Hal
yang menarik adalah berbeda dengan apa yang biasa terjadi dan
berdasarkan apa yang ditemukan dalam karya-karyanya, Mulla Shadra tidak
pernah menghadiahi penguasa dengan karya-karyanya. Ia bahkan tidak
pernah memberikan ruang untuk memuji penguasa waktu itu. Apa yang
terjadi pada zaman Mulla Shadra, pada masa Imam Khomeini terjadi
perubahan di mana institusi marja’iyah telah kokoh dan Imam Khomeini
sebagai seorang ahli fiqih sekaligus penafsir filsafat Hikmah
Muta’aliyah berhasil menduduki lembaga ini.
Mencari celah Kekhususan dan Perbedaan dalam filsafat Hikmah Muta’aliyah
Shadrulmutaallihin
yang biasa dikenal dengan Mulla Shadra dan Imam Khomeini dapat disebut
sebagai dua tokoh besar aliran filsafat Hikmah Muta’aliyah. Mulla Shadra
adalah pengasas filsafat Hikmah Muta’aliyah, sementara Imam Khomeini
adalah pengajar dan penafsir Hikmah Muta’aliyah.Keduanya memiliki titik-titik persamaan yang sangat banyak. Salah satunya adalah mereka berdua menggunakan burhan dalam mengargumentasikan pandangannya, mereka terbuka dalam masalah irfan dan isyraq dan di sisi lain keduanya sangat dekat dengan teologi dan al-Quran. Kedua-duanya juga mengenal dengan baik tafsir dan fiqih, bahkan mereka adalah tokoh fiqih.
Selain memiliki titik-titik persamaan dalam pemikiran, terutama kemampuan keduanya dalam bermacam-macam ilmu, pada tataran praktis keduanya berbeda. Hal ini akan semakin terlihat jelas dalam upaya keduanya memanfaatkan dengan luas fiqih dan kefaqihan, kedudukan pada posisi marja Syiah dalam mengeluarkan fatwa, perlawanan menghadapi penguasa dan mengupayakan untuk mendirikan sebuah negara.
Berdasarkan penjelasan di atas, salah satu perbedaan mendasar yang dimiliki keduanya adalah keberlangsungan filsafat dari satu sisi dan keharmonisannya dengan fiqih dari sisi lain. Imam Khomeini yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan Haji Agha Ruhullah berbeda dengan Mulla Shadra yang seluruh masa hidupnya dihabiskan untuk belajar, menulis dan mengajarkan filsafat. Setelah melewati usia empat puluh, ia secara resmi memutuskan dirinya dengan filsafat.[1]
Terakhir kali Ruhullah mengajar filsafat Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra pada akhir dekade dua puluhan hijriah syamsiah. Mulai dekade tiga puluhan hijriah syamsiah ia tidak lagi mengajar dan menulis karya-karya irfan atau filsafat. Kelihatannya sebelum itu juga Imam tidak memiliki karya-karya filsafat, selain karya-karya dalam ilmu usul fiqih, akhlak dan irfan[2]yang terkadang masih ditemukan pembahasan filsafat di sana.[3]
Kebanyakan murid-murid Haji Agha Ruhullah yang menimba ilmu bersamanya mulai dari dekade tiga puluhan tidak begitu tahu bahwa ia pernah mengajar filsafat.[4]
Pada dekade tiga puluhan, Imam lebih banyak memberikan perhatian untuk mengajar fiqih dan usul fiqih, sebagaimana yang biasa dilakukan di hauzah ilmiah. Perhatian ini akhirnya menghantarkannya menjadi salah seorang pengajar yang disegani dalam ilmu fiqih. Sebagaimana kepopulerannya sebelumnya dalam irfan dan akhlak. Karya-karya fiqih dan usul fikihnya sebagian besar ditulis dan diterbitkan dalam periode ini tanpa banyak menyinggung masalah irfan dan filsafat.[5]
Di lain pihak, Mulla Shadra hingga akhir masa hidupnya belajar dan mengajar filsafat, selain perhatiannya kepada seluruh ilmu yang ada pada masa itu. Ia mengajar filsafat di Syiraz. Syiraz tempat ia dilahirkan, merupakan salah satu pusat pengajaran filsafat yang paling populer. Sekalipun Mulla Shadra memiliki kecakapan dalam bidang ilmu fiqih, namun sampai akhir hayatnya ia hanya mengajar filsafat.
Dengan ini ia berhasil menghasilkan karya besar dan mampu mendidik murid-murid yang kelak menjadi tokoh-tokoh pemikir filsafat. Apa yang dilakukan oleh Imam Khomeini pada dekade tiga puluhan adalah memperkuat fondasi yang pada satu dekade ke depan ia menjadi seorang ahli faqih terkenal dan disegani, bahkan pada dekade empat puluhan inilah ia dipercaya sebagai seorang marja. Setelah dekade empat puluhan, Imam Khomeini mengambil jalan yang berbeda dari Mulla Shadra dalam masalah marja’iyah. Banyak dari orang Syiah baik di dalam negeri Iran dan di luar negeri mengikuti fatwa-fatwa fiqihnya. Pada tahun-tahun ini banyak dari murid-muridnya belajar fiqih kepadanya.
Pada saat yang sama, bila Mulla Shadra ingin memasuki bidang kemarja’iyahan, ia tentu tidak akan diterima seperti apa yang dialami oleh Imam Khomeini. Satu hal yang perlu diperhatikan, institusi bernama marja’iyah merupakan sebuah lembaga yang baru muncul terakhir ini, karena pada periode Mulla Shadra di Syiraz posisi ini lebih menjadi hak penguasa yang diberikan kepada para ulama. Dan sejarah mencatat, hubungan antara Mulla Shadra dengan penguasa waktu itu tidak begitu baik, sekalipun ada yang mengatakan bahwa ia sendiri merupakan keturunan raja.
Dukungan dari pihak penguasa bisa didapatkannya dengan hubungan yang ada ini, namun ia tidak pernah berupaya untuk mendapat perhatian penguasa agar mendapatkan posisi ini. Hal yang menarik adalah berbeda dengan apa yang biasa terjadi dan berdasarkan apa yang ditemukan dalam karya-karyanya, Mulla Shadra tidak pernah menghadiahi penguasa dengan karya-karyanya. Ia bahkan tidak pernah memberikan ruang untuk memuji penguasa waktu itu. Apa yang terjadi pada zaman Mulla Shadra, pada masa Imam Khomeini terjadi perubahan di mana institusi marja’iyah telah kokoh dan Imam Khomeini sebagai seorang ahli fiqih sekaligus penafsir filsafat Hikmah Muta’aliyah berhasil menduduki lembaga ini.
Pada akhirnya, perbedaan paling signifikan antara dua filsuf Hikmah Muta’aliyah ini adalah Imam Khomeini berhasil meruntuhkan kekuasaan Syah Pahlevi dan kehadirannya dalam lembaga negara sebagai pemimpin puncak merupakan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Mulla Shadra. Bila Mulla Shadra mempunyai mimpi yang seperti itu pun, maka hal itu baginya semacam mimpi yang tidak mungkin dapat dilakukannya dan tidak dapat diraihnya. Bahkan dalam sejarah hidupnya, Mulla Shadra tidak pernah melakukan gerakan yang mengarah pada kekuasaan.
Kelihatannya kondisi pada waktu itu juga tidak menunjang untuk melakukan itu, kondisi berbeda yang dimiliki oleh Imam Khomeini. Kondisi pada zaman Mulla Shadra belum siap untuk melakukan gerakan seperti itu dan akhirnya kondisi pada waktu itulah yang banyak mempengaruhi Mulla Shadra sendiri. Sekalipun demikian, dapat dikatakan bahwa Imam Khomeini menduduki puncak kekuasaan di Iran berlandaskan prinsip-prinsip filsafat Hikmah Muta’aliyah yang digagas oleh Mulla Shadra.
Dari sini dapat dipahami bahwa meskipun kedua filsuf ini berbeda dalam upaya mengubah dan menjatuhkan penguasa dan sistem politik yang ada, namun tidak boleh dilupakan bahwa Mulla Shadra secara sadar atau tidak telah menyiapkan sebuah sistem filsafat yang pada empat abad setelahnya lewat salah seorang pengikut dan pensyarah filsafat yang digagasnya berhasil mengantarkan puncak filsafat ini pada sebuah sistem politik. Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Mulla Shadra sebelumnya.
Mulla Shadra menghadapi ulama literal di zamannya yang memaksanya menulis sebuah risalah khusus dalam masalah ini, namun ia tidak pernah secara langsung menghadapi penguasa secara terang-terangan. Ia berhasil membangun konsep filsafatnya tanpa mendapatkan rintangan dari penguasa waktu itu yang belakangan dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah yang pada akhirnya berhasil mencabut akar sistem kerajaan. Ala kulli hal, perbedaan penting antara Imam Khomeini dan Mulla Shadra berada pada bentuk sikap keduanya dalam menghadapi kekuasaan dan penguasa pada zamannya. Ketika Imam Khomeini merasa bahwa upayanya untuk mengubah Rezim Syah Pahlevi tidak akan berhasil, ia kemudian mengubah sikapnya.
Revolusi dan perlawanan terbuka dipilihnya yang membuatnya harus menerima diasingkan berkali-kali. Namun, dalam sejarahnya Mulla Shadra tidak pernah mengumumkan perlawanannya secara terbuka dengan kekuasaan dan penguasa waktu itu. Sekalipun dalam masa hidupnya, Mulla Shadra bangkit dan menghadapi ulama tekstual yang membuatnya juga diasingkan, ia tidak pernah memuji kekuasaan dan penguasa yang ada.
Berbeda dengan ulama pada zamannya yang memuji penguasa dalam karya-karyanya, Mulla shadra tidak pernah melakukan hal itu, tidak dalam sikap dan tidak juga dalam karya-karyanya. Sangat mungkin sekali sikapnya ini berdasarkan penentangannya terhadap penguasa baik secara teoritis dan praktis. Jelas sudah, dengan melihat perubahan yang terjadi pada zaman keduanya dapat disimpulkan bagaimana keduanya menyikapi kekuasaan dan penguasa di zamannya.
Setelah dua puluh tahun lebih Imam Khomeini memutuskan hubungannya secara resmi dengan filsafat, ia berhasil membangun dan menggagas sebuah sistem baru. Kesamaan keduanya studi-studi seperti tafsir al-Quran, akhlak, teologi, burhan, irfan bahkan pada fiqih tidak membuat keduanya sama dalam menyikapi kondisi sosial politik pada zamannya. Perhatian Imam Khomeini pada dimensi praktis dari semua studi-studi yang ada mempengaruhi kehidupan politiknya. Hal yang tidak banyak diungkap oleh para peneliti selama ini.
Penulis: Pengajar di Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran Sumber: Pegah Hauzeh, vol 208, 2 Juni 2007
Post a Comment
mohon gunakan email