dengan 40 batang kurma. Kemudian, pembeli pohon tadi mengikhlaskan sebutir kurma yang telah dimakan pria miskin tersebut sebagai sedekah.
-----
Konon, kisah ini menjadi penyebab bagi turunnya surat Al-Lail ayat 5-11, yang artinya, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), Maka Kami (Allah) kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (QS. Al-Lail (92): 5-11).

Begitulah manusia. Kadang, kita lebih cenderung menyukai hal-hal yang tampak oleh mata dan bersifat materi ketimbang percaya dengan janji Allah. Bahkan, Rasul sendiri yang menawarkan langsung pahala dan surga itu. Namun, sang kikir masih enggan percaya. Lantas, bagaimana dengan umat di zaman sekarang—yang telah jauh ditinggalkan Rasul—dan hanya diberikan warisan berupa ayat dan hadis? Bukankah hanya dengan mempercayai apa yang diucapkan Rasul dan dituangkan dalam warisannya (Qur’an dan hadis), niscaya kita akan selamat?

Terkait Berita: