Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Zaid Bin Arqam. Show all posts
Showing posts with label Zaid Bin Arqam. Show all posts

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima Sedekah? Anomali Bantahan Nashibi


Metode beragama yang ditempuh Mazhab Ahlusunnah Wal Jama’ah (sunni) adalah “Metode Kaca Mata Kuda”. Ngotot menyatakan sesuatu sebagai kebenaran/hujjah dengan cara menyembunyikan begitu banyak hadits atau atsar lain yang justru berpotensi besar sebagai kebenaran karena bertentangan dengan klaim mereka.

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima Sedekah? Anomali Bantahan Nashibi
Seperti biasa nashibi yang ingkar sunnah itu kembali membuat bantahan terhadap tulisan kami dan seperti biasanya bantahan itu “tidak bernilai” bagi orang yang mau sedikit saja menggunakan akalnya. Nashibi ini memang layak untuk dikatakan ajaib aneh tapi nyata, ia membantah suatu tulisan dengan dalil padahal dalil yang ia gunakan sebenarnya menjadi bantahan bagi dirinya. Fenomena ini hanya terjadi pada orang yang lemah akalnya atau orang berakal yang dikuasai oleh kebencian sehingga akalnya tertutup dengan nafsu membantah.

Tulisan ini kami buat bukan untuk dirinya karena ia jelas bukan tipe orang yang menginginkan kebenaran tetapi tipe orang yang hanya dipengaruhi kebencian terhadap syiah rafidhah. Jadi harap maklum kalau dalam pikiran nashibi itu setiap orang yang bertentangan dengannya harus dikatakan syiah rafidhah. Tulisan ini kami tujukan untuk para pembaca yang berniat mencari kebenaran.

Pada tulisan sebelumnya kami membawakan hadis Zaid bin Arqam dimana Zaid mengeluarkan istri Nabi dari ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Anehnya nashibi ngeyel itu membantah dengan membawakan riwayat Muslim yang malah menguatkan hujjah kami [komentar nashibi itu adalah yang kami blockquote]
Riwayat Zaid bin Arqam dalam riwayat Muslim adalah sebagai berikut :
وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbas”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya. (Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali)
Dalam hadits Muslim di atas, Zaid mengatakan bahwa istri-istri Nabi termasuk dalam ahlul bait yang dimaksud berbeda dengan riwayat Mushanaf Ibnu Abi Syaibah.
Lucu sekali bukan, apa ada dalam tulisan kami sebelumnya kami menyatakan bahwa istri Nabi bukan ahlul bait?. Orang yang mampu memahami dengan baik pasti akan mengerti bahwa maksud perkataan Zaid bin Arqam adalah istri Nabi memang ahlul bait tetapi mereka bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Riwayat Muslim tersebut tidaklah berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah apalagi Muslim juga membawakan riwayat Zaid bin Arqam dimana Hushain dan Yazid bertanya:

فقلنا من أهل بيته ؟ نساؤه ؟ قال لا وايم الله إن المرأة تكون مع الرجل العصر من الدهر ثم يطلقها فترجع إلى أبيها وقومها أهل بيته أصله وعصبته الذين حرموا الصدقة بعده

Kami bertanya “siapakah ahlul baitnya?” apakah istri istrinya?. Zaid menjawab “tidak, demi Allah seorang istri bisa saja ia terus bersama suaminya kemudian bisa juga ditalaknya hingga akhirnya ia kembali kepada ayahnya dan kaumnya. Yang dimaksud Ahlul baitnya adalah keturunan dan keluarga Beliau yang diharamkan menerima sedekah sepeninggalnya [Shahih Muslim 4/1873 no 2408].

Jadi justru riwayat Zaid bin Arqam dalam Shahih Muslim menguatkan apa yang kami tuliskan yaitu istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Yah melihat cara nashibi itu berhujjah membuat kami merasa kasihan. Semoga Allah SWT menyembuhkan penyakit di dalam hati mereka.

Nashibi itu juga berkata jika memang perkataan Zaid seperti itu maka itu adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru. Kalau begitu hal yang sama pula bisa dikatakan untuk riwayat Aisyah yang sering dijadikan hujjah oleh nashibi. Jika memang riwayat Aisyah shahih [nyatanya tidak] maka itupun adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru.

Kemudian nashibi itu membahas riwayat Barirah dengan cara yang menyedihkan. Ia mengatakan kesimpulan kami mentah dan ia membuat bantahan ngawur berikut
Orang syi’ah ini ternyata begitu mudah menarik kesimpulan yang masih mentah, berdasarkan hadits yang dia kutip, maula yang yang diharamkan menerima sedekah sebenarnya adalah khusus maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, karena mereka seperti keluarga beliau sendiri, Maimun dan Mihran adalah Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam maka mereka pun haram menerima sedekah, sedangkan maula selain dari Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam (termasuk Maula Aisyah) tidak terkena hukum ini.
Kami yakin nashibi itu sudah membaca tulisan kami sebelumnya dan ternyata ia masih mengeluarkan ucapan di atas. Hal ini membuktikan kalau nashibi itu memang orang yang ingkar sunnah. Wahai nashibi, kami hanya mengulang apa yang jelas jelas dinyatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Beliau bersabda

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah.

Masa’ sih ada orang yang masih salah memahami hadis di atas. Lafaz yang dimaksud adalah “kami ahlul bait” kemudian dilanjutkan dengan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami”. Maka siapapun yang punya sedikit akal pikiran pasti mampu memahami bahwa “maula kami” yang dimaksud disitu adalah “maula ahlul bait”. Apa ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami ahlul bait dilarang menerima sedekah” itu maksudnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja dan tidak untuk ahlul baitnya?. Aduhai kami kehilangan kata-kata menghadapi hujjah nashibi yang menyedihkan.

Hadis ini menjadi hujjah bahwa ahlul bait yang dimaksudkan dalam lafaz “kami ahlul bait diharamkan menerima sedekah” adalah ahlul bait yang maula mereka diharamkan menerima sedekah. Termasuk di dalamnya adalah Bani Hasyim yaitu keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil dan keluarga Abbas. Sedangkan istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyatakan“maula suatu kaum adalah bagian dari kaum tersebut” dan “maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah”. Jadi jika suatu kaum diharamkan menerima sedekah maka maula kaum tersebut juga diharamkan menerima sedekah. Jika istri Nabi sebagai ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka maula mereka pun akan diharamkan menerima sedekah. Itulah yang nampak dari hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut.
Bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly
Ketika ada tempatnya harus memakai logika maka nashibi ini menunjukkan seolah ia tidak punya logika atau menampilkan logika yang menyedihkan dan ketika pada tempat yang seharusnya tidak menggunakan logika, ia malah sok berhujjah dengan logika [walaupun logikanya masih ngawur juga]. Perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah itu adalah nash dari Allah SWT dan Rasul-Nya bukan perkara logika. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan bahwa maula ahlul bait juga diharamkan menerima sedekah. Dan sampai saat ini kami belum menemukan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah.

Selanjutnya ia membawakan riwayat Barirah memberikan makanan yang disedekahkan padanya kepada Aisyah. Dengan berbagai riwayat ini ia ingin menunjukkan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] itu termasuk diharamkan menerima sedekah. Silakan para pembaca perhatikan pembahasan kami dan pakailah logika yang benar untuk melihat betapa buruknya cara nashibi itu berhujjah

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ فِي بَرِيرَةَ ثَلَاثُ سُنَنٍ عَتَقَتْ فَخُيِّرَتْ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبُرْمَةٌ عَلَى النَّارِ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ خُبْزٌ وَأُدْمٌ مِنْ أُدْمِ الْبَيْتِ فَقَالَ أَلَمْ أَرَ الْبُرْمَةَ فَقِيلَ لَحْمٌ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ وَأَنْتَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ قَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Malik dari Rabi’ah bin ‘Abdurrahman dari Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha yang berkata pada Barirah terdapat tiga pelajaran. Ia dimerdekakan kemudian diberikan pilihan. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “sesungguhnya wala’ itu adalah bagi mereka yang memerdekakan. Kemudian suatu ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk sedangkan periuk berada di atas api, Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah. Beliau berkata “bukankah tadi aku melihat periuk?”. Dikatakan kepada Beliau [oleh Aisyah] “periuk itu berisi daging yang disedekahkan kepada Barirah sedangkan anda tidak makan sedekah”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” [Shahih Bukhari 7/9 no 5097].

Barirah menghadiahkan daging itu kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kemudian Aisyah radiallahu ‘anha menerima daging pemberian Barirah itu dan memasaknya. Aisyah [radiallahu ‘anha] itu awalnya beranggapan daging itu masih sedekah sehingga tidak boleh disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini nampak dalam lafaz  “anda tidak makan sedekah”. Dari lafaz itu juga diketahui bahwa menurut Aisyah, dirinya tidak diharamkan menerima sedekah. Kalau memang dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan berkata “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah”.
Kalau memang Aisyah sebelumnya beranggapan daging pemberian Barirah itu adalah sedekah maka mengapa ia menerima bahkan memasaknya?. Apa daging sedekah itu mau ia sajikan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Jelas tidak. Seandainya Aisyah merasa dirinya termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka ia pasti tidak akan menerima daging pemberian Barirah apalagi memasaknya. Mengapa? Karena ahlul bait diharamkan menerima sedekah.

Nashibi itu beranggapan Aisyah [radiallahu ‘anha] tahu bahwa dirinya ahlul bait diharamkan menerima sedekah tetapi tetap menerima sedekah yang ia diharamkan atasnya bahkan memasaknya. Bukankah ini suatu celaan yang nyata kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Hal ini membuktikan kalau anggapan nashibi itu keliru. Aisyah merasa dirinya tidak diharamkan menerima sedekah maka tidak ada masalah baginya menerima pemberian Barirah [yang ia anggap sedekah]. Ia memasaknya untuk dirinya tetapi ia tidak menyajikan daging itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah.

Pernyataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “baginya sedekah dan bagi kita hadiah” tidak menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah tetapi menunjukkan bahwa status makanan tersebut berubah. Ketika disedekahkan kepada Barirah maka daging itu adalah sedekah dan ketika Barirah menghadiahkan kepada Aisyah maka daging tersebut menjadi hadiah bukan lagi sedekah. Jadi daging tersebut ketika telah diberikan Barirah dan diterima Aisyah maka itu menjadi hadiah bagi Aisyah sehingga tidak masalah untuk diberikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Riwayat lain yang menunjukkan Aisyah dan juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang lain adalah termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah sebagai berikut :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ فَبَعَثْتُ إِلَى عَائِشَةَ مِنْهَا بِشَيْءٍ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَائِشَةَ قَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ لَا إِلَّا أَنَّ نُسَيْبَةَ بَعَثَتْ إِلَيْنَا مِنْ الشَّاةِ الَّتِي بَعَثْتُمْ بِهَا إِلَيْهَا قَالَ إِنَّهَا قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا
Muslim, 13.165/1789. Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Khalid dari Hafshah dari Ummu ‘Athiyyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengirimkan seekor kambing dari hasil sedekah kepadaku, lalu aku mengirim sebahagian darinya kepada ‘Aisyah. Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke rumah ‘Aisyah, beliau bertanya: Apakah kalian mempunyai sesuatu untuk dimakan? ‘Aisyah menjawab, Tidak ada, kecuali sedikit daging kambing yang telah engkau kirimkan kepadanya (Ummu ‘Athiyyah). Beliau berkata: Ia telah menjadi halal untuk dimakan.
Nashibi itu membawakan riwayat di atas sebagai bukti bahwa istri adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Lagi lagi hadis ini adalah hujjah bagi kami bukan hujjah bagi dirinya. Dengan lucunya ia berkata:
Jawaban Aisyah dalam riwayat di atas ketika ditanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam apakah Aisyah mempunyai makanan menunjukkan bahwa Aisyah pada awalnya menganggap daging kiriman dari Ummu Athiyah tidak boleh dimakan sehingga beliau mengatakan “tidak ada”, tetapi kemudian Nabi membolehkannya karena itu bukan lagi barang sedekah.
Ummu Athiyah mendapatkan sedekah kemudian sebagiannya diberikan kepada Aisyah. Jika memang Aisyah pada awalnya menganggap daging itu sedekah sehingga tidak boleh dimakan. Maka mengapa ia menerima daging tersebut untuk dijadikan makanan. Aisyah menerima daging yang ia anggap sedekah karena ia tidak diharamkan menerima sedekah. Sikap Aisyah ini sangat berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah yang dikutip nashibi, ketika Khalid mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah, ia menolaknya dan berkata “kami keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah”.

Mengapa Aisyah tidak mengatakan hal yang sama kepada Ummu Athiyah bukankah Aisyah beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya kepada Aisyah “apakah ada makanan?” Aisyah menjawab“tidak ada”. Mengapa ia menjawab “tidak ada” padahal ada makanan yang ia terima dari Ummu Athiyah karena ia tahu bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah dan ia beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyampaikan “sedekah itu telah sampai pada tempatnya” yaitu pada Ummu Athiyah maka pemberian Ummu Athiyah kepada Aisyah bukan lagi sedekah melainkan hadiah.

حدثنا أحمد بن زهير التستري ثنا عبيد الله بن سعد ثنا عمي ثنا أبي عن صالح بن كيسان عن ابن شهاب أن عبيد بن السباق أخبره أن جويرية بنت الحارث زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن مولاتها تصدق عليها بلحم فصنعته فلما رجع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : هل عند كم من عشاء ؟ قلت : يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : قربوه فقد بلغت محلها فأكل منها

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair Al Tusturiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Sa’d yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Shalih bin Kiisaan dari Ibnu Syihaab bahwa Ubaid bin As Sabbaaq mengabarkan kepadanya bahwa Juwairiyah binti Al Haarits istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa maulanya mendapatkan sedekah berupa daging maka ia memasak daging tersebut. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang, Beliau berkata “apakah disisimu ada sesuatu [makanan]?”. Ia menjawab“wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging maka aku telah memasaknya”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya” maka Beliau memakannya [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/64 no 169].

Riwayat ini sanadnya shahih. Ahmad bin Zuhair adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair Al Tustury seorang Imam hujjah muhaddis alim hafizh [As Siyar Adz Dzahabiy 14/362 no 213]. Ubaidillah bin Sa’d bin Ibrahim adalah perawi Bukhari seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/632]. Pamannya adalah Yaq’ub bin Ibrahim bin Sa’d adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan memiliki keutamaan [At Taqrib 2/337]. Ayahnya adalah Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim Az Zuhriy adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan hujjah [At Taqrib 1/56]. Shalih bin Kiisaan adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/431]. Az Zuhriy adalah perawi Bukhari dan Muslim yang faqih hafizh disepakati kemuliaannya, pemimpin thabaqat keempat [At Taqrib 2/133]. Ubaid bin As Sabbaaq adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/644].

Sisi pendalilannya adalah daging itu disedekahkan kepada maula Juawiriyah kemudian maula Juwairiyah memberikannya kepada Juwairiyah. Juwairiyah sebagai istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menerima dan memasak daging tersebut. Awalnya ia beranggapan daging tersebut masih berstatus daging sedekah sehingga ia tidak mau menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Disini terdapat hujjah bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun menurutnya daging itu adalah sedekah ia tetap menerimanya dan memasaknya. Untuk siapa ia memasaknya?. Jelas bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah maka tidak lain ia memasaknya untuk dirinya sendiri. Kesimpulannya istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah.

Riwayat Barirah maula Aisyah yang mendapat sedekah dan riwayat maula Juwairiyah mendapatkan sedekah adalah dalil bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah yaitu dilihat dari dua sisi
  • Pertama, berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwaahlul bait dan maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka hal ini menunjukkan kalau istri Nabi tidak termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah
  • Kedua, dalam riwayat tersebut Aisyah dan Juwairiyah menerima daging yang anggapan mereka pada awalnya adalah sedekah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sebagai istri Nabi memang dibolehkan menerima sedekah tetapi tidak boleh menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Begitu pula riwayat Ummu Athiyah dan Nusaibah yang memberikan sedekah yang mereka terima kepada istri Nabi. Istri Nabi Aisyah awalnya mengira itu sedekah tetapi ia tetap menerimanya hanya saja ketika Nabi bertanya adakah makanan, ia menjawab tidak ada kecuali makanan dari sedekah tersebut. Ia menjawab “tidak ada” karena Nabi tidak boleh memakan sedekah. Tetapi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan kalau itu bukan lagi sedekah karena sedekah itu telah sampai pada tempatnya. Seandainya istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka Aisyah pasti akan langsung menolak pemberian daging dari Ummu Athiyah yang ia anggap dari sedekah bukannya menerima dan memasaknya.

Apakah Istri Nabi [Shallallahu ‘alaihi wasallam] Diharamkan Menerima Sedekah?
Tidak diragukan bahwa Ahlul Bait diharamkan menerima sedekah sebagaimana dijelaskan dalam hadis hadis shahih. Perselisihan timbul ketika ditanyakan apakah istri Nabi termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan dalil-dalil atau hujjah bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Mereka adalah ahlul bait tetapi tidak diharamkan menerima sedekah sedangkan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah adalah mereka ahlul bait yang memiliki ikatan nasab dengan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ada yang berhujjah dengan riwayat perkataan Aisyah radiallahu ‘anha dimana Beliau pernah menolak sedekah dan menyatakan itu tidak halal bagi keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Berikut riwayatnya

حدثنا وكيع عن محمد بن شريك عن ابن أبي مليكة أن خالد بن سعيد بعث إلى عائشة ببقرة من الصدقة فردتها وقالت إنا آل محمد صلى الله عليه وسلم لا تحل لنا الصدقة

Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Muhammad bin Syariik dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Khalid bin Sa’id diutus kepada Aisyah untuk memberikan sapi dari sedekah kepada Aisyah tetapi ia menolaknya seraya berkata “sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 no 10802].

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat seolah tampak shahih tetapi jika diteliti dengan baik riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’ [terputus sanadnya]. Riwayat diatas sanadnya berhenti pada Ibnu Abi Mulaikah dan ia meriwayatkan kisah dimana Khalid bin Sa’id memberikan sedekah kepada Aisyah radiallahu ‘anha.

Khalid bin Sa’id yang dimaksud adalah Khalid bin Sa’id bin ‘Ash salah seorang sahabat Nabi. Khalid bin Sa’id bin ‘Ash wafat atau syahid pada perang Ajnadain pada tahun 13 H [Al Ishabah Ibnu Hajar 2/238 no 2169]. Jadi peristiwa Khalid bin Sa’id mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah dan Aisyah menolaknya seraya berkata kepada Khalid bahwa keluarga Muhammad tidak dihalalkan menerima sedekah terjadi sebelum tahun 13 H.

Adz Dzahabiy dalam As Siyar ketika menyebutkan biografi Ibnu Abi Mulaikah menyatakan bahwa ia lahir pada masa khalifah Ali atau sebelumnya. Disebutkan Al Bukhari bahwa ia wafat tahun 117 H dan Adz Dzahabi menyatakan bahwa umurnya lebih kurang delapan puluh tahun [As Siyar Adz Dzahabiy 5/89-90 no 30]. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah belum lahir saat peristiwa Khalid bin Sa’id datang kepada Aisyah. Jadi riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus] sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

حدثنا ابن فضيل عن أبي حيان عن يزيد بن حيان قال انطلقت أنا وحصين بن عقبة إلى زيد بن أرقم فقال له يزيد وحصين من أهل بيته أليس نساؤه من أهل بيته قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه فقال له حصين ومن هم قال هم آل عباس وآل علي وآل جعفر وآل عقيل فقال له حصين على هؤلاء تحرم الصدقة قال نعم

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari Abi Hayyaan dari Yazid bin Hayyaan yang berkata aku dan Hushain bin ‘Uqbah datang kepada Zaid bin Arqam maka Yazid dan Hushain berkata kepadanya “siapakah ahlul baitnya [Rasulullah]?Bukankah istri istrinya termasuk ahlul baitnya?”. Zaid berkata “tidak, ahlul baitnya adalah orang yang diharamkan sedekah atas mereka”. Hushain berkata kepadanya “siapakah mereka?”. Zaid berkata “mereka adalah keluarga ‘Abbas keluarga Ali, keluarga Ja’far dan keluarga Aqil”. Hushain berkata kepadanya “mereka semua diharamkan sedekah”. Zaid berkata “benar” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 10806].

Riwayat Zaid bin Arqam ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan bersambung hingga Zaid bin Arqam, para perawinya adalah perawi tsiqat.
  • Muhammad bin Fudhail bin Ghazwaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/125]. Adz Dzahabiy menyatakan tsiqat [Al Kasyf no 5115]
  • Abu Hayyaan adalah Yahya bin Sa’id bin Hayyaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat ahli ibadah” [At Taqrib 2/303] dan Adz Dzahabiy berkata “Imam tsabit” [Al Kasyf no 6173]
  • Yazid bin Hayyaan At Tamimiy termasuk perawi Muslim yang tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/323]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6294]
Riwayat Zaid menyatakan dengan jelas bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.

Terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk yang diharamkan menerima sedekah

عن بن أبى رافع عن أبيه ان النبي صلى الله عليه و سلم بعث رجلا من بني مخزوم على الصدقة فقال الا تصحبني تصيب قال قلت حتى أذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه و سلم فذكرت ذلك فقال أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Dari Ibnu Abi Rafi’ dari ayahnya bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus seorang laki-laki dari bani Makhzum untuk mengambil sedekah. Maka ia berkata “temanilah aku dan engkau akan mendapat bagian”. Aku berkata “tunggu sampai aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” dan aku menanyakannya maka Beliau berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami sedekah dan mawla suatu kaum termasuk kaum itu sendiri [Musnad Ahmad 6/390 no 27226 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari Muslim”].

Kemudian diriwayatkan pula dari Ummu Kultsum binti Ali bahwa mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bernama Maimun atau Mihran mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah bersabda

فقال له يا ميمون أو يا مهران انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepadanya “wahai Maimun atau wahai Mihraan kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan mawla kami termasuk bagian dari kami dan tidak boleh memakan sedekah” [Musnad Ahmad 4/34 no 16446 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”].

Dari kedua hadis ini disimpulkan bahwa mawla Ahlul Bait juga diharamkan menerima sedekah. Maka jika istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka mawla merekapun seharusnya diharamkan menerima sedekah. Faktanya tidak begitu, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkan Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha untuk menerima sedekah

عن قتادة سمع أنس بن مالك قال أهدت بريرة إلى النبي صلى الله عليه و سلم لحما تصدق به عليها فقال هو لها صدقة ولنا هدية

Dari Qatadah yang mendengar Anas bin Malik berkata Barirah mengahadiahkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] daging yang disedekahkan kepadanya maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “untuknya ini adalah sedekah dan bagi kami ini adalah hadiah” [Shahih Muslim 2/756 no 1074].

Sisi pendalilannya adalah disebutkan dalam dua hadis sebelumnya bahwa keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah termasuk juga maula ahlul bait atau maula keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha dibolehkan menerima sedekah maka hal itu menunjukkan bahwa Aisyah radiallahu ‘anha tidak termasuk dalam ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima sedekah? : Anomali Bantahan Nashibi [2]
Yah beginilah jadinya diskusi dengan makhluk yang akalnya tertutup, sedikitpun ia tidak bisa mengambil pelajaran tetapi malah nafsu membantah. Seolah olah dengan membuat bantahan ia dapat menunjukkan kebenaran hujjahnya padahal malah justru lebih menguatkan kelemahan akalnya. Langsung saja [bantahannya adalah tulisan yang kami blockquote].

Riwayat Zaid bin Arqam
Sebagaimana sudah dijelaskan di artikel sebelumnya, jika perkataan Zaid tersebut difahami sebagaimana pemahaman si rafidhi nashibi tersebut, maka di atas adalah pendapat pribadi Zaid, bisa benar dan bisa juga tidak. Tentunya Aisyah yang lebih kuat dalam hal ini, karena dia sebagai istri Nabi yang menjadi obyek pembahasan saat ini.
Kami ajarkan caranya berhujjah wahai nashibi. Antara perkataan Zaid bin Arqam dan Aisyah manakah yang shahih?. Jawabannya perkataan Zaid bin Arqam. Kami setuju pendapat Zaid bisa benar bisa salah tetapi itu namanya menyebarkan syubhat bukan berhujjah. Kalau memang salah silakan tunjukkan dalil yang menunjukkan kesalahannya. Kalau tidak ada dalil shahihnya maka perkataan Zaid bin Arqam itu benar apalagi telah dikuatkan oleh dalil yang telah kami sebutkan.
Bagi kami dalam memahami riwayat Zaid di atas berbeda dengan si rafidhi nashibi tersebut, yang dimaksud Zaid dengan mengatakan : “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau” adalah Istilah Ahlul Bait secara lebih luas di mana melingkupi keluarga Ali, Aqil, Ja’far dan Ibnu Abbas dan termasuk juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam itu sendiri.
Alangkah anehnya nashibi ini, yang dipermasalahkan disini bukan istilah Ahlul Bait tetapi pernyataan Zaid dimana ia membagi ahlul bait sebagai ada yang diharamkan sedekah atasnya dan ada yang tidak. Kami mengakui kalau Zaid menyatakan istri Nabi sebagai ahlul bait tetapi dalam pandangan Zaid, istri Nabi adalah Ahlul Bait yang tidak diharamkan sedekah atasnya sedangkan ahlul bait yang diharamkan sedekah atasnya adalah keluarga Ali, keluarga Ja’far, Keluarga Aqil dan Keluarga Abbas, semuanya dari bani hasyim.
Karena Zaid memahami apa yang ditanyakan oleh Hushain adalah makna ahlul bait secara khusus sesuai bahasa yaitu penghuni rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
Ini cuma ucapan basa basi dan seperti biasa lahir dari orang yang kebanyakan ngeyel. Berhujjah itu tunduk pada hadis yang dijadikan hujjah bukannya hadis diturutkan dengan hawa nafsu. Hushain justru paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas dan ia ingin tahu siapa ahlul bait yang dibicarakan Zaid. Lafaz “bukankah istri Nabi termasuk ahlul baitnya” adalah lafaz yang diucapkan oleh orang yang paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas. Hushain ingin tahu siapa saja ahlul bait yang dibicarakan Zaid dan apakah istri Nabi termasuk di dalamnya. Jadi dari lafaz hadisnya jelas bertentangan dengan klaim basa basi nashibi yang ingkar sunnah itu
dan jelas penghuni rumah beliau adalah istri-istri beliau itulah yang dimaksud oleh Hushain, tetapi ahlul bait dalam pengertian tersebut bukan yang dimaksud oleh Zaid, yang dimaksud Zaid dalam riwayat di atas adalah ahlul bait dalam pengertian secara lebih luas yaitu mereka yang diharamkan menerima shadaqah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak memahami juga, kita hanya bisa bilang kebangetan nih orang…
Menjawab komentar basa basi bin ngeyel tidak bisa dengan basa basi juga. Mengapa? Karena yang namanya basa basi tidak akan ada habisnya. Apapun hujjah dan dalil yang anda bawakan, nashibi yang suka basa basi ini akan selalu bisa melontarkan jawaban ngeyel. Ia memang tidak sedang berhujjah dengan hadis tetapi berhujjah dengan ngeyelisme yang jadi penyakitnya. Sebaik baik jawaban adalah lafaz perkataan Zaid bin Arqam dalam hadisnya

قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ

Jika diterjemahkan artinya adalah Zaid berkata “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah setelahnya”.

Mengapa diantara frase “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya” dan frase “ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah” terdapat kata “walakin” yang artinya “akan tetapi”. Jawabannya karena ahlul bait yang sedang dibicarakan Zaid bukanlah istri istri Nabi. Zaid ingin mengatakan kepada Hushain bahwa istri Nabi memang termasuk ahlul bait tetapi ahlul bait yang ia maksudkan dalam pembicaraannya adalah orang yang diharamkan menerima sedekah. Nah ini menunjukkan dalam pandangan Zaid, istri Nabi bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Dalam riwayat lain yang juga shahih, ucapan Zaid adalah berikut

قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه

Zaid berkata “tidak akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah atasnya”.

Nah maksud perkataan Zaid “tidak” disini adalah istri Nabi bukan ahlul bait yang ia maksudkan akan tetapi yang ia maksudkan adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah atasnya. Jawaban Zaid jelas menunjukkan bahwa istri Nabi bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Sekedar info saja penjelasan kami ini sama halnya dengan apa yang dijelaskan oleh An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan  hadis ini. Justru nashibi itu yang tidak mengerti bahasa arab dan berkeras dengan kengeyelannya. Alangkah kasihannya orang itu.
Sedangkan riwayat Muslim no. 2408, kami mengira kekeliruan pada hafalan si perawi walaupun sanad hadits tersebut shahih, karena jelas bertentangan dengan riwayat Zaid di atas.
Silakan lihat wahai pembaca yang terhormat, jika hadis tersebut tidak sesuai dengan hawa nafsunya ia akan gampang melemahkannya. Di lain waktu ia akan membangga banggakan kitab hadis shahih Bukhari dan Muslim serta melecehkan kitab yang asing ditelinganya. Kedua lafaz tersebut shahih bahkan lafaz riwayat Muslim ini telah dikuatkan oleh lafaz riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dinilai dari kuatnya, lafaz ini jelas lebih kuat sanadnya dibanding lafaz riwayat Muslim sebelumnya.
Jawaban Zaid bin Arqam ada dua versi riwayat dan keduanya shahih  tidak bertentangan sedangkan ucapan nashibi bahwa salah satu versi lemah karena hafalan perawinya adalah ucapan dusta yang tidak ada dasarnya. Kami telah buktikan shahihnya riwayat Ibnu Abi Syaibah ditambah lagi juga dikuatkan oleh riwayat Muslim yang kami kutip. Ucapan basa basi tidak ada gunanya wahai nashibi
Pertanyaan saya sekali lagi, apakah yang dimaksud keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas itu tidak termasuk istri-istri mereka jika istri-istri mereka bukan dari kalangan Bani Hasyim?
Tentu saja yang dimaksud diharamkan sedekah itu adalah bani Hasyim. Jadi keluarga Ali, Ja’far, Aqil dan Abbas yang dimaksud adalah bani hasyim. Kalau memang ada istri mereka bukan dari kalangan bani hasyim maka kami belum menemukan dalil bahwa istrinya diharamkan menerima sedekah. Silakan wahai nashibi kalau anda menemukan dalil bahwa istri mereka bukan dari bani hasyim juga dilarang menerima sedekah. Maka bagaimana pula status dengan anak dari istri tersebut juga orang tuanya dan kerabatnya yang bukan bani hasyim?. Apakah diharamkan menerima sedekah juga?. Sudah kami katakan sebelumnya perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah bukan perkara yang bisa dipikirkan dengan logika. Dasar nashibi, sok berlogika seolah mereka punya saja
.
.
Riwayat Mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Rasulullah bersabda dalam riwayat di atas terhadap mawla beliau sendiri, dan beliau adalah juga ahlul bait bahkan beliau adalah sayyidul bait, maka yang dipahami di sini adalah mawla (budak yang dibebaskan) beliau adalah juga mawla ahlul bait beliau, karena beliau adalah sayyidul bait, tetapi  sebaliknya, mawla (budak yang dibebaskan) anggota ahlul bait beliau tidak dikategorikan mawla beliau yang diharamkan sedekah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak juga memahami, maka kami hanya mengelus dada dan merasa kasihan kepadanya.
Wahai nashibi berhentilah dari ucapan dusta. Sikap anda hanya menunjukkan kalau anda semakin ingkar terhadap sunnah. Siapapun yang bisa sedikit bahasa arab akan paham maksud ucapan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut bahwa maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan atas mereka sedekah. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan demikian.

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah

أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Kami keluarga Muhammad tidak halal bagi kami menerima sedekah dan maula suatu kaum termasuk kedalam kaum tersebut.

Lafaz “kami ahlul bait” serupa dengan lafaz “kami keluarga Muhammad” yaitu diharamkan menerima sedekah. Dan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami” sama halnya dengan lafaz “maula suatu kaum bagian dari kaum tersebut”. Jadi siapakah maula yang diharamkan menerima sedekah?. Apakah khusus maula Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Jelas tidak, orang yang menyatakan demikian berarti ia sudah mendustakan hadis yang begitu jelasnya dan terang benderang. Maula yang dimaksud disitu adalah maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apakah lafaz “kaum” yang dimaksud itu hanya merujuk pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Cuma orang yang lemah akalnya yang bilang begitu. Dan jika orang tersebut sok merasa kasihan atas orang lain maka keadaannya jauh lebih menyedihkan.

Dan yah kalau nashibi itu bisa membaca [itu pun kalau bisa] sebagian ulama menyatakan bahwa maula bani hasyim diharamkan menerima sedekah. Apa dalilnya? Yaitu hadis yang telah kami kutip. Jadi sangat berbeda dengan ucapan dusta nashibi tersebut.
Jadi hadits di atas tidak bisa dijadikan sebagai hujjah bahwa istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tidak diharamkan menerima sedekah, sampai detik ini kami tidak melihat ada suatu hadits yang tegas mengatakan hal tersebut, jadi pendalilan si rafidhi nashibi ini sangat lemah.
Jangan sok bicara hadis tegas. Sejelas apapun dalilnya akan anda pelintar pelintir sesuka hati. Ini sudah bukan masalah dalil tetapi sudah masalah nafsu anda saja yang maunya terus membantah walaupun dengan cara memalukan. Kami sarankan silakan anda belajar bahasa arab sedikit agar anda paham hadis yang kami kutip. Malas sekali menghadapi orang yang bisanya hanya kopipaste hadis dari lidwa.
Sekali lagi si rafidhi nashibi ini tidak bisa menjawab, bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly dan lemah. Ini bukan perkara bahwa ini adalah ketentuan Nabi atau apa, tetapi pendalilan si rafidhi nashibi ini yang keliru, pepesan kosong seperti biasa.
Lha kalau memang pakai logika, ya silakan pakai maka bagaimana dengan sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang katanya sahabat di dunia dan akhirat seperti Abu Bakar dan Umar. Apakah masuk di logika anda kalau mereka juga diharamkan menerima sedekah?. Dan mereka tidak hanya sahabat tetapi juga mertua Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Andalah yang pakai logika dalam masalah ini maka itu adalah masalah bagi anda sendiri. Sedangkan kami berhujjah dengan dalil shahih bukan logika ngawur. So mengapa kami harus menjawab pertanyaan ngawur anda.
Mungkin hatinya yang buta dipenuhi rasa hasud terhadap istri Nabi sehingga dia tidak melihat hadits-hadits shahih mengenai hal ini, dasar Nashibi!
Silakan tunjukkan dalil jelas dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah?. Jangan cuma klaim tanpa bukti. Jika memang sedemikian masyhurnya bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka mengapa sahabat Zaid bin Arqam radiallahu ‘anhu tidak mengetahuinya.
.
.
Riwayat Aisyah “Kisah Barirah”
Si Rafidhi Nashibi ini apakah lupa bahwa Barirah adalah mawla Aisyah dan sering membantu Aisyah, setelah dimerdekakan, Barirah diberi pilihan untuk tetap bersama suaminya atau berpisah dan dia memilih berpisah dengan suaminya dan ikut bersama Aisyah, apakah periuk di atas api bisa disimpulkan bahwa yang memasak adalah Aisyah?
Lho kalau begitu siapa yang memasaknya?. Sangat jelas dari hadis Shahih Bukhari tersebut bahwa ketika Beliau masuk ke rumah Aisyah, periuk itu sedang di atas api. Artinya “daging itu sedang dimasak”. Siapa yang memasaknya? Barirah? Mana buktinya, itu namanya berandai andai. Hadisnya tidak menyebutkan demikian. Bahkan dari hadis Shahih Bukhari tersebut jelas Barirah tidak berada disana karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “baginya sedekah” kalau memang ketika itu Barirah ada disana maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan berkata “bagimu adalah sedekah”.
Dan apakah kemudian disimpulkan bahwa Aisyah akan memakannya?. Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah, artinya daging tersebut tidak biasa di rumah Aisyah dan itu adalah milik Barirah. Jadi tidak ada penunjukkan dalam hadits di atas bahwa Aisyah tidak diharamkan menerima sedekah.
Wahai nashibi pakai logikanya, jangan sok berkata logika ternyata cuma komentar ngawur. Daging tersebut memang tidak biasa di rumah Aisyah karena itu berasal dari pemberian Barirah yang mendapat sedekah. Apa memangnya Barirah itu setiap hari mendapat sedekah dan setiap hari pula ia memberikan sedekah yang ia terima kepada Aisyah?. Perkataan nashibi “itu adalah milik Barirah” adalah perkataan dusta.

Mengapa? Karena sangat jelas bahwa itu adalah milik Aisyah setelah Barirah memberikan padanya. Bagaimana mungkin Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memakan makanan milik Barirah tanpa meminta izin dulu dari Barirah. Barirah memberikan daging kepada Aisyah dan Aisyah yang memasaknya, ini sangat jelas karena Barirah tidak ada disana dan daging itu masih dimasak ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk.
Si rafidhi nashibi ini mempermasalahkan mengapa Aisyah berkata “Anda tidak makan sedekah” kok tidak mengatakan “kita tidak makan sedekah” kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan konyolnya itu dengan bertanya konyol ke dia mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengatakan “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” kok tidak mengatakan“bagi kalian adalah sedekah sedangkan bagiku adalah hadiah”
Nah komentar ini menunjukkan kalau nashibi itu tidak mengerti pembahasan kami sebelumnya. Jawabannya sudah kami tulis di pembahasan sebelumnya. Lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa
  • Daging itu adalah hadiah bagi Aisyah.
  • Daging itu adalah hadiah bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Bukankah Barirah memberikan daging itu kepada Aisyah maka daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Yang mendapat sedekah adalah Barirah sedangkan Aisyah mendapat hadiah dari Barirah makanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengatakan “bagi kalian adalah sedekah”. Aisyah radiallahu ‘anha awalnya beranggapan daging itu masih berstatus sedekah setelah Barirah memberikannya tetapi kenapa ia tidak menolaknya. Mengapa daging itu harus berada di rumahnya jika ia beranggapan dirinya dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah?. Seperti yang kami katakan jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah maka ia tidak akan menerimanya tetapi menolak pemberian Barirah.
Satu hal lagi, bahwa Barirah menghadiahkan daging tersebut sebenarnya bukan hanya untuk Aisyah tetapi juga untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, sebagaimana riwayat berikut
Aneh itu pun juga sudah kami nyatakan sebelumnya. Apa yang anda inginkan dengan fakta itu?. Wahai nashibi andalah yang tidak mengerti maksud lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa hukum makanan itu berubah. Makanan yang disedekahkan kepada seseorang telah menjadi milik orang tersebut. Jika orang tersebut memberikannya kepada orang lain maka status makanan itu bukan lagi sedekah melainkan hadiah. Dengan lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa makanan itu hadiah bagi Aisyah dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apa ada dalam lafaz ini menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka setiap hadiah yang diberikan kepadanya harus dianggap sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka ia tidak bisa menerima hadiah?.

Aisyah sendiri yang menunjukkan bahwa dirinya bisa menerima sedekah dan hadiah karena awalnya ia beranggapan daging Barirah adalah sedekah, ia terima dan ia masak. Kemudian setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan bahwa daging sedekah jika sudah diberikan oleh orang yang menerima sedekah statusnya adalah hadiah maka Aisyah baru paham kalau yang ia terima adalah hadiah dan tidak mengapa disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Maka jelas kalimat “kita” pada hadits-hadits tersebut adalah untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lha iya, kapan pula kami membantah soal itu?. Nashibi ini memang sulit memahami hujjah orang lain. Jelas hadiah itu diperuntukkan bagi Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka lafaznya adalah “bagi kita adalah hadiah” tetapi yang tidak boleh menerima sedekah itu hanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan Aisyah [radiallahu ‘anha] boleh menerima sedekah.
Perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah daging itu adalah Hadiah, artinya bukan sedekah dan artinya pula bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah tidak menerima sedekah tetapi hanya menerima Hadiah alias mereka diharamkan menerima sedekah. hal yang mudah dipahami tetapi bagi orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit menjadi sulit dan berbelit-belit.
Sekarang kami tanya wahai nashibi, kapan Aisyah menyadari bahwa daging tersebut hadiah? itu setelah Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakannya. Kapan ia menerima daging tersebut, meletakkan di rumahnya bahkan dimasak di rumahnya? Itu sebelum Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan kepadanya bahwa itu hadiah. Anehnya bagian mana dari lafaz “bagi kita hadiah” yang menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah. Jangan mengkhayal wahai nashibi. Kalau memang Aisyah beranggapan dari awal bahwa yang ia terima adalah hadiah maka mengapa ia tidak mau menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mengapa ia berkata “anda tidak makan sedekah”. Jelas Aisyah awalnya beranggapan yang ia terima adalah sedekah baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan maka ia paham bahwa apa yang ia anggap sedekah sebenarnya adalah hadiah.

Ada analogi sederhana, misalnya anda dan istri anda tinggal satu rumah. Anda diwasiatkan oleh ayah anda tidak boleh menerima sedekah orang lain tetapi boleh menerima hadiah. Istri anda tidak ada masalah [ia tidak punya ayah yang aneh]. Suatu ketika saya memberikan daging yang disedekahkan kepada saya pada istri anda. Istri anda menerimanya tahu kalau anda tidak boleh menerima sedekah tetapi istri anda menyukai daging tersebut jadi ia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Ketika anda datang, anda melihat ada daging yang dimasak tetapi tidak disajikan kepada anda. Anda bertanya soal daging itu, istri anda menjelaskan bahwa saya menerima sedekah kemudian memberikannya maka istri anda tidak menyajikan karena anda dilarang makan sedekah. Tiba tiba saya menelepon saya katakan bahwa daging itu adalah hadiah. Maka anda berkata “bawakan daging itu, itu adalah hadiah bagi kita”. Nah apakah adanya lafaz “hadiah bagi kita” menunjukkan bahwa anda dan istri anda dilarang memakan sedekah. Jelas tidak ada indikasinya, andalah yang dilarang oleh ayah anda yang aneh sedangkan istri anda tidak. Tetapi lafaz yang anda gunakan tetap “bagi kita adalah hadiah”  karena saya memang memberikan untuk anda dan istri anda
Nashibi itu berhujjah dengan hadis berikut yang mengandung lafaz “bagi kalian hadiah”. Kami tidak membahasnya sebelumnya karena itu sudah tercakup dalam pembahasan hadis Shahih Bukhari yang kami kutip. Ini lafaznya:

كَانَ النَّاسُ يَتَصَدَّقُونَ عَلَيْهَا وَتُهْدِي لَنَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَكُمْ هَدِيَّةٌ فَكُلُوهُ

Orang orang bersedekah kepadanya kemudian ia memberikan kepada kami maka aku menyebutkan hal itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “baginya adalah sedekah dan bagi kalian adalah hadiah, makanlah”.

Kami tanya pada anda wahai nashibi? Mana lafaz yang menyatakan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah. Lafaz “bagi kalian hadiah” seperti yang kami jelaskan adalah penunjukkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa siapapun yang menerima pemberian Barirah itu maka ia telah menerima hadiah dari Barirah. Pernyataan Aisyah radiallahu ‘anha “memberikan kepada kami” menunjukkan bahwa bukan cuma Aisyah [radiallahu ‘anha] yang diberikan oleh Barirah tetapi juga sahabat lain. Nah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “bagi kalian adalah hadiah”. Siapa kalian disini? Ya siapapun yang menerima pemberian Barirah termasuk Aisyah radiallahu ‘anha.

Mungkin yang menjadi hujjah nashibi adalah lafaz “makanlah”. Menurut nashibi seolah olah dengan lafaz itu Aisyah merasa haram untuk memakannya sebelumnya dan setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan itu hadiah dan berkata “makanlah” itu menjadi halal baginya. Tentu saja hujjah ini tertolak, karena dari awal seperti yang kami tunjukkan dalam hadis Bukhari dalam kisah yang sama Aisyah telah menerima sedekah tersebut, memasaknya tetapi tidak menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia tahu bahwa Beliau tidak makan sedekah.

Lafaz “anda tidak makan sedekah” justru mengandung hujjah bahwa Aisyah tidak termasuk diharamkan menerima sedekah. Bukankah Aisyah telah mengetahui hadis bahwa keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah, nah jika ia telah tahu dan merasa dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan menolak setiap pemberian yang ia anggap sedekah bukannya menerima pemberian tersebut. Begitu pula jika ia tahu bahwa keluarga Muhammad haram menerima sedekah maka lafaz yang akan ia ucapkan adalah “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah” karena daging itu memang dihadiahkan Barirah kepada Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Perhatikan hadis berikut

حَدَّثَنَا أبو يُوسُف ، حَدَّثَنَا مكي بن إبراهيم قال بهز ذكره عن أبيه عَن جَدِّهِ قَال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتى بطعام سأل عنه أهدية أم صدقة ؟ فإن قالوا هدية بسط يده ، وإن قالوا صدقة قال لأصحابه : كلوا

Telah menceritakan kepada kami Abu Yusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibrahim yang berkata Bahz menyebutkannya dari ayahnya dari kakeknya yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jika datang makanan, ia akan bertanya tentangnya apakah itu hadiah atau sedekah?. Jika mereka berkata “hadiah” beliau mengambilnya dan jika mereka berkata “sedekah” maka beliau berkata kepada sahabatnya “makanlah” [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy 1/305 dengan sanad shahih].

Silakan perhatikan lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada sahabatnya “makanlah” yang Beliau ucapkan ketika dikatakan kalau makanan itu sedekah. Apakah dari lafaz tersebut bisa ditarik kesimpulan jika makanan itu hadiah [bukan sedekah] maka sahabat Nabi diharamkan untuk memakannya. Baik itu sedekah atau hadiah, para sahabat dihalalkan memakannya. Nah begitu pula dengan lafaz “makanlah” yang diucapkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Aisyah setelah Beliau menyatakan daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Apakah jika daging itu sedekah maka Aisyah diharamkan memakannya?. Tidak, baik sedekah atau hadiah Aisyah dihalalkan memakannya. Jadi maaf saja wahai nashibi tidak ada dalam hadis yang anda jadikan hujjah, lafaz yang menunjukkan Aisyah diharamkan menerima sedekah.

Sekedar tambahan bagi para pembaca bahwa Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkenaan hadis Barirah ini memahami hadis tersebut sama seperti yang kami pahami. Beliau berkata dalam penjelasannya terhadap hadis Barirah:

أن الصدقة لا تحرم على قريش غير بني هاشم وبني المطلب لأن عائشة قرشية وقبلت ذلك اللحم من بريرة على أن له حكم الصدقة وأنها حلال لها دون النبي صلى الله عليه وسلم ولم ينكر عليها النبي صلى الله عليه وسلم هذا الاعتقاد

Bahwa sedekah tidak diharamkan bagi kaum Quraisy kecuali bani Hasyim dan bani ‘Abdul Muthalib, Aisyah wanita quraisy dan ia menerima daging itu dari Barirah maka disini terdapat hukum bahwa sedekah halal baginya tetapi tidak bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengingkari keyakinan Aisyah tersebut [Syarh Shahih Muslim An Nawawi 5/274].
Dengan jelas sekali dalam riwayat di atas ketika beliau diberi daging sedekah oleh Barirah, Aisyah tidak langsung memakan-nya tetapi melaporkan-nya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dan beliau bersabda dengan teramat jelas : Untuk Barirah hal itu adalah sedekah, sedangkan bagi kalian adalah hadiah. Karena itu, makanlah.
Nashibi ini memaksakan asumsinya sendiri dalam memahami hadis. Satu hal yang perlu diingat, hadis Barirah itu tidak hanya seperti yang dijadikan hujjah oleh nashibi tersebut [yang sebenarnya adalah bentuk ringkasan dari kisah yang lebih panjang]. Kisahnya telah kami sebutkan dalam riwayat Shahih Bukhari yang kami kutip bahwa Aisyah telah menerima daging pemberian Barirah dan memasak daging tersebut. Jadi Aisyah telah menerima pemberian daging dari Barirah yang ia anggap sedekah. Inilah letak hujjah bahwa Aisyah tidak merasa dirinya diharamkan menerima sedekah.

Satu-satunya sikap yang benar jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah adalah ia akan menolak pemberian Barirah dan berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah”. Coba pikir baik baik wahai pembaca jika anda merasa anda diharamkan menerima sesuatu maka apakah anda menerimanya?. Jika anda diberikan daging babi oleh tetangga anda, apa anda akan menerimanya padahal anda tahu bahwa itu haram untuk dimakan?. Seorang muslim awam saja tahu bahwa sikap yang benar adalah menolak pemberian tersebut bukannya menerimanya apalagi seorang istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ini analogi yang pas untuk menunjukkan bahwa lafaz tersebut tidak bermakna pengharaman. Misalnya nih nashibi itu punya seorang istri. Istrinya mendapat daging dari tetangganya yang miskin. Tetangganya itu mendapatkannya dari sedekah orang lain. Maka istrinya memberitahukan hal tersebut kepada nashibi itu. Nah nashibi itu berkata “itu adalah sedekah untuknya sedangkan untukmu adalah hadiah, makanlah”. Apa dari lafaz itu bermakna kalau istrinya diharamkan memakan sedekah?. Tentu saja walaupun tidak dikatakan “makanlah” istrinya tetap akan makan daging tersebut. Apa karena nashibi itu berkata “makanlah” menunjukkan bahwa istrinya sebelumnya merasa daging itu haram untuknya?. Kalau memang merasa daging itu haram ya dari awal seharusnya istrinya menolak saja pemberian tetangganya.

Riwayat Ummu Athiyah
Riwayat di atas diriwayatkan oleh Ummu Athiyah, artinya saat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda kepada Aisyah dalam hadits di atas, Ummu Athiyah hadir di situ sehingga dia bisa meriwayatkannya. Artinya juga bahwa Aisyah baru saja menerima pemberian daging tersebut dari Ummu Athiyah dan belum memutuskan apa-apa, tak lama kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam datang sementara Ummu Athiyah masih ada di situ.
Ini ucapan orang yang berandai andai. Apa buktinya Ummu Athiyah ada disitu?. Ummu Athiyah tidak hadir disitu dan walaupun ia tidak hadir tidak ada alasan untuk menolak riwayatnya. Apa karena ia tidak hadir disitu maka ia tidak bisa meriwayatkannya. Tidak setiap peristiwa yang diriwayatkan oleh sahabat ia saksikan langsung. Dari lafaz hadisnya tidak ada satupun keterangan kalau Ummu Athiyah berada disana bahkan dalam lafaz hadis tersebut terdapat isyarat bahwa ia tidak ada disana. Perhatikan saja lafaz:

أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ

Ummu Athiyah berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengirimkan kepadaku kambing dari hasil sedekah.

Apa bedanya memberikan dengan mengirimkan?. Jika anda mengirimkan sesuatu apa anda akan membawanya langsung kepada orang tersebut. Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan memberikan kepada setiap orang yang menerima sedekah dengan membawanya satu persatu. Lafaz “mengirimkan” cukup menunjukkan bahwa sedekah tersebut diantarkan kepada orang yang akan menerimanya tidak mesti langsung oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam hadis Ummu Athiyah yang lain yaitu Shahih Bukhari malah diucapkan dengan lafaz:

فَأَرْسَلَتْ إِلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مِنْهَا

Lafaz ini menunjukkan bahwa Ummu Athiyah mengantarkan sebagian dari sedekah itu kepada Aisyah melalui perantara orang lain dan itulah yang dimaksud mengirimkannya. Jadi komentar basa basi nashibi itu sungguh tidak bernilai.

Sekedar info bagi para pembaca, apa yang kami pahami dari hadis Ummu Athiyah ini sebenarnya juga dikutip Ibnu Hajar ketika ia menjelaskan hadis Ummu Athiyah dalam Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari

وفيه إشارة إلى أن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم لا تحرم عليهن الصدقة كما حرمت عليه ، لأن عائشة قبلت هدية بريرة وأم عطية مع علمها بأنها كانت صدقة عليهما

Dan didalamnya terdapat isyarat bahwa Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan bagi mereka menerima sedekah sebagaimana diharamkan atasnya [Rasulullah], Aisyah menerima hadiah Barirah dan Ummu Athiyah dan saat itu ia mengetahui bahwa itu adalah sedekah untuk mereka berdua [Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari 8/61].

Nashibi yang ingkar sunnah itu kemudian berhujjah dengan hadis Nabi tidak mewariskan [kami pribadi telah menunjukkan bahwa hadis ini keliru dan Sayyidah Fathimah telah menolaknya] . Nashibi itu berkata

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ»

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwasanya isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berpulang keharibaan Ilahi, mereka ingin mengutus Utsman untuk menemui Abu Bakar meminta warisan mereka, maka Aisyah mengatakan: Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Kami tidak mewarisi, Apa-apa yang kami tinggalkan adalah sedekah?” (Shahih Bukhari, no: 6730)
Dan ternyata istri-istri Nabi sepeninggal beliau tidak boleh mengambil peninggalan Nabi yang berupa sedekah tersebut, artinya apa? Sedekah diharamkan diterima oleh istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Nah kurang jelas apa lagi…
Hujjah nashibi yang ini lucu sekali, caranya berhujjah menunjukkan bahwa ia tidak memahami hadis yang ia jadikan hujjah. Ia tidak meneliti kesuluruhan lafaz hadis-hadis tentang masalah ini. Pembahasan hadis ini adalah masalah lain yang ada tulisannya tersendiri. Tetapi kebetulan karena nashibi ini berhujjah dengan hadis tersebut maka silakan ia membaca hadis berikut dari Abu Bakar

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ وَاللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي

Abu Bakar berkata aku mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “aku tidak mewariskan, apa yang aku tinggalkan adalah sedekah, sesungguhnya keluarga Muhammad makan dari harta ini, demi Allah kerabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lebih aku cintai untuk menjalin hubungannya dibanding kerabatku [Shahih Bukhari 5/90 no 4035].

Nah berdasarkan hadis tersebut maka keluarga Muhammad dapat makan dari harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menjadi sedekah. Menurut Abu Bakar keluarga Muhammad tidak dapat mewarisinya tetapi dapat makan dari harta tersebut. Nah loooo...
Dan apakah nashibi itu tidak memperhatikan bahwa istri istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah tetapi meminta warisan. Lihat saja hadinya yang berbunyi:

أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ

Mereka mengutus Utsman kepada Abu Bakar untuk meminta warisan mereka.

Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah, mereka meminta warisan. Jadi apanya yang maksud nashibi itu jelas. Nashibi itu sepertinya tidak bisa membedakan antara warisan dan sedekah. Dan btw wahai nashibi, istri Nabi itu termasuk keluarga Muhammad yang boleh makan dari harta tersebut tidak?. Selamat bersakit hati.

Riwayat Juwairiyah
Kemudian si Rafidhi Nashibi tersebut mencoba mengkais-kais riwayat-riwayat yang sekiranya bisa menguatkan argumentasi dia seperti berikut ini, tetapi sayang, riwayat ini sama sekali tidak menguatkan hujjahnya.
Ooh kita lihat saja, silakan para pembaca lihat siapa yang sebenarnya berpegang pada sunnah dan siapa yang sebenarnya ingkar kepada sunnah
Justru dalam riwayat di atas Juwairiyah terlihat telah mengetahui hukumnya bahwa sedekah buat maula-nya jika diberikan kepadanya boleh diterima dan diberikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagai hadiah buat mereka. Hal ini tampak ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya tentang makanan, Juwairiyah langsung menawarkan-nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tanpa bertanya lagi apakah itu boleh atau tidak, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membenarkan dan menegaskan bahwa sedekah itu telah sampai pada tempatnya.
Wah wah kami sampai tertawa membaca komentar ini. Tidak ada dalam lafaz riwayat Thabrani yang menunjukkan bahwa Juwairiyah menawarkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Inilah lafaz jawaban Juwairiyah dalam riwayat Thabraniy

 يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته

wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging dan aku telah memasaknya.

