Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Mulla Shadra. Show all posts
Showing posts with label Mulla Shadra. Show all posts

Agama dan Keteraturan Umum, Fitrah Manusia


Orang-orang berakal dan bijak tidak akan membuang dan membiarkan undang-undang yang bersumber dari hukum alam dan tidak hanya mencukupkan undang-undang buatannya sendiri. Kemestian perkara manusia memutuskan untuk tidak berpaling dari keteraturan alam sehingga terpaksa menerima resiko-resikonya.
Ayatullah Muhammad Khamenei, Direktur Institut Hikmah Islam Sadra, menulis dalam makalahnya  yang berjudul ‘Filsafat dan Keteraturan Umum’ di dalam acara peringatan filosof besar Mulla Sadra pada hari yang lalu bahwa keteraturan umum, berdasarkan sabda Imam Ali As dalam khutbah 151 Nahjul Balaghah adalah dasar pilar-pilar ketaatan, ibaratnya sebagai tali yang merajut masyarakat untuk menggapai tujuannya sendiri, jika tujuan itu digambarkan sebagai lapisan jiwanya dan lapisan-lapisan ini dijalin dan dirangkai bersama, maka tali ini akan semakin kuat dan manusia dapat menjaga dirinya dari keterjatuhan ke dalam jurang dengan berpegang kepadanya.

Menurutnya ‘keteraturan’ bermakna, menyusun segala sesuatu secara berdampingan dengan sistimatis, teratur, dan sesuai. “Dalam ungkapan lain, keteraturan adalah setiap sesuatu ditempatkan pada posisinya masing-masing, definisi ini juga diterapkan dalam makna keadilan,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, “Jika dipandang secara teliti maka definisi itu sama dengan definisi hikmah dan sejatinya hikmah adalah menguatkan sesuatu dan setiap pilar, dasar, cabang ditempatkan pada posisinya masing-masing.”

Menurutnya kata ‘umum’ berarti tidak terkhusus kepada individu, kelompok, dan suku tertentu melainkan mencakup semua individu, oleh karena itu ‘keteraturan umum’ bermakna suatu keteraturan yang meliputi seluruh individu dan karena dalam bidang hukum tertera bahwa setiap undang-undang mencakup seluruh individu masyarakat untuk keberlangsungan kehidupannya masing-masing.

Mengenai urgensi keteraturan umum ini, ia menegaskan, “Tanpa keteraturan, yang akan muncul adalah kekacauan dan anarkis, dan hal ini buruk bagi semua individu. Di samping keteraturan hukum, kita juga memiliki keteraturan umum alam yang berlangsung di alam eksistensi. Keteraturan di alam ini bersifat alami dan hakiki yang Sang Pencipta alam yang Mahaesa dan Mahatunggal telah mencipta suatu kemajemukan yang teratur dan berhubungan satu sama lain serta saling mempengaruhi dan dipengaruhi, inilah keteraturan hakiki itu.”

Apakah keteraturan hukum dapat dikaitkan dengan keteraturan alam? Ia menjelaskan bahwa Sang Pencipta alam mewujudkan keteraturan hakiki untuk sistem keteraturan kehidupan manusia, Dia mengetahui manusia memerlukan suatu keteraturan, karenanya Dia mengirimkannya yang kemudian kita namakan sebagai agama yang mencakup seluruh persoalan hukum, kewajiban, dan hak manusia serta ibadah. Agama ini dapat menjamin kemakmuran, kebaikan, dan kebahagiaan manusia yang al-Quran mengistilahkannya sebagai fitrah.

“Hubungan antara keteraturan hukum dan keteraturan hakiki (alam) seperti kaitan antara hikmah teoritis dan hikmah praktis,” tandasnya. Dan ia menambahkan bahwa hikmah teoritis adalah rangkaian pandangan-pandangan, perspektif-perspektif, dan pengetahuan-pengetahuan tentang hakikat alam, oleh karena itu pengetahuan tentang hakikat-hakikat inilah yang menyingkap bahwa keteraturan adalah fitrah manusia yang diinginkannya secara hakiki dan mendasar, dari sinilah kemudian muncul akhlak, pengaturan keluarga, pengaturan masyarakat, dan politik sipil (madani). Dan apabila hikmah teoritis itu tidak ada maka hikmah praktis pun tiada.

“Dengan demikian, keteraturan hukum dan sosial secara umum harus bersumber dari keteraturan alam dan pertentangannya dengan keteraturan umum di dalam masyarakat manusia akan mewujudkan kekacauan dan kerusakan, sebagaimana jika keteraturan di alam sudah sirna maka hancurlah alam. Mewujudkan keteraturan umum di dalam masyarakat berangkat dari kaidah alam. Manusia tidak dipaksa mengikuti suatu keteraturan (agama) yang akan menyampaikannya kepada tujuannya sebagaimana makhluk lainnya, melainkan diberikan dan ditunjukkan jalan (agama) dan diberikan kebebasan untuk menitinya. Orang-orang yang berakal niscaya menerima dan mengikutinya secara sukarela,” tegasnya.

(Shabestan)

Ada Suatu Waktu Sang Pencipta Tidak Dapat Meangaktualkan Sifat Penciptanya


Apakah ada suatu waktu Sang Pencipta tidak dapat meangaktualkan sifat penciptanya?
 
Pertanyaan:
Apakah ada suatu waktu Sang Pencipta tidak dapat meangaktualkan sifat penciptanya? Dengan kata lain, apakah ada suatu waktu dimana hanya ada Allah Swt di situ dan tiada satu pun yang ada? Dengan kata lain, apakah kondisi seperti ini dulunya ada dalam satu rentang waktu tertentu atau di masa akan datang? Apabila jawabannya positif, apakah kita akan berbicara tentang sebuah waktu dimana sifat-sifat seperti rahmat, kepenciptaan, keadilan, ihsan belum lagi ada untuk Tuhan pada waktu itu. Atau kita katakan sifat ini dulunya ada namun belum lagi teraktualisasikan. Lantas bagaimana pemilik sifat ini yang kita anggap sebagai jawad (maha pemberi) namun hampa sifat pemberian (jud) dan pencipta tanpa penciptaan? Apabila jawabannya negatif maka dalam hal ini apakah sifat azali dan abadi tidak dapat kita sandarkan pada makhluk-makhluk lainnya?
 
Jawaban Global:
Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan di atas kiranya Anda perlu mengkaji beberapa poin seperti esensi waktu, huduts zamani alam semesta, sifat fi’il dan emanasi permanen Ilahi.
  1. Apa esensi zaman itu?
Zaman atau waktu: adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi. Karena itu apa yang Anda tanyakan apakah ada suatu waktu dimana hanya ada Allah Swt di situ dan tiada satu pun yang ada? Sejatinya, Anda berasumsi tentang waktu sebelum (adanya) waktu; karena waktu itu merupakan sebuah ekstensi yang melintas yang terdapat pada setiap benda dan materi. Di samping itu, awal dan akhir waktu itu merupakan urusan waktu dan tiada satu pun entitas yang berada di atas ufuk waktu. Hubungan waktu, kini, dulu dan akan datang itu adalah sama bagi-Nya. Entitas-entitas lainnya yang sifatnya menyebar dalam satuan waktu akan berkumpul di hadapannya.
  1. Apakah alam kontingen dan materi itu memiliki huduts zamani?
Sehubungan dengan huduts zamani alam materi harus dikatakan bahwa  pada dasarnya kita tidak memiliki argumen rasional atas keterbatasan ruang atau waktu di alam semesta dan juga tidak ada dalil aqli atas tidak terbatasnya ruang dan waktu di alam semesta. Karena itu kita hanya dapat memberikan probabilitas dan kemungkinan atas masalah itu hingga kita menemukan argumen definitif atas masing-masing dari dua sisi di atas.
  1. Apa sifat fi’il dan sifat zat itu?
Sifat-sifat yang disandarkan kepada Tuhan atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya  yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat zatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah. Hal yang patut diperhatikan adalah bahwa sifat-sifat perbuatan Ilahi mengacu pada hal-hal yang berada dalam ruang dan waktu ini terdiri dari dua persepektif. Pertama perspektif yang disandarkan pada makhluk-makhluk dan dari sudut pandang ini tersifatkan dengan ikatan ruang dan waktu. Perspektif kedua penyandaran kepada Allah Swt dan karena itu terlepas dari ruang dan waktu. Apabila kita menilik sifat fi’liyah itu dari sudut pandang sumbernya dan sebagai contoh pencipta (khaliq) kita maknai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mencipta bukan sebagai seorang pencipta yang melakukan penciptaan dan dalam hal ini sifat pencipta ini akan kembali dan berujung kepada sifat dzatiya-Nya.
  1. Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau  tidak?
Terkait dengan hal ini kita katakan: Sifat Allah Swt adalah identik dengan zat-Nya dan segala kesempurnaan perbuatan-Nya yang menjadi sumber perbuatan-perbuatann-Nya seperti kodrat, ilmu, hayat dan lain sebagainya tidak berbeda dengan zat-Nya. Demikian juga tujuan dan motif dalam memberikan emanasi dan sifat pemurah-Nya adalah ilmu-Nya sendiri pada sistem lebih sempurna yang identik dengan zat-Nya. Ilmu terhadap sistem yang lebih sempurna, mencakup sistem alam penciptaan; karena itu emanasi Tuhan senantiasa bersifat permanen.
  1. Apabila permanen, azali dan abadi, apakah itu selaras dengan keesaan Tuhan?
Dalam menjawab pertanyan ini harus kita katakan bahwa meski emanasi Tuhan itu bersifat permanen, abadi dan azali namun keazalian dan keabadian-Nya tidak bersifat esensial (zati) melainkan sebuah zhill dan bayangan; artinya sebagaimana pada zat-Nya memerlukan Tuhan dalam sifat-Nya, dalam keazalian dan keabadian juga membutuhkan Tuhan. Pada kenyataannya kebutuhan terhadap-Nya bersifat azali dan abadi. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan keesaan Tuhan  bahkan penegas dan penyokong tauhid.

Jawaban Detil:
Nampaknya untuk memperoleh jawaban atas pertanyan di atas kita tidak memiliki cara lain kecuali sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami perlu menjawab pertayaan-pertanyaan yang relevan dalam hal ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah esensi waktu itu? Apakah alam semesta mengalami huduts zamani? Apa itu sifat fi’il? Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau tidak?

Harap diketahui bahwa meski untuk menjawab secara utuh dan sempurna masing-masing pertanyaan di atas memerlukan penyusunan beberapa jilid buku namun pada kesempatan ini kami akan mengemukakan beberapa pembahasan yang dapat membantu menyodorkan jawaban atas pertanyaan Anda.
  1. Apa esensi zaman itu?
Apa itu zaman dan apa esensinya?
Defisini yang makruf tentang zaman dan waktu adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi.
Ringkasan penelitian Mulla Sadra di hadapan pelbagai pendapat dalam ini adalah sebagai berikut:
  1. Gerak dalam segala jenisnya adalah keluarnya potensi menjadi aksi.
  2. Waktu dari sisi esensinya adalah satuan gerak.
  3. Gerak dan waktu keduanya merupakan entitas. Barang siapa menganggap gerak dan waktu sebagai fantasi maka sejatinya ia tidak tahu tentang makna wujud dan entitas.[1]
Dengan kata lain, Mulla Sadra yang menyebutkan dua tipologi tentang waktu menerima hal ini secara global. Dua tipologi itu adalah:
Pertama: Waktu adalah sesuatu yang dapat dibagi dan bagian dari kuantitas
Kedua: Waktu dan gerak keduanya saling berhubungan satu sama lain.

Akan tetapi ia pada dua hal asasi berbeda pendapat dengan para pendahulunya terkait dengan waktu:
Pertama: Waktu dan gerak yang dinilai sebagai aksiden-aksiden luaran merupakan aksiden-aksiden analitik entitas materi yang hanya dapat dibagi secara analitik dalam pikiran.
Kedua:  Gerak ganda masa yang dinilai sebagai gerak dalam kategori aksiden dan khususnya gerak orbit dipandang sebagai gerak substansial benda-benda. Atas dasar itu, Mulla Sadra menilai waktu itu sebagai bagian dari esensi benda-benda. Hakikat waktu menurut Mulla Sadra adalah dimensi dan ekstensi transient yang dimiliki setiap benda pada zatnya di samping esktensi-ekstensi non transient, yang memiliki panjang, lebar dan ketebalan.

Mulla Sadra tidak menilai eksistensi waktu dan gerak sebagai dua hal sehingga satunya menjadi sebab atas yang lain dan menilai ada gerak mediasi yang menghubungkan antara benda-benda dan waktu lalu muncul pertanyaan terkait dengan jenis mediasi yang ada, apakah ia mediasi pada urudh (kuiditas) atau pada tsubut (entitas)?

Mulla Sadra tidak memandang gerak sebagai bagian dari kuiditas dan kategori sehingga harus ditanya kategori apakah gerak itu? Ia menilai bahwa gerak adalah sebuah konsep rasional dan diabstraksikan dari entitas-entitas materi sebagiamana konsep stabilitas diabstraksikan dari entitas non materi.[2]

Karena itu apa yang mengemuka dalam pertanyaan Anda apakah ada suatu waktu dimana sifat kepenciptaan sang pencipta tidak teraktualisasi? Dengan kata lain, apakah ada suatu waktu dimana waktu itu hanya ada Tuhan dan tiada sesuatu yang lain? Pada dasarnya Anda berasumsi adanya waktu sebelum waktu; karena waktu merupakan sebuah ekstensi yang berlalu yang dimiliki setiap benda. Di samping itu, awal dan akhir zamani itu terkhusus urusan waktu dan entitas yang lebih unggul di atas waktu terkait dengan waktu sama sekali tidak akan pernah mengada. Hubungan waktu, kini, dulu dan akan datang itu adalah sama bagi-Nya. Entitas-entitas lainnya yang sifatnya menyebar dalam satuan waktu akan berkumpul di hadapannya.
  1. Kejadian alam materi
Apakah alam materi itu memiliki huduts zamâni?
Yang dimaksud sebagai huduts zamani adalah sesuatu yang sebelumnya tiada pada satu waktu dan kebalilkannya adalah huduts dzati bermakna sesuatu yang memiliki sebab dan didahului oleh ketiadaan.[3] Dengan kata lain,  huduts zamani, yakni sesuatu ditinjau dari segi zaman ia didahului oleh ketiadaan. Ia dalam zaman sebelumnya tidak ada, kemudian sesudah zaman itu ia menemukan keberadaan. Misalnya huduts (terjadinya) hari ini yang pada zaman kemarin ia tidak ada.

Masalah huduts zamâni (temporal origination) dunia materi merupakan salah satu masalah kontroversial filsafat yang senantiasa menjadi obyek polemik khususnya kaum teologi yang berkukuh ingin menetapkannya dan menilai huduts zamâni ini sebagai keniscayaan sebuah akibat atau keakibatan (kausalitas). Sekelompok dari filosof juga meski mengkritik sebagian argumen teolog namun pada akhirnya menerima huduts zamani alam materi.[4]

Dari sisi lain, sebelummya kebanyakan filosof meyakini akan qidam zamani dunia materi dan menyodorkan dalil-dalil untuk menyokong pendapat ini; misalnya salah satu dalil yang mereka sodorkan qidam zamâni dunia adalah azalinya emanasi Ilahi. Namun harus dikatakan bahwa meski emanasi Ilahi tidak ada batasannya namun untuk dapat memperoleh emanasi Ilahi bergantung pada kapasitas dan kapabilitas penerimanya dan boleh jadi alam materi tidak memiliki kapasitas untuk dapat menerima emanasi azali dan abadi sebagaimana filosof tidak meyakini akan terbatasnya volume dunia sehingga tidak selaras dengan keluasan emanasi Ilahi. Mereka beranggapan bahwa terbatasnya waktu tidak boleh dianggap tidak sejalan dengan permanennya emanasi Ilahi.

Karena itu sebagian berkata hakikatnya adalah kita belum menemukan argumen rasional atas terbatasnya ruang dan waktu (zaman) alam dan juga tidak terbatasnya. Karena itu, kita dapat memberikan probabilitas dan kemungkinan atas masalah itu hingga kita menemukan argumen definitif atas masing-masing dari dua sisi di atas.[5]

Kesimpulannya, bahkan apabila keterbatasan waktu alam semesta tidak diterima maka sekali lagi jenis hubungan sifat Allah Swt dengan peristiwa-peristiwa waktu harus dipikirkan dan hal ini dapat dipecahkan dengan menjelaskan sifat fi’liyah Tuhan.
  1. Sifat Dzatiyah dan Fi’liyah
Apa yang dimaksud dengan sifat fi’liyah?
Sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya  yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[6]

Yang patut diperhatikan adalah bahwa pelbagai fenomena material memiliki batasan ruang dan waktu. Batasan ini berpengaruh dalam relasi dan hubungan antara fenomena tersebut dan Allah Swt dan sebagai hasilnya perbuatan-perbuatan yang mengacu pada fenomena-fenomena tersebut. Artinya dapat dikatakan dalam satu kata bahwa hubungan itu terikat dan terangkum dalam ikatan ruang dan waktu misalnya disebutkan bahwa Allah Swt menciptakan satu entitas dan makhluk tertentu pada satu tempat dan waktu tertentu namun batasan dan ikatan ini pada dasarnya kembali kepada makhluk dan sebagai ruang bagi terciptanya makhluk bukan meniscayakan hubungan ruang dan waktu kepada Allah Swt.

Dengan kata lain, sifat-sifat perbuatan Ilahi mengacu pada hal-hal yang berada dalam ruang dan waktu itu terdiri dari dua persepektif. Pertama perspektif yang disandarkan pada makhluk-makhluk dan dari sudut pandang ini tersifatkan dengan ikatan ruang dan waktu. Perspektif kedua penyandaran kepada Allah Swt dan karena itu terlepas dari ruang dan waktu. Apabila kita menilik sifat fi’liyah itu dari sudut pandang sumbernya dan sebagai contoh pencipta (khaliq) kita maknai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mencipta bukan sebagai seorang pencipta yang melakukan penciptaan dan dalam hal ini sifat pencipta ini akan kembali dan berujung kepada sifat dzatiyanya.[7]
  1. Permanennya Emanasi Ilahi
Apakah emanasi Ilahi itu bersifat permanen atau tidak? Mulla Sadra dengan menolak pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan secara azali menahan emanasi-Nya. Katanya, pendapat ini merupakan pendapat yang paling lemah. Sifat Allah Swt itu identik dengan zat-Nya dan segala kesempurnaan perbuatan-Nya yang menjadi sumber perbuatan-perbuatann-Nya seperti kodrat, ilmu, hayat dan lain sebagainya tidak berbeda dengan zat-Nya. Demikian juga tujuan dan motif dalam memberikan emanasi dan sifat pemurah-Nya adalah ilmu-Nya sendiri pada sistem lebih sempurna yang identik dengan zat-Nya.[8]

Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata:
“Kodrat Tuhan adalah karena Dia sumber bagi penciptaan dan kausalitas-Nya bagi selain-Nya. Kodrat ini adalah identik (a’in) dengan zat Ilahi dan kemestiannya adalah emanasi yang permanen dan rahmat yang berterusan serta tidak terputusnya anugerah Ilahi namun dari sifat permanen ini tidak memestikan alam natural;[9] karena keseluruhan sesuatu tidak terpisah dari bagian-bagiannya dan setiap bagian dari alam semesta ini dimulai dari ketiadaan.[10] Alam kontingen tidak terbatas pada alam materi semata karena telah ditetapkan bahwa alam kontingen terbagi menjadi alam materi dan non materi. Alam non materi terbagi lagi menjadi non materi rasional (aqli) dan non materi imaginal (mitsali).”[11]

Kesimpulannya adalah bahwa meski emanasi Ilahi itu bersifat permanen, azali dan abadi namun sifat azali dan abadi ini tidak bersifat esensial melainkan sebuah sifat bayangan dan siluet; artinya sebagaimana pada zat memerlukan Tuhan dalam sifat-Nya, dalam keazalian dan keabadian juga membutuhkan Tuhan. Pada kenyataannya kebutuhan terhadap-Nya bersifat azali dan abadi. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan keesaan Tuhan  bahkan penegas dan penyokong tauhid.
 

[1]. Tafsir Ayat Nur, hal. 144, Silahkan lihat, Farhang Isthilâhi Falsafi Shadrâ, jil. 1, hal. .251.  
[2]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Âmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 149-151, Cetakan Kedua, Sazeman Tablighat Islami, 1366 H.  
[3]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, hal. 231-233, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum.  
[4]. Mulla Sadra dalam Asrâr al-Âyât, hal. 91 berkata, 
 
الكتب الإلهية و الآيات الكلامية قائلة بأن العالم بأسره حادث زماني لأن الغرض من خلق العالم ليس نفسه بل هو أشرف منه فإن الطبائع الجسمانية و ما في حكمها لا يمكن أن يكون هي الغاية الأقصى في الوجود بل البرهان الحكمي ناهض على أن للطبائع غايات أخرى هي أعلى منها و كلما هو أعلى من الطبيعة الكونية لا يكون وجوده في هذا العالم بل في عالم آخر. فثبت بالبرهان أن هذا العالم بأسره واقع تحت الفساد و يلحقه العدم و الانقراض و ما يلحقه العدم و الانقراض فهو حادث زماني لا محالة فالعالم و كل ما فيه حادث زماني‏.
 
[5]. Âmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 251 dan 255.  
[6]. Âmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 373.
[7]. Shadr al-Muta’allihin, hal. 72, Anjuman Islami Hikmat wa Falsafah Iran, Tehran, 1360 S.

اعلم أن جماعة من المتكايسين الخائضين فيما لا يغنيهم زعموا أن إله العالم كان في أزل الآزال ممسكا عن جوده و إنعامه واقفا عن فيضه و إحسانه ثم سنح له في أن يفعل فشرع في الفعل و التكوين و التقويم فخلق هذا الخلق العظيم الذي بعضه مكشوف بالحس و العيان و بعضه معلوم بالقياس و البرهان.  و هذا الرأي من سخيف الآراء و من قبيح الأهواء فإن صفات الحق تعالى عين ذاته و كمالاته الفعلية التي هي مبادي أفعاله كالقدرة و العلم و الإرادة و الرحمة و الجود كلها غير زائدة على ذاته تعالى و كذا الغاية في فيضه و جوده و الداعي له على ذلك ليس إلا نفس علمه بالنظام الأكمل الذي هو عين ذاته فإن ذاته هو النظام المعقول الواجبي الذي يتبعه النظام الموجود الممكني لا كاتباع الضوء للمضي‏ء و اتباع السخونة للجوهر الحار. و الذي دعاهم إلى هذا الظن القبيح المستنكر ما توهموا أن حدوث العالم حسبما اتفق عليه أهل الشرائع الحقة من اليهود و النصارى و المسلمين تبعا لإجماع الأنبياء عليهم السلام يستدعي ذلك و لا يستصح إلا بنسبة الإمساك عن الجود و تعطيل الفيض إلى اللّه المعبود. و قدا وضحنا السبيل و أقمنا الدليل كما ستقف إن شاء اللّه تعالى حسبما فصلنا في كتبنا و رسائلنا على أن العالم بكله و جزئه حادث زماني و ذلك لا ينافي كونه تعالى قائما بالقسط و العدل و الجود و الكرم أزلا و أبدا .  
[8]. Dalam hal ini silahkan lihat, Ibnu Sina, Syarh al-Isyârat, jil. 3, hal. 317, Cetakan Kedua, Daftar Nasyr al-Kitab, 1403 H.  
[9]. Karena tentu saja alam itu besifat temporal (dalam skop waktu dan zaman).  
[10]. Nihâyah al-Hikmah, hal. 326.  

قد تبين في الأبحاث السابقة أن قدرته تعالى هي مبدئيته للإيجاد و عليته لما سواه و هي عين الذات المتعالية و لازم ذلك دوام الفيض و استمرار الرحمة و عدم انقطاع العطية. و لا يلزم من ذلك دوام عالم الطبيعة لأن المجموع ليس شيئا وراء الأجزاء و كل جزء حادث مسبوق بالعدم و لا تكرر في وجود العالم على ما يراه القائلون بالأدوار و الأكوار لعدم الدليل عليه.  
 
[11]. Ibid, hal. 315. 
  
Jawaban Detil:
Nampaknya untuk memperoleh jawaban atas pertanyan di atas kita tidak memiliki cara lain kecuali sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami perlu menjawab pertayaan-pertanyaan yang relevan dalam hal ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah esensi waktu itu? Apakah alam semesta mengalami huduts zamani? Apa itu sifat fi’il? Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau tidak?
Harap diketahui bahwa meski untuk menjawab secara utuh dan sempurna masing-masing pertanyaan di atas memerlukan penyusunan beberapa jilid buku namun pada kesempatan ini kami akan mengemukakan beberapa pembahasan yang dapat membantu menyodorkan jawaban atas pertanyaan Anda.
  1. Apa esensi zaman itu?
Apa itu zaman dan apa esensinya?
Defisini yang makruf tentang zaman dan waktu adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi.
Ringkasan penelitian Mulla Sadra di hadapan pelbagai pendapat dalam ini adalah sebagai berikut:
  1. Gerak dalam segala jenisnya adalah keluarnya potensi menjadi aksi.
  2. Waktu dari sisi esensinya adalah satuan gerak.
  3. Gerak dan waktu keduanya merupakan entitas. Barang siapa menganggap gerak dan waktu sebagai fantasi maka sejatinya ia tidak tahu tentang makna wujud dan entitas.[1]
Dengan kata lain, Mulla Sadra yang menyebutkan dua tipologi tentang waktu menerima hal ini secara global. Dua tipologi itu adalah:
Pertama: Waktu adalah sesuatu yang dapat dibagi dan bagian dari kuantitas
Kedua: Waktu dan gerak keduanya saling berhubungan satu sama lain.

Akan tetapi ia pada dua hal asasi berbeda pendapat dengan para pendahulunya terkait dengan waktu:
Pertama: Waktu dan gerak yang dinilai sebagai aksiden-aksiden luaran merupakan aksiden-aksiden analitik entitas materi yang hanya dapat dibagi secara analitik dalam pikiran.
Kedua:  Gerak ganda masa yang dinilai sebagai gerak dalam kategori aksiden dan khususnya gerak orbit dipandang sebagai gerak substansial benda-benda. Atas dasar itu, Mulla Sadra menilai waktu itu sebagai bagian dari esensi benda-benda. Hakikat waktu menurut Mulla Sadra adalah dimensi dan ekstensi transient yang dimiliki setiap benda pada zatnya di samping esktensi-ekstensi non transient, yang memiliki panjang, lebar dan ketebalan.

Mulla Sadra tidak menilai eksistensi waktu dan gerak sebagai dua hal sehingga satunya menjadi sebab atas yang lain dan menilai ada gerak mediasi yang menghubungkan antara benda-benda dan waktu lalu muncul pertanyaan terkait dengan jenis mediasi yang ada, apakah ia mediasi pada urudh (kuiditas) atau pada tsubut (entitas)?
Mulla Sadra tidak memandang gerak sebagai bagian dari kuiditas dan kategori sehingga harus ditanya kategori apakah gerak itu? Ia menilai bahwa gerak adalah sebuah konsep rasional dan diabstraksikan dari entitas-entitas materi sebagiamana konsep stabilitas diabstraksikan dari entitas non materi.[2]

Karena itu apa yang mengemuka dalam pertanyaan Anda apakah ada suatu waktu dimana sifat kepenciptaan sang pencipta tidak teraktualisasi? Dengan kata lain, apakah ada suatu waktu dimana waktu itu hanya ada Tuhan dan tiada sesuatu yang lain? Pada dasarnya Anda berasumsi adanya waktu sebelum waktu; karena waktu merupakan sebuah ekstensi yang berlalu yang dimiliki setiap benda. Di samping itu, awal dan akhir zamani itu terkhusus urusan waktu dan entitas yang lebih unggul di atas waktu terkait dengan waktu sama sekali tidak akan pernah mengada. Hubungan waktu, kini, dulu dan akan datang itu adalah sama bagi-Nya. Entitas-entitas lainnya yang sifatnya menyebar dalam satuan waktu akan berkumpul di hadapannya.
  1. Kejadian alam materi
Apakah alam materi itu memiliki huduts zamâni?
Yang dimaksud sebagai huduts zamani adalah sesuatu yang sebelumnya tiada pada satu waktu dan kebalilkannya adalah huduts dzati bermakna sesuatu yang memiliki sebab dan didahului oleh ketiadaan.[3] Dengan kata lain,  huduts zamani, yakni sesuatu ditinjau dari segi zaman ia didahului oleh ketiadaan. Ia dalam zaman sebelumnya tidak ada, kemudian sesudah zaman itu ia menemukan keberadaan. Misalnya huduts (terjadinya) hari ini yang pada zaman kemarin ia tidak ada.

Masalah huduts zamâni (temporal origination) dunia materi merupakan salah satu masalah kontroversial filsafat yang senantiasa menjadi obyek polemik khususnya kaum teologi yang berkukuh ingin menetapkannya dan menilai huduts zamâni ini sebagai keniscayaan sebuah akibat atau keakibatan (kausalitas). Sekelompok dari filosof juga meski mengkritik sebagian argumen teolog namun pada akhirnya menerima huduts zamani alam materi.[4]

Dari sisi lain, sebelummya kebanyakan filosof meyakini akan qidam zamani dunia materi dan menyodorkan dalil-dalil untuk menyokong pendapat ini; misalnya salah satu dalil yang mereka sodorkan qidam zamâni dunia adalah azalinya emanasi Ilahi. Namun harus dikatakan bahwa meski emanasi Ilahi tidak ada batasannya namun untuk dapat memperoleh emanasi Ilahi bergantung pada kapasitas dan kapabilitas penerimanya dan boleh jadi alam materi tidak memiliki kapasitas untuk dapat menerima emanasi azali dan abadi sebagaimana filosof tidak meyakini akan terbatasnya volume dunia sehingga tidak selaras dengan keluasan emanasi Ilahi. Mereka beranggapan bahwa terbatasnya waktu tidak boleh dianggap tidak sejalan dengan permanennya emanasi Ilahi.

Karena itu sebagian berkata hakikatnya adalah kita belum menemukan argumen rasional atas terbatasnya ruang dan waktu (zaman) alam dan juga tidak terbatasnya. Karena itu, kita dapat memberikan probabilitas dan kemungkinan atas masalah itu hingga kita menemukan argumen definitif atas masing-masing dari dua sisi di atas.[5]

Kesimpulannya, bahkan apabila keterbatasan waktu alam semesta tidak diterima maka sekali lagi jenis hubungan sifat Allah Swt dengan peristiwa-peristiwa waktu harus dipikirkan dan hal ini dapat dipecahkan dengan menjelaskan sifat fi’liyah Tuhan.
  1. Sifat Dzatiyah dan Fi’liyah
Apa yang dimaksud dengan sifat fi’liyah?
Sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya  yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[6]

Yang patut diperhatikan adalah bahwa pelbagai fenomena material memiliki batasan ruang dan waktu. Batasan ini berpengaruh dalam relasi dan hubungan antara fenomena tersebut dan Allah Swt dan sebagai hasilnya perbuatan-perbuatan yang mengacu pada fenomena-fenomena tersebut. Artinya dapat dikatakan dalam satu kata bahwa hubungan itu terikat dan terangkum dalam ikatan ruang dan waktu misalnya disebutkan bahwa Allah Swt menciptakan satu entitas dan makhluk tertentu pada satu tempat dan waktu tertentu namun batasan dan ikatan ini pada dasarnya kembali kepada makhluk dan sebagai ruang bagi terciptanya makhluk bukan meniscayakan hubungan ruang dan waktu kepada Allah Swt.

Dengan kata lain, sifat-sifat perbuatan Ilahi mengacu pada hal-hal yang berada dalam ruang dan waktu itu terdiri dari dua persepektif. Pertama perspektif yang disandarkan pada makhluk-makhluk dan dari sudut pandang ini tersifatkan dengan ikatan ruang dan waktu. Perspektif kedua penyandaran kepada Allah Swt dan karena itu terlepas dari ruang dan waktu. Apabila kita menilik sifat fi’liyah itu dari sudut pandang sumbernya dan sebagai contoh pencipta (khaliq) kita maknai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mencipta bukan sebagai seorang pencipta yang melakukan penciptaan dan dalam hal ini sifat pencipta ini akan kembali dan berujung kepada sifat dzatiyanya.[7]
  1. Permanennya Emanasi Ilahi
Apakah emanasi Ilahi itu bersifat permanen atau tidak? Mulla Sadra dengan menolak pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan secara azali menahan emanasi-Nya. Katanya, pendapat ini merupakan pendapat yang paling lemah. Sifat Allah Swt itu identik dengan zat-Nya dan segala kesempurnaan perbuatan-Nya yang menjadi sumber perbuatan-perbuatann-Nya seperti kodrat, ilmu, hayat dan lain sebagainya tidak berbeda dengan zat-Nya. Demikian juga tujuan dan motif dalam memberikan emanasi dan sifat pemurah-Nya adalah ilmu-Nya sendiri pada sistem lebih sempurna yang identik dengan zat-Nya.[8]

Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata:
“Kodrat Tuhan adalah karena Dia sumber bagi penciptaan dan kausalitas-Nya bagi selain-Nya. Kodrat ini adalah identik (a’in) dengan zat Ilahi dan kemestiannya adalah emanasi yang permanen dan rahmat yang berterusan serta tidak terputusnya anugerah Ilahi namun dari sifat permanen ini tidak memestikan alam natural;[9] karena keseluruhan sesuatu tidak terpisah dari bagian-bagiannya dan setiap bagian dari alam semesta ini dimulai dari ketiadaan.[10] Alam kontingen tidak terbatas pada alam materi semata karena telah ditetapkan bahwa alam kontingen terbagi menjadi alam materi dan non materi. Alam non materi terbagi lagi menjadi non materi rasional (aqli) dan non materi imaginal (mitsali).”[11]

Kesimpulannya adalah bahwa meski emanasi Ilahi itu bersifat permanen, azali dan abadi namun sifat azali dan abadi ini tidak bersifat esensial melainkan sebuah sifat bayangan dan siluet; artinya sebagaimana pada zat memerlukan Tuhan dalam sifat-Nya, dalam keazalian dan keabadian juga membutuhkan Tuhan. Pada kenyataannya kebutuhan terhadap-Nya bersifat azali dan abadi. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan keesaan Tuhan  bahkan penegas dan penyokong tauhid.
 

[1]. Tafsir Ayat Nur, hal. 144, Silahkan lihat, Farhang Isthilâhi Falsafi Shadrâ, jil. 1, hal. .251.  
[2]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Âmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 149-151, Cetakan Kedua, Sazeman Tablighat Islami, 1366 H.  
[3]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, hal. 231-233, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum.  
[4]. Mulla Sadra dalam Asrâr al-Âyât, hal. 91 berkata, 
 
الكتب الإلهية و الآيات الكلامية قائلة بأن العالم بأسره حادث زماني لأن الغرض من خلق العالم ليس نفسه بل هو أشرف منه فإن الطبائع الجسمانية و ما في حكمها لا يمكن أن يكون هي الغاية الأقصى في الوجود بل البرهان الحكمي ناهض على أن للطبائع غايات أخرى هي أعلى منها و كلما هو أعلى من الطبيعة الكونية لا يكون وجوده في هذا العالم بل في عالم آخر. فثبت بالبرهان أن هذا العالم بأسره واقع تحت الفساد و يلحقه العدم و الانقراض و ما يلحقه العدم و الانقراض فهو حادث زماني لا محالة فالعالم و كل ما فيه حادث زماني‏.
 
[5]. Âmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 251 dan 255.  
[6]. Âmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 373.
[7]. Shadr al-Muta’allihin, hal. 72, Anjuman Islami Hikmat wa Falsafah Iran, Tehran, 1360 S.

اعلم أن جماعة من المتكايسين الخائضين فيما لا يغنيهم زعموا أن إله العالم كان في أزل الآزال ممسكا عن جوده و إنعامه واقفا عن فيضه و إحسانه ثم سنح له في أن يفعل فشرع في الفعل و التكوين و التقويم فخلق هذا الخلق العظيم الذي بعضه مكشوف بالحس و العيان و بعضه معلوم بالقياس و البرهان.  و هذا الرأي من سخيف الآراء و من قبيح الأهواء فإن صفات الحق تعالى عين ذاته و كمالاته الفعلية التي هي مبادي أفعاله كالقدرة و العلم و الإرادة و الرحمة و الجود كلها غير زائدة على ذاته تعالى و كذا الغاية في فيضه و جوده و الداعي له على ذلك ليس إلا نفس علمه بالنظام الأكمل الذي هو عين ذاته فإن ذاته هو النظام المعقول الواجبي الذي يتبعه النظام الموجود الممكني لا كاتباع الضوء للمضي‏ء و اتباع السخونة للجوهر الحار. و الذي دعاهم إلى هذا الظن القبيح المستنكر ما توهموا أن حدوث العالم حسبما اتفق عليه أهل الشرائع الحقة من اليهود و النصارى و المسلمين تبعا لإجماع الأنبياء عليهم السلام يستدعي ذلك و لا يستصح إلا بنسبة الإمساك عن الجود و تعطيل الفيض إلى اللّه المعبود. و قدا وضحنا السبيل و أقمنا الدليل كما ستقف إن شاء اللّه تعالى حسبما فصلنا في كتبنا و رسائلنا على أن العالم بكله و جزئه حادث زماني و ذلك لا ينافي كونه تعالى قائما بالقسط و العدل و الجود و الكرم أزلا و أبدا .  
[8]. Dalam hal ini silahkan lihat, Ibnu Sina, Syarh al-Isyârat, jil. 3, hal. 317, Cetakan Kedua, Daftar Nasyr al-Kitab, 1403 H.  
[9]. Karena tentu saja alam itu besifat temporal (dalam skop waktu dan zaman).  
[10]. Nihâyah al-Hikmah, hal. 326.  

قد تبين في الأبحاث السابقة أن قدرته تعالى هي مبدئيته للإيجاد و عليته لما سواه و هي عين الذات المتعالية و لازم ذلك دوام الفيض و استمرار الرحمة و عدم انقطاع العطية. و لا يلزم من ذلك دوام عالم الطبيعة لأن المجموع ليس شيئا وراء الأجزاء و كل جزء حادث مسبوق بالعدم و لا تكرر في وجود العالم على ما يراه القائلون بالأدوار و الأكوار لعدم الدليل عليه.  
 
[11]. Ibid, hal. 315.   

Ruh; Dimensi Lain Manusia


Oleh: Abdullah Nasri

Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini jawabannya belum mampu memuaskan manusia adalah, apakah hakikat wujud manusia? Apakah wujud manusia hanya sebongkah badan  materiel, atau juga membawa hakikat selain materi? Dengan kata lain, apakah al-Quran mengakui bahwa manusia adalah hakikat selain materi yang disebut dengan ruh atau menolaknya? Bila mengakui demikian, lalu bagaimana kitab suci ini menjelaskan hubungan ruh dengan badan? Apakah ruh ada setelah kejadian badan atau sebelumnya? Apakah al-Quran mengakui bahwa setelah kehancuran badan, ruh tetap ada atau tidak?

Sebenarnya al-Quran telah menyebutkan adanya dimensi selain materi pada manusia yang disebut dengan ruh. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat berikut ini:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh-Nya ke dalamnya dan Dia menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati tetapi sedikit sekali kalian  bersyukur.[1]

Kalimat “meniupkan ruh-Nya ke dalamnya” dalam ayat di atas menunjukkan adanya dimensi yang bernama ruh pada manusia. Setelah menjelaskan tentang ruh, ayat tersebut mengatakan bahwa Allah menciptakan untuk kalian telinga, mata dan hati, menurut pandangan sebagian para penafsir, meskipun membicarakan tentang anggota badan akan tetapi maksudnya adalah penggunaan dari anggota tersebut yaitu mendengar dan melihat.

Mungkin bisa juga diambil kesimpulan secara detil dari ayat di atas bahwa setelah menyebutkan tentang peniupan ruh kemudian menyebutkan tentang telinga, mata dan hati sebabnya adalah karena sumber asli perbuatan anggota tersebut adalah ruh. Yakni bila ruh tidak ada maka anggota tersebut tidak ada gunanya karena anggota tersebut hanya berperan sebagai perantara bagi ruh, tanpa ruh dengan sendirinya anggota tersebut tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam filsafat Islam telah terbukti bahwa badan berperan sebagai perantara bagi aktivitas ruh. Aktivitas yang dilakukan oleh anggota badan pada hakikatnya sumbernya adalah ruh. Yakni melihat, mendengar, mencium dan berbicara semuanya terkait dengan ruh. Mata, telinga, hidung dan lidah hanya sekedar perantara untuk mengetahui masalah-masalah ini. Misalnya sebuah kacamata. Orang yang penglihatannya lemah, ia menggunakan kacamata, lantas apakah kacamata itu sendiri yang melihat atau kacamata hanya sekedar perantara bagi mata? Jelas kacamata dengan sendirinya tidak bisa melihat akan tetapi ia harus diletakkan di depan mata sehingga mata yang kerjanya adalah melihat dengan menggunakan kacamata ia bisa melihat sesuatu. Pada hakikatnya mata dalam contoh tersebut sama seperti ruh, dan telinga, mata dan lidah seperti kacamata sebagai perantara. Ruh dengan perantara anggota badan bisa melakukan aktivitasnya.

Ayat lain yang mengisyaratkan adanya ruh pada manusia adalah ayat berikut ini:
Dan apabila Aku telah menyempurnakan  kejadiannya dan meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.[2]

Dua poin penting yang ada dalam dua ayat di atas adalah Allah mengatakan,  “Aku meniupkan ruh-Ku”, apa maksud dari kalimat tersebut? Apakah maksudnya adalah Allah meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia. Yakni sebagian ruh-Nya masuk ke dalam tubuh manusia atau ada maksud yang lain lagi?
Jelas Allah bukan ruh sehingga harus memasukkan sebagian ruh-Nya ke dalam tubuh manusia, akan tetapi yang dimaksud oleh al-Quran dengan penjelasan ini adalah kemuliaan dan ketinggian ruh itu sendiri. Yakni ruh begitu bernilai sehingga Allah menghubungkannya dengan diri-Nya dan mengatakan, “Aku meniupkan kepadanya ruh-Ku”. Bisa kita jelaskan dengan contoh lain seperti masjid adalah rumah Allah. Kita tahu bahwa masjid bukan rumah Allah, karena Dia bukan materi sehingga harus membutuhkan tempat tinggal, akan tetapi maksudnya adalah nilai dan pentingnya masjid sehingga disebut dengan rumah Allah. Contoh lain seperti majelis rakyat juga disebut sebagai rumah rakyat.

Ada ayat lain yang mengisyaratkan tentang wujudnya ruh:
Demi nafs (ruh, jiwa) dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan jalan kefasikan dan jalan ketakwaannya.[3]

Ayat di atas menceritakan tentang realitas ruh yang memiliki pemahaman. Ayat di atas mengatakan bahwa Allah telah mengilhamkan pemahaman baik dan buruk. Mengingat bahwa pada manusia  tidak terdapat anggota badan pun yang bisa memahami sesuatu,  maka yang layak memiliki pemahaman adalah kekuatan selain materi yang disebut oleh al-Quran dengan ruh atau nafs.

Di sini kita mengajukan dua argumentasi untuk membuktikan keberadaan ruh yang nonmateri:
1. Salah satu pembuktian ruh ialah cara manusia memperoleh konsep-konsep universal (intiza’-e mafahim-e kulli). Maksud dari universal di sini ialah bahwa konsep-konsep itu bisa diaplikasikan pada banyak objek.  Misalnya, manusia sebagai konsep universal. konsep manusia ini bisa diaplikasikan pada semua objek individualnya seperti Ali, Husan, Husein dan selain mereka. Kita juga tahu bahwa konsep-konsep universal ini tidak ada secara konkret di luar, karena segala yang ada di luar memiliki keadaan, kualitas dan kuantitas tertentu. Pertanyaannya, di manakah tempat konsep-konsep universal ini? Jelasnya, tempat mereka nonmateri, karena materi melazimkan bentuk tertentu, keadaan tertentu, batas ruang dan waktu tertentu, sementara konsep-konsep universal tidak memiliki satupun dari ciri-ciri ini. Dengan demikian, maka mesti ada suatu sisi selain materi dalam wujud manusia, sehingga konsep-konsep universal -yang tidak memiliki ciri-ciri materiel sedikit pun- itu bisa berada di dalamnya.

2. Salah satu dari ciri-ciri materi ialah adanya hubungan khas antara tempat dan penempat (yang menempati). Yakni, penempat tidak pernah lebih besar dari tempatnya; sesuatu yang lebih besar tidak bisa menempati ruang yang kecil. Manusia banyak menyaksikan benda-benda besar dan ia bisa menempatkan gambaran (konsep) benda-benda besar tersebut dalam pikirannya sesuai dengan ukurannya. Misalnya, ia bisa membayangkan gedung bertingkat dua puluh dalam pikirannya atau menggambarkan ratusan meter persegi gunung dalam pikirannya. Pertanyaannya, kalau benar bahwa penggambaran gedung bertingkat dua puluh ini bisa dilakukan oleh otak sebagai benda yang memiliki ukuran kecil, lantas bagaimana benda yang besar itu bisa menempati tempat yang kecil ini? Jelas, berdasarkan kaidah di atas (yakni hubungan khas antara tempat dan penempatnya) pasti ada satu hakikat nonmateri dalam diri manusia, sehingga ia bisa menempatkan sesuatu yang besar itu dalam dirinya sesuai dengan ukuran sebenarnya. Dan hakikat tempat tersebut ialah ruh (nafs). Karena ruh bukan materi, ia bisa ditempati oleh sesuatu yang besar.


Hubungan Ruh dengan Badan
Dalam pembahasan ruh (nafs) ada pertanyaan, “apa hubungan badan dengan ruh? Apa pendapat al-Quran dalam masalah ini? Apakah al-Quran mengakui bahwa ruh dan badan adalah dua hakikat yang berpisah di mana antara keduanya terdapat dualisme, atau al-Quran mengakui pendapat yang lainnya lagi?”
Dalam sejarah filsafat,  Descartes dan pendukungnya memaparkan teorinya bahwa ruh dan badan adalah  dua substansi yang berbeda. Yakni jasmani adalah sesuatu dan ruh adalah sesuatu yang lain lagi. Dan manusia adalah hakikat yang tersusun dari dua paduan yang berbeda. Decart mengatakan bahwa sifat aslinya badan adalah perpanjangan, perluasan. Dan sifat aslinya ruh adalah berpikir. Tentunya, Descartes mengakui bahwa antara badan dan ruh, terdapat suatu hubungan, dan yang menghubungkan keduanya adalah kelenjar (pineal gland) yang ada dalam otak.

Teori lain mengatakan bahwa hakikat wujud manusia adalah ruh itu sendiri. Wujud manusia bukan komposisi dari badan dan ruh. Yakni, wujud manusia adalah ruhnya itu sendiri, bukan ruh sebagai satu bagian dari wujud manusia. Oleh karenanya, berdasarkan teori ini, antara ruh dan badan ada sejenis hubungan yang disebut dengan hubungan taktis (ertebat-e tadbiri), yang di dalamnya badan sebagai alat dan ruh sebagai pengelola.

Ayat di bawah ini menunjukkan bahwa al-Quran mengakui bahwa wujud manusia sebagai ruh itu sendiri.
Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi mencabut nyawamu akan mematikan kalian (yatawaffakum: mengambil kalian secara keseluruhan)  kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.[4]

Kata “tawaffa” artinya adalah mengambil, dan mengambil secara penuh. Ayat di atas mengatakan bahwa malaikat pencabut nyawa akan mengambil dasar wujud manusia. Kalau memang ruh adalah satu bagian dari wujud manusia, al-Quran tidak mengatakan: “yatawaffakum”, tetapi ia akan mengatakan: “yatawaffa ba’dhakum”. Mengambil sebagian dari kalian berbeda dengan mengambil kalian secara keseluruhan.
Maka dari itu, mengingat bahwa malaikat maut akan mengambil ruh manusia; bukan mengambil badannya. Dan ayat tersebut juga mengatakan bahwa malaikat akan mengambil kalian secara keseluruhan. maka itu jelas bahwa hakikat wujud manusia adalah ruh, bukan badan. Dengan melihat ayat berikut ini, akan kita dapatkan bahwa wujud manusia adalah ruh, bukan badan.


Jika kamu melihat orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan maut dan para Malaikat merentangkan tangan-tangannya seraya berkata ‘keluarkanlah ruh kalian!’ di hari ini kalian akan dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kalian selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang tidak benar dan kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.[5]

Dua poin penting dalam ayat tersebut adalah kalimat “keluarkanlah ruh kalian” dan kalimat “hari ini kalian akan dibalas” (tujzauna), yang menunjukkan masa sekarang dan masa yang akan datang. Artinya, dan pembalasan siksa itu berlanjut, maka yang disiksa adalah ruh, karena badan manusia akan rusak dan binasa dengan kematian, ketika itu ia tidak menanggung siksa di alam barzakh.


Bagaimana Kejadian Ruh?
Terdapat banyak teori berkaitan dengan cara kejadian ruh. Hanya saja, di sini kami akan  membahas dua teori yang penting.
1. Teori Ruhaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Pendukung teori ini menyatakan bahwa hakikat ruh terkait dengan alam malakut (metafisik). Yakni, sebelum kejadian badan, ruh berada di alam malakut. Setelah kejadian badan, ruh menjadi tawanan badan dalam jangka waktu tertentu. Dan setelah manusia mati, ruh kembali lagi ke asalnya, yaitu ke alam malakut.

2. Teori Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Penggagas teori ini adalah Mulla Shadra. Ia mengatakan bahwa ruh bukan materi, juga tidak turun dari alam malakut ke alam natural. Akan tetapi, ruh terjadi dari evolusi substansial materi (takamul-e jauhari-ye madeh). Dengan penjelasan lain, ruh manusia muncul dari gerak substansial yang disebut dengan nafs natiqah (ruh yang berakal) dan ia abadi dan tidak musnah sepeninggal badan. Oleh karenanya, ruh adalah hasil dari evolusi natural. Oleh karena itu, kejadian ruh demikian ini disebut dengan jismaniyatul hudus.

Di sini kita ingin mengetahui; mana dari dua teori ini yang diterima oleh al-Quran? Apakah dalam masalah ini ayat-ayat al-Quran juga memaparkan pendapatnya? Dengan mengkaji ayat di bawah ini, bisa dikatakan bahwa al-Quran menerima teori  ‘Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. 

Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.[6]

Al-Quran melanjutkannya demikian:
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.[7] Pada tahapan penciptaan dalam ayat di atas digunakan lafazh ‘Fa’ dan ‘Tsumma’ yang artinya ‘kemudian’, di mana jika kita teliti maka akan memahami maksudnya dengan baik.
Penjelasannya adalah dua lafaz ini memiliki selisih yang sangat dekat sekali. Artinya, jika selisih antara tahapan hanya dari segi sifat atau selisih substansinya dekat sekali, seperti selisih antara tahapan gumpalan darah dengan gumpalan daging, dan gumpalan daging dengan tulang belulang maka yang digunakan adalah lafazd ‘Fa’.

Sedangkan selisih antara saripati tanah sampai mani dan mani sampai gumpalan darah maka selisih substansinya jauh.

Kalau al-Quran mengatakan ‘Tsumma Ansya’nahu Khalkan Akhar’, yaitu kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain, sebagai penguat makna tersebut di mana selisih tahapan ini dengan tahapan sebelumnya adalah jauh yaitu daging bercampur tulang belulang.

Kata ‘Ansya’ dalam sastra Arab artinya adalah menciptakan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya.
Dalam tahapan penciptaan manusia yakni dari tanah sampai daging bercampur tulang belulang, al-Quran menggunakan kata ‘Khalaqa’ dan ‘Ja’ala’. Namun di akhir menggunakan kata ‘Ansya’ dan ‘Khalqan Akhar’ untuk menunjukkan bahwa pada tahapan akhir muncul sesuatu yang baru bagi manusia. Dengan kata lain setelah manusia menjalani tahapan materi ia sampai pada satu tahapan di mana Allah mewujudkan untuknya ciptaan yang lain.

Oleh karenanya, dengan melihat empat poin di bawah ini maka penyimpulan teori ‘Jismaniyatul hudus-nya ruh  bisa disandarkan pada ayat-ayat di atas:
1. Sekaitan dengan lafazd ‘Tsumma’ dan ‘Fa’. Lafazd Tsumma digunakan untuk tahapan penciptaan sebelum munculnya ruh. Sedangkan lafazd ‘Fa’ (menunjukkan selisih antara tahapan wujud) digunakan pada tahapan terakhir penciptaan manusia ketika ruh sudah bergabung dengan badan.
2. Penggunaan kata ‘Ansya’, menunjukkan penciptaan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya.
3. Dalam penciptaan ruh menggunakan istilah ‘Khalkan Akhar’ artinya penciptaan lain.
4. Pada kata ‘Ansya’nahu’, zamir ‘Hu’ kembali kepada makhluk yang melewati beberapa tahapan dari gumpalan darah sampai daging yang menutupi tulang.


[1] . QS, As-Sajdah: 9.
[2] . QS, Al-Hijr: 29.
[3] . QS, As-Syams: 7-8.
[4] . QS, AS-Sajdah: 11.
[5] . QS, Al-An’am: 93.
[6] . QS, Al-Mukminun: 12-14.
[7] . QS, Al-Mukminun: 14.

RUH !

Apakah anda pernah mendengar ada manusia bisa terbang ( tanpa pake pesawat )? apakah anda percaya kalau  dalam sekejap seseorang bisa berpindah dari kota Bandung ke kota Jakarta ? Atau ada seseorang dalam satu waktu bisa ada di rumah bersama keluarga dan juga berada di kantor ? Apakah ada manusia yang  tidak  terikat oleh ruang dan waktu ?

Anda sepertinya menganggap pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan konyol dan tidak masuk akal. Mana mungkin manusia bisa terbang ( memang burung ! ) atau dalam sekejap bisa berpindah dari satu kota ke kota yang lain yang berjauhan dan mustahil seseorang dalam satu saat bisa berada di rumah dan juga di kantor. Manusia hidup di alam yang memiliki aturan-aturan yang mengikat. Manusia tidak bisa terbang karena ia tidak memiliki sayap selain itu manusia juga tidak bisa mengambang di udara, karena akan tertarik oleh daya grafitasi bumi. Atau ketika seseorang hendak pergi dari satu tempat ke tempat yang lain ia harus melewati jarak antara kedua tempat tersebut. Dan atau seseorang ketika berada di suatu tempat ia akan terikat ( hanya ) oleh tempat tersebut dan mustahil ia disaat itu juga berada di tempat yang lain. Ini semua aturan-aturan alam  dan manusia merupakan salah satu penghuni alam ini ( terpaksa ) harus mengikuti aturan tersebut. Di mana pun manusia berada, ia selalu terikat oleh ruang dan waktu.

Anda keliru ! memang benar di alam ini terdapat aturan-aturan yang mengikat seluruh penghuninya termasuk manusia. Akan tetapi anda hanya berbicara dari sisi materi, anda lupa bahwa manusia memiliki dua dimensi; dimenasi materi dan non materi. Terutama anda yang beragama islam, tentu anda meyakini hal itu dan  itu sudah sesutau yang musallam antara kita kaum muslimin. Para ulama juga telah banyak melontarkan argument-argumentnya untuk membuktikan hal itu, baik argumentasi aqli maupun naqlinya, jadi tidak perlu lagi saya bahas hal itu. 

Alam nonmateri seperti halnya alam materi memiliki aturan-aturan tersendiri. Ruang dan waktu hanya berlaku di alam materi, sementara di alam non materi tidak. Jauh, dekat,  sekarang, kemarin atau yang akan datang merupakan konsep-konsep benak yang diambil dari hukum-hukum materi. Materi memiliki hukum ‘haalah al-imtidadiah’ ( yang memiliki panjang, lebar dan tinggi ) dan dari sana muncul keterbatasan. Sementara sesutau yang nonmateri memiliki ‘haalah jam’iyah’ ( kebalikan dari haalah imtidadiah ) dan tidak dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan materi keterbatasan. 

Lebih jelasnya lagi, masa lalu, jauh, dekat, disana, disini, masa yang akan datang dan jaman sekarang merupakan satu konsep buatan benak dan pikir yang dihasilkan dari  dimensi materi yang merupakan sisi keterbatasan wujud manusia. Karena, wujud kita baik dari segi ‘waktu’ atau dari segi ‘ruang’ merupakan wujud yang terbatas. Artinya, kita berada pada titik tertentu dari ruang dan waktu. Ketebatasan wujud kita dari sisi ruang (contohnya), menghasilkan konsep-konsep seperti  ‘dekat dan jauh’ atau ‘ disana dan disini’ bagi kita. Sementara sisi nonmateri dari wujud kita yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu yang dalam istilah filsafat disebut dengan ‘maa wara a al-tabiah’, konsep seperti jauh dan dekat atau disana dan disini menjadi tidak berarti.

Begitu juga keterbatasan kita dari segi waktu, dengan tergambarkannya konsep-konsep seperti  masal lalu, masa yang akan datang serta jaman sekarang pada benak kita. ‘jaman sekarang’ adalah waktu sebelum kita sekarang dimanapun wujud kita berada. Oleh karenanya, ‘jaman yang lalu’ menurut kita, bagi orang yang hidup satu abad sebelum kita adalah ‘jaman sekarang’ dan bagi orang yang hidup dua abad sebelum kita adalah ‘jaman yang akan datang’. Untuk sisi nonmateri wujud manusia yang tidak terbatas oleh waktu dan jaman, konsep-konsep seperti ini tidaklah berarti. Baginya masa yang akan datang dan masa yang lalu adalah jaman sekarang.

Sisi nonmateri manusia disebut dengan ruh ( sisi ruhani ) yang merupakan sisi lain dari jasad (badan) yang merupakan sisi materinya. Ruh menyatu dengan badan tapi bukan seperti menyatunya gula dengan air, akan tetapi ruh men-taskhir (menguasai) badan sehingga badan hidup. Pada hakekatnya pekerjaan-pekerjaan yang manusia kerjakan adalah pekerjaan ruh seperti  melihat, mendengar… artinya itu semua merupakan tajalli dari ruh. Ruh dan badan masing-masing memiliki aturan dan hukum-hukum sendiri-sendiri dan karena keduanya berada pada manusia, antara hukum materi dan hukum nonmateri terjadi saling tarik dan saling menguasai. Pada sebagian orang karena sisi materinya lebih kuat maka hukum-hukum materi menguasai hukum nonmateri, sehingga yang menonjol dan berlaku pada orang tersebut adalah hukum-hukum materi. Akan tetapi bagi orang yang ruhnya kuat, maka hukum-hukum nonmateri menguasai hukum-hukum materi (badan). 

Imam khumaeni pernah berkata: jangan heran kalau suatu saat anda melihat seseorang hanya dengan membaca bismillah, ia bisa terbang. Atau salah seorang arif jaman sekarang berkata : maqam dan kedudukan paling rendah bagi seorang wali adalah ia bisa thayyul ardh ( melipat bumi ). Artinya luasnya bumi bagi dia sudah tidak berarti dan sekejap ia bisa ada ditempat yang jauh. Kita juga pernah mendengar dalam suatu riwayat bahwa Imam Ali as. dalam suatu saat ia berada dalam beberapa ( 9 ) tempat. Dalam sejarah disebutkan bahwa Imam Jawad as. dalam penjara ia melakukan shalat dan ibadah semalaman dan bahkan sampai tengah hari ia masih melakukan shalat. Nabi saww. Dan para Imam as. serta para wali Allah, mereka beribadah berjam-jam dari maghrib sampai subuh. Atau dalam satu malam mereka meng-khatam alquran berpuluh-puluh kali.

Apakah anda masih mengatakan mustahil ?! bagi orang-orang yang ruhnya kuat, hukum-hukum, batasan dan ikatan-ikatan materi bagi mereka tidaklah berarti. Bagi kita yang sisi materinya lebih menguasai, maka hukum-hukum inilah yang berlaku bagi kita. Seperti halnya badan ruh juga agar menjadi kuat butuh kepada makanan dan latihan. Makanan ruh adalah ibadah dan ilmu. Semakin banyak kita beribadah maka ruh kita akan semakin kuat dan hukum-hukumnya akan semakin menonjol. Nabi saww., para Imam as. serta para wali Allah, mereka adalah ahli ibadah dan ahli ilmu. Banyak terdapat hadist dan riwayat yang menganjurkan kita untuk beribadah dan mendalami ilmu, sehingga ruh kita menjadi kuat. Bahkan dalam satu hadist (qudsi) di riwayatkan: “ Allah berfirman: HambaKu beribadahlah kepadaku, maka aku akan jadikan kalian sepertiKu; Aku hidup dan tidak mati, maka Akupun akan menjadikanmu hidup dan tidak mati… “ 

RUH MENURUT PARA FILUSUF DAN ‘URAFA ISLAM.

Berbeda dengan pendapat sebagian ilmuan barat yang meyakini bahwa ruh merupakan perkara nisbi, seperti kekuatan yang berada pada jam. Ketika semua bagian-bagian jam lengkap dan teratur dengan benar, maka jam pun ‘hidup’. Akan tetapi ketika ada bagian jam yang kurang atau susunan yang tidak teratur, maka jam pun ‘mati’ dan tidak ada wujud lain (ruh) selian itu. Seperti halnya jam, tidak memiliki ruh manusia pun demikian. Para ulama islam meyakini bahwa ruh merupakan wujud mustakil ( berbeda ) dari wujud jism dan badan.

Ibnu Sina.

Ibnu Sina tentang masalah nafs dan ruh berpendapat bahwa unsur-unsur asli wujud-wujud alam menyatu lewat bantuan quwwah falaki dan muncullah jism-jism yang berbeda-beda seperti batu, tanah, besi dan lain-lain. Semakin seimbang susunan unsur-unsur tersebut maka jism yang lebih tinggi akan muncul darinya. Seperti ketika susunan unsur-unsur pada benda mati semakin seimbang maka akan berubah menjadi tumbuhan, terus naik menjadi hewan yang memiliki irodah dan pengetahuan juz’i. Karena terus berkembang dan semakin seimbang maka dari tahapan hewan berubah menjadi tahapan manusia, dimana selain memiliki panca indra yang dimiliki hewan, ia juga memiliki daya idrak (pengetahuan/pikir) kulli serta memiliki daya pikir, irodah  khusus dimana pribadi,  hakekat serta kelebihan manusia dari hewan yang disebut dengan ruh. Walaupun ia menggunakan istilah-istlah yang berlainan tentang ruh, akan tetapi yang dimaksud oleh Ibnu Sina tentang ruh adalah daya idrak. Menurut ia, karena daya idrak berderajat  maka kekuatan ruh pada manusia pun berderajat; pada sebagian manusia kuat dan pada sebagian yang lain lemah. 

Mulla Sadra.

Menurut pendapat Mulla Sadra, awal tahapan  pada ruh adalah tahapan-tahapan jism, lalu secara bertahap naik sehingga sampai kepada tahapan his (indra), khayali, wahmi hingga sampai kepada tahapan aql (akal). Dari akal ‘amali menuju ke akal nadhari dan melalui tahapan yang ada pada akal nadhari hingga sampai kepada tahapan terakhir dari akal adalah tahapan akal fa’aal. Akal ini merupakan tahapan yang paling sempurna dari tahapan akal dan ruh yang dalam firman Tuhan disebutkan : “ Dan kami hembuskan di dalamnya dari ruh-Ku “ ( Al-Hijr, ayat : 29 ). Ayat ini menunjukan kedudukan tinggi dari ruh, dan ketika ruh sudah sampai kepada tahapan aql (akal) maka selama akan tatap kekal. Dengan penjelasan; Ketika manusia hendak melihat, mendengar atau merasa  maka manusia butuh kepada mata, telinga dan daya rasa. Atau ketika hendak menggambarkan sesuatu maka ia butuh kepada daya khayali atau daya wahmi ( pada makna-makna yang juz’I ). Akan tetapi ketika ingin memahami makna-makan kulli tidak butuh kepada daya apapun baik yang dhahir maupun bathin. Karena hekekat manusia memiliki kelebihan akal dan idrak insani yang terilhami dari aqli kul.

Dari penjelasan ini, Mulla Sadra meyakini kaidah ‘jimaniatul huduts wa rehaniatul baqa’ artinya, ruh manusia dari awal penciptaan sampai akhir harus melewati tahapan, maqam dan derajat-derajat yang bermacam-macam hingga akhirnya ruh tidak lagi butuh kepada badan. Dengan kata lain ruh pada tahapan awal adalah berupa substansi jism hingga akhirnya berkembang dan menyempurna dan sampai kepada tahapan tajarrud ( menjadi nonmateri ).

Ketika sudah sampai kepada tahapan tajarrud dia tidak akan mati akibat matinya badan dan akan tetap kekal. Manusia pada awalnya berada di alam materi dan tabiat alam, terikat oleh hukum-hukum materi, kemudian sampai kepada tahap khayali dan wahmi hingga kahirnya sampai kepada derajat aql, menjadi nonmateri dan kekal. Seperti yang digambarkan dalam alquran: “  Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.  Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).  Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.  Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” ( Al-Mu’minun ayat : 12-16 ).

Para ‘Urafa.

Para ‘urafa dan sebaiah filusuf berkeyakinan bahwa ruh sebelum berhubungan dengan badan materi ia berada di alam tajarrud, di atas tabiat dan berdiri sendiri. Ruh pada tahapan ini mengetahui segala sesuatu, akan tetapi setelah datang ke alam materi yang merupakan akhir dan paling rendahnya derajat wujud, karena ia terpenjara oleh badan materi maka semua pengetahuannya menjadi hilang. Dan lewat belajar, otak manusia mengingat ilmu-ilmu dasar dan fitri ini serta menemukan sesuatu yang hilang tersebut. Seperti yang diungkap oleh Ghazali dalam bukunya ‘Ihya ‘Ulumuddin’ : “Belajar tidak lain adalah kembalinya jiwa kepada substansinya untuk mengeluarkan apa yang ada didalamnya.”

Para ‘urafa berpendapat bahwa ruh merupakan wujud yang aktif  di alam barzah dan alam malakut dalam jism-jism yang lebih latif (halus). Setelah  turun ke alam materi, ia kembali melakukan shu’ud (naik) dan setelah manusia meninggal ia tinggal untuk beberapa saat dengan bersama jism-jism latif. Sebagian para ‘urafa meyakini adanya ruh kulli dan nafs mutlak.

Di akhir makalah ini akan disinggung secara singkat pendapar para filusuf berkenaan dengan kematian; Ibnu Sina meyakini kematian adalah akibat hancurnya susunan jism yang merupakan rumah bagi ruh, oleh karena itu ruh pun pergi. Mulla Sadra meyakini sebaliknya, karena ruh pergi maka jism yang merupakan rumah dari ruh pun akhirnya menjadi rusak. Sementar Suhrawardi berkeyakinan, karena mizaj ( keseimbangan unsur-unsur badan seperti air, tanah, udara dan api ) rusak, maka ruh pun meninggalkan rumahnya.

Filsafat Hikmah Muta'aliyah, Antara Imam Khumeini Dan Mulla Shadra

 

Antara Imam Khomeini dan Mulla Shadra
Hal yang menarik adalah berbeda dengan apa yang biasa terjadi dan berdasarkan apa yang ditemukan dalam karya-karyanya, Mulla Shadra tidak pernah menghadiahi penguasa dengan karya-karyanya. Ia bahkan tidak pernah memberikan ruang untuk memuji penguasa waktu itu. Apa yang terjadi pada zaman Mulla Shadra, pada masa Imam Khomeini terjadi perubahan di mana institusi marja’iyah telah kokoh dan Imam Khomeini sebagai seorang ahli fiqih sekaligus penafsir filsafat Hikmah Muta’aliyah berhasil menduduki lembaga ini.
Mencari celah Kekhususan dan Perbedaan dalam filsafat Hikmah Muta’aliyah Shadrulmutaallihin yang biasa dikenal dengan Mulla Shadra dan Imam Khomeini dapat disebut sebagai dua tokoh besar aliran filsafat Hikmah Muta’aliyah. Mulla Shadra adalah pengasas filsafat Hikmah Muta’aliyah, sementara Imam Khomeini adalah pengajar dan penafsir Hikmah Muta’aliyah.

Keduanya memiliki titik-titik persamaan yang sangat banyak. Salah satunya adalah mereka berdua menggunakan burhan dalam mengargumentasikan pandangannya, mereka terbuka dalam masalah irfan dan isyraq dan di sisi lain keduanya sangat dekat dengan teologi dan al-Quran. Kedua-duanya juga mengenal dengan baik tafsir dan fiqih, bahkan mereka adalah tokoh fiqih.

Selain memiliki titik-titik persamaan dalam pemikiran, terutama kemampuan keduanya dalam bermacam-macam ilmu, pada tataran praktis keduanya berbeda. Hal ini akan semakin terlihat jelas dalam upaya keduanya memanfaatkan dengan luas fiqih dan kefaqihan, kedudukan pada posisi marja Syiah dalam mengeluarkan fatwa, perlawanan menghadapi penguasa dan mengupayakan untuk  mendirikan sebuah negara.

Berdasarkan penjelasan di atas, salah satu perbedaan mendasar yang dimiliki keduanya adalah keberlangsungan filsafat dari satu sisi dan keharmonisannya dengan fiqih dari sisi lain. Imam Khomeini yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan Haji Agha Ruhullah berbeda dengan Mulla Shadra yang seluruh masa hidupnya dihabiskan untuk belajar, menulis dan mengajarkan filsafat. Setelah melewati usia empat puluh, ia secara resmi memutuskan dirinya dengan filsafat.[1]
Terakhir kali Ruhullah mengajar filsafat Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra pada akhir dekade dua puluhan hijriah syamsiah. Mulai dekade tiga puluhan hijriah syamsiah ia tidak lagi mengajar dan menulis karya-karya irfan atau filsafat. Kelihatannya sebelum itu juga Imam tidak memiliki karya-karya filsafat, selain karya-karya dalam ilmu usul fiqih, akhlak dan irfan[2]yang terkadang masih ditemukan pembahasan filsafat di sana.[3]
Kebanyakan murid-murid Haji Agha Ruhullah yang menimba ilmu bersamanya mulai dari dekade tiga puluhan tidak begitu tahu bahwa ia pernah mengajar filsafat.[4]

Pada dekade tiga puluhan, Imam lebih banyak memberikan perhatian untuk mengajar fiqih dan usul fiqih, sebagaimana yang biasa dilakukan di hauzah ilmiah. Perhatian ini akhirnya menghantarkannya menjadi salah seorang pengajar yang disegani dalam ilmu fiqih. Sebagaimana kepopulerannya sebelumnya dalam irfan dan akhlak. Karya-karya fiqih dan usul fikihnya sebagian besar ditulis dan diterbitkan dalam periode ini tanpa banyak menyinggung masalah irfan dan filsafat.[5]

Di lain pihak, Mulla Shadra hingga akhir masa hidupnya belajar dan mengajar filsafat, selain perhatiannya kepada seluruh ilmu yang ada pada masa itu. Ia mengajar filsafat di Syiraz. Syiraz tempat ia dilahirkan, merupakan salah satu pusat pengajaran filsafat yang paling populer. Sekalipun Mulla Shadra memiliki kecakapan dalam bidang ilmu fiqih, namun sampai akhir hayatnya ia hanya mengajar filsafat.

Dengan ini ia berhasil menghasilkan karya besar dan mampu mendidik murid-murid yang kelak menjadi tokoh-tokoh pemikir filsafat. Apa yang dilakukan oleh Imam Khomeini pada dekade tiga puluhan adalah memperkuat fondasi yang pada satu dekade ke depan ia menjadi seorang ahli faqih terkenal dan disegani, bahkan pada dekade empat puluhan inilah ia dipercaya sebagai seorang marja. Setelah dekade empat puluhan, Imam Khomeini mengambil jalan yang berbeda dari Mulla Shadra dalam masalah marja’iyah. Banyak dari orang Syiah baik di dalam negeri Iran dan di luar negeri mengikuti fatwa-fatwa fiqihnya. Pada tahun-tahun ini banyak dari murid-muridnya belajar fiqih kepadanya.

Pada saat yang sama, bila Mulla Shadra ingin memasuki bidang kemarja’iyahan, ia tentu tidak akan diterima seperti apa yang dialami oleh Imam Khomeini. Satu hal yang perlu diperhatikan, institusi bernama marja’iyah merupakan sebuah lembaga yang baru muncul terakhir ini, karena pada periode Mulla Shadra di Syiraz posisi ini lebih menjadi hak penguasa yang diberikan kepada para ulama. Dan sejarah mencatat, hubungan antara Mulla Shadra dengan penguasa waktu itu tidak begitu baik, sekalipun ada yang mengatakan bahwa ia sendiri merupakan keturunan raja.

Dukungan dari pihak penguasa bisa didapatkannya dengan hubungan yang ada ini, namun ia tidak pernah berupaya untuk mendapat perhatian penguasa agar mendapatkan posisi ini. Hal yang menarik adalah berbeda dengan apa yang biasa terjadi dan berdasarkan apa yang ditemukan dalam karya-karyanya, Mulla Shadra tidak pernah menghadiahi penguasa dengan karya-karyanya. Ia bahkan tidak pernah memberikan ruang untuk memuji penguasa waktu itu. Apa yang terjadi pada zaman Mulla Shadra, pada masa Imam Khomeini terjadi perubahan di mana institusi marja’iyah telah kokoh dan Imam Khomeini sebagai seorang ahli fiqih sekaligus penafsir filsafat Hikmah Muta’aliyah berhasil menduduki lembaga ini.

Pada akhirnya, perbedaan paling signifikan antara dua filsuf Hikmah Muta’aliyah ini adalah Imam Khomeini berhasil meruntuhkan kekuasaan Syah Pahlevi dan kehadirannya dalam lembaga negara sebagai pemimpin puncak merupakan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Mulla Shadra. Bila Mulla Shadra mempunyai mimpi yang seperti itu pun, maka hal itu baginya semacam mimpi yang tidak mungkin dapat dilakukannya dan tidak dapat diraihnya. Bahkan dalam sejarah hidupnya, Mulla Shadra tidak pernah melakukan gerakan yang mengarah pada kekuasaan.

Kelihatannya kondisi pada waktu itu juga tidak menunjang untuk melakukan itu, kondisi berbeda yang dimiliki oleh Imam Khomeini. Kondisi pada zaman Mulla Shadra belum siap untuk melakukan gerakan seperti itu dan akhirnya kondisi pada waktu itulah yang banyak mempengaruhi Mulla Shadra sendiri. Sekalipun demikian, dapat dikatakan bahwa Imam Khomeini menduduki puncak kekuasaan di Iran berlandaskan prinsip-prinsip filsafat Hikmah Muta’aliyah yang digagas oleh Mulla Shadra.

Dari sini dapat dipahami bahwa meskipun kedua filsuf ini berbeda dalam upaya mengubah dan menjatuhkan penguasa dan sistem politik yang ada, namun tidak boleh dilupakan bahwa Mulla Shadra secara sadar atau tidak telah menyiapkan sebuah sistem filsafat yang pada empat abad setelahnya lewat salah seorang pengikut dan pensyarah filsafat yang digagasnya berhasil mengantarkan puncak filsafat ini pada sebuah sistem politik. Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Mulla Shadra sebelumnya.

Mulla Shadra menghadapi ulama literal di zamannya yang memaksanya menulis sebuah risalah khusus dalam masalah ini, namun ia tidak pernah secara langsung menghadapi penguasa secara terang-terangan. Ia berhasil membangun konsep filsafatnya tanpa mendapatkan rintangan dari penguasa waktu itu yang belakangan dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah yang pada akhirnya berhasil mencabut akar sistem kerajaan. Ala kulli hal, perbedaan penting antara Imam Khomeini dan Mulla Shadra berada pada bentuk sikap keduanya dalam menghadapi kekuasaan dan penguasa pada zamannya. Ketika Imam Khomeini merasa bahwa upayanya untuk mengubah Rezim Syah Pahlevi tidak akan berhasil, ia kemudian mengubah sikapnya.

Revolusi dan perlawanan terbuka dipilihnya yang membuatnya harus menerima diasingkan berkali-kali. Namun, dalam sejarahnya Mulla Shadra tidak pernah mengumumkan perlawanannya secara terbuka dengan kekuasaan dan penguasa waktu itu. Sekalipun dalam masa hidupnya, Mulla Shadra bangkit dan menghadapi ulama tekstual yang membuatnya juga diasingkan, ia tidak pernah memuji kekuasaan dan penguasa yang ada.

Berbeda dengan ulama pada zamannya yang memuji penguasa dalam karya-karyanya, Mulla shadra tidak pernah melakukan hal itu, tidak dalam sikap dan tidak juga dalam karya-karyanya. Sangat mungkin sekali sikapnya ini berdasarkan penentangannya terhadap penguasa baik secara teoritis dan praktis. Jelas sudah, dengan melihat perubahan yang terjadi pada zaman keduanya dapat disimpulkan bagaimana keduanya menyikapi kekuasaan dan penguasa di zamannya.

Setelah dua puluh tahun lebih Imam Khomeini memutuskan hubungannya secara resmi dengan filsafat, ia berhasil membangun dan menggagas sebuah sistem baru. Kesamaan keduanya studi-studi seperti tafsir al-Quran, akhlak, teologi, burhan, irfan bahkan pada fiqih tidak membuat keduanya sama dalam menyikapi kondisi sosial politik pada zamannya. Perhatian Imam Khomeini pada dimensi praktis dari semua studi-studi yang ada mempengaruhi kehidupan politiknya. Hal yang tidak banyak diungkap oleh para peneliti selama ini.

Penulis: Pengajar di Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran Sumber: Pegah Hauzeh, vol 208, 2 Juni 2007

Mulla Shadra






Oleh: M. Adlani.

Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars. Di zaman Mulla Sadra, pemerintah Iran di bawah kekuasaan keturunan Shafawiyan yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Sadra.
Ayah Mulla Sadra -Khajah Ibrahim Qiwami- seorang negarawan yang cerdas dan mukmin serta memiliki kekayaan yang melimpah dan kedudukannya yang mulia lagi terhormat, namun setelah menunggu bertahun-tahun ia baru dianugerahkan seorang putra yang diberi nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Sadra, setelah dia dewasa kemudian digelari mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Sadra.

Sadruddin Muhammad (Sadra), merupakan anak tunggal seorang menteri raja yang menguasai wilayah luas Pars, hidup di lingkungan yang religius, terhormat dan mulia. Biasanya untuk anak-anak yang tinggal di lingkungan istana pada saat itu mereka diajar oleh guru privat di rumah mereka sendiri. Sadra seorang anak yang cerdas, semangat dan rajin belajar, dalam waktu yang singkat dia menguasai seluruh pelajaran yang diajarkan seperti, tata-bahasa Persia, Arab, seni dan tulisan indah. Pelajaran-pelajaran lain yang juga diperlajari misalnya, Fiqih, Logika dan Filsafat, tetapi Sadra yang belum balig waktu lebih condong ke Filsafat dan terkhusus dalam bidang Irfan. Hal ini dapat dilihat dari diarynya yang banyak tertulis syair-syair irfani berbahasa parsi dari Jalaluddin Maulawi, Araqi dan Attar.

Sebagian dari pelajaran di atas ia pelajari di kota Syiraz dan sebagian lagi dipelajari sewaktu berumur enam tahun di Qazwin. Di sana ia belajar dengan banyak guru dalam bidang yang beragam dan menyelesaikannya dengan cepat mulai dari pelajaran tingkat pertama, menengah sampai tingkat tinggi.

Mulla Sadra selama DI Qazwin bertemu dengan guru-guru besar seperti Syaikh Bahauddin Amili Ra dan Mir Damad Ra dan kemudian menuntut ilmu dari mereka. Dalam waktu yang cepat, dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia dapat menguasai pelajaran dengan sempurna dan menjadi murid yang paling dihormati dan dicintai oleh kedua gurunya.

Dengan berpindahnya ibukota Shafawiyyah dari Qazwin ke Ishfahan (tahun 1006 H atau 1598 M)[1] Syaikh Bahauddin dan Mir Damad beserta muridnya juga hijrah ke kota tersebut dan meluaskan pengajarannya di sana. Pada masa itu, Mulla Sadra berusia 27 tahun dan secara resmi telah menamatkan semua pelajarannya.
Tidak diketahui secara pasti selama berapa tahun ia menetap di Ishfahan dan setelah itu ia ke kota mana. Kemungkinan besar setelah tahun 1010 H atau 1602 M ia hijrah dari Ishfahan ke kotanya Syiraz untuk mengurusi warisan kekayaan ayahnya, sebagian hartanya diberikan ke fakir miskin dan beberapa bagian diwakafkan untuk kepentingan umum di Syiraz.

Muhammad Ibrahim bin Yahya Qiwami Syirazi yang digelar Sadr al-Mutaallihin dan lebih dikenal sebagai Mulla Sadra adalah salah seorang filsuf ilahi terbesar dan teragung yang mewarisi secara sempurna filsafat Islam dan pendiri aliran baru dalam filsafat Islam yang dinamakan al-Hikmah al-Muta'aliyah yang terus berpengaruh hingga saat ini.

Syaikh Muhammad Husain Garawi Isfahani Ra[2] bertutur ihwal Mulla Sadra: Jika ada orang yang mengetahui sempurna rahasia kitab Asfar[3] maka saya akan berguru kepadanya walaupun ke negeri Cina.
Mulla Sadra seorang filsuf yang sederajat dengan filsuf Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina, Syaikh Isyraq Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu Rusd, Ibnu Miskawai dan lain sebagainya. Juga penafsir serta penyempurna filsafat-filsafat Islam sebelumnya, dalam ilmu Irfan iapun sederajat dengan para urafa seperti Ibnu Arabi.

Dalam kehidupannya ia berupaya jauh dari kehidupan mewah dan tidak mengejar kekuasaan dan tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat awam. Pada tahun 1039 H atau 1631 dia ke desa kecil bernama Kahak yang terletak di dekat kota suci Qum dan menggunakan banyak waktunya untuk pensucian diri, tafakkur tentang hakikat-halikat segala sesuatu dan beribadah kepada Tuhan. Ia meninggalkan desa tersebut dan kembali lagi ke Syiraz pada tahun 1040 H atau 1632.

Mulla Sadra berkeyakinan untuk sampai kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid) dan ilmu akhirat (eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan dunia, syahwat dan cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal, ketajaman fitrah dan kesucian jiwa.

Lebih lanjut dia berkata bahwa seseorang yang tidak sampai pada derajat mukasyafah (penyingkapan) dalam memahami hakikat-hakikat segala sesuatu maka secara hakiki tidak bisa disebut sebagai hakim. Dia katakan bahwa hukum-hukum syariat sesuai dengan ilmu makrifat (filsafat ilahi dan irfan) dan tidak bertentangan satu sama lain.

Kata Mulla Sadra orang yang tidak ingin menapaki jalan spritual (suluk) dan tidak istiqamah dalam meraih mukasyafah atas apa yang telah diargumentasikan tidak akan mendapatkan manfaat dalam menghayati secara serius ayat-ayat al-Quran dan sebaiknya orang tersebut tidak mempelajari dan mendalami karya-karyanya. Orang seperti ini sebaiknya mempelajari ilmu-ilmu lahiriah seperti ilmu Bahasa, Sejarah, ilmu Ushul, ilmu Fiqih dan ilmu Hadis. Menurutnya sebagian besar masyarakat haram memperlajari ilmu makrifat ini karena kesulitan yang sangat dalam meraihnya dan mencapainya dibutuhkan niat suci, cita-cita yang tinggi, keinginan yang membaja dan taufik dari Tuhan.

Ilmu makrifat dipelajari hanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, jika tidak maka dia tidak akan mungkin sampai pada hakikat ilmu tersebut, bahkan sebaliknya akan menjauhkannya dari jalan yang lurus dan tujuan suci. Seorang filsuf yang bijaksana tidak boleh mengajarkan dan mewariskan ilmu itu kepada orang seperti ini.

Kelahiran dan wafat

Mulla Sadra lahir pada tahun 979 H atau 1571 M di kota Syiraz. Ayah Mulla Sadra khajah Ibrahim Yahya Qiwami Syirazi anak dari Qiwamuddin Muhammad seorang wakil raja dari keturunan Muzaffar.
Syiraz saat itu merupakan kota yang paling tenang dan paling indah di bawah kekuasaan raja Muhammad Mirza Khudo Bandeh (saudara Syah Ismail kedua) dari keturunan Shafawiyah, raja ini sangat mendukung penyebaran agama dan mencintai ilmu, ayah Mulla Shadra bekerja di kerajaan tersebut dan dihormati masyarakat karena budi-baiknya.

Syaikh Abdullah Zanjani dalam salah satu karyanya menulis kisah tentang Mulla Sadra, dikisahkan suatu hari ayahnya pergi dan melimpahkan satu pekerjaan kepadanya, setelah kembali dari safar ia meminta laporan pertanggungjawaban keuangan selama ditinggal, dalam laporannya tertulis ada sejumlah besar uang disumbangkan kepada orang fakir, jumlah uang yang disumbangkan tersebut setara dengan jumlah uang yang dinazarkan ayahnya kepada Tuhan ketika memohon seorang anak. Ketika ayahnya menanyakan alasan penggunaan uang sebanyak itu Mulla Sadra menjawab bahwa uang itu adalah uang nazar yang mesti dibayarkan. Ia sangat terperanjat mendengar jawaban anaknya karena hal itu tidak pernah disampaikan kepadanya.

Mulla Sadra dilahirkan di zaman dimana cahaya filsafat redup dan tiada pendukungnya, Tuhan Yang Maha Bijaksana kemudian memilih hamba-Nya dan mengutus untuk menyempurnakan dan menyebarkan ilmu tersebut setelah sebelumnya mengutus secara bertahap filsuf-filsuf untuk menyiapkan lahan demi menerima hakikat-hakikat yang lebih tinggi.

Filsuf Ilahi ini meninggal tahun 1050 H atau 1640 M di kota Bashrah dalam perjalanannya yang ketujuh ke Mekkah dengan berjalan kaki. Filsuf Sayyid Abul Hasan al-Qazwini Ra berkata: empat puluh tahun yang lalu saya bertanya tentang kuburan Mulla Sadra kepada salah seorang Arab yang tinggal di Najaf Asyraf Iraq yang sering ke kota Bashrah Iraq, orang Arab tersebut menjawab di kota Bashrah ada kuburan yang dikenal dengan kuburan Mulla Sadra Syirazi, tapi peneliti sejarah tidak pernah menemukan tanda-tanda kuburan filsuf tersebut mungkin karena pengaruh perubahan tata letak kota mengakibatkan kuburan tersebut hancur, wallahu a'lam bihaqayikil umur.

Guru-guru Mulla Sadra.

Mulla Sadra belajar di Qazwin kepada Syaikh Bahauddin Amili Ra dan Mir damad Ra, setelah ibukota berpindah dari Qazwin ke Ishfahan pada tahun 1006 H atau 1596 M iapun hijrah bersama kedua gurunya ke kota tersebut dan menyelesaikan pelajaran tertingginya seperti Logika, Filsafat dan Irfan di sana. Mulla Sadra banyak sekali mengambil manfaat dari kedua gurunya tersebut.

1. Syaikh Bahauddin Amili.

Syaikh Bahauddin (953 - 1030 H) walaupun bukan guru pertama Mulla Sadra tetapi merupakan guru yang paling penting dan berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya hingga mencapai kesempurnaan akhlak dan ilmu.

Dia adalah anak dari salah seorang fuqaha Libanon bernama Syaikh Husain bin Abd ash-Shamad Amili Ra. Kota Jabal Amil salah satu kota yang terletak di selatan dan penduduknya mayoritas Syiah, saat itu di bawah kekuasaan pemerintah Jabbar Usmani yang menyiksa dan membunuh banyak ulama-ulama Syiah, sehingga sebagian ulama-ulama hijrah dan berlindung di bawah pemerintahan Iran Shafawi. Syaikh Bahauddin yang saat itu berumur tujuh tahun bersama ayahnya juga hijrah ke Iran. Ayahnya sebagai Syaikh al-Islam dan menjadi wakil ruhani di kota Harat Khurosan dan Syaikh belajar dan menyelesaikan studinya di Iran kemudian dengan cepat menjadi seorang ulama yang terkenal.

Syaikh menguasai berbagai cabang ilmu seperti Fiqih, Hadis, Tafsir, Adabiyat, Matematika dan Astronomi.

2. Mir Damad.

Mir Muhammad Baqir Husaini yang dikenal dengan Mir Damad adalah salah seorang ulama terbesar di zamannya dan guru terkenal yang mengajarkan filsafat peripatetik (masyai), filsafat iluminasi (isyraqi), Irfan, Fiqih dan ilmu keislaman. Ayahnya juga seorang faqih dari Istarabad (sekarang Gurgon), di masa muda Mir Damad belajar di Madrasah Khurasan setelah itu menjadi menantu ulama terkenal dari Libanon Syaikh Ali Karaky yang di kenal sebagai Muhaqqiq kedua dan penasihat agung raja Shafawi, karena ia menjadi menantu ulama tersebut maka gelar Damad yang artinya menantu melekat padanya.

Ia dilahirkan di Khurasan tahun 969 H atau 1562 M, dan menghabiskan masa remajanya di Masyhad ibukota Khurasan. Dia sangat cerdas dan cepat menamatkan semua pelajaaran dasar kemudian berangkat ke Qazwin (saat itu ibukota Pars) untuk menyempurnakan ilmunya. Semua tingkatan keilmuan dilalui dengan sempurna dan menjadi seorang ulama dan guru yang terkenal.

Mulla Sadra semasa remaja bersama ayahnya ke Qazwin bertemu dengan Mir Damad dan menjadi muridnya. Pada tahun 1006 H atau 1596 M ibukota Pars berpindah dari Qazwin ke Ishfahan maka Mir Damad pun memindahkan pengajarannya ke sana. Mulla Sadra banyak mengambil manfaat dari gurunya dan menguasai secara sempurna ilmu yang dimilikinya, ialah pewaris ilmu gurunya. Mulla Sadra sangat menghormati dan mencintai gurunya sedemikian hingga hubungan dengan gurunya sangatlah erat dan tak terputus.

Mir Damad pada tahun 1041 H atau 1631 M meninggal karena sakit dalam perjalanannya ke Iraq.

Tiga tahapan kehidupan Mulla Sadra.

Kehidupan Mulla Sadra dibagi dalam tiga tahapan:
Tahapan pertama: masa menuntut ilmu dan mengkaji berbagai pemikiran-pemikiran Filsafat dan Irfan (tasawuf). Di masa ini juga pemikiran kedua gurunya -Mir Damad dan Syaikh Bahauddin- masih berpengaruh kuat pada dirinya.

Tahapan kedua: Karena tekanan dan prilaku yang buruk dari orang-orang yang hasad atas kemajuan ilmunya begitu juga dari orang yang benci karena pemikiran-pemikiran barunya yang banyak bertentangan dengan pemikiran ulama dan fuqaha saat itu dia kemudian meninggalkan Syiraz tahun 1039 H atau 1631 M dan mengasingkan dirinya ke desa Kahak dekat dengan kota suci Qum[4].
Di tempat kudus ini, ia melakukan pensucian diri dengan berkonsentrasi pada peribadatan, puasa dan riyadhah (olah batin). Ia menjalani dengan cepat tingkatan-tingkatan suluk irfani hingga sampai pada derajat spiritual tertinggi dan mukasyafah. Pada tahun 1040 H atau 1632 M kembali ke Syiraz.

Tahapan ketiga: masa menulis, mengajar dan mendidik. Masa ini merupakan hasil dari dua tahapan tersebut. Di masa ini ia menulis kitab Asfar dan karya-karya lainnya yang ditulis pada tahapan pertama kehidupannya merupakan sumber-sumber untuk penulisan kitab Asfar. Mulla Sadra kembali mengajar setelah menyelesaikan secara sempurna sair wa suluk (tangga-tangga perjalanan spiritual) dan telah tersingkap baginya hakikat-hakikat Islam, dengan perbedaan bahwa pengajaran beliau kali ini dengan ilmu syuhudi (intuisi) disertai hadis dari Rasul Saw dan Ahlulbait As. Karena penafsiran-penafsiran beliau berdasarkan kedua sumber tersebut - ilmu syuhudi dan hadis - tidak sesuai dengan apa yang dipahami secara umum oleh banyak ulama dan fuqaha, akhirnya membangkitkan kebencian dan kemarahan mereka yang berujung pada pengkafiran (tafkir) dirinya dan pengharaman membaca karya-karyanya.

Mulla Sadra setelah melewati ketiga tahapan tersebut berkata:

Segala hal yang mengantarkan kami kepada inayah (perhatian) dan hidayah Tuhan serta pengetahuan rahasia tauhid dan alam akhirat, saya berkeyakinan bahwa tak satupun pengikut filsafat peripatetik selain Aritoteles sampai kepada derajat pengetahuan tersebut dan juga saya yakin tak satupun para sufi yang sampai pada mukasyafah (penyingkapan) irfani mampu mengargumentasikan segala hal yang didapati dari mukasyafah[5].

Putra-putri Mulla Sadra.

Kemungkinan besar Mulla Sadra menikah diumur 40 tahun dan dianugerahkan lima anak dua laki-laki dan tiga perempuan anak, berikut ini nama dan tahun kelahiran mereka:
1. Ummu Kulsum lahir tahun 1019 H/1609 M
2. Ibrahim lahir tahun 1021H/1611 M
3. Zubaidah lahir tahun 1024 H/1614 M
4. Nizamuddin Ahmad lahir tahun 1031 H/1621 M
5. Ma'shumah lahir tahu 1033 H/1623 M

Murid-murid Mulla Sadra.

Pada tahapan ketiga kehidupan Mulla Sadra dikatakan bahwa dia kembali mengajar dan mendidik murid-muridnya di madrasah Syiraz yang bernama Khan di bangun pada zaman pemerintahan Syah Abbas Shafawi.
Di madrasah inilah dihasilkan banyak murid-muridnya yang ternama dan kemudian menjadi filsuf terkenal, di bawah ini kami hanya menyebutkan murid-muridnya yang memiliki karya-karya yang banyak, seperti:

1. Mulla Muhsin Faidh Kasyani, menikah dengan Zubaidah anak ketiga Mulla Sadra

2. Mulla Abdurazzaq Lahiji yang di gelari Fayyadh, menikah dengan Ummu Kulsum anak pertama Mulla Sadra.

3. Mirza Syarafuddin Abu Ali Ibrahim, anak kedua Mulla Sadra

4. Nizamuddin Ahmad, anak keempat Mulla Sadra

5. Syaikh Husain Tankabi

6. Syah Abul Wali Syiraz

7. Mulla Muhammad Irwani

8. Muhammad bin Ridha bin Ogho Jani

Karya-karya Mulla Sadra.

1. Al-Hikmah al-Muta'âliyah fi al-Asfar al-Arba'ah: kitab ini adalah magnum opusnya dan induk dari semua karya-karyanya serta paling lengkapnya pembahasan filsafat dari seorang filsuf. Kitab ini terbagi dalam empat perjalanan: perjalanan dari makhluk ke Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke Tuhan bersama Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke makhluk bersama Tuhan, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan.
2. Ittihâd al-?qil wa al-Ma'qul: risalah ini merupakan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan khusus yang ada di kitab Asfar.
3. Ittishâf al-Mahiyat bi al-Wujud: risalah ini menjelasakan tentang bagaimana hubungan kesatuan antara esensi (mahiyat) dengan eksistensi (wujud).
4. Ajwibatu al-Masail: kandungan risalah ini tentang penjelasan kekuasaan Tuhan, substansi, pengertian aksiden dan masalah-masalah komposisi dan terbentuknya materi dan jawaban Mulla Sadra atas pertanyaan yang ditujukan kepada filsuf Nashruddin Thusi dari seseorang tapi tidak terjawab, pertanyaan tersebut berkisar: gerak merupakan sebab dari waktu, penciptaan jiwa manusia, bagaimana terpancarnya kejamakan dari ketunggalan wujud..
5. Ajwibatul al-Masâil an-Nashiriyat: berisi lima persoalan antara lain: pertanyaan tentang gerak, tentang jiwa nabati, bagaimana hadirnya gambaran sesuatu dalam pikiran, perbedaan pengindraan hewan dan manusia, penciptaan jiwa setelah kematian.
6. Asrar al-Ayat wa Anwâr al-Bayyinat: Kitab ini membahas tentang ilmu-ilmu Ketuhanan, perbuatan ilahi dan ilmu tentang alam akhirat.
7. Aksirul 'Arifin: tentang makrifat-makrifat yang tinggi, membahas tentang pembagian ilmu-ilmu dan makrifat nafs (ilmu jiwa).
8. At-Tasyakhkhush: berisi tiga bab tentang pembahasan umum wujud.
9. At-Tasawwur wa at-Tashdiq: berhubungan dengan pembahasan logika tapi khusus mengupas masalah-masalah tolok ukur kebenaran pemahaman manusia.
10. Ta'liqât 'ala al-Hikmat al-Isyrâq: catatan-catatan kaki Mulla Sadra atas buku Syaikh Isyraq Suhrawardi.
11. Ta'liqât 'ala al-Ilahiyyat as-Syifa: berisi penjelasan, tafsir dan kritik atas kitab Syifa Ibnu Sina.
12. At-tafsir al-Quran: berisi tafsiran dan penjelasan beberapa surah dari al-Quran, antara lain: al-Hadid, Ayatul Kursi, an-Nur, as-Sajdah, al-Fatihah, al-Baqarah, Yasin, Jum'ah, al-Waqi'ah, at-Thariq, al-'Ala dan az-Zalzalah.
13. Huduts al-'?lam: penjelasan tentang hadis dan hadirnya alam materi.
14. Al-Hasyr: berisi penjelasan bahwa kebangkitan setelah hari kiamat berkaitan dengan semua makhluk bukan hanya manusia.
15. Al-Hikmat al-Arsyiyyah: Kitab ini merupakan kesimpulan kitab Asfar yang hanya memuat pikiran-pikiran Mulla Sadra.
16. Khalq al-'Amâl: membahas masalah jabr (keterpaksaan) dan ikhtiar (kebebasan) berdasarkan argumentasi rasional dan dukungan hadis-hadis Ahlulbait As.
17. Diwâne Sy'er: kumpulan syair-syair Mulla Sadra yang dikumpulkan oleh muridnya Mulla Muhsin Kasyani.
18. Zad al-Masafir wa Zad as-Sâlik: pembahasan khusus tentang ma'ad jasmani.
19. Sarayân Nur Wujud al-Haq fi al-Maujudat: risalah ini mengkaji rahasia kebersamaan Tuhan dengan makhluk.
20. Seh Asl: kitab ini menggambarkan kepada kita bagaimana sebagian ulama dan fuqaha menampakkan kebencian dan perlawanannya kepada filsuf dan 'arif, dan juga berisi nasihat-nasihat spiritual bagi para pesuluk ilmu dan amal.
21. Syar Ushul al-Kâfi: hanya menafsirkan bab-bab tauhid dan doktrin-doktrin aqidah lainnya dalam kumpulan hadis Syiah ini.
22. Syar Hidayat al-Asiriyyah: kitab ini menafsirkan pemikiran-pemikiran aliran filsafat peripatetik.
23. Asy-Syawâhid ar-Rububiyyah fi al-Manâhij as-Sulukiyyah: Kitab ini mengulas seluruh pikiran-pikiran Mulla Sadra secara luas atau hanya memuat dotrin-dotrin aliran filsafat muta'aliyyah.
24. Al-Qadha wa al-Qadr: risalah ini memuat penjelasan tentang arti qadha dan qadar, bagaimana hadirnya keburukan dalam qadha ilahi, faktor penting dalam ikhtiar dan pengaruh doa serta manfaat ketaatan kepada Tuhan.
25. Kasr Ashnam al-Jahiliyyah: Kitab ini ditulis mengkritik prilaku orang-orang yang mengaku sufi.
26. Al-Lamâ'at al-Masyriqiyyah fi al-Mubahats al-Manthiqiyyah: Kitab ini khusus membahas masalah-masalah logika.
27. Lammiyat ikhtishash al-manthaqat bi mawdi'a mu'ayyan min al-falak.
28. Al-mabda' wa al-ma'ad: Kitab ini membahas mulai dari tauhid sampai ilmu tentang alam akhirat.
29. Mutasyabih al-Quran: risalah ini mengkaji perkataan aliran-aliran yang bermacam dan juga kesimpulan pembahasan ayat kursi.
30. Al-Mizâj
31. Al-Masail al-Qudsiyyah: risalah ini memuat hukum-hukum tentang wujud dan wajib al-wujud, juga berisi tentang penetapan wujud pikiran dan beberapa pembahasan tentang akal dan tingkatan-tingkatannya.
32. Al-Masyâ'ir: Kitab ini berisi tentang pengertian wujud, hakikat wujud dan hal-hal partikular tentang wujud. Paling lengkapnya pembahasan tentang wujud dalam kitab ini.
33. Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrâr al-'Ulum al-Kamâliyah: Kitab ini mengulas tentang makrifat zat, sifat dan perbuatan Tuhan. Penetapan wujud Tuhan, ahadiyyat, wahidiyyat dan asma-asma Tuhan serta hari kemudian.
34. Mafatih al-Ghaib: paling baiknya kitab berkenaan dengan tafsir al-Quran.
35. Al-Waridat al-Qalbiyyah: kitab menjelaskan tentang penyingkapan irfani atas masalah ketuhanan, tingkatan alam besar dan alam kecil (manusia) serta pentingnya pensucian diri dan menjalani maqam-maqamnya.
36. Nomeh hoye Sadr al-mutaallihin: tentang surat-surat pujian Mulla Sadra kepada gurunya Mir Damad.
37. Ashalat j'al al-Wujud: risalah yang menguraikan tentang penciptaan wujud dan secara prinsipil bersandarnya ciptaan kepada wujud.

Hikmah Muta'aliyah.

Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Sadra memiliki pengertian khusus yaitu mengenal Tuhan, sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya.

Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang hikmah muta'aliyyah berkata: hakikat hikmah diperoleh dari ilmu laduni (hudhuri), jika seorang belum mencapai maqam ini maka tidak disebut hakim (seorang yang memiliki hikmah).

Hikmah Muta'aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.
Dalam kitab Asfar dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu sejalan satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai hakim atau filsuf ilahi. Syariat yang benar tidak mungkin bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu makrifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.

Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka akal harus dicahayai dengan syariat, karena hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan realitas luar maka merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau akal belum dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah mencapai ilmu huduri.
Menurut filsuf ini fiqih untuk mengarahkan amal perbuatan manusia, jika prilaku manusia terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran ilmu dan makrifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan makrifat manusia.

Dalam filsafat Mulla Sadra empat aliran berpikir - aliran peripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf - tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al-Muta'aliyah, aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas tapi pemikiran yang dihasilkannya sangat jauh berbeda. Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan dunia yang baru.

Aliran filsafat Mulla Sadra mampu menggabungkan antara dotrin Islam dengan pemikiran filsafat. Al-Quran dan hadis dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya filsafatnya sebuah kitab tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir al-Quran dan hadis bisa dinamakan sebuah kitab filsafat.[]

________________________________________
Catatan Kaki:
[1] . Dua tahun setelah kelahiran filsuf Descartes.
[2] . Beliau adalah salah seorang marja' besar di Najaf Asyraf Iraq, menulis banyak buku dalam bidang fiqih, Ushul fiqih, tafsir dan filsafat khususnya mendalami filsafat Mulla Shadra.
[3] . Nama lengkap kitab ini al-Hikmah al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Arba'ah al-Aqliyah. Karya yang terbesar dan terlengkap dalam membahas dotrin-dotrin filsafat dan kritik atas seluruh pemikiran-pemikiran filsuf lainnya serta mengungkapkan pemikirannya sendiri di akhir setiap pembahasan.
[4] . Kota suci Qom saat itu belum menjadi kota ilmu dan filsafat, di sini dikuburkan anak perempuan Imam Syiah yang ketujuh (Imam Musa Kazim As) dan saudara perempuan Imam Syiah kedelapan (Imam Ridha As) bernama Sayyidah Ma'shumah.
[5] . Mukasyafah dan musyahadah dari sisi arti sangatlah dekat, dengan perbedaan bahwa mukasyafah lebih sempurna dari musyahadah. Mukasyaafah yaitu jiwa manusia sampai pada tingkat dimana hakikat-hakikat batin dan perkara-perkara akal tersingkap baginya tanpa berpikir dan berkehendak.

Terkait Berita: