Pesan Rahbar

Tangis Pecah Di Nisan Nabi

Written By Unknown on Tuesday 28 October 2014 | 01:53:00


Hari itu, saat kalender hijriah menunjukkan Safar 61 Hijriah. Cucu-cucu Nabi yang tersisa telah sampai di mulut Damaskus–digiring bak binatang-binatang ternak. Di kejauhan sana, pucuk-pucuk menara Istana Yazid lamat-lamat terlihat. Seperti di kota-kota sebelumnya, gemerincing rebana kembali terdengar menaik saat mereka menjejak pintu kota. Aroma khamar menyeruap. Bendera-bendera dinasti Bani Umayyah berkibar di setiap sudut kota.
Kali ini “Khalifah” Yazid bin Muawiyah sendiri yang memandu pesta penyambutan besar-besaran. Dia meminta rakyatnya melihat langsung penyambutan tawanan keluarga Nabi di halaman istana.


Di depan sana, tepat di tengah halaman istana, telah bergerombol tahanan keluarga Nabi. Tangan dan kaki mereka masih terikat rantai. Khalayak terus menonton. Tak ada yang memalingkan mata meski mereka melihat jilbab hitam yang melekat di tubuh putri-putri Nabi telah sobek di banyak bagian. Mereka juga melihat seorang di antara tahanan itu, seorang peremuan yang perawakannya paling besar dan gurat-gurat kecantikan masih terbaca jelas di wajahnya, menjadi tempat bersandar seluruh tahanan lainnya. Ali Zainal Abidin yang masih sakit ikut bersandar ke bahu perempuan itu.
Itulah Zainab, adik perempuan Husein cucu Nabi.
“Selamat datang, pasukan pemberaniku.” Yazid, kini dalam busana kemewahannya, resmi menyambut kedatangan rombongan durjana pasukan Ibn Ziyad. Kepala Husein dan seluruh kepala syahid keluarga Nabi telah dilepas dari ujung-ujung tombak dan ditempatkan di belasan nampan.
Pesta penyambutan itu berakhir ketika malam bertengger di ufuk. Zainab dan adik-adiknya dikurung di sebuah ruang bawah tanah di pojok istana. Yazid sendiri tenggelam dalam mabuk. Tak seorang pun berani mendekat. Dia terus memukul-mukulkan tongkatnya ke kepala Husein hingga fajar terbit.
Masih pagi buta, Yazid memanggil seluruh warga Damaskus ke balairung utama kerajaan. Dia ingin mempertontonkan kembali satu per satu keluarga Nabi dan seluruh kepala syahid di Padang Karbala.
“Bagaimana kau melihat perlakuan Allah atas saudaramu?” Yazid mulai berbicara, mencoba menohok ulu hati Zainab dan keponakannya, Ali Zainal Abidin. Dia ingin membenarkan semua tindakannya di hadapan rakyat.
“Bukankah,” katanya memancing emosi, “ini bukti Tuhan telah memenangkanku dan menghinakan kalian dalam kekalahan? Bukankah ini berarti Tuhan telah berkehendak mendudukkanku di singgasana dan menelantarkan kalian di padang tandus tanpa bala bantuan?”
Ummu Kaltsum bicara pertama. “Hai putra keturunan manusia yang telah diusir kakekku, Rasulullah! Lihatlah selir-selirmu duduk terhormat di balik tirai, sedangkan putri-putri Rasul kau biarkan menjadi tontonan orang-orang bejat. Mereka bagai gelandangan dilempari korma dan keping-keping uang oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi!”
Mata Yazid menyorot penuh kebencian mendengar jawaban Ummu Kaltsum. Dia tersinggung ketika Sukainah menimpali bahwa perlawanan ayahnya, Husein, bukan karena kekuasaan tapi karena “memenuhi panggilan kebenaran dan keadilan”.
“Tutup mulutmu!” Yazid memotong dengan nada tinggi. “Ayahmu lah yang telah memaksaku melakukan pembantaian ini! Dia melawanku dan menolak untuk mengakuiku sebagai pemimpin yang sah.”
Yazid mengalihkan perhatian. Dia meminta Zainab angkat suara. Rupanya Yazid lupa bahwa Zainab adalah wanita yang seluruh hidupnya, tiap-tiap rincian perbuatan, sikap dan pikirannya, lahir dari ketakwaan yang tinggi. Dia tak pernah melihat kejadian, sekeji apapun di dunia ini, tanpa kacamata ketakwaan.
“Segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada kakekku, Muhammad Rasulullah, dan segenap keluarganya yang suci. Maha Benar Allah yang berfirman, ‘kemudian akibat orang-orang yang melakukan kejahatan adalah (siksa) yan lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah, dan mereka mengolok-oloknya.’”
“Apakah kau menduga, Hai Yazid, saat kau memburu kami di muka bumi dan menggiring kami laksana segerombolan domba dan budak, bahwa yang demikian itu karena kami hina sedangkan kau mulia di hadapan Allah? Apakah kau menduga bahwa tahtamu ini memiliki kemuliaan di sisi-Nya sehingga batang hidungmu memekar, dan kau memandang kami dengan memicingkan sebelah matamu yang nyalang, dan kau bersuka cita karena melihat kekayaan dunia yang terkumpul di sekitarmu dan segala urusan tampak sederhana di depanmu? Celaka, sungguh celakalah kau! Kau telah melupakan firman Allah: ‘Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir mengira bahwa penangguhan kami adalah baik bagi mereka. Kami beri tangguh mereka tak lain supaya dosa mereka bertambah dan bagi mereka siksa yang menyedihkan.’”
“Apakah adil, hai anak orang yang masuk Islam karena terpaksa, caramu menakut-nakuti orang-orang yang memberi kebebasan dan kau giring putri-putri Rasulullah bagaikan tawanan dan gelandangan? 
Kau telah mengoyak pakaian mereka lalu mempertontonkan wajah mereka yang kusut akibat duka yang panjang, kau pertunjukkan ke hadapan musuh-musuh mereka dari dusun ke dusun berikutnya, dari kota ke kota lainnya, kau seret mereka di tengah kaum lelaki dan para pejalan kaki, sehingga mereka menjadi tontotan percuma semua orang, tanpa seorang pun pelindung. Lalu kebaikan apa yang dapat diharapkan dan dinanti dari keturunan orang yang mulutnya mengunyah-ngunyah hati dan jantung orang-orang yang suci, dan daging badannya tumbuh sehat dari darah para syuhada yang dihisapnya?”
“Hai Yazid!” Zainab kembali memecah keheningan. “Aku tidak melihat dari semua kejadian ini kecuali keindahan.”
“Gunakanlah segala tipu dayamu, berusahalah sekuat tenagamu, dan jangan sedikit pun berpendek tangan dalam upayamu. Ketahuilah bahwa kau tidak akan mematikan nama kami atau mengubur wahyu yang turun pada kakek kami Muhammad Rasulullah.”
“Kau mengira bahwa kakakku, al-Husein, telah mati. Tapi, yang sebenarnya mati adalah kau dan semua perangkat kekuasaanmu, karena semua itu adalah bagian dari dunia ini. Sedangkan kehidupan kakakku takkan pernah berakhir.”
“Nama dan ruhnya akan selalu hidup dalam jiwa orang beriman. Kenangan tentangnya bakal senantiasa mengobarkan semangat juang para pencari kebenaran dan penegak keadilan. Kakakku akan menjadi ilham bagi orang-orang yang bertakwa.”
Damaskus gempar setelahnya, terlebih setelah Ali Zainal Abidin maju ke mimbar dan mendiamkan Yazid dengan kedalaman pengetahuannya.
“Hai lelaki yang tidak memahami Al-Qur’an!” kata Zainal Abidin setelah Yazid yang menyebut kematian Husein “telah ditentukan Al-Qur’an” dan “Allah lah yang membunuhnya”. “Jangan memutarbalikkan kenyataan dan jangan pula menjadikan Tuhan sebagai kedok… Yang ditentukan oleh Allah adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi atas kehendak manusia dan sebab-musabab yang dipersiapkannya sendiri!”
“Hai manusia! Sesiapa yang telah mengenalku, maka dia telah mengenalku, dan sesiapa yang tidak mengenalku, maka kini saatnya aku memperkenalkan diri. Akulah putra manusia yang
Yazid segera memotong pidato Ali Zainal Abidin itu. Dia mencium gelagat keresahan di kalangan penduduknya. Banyak yang mulai menundukkan kepala, menyadari bahwa mereka telah jadi korban rekayasa. Banyak yang beringsut setelah mengetahui bahwa kepala di ujung tombak itu adalah kepala Husein, cucu tercinta Nabi, dan tawanan perempuan itu adalah darah daging az-Zahra, putri semata wayang Nabi.
Yazid segera meminta seseorang mengumandangkan azan. Saat muazin menyebut ‘Allah Maha Besar’, Zainal Abidin menyahut: “Kau membesarkan Maha Besar yang tak terjangkau kebesaran-Nya.” Saat muazin menyebut ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah’, Zainal Abidin menyahut: “Sungguh hatiku, tubuhku, tulang-belulangku, kulitku, bulu-buluku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.” Lalu, saat muazin menyebut ‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’, Zainal Abidin menoleh ke arah Yazid lalu berteriak keras: “Hai Yazid, Muhammad yang disebut-sebut itu kakekku atau kakekmu?! Kalau kau bilang dia kakekku, mengapa kau perlakukan kami begini dan kau bantai anak cucunya?! Kalau kau bilang dia kakekmu, maka jelas semua orang tahu kau berdusta!”
Yazid pucat seperti baru tersambar halilintar. Melihat keadaan yang mulai berbalik itu, dia segera menjauhkan sumber keresahan. Di hadapan penduduk Damaskus, dia segera membebaskan kesembilan keluarga Nabi itu. Dia mengirim satu pasukan besar untuk mengawal Zainab dan adik-adiknya kembali ke Karbala, untuk mengubur jasad Husein dan seluruh syahid lainnya, sebelum akhirnya berputar arah ke Madinah.
Di Madinah, Jumat, 20 Safar tahun 61 Hijriah. Ummu Kaltsum setengah berlari ke kubur Rasulullah, kakeknya. Dia roboh begitu sampai. “Salam sejahtera padamu, kakekku,” katanya dengan air mata berlinang. “Oh, betapa kami tersiksa oleh rindu padamu. Kini aku sendiri, tanpa pelindung. Bawalah aku bersamamu.”
Sukainah menyusul. Dia hanya bisa merangkak. Tangannya berusaha memeluk pusara Nabi. Dia mengadukan keadaannya. “Salam sejahtera atasmu, Rasulullah,” katanya. “Kami sungguh kesepian dan sengsara! Umatmu telah membunuh putramu dan menganiaya putri-putrimu!”
Zainab sampai terakhir. Ali Zainal Abidin memapahnya. Dia ambruk di makam kakeknya, tangisnya panjang. Pekikannya pilu. Dia mengadukan kemalangan buah hati Nabi: “Salam rindu padamu! Inilah wanita-wanita keluargamu! Kami datang mengadukan derita. Al-Husein, cahaya hati dan matamu, telah diinjak-injak ratusan kaki kuda di Karbala. Al-Husein telah dipenggal. Sorbannya telah dikoyak-koyak, dan baju pakaiannya telah dilucuti oleh orang-orang yang mengaku sebagai umatmu. Kami datang untuk menyampaikan bela sungkawa kepadamu, kepada Az-Zahra, kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
Madinah berkabung hari itu, hingga 15 hari setelahnya. Tangis pecah di setiap sudut kota.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: