Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Yazid bin Muawiyah. Show all posts
Showing posts with label Yazid bin Muawiyah. Show all posts

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima Sedekah? Anomali Bantahan Nashibi


Metode beragama yang ditempuh Mazhab Ahlusunnah Wal Jama’ah (sunni) adalah “Metode Kaca Mata Kuda”. Ngotot menyatakan sesuatu sebagai kebenaran/hujjah dengan cara menyembunyikan begitu banyak hadits atau atsar lain yang justru berpotensi besar sebagai kebenaran karena bertentangan dengan klaim mereka.

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima Sedekah? Anomali Bantahan Nashibi
Seperti biasa nashibi yang ingkar sunnah itu kembali membuat bantahan terhadap tulisan kami dan seperti biasanya bantahan itu “tidak bernilai” bagi orang yang mau sedikit saja menggunakan akalnya. Nashibi ini memang layak untuk dikatakan ajaib aneh tapi nyata, ia membantah suatu tulisan dengan dalil padahal dalil yang ia gunakan sebenarnya menjadi bantahan bagi dirinya. Fenomena ini hanya terjadi pada orang yang lemah akalnya atau orang berakal yang dikuasai oleh kebencian sehingga akalnya tertutup dengan nafsu membantah.

Tulisan ini kami buat bukan untuk dirinya karena ia jelas bukan tipe orang yang menginginkan kebenaran tetapi tipe orang yang hanya dipengaruhi kebencian terhadap syiah rafidhah. Jadi harap maklum kalau dalam pikiran nashibi itu setiap orang yang bertentangan dengannya harus dikatakan syiah rafidhah. Tulisan ini kami tujukan untuk para pembaca yang berniat mencari kebenaran.

Pada tulisan sebelumnya kami membawakan hadis Zaid bin Arqam dimana Zaid mengeluarkan istri Nabi dari ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Anehnya nashibi ngeyel itu membantah dengan membawakan riwayat Muslim yang malah menguatkan hujjah kami [komentar nashibi itu adalah yang kami blockquote]
Riwayat Zaid bin Arqam dalam riwayat Muslim adalah sebagai berikut :
وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbas”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya. (Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali)
Dalam hadits Muslim di atas, Zaid mengatakan bahwa istri-istri Nabi termasuk dalam ahlul bait yang dimaksud berbeda dengan riwayat Mushanaf Ibnu Abi Syaibah.
Lucu sekali bukan, apa ada dalam tulisan kami sebelumnya kami menyatakan bahwa istri Nabi bukan ahlul bait?. Orang yang mampu memahami dengan baik pasti akan mengerti bahwa maksud perkataan Zaid bin Arqam adalah istri Nabi memang ahlul bait tetapi mereka bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Riwayat Muslim tersebut tidaklah berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah apalagi Muslim juga membawakan riwayat Zaid bin Arqam dimana Hushain dan Yazid bertanya:

فقلنا من أهل بيته ؟ نساؤه ؟ قال لا وايم الله إن المرأة تكون مع الرجل العصر من الدهر ثم يطلقها فترجع إلى أبيها وقومها أهل بيته أصله وعصبته الذين حرموا الصدقة بعده

Kami bertanya “siapakah ahlul baitnya?” apakah istri istrinya?. Zaid menjawab “tidak, demi Allah seorang istri bisa saja ia terus bersama suaminya kemudian bisa juga ditalaknya hingga akhirnya ia kembali kepada ayahnya dan kaumnya. Yang dimaksud Ahlul baitnya adalah keturunan dan keluarga Beliau yang diharamkan menerima sedekah sepeninggalnya [Shahih Muslim 4/1873 no 2408].

Jadi justru riwayat Zaid bin Arqam dalam Shahih Muslim menguatkan apa yang kami tuliskan yaitu istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Yah melihat cara nashibi itu berhujjah membuat kami merasa kasihan. Semoga Allah SWT menyembuhkan penyakit di dalam hati mereka.

Nashibi itu juga berkata jika memang perkataan Zaid seperti itu maka itu adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru. Kalau begitu hal yang sama pula bisa dikatakan untuk riwayat Aisyah yang sering dijadikan hujjah oleh nashibi. Jika memang riwayat Aisyah shahih [nyatanya tidak] maka itupun adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru.

Kemudian nashibi itu membahas riwayat Barirah dengan cara yang menyedihkan. Ia mengatakan kesimpulan kami mentah dan ia membuat bantahan ngawur berikut
Orang syi’ah ini ternyata begitu mudah menarik kesimpulan yang masih mentah, berdasarkan hadits yang dia kutip, maula yang yang diharamkan menerima sedekah sebenarnya adalah khusus maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, karena mereka seperti keluarga beliau sendiri, Maimun dan Mihran adalah Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam maka mereka pun haram menerima sedekah, sedangkan maula selain dari Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam (termasuk Maula Aisyah) tidak terkena hukum ini.
Kami yakin nashibi itu sudah membaca tulisan kami sebelumnya dan ternyata ia masih mengeluarkan ucapan di atas. Hal ini membuktikan kalau nashibi itu memang orang yang ingkar sunnah. Wahai nashibi, kami hanya mengulang apa yang jelas jelas dinyatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Beliau bersabda

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah.

Masa’ sih ada orang yang masih salah memahami hadis di atas. Lafaz yang dimaksud adalah “kami ahlul bait” kemudian dilanjutkan dengan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami”. Maka siapapun yang punya sedikit akal pikiran pasti mampu memahami bahwa “maula kami” yang dimaksud disitu adalah “maula ahlul bait”. Apa ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami ahlul bait dilarang menerima sedekah” itu maksudnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja dan tidak untuk ahlul baitnya?. Aduhai kami kehilangan kata-kata menghadapi hujjah nashibi yang menyedihkan.

Hadis ini menjadi hujjah bahwa ahlul bait yang dimaksudkan dalam lafaz “kami ahlul bait diharamkan menerima sedekah” adalah ahlul bait yang maula mereka diharamkan menerima sedekah. Termasuk di dalamnya adalah Bani Hasyim yaitu keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil dan keluarga Abbas. Sedangkan istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyatakan“maula suatu kaum adalah bagian dari kaum tersebut” dan “maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah”. Jadi jika suatu kaum diharamkan menerima sedekah maka maula kaum tersebut juga diharamkan menerima sedekah. Jika istri Nabi sebagai ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka maula mereka pun akan diharamkan menerima sedekah. Itulah yang nampak dari hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut.
Bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly
Ketika ada tempatnya harus memakai logika maka nashibi ini menunjukkan seolah ia tidak punya logika atau menampilkan logika yang menyedihkan dan ketika pada tempat yang seharusnya tidak menggunakan logika, ia malah sok berhujjah dengan logika [walaupun logikanya masih ngawur juga]. Perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah itu adalah nash dari Allah SWT dan Rasul-Nya bukan perkara logika. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan bahwa maula ahlul bait juga diharamkan menerima sedekah. Dan sampai saat ini kami belum menemukan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah.

Selanjutnya ia membawakan riwayat Barirah memberikan makanan yang disedekahkan padanya kepada Aisyah. Dengan berbagai riwayat ini ia ingin menunjukkan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] itu termasuk diharamkan menerima sedekah. Silakan para pembaca perhatikan pembahasan kami dan pakailah logika yang benar untuk melihat betapa buruknya cara nashibi itu berhujjah

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ فِي بَرِيرَةَ ثَلَاثُ سُنَنٍ عَتَقَتْ فَخُيِّرَتْ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبُرْمَةٌ عَلَى النَّارِ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ خُبْزٌ وَأُدْمٌ مِنْ أُدْمِ الْبَيْتِ فَقَالَ أَلَمْ أَرَ الْبُرْمَةَ فَقِيلَ لَحْمٌ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ وَأَنْتَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ قَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Malik dari Rabi’ah bin ‘Abdurrahman dari Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha yang berkata pada Barirah terdapat tiga pelajaran. Ia dimerdekakan kemudian diberikan pilihan. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “sesungguhnya wala’ itu adalah bagi mereka yang memerdekakan. Kemudian suatu ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk sedangkan periuk berada di atas api, Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah. Beliau berkata “bukankah tadi aku melihat periuk?”. Dikatakan kepada Beliau [oleh Aisyah] “periuk itu berisi daging yang disedekahkan kepada Barirah sedangkan anda tidak makan sedekah”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” [Shahih Bukhari 7/9 no 5097].

Barirah menghadiahkan daging itu kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kemudian Aisyah radiallahu ‘anha menerima daging pemberian Barirah itu dan memasaknya. Aisyah [radiallahu ‘anha] itu awalnya beranggapan daging itu masih sedekah sehingga tidak boleh disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini nampak dalam lafaz  “anda tidak makan sedekah”. Dari lafaz itu juga diketahui bahwa menurut Aisyah, dirinya tidak diharamkan menerima sedekah. Kalau memang dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan berkata “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah”.
Kalau memang Aisyah sebelumnya beranggapan daging pemberian Barirah itu adalah sedekah maka mengapa ia menerima bahkan memasaknya?. Apa daging sedekah itu mau ia sajikan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Jelas tidak. Seandainya Aisyah merasa dirinya termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka ia pasti tidak akan menerima daging pemberian Barirah apalagi memasaknya. Mengapa? Karena ahlul bait diharamkan menerima sedekah.

Nashibi itu beranggapan Aisyah [radiallahu ‘anha] tahu bahwa dirinya ahlul bait diharamkan menerima sedekah tetapi tetap menerima sedekah yang ia diharamkan atasnya bahkan memasaknya. Bukankah ini suatu celaan yang nyata kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Hal ini membuktikan kalau anggapan nashibi itu keliru. Aisyah merasa dirinya tidak diharamkan menerima sedekah maka tidak ada masalah baginya menerima pemberian Barirah [yang ia anggap sedekah]. Ia memasaknya untuk dirinya tetapi ia tidak menyajikan daging itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah.

Pernyataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “baginya sedekah dan bagi kita hadiah” tidak menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah tetapi menunjukkan bahwa status makanan tersebut berubah. Ketika disedekahkan kepada Barirah maka daging itu adalah sedekah dan ketika Barirah menghadiahkan kepada Aisyah maka daging tersebut menjadi hadiah bukan lagi sedekah. Jadi daging tersebut ketika telah diberikan Barirah dan diterima Aisyah maka itu menjadi hadiah bagi Aisyah sehingga tidak masalah untuk diberikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Riwayat lain yang menunjukkan Aisyah dan juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang lain adalah termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah sebagai berikut :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ فَبَعَثْتُ إِلَى عَائِشَةَ مِنْهَا بِشَيْءٍ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَائِشَةَ قَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ لَا إِلَّا أَنَّ نُسَيْبَةَ بَعَثَتْ إِلَيْنَا مِنْ الشَّاةِ الَّتِي بَعَثْتُمْ بِهَا إِلَيْهَا قَالَ إِنَّهَا قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا
Muslim, 13.165/1789. Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Khalid dari Hafshah dari Ummu ‘Athiyyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengirimkan seekor kambing dari hasil sedekah kepadaku, lalu aku mengirim sebahagian darinya kepada ‘Aisyah. Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke rumah ‘Aisyah, beliau bertanya: Apakah kalian mempunyai sesuatu untuk dimakan? ‘Aisyah menjawab, Tidak ada, kecuali sedikit daging kambing yang telah engkau kirimkan kepadanya (Ummu ‘Athiyyah). Beliau berkata: Ia telah menjadi halal untuk dimakan.
Nashibi itu membawakan riwayat di atas sebagai bukti bahwa istri adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Lagi lagi hadis ini adalah hujjah bagi kami bukan hujjah bagi dirinya. Dengan lucunya ia berkata:
Jawaban Aisyah dalam riwayat di atas ketika ditanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam apakah Aisyah mempunyai makanan menunjukkan bahwa Aisyah pada awalnya menganggap daging kiriman dari Ummu Athiyah tidak boleh dimakan sehingga beliau mengatakan “tidak ada”, tetapi kemudian Nabi membolehkannya karena itu bukan lagi barang sedekah.
Ummu Athiyah mendapatkan sedekah kemudian sebagiannya diberikan kepada Aisyah. Jika memang Aisyah pada awalnya menganggap daging itu sedekah sehingga tidak boleh dimakan. Maka mengapa ia menerima daging tersebut untuk dijadikan makanan. Aisyah menerima daging yang ia anggap sedekah karena ia tidak diharamkan menerima sedekah. Sikap Aisyah ini sangat berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah yang dikutip nashibi, ketika Khalid mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah, ia menolaknya dan berkata “kami keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah”.

Mengapa Aisyah tidak mengatakan hal yang sama kepada Ummu Athiyah bukankah Aisyah beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya kepada Aisyah “apakah ada makanan?” Aisyah menjawab“tidak ada”. Mengapa ia menjawab “tidak ada” padahal ada makanan yang ia terima dari Ummu Athiyah karena ia tahu bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah dan ia beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyampaikan “sedekah itu telah sampai pada tempatnya” yaitu pada Ummu Athiyah maka pemberian Ummu Athiyah kepada Aisyah bukan lagi sedekah melainkan hadiah.

حدثنا أحمد بن زهير التستري ثنا عبيد الله بن سعد ثنا عمي ثنا أبي عن صالح بن كيسان عن ابن شهاب أن عبيد بن السباق أخبره أن جويرية بنت الحارث زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن مولاتها تصدق عليها بلحم فصنعته فلما رجع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : هل عند كم من عشاء ؟ قلت : يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : قربوه فقد بلغت محلها فأكل منها

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair Al Tusturiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Sa’d yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Shalih bin Kiisaan dari Ibnu Syihaab bahwa Ubaid bin As Sabbaaq mengabarkan kepadanya bahwa Juwairiyah binti Al Haarits istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa maulanya mendapatkan sedekah berupa daging maka ia memasak daging tersebut. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang, Beliau berkata “apakah disisimu ada sesuatu [makanan]?”. Ia menjawab“wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging maka aku telah memasaknya”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya” maka Beliau memakannya [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/64 no 169].

Riwayat ini sanadnya shahih. Ahmad bin Zuhair adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair Al Tustury seorang Imam hujjah muhaddis alim hafizh [As Siyar Adz Dzahabiy 14/362 no 213]. Ubaidillah bin Sa’d bin Ibrahim adalah perawi Bukhari seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/632]. Pamannya adalah Yaq’ub bin Ibrahim bin Sa’d adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan memiliki keutamaan [At Taqrib 2/337]. Ayahnya adalah Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim Az Zuhriy adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan hujjah [At Taqrib 1/56]. Shalih bin Kiisaan adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/431]. Az Zuhriy adalah perawi Bukhari dan Muslim yang faqih hafizh disepakati kemuliaannya, pemimpin thabaqat keempat [At Taqrib 2/133]. Ubaid bin As Sabbaaq adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/644].

Sisi pendalilannya adalah daging itu disedekahkan kepada maula Juawiriyah kemudian maula Juwairiyah memberikannya kepada Juwairiyah. Juwairiyah sebagai istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menerima dan memasak daging tersebut. Awalnya ia beranggapan daging tersebut masih berstatus daging sedekah sehingga ia tidak mau menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Disini terdapat hujjah bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun menurutnya daging itu adalah sedekah ia tetap menerimanya dan memasaknya. Untuk siapa ia memasaknya?. Jelas bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah maka tidak lain ia memasaknya untuk dirinya sendiri. Kesimpulannya istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah.

Riwayat Barirah maula Aisyah yang mendapat sedekah dan riwayat maula Juwairiyah mendapatkan sedekah adalah dalil bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah yaitu dilihat dari dua sisi
  • Pertama, berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwaahlul bait dan maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka hal ini menunjukkan kalau istri Nabi tidak termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah
  • Kedua, dalam riwayat tersebut Aisyah dan Juwairiyah menerima daging yang anggapan mereka pada awalnya adalah sedekah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sebagai istri Nabi memang dibolehkan menerima sedekah tetapi tidak boleh menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Begitu pula riwayat Ummu Athiyah dan Nusaibah yang memberikan sedekah yang mereka terima kepada istri Nabi. Istri Nabi Aisyah awalnya mengira itu sedekah tetapi ia tetap menerimanya hanya saja ketika Nabi bertanya adakah makanan, ia menjawab tidak ada kecuali makanan dari sedekah tersebut. Ia menjawab “tidak ada” karena Nabi tidak boleh memakan sedekah. Tetapi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan kalau itu bukan lagi sedekah karena sedekah itu telah sampai pada tempatnya. Seandainya istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka Aisyah pasti akan langsung menolak pemberian daging dari Ummu Athiyah yang ia anggap dari sedekah bukannya menerima dan memasaknya.

Apakah Istri Nabi [Shallallahu ‘alaihi wasallam] Diharamkan Menerima Sedekah?
Tidak diragukan bahwa Ahlul Bait diharamkan menerima sedekah sebagaimana dijelaskan dalam hadis hadis shahih. Perselisihan timbul ketika ditanyakan apakah istri Nabi termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan dalil-dalil atau hujjah bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Mereka adalah ahlul bait tetapi tidak diharamkan menerima sedekah sedangkan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah adalah mereka ahlul bait yang memiliki ikatan nasab dengan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ada yang berhujjah dengan riwayat perkataan Aisyah radiallahu ‘anha dimana Beliau pernah menolak sedekah dan menyatakan itu tidak halal bagi keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Berikut riwayatnya

حدثنا وكيع عن محمد بن شريك عن ابن أبي مليكة أن خالد بن سعيد بعث إلى عائشة ببقرة من الصدقة فردتها وقالت إنا آل محمد صلى الله عليه وسلم لا تحل لنا الصدقة

Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Muhammad bin Syariik dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Khalid bin Sa’id diutus kepada Aisyah untuk memberikan sapi dari sedekah kepada Aisyah tetapi ia menolaknya seraya berkata “sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 no 10802].

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat seolah tampak shahih tetapi jika diteliti dengan baik riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’ [terputus sanadnya]. Riwayat diatas sanadnya berhenti pada Ibnu Abi Mulaikah dan ia meriwayatkan kisah dimana Khalid bin Sa’id memberikan sedekah kepada Aisyah radiallahu ‘anha.

Khalid bin Sa’id yang dimaksud adalah Khalid bin Sa’id bin ‘Ash salah seorang sahabat Nabi. Khalid bin Sa’id bin ‘Ash wafat atau syahid pada perang Ajnadain pada tahun 13 H [Al Ishabah Ibnu Hajar 2/238 no 2169]. Jadi peristiwa Khalid bin Sa’id mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah dan Aisyah menolaknya seraya berkata kepada Khalid bahwa keluarga Muhammad tidak dihalalkan menerima sedekah terjadi sebelum tahun 13 H.

Adz Dzahabiy dalam As Siyar ketika menyebutkan biografi Ibnu Abi Mulaikah menyatakan bahwa ia lahir pada masa khalifah Ali atau sebelumnya. Disebutkan Al Bukhari bahwa ia wafat tahun 117 H dan Adz Dzahabi menyatakan bahwa umurnya lebih kurang delapan puluh tahun [As Siyar Adz Dzahabiy 5/89-90 no 30]. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah belum lahir saat peristiwa Khalid bin Sa’id datang kepada Aisyah. Jadi riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus] sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

حدثنا ابن فضيل عن أبي حيان عن يزيد بن حيان قال انطلقت أنا وحصين بن عقبة إلى زيد بن أرقم فقال له يزيد وحصين من أهل بيته أليس نساؤه من أهل بيته قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه فقال له حصين ومن هم قال هم آل عباس وآل علي وآل جعفر وآل عقيل فقال له حصين على هؤلاء تحرم الصدقة قال نعم

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari Abi Hayyaan dari Yazid bin Hayyaan yang berkata aku dan Hushain bin ‘Uqbah datang kepada Zaid bin Arqam maka Yazid dan Hushain berkata kepadanya “siapakah ahlul baitnya [Rasulullah]?Bukankah istri istrinya termasuk ahlul baitnya?”. Zaid berkata “tidak, ahlul baitnya adalah orang yang diharamkan sedekah atas mereka”. Hushain berkata kepadanya “siapakah mereka?”. Zaid berkata “mereka adalah keluarga ‘Abbas keluarga Ali, keluarga Ja’far dan keluarga Aqil”. Hushain berkata kepadanya “mereka semua diharamkan sedekah”. Zaid berkata “benar” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 10806].

Riwayat Zaid bin Arqam ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan bersambung hingga Zaid bin Arqam, para perawinya adalah perawi tsiqat.
  • Muhammad bin Fudhail bin Ghazwaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/125]. Adz Dzahabiy menyatakan tsiqat [Al Kasyf no 5115]
  • Abu Hayyaan adalah Yahya bin Sa’id bin Hayyaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat ahli ibadah” [At Taqrib 2/303] dan Adz Dzahabiy berkata “Imam tsabit” [Al Kasyf no 6173]
  • Yazid bin Hayyaan At Tamimiy termasuk perawi Muslim yang tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/323]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6294]
Riwayat Zaid menyatakan dengan jelas bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.

Terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk yang diharamkan menerima sedekah

عن بن أبى رافع عن أبيه ان النبي صلى الله عليه و سلم بعث رجلا من بني مخزوم على الصدقة فقال الا تصحبني تصيب قال قلت حتى أذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه و سلم فذكرت ذلك فقال أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Dari Ibnu Abi Rafi’ dari ayahnya bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus seorang laki-laki dari bani Makhzum untuk mengambil sedekah. Maka ia berkata “temanilah aku dan engkau akan mendapat bagian”. Aku berkata “tunggu sampai aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” dan aku menanyakannya maka Beliau berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami sedekah dan mawla suatu kaum termasuk kaum itu sendiri [Musnad Ahmad 6/390 no 27226 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari Muslim”].

Kemudian diriwayatkan pula dari Ummu Kultsum binti Ali bahwa mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bernama Maimun atau Mihran mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah bersabda

فقال له يا ميمون أو يا مهران انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepadanya “wahai Maimun atau wahai Mihraan kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan mawla kami termasuk bagian dari kami dan tidak boleh memakan sedekah” [Musnad Ahmad 4/34 no 16446 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”].

Dari kedua hadis ini disimpulkan bahwa mawla Ahlul Bait juga diharamkan menerima sedekah. Maka jika istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka mawla merekapun seharusnya diharamkan menerima sedekah. Faktanya tidak begitu, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkan Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha untuk menerima sedekah

عن قتادة سمع أنس بن مالك قال أهدت بريرة إلى النبي صلى الله عليه و سلم لحما تصدق به عليها فقال هو لها صدقة ولنا هدية

Dari Qatadah yang mendengar Anas bin Malik berkata Barirah mengahadiahkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] daging yang disedekahkan kepadanya maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “untuknya ini adalah sedekah dan bagi kami ini adalah hadiah” [Shahih Muslim 2/756 no 1074].

Sisi pendalilannya adalah disebutkan dalam dua hadis sebelumnya bahwa keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah termasuk juga maula ahlul bait atau maula keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha dibolehkan menerima sedekah maka hal itu menunjukkan bahwa Aisyah radiallahu ‘anha tidak termasuk dalam ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima sedekah? : Anomali Bantahan Nashibi [2]
Yah beginilah jadinya diskusi dengan makhluk yang akalnya tertutup, sedikitpun ia tidak bisa mengambil pelajaran tetapi malah nafsu membantah. Seolah olah dengan membuat bantahan ia dapat menunjukkan kebenaran hujjahnya padahal malah justru lebih menguatkan kelemahan akalnya. Langsung saja [bantahannya adalah tulisan yang kami blockquote].

Riwayat Zaid bin Arqam
Sebagaimana sudah dijelaskan di artikel sebelumnya, jika perkataan Zaid tersebut difahami sebagaimana pemahaman si rafidhi nashibi tersebut, maka di atas adalah pendapat pribadi Zaid, bisa benar dan bisa juga tidak. Tentunya Aisyah yang lebih kuat dalam hal ini, karena dia sebagai istri Nabi yang menjadi obyek pembahasan saat ini.
Kami ajarkan caranya berhujjah wahai nashibi. Antara perkataan Zaid bin Arqam dan Aisyah manakah yang shahih?. Jawabannya perkataan Zaid bin Arqam. Kami setuju pendapat Zaid bisa benar bisa salah tetapi itu namanya menyebarkan syubhat bukan berhujjah. Kalau memang salah silakan tunjukkan dalil yang menunjukkan kesalahannya. Kalau tidak ada dalil shahihnya maka perkataan Zaid bin Arqam itu benar apalagi telah dikuatkan oleh dalil yang telah kami sebutkan.
Bagi kami dalam memahami riwayat Zaid di atas berbeda dengan si rafidhi nashibi tersebut, yang dimaksud Zaid dengan mengatakan : “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau” adalah Istilah Ahlul Bait secara lebih luas di mana melingkupi keluarga Ali, Aqil, Ja’far dan Ibnu Abbas dan termasuk juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam itu sendiri.
Alangkah anehnya nashibi ini, yang dipermasalahkan disini bukan istilah Ahlul Bait tetapi pernyataan Zaid dimana ia membagi ahlul bait sebagai ada yang diharamkan sedekah atasnya dan ada yang tidak. Kami mengakui kalau Zaid menyatakan istri Nabi sebagai ahlul bait tetapi dalam pandangan Zaid, istri Nabi adalah Ahlul Bait yang tidak diharamkan sedekah atasnya sedangkan ahlul bait yang diharamkan sedekah atasnya adalah keluarga Ali, keluarga Ja’far, Keluarga Aqil dan Keluarga Abbas, semuanya dari bani hasyim.
Karena Zaid memahami apa yang ditanyakan oleh Hushain adalah makna ahlul bait secara khusus sesuai bahasa yaitu penghuni rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
Ini cuma ucapan basa basi dan seperti biasa lahir dari orang yang kebanyakan ngeyel. Berhujjah itu tunduk pada hadis yang dijadikan hujjah bukannya hadis diturutkan dengan hawa nafsu. Hushain justru paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas dan ia ingin tahu siapa ahlul bait yang dibicarakan Zaid. Lafaz “bukankah istri Nabi termasuk ahlul baitnya” adalah lafaz yang diucapkan oleh orang yang paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas. Hushain ingin tahu siapa saja ahlul bait yang dibicarakan Zaid dan apakah istri Nabi termasuk di dalamnya. Jadi dari lafaz hadisnya jelas bertentangan dengan klaim basa basi nashibi yang ingkar sunnah itu
dan jelas penghuni rumah beliau adalah istri-istri beliau itulah yang dimaksud oleh Hushain, tetapi ahlul bait dalam pengertian tersebut bukan yang dimaksud oleh Zaid, yang dimaksud Zaid dalam riwayat di atas adalah ahlul bait dalam pengertian secara lebih luas yaitu mereka yang diharamkan menerima shadaqah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak memahami juga, kita hanya bisa bilang kebangetan nih orang…
Menjawab komentar basa basi bin ngeyel tidak bisa dengan basa basi juga. Mengapa? Karena yang namanya basa basi tidak akan ada habisnya. Apapun hujjah dan dalil yang anda bawakan, nashibi yang suka basa basi ini akan selalu bisa melontarkan jawaban ngeyel. Ia memang tidak sedang berhujjah dengan hadis tetapi berhujjah dengan ngeyelisme yang jadi penyakitnya. Sebaik baik jawaban adalah lafaz perkataan Zaid bin Arqam dalam hadisnya

قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ

Jika diterjemahkan artinya adalah Zaid berkata “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah setelahnya”.

Mengapa diantara frase “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya” dan frase “ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah” terdapat kata “walakin” yang artinya “akan tetapi”. Jawabannya karena ahlul bait yang sedang dibicarakan Zaid bukanlah istri istri Nabi. Zaid ingin mengatakan kepada Hushain bahwa istri Nabi memang termasuk ahlul bait tetapi ahlul bait yang ia maksudkan dalam pembicaraannya adalah orang yang diharamkan menerima sedekah. Nah ini menunjukkan dalam pandangan Zaid, istri Nabi bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Dalam riwayat lain yang juga shahih, ucapan Zaid adalah berikut

قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه

Zaid berkata “tidak akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah atasnya”.

Nah maksud perkataan Zaid “tidak” disini adalah istri Nabi bukan ahlul bait yang ia maksudkan akan tetapi yang ia maksudkan adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah atasnya. Jawaban Zaid jelas menunjukkan bahwa istri Nabi bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Sekedar info saja penjelasan kami ini sama halnya dengan apa yang dijelaskan oleh An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan  hadis ini. Justru nashibi itu yang tidak mengerti bahasa arab dan berkeras dengan kengeyelannya. Alangkah kasihannya orang itu.
Sedangkan riwayat Muslim no. 2408, kami mengira kekeliruan pada hafalan si perawi walaupun sanad hadits tersebut shahih, karena jelas bertentangan dengan riwayat Zaid di atas.
Silakan lihat wahai pembaca yang terhormat, jika hadis tersebut tidak sesuai dengan hawa nafsunya ia akan gampang melemahkannya. Di lain waktu ia akan membangga banggakan kitab hadis shahih Bukhari dan Muslim serta melecehkan kitab yang asing ditelinganya. Kedua lafaz tersebut shahih bahkan lafaz riwayat Muslim ini telah dikuatkan oleh lafaz riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dinilai dari kuatnya, lafaz ini jelas lebih kuat sanadnya dibanding lafaz riwayat Muslim sebelumnya.
Jawaban Zaid bin Arqam ada dua versi riwayat dan keduanya shahih  tidak bertentangan sedangkan ucapan nashibi bahwa salah satu versi lemah karena hafalan perawinya adalah ucapan dusta yang tidak ada dasarnya. Kami telah buktikan shahihnya riwayat Ibnu Abi Syaibah ditambah lagi juga dikuatkan oleh riwayat Muslim yang kami kutip. Ucapan basa basi tidak ada gunanya wahai nashibi
Pertanyaan saya sekali lagi, apakah yang dimaksud keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas itu tidak termasuk istri-istri mereka jika istri-istri mereka bukan dari kalangan Bani Hasyim?
Tentu saja yang dimaksud diharamkan sedekah itu adalah bani Hasyim. Jadi keluarga Ali, Ja’far, Aqil dan Abbas yang dimaksud adalah bani hasyim. Kalau memang ada istri mereka bukan dari kalangan bani hasyim maka kami belum menemukan dalil bahwa istrinya diharamkan menerima sedekah. Silakan wahai nashibi kalau anda menemukan dalil bahwa istri mereka bukan dari bani hasyim juga dilarang menerima sedekah. Maka bagaimana pula status dengan anak dari istri tersebut juga orang tuanya dan kerabatnya yang bukan bani hasyim?. Apakah diharamkan menerima sedekah juga?. Sudah kami katakan sebelumnya perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah bukan perkara yang bisa dipikirkan dengan logika. Dasar nashibi, sok berlogika seolah mereka punya saja
.
.
Riwayat Mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Rasulullah bersabda dalam riwayat di atas terhadap mawla beliau sendiri, dan beliau adalah juga ahlul bait bahkan beliau adalah sayyidul bait, maka yang dipahami di sini adalah mawla (budak yang dibebaskan) beliau adalah juga mawla ahlul bait beliau, karena beliau adalah sayyidul bait, tetapi  sebaliknya, mawla (budak yang dibebaskan) anggota ahlul bait beliau tidak dikategorikan mawla beliau yang diharamkan sedekah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak juga memahami, maka kami hanya mengelus dada dan merasa kasihan kepadanya.
Wahai nashibi berhentilah dari ucapan dusta. Sikap anda hanya menunjukkan kalau anda semakin ingkar terhadap sunnah. Siapapun yang bisa sedikit bahasa arab akan paham maksud ucapan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut bahwa maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan atas mereka sedekah. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan demikian.

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah

أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Kami keluarga Muhammad tidak halal bagi kami menerima sedekah dan maula suatu kaum termasuk kedalam kaum tersebut.

Lafaz “kami ahlul bait” serupa dengan lafaz “kami keluarga Muhammad” yaitu diharamkan menerima sedekah. Dan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami” sama halnya dengan lafaz “maula suatu kaum bagian dari kaum tersebut”. Jadi siapakah maula yang diharamkan menerima sedekah?. Apakah khusus maula Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Jelas tidak, orang yang menyatakan demikian berarti ia sudah mendustakan hadis yang begitu jelasnya dan terang benderang. Maula yang dimaksud disitu adalah maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apakah lafaz “kaum” yang dimaksud itu hanya merujuk pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Cuma orang yang lemah akalnya yang bilang begitu. Dan jika orang tersebut sok merasa kasihan atas orang lain maka keadaannya jauh lebih menyedihkan.

Dan yah kalau nashibi itu bisa membaca [itu pun kalau bisa] sebagian ulama menyatakan bahwa maula bani hasyim diharamkan menerima sedekah. Apa dalilnya? Yaitu hadis yang telah kami kutip. Jadi sangat berbeda dengan ucapan dusta nashibi tersebut.
Jadi hadits di atas tidak bisa dijadikan sebagai hujjah bahwa istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tidak diharamkan menerima sedekah, sampai detik ini kami tidak melihat ada suatu hadits yang tegas mengatakan hal tersebut, jadi pendalilan si rafidhi nashibi ini sangat lemah.
Jangan sok bicara hadis tegas. Sejelas apapun dalilnya akan anda pelintar pelintir sesuka hati. Ini sudah bukan masalah dalil tetapi sudah masalah nafsu anda saja yang maunya terus membantah walaupun dengan cara memalukan. Kami sarankan silakan anda belajar bahasa arab sedikit agar anda paham hadis yang kami kutip. Malas sekali menghadapi orang yang bisanya hanya kopipaste hadis dari lidwa.
Sekali lagi si rafidhi nashibi ini tidak bisa menjawab, bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly dan lemah. Ini bukan perkara bahwa ini adalah ketentuan Nabi atau apa, tetapi pendalilan si rafidhi nashibi ini yang keliru, pepesan kosong seperti biasa.
Lha kalau memang pakai logika, ya silakan pakai maka bagaimana dengan sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang katanya sahabat di dunia dan akhirat seperti Abu Bakar dan Umar. Apakah masuk di logika anda kalau mereka juga diharamkan menerima sedekah?. Dan mereka tidak hanya sahabat tetapi juga mertua Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Andalah yang pakai logika dalam masalah ini maka itu adalah masalah bagi anda sendiri. Sedangkan kami berhujjah dengan dalil shahih bukan logika ngawur. So mengapa kami harus menjawab pertanyaan ngawur anda.
Mungkin hatinya yang buta dipenuhi rasa hasud terhadap istri Nabi sehingga dia tidak melihat hadits-hadits shahih mengenai hal ini, dasar Nashibi!
Silakan tunjukkan dalil jelas dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah?. Jangan cuma klaim tanpa bukti. Jika memang sedemikian masyhurnya bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka mengapa sahabat Zaid bin Arqam radiallahu ‘anhu tidak mengetahuinya.
.
.
Riwayat Aisyah “Kisah Barirah”
Si Rafidhi Nashibi ini apakah lupa bahwa Barirah adalah mawla Aisyah dan sering membantu Aisyah, setelah dimerdekakan, Barirah diberi pilihan untuk tetap bersama suaminya atau berpisah dan dia memilih berpisah dengan suaminya dan ikut bersama Aisyah, apakah periuk di atas api bisa disimpulkan bahwa yang memasak adalah Aisyah?
Lho kalau begitu siapa yang memasaknya?. Sangat jelas dari hadis Shahih Bukhari tersebut bahwa ketika Beliau masuk ke rumah Aisyah, periuk itu sedang di atas api. Artinya “daging itu sedang dimasak”. Siapa yang memasaknya? Barirah? Mana buktinya, itu namanya berandai andai. Hadisnya tidak menyebutkan demikian. Bahkan dari hadis Shahih Bukhari tersebut jelas Barirah tidak berada disana karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “baginya sedekah” kalau memang ketika itu Barirah ada disana maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan berkata “bagimu adalah sedekah”.
Dan apakah kemudian disimpulkan bahwa Aisyah akan memakannya?. Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah, artinya daging tersebut tidak biasa di rumah Aisyah dan itu adalah milik Barirah. Jadi tidak ada penunjukkan dalam hadits di atas bahwa Aisyah tidak diharamkan menerima sedekah.
Wahai nashibi pakai logikanya, jangan sok berkata logika ternyata cuma komentar ngawur. Daging tersebut memang tidak biasa di rumah Aisyah karena itu berasal dari pemberian Barirah yang mendapat sedekah. Apa memangnya Barirah itu setiap hari mendapat sedekah dan setiap hari pula ia memberikan sedekah yang ia terima kepada Aisyah?. Perkataan nashibi “itu adalah milik Barirah” adalah perkataan dusta.

Mengapa? Karena sangat jelas bahwa itu adalah milik Aisyah setelah Barirah memberikan padanya. Bagaimana mungkin Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memakan makanan milik Barirah tanpa meminta izin dulu dari Barirah. Barirah memberikan daging kepada Aisyah dan Aisyah yang memasaknya, ini sangat jelas karena Barirah tidak ada disana dan daging itu masih dimasak ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk.
Si rafidhi nashibi ini mempermasalahkan mengapa Aisyah berkata “Anda tidak makan sedekah” kok tidak mengatakan “kita tidak makan sedekah” kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan konyolnya itu dengan bertanya konyol ke dia mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengatakan “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” kok tidak mengatakan“bagi kalian adalah sedekah sedangkan bagiku adalah hadiah”
Nah komentar ini menunjukkan kalau nashibi itu tidak mengerti pembahasan kami sebelumnya. Jawabannya sudah kami tulis di pembahasan sebelumnya. Lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa
  • Daging itu adalah hadiah bagi Aisyah.
  • Daging itu adalah hadiah bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Bukankah Barirah memberikan daging itu kepada Aisyah maka daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Yang mendapat sedekah adalah Barirah sedangkan Aisyah mendapat hadiah dari Barirah makanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengatakan “bagi kalian adalah sedekah”. Aisyah radiallahu ‘anha awalnya beranggapan daging itu masih berstatus sedekah setelah Barirah memberikannya tetapi kenapa ia tidak menolaknya. Mengapa daging itu harus berada di rumahnya jika ia beranggapan dirinya dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah?. Seperti yang kami katakan jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah maka ia tidak akan menerimanya tetapi menolak pemberian Barirah.
Satu hal lagi, bahwa Barirah menghadiahkan daging tersebut sebenarnya bukan hanya untuk Aisyah tetapi juga untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, sebagaimana riwayat berikut
Aneh itu pun juga sudah kami nyatakan sebelumnya. Apa yang anda inginkan dengan fakta itu?. Wahai nashibi andalah yang tidak mengerti maksud lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa hukum makanan itu berubah. Makanan yang disedekahkan kepada seseorang telah menjadi milik orang tersebut. Jika orang tersebut memberikannya kepada orang lain maka status makanan itu bukan lagi sedekah melainkan hadiah. Dengan lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa makanan itu hadiah bagi Aisyah dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apa ada dalam lafaz ini menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka setiap hadiah yang diberikan kepadanya harus dianggap sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka ia tidak bisa menerima hadiah?.

Aisyah sendiri yang menunjukkan bahwa dirinya bisa menerima sedekah dan hadiah karena awalnya ia beranggapan daging Barirah adalah sedekah, ia terima dan ia masak. Kemudian setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan bahwa daging sedekah jika sudah diberikan oleh orang yang menerima sedekah statusnya adalah hadiah maka Aisyah baru paham kalau yang ia terima adalah hadiah dan tidak mengapa disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Maka jelas kalimat “kita” pada hadits-hadits tersebut adalah untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lha iya, kapan pula kami membantah soal itu?. Nashibi ini memang sulit memahami hujjah orang lain. Jelas hadiah itu diperuntukkan bagi Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka lafaznya adalah “bagi kita adalah hadiah” tetapi yang tidak boleh menerima sedekah itu hanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan Aisyah [radiallahu ‘anha] boleh menerima sedekah.
Perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah daging itu adalah Hadiah, artinya bukan sedekah dan artinya pula bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah tidak menerima sedekah tetapi hanya menerima Hadiah alias mereka diharamkan menerima sedekah. hal yang mudah dipahami tetapi bagi orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit menjadi sulit dan berbelit-belit.
Sekarang kami tanya wahai nashibi, kapan Aisyah menyadari bahwa daging tersebut hadiah? itu setelah Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakannya. Kapan ia menerima daging tersebut, meletakkan di rumahnya bahkan dimasak di rumahnya? Itu sebelum Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan kepadanya bahwa itu hadiah. Anehnya bagian mana dari lafaz “bagi kita hadiah” yang menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah. Jangan mengkhayal wahai nashibi. Kalau memang Aisyah beranggapan dari awal bahwa yang ia terima adalah hadiah maka mengapa ia tidak mau menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mengapa ia berkata “anda tidak makan sedekah”. Jelas Aisyah awalnya beranggapan yang ia terima adalah sedekah baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan maka ia paham bahwa apa yang ia anggap sedekah sebenarnya adalah hadiah.

Ada analogi sederhana, misalnya anda dan istri anda tinggal satu rumah. Anda diwasiatkan oleh ayah anda tidak boleh menerima sedekah orang lain tetapi boleh menerima hadiah. Istri anda tidak ada masalah [ia tidak punya ayah yang aneh]. Suatu ketika saya memberikan daging yang disedekahkan kepada saya pada istri anda. Istri anda menerimanya tahu kalau anda tidak boleh menerima sedekah tetapi istri anda menyukai daging tersebut jadi ia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Ketika anda datang, anda melihat ada daging yang dimasak tetapi tidak disajikan kepada anda. Anda bertanya soal daging itu, istri anda menjelaskan bahwa saya menerima sedekah kemudian memberikannya maka istri anda tidak menyajikan karena anda dilarang makan sedekah. Tiba tiba saya menelepon saya katakan bahwa daging itu adalah hadiah. Maka anda berkata “bawakan daging itu, itu adalah hadiah bagi kita”. Nah apakah adanya lafaz “hadiah bagi kita” menunjukkan bahwa anda dan istri anda dilarang memakan sedekah. Jelas tidak ada indikasinya, andalah yang dilarang oleh ayah anda yang aneh sedangkan istri anda tidak. Tetapi lafaz yang anda gunakan tetap “bagi kita adalah hadiah”  karena saya memang memberikan untuk anda dan istri anda
Nashibi itu berhujjah dengan hadis berikut yang mengandung lafaz “bagi kalian hadiah”. Kami tidak membahasnya sebelumnya karena itu sudah tercakup dalam pembahasan hadis Shahih Bukhari yang kami kutip. Ini lafaznya:

كَانَ النَّاسُ يَتَصَدَّقُونَ عَلَيْهَا وَتُهْدِي لَنَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَكُمْ هَدِيَّةٌ فَكُلُوهُ

Orang orang bersedekah kepadanya kemudian ia memberikan kepada kami maka aku menyebutkan hal itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “baginya adalah sedekah dan bagi kalian adalah hadiah, makanlah”.

Kami tanya pada anda wahai nashibi? Mana lafaz yang menyatakan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah. Lafaz “bagi kalian hadiah” seperti yang kami jelaskan adalah penunjukkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa siapapun yang menerima pemberian Barirah itu maka ia telah menerima hadiah dari Barirah. Pernyataan Aisyah radiallahu ‘anha “memberikan kepada kami” menunjukkan bahwa bukan cuma Aisyah [radiallahu ‘anha] yang diberikan oleh Barirah tetapi juga sahabat lain. Nah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “bagi kalian adalah hadiah”. Siapa kalian disini? Ya siapapun yang menerima pemberian Barirah termasuk Aisyah radiallahu ‘anha.

Mungkin yang menjadi hujjah nashibi adalah lafaz “makanlah”. Menurut nashibi seolah olah dengan lafaz itu Aisyah merasa haram untuk memakannya sebelumnya dan setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan itu hadiah dan berkata “makanlah” itu menjadi halal baginya. Tentu saja hujjah ini tertolak, karena dari awal seperti yang kami tunjukkan dalam hadis Bukhari dalam kisah yang sama Aisyah telah menerima sedekah tersebut, memasaknya tetapi tidak menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia tahu bahwa Beliau tidak makan sedekah.

Lafaz “anda tidak makan sedekah” justru mengandung hujjah bahwa Aisyah tidak termasuk diharamkan menerima sedekah. Bukankah Aisyah telah mengetahui hadis bahwa keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah, nah jika ia telah tahu dan merasa dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan menolak setiap pemberian yang ia anggap sedekah bukannya menerima pemberian tersebut. Begitu pula jika ia tahu bahwa keluarga Muhammad haram menerima sedekah maka lafaz yang akan ia ucapkan adalah “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah” karena daging itu memang dihadiahkan Barirah kepada Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Perhatikan hadis berikut

حَدَّثَنَا أبو يُوسُف ، حَدَّثَنَا مكي بن إبراهيم قال بهز ذكره عن أبيه عَن جَدِّهِ قَال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتى بطعام سأل عنه أهدية أم صدقة ؟ فإن قالوا هدية بسط يده ، وإن قالوا صدقة قال لأصحابه : كلوا

Telah menceritakan kepada kami Abu Yusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibrahim yang berkata Bahz menyebutkannya dari ayahnya dari kakeknya yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jika datang makanan, ia akan bertanya tentangnya apakah itu hadiah atau sedekah?. Jika mereka berkata “hadiah” beliau mengambilnya dan jika mereka berkata “sedekah” maka beliau berkata kepada sahabatnya “makanlah” [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy 1/305 dengan sanad shahih].

Silakan perhatikan lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada sahabatnya “makanlah” yang Beliau ucapkan ketika dikatakan kalau makanan itu sedekah. Apakah dari lafaz tersebut bisa ditarik kesimpulan jika makanan itu hadiah [bukan sedekah] maka sahabat Nabi diharamkan untuk memakannya. Baik itu sedekah atau hadiah, para sahabat dihalalkan memakannya. Nah begitu pula dengan lafaz “makanlah” yang diucapkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Aisyah setelah Beliau menyatakan daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Apakah jika daging itu sedekah maka Aisyah diharamkan memakannya?. Tidak, baik sedekah atau hadiah Aisyah dihalalkan memakannya. Jadi maaf saja wahai nashibi tidak ada dalam hadis yang anda jadikan hujjah, lafaz yang menunjukkan Aisyah diharamkan menerima sedekah.

Sekedar tambahan bagi para pembaca bahwa Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkenaan hadis Barirah ini memahami hadis tersebut sama seperti yang kami pahami. Beliau berkata dalam penjelasannya terhadap hadis Barirah:

أن الصدقة لا تحرم على قريش غير بني هاشم وبني المطلب لأن عائشة قرشية وقبلت ذلك اللحم من بريرة على أن له حكم الصدقة وأنها حلال لها دون النبي صلى الله عليه وسلم ولم ينكر عليها النبي صلى الله عليه وسلم هذا الاعتقاد

Bahwa sedekah tidak diharamkan bagi kaum Quraisy kecuali bani Hasyim dan bani ‘Abdul Muthalib, Aisyah wanita quraisy dan ia menerima daging itu dari Barirah maka disini terdapat hukum bahwa sedekah halal baginya tetapi tidak bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengingkari keyakinan Aisyah tersebut [Syarh Shahih Muslim An Nawawi 5/274].
Dengan jelas sekali dalam riwayat di atas ketika beliau diberi daging sedekah oleh Barirah, Aisyah tidak langsung memakan-nya tetapi melaporkan-nya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dan beliau bersabda dengan teramat jelas : Untuk Barirah hal itu adalah sedekah, sedangkan bagi kalian adalah hadiah. Karena itu, makanlah.
Nashibi ini memaksakan asumsinya sendiri dalam memahami hadis. Satu hal yang perlu diingat, hadis Barirah itu tidak hanya seperti yang dijadikan hujjah oleh nashibi tersebut [yang sebenarnya adalah bentuk ringkasan dari kisah yang lebih panjang]. Kisahnya telah kami sebutkan dalam riwayat Shahih Bukhari yang kami kutip bahwa Aisyah telah menerima daging pemberian Barirah dan memasak daging tersebut. Jadi Aisyah telah menerima pemberian daging dari Barirah yang ia anggap sedekah. Inilah letak hujjah bahwa Aisyah tidak merasa dirinya diharamkan menerima sedekah.

Satu-satunya sikap yang benar jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah adalah ia akan menolak pemberian Barirah dan berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah”. Coba pikir baik baik wahai pembaca jika anda merasa anda diharamkan menerima sesuatu maka apakah anda menerimanya?. Jika anda diberikan daging babi oleh tetangga anda, apa anda akan menerimanya padahal anda tahu bahwa itu haram untuk dimakan?. Seorang muslim awam saja tahu bahwa sikap yang benar adalah menolak pemberian tersebut bukannya menerimanya apalagi seorang istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ini analogi yang pas untuk menunjukkan bahwa lafaz tersebut tidak bermakna pengharaman. Misalnya nih nashibi itu punya seorang istri. Istrinya mendapat daging dari tetangganya yang miskin. Tetangganya itu mendapatkannya dari sedekah orang lain. Maka istrinya memberitahukan hal tersebut kepada nashibi itu. Nah nashibi itu berkata “itu adalah sedekah untuknya sedangkan untukmu adalah hadiah, makanlah”. Apa dari lafaz itu bermakna kalau istrinya diharamkan memakan sedekah?. Tentu saja walaupun tidak dikatakan “makanlah” istrinya tetap akan makan daging tersebut. Apa karena nashibi itu berkata “makanlah” menunjukkan bahwa istrinya sebelumnya merasa daging itu haram untuknya?. Kalau memang merasa daging itu haram ya dari awal seharusnya istrinya menolak saja pemberian tetangganya.

Riwayat Ummu Athiyah
Riwayat di atas diriwayatkan oleh Ummu Athiyah, artinya saat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda kepada Aisyah dalam hadits di atas, Ummu Athiyah hadir di situ sehingga dia bisa meriwayatkannya. Artinya juga bahwa Aisyah baru saja menerima pemberian daging tersebut dari Ummu Athiyah dan belum memutuskan apa-apa, tak lama kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam datang sementara Ummu Athiyah masih ada di situ.
Ini ucapan orang yang berandai andai. Apa buktinya Ummu Athiyah ada disitu?. Ummu Athiyah tidak hadir disitu dan walaupun ia tidak hadir tidak ada alasan untuk menolak riwayatnya. Apa karena ia tidak hadir disitu maka ia tidak bisa meriwayatkannya. Tidak setiap peristiwa yang diriwayatkan oleh sahabat ia saksikan langsung. Dari lafaz hadisnya tidak ada satupun keterangan kalau Ummu Athiyah berada disana bahkan dalam lafaz hadis tersebut terdapat isyarat bahwa ia tidak ada disana. Perhatikan saja lafaz:

أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ

Ummu Athiyah berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengirimkan kepadaku kambing dari hasil sedekah.

Apa bedanya memberikan dengan mengirimkan?. Jika anda mengirimkan sesuatu apa anda akan membawanya langsung kepada orang tersebut. Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan memberikan kepada setiap orang yang menerima sedekah dengan membawanya satu persatu. Lafaz “mengirimkan” cukup menunjukkan bahwa sedekah tersebut diantarkan kepada orang yang akan menerimanya tidak mesti langsung oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam hadis Ummu Athiyah yang lain yaitu Shahih Bukhari malah diucapkan dengan lafaz:

فَأَرْسَلَتْ إِلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مِنْهَا

Lafaz ini menunjukkan bahwa Ummu Athiyah mengantarkan sebagian dari sedekah itu kepada Aisyah melalui perantara orang lain dan itulah yang dimaksud mengirimkannya. Jadi komentar basa basi nashibi itu sungguh tidak bernilai.

Sekedar info bagi para pembaca, apa yang kami pahami dari hadis Ummu Athiyah ini sebenarnya juga dikutip Ibnu Hajar ketika ia menjelaskan hadis Ummu Athiyah dalam Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari

وفيه إشارة إلى أن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم لا تحرم عليهن الصدقة كما حرمت عليه ، لأن عائشة قبلت هدية بريرة وأم عطية مع علمها بأنها كانت صدقة عليهما

Dan didalamnya terdapat isyarat bahwa Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan bagi mereka menerima sedekah sebagaimana diharamkan atasnya [Rasulullah], Aisyah menerima hadiah Barirah dan Ummu Athiyah dan saat itu ia mengetahui bahwa itu adalah sedekah untuk mereka berdua [Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari 8/61].

Nashibi yang ingkar sunnah itu kemudian berhujjah dengan hadis Nabi tidak mewariskan [kami pribadi telah menunjukkan bahwa hadis ini keliru dan Sayyidah Fathimah telah menolaknya] . Nashibi itu berkata

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ»

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwasanya isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berpulang keharibaan Ilahi, mereka ingin mengutus Utsman untuk menemui Abu Bakar meminta warisan mereka, maka Aisyah mengatakan: Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Kami tidak mewarisi, Apa-apa yang kami tinggalkan adalah sedekah?” (Shahih Bukhari, no: 6730)
Dan ternyata istri-istri Nabi sepeninggal beliau tidak boleh mengambil peninggalan Nabi yang berupa sedekah tersebut, artinya apa? Sedekah diharamkan diterima oleh istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Nah kurang jelas apa lagi…
Hujjah nashibi yang ini lucu sekali, caranya berhujjah menunjukkan bahwa ia tidak memahami hadis yang ia jadikan hujjah. Ia tidak meneliti kesuluruhan lafaz hadis-hadis tentang masalah ini. Pembahasan hadis ini adalah masalah lain yang ada tulisannya tersendiri. Tetapi kebetulan karena nashibi ini berhujjah dengan hadis tersebut maka silakan ia membaca hadis berikut dari Abu Bakar

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ وَاللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي

Abu Bakar berkata aku mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “aku tidak mewariskan, apa yang aku tinggalkan adalah sedekah, sesungguhnya keluarga Muhammad makan dari harta ini, demi Allah kerabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lebih aku cintai untuk menjalin hubungannya dibanding kerabatku [Shahih Bukhari 5/90 no 4035].

Nah berdasarkan hadis tersebut maka keluarga Muhammad dapat makan dari harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menjadi sedekah. Menurut Abu Bakar keluarga Muhammad tidak dapat mewarisinya tetapi dapat makan dari harta tersebut. Nah loooo...
Dan apakah nashibi itu tidak memperhatikan bahwa istri istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah tetapi meminta warisan. Lihat saja hadinya yang berbunyi:

أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ

Mereka mengutus Utsman kepada Abu Bakar untuk meminta warisan mereka.

Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah, mereka meminta warisan. Jadi apanya yang maksud nashibi itu jelas. Nashibi itu sepertinya tidak bisa membedakan antara warisan dan sedekah. Dan btw wahai nashibi, istri Nabi itu termasuk keluarga Muhammad yang boleh makan dari harta tersebut tidak?. Selamat bersakit hati.

Riwayat Juwairiyah
Kemudian si Rafidhi Nashibi tersebut mencoba mengkais-kais riwayat-riwayat yang sekiranya bisa menguatkan argumentasi dia seperti berikut ini, tetapi sayang, riwayat ini sama sekali tidak menguatkan hujjahnya.
Ooh kita lihat saja, silakan para pembaca lihat siapa yang sebenarnya berpegang pada sunnah dan siapa yang sebenarnya ingkar kepada sunnah
Justru dalam riwayat di atas Juwairiyah terlihat telah mengetahui hukumnya bahwa sedekah buat maula-nya jika diberikan kepadanya boleh diterima dan diberikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagai hadiah buat mereka. Hal ini tampak ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya tentang makanan, Juwairiyah langsung menawarkan-nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tanpa bertanya lagi apakah itu boleh atau tidak, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membenarkan dan menegaskan bahwa sedekah itu telah sampai pada tempatnya.
Wah wah kami sampai tertawa membaca komentar ini. Tidak ada dalam lafaz riwayat Thabrani yang menunjukkan bahwa Juwairiyah menawarkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Inilah lafaz jawaban Juwairiyah dalam riwayat Thabraniy

 يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته

wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging dan aku telah memasaknya.

Dengan lafaz ini Juwairiyah ingin mengatakan bahwa makanan yang ada padanya adalah hasil sedekah dan ia tahu bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak makan sedekah. Lafaz ini mengisyaratkan Juwairiyah tidak mau menyajikan kepada Nabi makanya Nabi menjawab “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya”. Jawaban ini diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk mengoreksi anggapan Juwairiyah karena Juwairiyah beranggapan status makanan tersebut masih sedekah.
Kesalahan fatal nashibi itu adalah ia tidak mengumpulkan semua riwayat kisah Juawiriyah tersebut. Peristiwa Juwairiyah ini sama halnya dengan peristiwa Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kami mengutip riwayat Thabraniy karena lafaznya lebih kuat sebagai hujjah yaitu Juwairiyah memasak makanan tersebut, nah hadis tersebut ternyata diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim yaitu sebagai berikut

أن عبيد بن السباق قال إن جويرية زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فقال هل من طعام ؟ قالت لا والله يا رسول الله ما عندنا طعام إلا عظم من شاة أعطيته مولاتي من الصدقة فقال قريبة فقد بلغت محلها

Bahwa Ubaid bin As Sabbaaq berkata bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuinya dan berkata “apakah ada makanan?”. Ia berkata “tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada disisi kami makanan kecuali kambing yang disedekahkan kepada maulaku. Beliau berkata “bawalah kemari, sedekah itu telah sampai pada tempatnya [Shahih Muslim 2/756 no 1073].

Riwayat ini sama saja dengan riwayat Thabraniy dan kisah yang diceritakan pun sama. Jadi Juwairiyah menerima pemberian maulanya yang ia anggap sedekah dan ia tidak mau menyajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi diharamkan sedekah atasnya. Nah mengapa Juawiriyah memasaknya? Ya untuk dirinya tentu.
Si rafidhi nashibi ini sok tau kalau Juwairiyah memasak makanan tersebut bukan untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, darimana si rafidhi nashibi ini bisa tau? Dari wangsit?  Bukankah istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengetahui saat giliran Nabi mendatangi  mereka?.
Ho ho jelas dalam hadisnya Juwairiyah berkata “tidak ada” ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menanyakan soal makanan. Nah itu berarti Juwairiyah memasaknya bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi untuk dirinya sendiri. Alangkah malunya nashibi ini dan jika ia tidak tahu malu maka hal itu malah lebih memalukan lagi. Saran kami, belajarlah dulu sebelum membantah, teliti baik baik hadisnya biar anda tidak malu berkomentar sembarangan apalagi dengan gaya angkuh begitu.

Kesimpulan:
  1. Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan sedekah atas mereka karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak dibolehkan menerima sedekah. Maka keluarga Nabi yang diharmkan sedekah atas mereka bukanlah istri istri Nabi.
  2. Istri Nabi juga menerima pemberian orang lain yang mereka anggap sedekah dan mereka tidak memberikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini menjadi bukti bahwa Nabi diharamkan menerima sedekah tetapi istrinya tidak.

BAni Umayyah dan Bani Abasiyah hancur karena telah menyakiti Ahlul Bait nabi SAW

Wahabi, Siapakah Yang Kalian Bela?


Bagi orang yang memiliki dua mata yang mampu memandang kebenaran, cobalah buka  kedua matamu pasti kamu akan mengetahui bahwa Wahabiyah adalah pendukung pertama penjajahan barat terhadap negara-negara Islam. Tidak sampai di sini saja, apabila kamu mengikuti sejarah Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pemimpin Wahabiyah setelahnya, kamu tidak akan pernah menemukan upaya nyata mereka dalam mensejahterakan umat, menegakkan keadilan, mencegah kedzaliman dan melawan kebodohan. Juga andil mereka dalam upaya perdamaian dan kesejahteraan.


Tidak akan kamu temukan dalam sejarah mereka kecuali pengkafiran terhadap umat Islam dan tuduhan syirik, mewajibkan untuk memerangi mereka serta menghalalkan darah dan harta mereka.  Dalam diri mereka yang ada hanyalah aqidah tajsimtasybih, kufur, sesat dan pengingkaran ziarah makam Rasulullah dan makam orang-orang yang shalih untuk bertabarruk, dan pengkafiran terhadap orang yang mengatakan: “Wahai nabi pembawa rahmat mintakan syafaat untukku kepada Allah!!”. Dan mengingkari perayaan maulid nabi yang mulia seperti yang telah biasa dilakukan oleh kalangan ahlussunnah, mengharamkan membaca al Qur’an bagi umat Islam yang telah meninggal dunia, inilah rutinitas mereka tidak ada yang lain.

Inilah satu-satunya tujuan mereka dengan kedok agama mereka menumpahkan darah umat Islam yang tidak berdosa, menghalalkan yang haram, dan menyebarkan fitnah demi fitnah. Sungguh licik hati mereka penuh dengan kedengkian dan kebencian serta suka membuat masalah pada umat.

Bahkan, mereka jadikan barat sebagai qiblat dan mereka dukung para penjajah untuk menginjak-injak martabat negara-negara Arab dan Islam. Mereka adalah kepanjangan tangan musuh-musuh Islam yang dengan semaunya mereka permainkan Islam.

Sedangkan permusuhan Wahabiyah kepada umat Islam secara gamblang bisa dilihat dari fatwa Nashiruddin al Albani ketika memberikan fatwa kepada penduduk palestina dengan mewajibkannya keluar dari Palestina, apa kemaslahatan dari ini semua? Dan untuk siapa kita tinggalkan Palestina jika kita mewajibkan penduduknya meninggalkan Palestina? Berapa harga fatwa ini? Orang yang cerdas adalah orang yang memahami isyarat ini. Siapa yang membayar al Albani untuk fatwanya ini???

Inilah kenyataan dari apa yang telah mereka dilakukan, atau yang sedang mereka lakukan juga rencana busuk mereka di masa  mendatang.

Wahabiyah mengklaim bahwa mereka hanya mengikuti Nabi dan tidak membuat bid’ah. Aqidah mereka yang telah kita paparkan bersumber dari kitab-kitab mereka adalah saksi kebohongan mereka, jelas mereka pembuat bid’ah dalam aqidah. Dalam sebagian aqidah Wahabi mengikuti Yahudi, Fir’aun dan Hamman terbukti mereka berhujjah dengan aqidah orang-orang ini. Bahkan dalam hal menetapkan arah, batasan, tempat, duduk, bergerak, diam, berat, timbangan, lisan, mulut kepada Allah, mereka mengambil pernyataan Yahudi, Fir’aun dan Hamman. Juga Aqidah Wahabi yang mengatakan Allah berada di atas Arsy dengan dzat-Nya, di langit dengan dzat-Nya, Allah memiliki kursi di setiap langit untuk tempat dudukNya.

Kami menantang mereka, apakah mereka siap untuk menunjukkan siapa yang mereka ikuti dalam hal itu? Apabila mereka berbicara atau menulis tidak ada yang diikuti oleh mereka dalam hal itu  kecuali Fir’aun, Hamman, Yahudi dan Musyabbihahsebagaimana hal itu terlihat jelas, sejelas matahari di siang bolong yang tidak terhalang mendung. Apabila kita

beri waktu dari sekarang hingga dunia berakhir mereka tidak akan mampu untuk membuktikan satu hurufpun apa yang mereka selewengkan bahwa hal itu berdasarkan sabda Nabi, pendapat para sahabat, tabi’in atau dari seorang mujtahid Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Jadi Aqidah Wahabiyah adalah aqidah  yang rapuh bahkan lebih rapuh dari sarang laba-laba. Tidak ada panutan mereka kecuali orang-orang bodoh dan kafir yang telah Allah kehendaki bahwa mereka sesat menyesatkan serta tidak ada cahaya dalam hati-hati mereka. Jadi Wahabiyah adalah pembawa bid’ah dan bukan muttabiah (orang yang mengikuti nabi).


Keterangan gambar: Makam Muawiyah bin Abu Sofyan di Syria. Digembok rapat karena orang-orang suka membuang kotoran di makam ini. Konon di sekitarnya juga tumbuh pohon berduri yang tidak tumbuh di tempat lain.Dinasti Umayyah dan Abbasiyah menganiaya dengan kejam dan memburu keturunan MUHAMMAD dengan racun dan pedang, merampas kekuasaan mereka dengan beragama kejahatan dan banjir darah...

KESELAMATAN SESEORANG TERGANTUNG KEPADA KESANGGUPANNYA UNTUK TIDAK MASUK DALAM SYSTEM YANG MENZALIMI KEHIDUPANN KAUM DHUAFA

http://achehkarbala.blogspot.com/2010/02/keselamatan-seseorang-tergantung-kepada.html

KESELAMATAN SESEORANG TERGANTUNG KEPADA KESANGGUPANNYA UNTUK TIDAK MASUK DALAM SYSTEM YANG MENZALIMI KEHIDUPANN KAUM DHUAFA


Bismillaahirrahmaanirrahiim


SETELAH TERLEPAS DARI KEJARAN SANG HARIMAU LAPAR DAN GANAS
DAPAT BERLINDUNG DALAM SEBUAH GUA, SESEORANG MERASA LEGA,
NAMUN KETIKA MELIHAT KERUMUNAN ULAR BESAR DAN BERBISA
SIAP MENANTI KEJATUHANNYA (AZAB KUBUR).
ANGIN SPOI-SPOI BASAH YANG MEMBAWA PERCIKAN MADU,
MEMBUAT SESEORANG LUPA LAGI
BAHAYA YANG AKAN DIA HADAPI.


Acheh - Sumatra.
Ketika seseorang anggota DPRA mempertanyakan transparansi pembahagian hasil minyak Bumi di Acheh pada penguasa Jawakarta, mereka akan mengatakan bahwa 10 milyar per anggota DPRA adalah termasuk manipulasi dari persentase minyak bumi Acheh juga. Apa bila kalian masih mempertanyakan transparansinya, 10 milyar peranggota DPRA itu akan kami tarik balik. Kira-kira apa jawaban DPRA andaikata terjadi dialog seperti itu? Sepertinya penguasa Jawakarta bukan setakat itu sepakterjangnya, masih lebar lagi, termasuk berdaya upaya untuk menumbal mulut DPRA dengan uang haram itu agar tidak memperjuangkan Self Government, sebaliknya menerima saja Otonomi, pepesan kosong itu. Kheun ureueng Acheh: "Meunje peng kadjisumpai lam babah, soemanteng akan meulolo, handjeuetle djimarit, hana keutjuali atawa hana pileh bulee. 'Ulama gadeh djanggot'". Kalau Ulama benaran pantang tunduk patuh kepada penguasa taghut zalim, bukan?

10 milyar perorang bukan lagi belajar untuk korupsi tapi sekali saja sudah jadi konglomerat, konon pula kalau masih ada lagi kesempatan setelah itu. Kalau hal ini menjadi realita, bukan si Kontoro saja yang sangat kurang ajar, masih ada lagi 'Kontoro-kontoro' kelas kakap lainnya. Jadi pantaslah berbuih air liurnya ketika berkampanje dulu. Maaf ini saya gunakan andaikata. Kita mengharap sangat semoga bang Hasbi cs yang masih kami muliakan, cepat menanggapi persoalan ini. Kalau setelah lama baru anda tanggapi dengan pernyataan menolak dana yang membuat seluruh DPR Acheh masuk neraka secara pasti, kami sudah mulai curiga barang kali kalian akan menunggu kesempatan lainnya yang agak tertutup dalam pandangan umum.

Sepertinya DPRA tidak menganggap itu dana terkutuk buat DPR tapi dana kebijaksanaan pemerintah agar tidak korupsi sebagaimana penguasa Jawakarta melegitimate Kontoro cs dengan gaji yang tinggi dengan alasan yang sama. Itu adalah pemahaman orang yang berpedoman dengan Pancasila atau puncasilap, bukan Al Qur-an. Andaikata DPRA itu termasuk orang yang beriman, pastinya berpegang teguh dengan Al Qur-an. Berdasarkan Al Qur-an itu dana yang berjumlah 10 milyar peranggota DPRA adalah korusi yang mendapat legitimate aturan systemnya buat seluruh DPR dalam system tersebut. Sebagaimana kita ketahui pihak Indonesia tidak berbuat sesuai MoU Helsinki terhadap Acheh - Sumatra. Menurut yang mereka sepakati Acheh - Sumatra berstatus Self Government tapi pihak indonesia telah menggantikan dengan Otonomi, padahal kalau memang untuk memperoleh otonomi buat apa kita berperang? Nah pihak Indonesia menganggap itu adalah POLITIS (baca sesuai pedoman hidup mereka Pancasila alias puncasilap). Kalau pandangan orang yang beriman, yaitu orang yang haqqul yakin akan firman Allah, sepakterjang penguasa Indonesia yang demikian adalah MUNAFIQ. Mereka yang demikian sepakterjangnya sesuai dengan firman Allah: "Dan diantara manusia ada yang berkata: "Kami beriman kepada Allah dan hari Kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukanlah orang yang beriman" (QS, al Baqarah : 8)

Ketika Irwandi, gubernur Indonesia di Acheh memata-matai para dokter Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Acheh, agar tidak menelantarkan pasen, para dokter tau bahwa kerjanya lebih lumaian daripada DPR yang hanya duduk doang, dapar fulus 10 milyar perorang, belum lagi fasilitas dan dana kongkalikong lainnya. Jadi semua aparat yang berada dalam system tersebut berdaya upaya untuk memiliki juga sebagaimana yang dimiliki para dewan 'terhormat' itu. Disinilah kezaliman system secara keseluruhan. Dalam kontek seperti ini benarnya pikiran oran g yang tidak percaya lagi kepada siapapun yang mengatasnamakan 'rakyat' demi meraih kesenangan keluarganya sendiri. Andaikata tidak adalagi hukuman Allah di Akhirat, sungguh semua seluruh kuam dhuafa dimanapun mereka berada akan mengalami stress berat menghadapi sepakterjang mereka yang terlibat vdalam system taghut zalim, hipokrit dan korrup secara systematis.

Disuatu arena training saya pernah menyampaikan materi bahwa kita tidak boleh bekerja dalam system yang menjejaskan kaum dhuafa sebagaimana system Indonesia termasuk Acheh kedalamnya, kecuali benar-benar sebagai taktik strategi buat sementara, seperti bekas tentera di Chechenia dulu atau Hur yang terkenal cemerlang di medan Karbala. Saya menjelaskan dengan kasus 7 Aulia dalam Gua, meninggalkan gemerlapnya singgasana Diklidianus dalam surah al Kahfi. Dan dengan keyakinan itu juga saya meninggalkan segala-galanya, kendatipun saya sudah lumaian golongannya sebagai pegawai negeri. Yang menjadi persoalan disini, ada beberapa guru agama yang berdaya-upaya untuk mencari jalan keluar supaya tetap sebagai pegawai negeri. Saya katakan kepada orang tersebut bahwa secara system apasaja kedhaliman yang dibuat penguasa melalui kaki tangannya terhadap kaum dhuafa, kita juga terimbas kedhaliman tersebut. Jadi bukan orang yang mendhalimi itu saja. Itulah yang namanya system. Kita umpama berada dalam sebuah bahtera yang sedang menuju Neraka secara pelan tapi pasti.

Guru tersebut sepulang dari training, bertamu ke rumah seorang tgk, dmana anaknya sendiri sebagai pemborong yang dipelintirkan orang sebagai pembohong. Guru tersebut mendapat penjelasan dibenarkan dengan menyebutkan beberapa orang pegawai negeri Saudi dan Mesir. Perlu saya sampaikan bahwa tidak semua tgk selugu tgk tersebut.

Kembali kepada DPRA yang bekerjasama dengan Indonesia yang statusnya sudah jelas dalam surah al Baqarah ayat 8 diatas, otomatis akan dibangkitkan Allah kelak bersama orang-orang yang pedoman hidupnya, Puncasilap tersebut diatas, kecuali DPRA mampu memainkan peranan seperti Hur di Karbala atau bekas tentara Chechenia diatas, sanggupkah? Sanggupkah selagi belum jadi Hur, tidak korupsi. Baik korupsi secara terang-terangan macam DPR Jawakarta maupun korupsi terselubung sebagaimana yang sedang kita sorot ini. Jangan anda pedomani DPRA yang lalu yang sudah melahap 5 milyar perorang dan pasti akan berhadapan dengan firman Allah berikut ini kelak:

"Bukankah sudah kuperintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak tunduk patuh kepada syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu. Dan tunduk patuhlah kepada da Ku. Inilah jalan yang selurus-lurusnya. Sesungguhnya syaithan itu telah menyesatkan sebahagian besar diantarakamu. Apakah kamu tidak berfikir ? Inilah Jahannam yang dulu kamu diancam (dengannya). Masuklah kamu kedalamnya hari ini disebabkan kamu dahulu mengingkarinya. Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan dan kaki Kami minta kesaksian terhadap apa yang telah mereka kerjakan dahulu" (QS,36: 60-65)

Betapa jelasnya Ancaman Allah kepada orang orang yang membangkang perintahNya saat di dunia, namun orang orang yang telah banyak melakukan kesalahan sudah tertutup hatinya untuk taubat, betapapun jelasnya dakwah yang dialamatkan kepada mereka, malah mereka menganggap pendakwah itu telah menghinanya dan sebagainya.

Billahi fi sabilil haq
hsndwsp
di Ujung Dunia

Ketika Negara dikuasai oleh Muawiyah bin Abu Sofyan, Al Qur-an itu dikaburkan dengan hadist-hadist palsu dari Abu Hurairah cs, untuk ini beliau mendapat finansial hidup dari Muawiyah sebagaimana orang-orang alim lugu yang berjingkrak-jingkrak dalam ketiak penguasa dhalim.

jerat hukum Syari’at pada masa Umayyah semakin biadab dengan adanya upaya penghapusan jerat hukum bagi kalangan elit-kerajaan, bahkan mereka berusaha menyelewengkan Syari’at hanya demi mendukung tindakan yang diambil raja pada masa itu.

Langkah-langkah yang mengundang amarah Muslimin pada masa Umayyah sudah ada pada masa kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, namun pemberontakan kaum Muslim terhadap kerajaan baru mulai berkecamuk pasca wafatnya cucu Rasul saw Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa Karbala.

Dalam peristiwa Karbala terjadi pembantaian al Husein beserta tujuh puluh dua orang sahabat dan keluarganya, oleh empat ribu pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dikirim oleh Abdullah bin Ziyad gubernur Kufah pada waktu itu atas perintah Yazid bin Muawiyah. Upaya tersebut Yazid lakukan atas dasar pengambilan bai’at (pengakuan) atas kepemimpinannya, namun al Husein menolak karena beranggapan agama yang telah dibawa Rasul saw kakeknya telah jauh menyimpang dari yang sebenarnya berada di bawah kepemimpinan Yazid.

Membunuh, Sembelih Bayi, Perbudak Muslimah.
Tatkala khalifah Ali masih hidup, Mu’awiyah mengirim ‘malikil maut’ yang bernama Busr bin Arthat dengan 4.000 anggota pasukan berkeliling ke seluruh negeri untuk membunuh siapa saja pengikut dan sahabat Ali yang ia temui termasuk perempuan dan anak-anak kemudian merampas harta bendanya. Perempuan Muslimah ditawan dan dijadikan budak untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam. Busr melakukannya dengan baik sepanjang perjalannnya sampai ia tiba di Madinah dan ia telah membunuh ribuan Syi’ah Ali yang tidak bersalah. Abu Ayyub al-Anshari -rumahnya ditempati Rasul Allah saw tatkala baru sampai di Madinah ketika hijrah- pejabat gubernur Ali di Madinah, melarikan diri ke tempat Ali di Kufah.

Kemudian Busr ke Makkah dan membunuh sejumlah keluarga Abi Lahab. Abu Musa, gubernur Ali juga melarikan diri. Ia lalu ke Sarat dan membunuh semua yang turut Ali di perang Shiffin, sampai di Najran ia membunuh Abdullah bin ‘Abdul Madan al-Harai dan anaknya, ipar keluarga Banu Abbas yang ditunjuk Ali sebagai gubernur. Kemudian ia sampai di Yaman. Pejabat di sana adalah Ubaidillah bin Abbas. Ubaidillah melarikan diri tatkala mengetahui kedatangan Busr. Busr menemukan kedua anaknya yang masih balita. Ia lalu menyembelih dengan tangannya sendiri kedua anak itu di hadapan ibunya. Kekejamannya sukar dilukiskan dengan kata-kata dan memerlukan buku tersendiri. Seorang dari Banu Kinanah berteriak tatkala Busr hendak membunuh kedua anak tersebut:

‘Jangan bunuh mereka! Keduanya adalah anak-anak yang tidak herdosa dan bila Anda hendak membunuhnya, bunuhlah saya bersama mereka’. Maka Busr bin Arthat membunuhnya kemudian menyembelih kedua anak yang berada di tangan ibunya, yaitu Qatsm dan Abdurrahman. Sang ibu, Juwairiah binti Khalid bin Qarizh al-Kinaniah, istri Ubaidillah bin Abbas jadi linglung dan gila. Di musim haji ia berkeliling mencari kedua anaknyadan dengan menyayat hati ia bertanya tentang anaknya yang kemudian ditulis oleh penulis-penulis sejarah seperti yang tertulis dalam al-Kamil berikut:

Siapa yang tahu di mana kedua anakku,
Dua mutiara, baru lepas dari kerang,
Sapa yang tahu di mana kedua bocahku,
Kuping dan jantung-hatiku telah diculik orang,
Siapa yang tahu di mana kedua puteraku,
Sumsum tulang dan otakku disedot orang,
Kudengar Busr, aku tidak percaya apa orang bilang,
Berita itu bohong, mana mungkin ia lakukan,
Menyembelih dua bocah, leher kecil ia potong?
Aku bingung, tunjukkan kepadaku, sayang,
Mana bayiku, tersesat setelah salaf hilang,

Ia juga mengirim Sufyan bin ‘Auf al-Ghamidi dengan 6.000 prajurit menyerbu Hit104, al-Anbar dan al-Mada’in. Disini mereka membunuh pejabat Ali Hassan bin Hassan al-Bakri dan orang-orangnya. Kemudian di Anbar mereka membunuh 30 dari seratus orang yang mempertahankan kota ini, mengambil semua barang yang ada, membumi-hanguskan kota al-Anbar sehingga kota itu hampir lenyap. Orang mengatakan bahwa pembumi hangusan ini sama dengan pembunuhan, karena, hati korban sangat pedih sekali. Kepedihan Ali tidak terlukiskan sehingga ia tidak dapat membaca khotbahnya dan menyuruh maulanya yang bernama Sa’d untuk membacakannya. Al-Aghani melukiskan bahwa setelah Ghamidi sampai di kota Anbar ia membunuh pejabat Ali dan juga membunuhi kaum lelaki maupun perempuan.

Mu’awiyah juga mengirim Dhuhhak bin Qays al-Fihfi dengan pasukan yang terdiri dari 4.000 orang ke kota Kufah untuk membuat kekacauan dengan membunuh siapa saja yang ditemui sampai ke Tsa’labiah dan menyerang kafilah haji yang akan menunaikan haji ke Makkah serta merampoksemua bawaan mereka. Kemudian ia menyerang al-Qutqutanah dan turut dibunuh kemanakan Ibnu Mas’ud, sahabat Rasul, ‘Amr bin ‘Uwais bin Mas’ud bersama pengikutnya. Fitnah di mana-mana. Di mana-mana bumi disiram dengan darah orang yang tidak berdosa. Pembersihan etnik terhadap Syi’ah Ali berjalan dengan terencana dan mengenaskan.

Kemudian Mu’awiyah mengirim Nu’man bin Basyir105 pada tahun 39 H/659 M. menyerang ‘Ain at-Tarm106 dengan 1.000 prajurit dan menimbulkan bencana. Di sana hanya ada seratus prajurit Ali. Perkelahian dahsyat terjadi. Untung, kebetulan ada sekitar 50 orang dari desa tetangga lewat. Pasukan Nu’man mengira bantuan datang untuk menyerang dan mereka pergi.


Meracuni Hasan, Cucu Nabi Berkali-kali
Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam dengan pedang pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H/24 Januari 661 M, Hasan bin Ali dibaiat dan pertempuran-pertempuran dengan Mu’awiyah berlanjut. Pada pertengahan Jumadil Awal tahun 41 H/I 6 September 661 M. tercapai persetujuan damai antara Hasan bin Ali dan Mu’awiyah. Surat perdamaian berbunyi sebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah pernyataan damai dari Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwa Hasan menyerahkan kepada Mu’awiyah wilayah Muslimin, dan Mu’awiyah akan menjalankan Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul Allah saw dan tatacara Khulafa ur-Rasyidin yang tertuntun, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalifah sesudahnya, tetapi akan diadakan lembaga syura di antara kaum Muslimin dan bahwa masyarakat akan berada dalam keadaan aman di daerah Allah SWT di Syam, Iraq, Hijaz dan Yaman, dan bahwa sahabat-sahabat Ali dan Syi’ah-nya terpelihara dalam keadaan aman, bagi diri, harta, para wanita dan anak-anak mereka, dan bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan setuju dan berjanji dengan nama Allah bahwa Mu’awiyah tidak akan mengganggu atau menganiaya secara tersembunyi atau terbuka terhadap Hasan bin Ali atau saudaranya Husain bin Ali atau salah seorang ahlu’l-bait Rasul Allah saw dan tidak akan mengganggu mereka yang berada di seluruh penjuru dan bahwa Mu’awiyah akan menghentikan pelaknatan terhadap Ali…

Dan sebagaimana biasa Mu’awiyah melanggar janji. Ia meracuni Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan setelah Hasan meninggal ia bersujud yang diikuti semua yang hadir seperti dilakukannya tatkala imam Ali meninggal dunia.
Ibnu Sa’d menceritakan: Mu’awiyah meracuni Hasan berulang-ulang’. Waqidi berkata: Mu’awiyah meminumkan racun kepada Hasan, kemudian ia selamat, kemudian diminumkan racun lagi dan selamat, kemudian yang terakhir Hasan meninggal. Tatkala maut mendekat, dokter (thabib) yang menjenguknya berulang-ulang mengatakan bahwa Hasan diracun orang.’ Adiknya Husain berkata: ‘Ya ayah Muhammad, beritahukan saya, siapa yang meminumkanracun kepadamu?’. Hasan menjawab: ‘Mengapa, wahai saudaraku?’. Husain: ‘Demi Allah, aku akan membunuhnya sebelum engkau dimakamkan. Dan bila aku tidak berhasil, akan aku meminta orang mencarinya’. Hasan berkata: ‘Wahai saudaraku, sesungguhnya dunia ini adalah malam-malam yang fana. Doakan dia, agar dia dan aku bertemu di sisi Allah, dan aku melarang meracuninya’.

Mas’udi mengatakan: ‘Tatkala ia diberi minum racun, ia bangun menjenguk beberapa orang kemudian, setelah sampai di rumah, ia berkata: ‘Aku telah diracuni, berkali-kali tetapi belum pernah aku diberi minum seperti ini, aku sudah keluarkan racun itu sebagian, tetapi kemudian kembali biasa lagi’. Husain berkata: ‘Wahai saudaraku, siapa yang meracunimu?’. Hasan menjawab: ‘Dan apa yang hendak kau lakukan dengannya? Bila yang kuduga benar, maka Allahlah yang melakukan hisab terhadapnya. Bila bukan dia, aku tidak menghendaki orang membebaskan diriku.’ Dan dia berada dalam keadaan demikian sampai 3 hari sebelum ia ra akhirnya meninggal. Dan yang meminumkan racun kepadanya adalah Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindi, dan Mu’awiyah yang memerintahkan kepadanya, dan bila ia berhasil membunuh Hasan ia akan dapat 100.000 dirham dan ‘aku akan mengawinkan kau dengan Yazid’. Dialah yang mengirim racun kepada Ja’dah, istri Hasan. Dan tatkala Hasan meninggal, ia mengirim uang tersebut dengan surat: ‘Sesungguhnya kami mencintai nyawa Yazid, kalau tidak maka tentu akan kami penuhi janji dan mengawinkan engkau dengannya’.

Abu’l-Faraj al-Ishfahani menulis: ‘Hasan telah mengajukan syarat perdamaian kepada Mu’awiyah: Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalifah sesudahnya. Dan bila Mu’awiyah akan mengangkat Yazid, anaknya, jadi khalifah, maka yang memberatkannya adalah Hasan bin Ali dan Sa’d bin Abi Waqqash110, maka Mu’awiyah meracuni mereka berdua dan mereka meninggal. Ia mengirim racun kepada putri Asy’ats bin Qais: ‘Aku akan kawinkan kau dengan anakku Yazid, bila kau racuni Hasan’, dan ia mengirim 100.000 dirham dan ia tidak mengawinkannya dengan Yazid.

Abul Hasan at-Mada’ini berkata: ‘Hasan meninggal tahun 49 H/669 M setelah sakit selama 40 hari pada umur 47 tahun. Ia diracuni Mu’awiyah melalui tangan Ja’dah binti Asy’ats, istri Hasan dengan kata-kata: ‘Bila engkau membunuhnya dengan racun, maka engkau dapat 100.000 dan akan aku kawinkan kau dengan Yazid, anakku’. Dan tatkala Hasan meninggal, maka ia memberikan uang tersebut dan tidak mengawinkannya dengan Yazid. Ia berkata: ‘Aku takut kau akan lakukan terhadap anakku seperti yang engkau lakukan terhadap anak Rasul Allah saw’.112 Hushain bin Mundzir ar-Raqasyi berkata: ‘Demi Allah Mu’awiyah tidak memenuhi sama sekali janjinya, ia membunuh Hujur dan teman-temannya, membaiat anaknya Yazid dan meracuni Hasan.’

Abu Umar berkata dalam al-Isti’ab: ‘Qatadah dan Anu Bakar bin Hafshah berkata: Mu’awiyah meracuni Hasan bin Ali, melalui istri Hasan, yaitu putri Asy’ats bin Qais al-Kindi’. Sebagian orang berkata: Mu’awiyah memaksanya, dan tidak memberinya apa-apa, hanya Allah yang tahu!’. Kemudian ia menyebut sumbernya, yaitu Mas’udi.’
Ibnu al-Jauzi mengatakan dalam ‘at-Tadzkirah Khawashsh’l-Ummah’: ‘Para ahli sejarah di antaranya ‘Abdul Barr meriwayatkan bahwa ia diracuni istrinya Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindi.

As-Sudi berkata: Yang memerintahkannya adalah Yazid bin Mu’awiyah agar meracuni Hasan dan bahwa ia berjanji akan mengawininya. Dan tatkala Hasan meninggal, Ja’dah mengirim surat kepada Yazid menagih janjinya. Dan Yazid berkata: ‘Hasan saja kamu bunuh, apalagi aku, demi Allah, aku tidak rela’. Asy-Sya’bi mengatakan: ‘Sesungguhnya yang melakukan tipu muslihat adalah Mu’awiyah. Ia berkata kepada istri Hasan: ‘Racunilah Hasan, maka akan aku kawinkan engkau dengan Yazid dan memberimu 100.000 dirham.
Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menuntut janjinya. Mu’awiyah lalu mengiriminya uang tersebut dan menambahkan: ‘Sesungguhnya aku mencintai Yazid, dan mengharapkan agar ia tetap hidup, kalau tidak demikian tentu aku akan kawinkan engkau dengannya’.

Sya’bi berkata lagi: ‘Dan ini benar dengan berdasarkan saksi yang dapat dipercaya: ‘Sesungguhnya Hasan berkata tatkala akan mati dan telah sampai kepadanya apa yang dilakukan Mu’awiyah: ‘Aku telah tahu minumannya dan kebohongannya, demi Allah ia tidak memenuhi janjinya, dia tidak jujur dalam perkataannya’. Kemudian Sya’bi mengutip ath-Thabaqat dari Ibnu Sa’d: “Mu’awiyah meracuninya berulang ulang”.

Ibnu’Asakir berkata: ‘Ia diberi minum racun, berulang-ulang, banyak, mula-mula ia bisa pulih, lalu diberi minum lagi dan ia tidak bisa pulih dan dikatakan: Sesungguhnya Mu’awiyah telah memperlakukan dengan ramah seorang pembantunya agar meracuninya dan ia lalu melakukannya dan berpengaruh sedikit demi sedikit, sampai ia memakai alat untuk bisa duduk dan ia bertahan sampai 40 kali. Muhammad bin at-Mirzuban meriwayatkan: ‘Ja’dah binti Asy’ats bin Qais adalah istri Hasan dan Yazid melakukan tipu muslihat agar ia mau meracuni Hasan. ‘Dan saya akan mengawininya, dan Ja’dah melakukannya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menanyakan janji Yazid dan Yazid berkata: ‘Sesungguhnya, demi Allah, kalau Hasan saja kamu bunuh, apalagi kami’.

Hasan bin Ali sakit yang berakhir dengan kematiannya. Ia diracun istrinya, atas suruhan Mu’awiyah dengan bayaran 100.000 dinar. Ia lalu memerintahkan Marwan bin Hakam yang diangkatnya jadi gubernur Madinah untuk terus mengamati Hasan dan menyuratinya.

Tatkala datang berita bahwa Hasan telah meninggal seluruh penduduk Syam bertakbir. Seorang wanita, Fakhitab binti Quraidhah bertanya kepada Mu’awiyah: ‘Apakah kamu bertakbir bagi matinya putri Fathimah?. ‘Ya aku bertakbir karena hatiku gembira’117. Ia sangat gembira dan bahagia dan bersujud, dan semua yang hadir ikut bersujud.

Ia juga terkenal karena membunuh sahabat Rasul Allah saw Hujur bin ‘Adi dan kawan-kawannya pada tahun 51 H/671 M karena tidak mau melaknat Ali.


Membunuh Muhammad bin Abu Bakar; Mempermainkan Jenazah
Mu’awiyah membunuh Muhammad bin Abu Bakar, anak khalifah Abu Bakar. Mula-mula ia disiksa, tidak diberi minum, kemudian dimasukkan ke dalam perut keledai dan dibakar.
Untuk pertama kali dalam sejarah Islam, penguasa mempermainkan jenazah yang mereka bunuh. Dan jenazah ini adalah jenazah kaum Muslimin.

Penguasa memenggal kepala mereka setelah diikat kedua tangan ke belakang, menyayat-nyayat mayat, mengarak kepala-kepala mereka berkeliling kota, membawanya dari kota ke kota dan akhirnya dikirim ke ‘khalifah’ di Damaskus dengan menempuh jarak beratus-ratus kilometer.

Cukup dengan sedikit curiga bahwa seorang itu Syi’ah, maka mereka akan memotong tangan, kaki atau lidah mereka. Bila ada yang menyebut mencintai anak cucu Rasul saja maka ia akan dipenjarakan atau hartanya dirampas, rumah dimusnahkan. Bencana makin bertambah dan makin menyayat hati. Sampai gubernur Ubaidillah bin Ziyad membunuh Husain kemudian gubernur Hajjaj bin Yusuf yang membunuh mereka seperti membunuh semut. Ia lebih senang mendengar seorang mengaku dirinya zindiq atau kafir dari mendengar orang mengaku dirinya Syi’ah Ali.

Abu al-Husain Ali bin Muhammad bin Abi Saif al-Madani dalam kitabnya al-Ahdats, berkata: Mu’awiyah menulis sebuah surat kepada semua gubernurnya setelah tahun perjanjian dengan Hasan agar mereka mengucilkan orang yang memuliakan Ali dan keluarganya. Pidatokan dan khotbahkan di tiap desa dan di tiap mimbar pelaknatan Ali dan kucilkan dia dan keluarganya. Dan alangkah besar bencana yang menimpa Syi’ah Ali di Kufah.
Diangkatlah Ziyad bin Sumayyah menjadi gubernur Kufah. Ia lalu memburu kaum Syi’ah. Ia sangat mengenal kaum Syi’ah karena ia pernah jadi pengikut Ali. Dan ia lalu memburu dan membunuh mereka di mana pun mereka berada, tahta kulli hajar wa madar membuat mereka ketakutan, memotong tangan dan kaki mereka, menyungkil bola mata mereka; samala al ‘uyun, dan menyalib mereka di batang-batang pohon korma. Ia memburu danmengusir mereka ke luar dari ‘Irak dan tiada seorang pun yang mereka kenal, luput dari perburuan ini.

Di samping itu istri dan putri-putri Syi’ah dijadikan budak dan untuk pertama kali dilakukan Mu’awiyah dengan Busr bin Arthat pada akhir tahun 39 H/660 M. Mereka memaksa kaum Syi’ah membaiat khalifah yang sebenarnya adalah raja yang lalim. Setelah membaiat, biasanya mereka belum merasa puas, sehingga mereka merasa perlu membumi hanguskan desa mereka seperti diriwayatkan Bukhari dalam tarikhnya.

Mu’awiyah melalui jenderalnya Busr bin Arthat tersebut membakar rumah-rumah Zararah bin Khairun, Rifaqah bin Rafi, Abdullah bin Sa’d dari Banu ‘Abdul Asyhal, semua adalah para sahabat kaum Anshar. Celakanya Ziyad bin Abih, yang mula-mula berpihak kepada Ali bin Abi Thalib, menyeberang ke u’awiyah, karena pengakuan Abu Sufyan bahwa Ziyad yang lahir dari seorang budak perempuan asal Iran adalah anaknya. Mu’awiyah yang melihat Ziyad sebagai seorang yang berbakat, mengakuinya sebagai saudaranya. Ummu Habibah, istri Rasul Allah, saudara Mu’awiyah tidak pernah mau mengakui Ziyad sebagai saudaranya.

Karena pernah bersama Ali maka Ziyad mengenal semua pengikut Ali dalam Perang Shiffin dan dengan mudah memburu dan membunuhi mereka.

Orang pertama yang dipenggal kepalanya oleh Mu’awiyah adalah Amr bin Hamaq sebagai Syi’ah Ali yang turut mengepung rumah Utsman dan dituduh membunuh Utsman dengan 9 tusukan. Ia melarikan diri ke Mada’in bersama Rifa’ah bin Syaddad dan terus ke Mosul. Ia ditangkap dan gubernur Mosul Abdurrahman bin Abdullah bin Utsman mengenalnya. Ia mengirim surat ke Mu’awiyah. Mu’awiyah menjawab seenaknya: “Ia membunuh Utsman dengan tusukan dengan goloknya (masyaqish) dan kita tidak akan bertindak lebih, tusuklah dia dengan sembilan tusukan”. Setelah ditusuk -baru tusukan pertama atau kedua, kelihatannya ia sudah mati- kepalanya dipenggal dan dikirim ke Syam, diarak kemudian diserahkan kepada Mu’awiyah dan Mu’awiyah mengirim kepala ini kepada istrinya Aminah binti al-Syarid yang sedang berada di penjara Mu’awiyah. Kepala itu dilemparkan ke pangkuan istrinya. Istrinya meletakkan tangannya di dahi kepala suaminya kemudian mencium bibirnya berkata:
Mereka hilangkan dia dariku amat lama,
Mereka bunuh dan sisakan untukku kepalanya,
Selamat datang, wahai hadiah,
Selamat datang, wahai wajah tanpa roma.

Melaknat Ali Dalam Khotbah
Mu’awiyah memanfaatkan masjid untuk membentuk opini masyarakat. Dalam khotbah Jum’atnya ia selalu berdoa: ‘Allahumma, ya Allah. Sesungguhnya Abu Turab (Ali bin Abi Thalib) menghalang-halangi perkembangan agama-Mu, menyimpang dari jalan-Mu, maka laknati dia dengan laknat yang sebesar-besarnya dan siksalah dia dengan siksa yang seberat-beratnya!”. Tatkala ia melaknat Ali dalam khotbahnya di masjid Madinah, ummu’l-mu’minin Ummu Salamah menyurati Mu’awiyah: ‘Sesungguhnya kamu telah melaknat Allah dan Rasul-Nya di atas mimbar-mimbarmu dan kamu melaknat Ali bin Abi Thalib dan yang mencintainya. Aku bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya mencintainya’. Tetapi Mu’awiyah tidak peduli dengan kata-kata istri Rasul Ummu Salamah tersebut.
Az-Zamakhsyari dalam Rabi’al-Abrar dan Suyuthi menceritakan: ‘Di zaman Banu ‘Umayyah lebih dari 70.000 mimbar digunakan melaknat Ali bin Abi Tholib’. Mimbar-mimbar ini menyebar di seluruh wilayah dari ufuk Timur ke ufuk Barat. Al-Hamawi berkata: ‘Ali bin Abi Thalib dilaknat di atas mimbar-mimbar masjid dari Timur sampai ke Barat kecuali masjid jami’ di Sijistan”. Di masjid ini hanya sekali terjadi khatib melaknat Ali. Tetapipelaknatan di mimbar haramain, Makkah dan Madinah, berjalan terus’.

Mu’awiyah juga memerintahkan untuk memakzulkan Ali (bara’ah) dan menuduhnya sebagai pembunuh Utsman. Ia melanggar perjanjian dengan Hasan bin Ali tahun 41 H/661 M untuk tidak membunuh Syi’ah Ali dan tidak melaknat Ali di masjid.

Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abi Saif al-Madani dalam kitabnya al-Ahdats menggambarkannya untuk kita: Mu’awiyah menulis dan mengirim satu naskah kepada gubernur-gubernurnya, sesudah ‘Tahun Persatuan’ (Am al-Jama’ah), agar memakzulkan siapa saja yang meriwayatkan Hadis yang mengutamakan Ali dan keluarganya (ahlu’l-bait).

Dirikanlah khotbah-khotbah di seluruh desa dan di atas setiap mimbar yang melaknat Ali dan memakzulkannya ‘(yabra’fin minhu)’ kecilkan dia dan keluarganya. Dan bila kamu telah menerima surat ini maka ajaklah manusia untuk mendengar riwayat keutamaan sahabat, dan khalifah-khalifah awal, yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman serta kabarkan kepadaku segera bila ada seorang saja yang meriwayatkan Abu Turab (Ali, pen.) yang berarti menentang sahabat. Hal ini akan menyenangkan hati saya dan menyejukkan mata saya. Dan lumpuhkan hujjah, argumen, Abu Turab dan Syi’ahnya, dan kuatkan uji-pujian keutamaan Utsman’.

Waktu orang mengingatkan Mu’awiyah agar memperlunak pelaknatan ‘terhadap lelaki itu’, Mu’awiyah menjawab: ‘Tidak demi Allah, kita teruskan sampai anak-anak menjadi tua dan orang tua menjadi renta. Jangan memberikan keutamaan kepadanya’.

Khalifah Walid bin’Abdul Malik mengajarkan khotbah berikut untuk melaknat Ali: ‘Mudah-mudahan Allah melaknatinya, dengan jerat, pencuri anak pencuri’ (lish ibnu lish). Orang-orang heran, seorang khalifah bisa mengeluarkan kata-kata dalam bahasa Arab yang buruk seperti itu terhadap Ali.
Bunyi pelaknatan sering berubah-ubah. Khalid bin Abdullah al-Qasri, yang diangkat sebagai gubernur Makkah dalam khotbahnya menyebut: ‘Allahumma ya Allah, laknatilah Ali bin Abi Thalib bin Hasyim, menantu Rasul Allah saw, ayah Hasan dan Husain’.

Mughirah bin Syu’bah Melaknat Ali
Mughirah bin Syu’bah yang jadi gubernur di Kufah menyuruh jemaah masjid mengutuk Ali dengan kata-kata: ‘Wahai manusia, pemimpinmu menyuruh kepadaku untuk melaknat Ali, maka kamu laknatilah dia’. jemaah berteriak ‘Mudah-mudahan Allah melaknati dia!’. Tetapi dalam hati, yang mereka maksudkan dengan ‘dia’ adalah Mughirah. Pelaknatan Mughirah terhadap Imam Ali dilakukan terus menerus. Sekali ia mengatakan dalam khotbahnya: Sesungguhnya Rasul Allah saw tidak menikahkan putrinya dengan Ali karena Rasul menyukai Ali, tetapi untuk memperbaiki hubungannya dengan keluarga Abu Thalib’. Pada suatu ketika ia ditegur sahabat Zaid bin Arqam: ‘Hai Mughirah, apakah engkau tidak tahu bahwa Rasul saw melarang mencerca orang yang sudah mati? Tidakkah engkau melaknat Ali dan ia sudah meninggal?

Umar Selamatkan Mughirah, Mughirah Berzina, Empat Sahabat Jadi Saksi
Mughirah bin Syu’bah ini pun turut bersama Abu Bakar dan Umar dalam peristiwa Saqifah dan oleh Umar ia diangkat sebagai gubernur. Ia punya riwayat yang menarik dan ditulis serta dibahas oleh para ahli fiqih karena terbebasnya ia dari peristiwa rajam karena perzinaan pada masa kekhalifahan Umar. Empat orang yang menyaksikan perbuatannya dan semuanya adalah sahabat Rasul Allah saw. Riwayat masuk Islamnya diceritakannya sendiri sebagaimana dimuat oleh Abu’l-Faraj Ali ibnu Husain al-Ishfahani dalam kitabnya al-Aghani143. Ia berkata: ‘Aku pergi bersama kaum Banu Malik -dan kami berada dalam agama ‘jahiliah’– ke al-Maququs, raja Mesir. Kami masuk ke Iskandariah dan kami memberikan hadiah kepada raja tersebut dengan barang yang kami bawa.

Dan milikku yang sangat sedikit itu aku titipkan pada mereka. Sang raja menerima hadiah mereka dan menyuruh mereka mengambil hadiahnya secara bergantian. Mereka hanya memberiku sedikit. Kami keluar dan Banu Malik membeli hadiah-hadiah untuk keluarga mereka. Mereka sangat gembira dan mereka tidak menunjukkan kepada saya kemurahan hati mereka. Dan tatkala pergi mereka membawa khamr, minuman keras, dan kami minum bersama-sama. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk membunuh mereka. Mereka menuangkan minuman dan mengajakku terusminum. Aku berkata: ‘Aku pening’. Dan aku mulai menuangkan minuman untuk mereka sehingga mereka tidak sadarkan diri. Aku lalu meloncat ke arah mereka, membunuh mereka semua dan mengambil semua yang mereka bawa. Aku datang ke Madinah dan menemui Nabi saw.

Nabi sedang duduk bersama Abu Bakar yang telah mengenalku. Dan tatkala melihatku, Abu Bakar bertanya: ‘Anak saudaraku ‘Urwah ‘ Aku menjawab: ‘Ya, aku datang untuk mengucapkan ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruhNya’. Dan Rasul Allah saw mengatakan: ‘Alhamdulillah’. Abu Bakar berkata: ‘Apakah engkau datang dari Mesir?’ Aku menjawab: ‘Ya’. Dan Abu Bakar melanjutkan: ‘Dan apa yang dilakukan oleh kaum Banu Malik yang berjalan bersamamu?’. Aku menjawab: ‘Antara aku dan mereka tidak akan terjadi antara orang Arab, kami berada dalam agama syirk, aku telah membunuh mereka dan aku mengambil barang muatan mereka dan aku membawanya kepada Rasul Allah saw agar Rasul mengambil khumus, seperlimanya, yaitu barang rampasan dari kaum musyrikin. Rasul Allah saw lalu bersabda: ‘Tentang engkau masuk Islam, aku terima, dan kami tidak akan mengambil dari barangmu sedikit pun jua apalagi seperlimanya, karena barangmu itu adalah hasil pengkhianatan dan pengkhianatan tiada sedikit pun mengandung kebaikan.Aku berkata: ‘Ya Rasul Allah, aku membunuh mereka sedang aku berada dalam agama kaumku!’ Kemudian aku telah menjadi Muslim sesaat setelah menemuimu’. Demikian Mughirah. Ia ternyata telah membunuh 13 orang.

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abi Bakrah: Abu Bakrah, Ziyad, Nafi’ dan Syabl bin Ma’bad berada di sebuah kamar tingkat dua dan Mughirah berada di kamar bawah yang berseberangan. Angin bertiup, pintu terbuka dan tirai terangkat. Dan mereka menyaksikan Mughirah berada di antara kedua paha seorang perempuan. Dan mereka berkata satu dengan yang lain: Kami telah diberi percobaan oleh Mughirah. Abdurrahman melanjutkan: Kemudian Abu Bakrah ra, Nafi’ ra dan Syabl ra memberi kesaksian, tetapi Nafi’ tidak mengungkapkan dengan pasti bahwa Mughirah telah menzinai perempuan itu. Dan Umar mencambuk mereka bertiga kecuali Ziyad. Tetapi Abu Bakrah ra tidak puas. Ia berkata: ‘Bukankah kamu telahmencambukku? Umar menjawab: ‘Benar’. Abu Bakrah melanjutkan: ‘Dan aku bersaksi dengan nama Allah, bahwa Mughirah telah melakukannya’. Umar mau mencambuknya sekali lagi. Namun Ali berkata: ‘Bila penyaksian Abu Bakrah dijadikan penyaksian dua orang, maka rajamlah juga sahabatmu’.

Dan dalam lafal lain: “Umar hendak mengulangi hukuman dan Ali ra menyelanya dengan berkata: ‘Bila engkau mencambuknya, maka rajamlah sahabatmu’. Maka pergilah Umar tanpa mencambuknya. Dan dalam lafal lain lagi: “Umar berniat memukulnya tetapi Ali berkata: ‘Bila engkau memukulyang ini, maka rajamlah yang itu!’ Anas bin Malik menceritakan: ‘Mughirah bin Syu’bah keluar dari kantor gubernur pada tengah hari, dan bertemu dengan Abu Bakrah dan Nafi’ ats-Tsaqafi. Abu Bakrah menegur:

‘Hendak ke mana wahai gubernur?’ Mughirah: ‘Ada keperluan!’ Abu Bakrah: ‘Ada keperluan apa? Mughirah: ‘Pemimpin itu dikunjungi orang, bukan mengunjungi orang!’ Anas melanjutkan: ‘Dan perempuan yang bernama Jamil binti al-Afqam yang dikunjungi Mughirah, adalah tetangga bersebelahan dengan Abu Bakrah. Abu Bakrah berada di kamarnya bersama sahabat-sahabat dan dua orang saudaranya, Nafi’ dan Ziyad serta seorang lagi yang dipanggil orang Syabl bin Ma’bad; kamar perempuan itu berhadapan dengan kamar Abu Bakrah. Angin meniup, pintu kamar perempuan itu terbuka dan mereka melihat Mughirah sedang berhubungan seks dengannya. Abu Bakrah berkata: ‘Ini percobaan’. Mereka melihat sampai mereka yakin dan Abu Bakrah keluar rumah. Mughirah keluar dari rumah perempuan itu dan ia pergi untuk mengimami shalat dzuhur dan Abu Bakrah menahannya dan berkata: ‘Demi Allah, jangan menjadi imam kami setelah apa yang engkau lakukan!’. Jemaah berkata: ‘Panggil dia untuk mengimami shalat, karena dia adalah pemimpin’. Maka dengan kejadian ini mereka membuat surat yang dikirim kepada khalifah Umar. Dan Umar memerintahkan untuk menghadirkan Mughirah dan para saksi.

Mush’ab bin Sa’d menceritakan: ‘ Umar bin Khaththab ra sedang duduk dan ia memanggil Mughirah dan para saksi. Abu Bakrah maju ke depan dan Umar bertanya: ‘Apakah engkau melihat dia berada di antara kedua paha perempuan itu?’. Abu Bakrah: ‘Ya, demi Allah, aku melihat dari celah dinding ia berada diantara kedua pahanya!’ Mughirah: ‘Dia telah salah lihat!’. Abu Bakrah: ‘Apakah engkau tidak merasa aib bila dihina Allah? Umar: ‘Tidak, demi Allah, sampai engkau menyaksikan bahwa engkau telah melihat seperti masuknya tangkai celak ke dalam botolnya’. Abu Bakrah: Benar, aku menyaksikan demikian itu!’, Umar: ‘Berangkat seperempat dirimu, hai Mughirah!’. Kemudian Nafi’ dipanggil dan Umar berkata: ‘Engkau menyaksikan apa? Nafi’: ‘Seperti yang disaksikan Abu Bakrah!’ Umar: ‘Engkau tidak melihat seperti masuknya tangkai celak ke dalam botol!’ Nafi’: ‘Aku melihat pas seperti itu!’. Umar: ‘Berangkat, hai Mughirah setengah dirimu!’ Kemudian dipanggil saksi ketiga dan Umar berkata: ‘Apa yang engkau saksikan?’ Dia berkata: ‘Seperti yang disaksikan kedua teman saya!’. Umar: ‘Berangkat tiga perempat nyawamu, Mughirah!’. Kemudian Umar menulis surat kepada Ziyad danZiyad masuk untuk menghadap. Ia melihat Umar sedang duduk di masjid dikerumuni tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar. Mughirah lalu berkatakepadanya: ‘Berikan kepadaku kata-kata yang engkau pernah ucapkan untuk mengasihani suatu kaum!’. Tiba-tiba Umar datang. Ia berkata: ‘Aku melihat lidah lelaki yang tidak akan pernah dipermalukan Allah bila berbicara di hadapan kaum Muhajirin’. Ziyad: ‘Ya, Amiru’l-mu’minin, suatu kaum memiliki haq dan aku tidak memilikinya. Aku melihat majlis yang buruk dan aku mendengar suara yang makin cepat dan meninggi dan aku melihat ia menutupinya dengan tubuhnya!’. Maka Umar berkata: ‘Apakah engkau melihatnya masuk seperti tangkai celak ke dalam botol?’ Ia berkata: ‘Tidak!’.

Dan dalam lafal lain, ia berkata: ‘Aku melihat ia di atas, di antara kedua kaki perempuan itu dan aku melihat kedua buah zakarnya maju mundur di antara kedua pahanya dan aku melihat gerakan cepat serta aku mendengar suara napas yang meninggi’. Dalam lafal Thabari, ia berkata: ‘Aku melihat dia duduk di antara kedua kaki perempuan itu dan melihat kedua buah zakarnya maju dan bergoyang dan bokongnya telanjang dan aku dengar suara gesekan’. Dan Umar berkata: ‘Apakah engkau melihat ia memasukkannya seperti tangkai masuk kedalam botol celak?’. Ia berkata: ‘Tidak!. Maka berkatalah Umar: ‘Allahu akbar, datangi mereka dan pukul mereka (bertiga). Maka ia pun mendatangi Abu Bakrah dan mencambuknya 80 kali dan begitu pula dua yang lain. Mereka heran akan perkataan Ziyad untuk menyelamatkan Mughirah dari hukum rajam. Selesai dicambuk, Abu Bakrah berkata: ‘Aku benar-benar bersaksi bahwa Mughirah melakukannya!’. Umar hendak mencambuknya, tapi Ali menyela: Bila engkau mencambuknya maka sahabatmu harus dirajam!’. Dan Umar tidak jadi mencambuknya.
Orang heran akan perkataan Umar seperti ditulis dalam al-Aghani: ‘Aku melihat seorang lelaki yang tidak akan dipermalukan Allah lidahnya di hadapan kaum Muhajirin’ atau ‘Aku melihat wajah seorang lelaki yang mengharap tidak akan merajam seorang sahabat Rasul Allah, dan tidak mempermalukannya dengan penyaksiannya’ seperti yang tertulis dalam Futuh al-Buldan, atau kata-katanya ‘Aku melihat seorang letaki cerdik yang tidak akan berkata kecuali benar dan tidak akan menyembunyikan apa pun di hadapanku’ seperti dimuat dalam Sunan al-Baihaqi, atau kata-kata Umar: ‘Aku melihat seorang lelaki cerdik, tidak akan bersaksi, insya Allah, kecuali yang benar, seperti tertulis dalam Kanzu’l-’Ummal. Orang berpendapat bahwa Umar telah menyelamatkan Mughirah dari hukum rajam.

Abu’I-Faraj al-Ishfahani menceritakan dalam al-Aghani bahwa Raqtha’, wanita yang berhubungan dengan Mughirah di Bashrah tersebut, sering mengunjungi Mughirah tatkala Mughirah pindah jadi gubernur di Kufah. Umar dalam perjalanan haji, setelah peristiwa tersebut, melihat Raqtha’ dan Mughirah di Makkah. Umar bertanya pada Mughirah apakah dia mengenal wanita itu. Mughirah mengatakan bahwa dia adalah Ummu Kaltsum binti Ali.
Umar yang mengenal Ummu Kaltsum menjawab: ‘Jahanam kau, engkau membohongiku. Demi Allah, saya yakin Abu Bakrah benar dalam kesaksiannya. Saya khawatir bila saya melihatmu, batu akan jatuh ke kepalaku dari langit!’ Ya’qubi menceritakan bahwa mulai saat itu, bila Umar bertemu dengan Mughirah ia mengatakan: ‘Hai Mughirah, tiap kali aku melihatmu aku takut Allah akan merajam aku dengan batu’.

Hassan bin Tsabit membuat syair untuk Mughirah seperti dimuat dalam al-Aghani:
Andaikata ketercelaan bernasab insan,
Maka dialah si pecak bermuka buruk,
Kau tinggalkan agama, kau lepaskan Islam,
Menyusup di bawah selendang wanita,
Kau kira telah kembali muda remaja,
Bermain cinta dengan para budak atas nama istana.145

Mughirah ini juga yang mengusulkan agar Mu’awiyah menunjuk anaknya Yazid jadi khalifah: ‘Serahkan penduduk Kufah kepadaku dan serahkan urusan Bashrah kepada Ziyad dan setelah kedua daerah itu tak seorang pun akan menentang’ katanya pada Mu’awiyah. Ia memberi 30.000 dirham untuk sepuluh tokoh Kufah dan dengan dipimpin oleh Musa bin Mughirah bin Syu’bali mereka menghadap ke Mu’awiyah dan menyatakan janji mereka. Waktu meninggal, ia meninggalkan 300 dan ada yang mengatakan 600 budak.


Membunuh Husain, Cucu Rasul, Membunuh Muhajirin dan Anshar,
Memperkosa Seribu Wanita, Gubernur Pembunuh 120.000 Orang
Di masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah, tahun 61 H/681 M pasukan yang dipimpin oleh Umar Sa’d bin Abi Waqqash yang berjumlah 4.000 orang telah membunuh Husain bin Ali bin Abi Thalib dan keluarga serta sahabat-sahabatnya yang berjumlah 72 orang. Mereka digiring ke daerah tandus Karbala dan dicegah mengambil air dari sungai Efrat untuk diminum. Sebelum dibunuh tenda mereka yang sedang kehausan itu dibakar. Mereka menginjak-injak tubuh Husain dengan kaki kuda sampai hancur. Semua kepala mereka di pancung dan diarak di kota Kufah. Wanita-wanita diarak sebagai tawanan, milik mereka termasuk pakaian dirampas.

Yang mengherankan mereka membunuh keluarga Rasul Allah saw ini dengan bangga sambil bersenandung.
Mas’udi melukiskan: Mereka membunuh dan membunuh sampai Husain terbunuh dan seorang lelaki dari suku Madzhaj memenggal kepalanya hingga lepas dari tubuh sambil berteriak gembira:

Akulah pembunuh sang raja terselubung,
Putera terbaik telah luluh,
Turunan termulia telah kubunuh.
Setelah diarak seketiling kota, Ziyad, gubernur Kufah mengirim kepala Husain ke Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Bersama Yazid ada Abu Burdah al-Islami. Yazid meletakkan kepala itu di depannya dan memukul-mukul mulut kepala itu dengan tongkat sambil bersenandung:
Pecah sudah bagian penting seorang tercinta,
Bagi kami mereka adalah lalim dan pemecah,

Abu Burdah lalu berkata: “Angkat tongkatmu. Demi Allah saya melihat Rasul Allah saw menciumi bibir itu!”128. Ada orang mengatakan bahwa Yazid menyesali perbuatannya, tetapi ia tidak pernah menghukum, memecat bahkan tidak pernah mengecam Ibnu Ziyad, gubernur Kufah sebagai penanggungjawab pembunuhan terhadap cucu, buah mata Rasul Allah saw. Contoh lain, betapa ‘sifatjahiliah’ hampir melampaui keyakinan agama adalah apa yang dilakukan ‘Amr bin Said bin ‘Ash.

‘Amr bin Said bin ‘Ash menjabat gubernur Madinah tatkala Husain dibunuh. Ziyad mengirim ‘Abdul Malik bin Abi Harits al-Sulami ke Madinah untuk mengabarkan berita kematian itu kepada ‘Amr bin Said. Salmi masuk dan ‘Amr bertanya: ‘Ada berita apa?’. Salmi: ‘Alangkah bahagianya wahai Pemimpin, Husain bin Ali bin Abu Thalib telah dibunuh’. ‘Amr: ‘Sebarkan berita kematiannya!’. Dan aku menyebarkan berita kematiannya dan demi Allah aku belum pernah mendengar tangisan memilukan seperti tangisan kaum wanita Banu Hasyim mendengar kematian Husain. Dan ‘Amr berkata sambil tertawa:

Bersoraklah hai Wanita Banu Ziyad,
Bak sorakan wanita kami setelah perang Arnab.
Tangisan ini seperti tangisan untuk Utsman. Ia lalu naik mimbar dan memberi tahu jemaah akan kematian Husain. Kemudian ia menunjuk ke kubur Nabi dan berkata: “Ya Muhammad. Sebuah pembalasan untuk Perang Badr”. Dan orang-orang Anshar mengingkarinya.

Ia juga memanggil Abu Rafi’, maula Rasul Allah: ‘Maula siapa engkau?’ Abu Rafi’: ‘Saya maula Rasul Allah saw!’. Dan ia lalu memecutnya seratus kali. ‘Amr pergi. Setelah itu ia panggif lagi Abu Rafi: ‘Maula siapa engkau?’
Abu Rafi’: ‘Mauld Rasul Allah!’ Ia lalu dipecut seratus kali, dan pergi. Ia mengulanginya lagi sampai 500 kali cambukan. Akhirnya karena takut mati AbuRafi’ berkata: ‘Aku maula paduka!”

Hal serupa juga terjadi sebelum ini, yaitu pada Perang Shiffin, dua orang yang membawa kepala ‘Ammar bin Yasir kepada Mu’awiyah, bertengkar, masing-masing mengaku bahwa dialah yang memenggal kepala ‘Ammar yang oleh Rasul dikatakan bahwa pembunuh ‘Ammar adalah komplotanpemberontak.

Ibnu Qutaibah menceriterakan dalam al-Ma’arif bahwa yang mengaku membunuh ‘Ammar yang telah berumur 93 tahun itu adalah Abu al-Ghadiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh ‘Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala ‘Ammar dan memenggal kepalanya.Kepala ‘Ammar telah berubah rupa”.
Abu Umar menceriterakan ‘Ammar dibunuh oleh Abu al-Ghadiyah dan yang memenggal kepalanya adalah Ibnu Jaz as-Saksaki.131

Yang lain lagi terjadi tahun 63 H/683 M, pasukan Yazid yang dipimpin Muslim bin ‘Uqbah menyerbu kota Madinah dengan 12.000 anggota pasukan, yang terkenal dengan perang Harrah. Yazid menyerbu dari arah Timur Madinah, yang disebut Harrah Syarqiyah, agar orang Madinah silau oleh sinarmatahari. Ia lalu membunuh 7.000 tokoh dan 10.000 rakyat jelata, di antaranya 80 sahabat pengikut Perang Badr, 1.000 orang Anshar dan 800 kaum Quraisy. Ia membolehkan pasukannya menjarah dan merampok kota Madinah selama 3 hari dan menurut Ibnu Katsir ada seribu gadis yang hamil akibat perkosaan pada masa itu.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah berhati mulia, yang memerintah dua setengah tahun dari 92 tahun pemerintahan dinasti Umayyah, mengatakan: ‘Bila ada pertandingan kekejaman pemimpin, maka kita kaum Muslimin pasti akan jadi juara bila kita kirim Hajjaj bin Yusuf ‘.

Seperti dicatat oleh Tirmidzi, Ibnu ‘Asakir, dalam 20 tahun sebagai gubernur ‘khalifah’ Abdul Malik bin Marwan di Iraq ia telah membunuh 120.000 Muslim dengan berdarah dingin; shabran , dan ditemukan dalam penjaranya 80.000 orang dan di antaranya 30.000 wanita yang dihukum tanpa diadili dan banyak yang sudah membusuk. Ia menembaki ka’bah dengan katapel (alat pelempar batu, manjaniq) pada musim haji dalam memerangi Ibnu Zubair. Ia melakukan tindakan kejam yang sukar dilukiskan, terutama terhadap pengikut-pengikut Imam Ali dan memerlukan buku tersendiri untuk menulis riwayat Hajjaj bin Yusuf. Ketika ‘Abdul Malik akan meninggal ia berpesan agar berlaku baik terhadap Hajjaj bin Yusuf, ‘karena dia telah mengalahkan musuh-musuhmu’.
Ia tidak segan menghina sahabat yang sudah meninggal sekalipun: ‘A’masy menceritakan: ‘Demi Allah, aku mendengar Hajaj bin Yusuf berkata: ‘Mengherankan Abu Hudzail (maksudnya Abdullah bin Mas’ud). Ia mengatakan ia membaca Al-Qur’an, demi Allah ia hanya kotoran dari kotoran-kotoran orang Badwi. Demi Allah bila aku bisa menemuinya, akan aku tebas lehernya’.134 Di bagian lain, ia berkhotbah: ‘Demi Allah, bertakwalah kepada Allah sesanggupmu, tidak ada itu hari Pembalasan. Dengar dan patuhlah kepada Amiru’l-mu’minin ‘Abdul Malik karena ia dapat membalas. Demi Allah bila aku suruh kamu keluar melalui pintu itu dan kamu keluar dari pintu lain, aku akan ambil darah dan hartamu.

Hafizh Ibnu ‘Asakir berkata: ‘Hajjaj berkhotbah di Kufah dan setelah menyebut orang-orang yang berziarah ke kubur Nabi saw di Madinah, ia berkata: ‘mengapa mereka tidak mengunjungi dan bertawaf di istana Amiru’l mu’minin’ ‘Abdul Malik, apakah mereka tidak tahu bahwa khalifah ‘Abdul Malik adalah orang yang lebih baik dari Rasulnya”.

Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir mengatakan: ‘Suatu ketika ada dua orang berbeda pendapat tentang Hajjaj. Seorang mengatakan Hajjaj kafir, dan yang lain mengatakan ia mu’min yang tersesat. Mereka lalu menanyakan pada asy-Syu’bah yang berkata kepada keduanya: ‘Sesungguhnya ia Mu’min di jubahnya tetapi ia sebenarnya adalah thaghut dan kafir sekafir-kafirnya’. Tatkala Washil bin ‘Abdul A’la bertanya kepadanya tentang Hajjaj bin Yusuf ia menjawab: ‘Anda menanyaiku tentang si kafir itu?’

Di zaman itu, memenggal kepala seorang muslim oleh penguasa dianggap sebaga permainan anak-anak. Menyayat dan menginjak-injak jenazah Muslim adalah perbuatan sehari-hari. Rata-rata Hajjaj bin Yusuf selama 20 tahun jadi gubernur Iraq membunuh 7 orang sehari secara berdarah dingin. Di zaman itu, lebih baik orang mengaku zindiq atau kafir daripada mengaku Syi’ah. Dan orang-orang Syi’ah yang terancam nyawanya melakukan taqiyah.

Di zaman Banu Abbas kekejaman terhadap Syi’ah lebih parah. Orang-orang Syi’ah ingin kembali di zaman Bani ‘Umayyah.


Pelanggaran Janji Bani Abbas
Belum lama janji yang mereka ucapkan, telah tampak benih-benih kebobrokan perilaku serta tindakan-tindakan yang berada di luar batas peri kemanusiaan. Berbagai naskah sejarah klasik mencatat tindakan-tindakan mereka, di antaranya; Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka pun “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih limapuluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuhpuluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya
.
Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga mambunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah
.
Janji Abbasiyin yang akan senantiasa membela dan memperjuangkan hak-hak keluarga Rasul saw dan Muslimin serta senantiasa bertindak dengan hukum Allah, merupakan kepalsuan belaka. Hal ini terbukti melalui penyelewengan-penyelewengan moral yang kerap terjadi dalam keluarga kerajaan. Perseliran yang berlebihan dan khamr (minuman keras) telah menjadi kebiasaan mereka, padahal hukum Islam telah menentukan secara jelas mengenai larangan khamr. Hukum haram, yang menjadi salah satu ciri khas hukum Islam, tidak lagi diterapkan [pada arak] seperti halnya amandemen konstitusi Amerika abad ke-18. Bahkan para khalifah, wazir, putra mahkota, dan para hakim tidak lagi peduli dengan ketentuan agama.
Para sarjana, penyair, penyanyi, dan musisi sering berkumpul bersama. Praktik ini, yang berasal dari Persia, telah melembaga pada masa awal Dinasti Abbasiyah, dan menjadi profesi pada masa al-Rasyid. Selain al-Rasyid, al-Hadi, al-Amin, al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq dan al-Mutawakkil terbiasa minum arak; al-Manshur dan al-Muhtadi menentang minuman arak. Al-Nawaji kekurangan halaman dalam bukunya untuk menuliskan semua khalifah, wazir, dan sekertaris yang telah kecanduan mengonsumsi minuman terlarang itu. Khamr, yang dibuat dari buah kurma, adalah minuman favorit
.
Selain minuman keras, praktek prostitusi telah membudaya pada masa Abbasiyah. Bahkan budaya-budaya berkumpul dalam suatu rumah yang menyajikan tari-tarian serta nyanyian wanita yang mengundang birahi sudah menjadi konsumsi masyarakat umum, keadaan tersebut dapat kita lihat dari penjelasan berikut. Pesta persahabatan yang menyajikan arak dan nyanyian menjadi hal yang lazim dijumpai. Pada pesta anggur ini (tunggal, majlis al-syirab) tuan rumah dan para tamu memercikkan parfum, atau air mawar pada janggut mereka, serta mengenakan busana khusus berwarna terang (tsiyab al-munadamah). Ruangan dibuat harum dengan ambergris dan kayu cendana yang dibakar dalam pedupaan. Para biduanita yang berpartisipasi dalam perjamuan semacam itu kebanyakan adalah para budak tuna susila, seperti digambarkan dalam berbagai cerita, yang sangat merusak moral kaum muda pada masanya. Gambaran tentang sebuah rumah khusus di Kufah selama pemerintahan al-Manshur terdengar mirip dengan sebuah cafe chantant, dengan Sallamah al-Zarqa’ (bermata biru) sebagai ratunya
.
Sudah tercatat dua dari tiga janji kaum Abbas yang telah mereka ingkari. Bani Abbas telah melanggar hukum-hukum Allah serta menumpuk harta demi kepentingan pribadi. Atas dasar demi memenuhi nafsu birahi semata, keluarga kerajaan menjarah harta Muslimin (Bayt al-Mal). Bahkan pada masa Harun al-Rasid sendiri digambarkan dirinya kerap kali menghambur-hamburkan harta yang tidak sedikit jumlahnya hanya demi memenuhi hasrat keinginannya memiliki koleksi selir. Telah disebutkan bahwa al-Rasyid membelanjakan uang senilai 70. 000 dirham hanya demi membeli Dzat al-Khal (budak wanita yang ia inginkan). Dan istri al-Rasyid sendiri Zubaydah, menghadiahi suaminya sepuluh orang gadis muda hanya bertujuan agar suaminya tidak lagi tertarik dengan wanita lainnya. Disebutkan pula al-Rasyid hendak membelanjakan uang senilai 100. 000 dinar hanya untuk membeli Tawaddud, seorang budak wanita cantik jelita serta berbakat yang digambarkan dalam cerita Seribu Satu Malam
.
Tidak cukup melanggar dua janji saja, ternyata Bani Abbas juga tidak menepati janji terbesarnya yakni membela dan menjaga hak-hak serta kehormatan putera-putera Abu Thalib. Dalam riwayat sejarah Syi’ah Imamiyah meyakini bahwa ada beberapa manusia suci yang hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas. Setelah ini akan kita simak realitas yang terjadi menyangkut perlakuan Bani Abbas terhadap manusia suci tersebut yang juga merupakan putera keturunan Rasul saw dan Amir al-Mu’minin Ali bin abi Thalib, juga beberapa ungkapan mereka mengenai pemerintah pada masa itu
.
Ja’far bin Muhammad as-Shadiq (83-148 H), meninggal diracuni oleh orang suruhan al-Manshur. Dia menyatakan; “Bentuk kepemimpinan yang terlarang adalah kepemimpinan orang yang zalim (aniaya) beserta stafnya baik tingkat tinggi maupun tingkat rendah. Haram bekerja di bawah sistem mereka, mengusahakan keperluan mereka. Pelakunya berdosa dan pantas mendapat siksa dari Allah, baik kecil atau besar yang ia sumbangkan. Karena segala sesuatu yang ditujukan untuk membantu mereka termasuk dosa besar. Sebab kepemimpinan yang zalim akan menghapus yang haq dan menghidupkan kebatilan serta menampilkan kezaliman dan kerusakan juga pengabaian terhadap kewajiban-kewajiban, pembunuh para nabi dan kaum mukmin sekaligus merobohkan masjid dan merubah ketentuan Allah dalam syariat-Nya. Karena itulah bekerja dan membantu mereka diharamkan kecuali dalam keadaan terpaksa seperti keterpaksaan memakan darah dan bangkai.”
.
Musa bin Ja’far al-Kadzim (128-183 H), meninggal diracun oleh orang suruhan al-Rasyid yang bernama Sanadi bin Sahik. Dia menyatakan; “Barangsiapa yang mengejar kedudukan akan celaka. Dan yang terkena penyakit ujub juga akan binasa.”
.
Ali bin Musa ar-Ridha (148-203 H), meninggal diracun oleh orang suruhan al-Ma’mun. Ia juga menyatakan; Beliau menggambarkan tentang perbuatan raja (yang zalim): “Yang bekerja sama dengannya dan yang membantunya serta yang berusaha memenuhi kebutuhannya sama dengan kekafiran. Melihat mereka dengan sengaja termasuk dosa besar yang layak mendapat siksa neraka.”

Ali bin Muhammad al-Hadi (212-254 H), meninggal diracun oleh al-Mu’taz sendiri yang meletakkan racun dalam makanannya. Syair Imam Ali an-Naqi yang ditujukan kepada al-Mutawakkil al-Abbasi: Mereka mendirikan rumah di puncak-puncak gunung yang dijaga ketat. Oleh para serdadunya yang kuat, namun itu semua sudah tiada berguna lagi. Lalu mereka digiring ke kuburan, dan di sanalah sejelek-jelek tempat baginya. Tiba-tiba seseorang datang dan memanggil-manggil setelah penguburannya. Mana emas-emas, serta mahkota-mahkota dan baju-baju indah. Mana wajah-wajah yang mendapat nikmat sangat banyak. Yang dengannya bisa mendapatkan sesuatu tanpa kesulitan dan kerepotan. Dengan jelas kuburan itu mengungkapkan perkabaran keadaan mereka. Itulah wajah-wajah yang kini sedang digerogoti oleh ular-ular yang saling berebutan. Telah lama mereka hidup dan menikmati masa hidupnya. Dan kini setelah mereka merasakan nikmat itu, mereka jadi santapan ular-ular. Lama mereka bina rumah-rumah megah untuk dihuni. Namun rumah-rumah itu telah diwariskan untuk keluarganya, setelah kepindahan dirinya. Telah lama mereka menimbun harta dan hanya menyimpannya. Kini harta itu telah ditinggalkan dan jadi rebutan musuh-musuhnya.

Hasan bin Ali al-Asykari (232-260 H), meninggal diracun oleh orang suruhan al-Mauktamid. Beliau berkata; “Akan kepada manusia suatu zaman, wajah mereka dalam keadaan berseri-seri, sementara hati mereka gelap dan ternodai. Yang sunnah sudah dianggap bid’ah sedangkan yang bid’ah dianggap sunnah. Seorang mukmin yang hidup di antara merekaterhina sementara si fasik menjadi mulia. Para pemimpin mereka adalah orang-orang bodoh yang berlaku aniaya sedang ulamanya duduk di pintu para penguasa zalimin (penganiaya).”

Telah disebutkan pula dalam riwayat sejarah yang lain bahwa seseorang yang bernama Humaid bin Qahthabah datang kepada al-Rasyid untuk menyatakan kesetiaannya padanya. Kemudian al-Rasyid menyuruhnya mengikuti pembantunya untuk membuktikan kesetiaannya tersebut. Kemudian ia diantar oleh pembantu tersebut ke suatu rumah yang terkunci yang di dalamnya terdapat 60 orang putra keturunan Rasul saw. Seketika itu pula ia diperintah untuk membunuh mereka semuanya. Setelah ia membunuhnya dikatakan Humaid menjadi hilang kendali serta berputus-asa atas rahmat ampunan Allah. Dari berbagai pemaparan di atas, dapat kita simpulkan pemerintahan Bani Abbas tidak ubahnya Bani Umayyah bahkan lebih kejam, dan tidak satupun janji yang mereka ucapkan mereka realisasikan.

REFERENSI:
Al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam. Mizan. Bandung. 1998.
Guven, Fatih. 560 Hadis dari 14 Manusia Suci. Yayasan Islam Al-Baqir. Bangil. 1995.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. 2005.

Terkait Berita: