Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Para ‘Urafa. Show all posts
Showing posts with label Para ‘Urafa. Show all posts

Mutakalim VS ‘Urafa

 
Tasawuf ( mysticism ) merupakan sebuah faham yang muncul diantara kaum, kelompok dan agama dunia. Sebuah faham yang mempunyai ciri khas khusus dalam mengungkap dan menangkap hakekat alam dan hubungan antara manusia dengan hekekat. Dalam rangka mengungkap hakekat faham tasawuf tidak menggunakan media akal atau argument, akan tetapi media yang gunakan adalah Dzauq,shuhud, isyraq, wushul dan ittihad. Untuk sampai kepada tahapan ini terdapat aturan-aturan dan amalan-amalan khusus yang mesti dijalani. Dengan kata lain, untuk sampai kepada ilmu dan penemuan irfani, harus melewati tahapan-tahapan tertentu (sair wa suluk).

Oleh karenanya tasawuf ( irfan ) terbagi menjadi dua bagian; irfan praktis dan irfan teoritis. Irfan praktis adalah sebuah praktek amali yang detail dan penuh dengan ujian berat serta melewati manzil-manzil untuk sampai kepada maqam-maqam, ‘hal-hal’ dan masuk kepada penemuan irfani, tauhid, fana. Tahapan-tahapan ini dalam istilah tasawuf disebut dengan ‘tarekat’. sementara irfan teoritik adalah pengungkapan para arif atas  pengalaman shuhudi mereka tentang hakekat, hakekat alam dan manusia. Murtadha Muthahari dalam ucapannya:
” Irfan dalam sisi ini bagaikan filsafat ketuhanan, karena ia membahas tentang penafsiran dan penjelasan mengenai wujud. seperti halnya filsafat ketuhanan, irfan teoritik menyuguhkan tema-tema, prinsif-prinsif dan objek-objek pembahasan. Hanya perbedaannya bahwa filsafat dalam argumentasinya hanya berdiri di atas prinsif-prinsif dan dasar-dasar akal, sementara pada irfan teoritik prinsif serta dasarnya adalah kasyaf ( penyaksian bathin ) sebagai pondasi argumentasi, sementara akal sebagai media dan bahasa untuk mengungkapkan dari penyaksian bathin tersebut. argumentasi akal filsafat seperti sebuah poin yang ditulis oleh suatu bahasa tertentu dan dibaca dengan bahasa itu sendiri. akan tetapi argumentasi irfani adalah poin yang diterjemahkan dari bahasa lain. artinya seorang arif ketika hendak menyampaikan klaim-klaim yang dihasilkan lewat shuhud dan kasyafnya, ia butuh kepada bahasa akal.” ( Ulum-e-islami, Kalam wa Irfan, Muthahari Hal. 76-77 ).
 
Mengenai kedua istilah di atas ( irfan dan tasyswuf ), Murtadha Muthahari masih dalam buku tersebut berusaha untuk membedakan dan memisahkan keduanya. Bahwasannya faham tasawuf merupakan sudah menjadi bagian dan kelompok khusus di masyarakat, dimana istilah tasawuf atau sufi lebih cenderung digunakaan untuk sisi sosiologis dari kelompok ini. Seperti adat berpakaian, model rambut dan muka,  hubungan interaktif antara mereka atau antara murid dengan murad, budaya rumah sufi (khanqah) dan bahkan mereka memiliki bahasa khusus sebagai media komunikasi antara mereka. Sementara istilah irfan atau arif lebih banyak dipakai dalam sisi budaya dan teoritik kaum ini. Irfan teoritik sebagai sebuah pandangan dunia khusus dengan prinsif-prinsif, dasar-dasar, mukadimah dan masalah-masalah khusus. 

Faham irfan dalam intinya tidak terikat oleh satu kelompok, madzhab ataupun agama. Secara praktis faham ini merupakan sebuah ajaran atau adat khusus sehingga faham ini secara otomatis membentuk sebuah kelompok khusus (lintas agama). Faham ini bisa kita temukan pada hampir kebanyakan agama, adat, ideologi… tidak terkecuali pada agama islam. Agama islam sebagai agama yang sempurna yang menyinggung semua sisi pada manusia baik lahir maupun bathin. Di dalam ajaran islam juga terdapat teks-teks yang menyinggung kajian-kajian tinggi akhlak serta kajian-kajian irfani ( tidak dibahas dalam makalah ini ).   

Mulai abad kedua hijri, dikalangan kaum muslimin sudah bisa ditemukan kelompok sufi dan ternyata kelompok ini semakin hari semakin banyak penggemar, dan bermunculan tokoh-tokoh sufi islam. Setiap abad perkembangan tasawuf semakin pesat. Sampai akhirnya pada abad ke tujuh tasawuf mengalami masa puncak dengan munculnya Muhyidin Ibnu Arabi. Di tangan Ibnu Arabi yang dijuluki dengan ‘Syekh Akbar’ tasawuf memasuki tahapan baru dengan karyanya yang berjumlah dua ratus buku kecil dan besar. Prinsif dan dasar irfan teoritik pada masa Ibnu Arabi memasuki masa kematangan. Pembahasan ‘Wahdatul Wujud’ Ibnu Arabi sebagai tafsir dan ta’wil dari shuhud, merupakan tafsir terbaik dan paling sempurna. Buku besar ‘Futuhat Al-makiah’ merupakan sebuah dairatul ma’arif irfan dan buku ‘Fushush Al-Hikam’ adalah kumpulan ajaran beliau, singkat akan tetapi menyeluruh dan detail. 

Perkembangan pesat kelompok sufi dan ajaran tasawuf ini tak urung terjadi pro dan kontra serta mendapat  reaksi dari berbagai pihak, baik dari kalangan mutakallim, fuqaha dan kelompok lainnya baik dalam agama islam maupun agama-agama lain. Tentunya serangan pemikiran yang dilontarkan oleh setiap kelompok berbeda. Dari kalangan fuqaha serangan mengarah kepada praktek amali kaum sufi, sementara kalangan mutakalim serangan lebih kepada dasar-dasar keyakinan kelompok ini. Di sini akan disebutkan beberapa contoh serangan pemikiran dari pihak mutakalim terhadap ‘urafa (tanpa mengemukakan jawaban dari para ‘urafa, insya Allah pada makalah lain): 

1. Wahdatul wuju.

Pembahasan tentang ketauhidan Tuhan dalam pandangan para ulama agama yaitu penafian banyak tuhan dan keyakinan akan satu Tuhan ( laa ilaaha illallah ). Sebuah keyakinan yang jelas dan tidak membutuhkan kepada penafsiran dan penjelasan yang luar biasa detail dan  rumit. Sementara ketauhidan irfan yang bentuk akidah akan wahdatul wujud, adalah topik Lain. Berdasarkan keyakinan ini, hakekat hanya satu dan memiliki wujud hakiki sementara semua makhluk, fenomena merupakan madzhar dan tajalli ( jelmaan ) wujud mutlak tersebut.

Atas dasar keyakinan ini berarti semua adalah Tuhan dan Tuhan adalah semua (menurut pendapat mutakalim). Hal ini tentu tidak bisa diterima karena bertentangan dengan teks-teks agama dan dengan prinsif-prinsif ketuhanan dalam agama. Salah satu contoh serangan yang dilontarkan oleh para mutakalim adalah yang terdapat dalam buku ‘Mashra’ Al-Tashawwauf’ karya Burhanuddin Baqa’i ( 808-885 H. ) Ia menuliskan : “ Maka, penentang Tuhan, utusanNya dan kamu mukminin ini – Ibnu Arabi – telah datang dan mendukung pekerjaan kaum sufi. 

Mereka ( sufi ) menganggap dirinya mengenal Tuhan dan berkata; Hakekat seorang arif adalah orang yang meyakini bahwa Haq Ta’ala  ada pada segala sesuatu, bahkan mereka mereka meyakini bahwa Tuhan adalah segala sesutau. Tidak diragukan lagi bahwa yang mengatakan hal ini lebih buruk ketimbang kemusyrikan kaum Yahudi dan Nasrani. Yahudi dan Nasrani menyembah makhluk yang mulia dan dekat dengan Tuhan, sementara Ibnu Arabi menyembah hewan dan patung adalah seperti menyembah Tuhan. Bahkan ucapan dia sampai kepada tahap bahwa Tuhan sama dengan anjing dan babi… bahkan kotoran!… “

Di kalangan agama lain juga terjadi perselisihan dan perang pemikiran antara kedua kubu ini. Salah seorang penulis dan filosof Inggris yang bernama Walter Terence Stace dalam bukunya ‘Irfan dan Filsafat’ ia menuliskan bahwa ada tiga sebab terjadinya pandangan negatif kaum agamawan terhadap para ‘urafa; pertama, para monotheisme meyakini Ilah Al-Mutasyakhish (personal god) sementara kaum urafa ( dengan wahdatul wujud-nya ) meyakini Muthlaq geir Mutasyakhish (impersonal absolute). Kedua, berdasarkan faham wahdatul wujud berarti semua wujud adalah wujud Ilahi, sementara kita dapatkan banyak syar (kejahatan) di antara wujud yang ada di alam. berarti syar yang ada pada wujud di alam ini adalah syar Ilahi. Ketiga, di kalangan umat beragama terdapat keyakinan akan keagungan dan kebesaran Tuhan, sementara berdasarkan faham wahdatul wujud, Tuhan akan kehilangan keagungan dan kebesaranNya. 

2. Wahdat Al-Adyan.

Seperti apa yang disebutkan di atas bahwa faham tasawuf adalah  faham lintas agama. Mereka meyakini bahwa hakekat adalah satu walaupun berbeda dalam agama. Hal ini bertentangan dengan keyakinan para mutakalim yang meyakini bahwa salah satu dasar yang paling inti dalam satu agama adalah keyakinan akan kebenaran agama serta madzhab  tertentu.
Ibnu arabi dalam bukunya ‘Fushush Al-Hikam’ halaman 113 menuliskan: “ Jika anda terikat hanya oleh satu akidah dan mengkafirkan akidah yang lain, maka anda akan mendapatkan kerugian bahkan anda akan kehilangan ilmu terhadap hakekat sesuatu… “  

3. Kurang Mementingkan Kenabian dan Sayriat. Menyuguhkan masalah ‘Wilayah’.

Untuk poin pertama ( kenabian dan syariat ) bisa dilihat pada dua sisi; pertama, hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kedua, tidak terikatnya oleh syariat pada tahapan-tahapan tertentu.

Pertama; Para mutakalim dan para tokoh agama meyakini bahwa manusia tidak akan bisa mengetahui hakekat syariat tanpa adanya bimbingan dan hidayah dari para nabi. Oleh karenanya manusia selamanya akan tetap butuh kepada petunjuk dan hidayah para nabi. Sementara para arif dalam maslaknya meyakini bahwa manusia mempunyai kemampun untuk mendapat Faed ( karunia ) dan hidayah langsung dari Tuhan dan tidak butuh kepada pelantara.

Ibnu Arabi menuliskan : “ Para ulama ilmu-ilmu resmi, sampai hari kiamat dari satu generasi mendapatkan pengetahuan dari generasi sebelumnya, hal ini menjauhkan nisbah-nisbah (hubungan).  Sementar para wali dan para arif mendapat ilmu langsung dari Tuhan, dimana Ia menghembuskan ilmu tersebut kedalam dada mereka.” ( Al-Manawi, hal. 246 )
Kedua; Sebagian para penganut tasawuf berkeyakinan bahwa, ketika seorang salik  sudah sampai pada tahap-tahap tertentu ia tidak lagi perlu dan terikat oleh hukum-hukum syariat. Seperti banyak diungkapkan oleh para ulama tasawuf, di antaranya : Rummi dalam bukunya Matsnawi jilid kelima, Lahiji dalam Syarah Gulshan-e Roz dan tokoh-tokoh lain.

Sementara pada poin kedua ( masalah ‘wilayah’ ); berbeda dengan keyakinan umum para agamawan bahwa kenabian merupakan dasar bagi tercapainya hidayah dan kebahagian manusia. Sementara para ‘urafa dan sufi meyakini bahwa ‘wilayah’ merupaka dasar itu. 

Mereka meyakini bahwa ‘wilayah’ lebih tinggi derajatnya ketimbang kenabian. Dalam masalah ‘wilayah’ Jalaluddin Ashtiani dalam bukunya “syarah Muqadimah Qaishari terhadap fushush” halaman 594 menuliskan : “ ‘Wilayah’ dalam istilah ahli makrifat adalah hakekat kulli, derajat dari derajat-derajat Haq, sumber Dzuhur dan ta’ayyun yang bersambung dengan dzat Ilahi. Ia adalah sebab dzuhurnya semua hakekat penciptaan, bahkan ia adalah sumber dari ta’ayyun nama-nama Ilahi dalam hazrat ‘alamiah. ( dan Allah adalah wali yang maha terpuji ) dan ( Allah adalah wali orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari kegelapan… ). Hakekat ‘wilayah’ berdasarkan tahkik adalah seperti wujud yang menjelma pada semua hakekat.

Sumber ta’ayyun Haq yang maha satu wujudNya, akhir dari alam malak dan syahadat. Mengalir pada semua hakekat baik Wajib wujud, mumkin wujud, non materi dan yang materi. ‘Wilayah’ dengan artian qurb memiliki derajat dan dzuhur yang berbeda-beda sampai berakhir kepada maqam qurb hakekat Haq Ta’ala dengan semua wujud dimana memiliki ma’iyat qayyumiyah dan saryaniyah dengan semua madzhar-madzhar wujud ( biwahdatihi daamat lahu kullu katsrah )”.

Untuk nisbah dan hubungan antara kenabian dengan ‘wilayah’, para ulama berkeyakinan bahwa; kenabian adalah sisi dzahir dari ‘wilayah’ dan ‘wilayah’ sisi bathin kenabian. Kenabian sisi khalqi (penciptaan), sementara ‘wilayah’ adalah sisi Haqi ( ketuhanan ). Oleh karenanya kenabian bisa terputus sementara tidak akan terputus dan abadi. Para arif juga berpendapat bahwa ‘wilayah’ lebih luas dan lebih menyeluruh dari pada  kenabian. 

4. Ucapan-ucapan yang kontroversi dan penuh dengan rahasia.

Salah satu faktor penolakan dan pengingkaran para mutakalim  terhadap para ‘urafa karena ucapan-ucapan mereka yang secara dzahir tidak difahami, tidak ma’qul dan tidak masyru’. Ucapan-ucapan seperti ini terkenal dengan istilah ‘syathhiyat’. Seperti ucapan Mansur Hallaj; “ana al-haq” (aku adalah Haq) atau ucapan Bayazid Basthami; “ Subhaani maa a’dhama sya’ni “ (maha suci aku, betapa agung kedudukanku ) dan ucapan-ucapan sejenisnya. Yang tentu membuat risau dan gerah para mutakalim.  

5. Ta’wil.

Para mutakalim berkeyakinan bahwa Alquran merupakan kitab mubin dan bayan ( jelas ) bagi semua manusia. Sebagai rujukan orang-orang khusus dan umum, dengan bahasa yang difahami oleh manusia ( Ini (alquran) merupakan lisan arab mubin ). Sementara para arif meyakini bahwa agama memiliki dzahir juga bathin, yang dzahir adalah syariat dan bathin adalah hakekat. Penjelasan alquran tentang masalah syariat adalah penjelasan yang jelas, akan tetapi pada masalah hakekat hanya bisa diungkap lewat rumus dan ta’wil. Alquran memiliki banyak bathin dimana para salik ( penempuh jalan sepritual ) dalam menempuh jalan hakekat, setiap tahapan dan maqamnya mengikuti tahapan-tahapan bathin alquran. 

Ghazali sebagai kritikan terhadap buku “fushush al-hikam” karya Ibnu Arabi, menuliskan dalam bukunya ( Ihya ‘Ulumuddin ): “ Sebagian dari dari ta’wil-ta’wil ini adalah pasti dan jelas bathil ( salah ). Seperti ta’wil ‘Firaun’ dengan ‘qalb’ (hati), karena Firaun sebagi seseorang yang bisa diindra dimana keberadaannya sudah sampai kepada kita dengan cara mutawatir…”
Dan serangan-serangan pemikiran lain yang dilontarkan oleh para mutakalim sebagai reaksi dari kemunculan faham tasawuf. ( sekali lagi, di makalah ini tidak disampaikan jawaban dari kalangan ‘urafa.)

RUH !

Apakah anda pernah mendengar ada manusia bisa terbang ( tanpa pake pesawat )? apakah anda percaya kalau  dalam sekejap seseorang bisa berpindah dari kota Bandung ke kota Jakarta ? Atau ada seseorang dalam satu waktu bisa ada di rumah bersama keluarga dan juga berada di kantor ? Apakah ada manusia yang  tidak  terikat oleh ruang dan waktu ?

Anda sepertinya menganggap pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan konyol dan tidak masuk akal. Mana mungkin manusia bisa terbang ( memang burung ! ) atau dalam sekejap bisa berpindah dari satu kota ke kota yang lain yang berjauhan dan mustahil seseorang dalam satu saat bisa berada di rumah dan juga di kantor. Manusia hidup di alam yang memiliki aturan-aturan yang mengikat. Manusia tidak bisa terbang karena ia tidak memiliki sayap selain itu manusia juga tidak bisa mengambang di udara, karena akan tertarik oleh daya grafitasi bumi. Atau ketika seseorang hendak pergi dari satu tempat ke tempat yang lain ia harus melewati jarak antara kedua tempat tersebut. Dan atau seseorang ketika berada di suatu tempat ia akan terikat ( hanya ) oleh tempat tersebut dan mustahil ia disaat itu juga berada di tempat yang lain. Ini semua aturan-aturan alam  dan manusia merupakan salah satu penghuni alam ini ( terpaksa ) harus mengikuti aturan tersebut. Di mana pun manusia berada, ia selalu terikat oleh ruang dan waktu.

Anda keliru ! memang benar di alam ini terdapat aturan-aturan yang mengikat seluruh penghuninya termasuk manusia. Akan tetapi anda hanya berbicara dari sisi materi, anda lupa bahwa manusia memiliki dua dimensi; dimenasi materi dan non materi. Terutama anda yang beragama islam, tentu anda meyakini hal itu dan  itu sudah sesutau yang musallam antara kita kaum muslimin. Para ulama juga telah banyak melontarkan argument-argumentnya untuk membuktikan hal itu, baik argumentasi aqli maupun naqlinya, jadi tidak perlu lagi saya bahas hal itu. 

Alam nonmateri seperti halnya alam materi memiliki aturan-aturan tersendiri. Ruang dan waktu hanya berlaku di alam materi, sementara di alam non materi tidak. Jauh, dekat,  sekarang, kemarin atau yang akan datang merupakan konsep-konsep benak yang diambil dari hukum-hukum materi. Materi memiliki hukum ‘haalah al-imtidadiah’ ( yang memiliki panjang, lebar dan tinggi ) dan dari sana muncul keterbatasan. Sementara sesutau yang nonmateri memiliki ‘haalah jam’iyah’ ( kebalikan dari haalah imtidadiah ) dan tidak dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan materi keterbatasan. 

Lebih jelasnya lagi, masa lalu, jauh, dekat, disana, disini, masa yang akan datang dan jaman sekarang merupakan satu konsep buatan benak dan pikir yang dihasilkan dari  dimensi materi yang merupakan sisi keterbatasan wujud manusia. Karena, wujud kita baik dari segi ‘waktu’ atau dari segi ‘ruang’ merupakan wujud yang terbatas. Artinya, kita berada pada titik tertentu dari ruang dan waktu. Ketebatasan wujud kita dari sisi ruang (contohnya), menghasilkan konsep-konsep seperti  ‘dekat dan jauh’ atau ‘ disana dan disini’ bagi kita. Sementara sisi nonmateri dari wujud kita yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu yang dalam istilah filsafat disebut dengan ‘maa wara a al-tabiah’, konsep seperti jauh dan dekat atau disana dan disini menjadi tidak berarti.

Begitu juga keterbatasan kita dari segi waktu, dengan tergambarkannya konsep-konsep seperti  masal lalu, masa yang akan datang serta jaman sekarang pada benak kita. ‘jaman sekarang’ adalah waktu sebelum kita sekarang dimanapun wujud kita berada. Oleh karenanya, ‘jaman yang lalu’ menurut kita, bagi orang yang hidup satu abad sebelum kita adalah ‘jaman sekarang’ dan bagi orang yang hidup dua abad sebelum kita adalah ‘jaman yang akan datang’. Untuk sisi nonmateri wujud manusia yang tidak terbatas oleh waktu dan jaman, konsep-konsep seperti ini tidaklah berarti. Baginya masa yang akan datang dan masa yang lalu adalah jaman sekarang.

Sisi nonmateri manusia disebut dengan ruh ( sisi ruhani ) yang merupakan sisi lain dari jasad (badan) yang merupakan sisi materinya. Ruh menyatu dengan badan tapi bukan seperti menyatunya gula dengan air, akan tetapi ruh men-taskhir (menguasai) badan sehingga badan hidup. Pada hakekatnya pekerjaan-pekerjaan yang manusia kerjakan adalah pekerjaan ruh seperti  melihat, mendengar… artinya itu semua merupakan tajalli dari ruh. Ruh dan badan masing-masing memiliki aturan dan hukum-hukum sendiri-sendiri dan karena keduanya berada pada manusia, antara hukum materi dan hukum nonmateri terjadi saling tarik dan saling menguasai. Pada sebagian orang karena sisi materinya lebih kuat maka hukum-hukum materi menguasai hukum nonmateri, sehingga yang menonjol dan berlaku pada orang tersebut adalah hukum-hukum materi. Akan tetapi bagi orang yang ruhnya kuat, maka hukum-hukum nonmateri menguasai hukum-hukum materi (badan). 

Imam khumaeni pernah berkata: jangan heran kalau suatu saat anda melihat seseorang hanya dengan membaca bismillah, ia bisa terbang. Atau salah seorang arif jaman sekarang berkata : maqam dan kedudukan paling rendah bagi seorang wali adalah ia bisa thayyul ardh ( melipat bumi ). Artinya luasnya bumi bagi dia sudah tidak berarti dan sekejap ia bisa ada ditempat yang jauh. Kita juga pernah mendengar dalam suatu riwayat bahwa Imam Ali as. dalam suatu saat ia berada dalam beberapa ( 9 ) tempat. Dalam sejarah disebutkan bahwa Imam Jawad as. dalam penjara ia melakukan shalat dan ibadah semalaman dan bahkan sampai tengah hari ia masih melakukan shalat. Nabi saww. Dan para Imam as. serta para wali Allah, mereka beribadah berjam-jam dari maghrib sampai subuh. Atau dalam satu malam mereka meng-khatam alquran berpuluh-puluh kali.

Apakah anda masih mengatakan mustahil ?! bagi orang-orang yang ruhnya kuat, hukum-hukum, batasan dan ikatan-ikatan materi bagi mereka tidaklah berarti. Bagi kita yang sisi materinya lebih menguasai, maka hukum-hukum inilah yang berlaku bagi kita. Seperti halnya badan ruh juga agar menjadi kuat butuh kepada makanan dan latihan. Makanan ruh adalah ibadah dan ilmu. Semakin banyak kita beribadah maka ruh kita akan semakin kuat dan hukum-hukumnya akan semakin menonjol. Nabi saww., para Imam as. serta para wali Allah, mereka adalah ahli ibadah dan ahli ilmu. Banyak terdapat hadist dan riwayat yang menganjurkan kita untuk beribadah dan mendalami ilmu, sehingga ruh kita menjadi kuat. Bahkan dalam satu hadist (qudsi) di riwayatkan: “ Allah berfirman: HambaKu beribadahlah kepadaku, maka aku akan jadikan kalian sepertiKu; Aku hidup dan tidak mati, maka Akupun akan menjadikanmu hidup dan tidak mati… “ 

RUH MENURUT PARA FILUSUF DAN ‘URAFA ISLAM.

Berbeda dengan pendapat sebagian ilmuan barat yang meyakini bahwa ruh merupakan perkara nisbi, seperti kekuatan yang berada pada jam. Ketika semua bagian-bagian jam lengkap dan teratur dengan benar, maka jam pun ‘hidup’. Akan tetapi ketika ada bagian jam yang kurang atau susunan yang tidak teratur, maka jam pun ‘mati’ dan tidak ada wujud lain (ruh) selian itu. Seperti halnya jam, tidak memiliki ruh manusia pun demikian. Para ulama islam meyakini bahwa ruh merupakan wujud mustakil ( berbeda ) dari wujud jism dan badan.

Ibnu Sina.

Ibnu Sina tentang masalah nafs dan ruh berpendapat bahwa unsur-unsur asli wujud-wujud alam menyatu lewat bantuan quwwah falaki dan muncullah jism-jism yang berbeda-beda seperti batu, tanah, besi dan lain-lain. Semakin seimbang susunan unsur-unsur tersebut maka jism yang lebih tinggi akan muncul darinya. Seperti ketika susunan unsur-unsur pada benda mati semakin seimbang maka akan berubah menjadi tumbuhan, terus naik menjadi hewan yang memiliki irodah dan pengetahuan juz’i. Karena terus berkembang dan semakin seimbang maka dari tahapan hewan berubah menjadi tahapan manusia, dimana selain memiliki panca indra yang dimiliki hewan, ia juga memiliki daya idrak (pengetahuan/pikir) kulli serta memiliki daya pikir, irodah  khusus dimana pribadi,  hakekat serta kelebihan manusia dari hewan yang disebut dengan ruh. Walaupun ia menggunakan istilah-istlah yang berlainan tentang ruh, akan tetapi yang dimaksud oleh Ibnu Sina tentang ruh adalah daya idrak. Menurut ia, karena daya idrak berderajat  maka kekuatan ruh pada manusia pun berderajat; pada sebagian manusia kuat dan pada sebagian yang lain lemah. 

Mulla Sadra.

Menurut pendapat Mulla Sadra, awal tahapan  pada ruh adalah tahapan-tahapan jism, lalu secara bertahap naik sehingga sampai kepada tahapan his (indra), khayali, wahmi hingga sampai kepada tahapan aql (akal). Dari akal ‘amali menuju ke akal nadhari dan melalui tahapan yang ada pada akal nadhari hingga sampai kepada tahapan terakhir dari akal adalah tahapan akal fa’aal. Akal ini merupakan tahapan yang paling sempurna dari tahapan akal dan ruh yang dalam firman Tuhan disebutkan : “ Dan kami hembuskan di dalamnya dari ruh-Ku “ ( Al-Hijr, ayat : 29 ). Ayat ini menunjukan kedudukan tinggi dari ruh, dan ketika ruh sudah sampai kepada tahapan aql (akal) maka selama akan tatap kekal. Dengan penjelasan; Ketika manusia hendak melihat, mendengar atau merasa  maka manusia butuh kepada mata, telinga dan daya rasa. Atau ketika hendak menggambarkan sesuatu maka ia butuh kepada daya khayali atau daya wahmi ( pada makna-makna yang juz’I ). Akan tetapi ketika ingin memahami makna-makan kulli tidak butuh kepada daya apapun baik yang dhahir maupun bathin. Karena hekekat manusia memiliki kelebihan akal dan idrak insani yang terilhami dari aqli kul.

Dari penjelasan ini, Mulla Sadra meyakini kaidah ‘jimaniatul huduts wa rehaniatul baqa’ artinya, ruh manusia dari awal penciptaan sampai akhir harus melewati tahapan, maqam dan derajat-derajat yang bermacam-macam hingga akhirnya ruh tidak lagi butuh kepada badan. Dengan kata lain ruh pada tahapan awal adalah berupa substansi jism hingga akhirnya berkembang dan menyempurna dan sampai kepada tahapan tajarrud ( menjadi nonmateri ).

Ketika sudah sampai kepada tahapan tajarrud dia tidak akan mati akibat matinya badan dan akan tetap kekal. Manusia pada awalnya berada di alam materi dan tabiat alam, terikat oleh hukum-hukum materi, kemudian sampai kepada tahap khayali dan wahmi hingga kahirnya sampai kepada derajat aql, menjadi nonmateri dan kekal. Seperti yang digambarkan dalam alquran: “  Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.  Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).  Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.  Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” ( Al-Mu’minun ayat : 12-16 ).

Para ‘Urafa.

Para ‘urafa dan sebaiah filusuf berkeyakinan bahwa ruh sebelum berhubungan dengan badan materi ia berada di alam tajarrud, di atas tabiat dan berdiri sendiri. Ruh pada tahapan ini mengetahui segala sesuatu, akan tetapi setelah datang ke alam materi yang merupakan akhir dan paling rendahnya derajat wujud, karena ia terpenjara oleh badan materi maka semua pengetahuannya menjadi hilang. Dan lewat belajar, otak manusia mengingat ilmu-ilmu dasar dan fitri ini serta menemukan sesuatu yang hilang tersebut. Seperti yang diungkap oleh Ghazali dalam bukunya ‘Ihya ‘Ulumuddin’ : “Belajar tidak lain adalah kembalinya jiwa kepada substansinya untuk mengeluarkan apa yang ada didalamnya.”

Para ‘urafa berpendapat bahwa ruh merupakan wujud yang aktif  di alam barzah dan alam malakut dalam jism-jism yang lebih latif (halus). Setelah  turun ke alam materi, ia kembali melakukan shu’ud (naik) dan setelah manusia meninggal ia tinggal untuk beberapa saat dengan bersama jism-jism latif. Sebagian para ‘urafa meyakini adanya ruh kulli dan nafs mutlak.

Di akhir makalah ini akan disinggung secara singkat pendapar para filusuf berkenaan dengan kematian; Ibnu Sina meyakini kematian adalah akibat hancurnya susunan jism yang merupakan rumah bagi ruh, oleh karena itu ruh pun pergi. Mulla Sadra meyakini sebaliknya, karena ruh pergi maka jism yang merupakan rumah dari ruh pun akhirnya menjadi rusak. Sementar Suhrawardi berkeyakinan, karena mizaj ( keseimbangan unsur-unsur badan seperti air, tanah, udara dan api ) rusak, maka ruh pun meninggalkan rumahnya.

Terkait Berita: