Oleh: M. Adlani.
Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars. Di
zaman Mulla Sadra, pemerintah Iran di bawah kekuasaan keturunan
Shafawiyan yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars,
saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah
ayah Mulla Sadra.
Ayah Mulla Sadra -Khajah Ibrahim Qiwami- seorang negarawan yang cerdas
dan mukmin serta memiliki kekayaan yang melimpah dan kedudukannya yang
mulia lagi terhormat, namun setelah menunggu bertahun-tahun ia baru
dianugerahkan seorang putra yang diberi nama Muhammad (Sadruddin) dan
sehari-hari dipanggil Sadra, setelah dia dewasa kemudian digelari mulla
yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya
menjadi Mulla Sadra.
Sadruddin Muhammad (Sadra), merupakan anak tunggal seorang menteri raja
yang menguasai wilayah luas Pars, hidup di lingkungan yang religius,
terhormat dan mulia. Biasanya untuk anak-anak yang tinggal di lingkungan
istana pada saat itu mereka diajar oleh guru privat di rumah mereka
sendiri. Sadra seorang anak yang cerdas, semangat dan rajin belajar,
dalam waktu yang singkat dia menguasai seluruh pelajaran yang diajarkan
seperti, tata-bahasa Persia, Arab, seni dan tulisan indah.
Pelajaran-pelajaran lain yang juga diperlajari misalnya, Fiqih, Logika
dan Filsafat, tetapi Sadra yang belum balig waktu lebih condong ke
Filsafat dan terkhusus dalam bidang Irfan. Hal ini dapat dilihat dari
diarynya yang banyak tertulis syair-syair irfani berbahasa parsi dari
Jalaluddin Maulawi, Araqi dan Attar.
Sebagian dari pelajaran di atas ia pelajari di kota Syiraz dan sebagian
lagi dipelajari sewaktu berumur enam tahun di Qazwin. Di sana ia belajar
dengan banyak guru dalam bidang yang beragam dan menyelesaikannya
dengan cepat mulai dari pelajaran tingkat pertama, menengah sampai
tingkat tinggi.
Mulla Sadra selama DI Qazwin bertemu dengan guru-guru besar seperti
Syaikh Bahauddin Amili Ra dan Mir Damad Ra dan kemudian menuntut ilmu
dari mereka. Dalam waktu yang cepat, dengan kecerdasan yang dimilikinya,
ia dapat menguasai pelajaran dengan sempurna dan menjadi murid yang
paling dihormati dan dicintai oleh kedua gurunya.
Dengan berpindahnya ibukota Shafawiyyah dari Qazwin ke Ishfahan (tahun
1006 H atau 1598 M)[1] Syaikh Bahauddin dan Mir Damad beserta muridnya
juga hijrah ke kota tersebut dan meluaskan pengajarannya di sana. Pada
masa itu, Mulla Sadra berusia 27 tahun dan secara resmi telah menamatkan
semua pelajarannya.
Tidak diketahui secara pasti selama berapa tahun ia menetap di Ishfahan
dan setelah itu ia ke kota mana. Kemungkinan besar setelah tahun 1010 H
atau 1602 M ia hijrah dari Ishfahan ke kotanya Syiraz untuk mengurusi
warisan kekayaan ayahnya, sebagian hartanya diberikan ke fakir miskin
dan beberapa bagian diwakafkan untuk kepentingan umum di Syiraz.
Muhammad Ibrahim bin Yahya Qiwami Syirazi yang digelar Sadr
al-Mutaallihin dan lebih dikenal sebagai Mulla Sadra adalah salah
seorang filsuf ilahi terbesar dan teragung yang mewarisi secara sempurna
filsafat Islam dan pendiri aliran baru dalam filsafat Islam yang
dinamakan al-Hikmah al-Muta'aliyah yang terus berpengaruh hingga saat
ini.
Syaikh Muhammad Husain Garawi Isfahani Ra[2] bertutur ihwal Mulla Sadra:
Jika ada orang yang mengetahui sempurna rahasia kitab Asfar[3] maka
saya akan berguru kepadanya walaupun ke negeri Cina.
Mulla Sadra seorang filsuf yang sederajat dengan filsuf Abu Nasir
Farabi, Ibnu Sina, Syaikh Isyraq Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu
Rusd, Ibnu Miskawai dan lain sebagainya. Juga penafsir serta penyempurna
filsafat-filsafat Islam sebelumnya, dalam ilmu Irfan iapun sederajat
dengan para urafa seperti Ibnu Arabi.
Dalam kehidupannya ia berupaya jauh dari kehidupan mewah dan tidak
mengejar kekuasaan dan tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat awam.
Pada tahun 1039 H atau 1631 dia ke desa kecil bernama Kahak yang
terletak di dekat kota suci Qum dan menggunakan banyak waktunya untuk
pensucian diri, tafakkur tentang hakikat-halikat segala sesuatu dan
beribadah kepada Tuhan. Ia meninggalkan desa tersebut dan kembali lagi
ke Syiraz pada tahun 1040 H atau 1632.
Mulla Sadra berkeyakinan untuk sampai kepada kesempurnaan makrifat Tuhan
(tauhid) dan ilmu akhirat (eskatologi) maka seseorang harus mutlak
meninggalkan dunia, syahwat dan cinta pada kekuasaan disertai dengan
kecerdasan akal, ketajaman fitrah dan kesucian jiwa.
Lebih lanjut dia berkata bahwa seseorang yang tidak sampai pada derajat
mukasyafah (penyingkapan) dalam memahami hakikat-hakikat segala sesuatu
maka secara hakiki tidak bisa disebut sebagai hakim. Dia katakan bahwa
hukum-hukum syariat sesuai dengan ilmu makrifat (filsafat ilahi dan
irfan) dan tidak bertentangan satu sama lain.
Kata Mulla Sadra orang yang tidak ingin menapaki jalan spritual (suluk)
dan tidak istiqamah dalam meraih mukasyafah atas apa yang telah
diargumentasikan tidak akan mendapatkan manfaat dalam menghayati secara
serius ayat-ayat al-Quran dan sebaiknya orang tersebut tidak
mempelajari dan mendalami karya-karyanya. Orang seperti ini sebaiknya
mempelajari ilmu-ilmu lahiriah seperti ilmu Bahasa, Sejarah, ilmu Ushul,
ilmu Fiqih dan ilmu Hadis. Menurutnya sebagian besar masyarakat haram
memperlajari ilmu makrifat ini karena kesulitan yang sangat dalam
meraihnya dan mencapainya dibutuhkan niat suci, cita-cita yang tinggi,
keinginan yang membaja dan taufik dari Tuhan.
Ilmu makrifat dipelajari hanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, jika
tidak maka dia tidak akan mungkin sampai pada hakikat ilmu tersebut,
bahkan sebaliknya akan menjauhkannya dari jalan yang lurus dan tujuan
suci. Seorang filsuf yang bijaksana tidak boleh mengajarkan dan
mewariskan ilmu itu kepada orang seperti ini.
Kelahiran dan wafat
Mulla Sadra lahir pada tahun 979 H atau 1571 M di kota Syiraz. Ayah
Mulla Sadra khajah Ibrahim Yahya Qiwami Syirazi anak dari Qiwamuddin
Muhammad seorang wakil raja dari keturunan Muzaffar.
Syiraz saat itu merupakan kota yang paling tenang dan paling indah di
bawah kekuasaan raja Muhammad Mirza Khudo Bandeh (saudara Syah Ismail
kedua) dari keturunan Shafawiyah, raja ini sangat mendukung penyebaran
agama dan mencintai ilmu, ayah Mulla Shadra bekerja di kerajaan tersebut
dan dihormati masyarakat karena budi-baiknya.
Syaikh Abdullah Zanjani dalam salah satu karyanya menulis kisah tentang
Mulla Sadra, dikisahkan suatu hari ayahnya pergi dan melimpahkan satu
pekerjaan kepadanya, setelah kembali dari safar ia meminta laporan
pertanggungjawaban keuangan selama ditinggal, dalam laporannya tertulis
ada sejumlah besar uang disumbangkan kepada orang fakir, jumlah uang
yang disumbangkan tersebut setara dengan jumlah uang yang dinazarkan
ayahnya kepada Tuhan ketika memohon seorang anak. Ketika ayahnya
menanyakan alasan penggunaan uang sebanyak itu Mulla Sadra menjawab
bahwa uang itu adalah uang nazar yang mesti dibayarkan. Ia sangat
terperanjat mendengar jawaban anaknya karena hal itu tidak pernah
disampaikan kepadanya.
Mulla Sadra dilahirkan di zaman dimana cahaya filsafat redup dan tiada
pendukungnya, Tuhan Yang Maha Bijaksana kemudian memilih hamba-Nya dan
mengutus untuk menyempurnakan dan menyebarkan ilmu tersebut setelah
sebelumnya mengutus secara bertahap filsuf-filsuf untuk menyiapkan lahan
demi menerima hakikat-hakikat yang lebih tinggi.
Filsuf Ilahi ini meninggal tahun 1050 H atau 1640 M di kota Bashrah
dalam perjalanannya yang ketujuh ke Mekkah dengan berjalan kaki. Filsuf
Sayyid Abul Hasan al-Qazwini Ra berkata: empat puluh tahun yang lalu
saya bertanya tentang kuburan Mulla Sadra kepada salah seorang Arab yang
tinggal di Najaf Asyraf Iraq yang sering ke kota Bashrah Iraq, orang
Arab tersebut menjawab di kota Bashrah ada kuburan yang dikenal dengan
kuburan Mulla Sadra Syirazi, tapi peneliti sejarah tidak pernah
menemukan tanda-tanda kuburan filsuf tersebut mungkin karena pengaruh
perubahan tata letak kota mengakibatkan kuburan tersebut hancur, wallahu
a'lam bihaqayikil umur.
Guru-guru Mulla Sadra.
Mulla Sadra belajar di Qazwin kepada Syaikh Bahauddin Amili Ra dan Mir
damad Ra, setelah ibukota berpindah dari Qazwin ke Ishfahan pada tahun
1006 H atau 1596 M iapun hijrah bersama kedua gurunya ke kota tersebut
dan menyelesaikan pelajaran tertingginya seperti Logika, Filsafat dan
Irfan di sana. Mulla Sadra banyak sekali mengambil manfaat dari kedua
gurunya tersebut.
1. Syaikh Bahauddin Amili.
Syaikh Bahauddin (953 - 1030 H) walaupun bukan guru pertama Mulla Sadra
tetapi merupakan guru yang paling penting dan berpengaruh dalam
membentuk kepribadiannya hingga mencapai kesempurnaan akhlak dan ilmu.
Dia adalah anak dari salah seorang fuqaha Libanon bernama Syaikh Husain
bin Abd ash-Shamad Amili Ra. Kota Jabal Amil salah satu kota yang
terletak di selatan dan penduduknya mayoritas Syiah, saat itu di bawah
kekuasaan pemerintah Jabbar Usmani yang menyiksa dan membunuh banyak
ulama-ulama Syiah, sehingga sebagian ulama-ulama hijrah dan berlindung
di bawah pemerintahan Iran Shafawi. Syaikh Bahauddin yang saat itu
berumur tujuh tahun bersama ayahnya juga hijrah ke Iran. Ayahnya sebagai
Syaikh al-Islam dan menjadi wakil ruhani di kota Harat Khurosan dan
Syaikh belajar dan menyelesaikan studinya di Iran kemudian dengan cepat
menjadi seorang ulama yang terkenal.
Syaikh menguasai berbagai cabang ilmu seperti Fiqih, Hadis, Tafsir, Adabiyat, Matematika dan Astronomi.
2. Mir Damad.
Mir Muhammad Baqir Husaini yang dikenal dengan Mir Damad adalah salah
seorang ulama terbesar di zamannya dan guru terkenal yang mengajarkan
filsafat peripatetik (masyai), filsafat iluminasi (isyraqi), Irfan,
Fiqih dan ilmu keislaman. Ayahnya juga seorang faqih dari Istarabad
(sekarang Gurgon), di masa muda Mir Damad belajar di Madrasah Khurasan
setelah itu menjadi menantu ulama terkenal dari Libanon Syaikh Ali
Karaky yang di kenal sebagai Muhaqqiq kedua dan penasihat agung raja
Shafawi, karena ia menjadi menantu ulama tersebut maka gelar Damad yang
artinya menantu melekat padanya.
Ia dilahirkan di Khurasan tahun 969 H atau 1562 M, dan menghabiskan masa
remajanya di Masyhad ibukota Khurasan. Dia sangat cerdas dan cepat
menamatkan semua pelajaaran dasar kemudian berangkat ke Qazwin (saat itu
ibukota Pars) untuk menyempurnakan ilmunya. Semua tingkatan keilmuan
dilalui dengan sempurna dan menjadi seorang ulama dan guru yang
terkenal.
Mulla Sadra semasa remaja bersama ayahnya ke Qazwin bertemu dengan Mir
Damad dan menjadi muridnya. Pada tahun 1006 H atau 1596 M ibukota Pars
berpindah dari Qazwin ke Ishfahan maka Mir Damad pun memindahkan
pengajarannya ke sana. Mulla Sadra banyak mengambil manfaat dari gurunya
dan menguasai secara sempurna ilmu yang dimilikinya, ialah pewaris ilmu
gurunya. Mulla Sadra sangat menghormati dan mencintai gurunya
sedemikian hingga hubungan dengan gurunya sangatlah erat dan tak
terputus.
Mir Damad pada tahun 1041 H atau 1631 M meninggal karena sakit dalam perjalanannya ke Iraq.
Tiga tahapan kehidupan Mulla Sadra.
Kehidupan Mulla Sadra dibagi dalam tiga tahapan:
Tahapan pertama: masa menuntut ilmu dan mengkaji
berbagai pemikiran-pemikiran Filsafat dan Irfan (tasawuf). Di masa ini
juga pemikiran kedua gurunya -Mir Damad dan Syaikh Bahauddin- masih
berpengaruh kuat pada dirinya.
Tahapan kedua: Karena tekanan dan prilaku yang buruk
dari orang-orang yang hasad atas kemajuan ilmunya begitu juga dari orang
yang benci karena pemikiran-pemikiran barunya yang banyak bertentangan
dengan pemikiran ulama dan fuqaha saat itu dia kemudian meninggalkan
Syiraz tahun 1039 H atau 1631 M dan mengasingkan dirinya ke desa Kahak
dekat dengan kota suci Qum[4].
Di tempat kudus ini, ia melakukan pensucian diri dengan berkonsentrasi
pada peribadatan, puasa dan riyadhah (olah batin). Ia menjalani dengan
cepat tingkatan-tingkatan suluk irfani hingga sampai pada derajat
spiritual tertinggi dan mukasyafah. Pada tahun 1040 H atau 1632 M
kembali ke Syiraz.
Tahapan ketiga: masa menulis, mengajar dan mendidik.
Masa ini merupakan hasil dari dua tahapan tersebut. Di masa ini ia
menulis kitab Asfar dan karya-karya lainnya yang ditulis pada tahapan
pertama kehidupannya merupakan sumber-sumber untuk penulisan kitab
Asfar. Mulla Sadra kembali mengajar setelah menyelesaikan secara
sempurna sair wa suluk (tangga-tangga perjalanan spiritual) dan telah
tersingkap baginya hakikat-hakikat Islam, dengan perbedaan bahwa
pengajaran beliau kali ini dengan ilmu syuhudi (intuisi) disertai hadis
dari Rasul Saw dan Ahlulbait As. Karena penafsiran-penafsiran beliau
berdasarkan kedua sumber tersebut - ilmu syuhudi dan hadis - tidak
sesuai dengan apa yang dipahami secara umum oleh banyak ulama dan
fuqaha, akhirnya membangkitkan kebencian dan kemarahan mereka yang
berujung pada pengkafiran (tafkir) dirinya dan pengharaman membaca
karya-karyanya.
Mulla Sadra setelah melewati ketiga tahapan tersebut berkata:
Segala hal yang mengantarkan kami kepada inayah (perhatian) dan hidayah
Tuhan serta pengetahuan rahasia tauhid dan alam akhirat, saya
berkeyakinan bahwa tak satupun pengikut filsafat peripatetik selain
Aritoteles sampai kepada derajat pengetahuan tersebut dan juga saya
yakin tak satupun para sufi yang sampai pada mukasyafah (penyingkapan)
irfani mampu mengargumentasikan segala hal yang didapati dari
mukasyafah[5].
Putra-putri Mulla Sadra.
Kemungkinan besar Mulla Sadra menikah diumur 40 tahun dan dianugerahkan
lima anak dua laki-laki dan tiga perempuan anak, berikut ini nama dan
tahun kelahiran mereka:
1. Ummu Kulsum lahir tahun 1019 H/1609 M
2. Ibrahim lahir tahun 1021H/1611 M
3. Zubaidah lahir tahun 1024 H/1614 M
4. Nizamuddin Ahmad lahir tahun 1031 H/1621 M
5. Ma'shumah lahir tahu 1033 H/1623 M
Murid-murid Mulla Sadra.
Pada tahapan ketiga kehidupan Mulla Sadra dikatakan bahwa dia kembali
mengajar dan mendidik murid-muridnya di madrasah Syiraz yang bernama
Khan di bangun pada zaman pemerintahan Syah Abbas Shafawi.
Di madrasah inilah dihasilkan banyak murid-muridnya yang ternama dan
kemudian menjadi filsuf terkenal, di bawah ini kami hanya menyebutkan
murid-muridnya yang memiliki karya-karya yang banyak, seperti:
1. Mulla Muhsin Faidh Kasyani, menikah dengan Zubaidah anak ketiga Mulla Sadra
2. Mulla Abdurazzaq Lahiji yang di gelari Fayyadh, menikah dengan Ummu Kulsum anak pertama Mulla Sadra.
3. Mirza Syarafuddin Abu Ali Ibrahim, anak kedua Mulla Sadra
4. Nizamuddin Ahmad, anak keempat Mulla Sadra
5. Syaikh Husain Tankabi
6. Syah Abul Wali Syiraz
7. Mulla Muhammad Irwani
8. Muhammad bin Ridha bin Ogho Jani
Karya-karya Mulla Sadra.
1. Al-Hikmah al-Muta'âliyah fi al-Asfar al-Arba'ah: kitab ini adalah
magnum opusnya dan induk dari semua karya-karyanya serta paling
lengkapnya pembahasan filsafat dari seorang filsuf. Kitab ini terbagi
dalam empat perjalanan: perjalanan dari makhluk ke Tuhan, perjalanan
dari Tuhan ke Tuhan bersama Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke makhluk
bersama Tuhan, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan.
2. Ittihâd al-?qil wa al-Ma'qul: risalah ini merupakan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan khusus yang ada di kitab Asfar.
3. Ittishâf al-Mahiyat bi al-Wujud: risalah ini menjelasakan tentang
bagaimana hubungan kesatuan antara esensi (mahiyat) dengan eksistensi
(wujud).
4. Ajwibatu al-Masail: kandungan risalah ini tentang penjelasan
kekuasaan Tuhan, substansi, pengertian aksiden dan masalah-masalah
komposisi dan terbentuknya materi dan jawaban Mulla Sadra atas
pertanyaan yang ditujukan kepada filsuf Nashruddin Thusi dari seseorang
tapi tidak terjawab, pertanyaan tersebut berkisar: gerak merupakan sebab
dari waktu, penciptaan jiwa manusia, bagaimana terpancarnya kejamakan
dari ketunggalan wujud..
5. Ajwibatul al-Masâil an-Nashiriyat: berisi lima persoalan antara lain:
pertanyaan tentang gerak, tentang jiwa nabati, bagaimana hadirnya
gambaran sesuatu dalam pikiran, perbedaan pengindraan hewan dan manusia,
penciptaan jiwa setelah kematian.
6. Asrar al-Ayat wa Anwâr al-Bayyinat: Kitab ini membahas tentang
ilmu-ilmu Ketuhanan, perbuatan ilahi dan ilmu tentang alam akhirat.
7. Aksirul 'Arifin: tentang makrifat-makrifat yang tinggi, membahas tentang pembagian ilmu-ilmu dan makrifat nafs (ilmu jiwa).
8. At-Tasyakhkhush: berisi tiga bab tentang pembahasan umum wujud.
9. At-Tasawwur wa at-Tashdiq: berhubungan dengan pembahasan logika tapi
khusus mengupas masalah-masalah tolok ukur kebenaran pemahaman manusia.
10. Ta'liqât 'ala al-Hikmat al-Isyrâq: catatan-catatan kaki Mulla Sadra atas buku Syaikh Isyraq Suhrawardi.
11. Ta'liqât 'ala al-Ilahiyyat as-Syifa: berisi penjelasan, tafsir dan kritik atas kitab Syifa Ibnu Sina.
12. At-tafsir al-Quran: berisi tafsiran dan penjelasan beberapa surah
dari al-Quran, antara lain: al-Hadid, Ayatul Kursi, an-Nur, as-Sajdah,
al-Fatihah, al-Baqarah, Yasin, Jum'ah, al-Waqi'ah, at-Thariq, al-'Ala
dan az-Zalzalah.
13. Huduts al-'?lam: penjelasan tentang hadis dan hadirnya alam materi.
14. Al-Hasyr: berisi penjelasan bahwa kebangkitan setelah hari kiamat berkaitan dengan semua makhluk bukan hanya manusia.
15. Al-Hikmat al-Arsyiyyah: Kitab ini merupakan kesimpulan kitab Asfar yang hanya memuat pikiran-pikiran Mulla Sadra.
16. Khalq al-'Amâl: membahas masalah jabr (keterpaksaan) dan ikhtiar
(kebebasan) berdasarkan argumentasi rasional dan dukungan hadis-hadis
Ahlulbait As.
17. Diwâne Sy'er: kumpulan syair-syair Mulla Sadra yang dikumpulkan oleh muridnya Mulla Muhsin Kasyani.
18. Zad al-Masafir wa Zad as-Sâlik: pembahasan khusus tentang ma'ad jasmani.
19. Sarayân Nur Wujud al-Haq fi al-Maujudat: risalah ini mengkaji rahasia kebersamaan Tuhan dengan makhluk.
20. Seh Asl: kitab ini menggambarkan kepada kita bagaimana sebagian
ulama dan fuqaha menampakkan kebencian dan perlawanannya kepada filsuf
dan 'arif, dan juga berisi nasihat-nasihat spiritual bagi para pesuluk
ilmu dan amal.
21. Syar Ushul al-Kâfi: hanya menafsirkan bab-bab tauhid dan doktrin-doktrin aqidah lainnya dalam kumpulan hadis Syiah ini.
22. Syar Hidayat al-Asiriyyah: kitab ini menafsirkan pemikiran-pemikiran aliran filsafat peripatetik.
23. Asy-Syawâhid ar-Rububiyyah fi al-Manâhij as-Sulukiyyah: Kitab ini
mengulas seluruh pikiran-pikiran Mulla Sadra secara luas atau hanya
memuat dotrin-dotrin aliran filsafat muta'aliyyah.
24. Al-Qadha wa al-Qadr: risalah ini memuat penjelasan tentang arti
qadha dan qadar, bagaimana hadirnya keburukan dalam qadha ilahi, faktor
penting dalam ikhtiar dan pengaruh doa serta manfaat ketaatan kepada
Tuhan.
25. Kasr Ashnam al-Jahiliyyah: Kitab ini ditulis mengkritik prilaku orang-orang yang mengaku sufi.
26. Al-Lamâ'at al-Masyriqiyyah fi al-Mubahats al-Manthiqiyyah: Kitab ini khusus membahas masalah-masalah logika.
27. Lammiyat ikhtishash al-manthaqat bi mawdi'a mu'ayyan min al-falak.
28. Al-mabda' wa al-ma'ad: Kitab ini membahas mulai dari tauhid sampai ilmu tentang alam akhirat.
29. Mutasyabih al-Quran: risalah ini mengkaji perkataan aliran-aliran yang bermacam dan juga kesimpulan pembahasan ayat kursi.
30. Al-Mizâj
31. Al-Masail al-Qudsiyyah: risalah ini memuat hukum-hukum tentang wujud
dan wajib al-wujud, juga berisi tentang penetapan wujud pikiran dan
beberapa pembahasan tentang akal dan tingkatan-tingkatannya.
32. Al-Masyâ'ir: Kitab ini berisi tentang pengertian wujud, hakikat
wujud dan hal-hal partikular tentang wujud. Paling lengkapnya pembahasan
tentang wujud dalam kitab ini.
33. Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrâr al-'Ulum al-Kamâliyah: Kitab ini
mengulas tentang makrifat zat, sifat dan perbuatan Tuhan. Penetapan
wujud Tuhan, ahadiyyat, wahidiyyat dan asma-asma Tuhan serta hari
kemudian.
34. Mafatih al-Ghaib: paling baiknya kitab berkenaan dengan tafsir al-Quran.
35. Al-Waridat al-Qalbiyyah: kitab menjelaskan tentang penyingkapan
irfani atas masalah ketuhanan, tingkatan alam besar dan alam kecil
(manusia) serta pentingnya pensucian diri dan menjalani maqam-maqamnya.
36. Nomeh hoye Sadr al-mutaallihin: tentang surat-surat pujian Mulla Sadra kepada gurunya Mir Damad.
37. Ashalat j'al al-Wujud: risalah yang menguraikan tentang penciptaan
wujud dan secara prinsipil bersandarnya ciptaan kepada wujud.
Hikmah Muta'aliyah.
Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Sadra memiliki pengertian
khusus yaitu mengenal Tuhan, sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya.
Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang hikmah muta'aliyyah berkata:
hakikat hikmah diperoleh dari ilmu laduni (hudhuri), jika seorang belum
mencapai maqam ini maka tidak disebut hakim (seorang yang memiliki
hikmah).
Hikmah Muta'aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu:
argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis
Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.
Dalam kitab Asfar dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu
sejalan satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak
mengikuti para nabi dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan
tidak disebut sebagai hakim atau filsuf ilahi. Syariat yang benar tidak
mungkin bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya
memiliki tujuan yang sama yaitu makrifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.
Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka akal harus dicahayai
dengan syariat, karena hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal
jika belum menyatu dengan realitas luar maka merupakan hijab untuk
mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau akal belum
dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli
tidak akan pernah mencapai ilmu huduri.
Menurut filsuf ini fiqih untuk mengarahkan amal perbuatan manusia, jika
prilaku manusia terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima
pancaran ilmu dan makrifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan
pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan makrifat manusia.
Dalam filsafat Mulla Sadra empat aliran berpikir - aliran peripatetik,
iluminasi, kalam dan tasawuf - tergabung secara sempurna dan melahirkan
aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al-Muta'aliyah, aliran filsafat
ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas tapi
pemikiran yang dihasilkannya sangat jauh berbeda. Karenanya aliran
filsafat ini dikatakan sebagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah
pandangan dunia yang baru.
Aliran filsafat Mulla Sadra mampu menggabungkan antara dotrin Islam
dengan pemikiran filsafat. Al-Quran dan hadis dijadikan tumpuan dan
sumber ilham untuk menyelesaikan setiap persoalan dan pembahasan yang
rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki
oleh aliran-aliran filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut
menjadikan karya-karya filsafatnya sebuah kitab tafsir agama dan begitu
juga sebaliknya kitab tafsir al-Quran dan hadis bisa dinamakan sebuah
kitab filsafat.[]
________________________________________
Catatan Kaki:
[1] . Dua tahun setelah kelahiran filsuf Descartes.
[2] . Beliau adalah salah seorang marja' besar di Najaf Asyraf Iraq,
menulis banyak buku dalam bidang fiqih, Ushul fiqih, tafsir dan filsafat
khususnya mendalami filsafat Mulla Shadra.
[3] . Nama lengkap kitab ini al-Hikmah al-Muta'aliyah fi al-Asfar
al-Arba'ah al-Aqliyah. Karya yang terbesar dan terlengkap dalam membahas
dotrin-dotrin filsafat dan kritik atas seluruh pemikiran-pemikiran
filsuf lainnya serta mengungkapkan pemikirannya sendiri di akhir setiap
pembahasan.
[4] . Kota suci Qom saat itu belum menjadi kota ilmu dan filsafat, di
sini dikuburkan anak perempuan Imam Syiah yang ketujuh (Imam Musa Kazim
As) dan saudara perempuan Imam Syiah kedelapan (Imam Ridha As) bernama
Sayyidah Ma'shumah.
[5] . Mukasyafah dan musyahadah dari sisi arti sangatlah dekat, dengan
perbedaan bahwa mukasyafah lebih sempurna dari musyahadah. Mukasyaafah
yaitu jiwa manusia sampai pada tingkat dimana hakikat-hakikat batin dan
perkara-perkara akal tersingkap baginya tanpa berpikir dan berkehendak.