Dengan lafaz ini Juwairiyah ingin mengatakan bahwa makanan yang ada padanya adalah hasil sedekah dan ia tahu bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak makan sedekah. Lafaz ini mengisyaratkan Juwairiyah tidak mau menyajikan kepada Nabi makanya Nabi menjawab “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya”. Jawaban ini diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk mengoreksi anggapan Juwairiyah karena Juwairiyah beranggapan status makanan tersebut masih sedekah.
Kesalahan fatal nashibi itu adalah ia tidak mengumpulkan semua riwayat kisah Juawiriyah tersebut. Peristiwa Juwairiyah ini sama halnya dengan peristiwa Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kami mengutip riwayat Thabraniy karena lafaznya lebih kuat sebagai hujjah yaitu Juwairiyah memasak makanan tersebut, nah hadis tersebut ternyata diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim yaitu sebagai berikut

أن عبيد بن السباق قال إن جويرية زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فقال هل من طعام ؟ قالت لا والله يا رسول الله ما عندنا طعام إلا عظم من شاة أعطيته مولاتي من الصدقة فقال قريبة فقد بلغت محلها

Bahwa Ubaid bin As Sabbaaq berkata bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuinya dan berkata “apakah ada makanan?”. Ia berkata “tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada disisi kami makanan kecuali kambing yang disedekahkan kepada maulaku. Beliau berkata “bawalah kemari, sedekah itu telah sampai pada tempatnya [Shahih Muslim 2/756 no 1073].

Riwayat ini sama saja dengan riwayat Thabraniy dan kisah yang diceritakan pun sama. Jadi Juwairiyah menerima pemberian maulanya yang ia anggap sedekah dan ia tidak mau menyajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi diharamkan sedekah atasnya. Nah mengapa Juawiriyah memasaknya? Ya untuk dirinya tentu.
Si rafidhi nashibi ini sok tau kalau Juwairiyah memasak makanan tersebut bukan untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, darimana si rafidhi nashibi ini bisa tau? Dari wangsit?  Bukankah istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengetahui saat giliran Nabi mendatangi  mereka?.
Ho ho jelas dalam hadisnya Juwairiyah berkata “tidak ada” ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menanyakan soal makanan. Nah itu berarti Juwairiyah memasaknya bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi untuk dirinya sendiri. Alangkah malunya nashibi ini dan jika ia tidak tahu malu maka hal itu malah lebih memalukan lagi. Saran kami, belajarlah dulu sebelum membantah, teliti baik baik hadisnya biar anda tidak malu berkomentar sembarangan apalagi dengan gaya angkuh begitu.

Kesimpulan:
  1. Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan sedekah atas mereka karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak dibolehkan menerima sedekah. Maka keluarga Nabi yang diharmkan sedekah atas mereka bukanlah istri istri Nabi.
  2. Istri Nabi juga menerima pemberian orang lain yang mereka anggap sedekah dan mereka tidak memberikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini menjadi bukti bahwa Nabi diharamkan menerima sedekah tetapi istrinya tidak.

GHADIR KHUM, FAKTA SEJARAH YANG BERUSAHA DITUTUPI oleh intervensi penguasa !

Ghadir Khum: Sejarah Yang Mustahil Untuk Diingkari


ESTAFET KEPEMIMPINAN UMMAT DI GHADIR KHUM, SUATU FAKTA SEJARAH YANG BERUSAHA DITUTUPI

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim (penentu keputusan) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.“ (Q.S 4 :65 ).
 “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya pada kalian maka tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).

Dari sudut pandang syiah, hadist-hadist seputar peristiwa Ghadir Khum yang menceritakan tentang mandat Rasululah pada Ali untuk melanjutkan kepemimpinan ummat adalah sangat mutawatir, Sebut saja Syekh Saduq , Syekh Thusi, dan para muhadist Syiah lainnya meriwayatkan peristiwa tersebut dari berbagai rantai periwayatan yang hingga mencapai ratusan hadist ,bahkan ribuan kesaksian yang saling menguatkan satu sama lain. Berbeda dengan saudara-saudara di kalangan ahusunnah, hadist-hadist seputar peristiwa ini cenderung seperti ditutup tutupi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa intervensi penguasa pada saat perkembangan mazhab tersebut sangat kentara. Kita semua sama-sama tahu, bahwa para ulama-ulama dikalangan ahlusunnah yang konsisten dan tidak sefaham dengan penguasa banyak yang ditangkap, disiksa, bahkan dieksekusi para penguasa, sebut saja Imam Hanafi, Imam Syafii, Ibnu hazm, dan banyak nama lainnya yang barangkali perlu tulisan tersendiri untuk membahasnya.
  Dalam membahas peristiwa Ghadir Khum ini, kami akan berusaha mengemukakan hadist-hadist dari kalangan saudara kami ahlussunnah, karena sebagaimana yang saya alami dulu saat masih menjadi pengikut ahlussunnah, hadist-hadist syiah tidak berarti apa-apa bagi saya saat itu. Sama seperti bila kita berhujjah dengan kaum agama lain misalnya, mana mau mereka menerima hujjah kecuali dari kitab mereka sendiri. Banyak pula diantara mereka yang walaupun telah dipaparkan dengan berbagai argumentasi tak terbantahkan darikitab mereka sendiri yang masih keras kepala, menutup hatinya rapat-rapat dari kebenaran, mudah-mudahan para pembaca disini tidak termasuk yang demikian, insya Allah Amin.

Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Alqur`an At Tawbah: 32 dan Saff: 8, mereka mengadakan dusta terhadap Allaah, mereka berkata bahwa Allaah tidak menurunkan perkara apapun tentang keberlanjutan kepemimpinan Ilahi,
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhada Allah padahal dia diajak kepada Islam? Dan Allaah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang zalim.”.

”Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (Q.S As-Saff: 7-8).

Walaupun ada upaya-upaya sistematis dari para penguasa pada masa lalu untuk menutup-nutupi fakta penting sejarah ini, berbagai hadist seputar peristiwa tersebut, dan puluhan hadist lainnya yang saling menguatkan satu sama lainnya dan berbagai riwayat yang “tanpa sengaja” membenarkan peristiwa tersbut bertebaran disana-sini, berikut kami akan paparkan hadist-hadist tersebut :

Dari Zaid bin Arqam, ia berkata ‘” Rasululah saw telah berpidato di suatu tempat bernam,a Ghadir Khum, di bawah beberapa batang pohn. Beliau berkata,” Wahai manusia , hampir tiba saatnya aku akan dipanggil kembai. Dan aku pasti akan memenuhi panggilan tersebut dan aku akan dimintai pertanggung jawaban. Dan kamupun akan dimintai pertanggungjawaban maka apa yang akan kamu katakan ?
Mereka menjawab,” Kami bersaksi bahwa engkau menyampaikannya, telah berjuang serta memimpin kami setulus-tulusnya. Semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya.”.
Lalu rasul melanjutkan,”
Bukankah kalian bersaksi tentang La Ilaaha ilallah Muhammadurasuulullah, dan bahwa surga haqq, kebangkitan itu haqq, dan bahwa hari qiyamat itu benar, tiada keraguan tentangnya dan bahwa Alah akan membangkitkan kembali semua yang ada di liang kubr? “
jawab mereka,” Ya Alah saksikanlah.”.
Selanjutnya rasul melanjutkan,” wahai manusia, sungguh Allah adalah maulaku, dan aku adalah maula seluruh kaum muslimin, dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Kemudian beliau melanjutkan lagi,
”Wahai manusia, bahwa aku akan mendahului kalian, dan kelak kalian akan menghadap aku di telaga Haudh. Haudh lebih luas daripada Bushra ke Shan`a, disana tersedia gelas-gelas perak sebanyak bintang dilangit dan aku saat itu akan bertanya pada kalian tentang Tsaqolain ( dua pusaka) bagaimana kalian memperlakukannya sepeninggalanku. Atsaqol yang teragung adalah Kitabullah, ujung yang satunya di “tangan” Allah, yang satu lagi di tangan kalian maka berpeganglah erat padanya, niscaya kalian tidak akan sesat, tidak berubah arah. Yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahul baitku, sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.” ( HR Thabrani, Ibnu Jarir, Al Hakim, Tirmidzi dari Zaid bin Arqom).

Tentang hadist tersebut, bahkan Ibnu Hajar yang sangat membenci Syiah dalam halaman 25 Kitab Sawa`iqnya mengutip hadist tersebut dari Thabrani dan membenarkan hadist tersebut tanpa keraguan.
Selanjutnya al Hakim dalam Mustadraknya bab Manaqib Ali meriwayatkan hadist serupa Dari Zaid bin Arqam, dari dua saluran yang disahihkan sesuai dengan yang disyarat kan Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan pula oleh adz Dzahabi dalam kitabnya at Talkhis , seraya mengakui kesahihannya;
Zaid bin Arqam berkata ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan teah sampai suatu tempat bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah, di bawah beberapa batang pohon. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang teragung adalah Kitabullah , yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahlul baitku , sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau memegang tangan Ali sambil berkata ,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.

Dan diriwayatkan pula peristiwa tersebut oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid IV meriwayatkan hadist serupa melalui Zaid bin Arqam, katanya ‘”

Kami berhenti di suatu lembah bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan untuk mendirikan shalat, lalu beliau sholat pada waktu hari sudah siang terik, Beliau berpidato dihadapan kami, sehelai kain kain direntangkan di atas sebatang pohon untuk melindungi tubuh beliau dari sengatan matahari, Lalu beliau berkata,” wahai manusia, apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah maula seluruh kaum muslimin,dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri.” Yang hadir menjawab,” benar ya rasulullah.”.
Beliau melanjutkan ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.

Selanjutnya An Nasa`i meriwayatkan pula Dari Zaid bin Arqam, katanya ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan berhenti di Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang salah satunya lebih besar dari yang lain, Kitabullah , dan itrahku ahlul baitku , keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau melanjutkan,” ,” Sesungguhnya aku adalah maula seluruh kaum mu`min, lalu Rasul mengangkat tangan Ali sambil berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”

Hadist tersbut juga diriwayatkan juga oleh Muslim pada sahihnya dalam bab keutamaan Ali dari beberapa saluran dari Zaid bin Arqam, tapi hadist tersebut dipotong ringkas, begitulah yang biasa mereka lakukan.

Dari al Barra` bin Azzib melalui dua saluran, ia berkata ‘” Kami bersama-sama Rasulullah berhenti di Ghadir Khum, maka diserukanlah untuk mendirikan shalat, lalu dibersihkanlah tempat bagi rasul dibawah dua batang pohon, lalu beliau sholat Dzuhur, setelah itu Beliau mengangkat tangan Ali sambil berkata,” wahai manusia, apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.”
Mereka menjawab ,”benar ya rasululah.”
Sambil mengangkat tangan Ali rasul berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” Setelah itu Umar bin Khattab datang menemui Al dan berkata,” Alangkah bahagianya anda wahai Ali binAbi Thalib, kini engkau menjadi maula seluruh mu`min dan mu`minah ( Musnad Ahmad , jilid IV halaman 281 ).

“Dan berjihadlah kamu di jalan Allaah dengan jihad yang sebenar-benarnya Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allaah) telah menamakan kamu orang – orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksnakanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan berpegang teguhlah kepada Allaah. Dialah Maula kalian (Huwa Maula kum); Dia sebaik – baik maula dan sebaik – baik penolong.” (Q.S Al-Hajj[22]: 78).

Dan telah diriwayatan oleh anNasa`i dari Aisyah binti Sa`ad, katanya ,” Kudengar ayahku berkata : “ Aku mendengar Rasulullah ketika berada di Juhfah berkata setelah memuji Allah,” ,” wahai manusia, aku adalah wali kalian ?.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Lalu beliau mengangkat lengan Ali seraya berkata,” Inilah waliku yang akan melunasi hutangku, bertindak atas namaku dan aku bersama siapa yang memperwalikannya dan aku musuhi siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab keddudukan Ali halaman 4 dan halaman 25).

Dari Sa`ad ,” ‘” Kami bersama-sama Rasulullah di Ghadir Khum, beliau berhenti sambil menunggu kedatangan rombongan rombongan yang dibelakangnya, dan memerintahkan agar orang-orang yang telah mendahuluinya agar kembali dan berkumpul semuanya,Setelah semuanya bergabung Beliau berkata,” wahai manusia, siapakan waliMu ” Mereka menjawab ,” Allah dan RasulNya.” Sambil mengangkat tangan Ali dan menyuruh Ali berdiri rasul berkata,”Barangsiapa yang menjadikan Allah dan RasulNya sebagai walinya, maka Ali adalah walinya juga. Ya Allah cintailah siapa yang berwilayah padanya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab kedudukan Ali halaman 25 ).

Bukti-bukti lain dari berbagai riwayat ahlusunnah yang menunjukan bahwa peristiwa Ghadir Khum benar-benar ada:
Seperti telah saya katakan sebelumnya bahwa dalam kitab-kitab hadist syiah, hadist-hadist tentang peristiwa ini banyak berserakan dari berbagai jalur rantai periwayat. Tetapi dalam ahlusunnah, hadis-hadist seputar peristiwa ghadir khum memang tidak sebanyak dalam riwayat Syiah.

Para penulis hadist sunni seperti berusaha menyembunyikan dan menutupnya rapat-rapat, berbeda dengan hadist “berpegang pada Kitabullah dan Sunah nabi”, walaupun tidak mencapai derajat mutawatitr bahkan tidak terdapat dalam Bukhari Muslim yang sering mereka anggap sebagai kitab hadist paling sahih, pegangan kedua setelah Kitabullah, mereka para ulama ahlusunnah menyebarluaskan hadis yang kurang kuat tersebut, tetapi untuk hadis ghadir khum, mereka seperti menutup, menyembunyikan, dan menjauhkannya bagi ummat sebagai sebuah cerita masa lalu yang tidak begitu penting.

Tetapi, kekuatan apa pun yang berusaha menyembunyikan kebenaran, dan serapi apa pun, cahaya kebenaran tetap tidak dapat dipadamkan. Seperti upaya menghapus kabar-kabar nubuwwah tentang kenabian Muhammad dari kitab-kitab agama-agama samawi didunia, toh akhirnya terkuak juga bahwa nubuwah yang berisi informasi tersebut masih tersimpan rapi dalam kitab mereka walau dalam bentuk metafora sekalipun.

Walaupun hadist-hadist seputar suksesi penting tersebut terkesan disembunyikan, berbagai kesaksian-kesaksian atau pembenaran-pembenaran lainnya tentang peristiwa tersebut bertebaran pula dalam berbagai kitab hadist Ahlussunnah, sebagai bangunan argumentasi yang kokoh, berbagai fakta satu sama lain saling menguatkan, ibarat sebuah bangunan yang kokoh tak bergeming.

Saking banyaknya rantai periwayatan yang menguatkan peristiwa tersebut, Ustadz Hasan salah seorang mantan pengikut Wahabi bahkan menyatakan beberapa saat ketika dahulu sebelum tasyayunya,” Hadist tentang doa iftitah saja yang berbunyi ” Allahumma ba’id baini wa baina khotoya…., atau hadist doa attahiyat yang berbunyi,” attahiyatu mubarokatu” dst….saja, periwayatnya tidak sebanyak ini, tapi disahihkan bahkan diamalkan oleh kaum Wahabi yang terkenal sangat berhati-hati terhadap hadist, apalagi hadist ghadir khum yang lebih dari sekedar mutawatir, dari kitab yang saya punya saja ada riwayat dan kesaksian-kesaksian para sahabat sebanyak 34 pahlawan badar yang menyaksikan peristiwa tersebut, sementara yang menyaksikan Nabi membaca doa iftitah atau membaca attahiyat sebagaimana tadi saya sebutkan saja tidak lebih dari dua orang. Jadi, mengapa kita meninggalkan dan tidak mengamalkan wasiat Nabi tersebut?”

Ghadir Khum dan Asbabunnuzul
alWahidi dalam kitabnya Ababun nuzul ketika menafsirkan surat alMaidah ayat 67 yang berbunyi : “Hai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, jika kamu tidak kerjakan yang demikian berarti kamu tidak menyampaikan seluruh apa yang diamanahkanNya padamu.
Allah memeliharamu dari gangguan manusia, sesungguhnya Allah tidak memberikan hidayah pada orang-rang yang ingkar ,”mengutip perkataan Abu Sa`id al Khudr yang berkata,”Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum, berkenaan dengan pidato nabi tentang Ali bin Abi thalib. Ats Tsa`labi meriwayatkan pula melalui dua sanad dalam alKabirnya berkenaan dengan turunnya ayat tersebut dan diriwayatkan pula oleh al hamwini asSyafii dalam alFaraid dengan mengambi beberapa sanad dari Abu Hurairah secara marfu`, dikutip pula oleh al Hafidz Abu Nu`aim dalam kitab Nuzulul Qur`annya melalui dua sanad yaitu dari Abu rafi`dan yang keduanya dari al-A`masy dari `Atiyyah (secara marfu`).

Abu Ishaq Ats Tsa`labi meriwayatkan pula dalam alKabirnya berkenaan dengan penafsiran surat alma`arij : 1-2 yang berbunyi,” Seseorang telah meminta kedatangan adzab yang menimpa orang kafir, dan tidak seorangpun dapat menolaknya.”.

Dengan melalui dua sanad yang mu`tabar bahwa : rasulullah telah mengumpulkan banyak orang pada peristiwa Ghadir Khumm saat rasul mengangkat tangan Ali dan berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.maka tersiarlah berita itu hingga didengar Harist bin nu`man al Fihri. ia segera mendatangi Rasul sambil mengendarai ontanya.
Setiba di hadapan beliau, ia segera turun dari onta dan bertanya,” Ya Muhammad, engkau telah menyuruh kami bersaksi Tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah rasulallah dan kami menerimanya. Dan engkau perintahkan kami untuk shalat 5 kali sehari dan kami menjalankannya, engkau perintahkan kami zakat, kami tunaikannya, dan engkau suruh kami berhaji dan kami menerimanya.
Namun anda belum puas dengan semua itu sehingga anda akan lengan sepupu anda (Ali) sambil berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.
Apakah ini dari anda pribadi atau dari Allah.jawab rasul,” Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia ini adalah ketentuan Allah `Aza wa Jalla, Mendengar itu, pergilah al Harist pergi menuju ontanya sambil berkata dengan sinis ,” Ya Rabb, jika apa yang dikatakan Muhammad memang benar, maka turunkanlah hujan batu dari langit, atau datangkanlah pada kami azab yang pedih.”
Berkata perawi, “Maka Allah melemparinya dengan batu yang menembus tubuhnya hingga jatuh terkapar dan mati sebelu mencapai ontanya.” .

Hadist serupa juga diriwayatkan oleh tokoh-tokh ahlusunnah lanya seperti Allamah Syablanji dalam Nurul Abshar pada bab Riwayat Hidup Ali, juga ditulis oleh al-halabi dalam sirahnya halaman 214 jilid III.


Munasyadah al Rahbah 35 H
Al rahbah artinya beranda, yaitu suatu tempat dimana pada saat Ali naik menjadi khalifah setelah Usman terbunuh, beliau menyelesaikan berbagai permasalahan Umat di beranda masjid kota Kuffah 25 tahun setelah peristiwa Ghadir Khum , tepatnya pada tahun 35 H setelah kaum muslimin mengalami berbagai peristiwa yang memakan korban para saksi ghadir khum antara lain peperangan-peperangan yang banyak memakan korban terutama di pada masa kekuasaan Abu Bakar, serta wabah kolera yang memakan banyak jiwa kaum muslimin termasuk para sahabat yang ikut menyaksikan peristiwa ghadir khum, Amirul Mu`minin Ali bin Abi thalib yang baru dibai`at sebagai khalifah mengumpulkan orang banyak dihalaman masjid sambil berpidato ,” Aku mengajak demi Allah pada tiap orang diantara kalian yang telah mendengar apa yang diucapkan rasulullah di ghadir Khum agar berdiri memberikan kesaksian dari apa yang telah didengarnya.Dan hendaklah jangan kalian berdiri kecuali mereka yang benar-benar telah melihat peristiwa itu dengan kedua matanya dan mendengar apa yang Rasul katakan saat itu dengan kedua telinganya !’ maka berdirilah 30 orang dikalangan sahabat, duabelas diantaranya adalah pejuang Badar. Dan mereka semuanya memberikan kesaksian bahwa Rasul telah mengangkat lengan Ali dan bersabda ,” apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Beliau berkata lagi ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Musnad Ahmad , jilid I halaman 119, dirawikan dari Abdurahman bin Abi Laila ).

Masih dalam musnad Ahmad diriwayatkan dari berbagai jalur periwayatan lain di akhir halaman 119 juga disebutkan pula oleh Ibnu Qutaibah ad daruni dalam kitabnya Ma`arif di akhir halaman 94 menurut riwayat Abdurahman bin Abi laila dan beberapa jalur lain , bahwa ketika itu Ali berkata kepada Anas “ mengapa engkau tidak berdiri bersama sahabat lainnya dan memberikan kesaksian seperti apa yang anda dengar ketika itu ? “ Anas menjawab “ Usiaku telah lanjut dan aku telah lupa.” Ali berkata,” Baiklah, jika apa yang kau ucapkan itu bohong, semoga Allah menimpakan penyakit belang atas tubuhmu sehingga tidak tertutup sorbanmu.”Dan tidak lama kemudian dia dirimpa penyakit belang hingga meliputi seluruh mukanya.” Aku terkutuk oleh doa hamba Allah yang saleh.” Katanya kemudian. peristiwa ini diriwayatkan pula oleh Zaid bin Arqam bisa dirujuk dalam berbagai kitab sunni antara lain al Haitsami dalam majmaul Zawaaid, almaghazili dalam alManaqib , Thabrani dalam alKabir, atTabari dalam Zakhair al Uqba, al Hafisz Muhammad bin Abdullah dalam alFawaaid,dll.

Kisah senada juga diriwayatkan oleh Abu Thufail Amir bin Watsilah sebagaimana direkam oleh Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya , an Nasai dalam Khasais, Abu dawud dalam, al Ashimi dalam Zainal fata, Al Kunji dalam kifayah, at tabari dalam Riyad an Nadhirah, Ibnu katsir dalam bidayah, Ibu Atsir dalam Usud al Ghabah, dll.

Disamping itu Ibnu katsir dalam tarikhnya meriwatkan kejadian serupa dari Ahmad bin hambal:
 Ali mengingatkan Thalhah pada perang Jamal
Saat berkecamuknya perang Jamal, terekam oleh kitab-kitab hadist dan sejarah dialog yang terjadi antara mereka berdua, saat itu diceritakan bahwa,
Ali berkata pada Thalhah,”Aku bermunasyadah atas nama Allah, tidakkah engkau pernah mendengar bahwa nabi pernah berkata, ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali) dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Jawab Thalhah,” ya, aku pernah mendengarnya” Lalu Ali bertanya,” kalau begitu, mengapa engkau memerangiku?” Thalhah menjawab,” aku lupa.”.

Al hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya , juga diriwayatkan Mas’udi dalam Muruj al Zahab, Khatib al Khawarizmi dalam al manaqib, Ibnul jauzy dalam tadzkirah, Ibnu hajar dalam al tahzib, al Haitsami dalam majmaul Zawaid, jalaluddin Suyuthi dalam jami al Jawami, dll.

Pernyataan-pernyataan lain yang menguatkan
Juga disebutkan dalam Musnad Ahmad ( juz V halaman 419) dari Riyah bin harist melalui dua saluran hadist, katanya ,” sekelompok orang mendatangi Ali seraya mengucapkan ,” Assalaamu`alaika ya Amiru mu`minin,” Ali bertanya,” siapa kalian?’ “ kami adalah pengikut tuan.” Jawab mereka.
Lalu Ali bertanya,” bagaimana kalian menganggap aku sebagai Wali kalian , sedang kalian adalah orang-orang Arab.” Jawab mereka,” kami telah mendengar rasul bersabda pada peristiwa Ghadir Khum ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .” berkata Riyah ( perawi hadist ini) : ketika mereka pergi, aku ikut bersama mereka dan menanyakan tentang orang-orang ini, siapakah mereka, dan aku mendapat jawaban bahwa mereka adalah sekelompok kaum Anshar, diantaranya ada Abu Ayyub al anshari.”

Munasyadah Pada Masa Usman bin Affan
Sebagaimana diriwayatkan alHimwaini dalam Faraidu Simthoin, Sulaim bin Qois alHilali menyaksikan bahwa saat itu pada masa Usman bin Affan berkuasa berkumpul di masjid Nabawi lebih dari 200 sahabat termasuk diantaranya Miqdad, Saad Bin Abi Waqass, Ibnu umar, Thalhah, Zubair, dan lain-lain, mereka membicarakan keutamaan kaumnya, saat itu Ali berkata panjang lebar yang diantaranya adalah pernyataan-pernyataan Nabi tentang keutamaan Ali dan ahlulbait Nabi termasuk diantaranya yang nabi ucapkan di Ghadir Khum.

Peristiwa syura 23 H
Jauh sebelum itu, pada peristiwa syura, Ali melakukan dialog pada para peserta syura, disana Ali mengambil kesaksian-kesaksian, salah satunya adalah sebagaimana diceritakan Abi At Tufail Amr bin watsilah sebagaimana tercatat dalam Khashaisul Alawiyah (AnNasa`i) menceritakan bahwa Ali berkata pada mereka,” Apakah diantara kalian ada yang seperti diriku dimana Rasul berkata padanya,”Barangsiapa yang mengakui aku adalah pemimpinnya maka ketahuilah bahwa Ali adalah pemimpinnya, Ya Allah befihaklah pada orang-orang yang memihaknya, belalah orang-orang yang mengikuti wilayah (kepemimpinannya) , dan musuhilah orang-orang yang menentang kepemimpinannya.”.

Hujjah Keluarga nabi tentang al Ghadir
Al muqiri asSyafii dalam Asnal al Matalib meriwayatkan debat antara Fatimah dengan para sahabat Nabi, dari percakapan yang cukup panjang terungkap pula pernyataan fatimah ,”Apakah kalian lupa perkataan rasulullah pada hari al Ghadir ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”.

Al Hafidz Abul Hassan bin Uqdah meriwayatkan bahwa pada saat Imam Hassan menandatangani kesepakatan dengan Muawiyah, Imam berkata,”Bukankah ummat ini mendengar perkataan nabinya saat memegang tangan Ali di Ghadir Khum sambil berkata ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Dan Nabi memerintahkan agar yang hadir menyampaikannya pada yang tidak hadir.”.

Sulaim bin Qais pun meriwayatkan bahwa duatahun setelah kematian Muawiyah, Imam Husein berpidato dihadapan 700 orang jemaah haji di mina yang termasuk diantaranya adalah para sahabat, tabiin, Bani hasyim dan para pengikut setia al Husein,” Aku bermunasyadah pada Allah, bukankah kalian tahu bahwa Nabi di ghadir Khum berkata sambil mengangkat tangan Ali ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya, dan hendaklah yang mendengar hal ini menyebarluaskan kabar ini pada yang belum mendengarnya,” semua yang berkumpul memberikan kesaksian.

Begitulah sekelumitnya pencarian ku tentang kebenaran peristiwa ghadir khum tersebut, saat saya masih mempelajarinya, sekelompok teman yang terpengaruh faham wahabi datang dan mengatakan bahwa peristiwa tersebut tidak detail disebutkan dalam bukhari-muslim, lalu saya katakan kepada mereka,” bukankah hadist “Kitabullah wa sunnatun nabi” pun tidak kutemukan dalam bukhari muslim. Dan kalau hadist yang sebegini banyak jalur periwayatannya saja kita tolak, kenapa kita melakukan shalat, padahal hadist-hadist tentang tata cara shalat saja tidak sebanyak ini jalur periwayatannya.”.

Masih banyak lagi berbagai riwayat lain yang begitu melimpah bukti-bukti yang menguatkan kebenaran peristiwa tersebut, Bahkan jauh-jauh hari sebelum peristiwa penting tersebut terjadi, nabi selalu mengulang-ulang pesan penting tentang kewilayahan Ali, dan pentingnya berpegang pada Aststaqolain (dua pusaka) Kitabullah, dan ahlul bait Nabi , dalam berbagai kesempatan , pernyataan-pernyataan nabi tersebut terdapat di berbagai kitab hadist sunni.

Di akhir tulisan ini,saya akan tutup dengan kisah seorang perempuan pemberani bernama Darumiyah, saat ditanya oleh Muawiyah tentang alasan mengapa Darumiyah begitu mencintai Ali, Darumiyah memberikan serangkaian argument yang salah satunya adalah,”Aku berwilayah pada Ali karena rasulullah telah mengangkatnya sebagai pemimpin ummat sepeninggalan beliau , bahkan bukankah peristiwa itu terjadi dihadapan batang hidungmu wahai Muawiyah.” ( Zamakhsyari dalam rabiul abrar)

Komentar:
Mengapa Allah tidak boleh menunjuk langsung pemimpin Ummat melalui lisan nabi, sehingga tidak ada perpecahan seperti yang terjadi saat ini, ummat terpecah ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing mengklaim punya Pemimpin sendiri-sendiri.Apakah Allah membiarkan ummat ini bingung memilih siapa pemimpinnya, padahal bukankah kepemimpinan adalah hal yang sangat fundamental, tanpa pemimpin ummat akan terpecah, kebenaran akan menjadi bias-bias yang semakin membuat ummat kebingungan.

Kepemimpinan yang dipilih secara musyawarah pada akhirnya selalu membuat perpecahan, ketidak puasan, sebagaimana yang kita lihat sekarang, lalu apakah Nabi wafat tanpa menunjuk khalifah setelahnya sehingga ummat kebingungan dan berpecah-pecah.

Padahal, bukankan tiap-tiap ummat akan dipanggil kelak bersama pemimpin-pemimpin (Imam – Imam) mereka ?

Allah Swt berfirman: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan risalah/agama-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 67).

Peristiwa pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Islam pasca Nabi saw, terjadi di tempat yang bernama Ghadir Khum, yang terletak di kawasan antara Mekkah dan Madinah di dekat Juhfah, sekitar 200 km dari Mekkah.

Peristiwa besar yang menggemparkan sejarah ini,
terjadi pada bulan terakhir tahun ke-10 Hijriah, setelah Rasul saw menjalankan Haji Perpisahan/Terakhir (Hajjatul Wada’). Semua sahabat sadar bahwa sebentar lagi wahyu akan terputus dari mereka. Ini adalah saat-saat terakhir kebersamaan mereka dengan Nabi Besar Muhammad saw.

Dalam sebagian riwayat, Haji Perpisahan/Terakhir tersebut juga disebut dengan hajjatul ikmal wa itmam (haji lengkap dan sempurna), karena setelah ayat ke-67 dari surah al Maidah tersebut diamalkan oleh Rasul saw dimana beliau secara resmi mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib tinggi-tinggi sehingga terlihat bagian dalam lengan beliau dan bersabda:
“Man kuntu maula fa hadza ‘aliyyun maula” (Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai pemimpinnya),
maka turunlah ayat berikut sebagai happy ending dakwah beliau:
“Pada hari Ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3).

Sebelum Rasulullah saw mengangkat Ali sebagai penggantinya, beliau menyampaikan pidato panjang di Ghadir Khum, dimana di antaranya beliau menjelaskan posisi dirinya dan ahlul baitnya, khususnya Imam Ali. Dan di akhir orasinya, Nabi saw mendoakan Ali secara khusus:

“Jadikanlah kebenaran selalu berada bersama Ali.”

Ini adalah kalimat terbaik, terindah dan memiliki makna paling dalam yang diucapkan Nabi di saat itu. Rasul saw menjadikan Ali sebagai mizan (timbangan) kebenaran. Dengan kata lain, untuk mengetahui sesuatu itu benar maka ia harus kita ukur dengan Ali, bukan sebaliknya. Yakni salah besar kalau kita mengukur Ali dengan kebenaran. Sebab Ali adalah manifestasi sempurna kebenaran itu sendiri. Kalau kita mengukur Ali dengan kebenaran maka ini namanya “jeruk makan jeruk”. Sabda agung Nabi saw tersebut yang ditujukan kepada Imam Ali tak ubahnya sabda beliau yang dialamatkan kepada putri semata wayangnya, Fatimah az Zahra: “
“Ridha Allah terletak pada keridhaan Fatimah dan murka-Nya pun terletak pada kemurkaan Fatimah.”

Sebagaimana Ali, Fatimah yang notabene istri tercinta Ali adalah tolak ukur kebenaran. Sesuatu menjadi benar ketika Fatimah meridhainya, dan sesuatu menjadi batil ketika Fatimah memurkainya. Siapapun yang membuat marah Fatimah maka sejatinya ia sedang membuat marah Allah, dan siapapun yang membuat Fatimah tertawa maka ia sedang membahagiakan Allah.

Peristiwa Ghadir dengan pelbagai redaksi dan kisahnya mungkin dapat dilupakan, namun ia tak dapat diingkari begitu saja seperti apa yang dilakukan oleh Fakrur Razi, penulis tafsir Mafatihul Ghaib. Mungkin Fakrur Razi puyeng bila menerima konsekuensi logis dari kejadian Khadir Khum, sehingga karena itu beliau dengan enteng menganggap peristiwa itu tidak pernah ada dalam lembaran sejarah.

Sementara itu, Ahmad bin Hanbal bukan hanya tidak menolak peristiwa tersebut, bahkan beliau berpendapat bahwa Nabi saw menyampaikan hadis, “Man kuntu maula….” sebanyak 4 kali. Nabi saw juga memerintahkan supaya mereka yang hadir dan menjadi saksi sejarah di Khadir Khum menyampaikan pesan penting beliau itu kepada mereka yang tidak hadir.

Allah Swt berfirman :
“Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan agama-Nya.”

Berkenaan dengan ayat di atas, di sini ada pertanyaan kritis dan penting: Kira-kira hal apa yang belum secara resmi disampaikan Nabi saw, sehingga beliau diancam oleh Allah Swt bila tidak menyampaikannya maka seluruh jerih payah dakwah beliau selama 23 tahun akan menjadi sia-sia?! Bukankah perintah shalat, zakat, puasa, haji, jihad dll sudah dengan gamblang dijelaskan oleh Baginda Rasul saw?.

Bukankah menurut jumhur ahli tafsir bahwa surah al Maidah adalah termasuk surah yang terakhir turun kepada Nabi saw?, Sehingga ketetapan/hukum apa yang masih perlu disampaikan oleh Rasul saw di Haji Perpisahan tersebut? Ketetapan apa gerangan yang bila Nabi saw mengamalkannya agama menjadi lengkap dan sempurna? Tidak lain adalah ketetapan seputar pemimpin dan imam umat sepeninggal beliau yang menjaga agama dari penyimpangan dan kekaburan pemahaman.

Bukti Kebenaran Peristiwa Ghadir Khum dan Hadis Man Kuntu Maula
Allamah Amini dalam kitab monumentalnya Al Ghadir, menyebutkan seluruh perawi hadis Man Kuntu Maula yang diucapkan Nabi saw di Ghadir Khum, tidak kurang dari 110 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya Thalhah, Zubair, Abu Bakar dll.
Dan 84 perawi hadis tersebut dari generasi kedua, yakni tabiin. Bahkan peristiwa Ghadir Khum dan hal-hal yang terkait dengannya, diabadikan dalam 360 kitab Ahlus Sunah. Jadi, status hadis Man Kuntu Maula bukan hanya mutawatir (diriwayatkan oleh banyak perawi dan tak ada keraguan perihal kesahihannya), tetapi fauqa mutawatir (di atas mutawatir).

Polemik Seputar Makna Man Kuntu Maula
Seperti yang kami tegaskan, bahwa Peristiwa Ghadir Khum tidak dapat dihapus dari kening sejarah, dan pengingkaran terhadap hal tersebut berangkat dari fanatisme mazhab yang sempit atau kebodohan yang akut.
Maka perdebatan berkaitan dengan Ghadir Khum bukan berkisar pada benar tidaknya Nabi saw mengangkat tangan Imam Ali tinggi-tinggi dan membacakan hadis: Man Kuntu Maula, namun perselisihan pendapat hanya mengacu pada makna dan pemahaman dari hadis tersebut. Syiah punya makna dan pemahaman tersendiri terhadap hadis tersohor tersebut, sedangkan Ahlu Sunah juga memiliki persepsi dan pemahaman tersendiri.

Beberapa Indikasi Yang Menunjukkan bahwa Maula berarti Pemimpin
Indikasi Pertama: Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula di hadapan ribuan sahabat, tua-muda, laki-perempuan di musim panas yang menyengat, dan di gurun pasir yang tandus selepas manasik haji, dan memerintahkan mereka yang meninggalkan kafilah untuk kembali bergabung bersama beliau, dan mereka yang tertinggal di belakang, untuk segera mempercepat langkahnya untuk menyusul beliau hanya untuk mengatakan bahwa:
“siapa yang menjadikan beliau sebagai sahabatnya maka dia pun harus menjadikan Ali sebagai sahabatnya”

atau

“siapa yang menjadikan beliau sebagai kekasihnya maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai kekasihnya”?!
Bukankah mereka sudah tahu bahwa Ali adalah ahlul bait Rasul saw yang harus dicintai dan disayangi? Lalu mengapa Rasul saw perlu bersusah payah mengumpulkan mereka hanya untuk menyampaikan masalah ini menjelang akhir kehidupan beliau?!

Indikasi Kedua: Ayat al yauma akmaltu (al maidah 3) turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum, lalu apakah agama menjadi sempurna dengan Rasul saw menjadikan Ali sebagai sahabat dan penolongnya?

Indikasi Ketiga: Turunnya ayat Iblagh (al Maidah 67). Apakah Nabi saw diancam oleh Allah Swt bila tidak mengatakan kepada umat bahwa mereka harus menjadikan Ali sebagai sahabat dan mencintainya maka agama tidak sempurna dan dakwah beliau sia-sia?

Indikasi Keempat: Khalifah Abu Bakar dan Umar, juga sahabat Usman, Thalhah dan Zubair dengan tanpa sungkan-sungkan mengucapkan selamat (tabrik) kepada Imam Ali atas terpilihnya ia sebagai pemimpin umat Islam pasca Nabi saw. Ucapan selamat dikatakan kepada seseorang bila seseorang mendapatkan maqam yang tinggi, bukan karena ia dikenal sebagai sahabat yang harus dicintai. (Perihal ucapan selamat sahabat-sahabat senior terhadap Imam Ali atas kedudukannya sebagai pemimpin umat pasca Nabi saw, dapat Anda temukan dalam tafsir at Tsa`labi berkaitan dengan ayat al Maidah 67, dimana Tsa`labi tegas-tegas menyatakan bahwa ayat tersebut terkait dengan Peristiwa Ghadir Khum. kita juga bisa lihat dalam Musnad Ibn Hanbal 6, hal. 401, al Bidayah wa an Nihayah juz 5 hal. 209).

Indikasi Kelima: Hasan bin Tsabit adalah penyair pertama Ghadir. Setelah Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula, ia memimta izin kepada Nabi saw untuk membacakan syair terkait peristiwa besar tersebut. Dalam salah satu baitnya, disebutkan: “Qum ya `alyyun fa innani radhitu min ba`di imaman wa hadiya” (bangkitlah wahai Ali, aku meridhai engkau sebagai imam dan pemberi petunjuk sesudahku). Maka sahabat Hasan bin Tsabit sebagai seorang yang hidup di zaman Nabi saw dan dekat dengan masa turunnya wahyu lebih mengetahui sastra Arab ketimbang mereka yang mengartikan kata “maula” dengan sahabat/penolong atau budak yang dibebaskan dll.



Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam pada masa sebelum wafat Rasulullah SAAW adalah peristiwa Ghadir Khum. Peristiwa Ghadir Khum termasuk riwayat mutawatir.[1] Dalam hadits Ghadir Khum, setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah menghentikan perjalanan para sahabatnya yang sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing di suatu tempat yang bernama Khum (antara Makah dan Madinah).

Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”.  Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :

Al Maaidah (QS5:67);

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir “

Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah “penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut ayat tabligh.
Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika tidak menyampaikan suatu “hal”. Penundaan penyampaian yang dilakukan oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya kekhawatiran dalam pikiran Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk menerima dan menjalankan perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya Rasulullah mencari strategi bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk menolak. Ayat di atas juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah kepada Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.[2]

Dengan demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:
  1. Nabi diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting
  2. Allah menjaga Rasulullah dari gangguan manusia
  3. Dampak dari orang-orang yang tidak menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah
Lalu bagaimanakan isi tafsir atas ayat tabligh di atas? Sebagaimana perbedaan penafsiran yang sering kali terjadi, sebagian kecil tafsir menyebutkan bahwa ayat tabligh tersebut turun di Madinah, yaitu ketika Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang Yahudi. Apabila kita kritisi tafsir tersebut, perlu kita ingat bahwa Rasulullah semenjak hijrah dari kota Mekkah, telah tinggal selama 10 tahun di kota Madinah. Selama Rasulullah berada di Madinah tersebut, bukankah sudah ada orang orang Yahudi? Lalu kenapa baru sekarang Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada mereka? Kenapa pada saat-saat terakhir sebelum Rasullah meninggal, barulah Allah mengancam Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada Yahudi? Berdasarkan logika dan pemahaman kita tentang sejarah Islam, tentulah kita dapat menilai bahwa tafsir ini tidak tepat dan sama sekali tidak berdasar.

Kembali kepada peristiwa Ghadir Khum. Setelah Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berhenti, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menumpuk batu hingga menjadi sebuah mimbar. Kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar tersebut dan memberikan ceramah kepada 120 ribu sahabat. Jumlah pendengar yang sangat banyak inilah yang menyebabkan riwayat ini bukan hanya shoheh, tetapi mutawatir. Dalam ceramahnya Rasulullah dengan sangat terperinci menjelaskan kepemimpinan setelah beliau. Beliau mengatakan “Man kuntu maula fa Aliyyun maula (Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya setelah aku).”.

Mengenai perkataan Rasulullah tersebut, ada kelompok yang mengatakan bahwa yang dikatakan Rasulullah adalah “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya maka menjadikan Ali sebagai kekasihnya.” Bila kita kritisi pendapat tersebut, tentulah kita akan menganggap bahwa adalah suatu kesia-siaan bahwa Rasulullah mengumpulkan 120 ribu sahabatnya hanya untuk mengatakan “cintailah Ali”.  Kata “Maula” sendiri bukanlah berarti kekasih, melainkan “pemimpin”. Selain itu, dalam penyampaiannya, Rasulullah bukan hanya mengangkat tangan Imam Ali, tetapi juga memindahkan sorbannya ke kepala Ali. Hal ini didasari pada kedudukan Sorban sebagai lambang kepemimpinan, sehingga ummat yang bisu dan tuli, yang tidak dapat mendengar ceramah Rasulullah, dapat memahami maksud yang ingin disampaikan Rasulullah dengan isyarat tersebut. [3]

Riwayat sebagaimana di atas dapat ditemukan dalam kitab-kitab berikut ini:
  1. Tafsir Al Manar dari Muhammad Rasyid Ridho Juz 6 hal 343.
Kitab ini menyebutkan bahwa ayat tabligh (Al Maaidah :67) adalah ayat dimana Allah menegur keras kekasih-Nya, Rasulullah, untuk menyampaikan tentang wilayah Amirul Mu’minin.
  1. Kitab Kanzul Ummal Al Allamah Al Hindi Jilid 5 hal 114.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar:
  1. Fushulul Muhimmah karya Ibnu Sobbar hal 42.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar:
  1. Asbabun Nuzul karya Al Wahidi hal 104.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar, dengan tambahan bahwa setelah ayat ini turun Umar bin Kathab datang kepada Ali bin Abi Thalib dan mengucapkan,”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau menjadi pemimpin kami semua.”
  1. Yanabiul Mawaddah karya Ibrahim Al Qundusi Al Hanafi.
  2. Tafsir Al Kabir karya Fakhrurrozi Jilid 6 Hal 53.
  3. Mustadrak Shahihain Juz 3 Hal 330.
  4. Syawahidu Tanzil karya Al Hashakani  Jilid 1 hal 192.
  5. Faraidus shimtain Jilid 1 hal 63.
  6. Ibnu Katsir.
  7. Al Milal wal Nihar karya Syakhrestani hal 141.
Dalam kitab ini diceritakan ketika Rasul SAAW hendak meninggal dunia, Rasulullah memerintahkan pasukan Usamah bin Zaid untuk memerangi suatu kaum. Abu Bakar, Umar dan Usman diperintahkan menjadi prajurit dibawah komando Usamah. Apa tujuan Rasul SAAW melibatkan mereka (mengingat usia mereka tidak muda lagi)? Hal ini didasari kesadaran Rasulullah bahwa dirinya hendak meninggal dunia dan agar keberadaan ketiga orang tersebut akan mengganggu kelancaran peralihan kekhalifahan. Rasulullah kemudian juga meberikan ancaman, ”La’natullah orang yang keluar dari tentara Usamah.” Berangkatlah pasukan Usamah. Ketika dalam perjalanan, sampailah kabar bahwa Rasulullah meninggal dunia, dan Abu Bakar, Umar dan Usman keluar dari pasukan.
  1. Tafsir Durul Mantsur karya Imam Suyuthi Jilid 3 hal 117.
Menjelaskan ayat tabligh turun di Ghadir Khum:
  1. Kitab Farhul Khadir karya Syaukhani Jilid 2 hal 88.
Berdasarkan riwayat Ghadir Khum, telah jelas bagi kita bahwa hal penting yang diperintahkan Allah untuk disampaikan oleh Rasulullah adalah mengenai wilayah (kepemimpinan) Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila kita kembali kepada Al Qur’an, hal ini dijelaskan dalam surat Al Maaidah (5) : 55 sebagai berikut:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan salat dan membayar zakat dalam keadaan rukuk (rakiun) ”

Apabila kita baca terjemahan Al Qur’an dari Departemen Agama, kata “Raki’un” dalam ayat di atas diartikan sebagai “tunduk” padahal makna raki’un adalah ruku’. Untuk lebih jelasnya, coba kita lihat QS At Taubah (9): 112 sebagai berikut:

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Mereka itu adalah orang orang yang bertobat, yang bribadat, yang memuji Allah, yangyang berpuasa, yang ruku’ (rakiun), yang sujud, yang menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”

Dapat kita lihat bahwa dalam ayat ini, kata “rakiun” diartikan sebagai ruku’. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ayat berikut ini:

QS Ali Imran (3):43:

 يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Hai Maryam, patuhlah engkau pada Tuhanmu, sujud dan rukulah bersama orang-orang yang ruku’ (raaki’iin)“

Kata “rakiun” dalam ayat ini juga diterjemahkan sebagai ruku’. Dengan demikian patut kita pertanyakan mengapa dalam QS Al Maaidah (5):55 kata rakiun diartikan sebagai tunduk?
Kembali ke QS Al Maaidah (5):55, ayat tersebut diawali dengan kata “Innama”. Apabila kita menemukan kata “Innama” dalam Al Qur’an, hal ini menunjukkan kalimatul hasyr (pembatas). Jadi dapat disimpulkan tidak ada pemimpin lain selain yang disebutkan daam ayat tersebut. Dengan demikian, pemimpin (bagi umat Islam) adalah Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman manakah yang dimaksud di sini? Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali bin Abi Thalib.

Riwayat menyebutkan ketika beliau sedang sholat di dalam mesjid, seorang pengemis datang dan meminta uang kepada sahabat-sahabat Nabi. Sahabat tidak ada yang membawa uang, kemudian Rasul berkata,”Masuklah kamu dan mintalah kepada orang yang sedang sholat.” Imam Ali yang saat itu sedang dalam keadaan ruku’, memberikan sedekah melalui isyarat dengan mengulurkan cincin di jarinya. Jelas bahwa Ini adalah perintah dari Rasulullah SAAW yang memiliki makna besar sehingga terekam dalam Al Qur’an. Lalu bagaimana dengan kata “orang-orang” yang beriman, yang berarti jamak dalam ayat ini? Patut kita diketahui dalam Al Qur’an tidak berarti kalimat berbentuk jamak itu dinisbatkan kepada orang yang banyak. Bisa jadi kalimat jamak dinisbatkan ke satu orang. Contohnya dalam ayat QS Ali Imran (3):61 (Ayat Mubahalah) berikut ini:

 فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”

Kata “Nisaa ana” dalam ayat di atas mempunyai arti “wanita-wanita kami” yang berarti banyak, tetapi hanya dinisbatkan kepada satu orang yaitu Sayyidah Zahra a.s.

Contoh lainnya sebagaimana terdapat dalam QS An Nahl (16):120 sebagai berikut:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sungguh, Ibrahim adalah ummat (ummatan) yang patuh kepada Allah lagi lurus dan dia bukanlah termasuk golongan orang yang musyrik”

Meninjau ayat di atas, ada berapa orangkah Ibrahim? Hanya satu. Akan tetapi Allah menyebutkan “Ummatan”. Ummatan adalah kata jamak tetapi dinisbatkan hanya kepada Nabi Ibrahim.

Selanjutnya, QS Al Maaidah (5):55 menyebutkan bahwa seseorang, ketika menjadikan Allah pemimpinnya, Rasul pemimpinnya, orang yang beriman tadi pemimpinnya maka masuk ke dalam golongan hizbollah (pengikut Allah). Jadi syarat untuk masuk sebagai pengikut Allah adalah menjadikan Allah, Rasul dan orang yang beriman tadi sebagai pemimpinnya (berwilayah kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman). Yang tidak menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai pemimpinnya dalam satu kesatuan adalah lawan dari pengikut Allah atau pengikut syaitan.

Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa perintah yang harus disampaikan dalam ayat tabligh adalah wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Isi dari QS Al Maaidah (5):55 menjelaskan bahwa wajib bagi ummat Islam untuk taat mutlak kepada wilayah tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat QS An Nisa (4):59 sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulim amri. Jika kamu berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”

Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang beriman (secara umum) diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Apabila kalian (orang-orang beriman) berselisih mengenai siapa ulil amri tersebut, Allah mengatakan kembalikan lagi kepada Allah dan Rasul yang akan menjelaskan. Kalau memang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini sesuai dengan hadits yang terdapat dalam shahih Muslim yang mengatakan siapa yang mati tidak mengenal imam pada zamannya maka mati jahiliyah.

Rasulullah, ketika ditanya siapakah ulil amri, menjawab,”Mereka adalah imam imam dari ahlul baytku.” Hal ini tercantum dalam kitab:
  1. Yanabiul Mawaddah
  2. Faraidus Shimtain
  3. Syawahidu Tanzil.
Setelah ditetapkannya wilayah melalui nas dan keterangan dari Rasulullah SAAW, apabila ummat sudah menerima ini semua maka sempurnalah Islam sebagai agama mereka.

QS Al Maaidah (5):3:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

Apabila kita lihat kata-kata yang terdapat di dalam ayat di atas, dapat kita lihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Akmaltu = kusempurnakan
Atmamtu = kusempurnakan
Kafaitu = aku cukupkan
Dari ayat di atas jelaslah bahwa masih ada yang disempurnakan oleh Allah SWT, yang artinya ada satu masalah yang belum sempurna untuk disampaikan selama ini. Begitu masalah tersebut disampaikan barulah di akhir ayat disebutkan bahwa Allah meridhai agama Islam tersebut. Jadi kita harus mengikuti nikmat yang disempurnakan tadi, bila tidak, tentunya tidak akan mencapai Islam yang di-ridhai Allah SWT.

Dalam kitab Bidayah wal Nihayah Juz 5 hal 464 karya Ibnu Katsir.
Dari Abu Hurairah berkata,”Siapa yang puasa pada hari 18 Dzulhijjah ditulis baginya sebagaimana puasa 60 bulan. Dan pada hari Ghadir Khum, pada hari itu Nabi mengambil tangannya Ali. Nabi berkata,”Bukankah aku pemimpinnya orang orang beriman.” “Ya Rasulullah”, jawab mereka. Rasulullah berkata,”Siapa yang menjadikan aku maula, maka Ali adalah maulanya.” Berkatalah Umar bin Khattab, ”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau adalah pemimpin aku, dan pemimpin setiap muslim.” Ketika itu juga Allah menurunkan ayat QS Al Maaidah (5):3.

Setelah sahabat semua membaiat Rasul, satu orang bernama Harris bin Nu’man tidak mau membaiat. Dia datang ke Rasulullah dan bertanya,”Apakah perintah ini dari Allah atau karangan engkau sendiri Ya Rasulullah.” Rasulullah berkata,”Demi Allah, ini adalah perintah dari Allah.” “Kalau begitu turunkan azab dari Allah kalau benar dari Allah.”, kata Harris. QS Al Maarij (70):1 – 2:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ لِلْكَافِرِينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ

“Seseorang bertanya tentang azab yang cepat terjadi. Bagi orang orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.”

Telah meminta seseorang siksa yang cepat, Allah menjadikan orang itu kafir, kisah ini tercantum dalam kitab:
  1. Faraidus ShiMtain Jilid 1 hal 82.
  2. Tafsir Qurtubi Juz 9 hal 216.
  3. Kitab Fushulul Muhimmah hal 42.
  4. Faidhul Ghadir juz 6 hal 268 karya Manawi.
  5. Kitab Nur Abshor hal 87 karya Sarblanji.
meriwayatkan cerita tentang Harris bin Nu’man. Ketika ayat ini turun, batu dari langit turun dan tembus kepalanya.

Sebagai penutup pembahasan ini, perhatikan ayat QS Az Zukhruf (43):45 berikut ini:

وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُونِ الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

“Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau. Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?”

Ayat di atas menyebutkan bahwa terdapat pertemuan antara Rasulullah dengan Rasul-rasul Allah lainnya, yaitu pada saat Isra Mi’raj. Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah untuk bertanya kepada para Rasul tersebut. Apakah yang diperintahkan Allah untuk ditanyakan tersebut?

Di dalam kitab:
Faraidush Shimtain Juz 1 hal 81 karya Juwaini
Tarikh Damsikh Jus 42 hal 241 karya Ibnu Ashakir asy Syafii
Syawahidu Tanzil juz 2 hal 157 karya Al Hashakani al Hanafi
Diriwayatkan Rasulullah bersabda,”Datang kepadaku malaikat dan berkata,”Tanyakanlah siapa yang telah kami utus dari Rasul-rasul sebelum kamu, untuk apa mereka itu diutus.” “ Menjawab para Rasul, ”Kami membawa wilayah engkau dan wilayah Ali bin Abi Thalib.””


Rujukan:
[1] Jika ditinjau dari sisi riwayat, tingkatan hadis itu ada shoheh, hasan, dhaif, dsb. Tapi ada hadis yang tingkatannya diatas shoheh, yaitu mutawatir. Jika yang meriwatkan diatas 3 itu disebut hadis shoheh, tapi jika yang meriwayatkan lebih dari 7 maka disebut mutawatir. Kedudukan hadis mutawatir hampir sama dengan Qur’an.
[2] Ayat ini juga menepis pendapat yang menyatakan Rasulullah meninggal karena diracun
[3] Subhanallah tempat Ghadir Khum itu masih ada sampai sekarang, dan dari tempat Rasulullah berdiri suara yang berbicara  di sana akan terdengar sampai 5km. Itulah bagaimana 120rb sahabat bisa mendengar kata-kata Rasul.

Terkait Berita: