Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Orang (manusia). Show all posts
Showing posts with label Orang (manusia). Show all posts

RUH !

Apakah anda pernah mendengar ada manusia bisa terbang ( tanpa pake pesawat )? apakah anda percaya kalau  dalam sekejap seseorang bisa berpindah dari kota Bandung ke kota Jakarta ? Atau ada seseorang dalam satu waktu bisa ada di rumah bersama keluarga dan juga berada di kantor ? Apakah ada manusia yang  tidak  terikat oleh ruang dan waktu ?

Anda sepertinya menganggap pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan konyol dan tidak masuk akal. Mana mungkin manusia bisa terbang ( memang burung ! ) atau dalam sekejap bisa berpindah dari satu kota ke kota yang lain yang berjauhan dan mustahil seseorang dalam satu saat bisa berada di rumah dan juga di kantor. Manusia hidup di alam yang memiliki aturan-aturan yang mengikat. Manusia tidak bisa terbang karena ia tidak memiliki sayap selain itu manusia juga tidak bisa mengambang di udara, karena akan tertarik oleh daya grafitasi bumi. Atau ketika seseorang hendak pergi dari satu tempat ke tempat yang lain ia harus melewati jarak antara kedua tempat tersebut. Dan atau seseorang ketika berada di suatu tempat ia akan terikat ( hanya ) oleh tempat tersebut dan mustahil ia disaat itu juga berada di tempat yang lain. Ini semua aturan-aturan alam  dan manusia merupakan salah satu penghuni alam ini ( terpaksa ) harus mengikuti aturan tersebut. Di mana pun manusia berada, ia selalu terikat oleh ruang dan waktu.

Anda keliru ! memang benar di alam ini terdapat aturan-aturan yang mengikat seluruh penghuninya termasuk manusia. Akan tetapi anda hanya berbicara dari sisi materi, anda lupa bahwa manusia memiliki dua dimensi; dimenasi materi dan non materi. Terutama anda yang beragama islam, tentu anda meyakini hal itu dan  itu sudah sesutau yang musallam antara kita kaum muslimin. Para ulama juga telah banyak melontarkan argument-argumentnya untuk membuktikan hal itu, baik argumentasi aqli maupun naqlinya, jadi tidak perlu lagi saya bahas hal itu. 

Alam nonmateri seperti halnya alam materi memiliki aturan-aturan tersendiri. Ruang dan waktu hanya berlaku di alam materi, sementara di alam non materi tidak. Jauh, dekat,  sekarang, kemarin atau yang akan datang merupakan konsep-konsep benak yang diambil dari hukum-hukum materi. Materi memiliki hukum ‘haalah al-imtidadiah’ ( yang memiliki panjang, lebar dan tinggi ) dan dari sana muncul keterbatasan. Sementara sesutau yang nonmateri memiliki ‘haalah jam’iyah’ ( kebalikan dari haalah imtidadiah ) dan tidak dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan materi keterbatasan. 

Lebih jelasnya lagi, masa lalu, jauh, dekat, disana, disini, masa yang akan datang dan jaman sekarang merupakan satu konsep buatan benak dan pikir yang dihasilkan dari  dimensi materi yang merupakan sisi keterbatasan wujud manusia. Karena, wujud kita baik dari segi ‘waktu’ atau dari segi ‘ruang’ merupakan wujud yang terbatas. Artinya, kita berada pada titik tertentu dari ruang dan waktu. Ketebatasan wujud kita dari sisi ruang (contohnya), menghasilkan konsep-konsep seperti  ‘dekat dan jauh’ atau ‘ disana dan disini’ bagi kita. Sementara sisi nonmateri dari wujud kita yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu yang dalam istilah filsafat disebut dengan ‘maa wara a al-tabiah’, konsep seperti jauh dan dekat atau disana dan disini menjadi tidak berarti.

Begitu juga keterbatasan kita dari segi waktu, dengan tergambarkannya konsep-konsep seperti  masal lalu, masa yang akan datang serta jaman sekarang pada benak kita. ‘jaman sekarang’ adalah waktu sebelum kita sekarang dimanapun wujud kita berada. Oleh karenanya, ‘jaman yang lalu’ menurut kita, bagi orang yang hidup satu abad sebelum kita adalah ‘jaman sekarang’ dan bagi orang yang hidup dua abad sebelum kita adalah ‘jaman yang akan datang’. Untuk sisi nonmateri wujud manusia yang tidak terbatas oleh waktu dan jaman, konsep-konsep seperti ini tidaklah berarti. Baginya masa yang akan datang dan masa yang lalu adalah jaman sekarang.

Sisi nonmateri manusia disebut dengan ruh ( sisi ruhani ) yang merupakan sisi lain dari jasad (badan) yang merupakan sisi materinya. Ruh menyatu dengan badan tapi bukan seperti menyatunya gula dengan air, akan tetapi ruh men-taskhir (menguasai) badan sehingga badan hidup. Pada hakekatnya pekerjaan-pekerjaan yang manusia kerjakan adalah pekerjaan ruh seperti  melihat, mendengar… artinya itu semua merupakan tajalli dari ruh. Ruh dan badan masing-masing memiliki aturan dan hukum-hukum sendiri-sendiri dan karena keduanya berada pada manusia, antara hukum materi dan hukum nonmateri terjadi saling tarik dan saling menguasai. Pada sebagian orang karena sisi materinya lebih kuat maka hukum-hukum materi menguasai hukum nonmateri, sehingga yang menonjol dan berlaku pada orang tersebut adalah hukum-hukum materi. Akan tetapi bagi orang yang ruhnya kuat, maka hukum-hukum nonmateri menguasai hukum-hukum materi (badan). 

Imam khumaeni pernah berkata: jangan heran kalau suatu saat anda melihat seseorang hanya dengan membaca bismillah, ia bisa terbang. Atau salah seorang arif jaman sekarang berkata : maqam dan kedudukan paling rendah bagi seorang wali adalah ia bisa thayyul ardh ( melipat bumi ). Artinya luasnya bumi bagi dia sudah tidak berarti dan sekejap ia bisa ada ditempat yang jauh. Kita juga pernah mendengar dalam suatu riwayat bahwa Imam Ali as. dalam suatu saat ia berada dalam beberapa ( 9 ) tempat. Dalam sejarah disebutkan bahwa Imam Jawad as. dalam penjara ia melakukan shalat dan ibadah semalaman dan bahkan sampai tengah hari ia masih melakukan shalat. Nabi saww. Dan para Imam as. serta para wali Allah, mereka beribadah berjam-jam dari maghrib sampai subuh. Atau dalam satu malam mereka meng-khatam alquran berpuluh-puluh kali.

Apakah anda masih mengatakan mustahil ?! bagi orang-orang yang ruhnya kuat, hukum-hukum, batasan dan ikatan-ikatan materi bagi mereka tidaklah berarti. Bagi kita yang sisi materinya lebih menguasai, maka hukum-hukum inilah yang berlaku bagi kita. Seperti halnya badan ruh juga agar menjadi kuat butuh kepada makanan dan latihan. Makanan ruh adalah ibadah dan ilmu. Semakin banyak kita beribadah maka ruh kita akan semakin kuat dan hukum-hukumnya akan semakin menonjol. Nabi saww., para Imam as. serta para wali Allah, mereka adalah ahli ibadah dan ahli ilmu. Banyak terdapat hadist dan riwayat yang menganjurkan kita untuk beribadah dan mendalami ilmu, sehingga ruh kita menjadi kuat. Bahkan dalam satu hadist (qudsi) di riwayatkan: “ Allah berfirman: HambaKu beribadahlah kepadaku, maka aku akan jadikan kalian sepertiKu; Aku hidup dan tidak mati, maka Akupun akan menjadikanmu hidup dan tidak mati… “ 

RUH MENURUT PARA FILUSUF DAN ‘URAFA ISLAM.

Berbeda dengan pendapat sebagian ilmuan barat yang meyakini bahwa ruh merupakan perkara nisbi, seperti kekuatan yang berada pada jam. Ketika semua bagian-bagian jam lengkap dan teratur dengan benar, maka jam pun ‘hidup’. Akan tetapi ketika ada bagian jam yang kurang atau susunan yang tidak teratur, maka jam pun ‘mati’ dan tidak ada wujud lain (ruh) selian itu. Seperti halnya jam, tidak memiliki ruh manusia pun demikian. Para ulama islam meyakini bahwa ruh merupakan wujud mustakil ( berbeda ) dari wujud jism dan badan.

Ibnu Sina.

Ibnu Sina tentang masalah nafs dan ruh berpendapat bahwa unsur-unsur asli wujud-wujud alam menyatu lewat bantuan quwwah falaki dan muncullah jism-jism yang berbeda-beda seperti batu, tanah, besi dan lain-lain. Semakin seimbang susunan unsur-unsur tersebut maka jism yang lebih tinggi akan muncul darinya. Seperti ketika susunan unsur-unsur pada benda mati semakin seimbang maka akan berubah menjadi tumbuhan, terus naik menjadi hewan yang memiliki irodah dan pengetahuan juz’i. Karena terus berkembang dan semakin seimbang maka dari tahapan hewan berubah menjadi tahapan manusia, dimana selain memiliki panca indra yang dimiliki hewan, ia juga memiliki daya idrak (pengetahuan/pikir) kulli serta memiliki daya pikir, irodah  khusus dimana pribadi,  hakekat serta kelebihan manusia dari hewan yang disebut dengan ruh. Walaupun ia menggunakan istilah-istlah yang berlainan tentang ruh, akan tetapi yang dimaksud oleh Ibnu Sina tentang ruh adalah daya idrak. Menurut ia, karena daya idrak berderajat  maka kekuatan ruh pada manusia pun berderajat; pada sebagian manusia kuat dan pada sebagian yang lain lemah. 

Mulla Sadra.

Menurut pendapat Mulla Sadra, awal tahapan  pada ruh adalah tahapan-tahapan jism, lalu secara bertahap naik sehingga sampai kepada tahapan his (indra), khayali, wahmi hingga sampai kepada tahapan aql (akal). Dari akal ‘amali menuju ke akal nadhari dan melalui tahapan yang ada pada akal nadhari hingga sampai kepada tahapan terakhir dari akal adalah tahapan akal fa’aal. Akal ini merupakan tahapan yang paling sempurna dari tahapan akal dan ruh yang dalam firman Tuhan disebutkan : “ Dan kami hembuskan di dalamnya dari ruh-Ku “ ( Al-Hijr, ayat : 29 ). Ayat ini menunjukan kedudukan tinggi dari ruh, dan ketika ruh sudah sampai kepada tahapan aql (akal) maka selama akan tatap kekal. Dengan penjelasan; Ketika manusia hendak melihat, mendengar atau merasa  maka manusia butuh kepada mata, telinga dan daya rasa. Atau ketika hendak menggambarkan sesuatu maka ia butuh kepada daya khayali atau daya wahmi ( pada makna-makna yang juz’I ). Akan tetapi ketika ingin memahami makna-makan kulli tidak butuh kepada daya apapun baik yang dhahir maupun bathin. Karena hekekat manusia memiliki kelebihan akal dan idrak insani yang terilhami dari aqli kul.

Dari penjelasan ini, Mulla Sadra meyakini kaidah ‘jimaniatul huduts wa rehaniatul baqa’ artinya, ruh manusia dari awal penciptaan sampai akhir harus melewati tahapan, maqam dan derajat-derajat yang bermacam-macam hingga akhirnya ruh tidak lagi butuh kepada badan. Dengan kata lain ruh pada tahapan awal adalah berupa substansi jism hingga akhirnya berkembang dan menyempurna dan sampai kepada tahapan tajarrud ( menjadi nonmateri ).

Ketika sudah sampai kepada tahapan tajarrud dia tidak akan mati akibat matinya badan dan akan tetap kekal. Manusia pada awalnya berada di alam materi dan tabiat alam, terikat oleh hukum-hukum materi, kemudian sampai kepada tahap khayali dan wahmi hingga kahirnya sampai kepada derajat aql, menjadi nonmateri dan kekal. Seperti yang digambarkan dalam alquran: “  Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.  Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).  Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.  Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” ( Al-Mu’minun ayat : 12-16 ).

Para ‘Urafa.

Para ‘urafa dan sebaiah filusuf berkeyakinan bahwa ruh sebelum berhubungan dengan badan materi ia berada di alam tajarrud, di atas tabiat dan berdiri sendiri. Ruh pada tahapan ini mengetahui segala sesuatu, akan tetapi setelah datang ke alam materi yang merupakan akhir dan paling rendahnya derajat wujud, karena ia terpenjara oleh badan materi maka semua pengetahuannya menjadi hilang. Dan lewat belajar, otak manusia mengingat ilmu-ilmu dasar dan fitri ini serta menemukan sesuatu yang hilang tersebut. Seperti yang diungkap oleh Ghazali dalam bukunya ‘Ihya ‘Ulumuddin’ : “Belajar tidak lain adalah kembalinya jiwa kepada substansinya untuk mengeluarkan apa yang ada didalamnya.”

Para ‘urafa berpendapat bahwa ruh merupakan wujud yang aktif  di alam barzah dan alam malakut dalam jism-jism yang lebih latif (halus). Setelah  turun ke alam materi, ia kembali melakukan shu’ud (naik) dan setelah manusia meninggal ia tinggal untuk beberapa saat dengan bersama jism-jism latif. Sebagian para ‘urafa meyakini adanya ruh kulli dan nafs mutlak.

Di akhir makalah ini akan disinggung secara singkat pendapar para filusuf berkenaan dengan kematian; Ibnu Sina meyakini kematian adalah akibat hancurnya susunan jism yang merupakan rumah bagi ruh, oleh karena itu ruh pun pergi. Mulla Sadra meyakini sebaliknya, karena ruh pergi maka jism yang merupakan rumah dari ruh pun akhirnya menjadi rusak. Sementar Suhrawardi berkeyakinan, karena mizaj ( keseimbangan unsur-unsur badan seperti air, tanah, udara dan api ) rusak, maka ruh pun meninggalkan rumahnya.

Benarkah Ada Orang Mati Yang Bisa Bicara?

Benar, paling tidak begitulah yang dikatakan dalam sebagian kitab Rijal di sisi Ahlus Sunnah. Terdapat perawi hadis yang dikatakan “bisa berbicara setelah wafat”. Bahkan terdapat ulama ahlus sunnah yang membuat kitab khusus berkaitan dengan hal ini yaitu Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Man ‘Asya Ba’dal Maut. Tulisan ini hanya membawakan sedikit contoh sebagai bukti bahwa fenomena ini diyakini kebenarannya oleh ulama ahlus sunnah.

زَيْدُ بْنُ خَارِجَةَ بْنِ أَبِي زُهَيْرٍ الْخَزْرَجِيُّ الأَنْصَارِيُّ، شَهِدَ بَدْرًا، تُوُفِّي زَمَانَ عُثْمَانَ، هُوَ الَّذِي تَكَلَّمَ بَعْدَ الْمَوْتِ،

Zaid bin Khaarijah bin Abi Zuhair Al Khazrajiy Al Anshaariy, termasuk yang ikut perang Badar, wafat di masa Utsman dan ia adalah orang yang berbicara setelah wafat [Tarikh Al Kabir Al Bukhariy 3/383 no 1281].

زيد بن خارجة بن أبي زهير الخزرجي أحد ابني الحارث ابن الخزرج الأنصاري مديني له صحبة شهد بدرا توفي زمن عثمان رضي الله عنه وهو الذي تكلم بعد الموت روى عنه موسى بن طلحة حدثنا عبد الرحمن قال سمعت أبي يقول ذلك

Zaid bin Khaarijah bin Abi Zuhair Al Khazraajiy salah seorang dari bani Al Haarits bin Khazraaj Al Anshaariy Al Madiiniy, seorang sahabat Nabi, ikut serta dalam perang Badar, wafat pada masa Utsman [radiallahu ‘anhu] dan ia adalah orang yang berbicara setelah wafat, telah meriwayatkan darinya Muusa bin Thalhah. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata aku mendengar ayahku mengatakan demikian. [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/562 no 2541].

Fenomena Zaid bin Khaarijah bicara setelah ia wafat telah disebutkan dalam salah satu riwayat Baihaqiy dan dishahihkannya dalam kitabnya Dala’il An Nubuwah,

أخبرنا أبو صالح بن أبي طاهر العنبري ، أنبأنا جدي يحيى بن منصور القاضي ، حدثنا أبو علي محمد بن عمرو كشمرد ، أنبأنا القعنبي ، حدثنا سليمان بن بلال ، عن يحيى بن سعيد ، عن سعيد بن المسيب ، أن زيد بن خارجة الأنصاري ، ثم من بني الحارث بن الخزرج توفي زمن عثمان بن عفان ، فسجى في ثوبه ، ثم أنهم سمعوا جلجلة ، في صدره ، ثم تكلم ، ثم قال : أحمد أحمد في الكتاب الأول ، صدق صدق أبو بكر الصديق الضعيف في نفسه القوي في أمر الله في الكتاب الأول ، صدق صدق عمر بن الخطاب القوي الأمين في الكتاب الأول ، صدق صدق عثمان بن عفان على منهاجهم مضت أربع وبقيت اثنتان ، أتت الفتن وأكل الشديد الضعيف ، وقامت الساعة وسيأتيكم من جيشكم خبر بئر أريس وما بئر أريس . قال يحيى : قال سعيد : ثم هلك رجل من خطمة فسجي بثوبه فسمع جلجلة في صدره ثم تكلم ، فقال : إن أخا بني الحارث بن الخزرج صدق صدق وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ ، حدثنا أبو بكر بن إسحاق الفقيه ، أنبأنا قريش بن الحسن ، حدثنا القعنبي ، فذكره بإسناده نحوه وهذا إسناد صحيح وله شواهد

Telah mengabarkan kepada kami Abu Shalih bin Abi Thaahir Al ‘Anbariy yang berkata telah memberitakan kepada kami kakekku Yahya bin Manshuur Al Qaadhiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Aliy Muhammad bin ‘Amru yang berkata telah memberitakan kepada kami Al Qa’nabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilaal dari Yahya bin Sa’iid dari Sa’iid bin Al Musayyab bahwa Zaid bin Khaarijah Al Anshaariy dari Bani Harits bin Khazraj wafat pada masa ‘Utsman bin ‘Affan maka jasadnya ditutupi dengan kain, kemudian orang-orang mendengar suara dari dadanya kemudian ia berbicara, ia berkata “Ahmad Ahmad ada dalam kitab yang pertama, benarlah benarlah Abu Bakar Ash Shiddiq yang lemah terhadap dirinya tetapi kuat dalam menjalankan perintah Allah juga ada dalam kitab yang pertama, benarlah benarlah Umar bin Khaththab yang kuat lagi terpercaya juga ada dalam kitab yang pertama, benarlah benarlah Utsman bin ‘Affan yang berada di atas manhaj mereka pada empat tahun pertama dan dua tahun yang tersisa akan datang fitnah, hari kiamat akan datang, dan akan datang kepada kalian pasukan kalian yang membawa kabar tentang sumur Ariis”. Yahya berkata Sa’iid berkata kemudian seorang laki-laki dari bani Khathmah meninggal lalu jasadnya ditutupi kain maka terdengar suara dari dadanya kemudian ia berbicara, ia berkata “sesungguhnya saudara dari Bani Harits bin Khazraaj benar, benar”. Dan telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Al Haafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaaq Al Faaqih yang berkata telah memberitakan kepada kami Quraisy bin Hasaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Qa’nabiy dan ia menyebutkan dengan sanad di atas. Sanad ini shahih dan memiliki syawaahid [Dala’il An Nubuwah Baihaqiy 6/195]. 

Selain Zaid bin Kharijah, hal yang sama terjadi juga pada perawi hadis lain yaitu dari golongan tabiin yang bernama Rabi’ bin Hiraasy. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat ketika menuliskan biografi Rib’i bin Hiraasy ia menyebutkan

وأخوهما ربيع بن حراش الذي تكلم بعد موته

Dan saudara keduanya yaitu Rabii’ bin Hiraasy telah berbicara setelah kematiannya [Ath Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/127]

ربيع بن حراش أخو ربعي بن حراش الذي تكلم بعد الموت وذكر أمره لعائشة فقالت سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: انه يتكلم رجل من أمتي بعد الموت من خير التابعين

Rabii’ bin Hiraasy saudara dari Rib’i bin Hiraasy, ia adalah orang yang berbicara setelah wafat dan disebutkan perkaranya kepada Aisyah maka ia berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan bahwa akan berbicara seseorang dari umatku setelah wafat yaitu yang paling baik dari kalangan tabiin [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/456 no 2062].

رَبِيعُ بْنُ حِرَاشٍ مِنْ عُبَّادِ أَهْلِ الْكُوفَةِ وَقُرَّائِهِمْ يَرْوِي عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَوَى عَنْهُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ وَأَخُوهُ رِبْعِيٌّ آلَى أَنْ لَا تَفْتُرَ أَسْنَانُهُ ضَاحِكًا حَتَّى يَعْلَمَ أَيْنَ مَصِيرُهُ فَمَا ضَحِكَ إِلا بَعْدَ مَوْتِهِ

Rabii’ bin Hiraasy termasuk ahli ibadah dari penduduk Kuufah dan qari’ mereka, ia meriwayatkan dari jama’ah sahabat Nabi dan telah meriwayatkan darinya ‘Abdul Malik bin ‘Umair dan saudaranya Rib’i. Disebutkan bahwa ia tidak akan tertawa sampai ia mengetahui nasibnya kelak [surga atau neraka], maka ia tidak pernah tertawa kecuali setelah ia wafat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 4/226 no 2633].

Aneh memang tetapi begitulah yang diyakini oleh para ulama ahlus sunnah dan dinyatakan dalam riwayat shahih. Memang tidak ada yang tidak mungkin jika Allah SWT berkehendak. Kami hanya ingin mengingatkan kepada para pembaca bahwa hal-hal yang aneh memang terdapat dalam kitab Ahlus Sunnah dan kitab Syi’ah. Terdapat sekelompok orang yang berwatak buruk begitu bersemangat mencari hal-hal aneh dalam kitab Syi’ah dan menjadikan hal itu sebagai bahan tertawaan padahal di sisi Ahlus Sunnah hal-hal aneh pun juga banyak.

Tidak jarang hal-hal aneh itu dibungkus dengan bahasa yang sensasional sehingga jika disajikan pada pembaca awam [apalagi yang akalnya rendah] maka mereka akan berlezat-lezat dalam menghina Syi’ah. Contohnya bukankah belum lama ini ada Pembenci Syi’ah yang membungkus sajian dengan judul “Keledai Menjadi Perawi Hadis” dan “Alien Menceritakan Hadis Dalam Kitab Syi’ah”. Padahal duduk perkara sebenarnya jauh sekali dari bahasanya yang sensasional. Seandainya kita menuruti kerendahan akal para pembenci Syi’ah tersebut maka riwayat atau nukilan di atas bisa saja disajikan dalam bahasa yang sensasional pula seperti “Ternyata Ada Zombie Yang Jadi Perawi Hadis” atau “Mayat Hidup Menceritakan Hadis Dalam Kitab Ahlus Sunnah”. Tetapi kami tidak akan merendahkan akal kami seperti itu, kami tidak akan menjadikan riwayat ini sebagai bahan tertawaan.

Kami hanya ingin menunjukkan bahwa hal-hal yang musykil dalam mazhab Ahlus Sunnah juga banyak, kalau hal-hal musykil seperti itu dijadikan dasar mencela dan merendahkan suatu mazhab maka mazhab mana yang akan selamat dari celaan tersebut.(Source)

Kita Diciptakan Seperti Alquran Bukan Seperti Makhluq Lainnya.


Sayyidah Fatimah az-Zahra as bersabda:
 
من اصعد الى الله خالص عبادته اهبط الله اليه افضل مصلحته

“Barang siapa yang datang kepada Allah dengan sepenuh penghambaan, Allah akan menurunkan sebaik-baiknya kemaslahatan padanya”

Kita dengan menunggangi amal saleh yang kita lakukan setiap hari, maka kita akan sampai kepada Allah SWT, walau jalan untuk sampai kepadaNya masih membutuhkan petunjuk dan pertolonganNya, namun untuk tahap selanjutnya pasti akan Ia urus.

Penjelasan sabda yang disampaikan oleh Sayyidah Fatimah as adalah sebagai berikut:  Di setiap perjalanan yang kita lakukan, kita membutuhkan perbekalan yang memang khusus kita istimewakan untuk perjalanan tersebut. Oleh karena itu perjalanan yang hendak kita lakukan melewati darat, laut atau udara, perbekalan yang kita siapkan untuk setiap perjalanannya sangatlah berbeda. Begitu pula jika kita ingin melakukan perjalanan untuk sampai kepada Allah SWT, yang  dalam istilah Mulla Sadra “perjalanan dari makhluk kepada yang maha haq”, kita membutuhkan perbekalan.


Nah sekarang bekal apa kira-kira yang pantas untuk kita bawa dalam perjalanan ini? Bekal yang patut kita bawa adalah sebuah bekal kelembutan yang sangat, sehingga kalau bukan dengan itu, keadilan yang dipenuhi dengan kelembutan dan keindahannya pun tidak dapat kita jadikan bekal untuk sampai kepada Allah SWT, dengan kata lain keadilan pun tidak dapat menjadi tunggangan yang baik dalam menempuh perjalanan ini (perjalanan untuk sampai kepada Allah SWT). Karena keadilan adalah merupakan sebuah tangga seperti pesawat, yang hanya dapat menyampaikan manusia menuju penyembahan (kedekatan) kepada Allah SWT, tapi tidak memiliki seni mengangkat manusia adil untuk sampai kepadaNya. Karena seorang yang adil adalah seorang yang mengamalkan segala apa yang diperintah dan menjauhi segala apa yang dilarang, walaupun pada akhirnya Allah menjanjikan ia masuk surga. Adapun metode kita untuk sampai kepada Allah SWT, adalah seperti firman Allah SWT yang berbunyi: 

“ Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang berkuasa”. (QS, al-Qamar, 54-55).
 
Keadilan hanya dapat dijadikan sebagai alat untuk itu, namun untuk sampai kepada Allah bukan dengan keadilan, karena firman Allah SWT yang berbunyi: 
“Berlaku adillah kalian, karena keadilan itu lebih dekat dengan ketakwaan”.(QS, al-Maidah,8) .

karena keadilan adalah jalan bukan tujuan, keadilan adalah alat bukan wasilah penyembahan. 

Dari firman Allah diatas maka dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah sebuah tangga yang  menyampaikan kita kepada ketaqwaan. Nah waktu itulah, ketika kita sampai pada ketaqwaan, yang mana taqwa adalah sebaik-baiknya bekal.  

Firman Allah:

تزودا فان خير الزاد التقوا

“Berbekallah kalian, karena sebaik-baiknya bekal adalah taqwa”(Surah Albaqarah 197).

Oleh karena itu sebaik-baiknya bekal untuk sampai kepada Allah adalah takwa. Inilah isi kandungan kalam dan sabda dari Sayyidah Fathimah Zahra as yang dengan amal saleh, kita dapat sampai dan merasakan kehadirat Allah SWT. Ia yang akan memenuhi segala kebutuhan dunia dan akherat.
            
Allah SWT menciptakan kita sebagaimana Ia menciptakan makhluk  lainnya, hanya saja penciptaan kita seperti Alquran, tidak seperti makhluk lainnya, karena seluruh makhluk (selain manusia) diciptakan dan diturunkan kebumi ini dengan cara dijatuhkan, seperti hujan, besi dan lain-lainnya, kemudian diletakkan di dalam perut bumi. Adapun  Alquran tidak dijatuhkan ke bumi akan tetapi digantungkan ke bumi, Allah berfirman:


انا انزلناه في ليلة القدر

Sesungguhnya kami turunkan alquran pada malam yang disebut dengan lailatul qadr  (Surah Alqadr 1). 

Alquran adalah merupakan sebuah tali Allah yang kuat dan tambangNya yang kokoh, yang tak akan pernah putus, yang pangkalnya ada di tangan Tuhan dan ujungnya ada di tangan kita, manusia. Nah jiwa dan ruh kita pun sama seperti alquran, yaitu ruh yang berada di badan kita, sifatnya bergantung, firman Allah:
و نفخت فيه من روحي

“Dan aku tiupkan ke dalam tubuhnya, sebagian dari ruhku” (Surah Alhijr 29. Surah shad 72).

Ini ruh, yang berada di dalam tubuh kita, telah disandarkan dan dinisbatkan Allah padaNya, oleh karena itu, ruh kita sifatnya peniupan dan bergantung, persis seperti alquran yang senantiasa kekal dan abadi; dan dengan ruh ini, kita selalu, bahkan senatiasa terus mengadakan kontak hubungan dengan Allah SWT. Dengan demikian, seandainya kita mengetahui kadar dan hakikat makna dan arti ruh penciptaan kita yang sebenarnya, maka saat itulah kita akan sadar bahwa dengan siapakah sebenarnya kita mengadakan hubungan…..????!!!!! 

Mengenai hal ini pun, Allah SWT dalam ayat lain berfirman:

 وطهر بيتي 

“Maka sucikanlah rumahku” (Surah Alhajj 26).

Allah SWT menisbatkan dan menghiasi Ka’bah dengan huruf “Ya” yang seakan menekankan bahwa ini rumah adalah rumahku, demikian pula hubungannya dengan ruh yang berada pada jasad kita ini, karena Allah SWT juga menisbatkan dan menghiasinya sama dengan “Ya” mutakalim, yang posisinya sama dengan rumahku tadi. Dengan demikian tidak semestinya ruh yang ada pada jasad kita ini, kita cemari dan hiasi dengan warna dan corak apapun, selainNya, karena seindah-indahnya hiasan untuk ruh kita adalah hubungan kita dengan Allah SWT. Dan hubungan ini sifatnya sangat berbeda dengan seluruh makhluk, dimana pada setiap malam, Allah SWT menarik dan mengambil ruh ini dan dibawa ke sisiNya, kemudian mengembalikannya untuk kesekian kalinya ke badan kita. Dan inilah yang disebut dengan kata bergantung dan berhubungan.

Firman Allah SWT:

هو الذي يتوفاكم باليل و يعلم ما جرحتم بالنهار

“Dialah yang mematikan kalian pada malam hari dan mengetahui apa yang kalian perbuat pada siang hari” (Surah Al-An’am 60).

Oleh karena itu, jangan sekali-kali kita anggap diri kita asing dari Tuhan, karena Tuhan  telah menerima kita untuk menjadi hambaNya dan kita telah menerimaNya sebagai Tuhan. Ia selalu ada dalam  diri kita dan kita ada dalam pandangannya. Hubungan kita dengan Allah tidak akan pernah putus dan akan tetap selalu ada. Sabda nabi saw dalam kitab Nahjul Fasohah:

قلب مؤمن بين اسبعين من اسابع الرحمن

“Hati dan jiwa seorang mukmin berada diantara jemari Tuhan” 

Ketika berada diantara jemari Tuhan, dan bukan berada ditangan Tuhan, yang hal itu adalah salah satu esensi penciptaan(*karena biasanya menciptakan dan membuat sesuatu itu selalu dinisbatkan pada tangan bukan pada jari jemari.) Dan karena hati dan jiwa kita adalah merupakan sebuah tempat yang lembut, yang hanya dapat disentuh dengan jari, maka Allah pun memperlakukannya dengan jari-jemari rahmatNya, dan hal yang demikian ini akan tetap selalu ada. Oleh karena itu jika kita berusaha dekat dan taat kepadaNya dengan melewati jalan yang lurus dengan baik, walaupun dalam perjalanan menuju Allah kita kehilangan kunci,   عنده مفاتيح الغيب  itu lebih baik, karena yang penting adalah kita tidak kehilangan pintu, yang seandainya tanpa kunci pun kita duduk didepannya, pada akhirnya pintu itu akan terbuka juga. 

Dengan demikian tugas terpenting yang harus kita lakukan dalam mengemban dan menjalankan amal sholeh adalah: Di setiap tempat dan dimanapun kita berada, hendaknya kita kaji dan pelajari kembali secara teliti dan cermat, bahwa pada setiap sudut dari apa yang ada di alam ini, terdapat rahasia dan hikmah Allah SWT.

Imam Shodiq as bersabda:
       
Jika  ada seorang yang hadir dihadapanmu, dan kamu ada dihadapannya, pertama yang kamu lakukan adalah melihatnya, setelah itu mengenalnya, baru kemudian kamu memperhatikan dan mengamati sifat-sifatnya, karena sebelum mengenal sifat-sifatnya, yang kamu kenal adalah sesuatu yang hadir dihadapanmu(sesuatu yang tampak/dzahir). Adapun jika ia absent(ghaib) , pertama yang engkau kenal dan ketahui adalah sifat-sifatnya, kemudian dengan jalan tersebut, engkau dapat mengetahui siapa  pemilik sifat-sifat itu, karena kita dapat mengetahui dan mengenal sesuatu yang absent, setelah mengetahui terlebih dahulu sifat-sifatnya. 

Kemudian untuk memperjelas hadits diatas Imam meneruskan sabdanya dengan mengambil sebuah contoh yang ada dalam Alquran, dengan suatu peristiwa yang terjadi pada saudara-saudara nabi Yusuf, Allah SWT berfirman:  انك لانت يوسف  setelah mengalami kepedihan dan kepahitan, dengan apa yang terjadi, baru mereka sadar dan mengetahui siapa sebenarnya tuan yang memberikan makanan kepada mereka, dan dengan terperanjat mereka mengatakan: “Apakah anda adalah yusuf yang kami kenal itu” yaitu mereka mengenal dan mengetahui Yusuf dari kata “anta” dengan kata lain dari kata   “anta”  kemudian mereka mengenal dan mengetahui siapa itu Yusuf. Bukan sebaliknya. Yaitu dari Yusuf kemudian ke “anta”.  

Demikian pula kita sebagai hambaNya, kita pun akan merasakan kelezatan dan kenikmatan ibadah, jika kita juga melakukannya dengan metode yang demikian ini.  

Jalan ini terbuka untuk semua kalangan dan golongan, karena setiap malam kita adalah merupakan tamu-tamu Allah SWT, oleh karena itu jika hari-hari yang kita miliki ini dapat kita kendalikan, maka pada malamnya kita akan mengalami mimpi yang indah. Dan jika suatu hari kita menjadi seorang yang memiliki kedudukan dan tanggung jawab, jalan orang lain tidak kita tutup dan tidak pula kita tersesat, kehilangan jalan.[]    


(Disadur dari ceramah Ayatullah Jawadi Amoli yang beliau sampaikan dalam acara peringatan hari kelahiran sayyidah Fathimah Azzahra, yang dimuat pada koran ufuq-e hauzeh. Dan artikel ini pernah juga dimuat dalam site islamalternatif.com)

Kapankah Allah akan Menghinakan Seseorang?

Doa berkonotasi penentangan. Setiap amal yang bertentangan dengan perintah Allah dinilai sebagai dosa. Sekalipun kecil, karena dosa adalah sebuah penentangan terhadap Allah, maka setiap dosa adalah sebuah pelanggaran besar.


Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda kepada Abu Dzar, “Janganlah kamu melihat kekecilan sebuah dosa, tetapi lihatlah siapakah yang sedang kamu tentang.” (Bihar al-Anwar, jld. 77, hlm. 168, hadis no. 6)

Dalam banyak hadis dari para maksum as ditegaskan supaya setiap mukmin menjauhi maksiat dan dosa. Jika ia telah melakukan dosa, maka hendaklah secepatnya ia bertobat supaya kelezatan sementara sebuah dosa tidak membuatnya tersiksa di dunia dan akhirat.

Dalam sebuah hadis dari Imam Ali as, “Barang siapa merasakan lezat sebuah dosa, maka Allah akan menjerumuskannya ke jurang kehinaan.” (Ghurar al-Hikam, hadis no. 8823)

Imam Sajjad as juga pernah memperingatkan, “Janganlah kamu merasa gembira lantaran dosa, karena gembira lantaran berbuat dosa ini lebih buruk dibandingkan melakukan dosa itu sendiri.” (Bihar al-Anwar, jld. 78, hlm. 159, hadis no. 10).

Terkait Berita: