Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Ruh. Show all posts
Showing posts with label Ruh. Show all posts

Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?


1. Apakah ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan? 
2. Apakah ia akan terlunta-lunta di alam barzakh? 
3. Dalam al-Quran disebutkan manusia setelah kematian mengalami perpindahan. Perpindahan di sini maksudnya dari mana ke mana? Dan berada pada zaman apa?
Jawaban Global
Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga permulaan kiamat ia akan menjalani kehidupan di alam barzakh.

Alam barzakh yang terkadang disebut sebagai alam kubur dan alam arwah.  Alam barzakh adalah sebuah alam antara dunia dan akhirat. Dalil adanya alam seperti ini dapat ditemukan pada ayat-ayat al-Quran dan beberapa riwayat.

Jawaban Detil:
  1. Nasib manusia setelah kematian adalah sebuah masalah yang senantiasa menyita pikiran manusia dan memotivasinya untuk mencari tahu serta menemukan jawaban yang memuaskan dan argumentatif atas persoalan ini. Di antara sejumlah elaborasi dan penafsiran tentang kematian dan perpindahan ruh kita berhadapan dengan sebuah penafsiran yang terkenal sebagai teori reinkarnasi. Dalam teori reinkarnasi ini yang mengemuka adalah terputusnya hubungan ruh dari badan dan terikatnya ruh dalam bentuk manusia lainnya atau hewan atau makhluk lainnya. Keyakinan semacam ini semenjak masa lalu tersebar semenjak masa lalu pada sebagian belahan dunia. Sebagian filosof India dan Yunani meyakini bahwa ruh manusia setelah keluar dari bentuk pertamanya akan masuk pada bentuk lainnya yang sesuai dengan perilaku dan perangai orang tersebut. Pandangan ini memiliki pendukung dan proponen di pelbagai belahan dunia. Dalam dunia Islam, sebagian filosof dan teolog serta pelbagai aliran lainnya mengikut teori ini. Pada wilayah-wilayah terbatas dunia Arab khususnya Suriah dan Libanon Daruzi (firkah cabang Ismailiyah) dalam amal perbuatannya meyakini teori reinkarnasi.   
Reinkarnasi memiliki tipologi common dengan firkah-firkah Ghulat sepanjang sejarah. Para pemimpin firkah-firkah ekstrem ini melalui pandangan terhadap reinkarnasi yang dianut mereka memperkenalkan diri mereka sebagai imam, nabi dan bahkan Tuhan kepada para pengikutnya.

Orang-orang yang meyakini konsep reinkarnasi terbagai menjadi lima bagian:
1. Nasukhiyah yang meyakini bahwa manusia setelah kematian maka ruhnya akan mengikut sebuah badan, apabila ia merupakan manusia budiman maka ruhnya akan mengikut badan orang-orang budiman dan apabila ruhnya adalah ruh jahat maka ruhnya akan mengikut badan orang-orang jahat dan ahli maksiat. 
2. Masukhiyyah yang meyakini bahwa ruh manusia setelah kematian apabila ruhnya berasal dari orang-orang budiman maka ruhnya akan mengikut hewan-hewan baik seperti Bulbul, Merpati dan lain sebagainya. Namun apabila ruhnya jahat maka ruhnya akan mengikut pada hewan-hewan buruk seperti anjing, babi dan semisalnya. 
3. Fasukhiyyah yang berpandangan bahwa ruh manusia setelah kematian akan berpindah pada tumbuh-tumbuhan yang baik seperti bunga-bunga, buah-buah atau tumbuhan-tumbuhan pahit dan busuk seperti timun pahit dan semisalnya berdasarkan kebaikan dan keburukan yang dilakukan. 
4. Rasukhiyyah yang meyakini bahwa ruh manusia setelah kematian mengikut jamadat dan jiwa-jiwa baik. Ruh baik dalam keyakinan ini mengikut batu-batuan yang berharga seperti batu-batu permata. Adapun jiwa-jiwa buruk akan mengikut batu-batuan yang buruk.
5. Kelompok lainnya dari reinkarnasi (tanasukh) adalah orang-orang yang meyakini bahwa ruh manusia pada mulanya mengikut jamadat kemudian tumbuh-tumbuhan dan setelah itu hewan dan kemudian manusia.[1]
Perpindahan ini menurut para penyokong teori reinkarnasi senantiasa berlanjut dan tidak berujung. Pada hakikatnya surga dan neraka manusia dalam teori ini adalah perpindahan badan-badan baik atau buruk lainnya yang menjadi ganjaran atau balasan yang diperoleh. Rotasi ruh pada badan-badan sedemikian berlanjut sehingga ruh mengalami penyulingan dan beranjak naik ke langit-langit sehingga menjelma dalam bentuk malaikat dan termasuk bagian dari malaikat.[2]

Teori reinkarnasi adalah sebuah teori yang batil dan tertolak dalam pandangan Islam. Untuk telaah lebih jauh sekaitan dengan dalil-dalil absurditas reinkarnasi kami persilahkan Anda untuk merujuk pada pertanyaan No. 1099 (Site: 1154) Indeks: Pandangan Islam terkait dengan Reinkarnasi.

Dalam sebuah hadis panjang dari Imam Shadiq yang bersabda, “Orang-orang yang meyakini reinkarnasi telah meninggalkan jalan dan metode agama dan menghiasi dirinya dengan kesesatan serta menjerumuskan dirinya pada liang syahwat…tidak ada surga dan tidak ada neraka. Tidak ada orang-orang yang dibangkitkan dan tidak ada hari ketika manusia dikumpulkan … dan kiamat bagi mereka adalah keluarnya ruh dari bentuknya (yang semula) dan masuk ke bentuk yang lain.[3]

Dalam pandangan Islam kematian adalah titik akhir kehidupan duniawi dan perpisahan ruh dari badan materi. Pada masa ini ruh dengan mengikut bentuk mitsali mengawali kehidupannya pada alam barzakh.
Jasmani dan badan mitsali mirip dengan jasmani materi namun tidak memiliki tipologi badan materi. Imam Shadiq As bersabda, “Tatkala Allah Swt mencabut ruh orang beriman, Dia meletakkannya pada bentuk badan duniawinya..[4]
  1. Adapun sehubungan dengan nasib apakah yang akan dijumpai manusia setelah kematian harus dikatakan bahwa sejatinya manusia mengalami dua kehidupan dan dua kematian. Al-Quran menyinggung masalah ini dengan menyatakan, “Mereka menjawab, “Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah suatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?” (Qs. Al-Ghafir [40]:11) Sebagian ahli tafsir berkata bahwa maksud dari dua kali dimatikan dan dihidupkan pada ayat yang dimaksud adalah pematian mereka pada saat-saat paling akhir kehidupan dunia dan menghidupkan di alam barzakh dan kemudian dimatikan di alam barzakh dan dihidupkan pada hari kiamat untuk perhitungan.[5]
Namun apa yang dimaksud dengan barzakh?
Barzakh adalah batasan pemisah dan penghalang serta perantara antara dua hal (materi dan ruh) dan alam mitsal disebut sebagai alam barzakh karena batas pemisah antara benda-benda katsifah (materi) dan alam arwah non-materi serta batas penghalang antara dunia dan akhirat.[6] Alam barzakh yang juga terkadang disebut sebagai alam kubur dan alam arwah merupakan alam terminal antara dunia dan akhirat. Dalil adanya alam seperti ini disebutkan dalam beberapa ayat al-Quran dan sebagian riwayat dari para maksum.

Dalam beberapa ayat, al-Quran menyebutkan tentang kehidupan barzakh pasca kematian. Misalnya pada ayat yang menyatakan, “agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang ia ucapkan saja. Dan di hadapan mereka terdapat alam Barzakh sampai hari mereka dibangkitkan” (Qs. Al-Mukminun [23]:100) Secara lahir ayat ini mengukuhkan adanya alam seperti ini di antara alam dunia dan akhirat.

Di antara ayat-ayat yang secara lugas menetapkan adanya alam seperti ini adalah yang menyangkut kehidupan para syahid, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Qs. Ali Imran [3]:169) tidak hanya orang-orang beriman yang memiliki kedudukan tinggi seperti para syahid di alam barzakh, bahkan terkait dengan hukuman bagi orang-orang yang menyombongkan diri seperti Fir’aun dan para pengikutnya juga secara lugas disebutkan dalam al-Quran, " Mereka (Fir’aun dan para pengikutnya) setiap pagi dan malam berhadapan dengan api dan tatkala tiba hari kiamat keluar perintah yang menyatakan supaya Alu Fir’aun (keluarga Fir’aun) dihukum seberat-beratnya.”[7]

Sebagaimana yang telah disinggung, ayat-ayat di atas di samping menandaskan kehidupan barzakh setelah kematian, dengan sedikit cermat kita dapat menemukan bagaimana kehidupan orang-orang saleh dan para pendosa yang dikandung dalam ayat-ayat ini.

Terdapat banyak riwayat yang juga dengan kandungan sama dari para Imam Maksum As yang mencakup penjelasan tentang bagaimana proses kehidupan barzakh seluruh manusia.

Dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq As kita membaca, “Barzakh adalah alam kubur yang merupakan ganjaran dan hukuman antara dunia dan akhirat. Demi Allah! Tiada yang kami takutkan akan kalian kecuali (yang menyangkut alam) barzakh.”[8] Demikian juga dalam hadis lainnya dari Imam Shadiq As dalam menjawab sebuah pertanyaan tentang arwah orang-orang beriman, “Mereka berada pada kamar-kamar surga, menyantap makanan-makanan surgawi, meminum minuman-minuman surgawi dan berkata, “Tuhan kami!” Tolong segerakan kiamat dan penuhilah janji-janji telah Engkau berikan kepada kami.”[9]

Namun, alam barzakh adalah kediaman sementara dan persiapan bagi hari kiamat, surga dan neraka abadi. Di alam barzakh tidak akan ditelusuri perhitungan seseorang secara total dan tidak akan keluar hukum dan ganjaran pasti terhadap apa yang telah dilakukan. Di samping masalah keabadian (khulud) yang mengemuka di hari kiamat, bagaimana azab dan ganjaran merupakan salah satu perbedaan dua alam ini.

Al-Quran dalam hal ini menyatakan, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang. Dan pada hari kiamat terjadi (dikatakan kepada malaikat), “Masukkanlah Fira‘un dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.”” (Qs. Al-Ghafir [40]:46) ayat ini memandang azab orang-orang barzakh adalah api dan azab kiamat masuk di dalamnya. Demikianlah perbedaan antara nikmat-nikmat alam barzakh dan surga.

Sesuai dengan nukilan sebagian riwayat pada alam ini sekelompok orang beriman yang meyakini kebenaran dan melakukan perbuatan dosa di dunia namun tidak memperoleh taufik untuk bertaubat maka ia akan merasakan azab di alam barzakh sehingga dirinya disterilisasi secara total dan memiliki kelayakan untuk memasuki surga abadi.[10]
Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan untuk melihat beberapa indeks terkait berikut:
Mencari Tahu tentang KOndisi Orang-orang Mati di Alam Barzakh 1150 (Site: 1172)
Meraih Kesempurnaan di Alam Barzakh 23458 (Site: fa6124)
Barzakh dan Kehidupan Alam Barzakh, 3891 (Site: 4160)
Ganjaran dan Hukuman di Alam Barzakh, 5673 (Site: id5901)

[1]. Sayid Abdulhusain Thayyib, Kalim al-Thayyib dar Taqrir ‘Aqâid Islâm, hal. 638, Cetakan Ketiga, Intisyarat Kitabpurusyi Islam.  
[2]. Sayid Murtadha Hasani Razi, Tabshirat al-Awwâm fi Ma’rifat Maqâlât al-Anam, hal. 89, Cetakan Kedua, Intisyarat-e Asathir, 1364 S.  
[3]. Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijâj, jil. 2, hal. 344, Nasyr al-Murtadha, Masyhad Muqaddas, 1403 H.  
[4]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 3, hal. 245, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.  
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 475, Cetakan Kelima, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.
[6]. Silahkan lihat, Sayid Ja’far Sajjadi, Farhang ‘Ulum Falsafi wa Kalâmi, Cetakan 1357 H; Natsr Thuba atau Dairat al-Ma’arif Lughat Qur’an.   
[7]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 316, Cetakan Pertama, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.
[8]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 242.
[9]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 244.  
[10]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 7, hal. 81, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.

Malaikat Maut Akan Mengambil Nyawa Setiap Makhluk Hidup


Apakah malaikat maut akan mengambil nyawa setiap makhluk hidup?
 
Jawaban Global:
Dari bentuk mutlak riwayat dapat disimpulkan bahwa malaikat maut (Izrail) adalah media Allah Swt dalam mencabut jiwa dan mengambil nyawa seluruh makhluk hidup.
Namun yang penting kita ketahui adalah bahwa sejatinya yang mengambil jiwa seluruh makhluk hidup adalah Allah Swt. Sunnatullah yang mengharuskan perbuatan mencabut nyawa harus didelegasikan melalui media, entai media itu adalah malaikat maut atau dengan perantara media lainnya.
 
Jawaban Detil:
Dalam al-Quran disebutkan bahwa Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu ia tidur.” (Qs. Al-Zumar [39]:42).

Allah Swt dalam ayat ini, pencabutan nyawa diperkenalkan sebagai perbuatan-Nya dan apabila musnad ilaihi (yang disandarkan kepadanya) Allah lebih dahulu disebutkan atas musnad yatawaffa (pada ayat di atas) maka hal itu dimaksudkan sebagai hashr (pembatasan), artinya pencabutan ruh itu hanya merupakan perbuatan Tuhan bukan yang lain.[1]

Bagaimanapun terdapat ayat lain yang dapat disimpulkan bahwa Allah Swt mengatur alam semesta ini dengan perantara sekelompok malaikat sebagiamana pada ayat 5 surah Naziat, Allah Swt menyatakan, “Dan demi para malaikat yang mengatur urusan (dunia).”

Sunnah Ilahi mengharuskan urusan-urusan dan perbuatan-perbuatan di alam semesta ini dilakukan melalui kanal sebab-sebab. Karena itu, sekelompok malaikat yang bertugas untuk  mencabut nyawa dan yang paling top[2] di antara mereka adalah malaikat maut.[3]

Al-Quran dalam hal ini berkata, “Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan.’” (Qs. Al-Sajdah [32]:11) dan “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-malaikat Kami mewafatkannya, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. (Qs. Al-An’am [6]:61).

Apabila dua ayat ini kita letakkan di samping ayat pertama maka dapat disimpulkan bahwa pengambilan nyawa pada prinsipnya dilakukan oleh Allah Swt bukan selain-Nya. Dengan izin Allah, malaikat maut dapat menunaikan tugasnya dan dengan perantara malaikat maut, pekerjaan pembantu malaikat maut yang merupakan para malaikat Tuhan dapat menjalankan tugas membantu malaikat maut dalam mencabut nyawa.[4] Pada prinsipnya, seluruh pekerjaan di alam semesta berada di tangan Tuhan dan para malaikat adalah para pelaksana pekerjaan ini.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Seseorang bertanya kepada Imam Shadiq tentang ayat ini dimana Allah Swt berfirman,  
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (Qs. Al-Zumar [39]:42).
 
Dan di tempat lain berfirman,   
“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan.” (Qs. Al-Sajdah [32]:11).
 
 demikian juga pada ayat lainnya,
 “(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat.” (Qs. Al-Nahl [16]:32).
 
mengingat bahwa dalam satu jam di dunia ini terdapat ribuan orang yang meninggal yang jumlah persisnya hanya Allah yang tahu, lalu bagaimana hal ini dapat dilakukan para malaikat atau malaikat maut pada saat yang bersamaan mencabut ruh semua orang yang meninggal itu?

Imam As dalam menjawab pertanyaan ini berkata, “Allah Swt menempatkan para pembantu dan malaikat untuk malaikat maut yang berposisi sebagai komando untuk mereka dan mengirim mereka utuk menunaikan tugas-tugasnya  masing-masing. Karena itu, para malaikat (pembantu) yang mencabut ruh dan juga malaikat maut lalu Allah Swt mengambil ruh-ruh itu dari malaikat maut.”[5]

Seorang ateis datang kepada Amirul Mukminin Ali As. Katanya, “Dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang bertentangan satu sama lain. Karena pada satu tempat disebutkan “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.”.
Namun pada ayat lain disebutkan malaikat maut yang melakukan hal ini. Dan ditempat lainnya disandarkan pada sebagian malaikat?” Dalam menjawab pertanyaan ini Amirul Mukminin As berkata, “Malaikat maut memiliki pembantu dari kalangan malaikat rahmat dan azab yang perkerjaannya sama dengan pekerjaan malaikat maut (mencabut ruh) dan apa pun yang mereka lakukan maka perbuatan itu disandarkan kepada malaikat maut dan perbuatan malaikat maut itu adalah perbuatan Allah karena Allah yang mengambil jiwa setiap orang yang dikehendakinya, dan perbuatan-perbuatan lainnya seperti memberikan atau menahan, memberikan ganjaran atau azab, diserahkan kepada siapa pun yang dikehendaki dan sesungguhnya pekerjaan para petugas-Nya adalah perbuatan Allah Swt sendiri sebagaimana dalam al-Quran menyatakan, “Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” dan Al-Takwir [81]:20).

Dengan kata lain, tatkala malaikat maut tidak secara langsung mengambil jiwa juga dapat disandarkan pada malaikat maut dan kepada Tuhan karena seluruh sebab, kekuatan, dan kodratnya bersumber dari Allah Swt dan berada di bawah pengurusan Ilahi. Demikian juga perantara-perantara lain selain malaikat maut yang tergolong sebagai bala tentara malaikat maut dan sebagiamana pekerjaan ini dapat disandarkan secara langsung, juga dapat disandarkan dengan perantara medium dan perantara puncak sebagiamana penaklukan dan kemenangan pada perang yang sejatinya yang secara hakiki disandarkan pada prajurit, rakyat, panglima dan panglima besar.

Dengan pendahuluan ini kami akan menjawab pertanyaan Anda siapakah yang melakukan pencabutan nyawa makhluk-makhluk hidup selain manusia? Amirul Mukminin As dalam sebuah riwayat, “...Cukup bagimu engkau tahu Allah yang menghidupkan dan mematikan. Dia mencabut nyawa siapa saja yang dikehendaki, dengan perantara malaikat atau tanpa perantara malaikat.”[6]

Karena itu penting untuk kita ketahui bahwa Allah Swt yang melakukan perbuatan ini dan Dia juga melakukannya dengan perantara, entah perbuatan mencabut nyawa ini dengan perantara malaikat maut atau tanpa malaikat maut.

Benar dalam riwayat lain disebutkan, “Sewaktu mikraj, Nabi Saw bertanya kepada malaikat maut, “Apakah jiwa orang-orang yang mati dan akan mati engkau yang mengambilnya?” Dia berkata, “Benar... seluruh dunia dan apa yang ditundukkan Tuhan bagiku di sisiku laksana sebuah koin di tangan seseorang yang dapat dipermainkan dan aku mendatangi seluruh rumah di dunia lima kali sehari (untuk melihat apakah ia mengerjakan salatnya tepat waktu atau tidak?)”[7]

Dari kemutlakan riwayat ini kemungkinan ini dapat dikuatkan bahwa malaikat maut yang mengambil jiwa seluruh makhluk hidup.  
 
Indeks Terkait:
  1. Pertanyaan 96, Indeks: Tidur dan Kematian Jiwa Manusia
  2. Pertanyaan 849, Setan dan Kematian
 

Referensi:
[1]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân (Terjemahan Persia), jil. 17, hal. 407.
[2]. Karena tingkatan eksistensial para malaikat berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, tingkatan eksistensial Izrail (malaikat maut) lebih tinggi dari para malaikat yang membantu untuk mencabut nyawa.
[3]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemenuh, jil. 17, hal. 140.
[4]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizān (Terjemahan Persia), jil. 17, hal. 407.
[5]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil 1, hal. 136.
[6]. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hadis 6, hal. 143.
[7]. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 2, hadis 2, hal. 141.

Ruh; Dimensi Lain Manusia


Oleh: Abdullah Nasri

Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini jawabannya belum mampu memuaskan manusia adalah, apakah hakikat wujud manusia? Apakah wujud manusia hanya sebongkah badan  materiel, atau juga membawa hakikat selain materi? Dengan kata lain, apakah al-Quran mengakui bahwa manusia adalah hakikat selain materi yang disebut dengan ruh atau menolaknya? Bila mengakui demikian, lalu bagaimana kitab suci ini menjelaskan hubungan ruh dengan badan? Apakah ruh ada setelah kejadian badan atau sebelumnya? Apakah al-Quran mengakui bahwa setelah kehancuran badan, ruh tetap ada atau tidak?

Sebenarnya al-Quran telah menyebutkan adanya dimensi selain materi pada manusia yang disebut dengan ruh. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat berikut ini:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh-Nya ke dalamnya dan Dia menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati tetapi sedikit sekali kalian  bersyukur.[1]

Kalimat “meniupkan ruh-Nya ke dalamnya” dalam ayat di atas menunjukkan adanya dimensi yang bernama ruh pada manusia. Setelah menjelaskan tentang ruh, ayat tersebut mengatakan bahwa Allah menciptakan untuk kalian telinga, mata dan hati, menurut pandangan sebagian para penafsir, meskipun membicarakan tentang anggota badan akan tetapi maksudnya adalah penggunaan dari anggota tersebut yaitu mendengar dan melihat.

Mungkin bisa juga diambil kesimpulan secara detil dari ayat di atas bahwa setelah menyebutkan tentang peniupan ruh kemudian menyebutkan tentang telinga, mata dan hati sebabnya adalah karena sumber asli perbuatan anggota tersebut adalah ruh. Yakni bila ruh tidak ada maka anggota tersebut tidak ada gunanya karena anggota tersebut hanya berperan sebagai perantara bagi ruh, tanpa ruh dengan sendirinya anggota tersebut tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam filsafat Islam telah terbukti bahwa badan berperan sebagai perantara bagi aktivitas ruh. Aktivitas yang dilakukan oleh anggota badan pada hakikatnya sumbernya adalah ruh. Yakni melihat, mendengar, mencium dan berbicara semuanya terkait dengan ruh. Mata, telinga, hidung dan lidah hanya sekedar perantara untuk mengetahui masalah-masalah ini. Misalnya sebuah kacamata. Orang yang penglihatannya lemah, ia menggunakan kacamata, lantas apakah kacamata itu sendiri yang melihat atau kacamata hanya sekedar perantara bagi mata? Jelas kacamata dengan sendirinya tidak bisa melihat akan tetapi ia harus diletakkan di depan mata sehingga mata yang kerjanya adalah melihat dengan menggunakan kacamata ia bisa melihat sesuatu. Pada hakikatnya mata dalam contoh tersebut sama seperti ruh, dan telinga, mata dan lidah seperti kacamata sebagai perantara. Ruh dengan perantara anggota badan bisa melakukan aktivitasnya.

Ayat lain yang mengisyaratkan adanya ruh pada manusia adalah ayat berikut ini:
Dan apabila Aku telah menyempurnakan  kejadiannya dan meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.[2]

Dua poin penting yang ada dalam dua ayat di atas adalah Allah mengatakan,  “Aku meniupkan ruh-Ku”, apa maksud dari kalimat tersebut? Apakah maksudnya adalah Allah meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia. Yakni sebagian ruh-Nya masuk ke dalam tubuh manusia atau ada maksud yang lain lagi?
Jelas Allah bukan ruh sehingga harus memasukkan sebagian ruh-Nya ke dalam tubuh manusia, akan tetapi yang dimaksud oleh al-Quran dengan penjelasan ini adalah kemuliaan dan ketinggian ruh itu sendiri. Yakni ruh begitu bernilai sehingga Allah menghubungkannya dengan diri-Nya dan mengatakan, “Aku meniupkan kepadanya ruh-Ku”. Bisa kita jelaskan dengan contoh lain seperti masjid adalah rumah Allah. Kita tahu bahwa masjid bukan rumah Allah, karena Dia bukan materi sehingga harus membutuhkan tempat tinggal, akan tetapi maksudnya adalah nilai dan pentingnya masjid sehingga disebut dengan rumah Allah. Contoh lain seperti majelis rakyat juga disebut sebagai rumah rakyat.

Ada ayat lain yang mengisyaratkan tentang wujudnya ruh:
Demi nafs (ruh, jiwa) dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan jalan kefasikan dan jalan ketakwaannya.[3]

Ayat di atas menceritakan tentang realitas ruh yang memiliki pemahaman. Ayat di atas mengatakan bahwa Allah telah mengilhamkan pemahaman baik dan buruk. Mengingat bahwa pada manusia  tidak terdapat anggota badan pun yang bisa memahami sesuatu,  maka yang layak memiliki pemahaman adalah kekuatan selain materi yang disebut oleh al-Quran dengan ruh atau nafs.

Di sini kita mengajukan dua argumentasi untuk membuktikan keberadaan ruh yang nonmateri:
1. Salah satu pembuktian ruh ialah cara manusia memperoleh konsep-konsep universal (intiza’-e mafahim-e kulli). Maksud dari universal di sini ialah bahwa konsep-konsep itu bisa diaplikasikan pada banyak objek.  Misalnya, manusia sebagai konsep universal. konsep manusia ini bisa diaplikasikan pada semua objek individualnya seperti Ali, Husan, Husein dan selain mereka. Kita juga tahu bahwa konsep-konsep universal ini tidak ada secara konkret di luar, karena segala yang ada di luar memiliki keadaan, kualitas dan kuantitas tertentu. Pertanyaannya, di manakah tempat konsep-konsep universal ini? Jelasnya, tempat mereka nonmateri, karena materi melazimkan bentuk tertentu, keadaan tertentu, batas ruang dan waktu tertentu, sementara konsep-konsep universal tidak memiliki satupun dari ciri-ciri ini. Dengan demikian, maka mesti ada suatu sisi selain materi dalam wujud manusia, sehingga konsep-konsep universal -yang tidak memiliki ciri-ciri materiel sedikit pun- itu bisa berada di dalamnya.

2. Salah satu dari ciri-ciri materi ialah adanya hubungan khas antara tempat dan penempat (yang menempati). Yakni, penempat tidak pernah lebih besar dari tempatnya; sesuatu yang lebih besar tidak bisa menempati ruang yang kecil. Manusia banyak menyaksikan benda-benda besar dan ia bisa menempatkan gambaran (konsep) benda-benda besar tersebut dalam pikirannya sesuai dengan ukurannya. Misalnya, ia bisa membayangkan gedung bertingkat dua puluh dalam pikirannya atau menggambarkan ratusan meter persegi gunung dalam pikirannya. Pertanyaannya, kalau benar bahwa penggambaran gedung bertingkat dua puluh ini bisa dilakukan oleh otak sebagai benda yang memiliki ukuran kecil, lantas bagaimana benda yang besar itu bisa menempati tempat yang kecil ini? Jelas, berdasarkan kaidah di atas (yakni hubungan khas antara tempat dan penempatnya) pasti ada satu hakikat nonmateri dalam diri manusia, sehingga ia bisa menempatkan sesuatu yang besar itu dalam dirinya sesuai dengan ukuran sebenarnya. Dan hakikat tempat tersebut ialah ruh (nafs). Karena ruh bukan materi, ia bisa ditempati oleh sesuatu yang besar.


Hubungan Ruh dengan Badan
Dalam pembahasan ruh (nafs) ada pertanyaan, “apa hubungan badan dengan ruh? Apa pendapat al-Quran dalam masalah ini? Apakah al-Quran mengakui bahwa ruh dan badan adalah dua hakikat yang berpisah di mana antara keduanya terdapat dualisme, atau al-Quran mengakui pendapat yang lainnya lagi?”
Dalam sejarah filsafat,  Descartes dan pendukungnya memaparkan teorinya bahwa ruh dan badan adalah  dua substansi yang berbeda. Yakni jasmani adalah sesuatu dan ruh adalah sesuatu yang lain lagi. Dan manusia adalah hakikat yang tersusun dari dua paduan yang berbeda. Decart mengatakan bahwa sifat aslinya badan adalah perpanjangan, perluasan. Dan sifat aslinya ruh adalah berpikir. Tentunya, Descartes mengakui bahwa antara badan dan ruh, terdapat suatu hubungan, dan yang menghubungkan keduanya adalah kelenjar (pineal gland) yang ada dalam otak.

Teori lain mengatakan bahwa hakikat wujud manusia adalah ruh itu sendiri. Wujud manusia bukan komposisi dari badan dan ruh. Yakni, wujud manusia adalah ruhnya itu sendiri, bukan ruh sebagai satu bagian dari wujud manusia. Oleh karenanya, berdasarkan teori ini, antara ruh dan badan ada sejenis hubungan yang disebut dengan hubungan taktis (ertebat-e tadbiri), yang di dalamnya badan sebagai alat dan ruh sebagai pengelola.

Ayat di bawah ini menunjukkan bahwa al-Quran mengakui bahwa wujud manusia sebagai ruh itu sendiri.
Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi mencabut nyawamu akan mematikan kalian (yatawaffakum: mengambil kalian secara keseluruhan)  kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.[4]

Kata “tawaffa” artinya adalah mengambil, dan mengambil secara penuh. Ayat di atas mengatakan bahwa malaikat pencabut nyawa akan mengambil dasar wujud manusia. Kalau memang ruh adalah satu bagian dari wujud manusia, al-Quran tidak mengatakan: “yatawaffakum”, tetapi ia akan mengatakan: “yatawaffa ba’dhakum”. Mengambil sebagian dari kalian berbeda dengan mengambil kalian secara keseluruhan.
Maka dari itu, mengingat bahwa malaikat maut akan mengambil ruh manusia; bukan mengambil badannya. Dan ayat tersebut juga mengatakan bahwa malaikat akan mengambil kalian secara keseluruhan. maka itu jelas bahwa hakikat wujud manusia adalah ruh, bukan badan. Dengan melihat ayat berikut ini, akan kita dapatkan bahwa wujud manusia adalah ruh, bukan badan.


Jika kamu melihat orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan maut dan para Malaikat merentangkan tangan-tangannya seraya berkata ‘keluarkanlah ruh kalian!’ di hari ini kalian akan dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kalian selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang tidak benar dan kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.[5]

Dua poin penting dalam ayat tersebut adalah kalimat “keluarkanlah ruh kalian” dan kalimat “hari ini kalian akan dibalas” (tujzauna), yang menunjukkan masa sekarang dan masa yang akan datang. Artinya, dan pembalasan siksa itu berlanjut, maka yang disiksa adalah ruh, karena badan manusia akan rusak dan binasa dengan kematian, ketika itu ia tidak menanggung siksa di alam barzakh.


Bagaimana Kejadian Ruh?
Terdapat banyak teori berkaitan dengan cara kejadian ruh. Hanya saja, di sini kami akan  membahas dua teori yang penting.
1. Teori Ruhaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Pendukung teori ini menyatakan bahwa hakikat ruh terkait dengan alam malakut (metafisik). Yakni, sebelum kejadian badan, ruh berada di alam malakut. Setelah kejadian badan, ruh menjadi tawanan badan dalam jangka waktu tertentu. Dan setelah manusia mati, ruh kembali lagi ke asalnya, yaitu ke alam malakut.

2. Teori Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Penggagas teori ini adalah Mulla Shadra. Ia mengatakan bahwa ruh bukan materi, juga tidak turun dari alam malakut ke alam natural. Akan tetapi, ruh terjadi dari evolusi substansial materi (takamul-e jauhari-ye madeh). Dengan penjelasan lain, ruh manusia muncul dari gerak substansial yang disebut dengan nafs natiqah (ruh yang berakal) dan ia abadi dan tidak musnah sepeninggal badan. Oleh karenanya, ruh adalah hasil dari evolusi natural. Oleh karena itu, kejadian ruh demikian ini disebut dengan jismaniyatul hudus.

Di sini kita ingin mengetahui; mana dari dua teori ini yang diterima oleh al-Quran? Apakah dalam masalah ini ayat-ayat al-Quran juga memaparkan pendapatnya? Dengan mengkaji ayat di bawah ini, bisa dikatakan bahwa al-Quran menerima teori  ‘Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. 

Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.[6]

Al-Quran melanjutkannya demikian:
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.[7] Pada tahapan penciptaan dalam ayat di atas digunakan lafazh ‘Fa’ dan ‘Tsumma’ yang artinya ‘kemudian’, di mana jika kita teliti maka akan memahami maksudnya dengan baik.
Penjelasannya adalah dua lafaz ini memiliki selisih yang sangat dekat sekali. Artinya, jika selisih antara tahapan hanya dari segi sifat atau selisih substansinya dekat sekali, seperti selisih antara tahapan gumpalan darah dengan gumpalan daging, dan gumpalan daging dengan tulang belulang maka yang digunakan adalah lafazd ‘Fa’.

Sedangkan selisih antara saripati tanah sampai mani dan mani sampai gumpalan darah maka selisih substansinya jauh.

Kalau al-Quran mengatakan ‘Tsumma Ansya’nahu Khalkan Akhar’, yaitu kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain, sebagai penguat makna tersebut di mana selisih tahapan ini dengan tahapan sebelumnya adalah jauh yaitu daging bercampur tulang belulang.

Kata ‘Ansya’ dalam sastra Arab artinya adalah menciptakan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya.
Dalam tahapan penciptaan manusia yakni dari tanah sampai daging bercampur tulang belulang, al-Quran menggunakan kata ‘Khalaqa’ dan ‘Ja’ala’. Namun di akhir menggunakan kata ‘Ansya’ dan ‘Khalqan Akhar’ untuk menunjukkan bahwa pada tahapan akhir muncul sesuatu yang baru bagi manusia. Dengan kata lain setelah manusia menjalani tahapan materi ia sampai pada satu tahapan di mana Allah mewujudkan untuknya ciptaan yang lain.

Oleh karenanya, dengan melihat empat poin di bawah ini maka penyimpulan teori ‘Jismaniyatul hudus-nya ruh  bisa disandarkan pada ayat-ayat di atas:
1. Sekaitan dengan lafazd ‘Tsumma’ dan ‘Fa’. Lafazd Tsumma digunakan untuk tahapan penciptaan sebelum munculnya ruh. Sedangkan lafazd ‘Fa’ (menunjukkan selisih antara tahapan wujud) digunakan pada tahapan terakhir penciptaan manusia ketika ruh sudah bergabung dengan badan.
2. Penggunaan kata ‘Ansya’, menunjukkan penciptaan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya.
3. Dalam penciptaan ruh menggunakan istilah ‘Khalkan Akhar’ artinya penciptaan lain.
4. Pada kata ‘Ansya’nahu’, zamir ‘Hu’ kembali kepada makhluk yang melewati beberapa tahapan dari gumpalan darah sampai daging yang menutupi tulang.


[1] . QS, As-Sajdah: 9.
[2] . QS, Al-Hijr: 29.
[3] . QS, As-Syams: 7-8.
[4] . QS, AS-Sajdah: 11.
[5] . QS, Al-An’am: 93.
[6] . QS, Al-Mukminun: 12-14.
[7] . QS, Al-Mukminun: 14.

RUH !

Apakah anda pernah mendengar ada manusia bisa terbang ( tanpa pake pesawat )? apakah anda percaya kalau  dalam sekejap seseorang bisa berpindah dari kota Bandung ke kota Jakarta ? Atau ada seseorang dalam satu waktu bisa ada di rumah bersama keluarga dan juga berada di kantor ? Apakah ada manusia yang  tidak  terikat oleh ruang dan waktu ?

Anda sepertinya menganggap pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan konyol dan tidak masuk akal. Mana mungkin manusia bisa terbang ( memang burung ! ) atau dalam sekejap bisa berpindah dari satu kota ke kota yang lain yang berjauhan dan mustahil seseorang dalam satu saat bisa berada di rumah dan juga di kantor. Manusia hidup di alam yang memiliki aturan-aturan yang mengikat. Manusia tidak bisa terbang karena ia tidak memiliki sayap selain itu manusia juga tidak bisa mengambang di udara, karena akan tertarik oleh daya grafitasi bumi. Atau ketika seseorang hendak pergi dari satu tempat ke tempat yang lain ia harus melewati jarak antara kedua tempat tersebut. Dan atau seseorang ketika berada di suatu tempat ia akan terikat ( hanya ) oleh tempat tersebut dan mustahil ia disaat itu juga berada di tempat yang lain. Ini semua aturan-aturan alam  dan manusia merupakan salah satu penghuni alam ini ( terpaksa ) harus mengikuti aturan tersebut. Di mana pun manusia berada, ia selalu terikat oleh ruang dan waktu.

Anda keliru ! memang benar di alam ini terdapat aturan-aturan yang mengikat seluruh penghuninya termasuk manusia. Akan tetapi anda hanya berbicara dari sisi materi, anda lupa bahwa manusia memiliki dua dimensi; dimenasi materi dan non materi. Terutama anda yang beragama islam, tentu anda meyakini hal itu dan  itu sudah sesutau yang musallam antara kita kaum muslimin. Para ulama juga telah banyak melontarkan argument-argumentnya untuk membuktikan hal itu, baik argumentasi aqli maupun naqlinya, jadi tidak perlu lagi saya bahas hal itu. 

Alam nonmateri seperti halnya alam materi memiliki aturan-aturan tersendiri. Ruang dan waktu hanya berlaku di alam materi, sementara di alam non materi tidak. Jauh, dekat,  sekarang, kemarin atau yang akan datang merupakan konsep-konsep benak yang diambil dari hukum-hukum materi. Materi memiliki hukum ‘haalah al-imtidadiah’ ( yang memiliki panjang, lebar dan tinggi ) dan dari sana muncul keterbatasan. Sementara sesutau yang nonmateri memiliki ‘haalah jam’iyah’ ( kebalikan dari haalah imtidadiah ) dan tidak dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan materi keterbatasan. 

Lebih jelasnya lagi, masa lalu, jauh, dekat, disana, disini, masa yang akan datang dan jaman sekarang merupakan satu konsep buatan benak dan pikir yang dihasilkan dari  dimensi materi yang merupakan sisi keterbatasan wujud manusia. Karena, wujud kita baik dari segi ‘waktu’ atau dari segi ‘ruang’ merupakan wujud yang terbatas. Artinya, kita berada pada titik tertentu dari ruang dan waktu. Ketebatasan wujud kita dari sisi ruang (contohnya), menghasilkan konsep-konsep seperti  ‘dekat dan jauh’ atau ‘ disana dan disini’ bagi kita. Sementara sisi nonmateri dari wujud kita yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu yang dalam istilah filsafat disebut dengan ‘maa wara a al-tabiah’, konsep seperti jauh dan dekat atau disana dan disini menjadi tidak berarti.

Begitu juga keterbatasan kita dari segi waktu, dengan tergambarkannya konsep-konsep seperti  masal lalu, masa yang akan datang serta jaman sekarang pada benak kita. ‘jaman sekarang’ adalah waktu sebelum kita sekarang dimanapun wujud kita berada. Oleh karenanya, ‘jaman yang lalu’ menurut kita, bagi orang yang hidup satu abad sebelum kita adalah ‘jaman sekarang’ dan bagi orang yang hidup dua abad sebelum kita adalah ‘jaman yang akan datang’. Untuk sisi nonmateri wujud manusia yang tidak terbatas oleh waktu dan jaman, konsep-konsep seperti ini tidaklah berarti. Baginya masa yang akan datang dan masa yang lalu adalah jaman sekarang.

Sisi nonmateri manusia disebut dengan ruh ( sisi ruhani ) yang merupakan sisi lain dari jasad (badan) yang merupakan sisi materinya. Ruh menyatu dengan badan tapi bukan seperti menyatunya gula dengan air, akan tetapi ruh men-taskhir (menguasai) badan sehingga badan hidup. Pada hakekatnya pekerjaan-pekerjaan yang manusia kerjakan adalah pekerjaan ruh seperti  melihat, mendengar… artinya itu semua merupakan tajalli dari ruh. Ruh dan badan masing-masing memiliki aturan dan hukum-hukum sendiri-sendiri dan karena keduanya berada pada manusia, antara hukum materi dan hukum nonmateri terjadi saling tarik dan saling menguasai. Pada sebagian orang karena sisi materinya lebih kuat maka hukum-hukum materi menguasai hukum nonmateri, sehingga yang menonjol dan berlaku pada orang tersebut adalah hukum-hukum materi. Akan tetapi bagi orang yang ruhnya kuat, maka hukum-hukum nonmateri menguasai hukum-hukum materi (badan). 

Imam khumaeni pernah berkata: jangan heran kalau suatu saat anda melihat seseorang hanya dengan membaca bismillah, ia bisa terbang. Atau salah seorang arif jaman sekarang berkata : maqam dan kedudukan paling rendah bagi seorang wali adalah ia bisa thayyul ardh ( melipat bumi ). Artinya luasnya bumi bagi dia sudah tidak berarti dan sekejap ia bisa ada ditempat yang jauh. Kita juga pernah mendengar dalam suatu riwayat bahwa Imam Ali as. dalam suatu saat ia berada dalam beberapa ( 9 ) tempat. Dalam sejarah disebutkan bahwa Imam Jawad as. dalam penjara ia melakukan shalat dan ibadah semalaman dan bahkan sampai tengah hari ia masih melakukan shalat. Nabi saww. Dan para Imam as. serta para wali Allah, mereka beribadah berjam-jam dari maghrib sampai subuh. Atau dalam satu malam mereka meng-khatam alquran berpuluh-puluh kali.

Apakah anda masih mengatakan mustahil ?! bagi orang-orang yang ruhnya kuat, hukum-hukum, batasan dan ikatan-ikatan materi bagi mereka tidaklah berarti. Bagi kita yang sisi materinya lebih menguasai, maka hukum-hukum inilah yang berlaku bagi kita. Seperti halnya badan ruh juga agar menjadi kuat butuh kepada makanan dan latihan. Makanan ruh adalah ibadah dan ilmu. Semakin banyak kita beribadah maka ruh kita akan semakin kuat dan hukum-hukumnya akan semakin menonjol. Nabi saww., para Imam as. serta para wali Allah, mereka adalah ahli ibadah dan ahli ilmu. Banyak terdapat hadist dan riwayat yang menganjurkan kita untuk beribadah dan mendalami ilmu, sehingga ruh kita menjadi kuat. Bahkan dalam satu hadist (qudsi) di riwayatkan: “ Allah berfirman: HambaKu beribadahlah kepadaku, maka aku akan jadikan kalian sepertiKu; Aku hidup dan tidak mati, maka Akupun akan menjadikanmu hidup dan tidak mati… “ 

RUH MENURUT PARA FILUSUF DAN ‘URAFA ISLAM.

Berbeda dengan pendapat sebagian ilmuan barat yang meyakini bahwa ruh merupakan perkara nisbi, seperti kekuatan yang berada pada jam. Ketika semua bagian-bagian jam lengkap dan teratur dengan benar, maka jam pun ‘hidup’. Akan tetapi ketika ada bagian jam yang kurang atau susunan yang tidak teratur, maka jam pun ‘mati’ dan tidak ada wujud lain (ruh) selian itu. Seperti halnya jam, tidak memiliki ruh manusia pun demikian. Para ulama islam meyakini bahwa ruh merupakan wujud mustakil ( berbeda ) dari wujud jism dan badan.

Ibnu Sina.

Ibnu Sina tentang masalah nafs dan ruh berpendapat bahwa unsur-unsur asli wujud-wujud alam menyatu lewat bantuan quwwah falaki dan muncullah jism-jism yang berbeda-beda seperti batu, tanah, besi dan lain-lain. Semakin seimbang susunan unsur-unsur tersebut maka jism yang lebih tinggi akan muncul darinya. Seperti ketika susunan unsur-unsur pada benda mati semakin seimbang maka akan berubah menjadi tumbuhan, terus naik menjadi hewan yang memiliki irodah dan pengetahuan juz’i. Karena terus berkembang dan semakin seimbang maka dari tahapan hewan berubah menjadi tahapan manusia, dimana selain memiliki panca indra yang dimiliki hewan, ia juga memiliki daya idrak (pengetahuan/pikir) kulli serta memiliki daya pikir, irodah  khusus dimana pribadi,  hakekat serta kelebihan manusia dari hewan yang disebut dengan ruh. Walaupun ia menggunakan istilah-istlah yang berlainan tentang ruh, akan tetapi yang dimaksud oleh Ibnu Sina tentang ruh adalah daya idrak. Menurut ia, karena daya idrak berderajat  maka kekuatan ruh pada manusia pun berderajat; pada sebagian manusia kuat dan pada sebagian yang lain lemah. 

Mulla Sadra.

Menurut pendapat Mulla Sadra, awal tahapan  pada ruh adalah tahapan-tahapan jism, lalu secara bertahap naik sehingga sampai kepada tahapan his (indra), khayali, wahmi hingga sampai kepada tahapan aql (akal). Dari akal ‘amali menuju ke akal nadhari dan melalui tahapan yang ada pada akal nadhari hingga sampai kepada tahapan terakhir dari akal adalah tahapan akal fa’aal. Akal ini merupakan tahapan yang paling sempurna dari tahapan akal dan ruh yang dalam firman Tuhan disebutkan : “ Dan kami hembuskan di dalamnya dari ruh-Ku “ ( Al-Hijr, ayat : 29 ). Ayat ini menunjukan kedudukan tinggi dari ruh, dan ketika ruh sudah sampai kepada tahapan aql (akal) maka selama akan tatap kekal. Dengan penjelasan; Ketika manusia hendak melihat, mendengar atau merasa  maka manusia butuh kepada mata, telinga dan daya rasa. Atau ketika hendak menggambarkan sesuatu maka ia butuh kepada daya khayali atau daya wahmi ( pada makna-makna yang juz’I ). Akan tetapi ketika ingin memahami makna-makan kulli tidak butuh kepada daya apapun baik yang dhahir maupun bathin. Karena hekekat manusia memiliki kelebihan akal dan idrak insani yang terilhami dari aqli kul.

Dari penjelasan ini, Mulla Sadra meyakini kaidah ‘jimaniatul huduts wa rehaniatul baqa’ artinya, ruh manusia dari awal penciptaan sampai akhir harus melewati tahapan, maqam dan derajat-derajat yang bermacam-macam hingga akhirnya ruh tidak lagi butuh kepada badan. Dengan kata lain ruh pada tahapan awal adalah berupa substansi jism hingga akhirnya berkembang dan menyempurna dan sampai kepada tahapan tajarrud ( menjadi nonmateri ).

Ketika sudah sampai kepada tahapan tajarrud dia tidak akan mati akibat matinya badan dan akan tetap kekal. Manusia pada awalnya berada di alam materi dan tabiat alam, terikat oleh hukum-hukum materi, kemudian sampai kepada tahap khayali dan wahmi hingga kahirnya sampai kepada derajat aql, menjadi nonmateri dan kekal. Seperti yang digambarkan dalam alquran: “  Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.  Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).  Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.  Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” ( Al-Mu’minun ayat : 12-16 ).

Para ‘Urafa.

Para ‘urafa dan sebaiah filusuf berkeyakinan bahwa ruh sebelum berhubungan dengan badan materi ia berada di alam tajarrud, di atas tabiat dan berdiri sendiri. Ruh pada tahapan ini mengetahui segala sesuatu, akan tetapi setelah datang ke alam materi yang merupakan akhir dan paling rendahnya derajat wujud, karena ia terpenjara oleh badan materi maka semua pengetahuannya menjadi hilang. Dan lewat belajar, otak manusia mengingat ilmu-ilmu dasar dan fitri ini serta menemukan sesuatu yang hilang tersebut. Seperti yang diungkap oleh Ghazali dalam bukunya ‘Ihya ‘Ulumuddin’ : “Belajar tidak lain adalah kembalinya jiwa kepada substansinya untuk mengeluarkan apa yang ada didalamnya.”

Para ‘urafa berpendapat bahwa ruh merupakan wujud yang aktif  di alam barzah dan alam malakut dalam jism-jism yang lebih latif (halus). Setelah  turun ke alam materi, ia kembali melakukan shu’ud (naik) dan setelah manusia meninggal ia tinggal untuk beberapa saat dengan bersama jism-jism latif. Sebagian para ‘urafa meyakini adanya ruh kulli dan nafs mutlak.

Di akhir makalah ini akan disinggung secara singkat pendapar para filusuf berkenaan dengan kematian; Ibnu Sina meyakini kematian adalah akibat hancurnya susunan jism yang merupakan rumah bagi ruh, oleh karena itu ruh pun pergi. Mulla Sadra meyakini sebaliknya, karena ruh pergi maka jism yang merupakan rumah dari ruh pun akhirnya menjadi rusak. Sementar Suhrawardi berkeyakinan, karena mizaj ( keseimbangan unsur-unsur badan seperti air, tanah, udara dan api ) rusak, maka ruh pun meninggalkan rumahnya.

Imam Husein as, Ruh Kemanusiaan


Imam Husein as mengetahui bahwa keadilan dan kemerdekaan bagi sebuah masyarakat ibarat oksigen bagi paru-paru. Mereka yang mengarahkan masyarakat kepada keadilan dan kemerdekaan, maka nilai-nilai kemanusiaan telah berjasa atas pengabdian agungnya. Begitulah cara Imam Husein as mengusung panji kemanusiaannya. Pribadi mulia ini telah menciptakan sebuah peristiwa besar demi tegaknya agama Allah Swt dan nilai-nilai kemanusiaan. Padang Karbala telah menjadi dunia sejuta kenangan, baik yang menyayat hati dan mengucurkan air mata atau mengilhami ruh manusia untuk bersikap mulia dan berani dalam memerangi penindasan. Karbala adalah tempat peristirahatan manusia agung dan teladan kemanusiaan.

Ketika kita melangkah memasuki komplek pemakaman Imam Husein as di Padang Karbala, maka kebesaran jiwa dan kedudukan mulia beliau akan menyihir kita dan setiap orang yang mencari setitik kedamaian di sana. Para peziarah dengan penuh kesantunan dan khusyuk berkata: "Salam atasmu wahai pahlawan Islam dan Muslimin. Wahai pemimpinku, aku bersaksi bahwa engkau adalah pelita yang tidak pernah ternodai oleh kegelapan sepanjang sejarah. Aku bersaksi bahwa engkau adalah pilar-pilar agama yang kokoh dan benteng yang kuat serta insan yang beriman. Dan aku juga bersaksi bahwa engkau adalah seorang pemimpin yang baik dan bertaqwa, tali petunjuk Ilahi dan hujjah Allah Swt kepada penduduk bumi."

Tidak begitu jauh dari posisi makam Imam Husein as, ada sebuah lorong gelap yang berakhir pada sebuah kamar kecil. Di sana juga terdapat sebuah kerangkeng besi serupa makam yang diterangi cahaya remang-remang. Di sanalah tempat manusia agung itu meneguk cawan syahadah. Seorang pribadi yang senantiasa dicium dahinya dan dicintai oleh Rasulullah Saw, terbaring setelah diserang dari segala penjuru oleh manusia-manusia keji.

Kerangkeng besi makam Imam Husein as memiliki enam sudut. Dua sudut tambahan itu dijadikan sebagai tempat pemakaman Ali Akbar, bayi mungil Imam Husein as, yang dipanah saat dahaga mencekik. Kerangkeng besi itu sengaja dibuat enam sudut sehingga jelas tempat pemakaman Ali Akbar. Imam Sajjad as tercatat sebagai satu-satunya putra Imam Husein as yang tersisa di medan tempur dan terbaring sakit.

Di sekitar kerangkeng besi makam Imam Husein as, ada sebuah tempat lagi yang menyerupai jendela baja besar. Di sana terpahat nama para syuhada Padang Karbala. Mereka adalah sahabat setia Imam Husein as yang berperang hingga tetes darah penghabisan. Manusia-manusia mulia itu tetap setia meski Imam Husein as telah mencabut baiatnya dari mereka. Di tempat itu, Imam Sajjad as mengumpulkan jasad-jasad anggota keluarga dan sahabat Imam Husein as untuk dimakamkan.

Pergi berziarah ke Padang Karbala ibarat mengikat janji setia dengan Imam Husein as agar tujuan dan jalannya tidak terlupakan. Para peziarah berkata penuh khidmat: "Wahai putra Rasulullah Saw! Aku bersaksi bahwa engkau telah menyeru kepada keadilan. Engkau adalah orang yang paling jujur dan bijak. Engkau juga bersikap jujur dan ikhlas atas seruan-seruanmu kepada masyarakat. Aku bersaksi bahwa engkau telah menunaikan kewajiban dengan menghendaki kebaikan untuk semua dan berjihad di jalan Allah Swt serta menghambakan diri kepada-Nya dengan keikhlasan yang sempurna. Semoga Allah Swt memberikan sebaik-baiknya pahala kepadamu."

Peringatan peristiwa Asyura dan penghormatan luhur kepada Imam Husein as senantiasa dipentaskan sepanjang sejarah. Penguasa Bani Abbasiyah, Mutawakkil, termasuk salah seorang yang paling memusuhi Ahlul Bait as. Ia akan murka setiap kali melihat masyarakat berkumpul di Karbala dan meratapi kepergian Imam Husein as. Mutawakkil tak segan-segan memberi perintah penghancuran makam suci Imam Husein as dan pengusiran orang-orang yang berkumpul di sana. Dia bahkan tidak mengizinkan seorang pun menampakkan batang hidungnya di Padang Karbala.

Namun selang beberapa waktu kemudian, para pecinta Imam Husein as kembali membangun makam manusia suci itu berduyun-duyun datang berziarah ke sana. Karbala kembali menjadi tempat lalu-lalang manusia-manusia merdeka. Karbala laksana lingkaran berkilau, yang dipadati oleh para pecinta dan pengikut Imam Husein as.

Salah seorang ulama yang sedang menyampaikan ceramahnya di komplek makam Imam Husein as berkata: "Sesungguhnya siapakah Husein? Dia adalah putra Ali dan Fatimah. Dalam revolusi abadi Imam Husein as, keberanian dan kebesaran jiwanya akan memaksa semua orang untuk memujinya. Dia bangkit bukan untuk kepentingan pribadi atau kehidupannya, tapi jiwa dan semangatnya menyatu dengan jiwa dan fitrah seluruh manusia. Sikap rendah diri, kebesaran jiwa, keadilan, ketaqwaan, dan keikhlasan Imam Husein as merupakan pancaran keindahan. Dia telah mengorbankan hidupnya demi menghidupkan cahaya iman, keadilan, dan kemerdekaan di tengah masyarakat."

Di sudut lain komplek makam Imam Husein as, seorang ulama juga berbicara tentang keadilan dan kemerdekaan. Dia berkata: "Imam Husein as adalah pewaris pribadi-pribadi agung seperti Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad Saw. Para utusan Allah Swt tidak ada tandingannya dari segi keilmuan dan kearifan. Mereka berjuang demi terciptanya ketenangan dan kedamaian di tengah masyarakat. Begitu juga dengan Imam Husein as. Dia adalah simbol manusia-manusia yang menuntut kemerdekaan dan maskot untuk melawan kekuatan-kekuatan arogan dan tiran. Dia telah melakukan sebuah gerakan besar untuk menegakkan kebenaran dan kemuliaan. Husein as adalah manifestasi kebesaran jiwa kemanusiaan."

Ustadz Syahid Murtada Mutahhari menilai revolusi Imam Husein as terletak pada kebesaran jiwanya. Beliau berkata: "Husein adalah sebuah jiwa besar dan juga sebuah jiwa suci. Pada prinsipnya, jika jiwa sudah menjadi besar, maka ia akan menghimpit raga, tapi jiwa yang kecil akan bergerak menuruti tuntutan-tuntutan raga. Ia akan mematuhi setiap perintah yang diberikan oleh raga. Imam Ali as pernah berkata kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as: ‘Wahai anakku! Muliakanlah jiwamu dari setiap kehinaan.' Peristiwa Karbala adalah medan konfrontasi antara manusia besar dan manusia yang berjiwa besar. Pada petang hari Asyura, manusia-manusia berjiwa besar secara lahiriyah telah tiada dan manusia-manusia yang tampak besar seperti, Umar ibn Sa'ad, Ibnu Ziyad dan lain-lain, masih mengangkat kepala di Karbala. Akan tetapi manusia berjiwa besar seperti Imam Husein as, telah menciptakan sebuah peristiwa agung. Karena dia berjiwa besar dan bangkit untuk memberantas kerusakan di tengah masyarakat dan berkata: "Aku melihat kematian sebagai sebuah kebahagiaan daripada hidup bersama orang-orang yang hina."

Para peziarah Padang Karbala senantiasa dihantui pertanyaan ini. "Benarkah ini Husein yang dikatakan Rasul Saw bahwa Husein adalah dariku dan aku bagian darinya? Belum lebih dari 50 tahun sejak wafatnya Rasul Saw, mereka yang mendengar ucapan itu begitu cepat melupakannya. Mereka bahkan mengerahkan pasukan untuk memerangi cucu baginda Rasul Saw dan menciptakan tragedi terbesar dalam sejarah."

Meski demikian, Imam Husein as tetap hidup dan seruan-seruannya akan selalu disambut oleh mereka yang ingin menegakkan keadilan dan menghapus penindasan di buka bumi. Seruan Imam Husein adalah jeritan fitrah manusia dan pekikan ruh kemanusiaan.

Sumber: IRIB Indonesia

Terkait Berita: