Oleh karenanya tasawuf ( irfan ) terbagi menjadi dua bagian; irfan praktis dan irfan teoritis. Irfan praktis adalah sebuah praktek amali yang detail dan penuh dengan ujian berat serta melewati manzil-manzil untuk sampai kepada maqam-maqam, ‘hal-hal’ dan masuk kepada penemuan irfani, tauhid, fana. Tahapan-tahapan ini dalam istilah tasawuf disebut dengan ‘tarekat’. sementara irfan teoritik adalah pengungkapan para arif atas pengalaman shuhudi mereka tentang hakekat, hakekat alam dan manusia. Murtadha Muthahari dalam ucapannya:
” Irfan dalam sisi ini bagaikan filsafat ketuhanan, karena ia membahas tentang penafsiran dan penjelasan mengenai wujud. seperti halnya filsafat ketuhanan, irfan teoritik menyuguhkan tema-tema, prinsif-prinsif dan objek-objek pembahasan. Hanya perbedaannya bahwa filsafat dalam argumentasinya hanya berdiri di atas prinsif-prinsif dan dasar-dasar akal, sementara pada irfan teoritik prinsif serta dasarnya adalah kasyaf ( penyaksian bathin ) sebagai pondasi argumentasi, sementara akal sebagai media dan bahasa untuk mengungkapkan dari penyaksian bathin tersebut. argumentasi akal filsafat seperti sebuah poin yang ditulis oleh suatu bahasa tertentu dan dibaca dengan bahasa itu sendiri. akan tetapi argumentasi irfani adalah poin yang diterjemahkan dari bahasa lain. artinya seorang arif ketika hendak menyampaikan klaim-klaim yang dihasilkan lewat shuhud dan kasyafnya, ia butuh kepada bahasa akal.” ( Ulum-e-islami, Kalam wa Irfan, Muthahari Hal. 76-77 ).
Mengenai kedua istilah di atas ( irfan dan tasyswuf ), Murtadha Muthahari masih dalam buku tersebut berusaha untuk membedakan dan memisahkan keduanya. Bahwasannya faham tasawuf merupakan sudah menjadi bagian dan kelompok khusus di masyarakat, dimana istilah tasawuf atau sufi lebih cenderung digunakaan untuk sisi sosiologis dari kelompok ini. Seperti adat berpakaian, model rambut dan muka, hubungan interaktif antara mereka atau antara murid dengan murad, budaya rumah sufi (khanqah) dan bahkan mereka memiliki bahasa khusus sebagai media komunikasi antara mereka. Sementara istilah irfan atau arif lebih banyak dipakai dalam sisi budaya dan teoritik kaum ini. Irfan teoritik sebagai sebuah pandangan dunia khusus dengan prinsif-prinsif, dasar-dasar, mukadimah dan masalah-masalah khusus.
Faham irfan dalam intinya tidak terikat oleh satu kelompok, madzhab ataupun agama. Secara praktis faham ini merupakan sebuah ajaran atau adat khusus sehingga faham ini secara otomatis membentuk sebuah kelompok khusus (lintas agama). Faham ini bisa kita temukan pada hampir kebanyakan agama, adat, ideologi… tidak terkecuali pada agama islam. Agama islam sebagai agama yang sempurna yang menyinggung semua sisi pada manusia baik lahir maupun bathin. Di dalam ajaran islam juga terdapat teks-teks yang menyinggung kajian-kajian tinggi akhlak serta kajian-kajian irfani ( tidak dibahas dalam makalah ini ).
Mulai abad kedua hijri, dikalangan kaum muslimin sudah bisa ditemukan kelompok sufi dan ternyata kelompok ini semakin hari semakin banyak penggemar, dan bermunculan tokoh-tokoh sufi islam. Setiap abad perkembangan tasawuf semakin pesat. Sampai akhirnya pada abad ke tujuh tasawuf mengalami masa puncak dengan munculnya Muhyidin Ibnu Arabi. Di tangan Ibnu Arabi yang dijuluki dengan ‘Syekh Akbar’ tasawuf memasuki tahapan baru dengan karyanya yang berjumlah dua ratus buku kecil dan besar. Prinsif dan dasar irfan teoritik pada masa Ibnu Arabi memasuki masa kematangan. Pembahasan ‘Wahdatul Wujud’ Ibnu Arabi sebagai tafsir dan ta’wil dari shuhud, merupakan tafsir terbaik dan paling sempurna. Buku besar ‘Futuhat Al-makiah’ merupakan sebuah dairatul ma’arif irfan dan buku ‘Fushush Al-Hikam’ adalah kumpulan ajaran beliau, singkat akan tetapi menyeluruh dan detail.
Perkembangan pesat kelompok sufi dan ajaran tasawuf ini tak urung terjadi pro dan kontra serta mendapat reaksi dari berbagai pihak, baik dari kalangan mutakallim, fuqaha dan kelompok lainnya baik dalam agama islam maupun agama-agama lain. Tentunya serangan pemikiran yang dilontarkan oleh setiap kelompok berbeda. Dari kalangan fuqaha serangan mengarah kepada praktek amali kaum sufi, sementara kalangan mutakalim serangan lebih kepada dasar-dasar keyakinan kelompok ini. Di sini akan disebutkan beberapa contoh serangan pemikiran dari pihak mutakalim terhadap ‘urafa (tanpa mengemukakan jawaban dari para ‘urafa, insya Allah pada makalah lain):
1. Wahdatul wuju.
Atas dasar keyakinan ini berarti semua adalah Tuhan dan Tuhan adalah semua (menurut pendapat mutakalim). Hal ini tentu tidak bisa diterima karena bertentangan dengan teks-teks agama dan dengan prinsif-prinsif ketuhanan dalam agama. Salah satu contoh serangan yang dilontarkan oleh para mutakalim adalah yang terdapat dalam buku ‘Mashra’ Al-Tashawwauf’ karya Burhanuddin Baqa’i ( 808-885 H. ) Ia menuliskan : “ Maka, penentang Tuhan, utusanNya dan kamu mukminin ini – Ibnu Arabi – telah datang dan mendukung pekerjaan kaum sufi.
Mereka ( sufi ) menganggap dirinya mengenal Tuhan dan berkata; Hakekat seorang arif adalah orang yang meyakini bahwa Haq Ta’ala ada pada segala sesuatu, bahkan mereka mereka meyakini bahwa Tuhan adalah segala sesutau. Tidak diragukan lagi bahwa yang mengatakan hal ini lebih buruk ketimbang kemusyrikan kaum Yahudi dan Nasrani. Yahudi dan Nasrani menyembah makhluk yang mulia dan dekat dengan Tuhan, sementara Ibnu Arabi menyembah hewan dan patung adalah seperti menyembah Tuhan. Bahkan ucapan dia sampai kepada tahap bahwa Tuhan sama dengan anjing dan babi… bahkan kotoran!… “
Di kalangan agama lain juga terjadi perselisihan dan perang pemikiran antara kedua kubu ini. Salah seorang penulis dan filosof Inggris yang bernama Walter Terence Stace dalam bukunya ‘Irfan dan Filsafat’ ia menuliskan bahwa ada tiga sebab terjadinya pandangan negatif kaum agamawan terhadap para ‘urafa; pertama, para monotheisme meyakini Ilah Al-Mutasyakhish (personal god) sementara kaum urafa ( dengan wahdatul wujud-nya ) meyakini Muthlaq geir Mutasyakhish (impersonal absolute). Kedua, berdasarkan faham wahdatul wujud berarti semua wujud adalah wujud Ilahi, sementara kita dapatkan banyak syar (kejahatan) di antara wujud yang ada di alam. berarti syar yang ada pada wujud di alam ini adalah syar Ilahi. Ketiga, di kalangan umat beragama terdapat keyakinan akan keagungan dan kebesaran Tuhan, sementara berdasarkan faham wahdatul wujud, Tuhan akan kehilangan keagungan dan kebesaranNya.
2. Wahdat Al-Adyan.
Ibnu arabi dalam bukunya ‘Fushush Al-Hikam’ halaman 113 menuliskan: “ Jika anda terikat hanya oleh satu akidah dan mengkafirkan akidah yang lain, maka anda akan mendapatkan kerugian bahkan anda akan kehilangan ilmu terhadap hakekat sesuatu… “
3. Kurang Mementingkan Kenabian dan Sayriat. Menyuguhkan masalah ‘Wilayah’.
Pertama; Para mutakalim dan para tokoh agama meyakini bahwa manusia tidak akan bisa mengetahui hakekat syariat tanpa adanya bimbingan dan hidayah dari para nabi. Oleh karenanya manusia selamanya akan tetap butuh kepada petunjuk dan hidayah para nabi. Sementara para arif dalam maslaknya meyakini bahwa manusia mempunyai kemampun untuk mendapat Faed ( karunia ) dan hidayah langsung dari Tuhan dan tidak butuh kepada pelantara.
Ibnu Arabi menuliskan : “ Para ulama ilmu-ilmu resmi, sampai hari kiamat dari satu generasi mendapatkan pengetahuan dari generasi sebelumnya, hal ini menjauhkan nisbah-nisbah (hubungan). Sementar para wali dan para arif mendapat ilmu langsung dari Tuhan, dimana Ia menghembuskan ilmu tersebut kedalam dada mereka.” ( Al-Manawi, hal. 246 )
Kedua; Sebagian para penganut tasawuf berkeyakinan bahwa, ketika seorang salik sudah sampai pada tahap-tahap tertentu ia tidak lagi perlu dan terikat oleh hukum-hukum syariat. Seperti banyak diungkapkan oleh para ulama tasawuf, di antaranya : Rummi dalam bukunya Matsnawi jilid kelima, Lahiji dalam Syarah Gulshan-e Roz dan tokoh-tokoh lain.
Sementara pada poin kedua ( masalah ‘wilayah’ ); berbeda dengan keyakinan umum para agamawan bahwa kenabian merupakan dasar bagi tercapainya hidayah dan kebahagian manusia. Sementara para ‘urafa dan sufi meyakini bahwa ‘wilayah’ merupaka dasar itu.
Mereka meyakini bahwa ‘wilayah’ lebih tinggi derajatnya ketimbang kenabian. Dalam masalah ‘wilayah’ Jalaluddin Ashtiani dalam bukunya “syarah Muqadimah Qaishari terhadap fushush” halaman 594 menuliskan : “ ‘Wilayah’ dalam istilah ahli makrifat adalah hakekat kulli, derajat dari derajat-derajat Haq, sumber Dzuhur dan ta’ayyun yang bersambung dengan dzat Ilahi. Ia adalah sebab dzuhurnya semua hakekat penciptaan, bahkan ia adalah sumber dari ta’ayyun nama-nama Ilahi dalam hazrat ‘alamiah. ( dan Allah adalah wali yang maha terpuji ) dan ( Allah adalah wali orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari kegelapan… ). Hakekat ‘wilayah’ berdasarkan tahkik adalah seperti wujud yang menjelma pada semua hakekat.
Sumber ta’ayyun Haq yang maha satu wujudNya, akhir dari alam malak dan syahadat. Mengalir pada semua hakekat baik Wajib wujud, mumkin wujud, non materi dan yang materi. ‘Wilayah’ dengan artian qurb memiliki derajat dan dzuhur yang berbeda-beda sampai berakhir kepada maqam qurb hakekat Haq Ta’ala dengan semua wujud dimana memiliki ma’iyat qayyumiyah dan saryaniyah dengan semua madzhar-madzhar wujud ( biwahdatihi daamat lahu kullu katsrah )”.
Untuk nisbah dan hubungan antara kenabian dengan ‘wilayah’, para ulama berkeyakinan bahwa; kenabian adalah sisi dzahir dari ‘wilayah’ dan ‘wilayah’ sisi bathin kenabian. Kenabian sisi khalqi (penciptaan), sementara ‘wilayah’ adalah sisi Haqi ( ketuhanan ). Oleh karenanya kenabian bisa terputus sementara tidak akan terputus dan abadi. Para arif juga berpendapat bahwa ‘wilayah’ lebih luas dan lebih menyeluruh dari pada kenabian.
4. Ucapan-ucapan yang kontroversi dan penuh dengan rahasia.
5. Ta’wil.
Ghazali sebagai kritikan terhadap buku “fushush al-hikam” karya Ibnu Arabi, menuliskan dalam bukunya ( Ihya ‘Ulumuddin ): “ Sebagian dari dari ta’wil-ta’wil ini adalah pasti dan jelas bathil ( salah ). Seperti ta’wil ‘Firaun’ dengan ‘qalb’ (hati), karena Firaun sebagi seseorang yang bisa diindra dimana keberadaannya sudah sampai kepada kita dengan cara mutawatir…”
Dan serangan-serangan pemikiran lain yang dilontarkan oleh para mutakalim sebagai reaksi dari kemunculan faham tasawuf. ( sekali lagi, di makalah ini tidak disampaikan jawaban dari kalangan ‘urafa.)